Disusun Oleh :
SEMARANG
2023
BAB I
PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG
Kesehatan jiwa merupakan kondisi ketika seorang individu dapat berkembang
secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari
kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan
mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya. Kesehatan jiwa memiliki
rentang respon adaptif yang merupakan sehat jiwa, masalah psikososial, dan
respon maladaptif yaitu gangguan jiwa (UU No. 18 Tahun 2014).
Menurut Sekretaris Jendral Dapertemen Kesehatan (Sekjen Depkes), H. Syafii
Ahmad, kesehatan jiwa saat ini telah menjadi masalah kesehatan global bagi
setiap negara termasuk Indonesia. Proses globalisasi dan pesatnya kemajuan
teknologi informasi memberikan dampak terhadap nilai-nilai sosial dan budaya
pada masyarakat. Di sisi lain, tidak semua orang mempunyai kemampuan yang
sama untuk menyusuaikan dengan berbagai perubahan, serta mengelola konflik
dan stres tersebut (Diktorat Bina Pelayanan Keperawatan dan Pelayanan Medik
Dapertemen Kesehatan, 2017).
Gangguan jiwa merupakan gangguan dalam berpikir (cognitive), kemauan
(volition), emosi (affective), tindakan (psychomotor) (Yosep, 2007). Menurut
Malim (2002) Gangguan jiwa merupakan deskripsi sindrom dengan variasi
penyebab. Umumnya ditandai adanya penyimpangan yang fundamental,
karakteristik dari pikiran dan persepsi, adanya afek yang tidak wajar atau tumpul
(Yusuf, dkk, 2015).
Setiap saat dapat terjadi 450 juta orang diseluruh dunia terkena dampak
permasalahan jiwa, syaraf maupun perilaku dan jumlahnya terus meningkat. Pada
study terbaru WHO di 14 negara menunjukkan bahwa pada negaranegara
berkembang, sekitar 76-85% kasus gangguan jiwa parah tidak dapat pengobatan
apapun pada tahun utama (Hardian, 2018).
Berdasarkan hasil survey World Healt Organization (WHO 2013) menyatakan
hampir 400 juta penduduk dunia menderita masalah gangguan jiwa. Satu dari
empat anggota keluarga mengalami gangguan jiwa dan seringkali tidak
terdiagnosis secara tepat sehingga tidak memperoleh perawatan dan pengobatan
dengan tepat. Data Riset Kesehatan Dasar (2013) prevalensi gangguan jiwa berat
pada penduduk Indonesia 1,7 per mil. Gangguan jiwa berat terbanyak di DI
Yogyakarta (2,7 per mil), Aceh (2,7 per mil), Sulawesi Selatan (2,6 per mil), Bali
(2,3 per mil), Jawa Tengah (2,3 per mil), Bangka Belitung (2,2 per mil), Nusa
Tenggara Barat (2,1 per mil), Bengkulu (1,9 per mil) dan Sumatera Barat urutan
ke sembilan dengan jumlah (1,9 per mil) (Riskesdas, 2013).
Seseorang mengalami gangguan jiwa apabila ditemukan adanya gangguan
pada fungsi mental, yang meliputi emosi, pikiran, perilaku, perasaan, motivasi,
kemauan, keinginan, daya tilik diri, dan persepsi sehingga mengganggu dalam
proses hidup di masyarakat dan timbulah perasaan tertekan. Hal ini ditandai
dengan menurunnya kondisi fisik akibat gagalnya pencapaian sebuah keinginan
yang akan menurunnya semua fungsi kejiwaan. Perasaan tertekan atau depresi
akibat gagalnya seseorang dalam memenuhi sebuah tuntutan akan mengawali
terjadinya penyimpangan kepribadian yang merupakan awal dari terjadinya
gangguan jiwa (Nasir, 2011). Secara umum, klasifikasi gangguan jiwa menurut
hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 dibagi menjadi dua bagian, yaitu
gangguan jiwa ringan meliputi semua gangguan mental emosional yang berupa
kecemasan, panik, gangguan alam perasaan, dan gangguan jiwa berat/kelompok
psikosa yaitu skizofrenia (Yusuf,dkk. 2015).
Skizofrenia adalah suatu gangguan jiwa yang ditandai dengan penurunan atau
ketidakmampuan berkomunikasi, gangguan realita (halusinasi dan waham), afek
yang tidak wajar atau tumpul, gangguan kognitif (tidak mampu berfikir abstrak)
dan mengalami kesukaran melakukan aktivitas sehari-hari (Keliat,2014). Seorang
yang mengalami skizofrenia terjadi kesulitan berfikir dengan benar, memahami
dan menerima realita, gangguan emosi atau perasaan, tidak mampu membuat
keputusan, serta gangguan dalam melakukan aktivitas atau perubahan perilaku.
Klien skizofrenia 70% mengalami halusinasi (Stuart, 2014).
Gejala skizofrenia dibagi menjadi dua yaitu gejala negatif dan gejala positif.
Gejala negatif yaitu menarik diri, tidak ada atau kehilangan dorongan atau
kehendak. Gejala positif yaitu halusinasi, waham, pikiran yang tidak terorganisir,
dan perilaku yang aneh (Videbeck, 2008). Dari gejala tersebut, halusinasi
merupakan gejala yang paling banyak ditemukan, lebih dari 90% pasien
skizofrenia mengalami halusinasi (Yosep, 2013).
Halusinasi merupakan keadaan seseorang mengalami perubahan dalam pola
dan jumlah stimulasi yang diprakarsai secara internal atau eksternal disekitar
dengan pengurangan, berlebihan, distorsi, atau kelainan berespon terhadap setiap
stimulus (Townsend, 2009 dalam Pardede, Keliat, & Yulia, 2015). Halusinasi
pendengaran paling sering terjadi ketika klien mendengar suarasuara, suara
tersebut dianggap terpisah dari pikiran klien sendiri. Isi suarasuara tersebut
mengancam dan menghina, sering kali suara tersebut memerintah klien untuk
melakukan tindakan yang akan melukai klien atau orang lain (Nyumirah, 2015).
II. TUJUAN
Tujuan penulisan makalah ini secara umum adalah mahasiswa dapat menjelaskan
dan melakukan asuhan keperawatan jiwa pada klien dengan Gangguan Persepsi
Sensori (Halusinasi).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. MASALAH UTAMA
Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi
II. PROSES TERJADINYA HALUSINASI
A. Definisi
Halusinasi adalah perubahan persepsi sensori dimana pasien
merasakan sensasi yang tidak ada berupa suara, penglihatan, pengecapan,dan
perabaan (Damaiyanti, 2012). Menurut Valcarolis dalam Yosep Iyus (2009)
mengatakan lebih dari 90% pasien dengan skizofrenia mengalami halusinasi,
halusinasi yang sering terjadi yaitu halusinasi pendengaran, halusinasi
penglihatan, halusinasi penciuman dan halusinasi pengecapan.
Menurut Valcarolis dalam Yosep Iyus (2009) mengatakan lebih dari
90% pasien dengan skizofrenia mengalami halusinasi, dan halusinasi yang
sering terjadi adalah halusinasi pendengaran, halusinasi penglihatan,
halusiansi penciuman dan halusinasi pengecapan.
B. Jenis Halusinasi
a. Halusinasi pendengaran
Menurut stuart (2009) pada klien halusinasi dengar, tanda dan gejala
dapat dikateristik dengar bunyi atau suara, paling sering dalam bentuk
suara. Rentang dari suara sederhana atau suara yang jelas, suara tersebut
membicarakan tentang pasien,sampai percakapan yang komplet antara dua
orang atau lebih seperti orang yang berhalusinasi.
b. Halusinasi penciuman
Pada halusinasi penciuman isi halusinasi dapat berupa mencium aroma
atau bau tertentu sperti urine atau feces atau bau yang bersifat lebih umum
atau bau busuk atau bau yang tidak sedap ( cancro dan lehman, 2000
dalam videbeck, 2008 ).
Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh struat (2009) pada
halusinasi penciuman, klien dapat mencium busuk,jorok,dan bau tengik
seperti darah,urin, atau tinja, kadang-kadang bau bias menyenangkan,
halusinasi penciuman biasanya berhubungan dengan stroke, kejang dan
demens.
c. Halusinasi penglihatan
Pada halusinasi penglihatan, isi halusinasi berupa melihat bayangan
yang sebenarnaya tidak ada sama sekali, misalnya cahaya atau orang yang
telah meninggal atau mungkin sesuatu yang bentuk nya menakutkan
(cancro & lehman, 2000 dalam videbeck, 2008). Isi halusinasi penglihatan
klien adalah klien melihat cahaya, bentuk geometris, kartun atau campuran
antara gambaran bayangan yang komplek dan bayangan tersebut dapat
menyenangkan klien atau juga sebaliknya yaitu mengerikan (Struat,2009).
d. Halusinasi pengecapan
Sementara itu pada halusnasi pengecapan, isi berupa klien mengecap
rasa yang tetap ada dalam mulut, atau perasaan bahwa makanan terasa
seperti sesuatu yang lain. Rasa tersebut dapat berupa rasa logam atau pahit
atau mungkin seperti rasa tertentu. Atau berupa rasa busuk, tak sedap dan
anyir seperti darah, urine atau feces (Stuart, 2009).
e. Halusinasi perabaan
Isi halusinasi perabaan adalah klien merasakan sensasi seperti aliran
listrik yang menjalar keseluruh tubuh aatu binatang kecil yang merayap di
kulit ( cancro & lehman, 2000 dalam videbeck, 2008). Klien juga dapat
mengalami nyeri atau tidak nyaman tanpa adanya situmulus yang nyata,
seperti sensasi listrik dan bumi, benda mati ataupun dan orang lain
(Stuart,2009).
f. Halusinasi chenesthetik
Halusinasi chenesthetik klien akan merasa fungsi tubuh seperti darah
berdenyut melalui vena dan arteri, mencerna makanan, atau bentuk urin
(videbeck, 2008 dalam stuart, 2009).
g. Halusinasi kinestetik
Terjadi ketika klien tidak bergerak tetapi melaporkan sensai tubuh,
gerakan tubuh yang tidak lazim seperti melayang di atas tanah. Sensasi
gerakan sambil berdiri tak bergeraak (videbeck, 2008 dalam stuart, 2009).
C. Fase Halusinasi
a. Comforting ( halusinasi menyenangkan,cemas ringan)
Klien yang berhalusinasi mengalami emosi yang intens seperti cemas,
kesepian, merasa bersalah dan takut dan mencoba untuk berfokus pada
pikiran yang menyenangkan untuk menghilangkan kecemasan.seseorang
mengenal bahwa pikiran pengalaman sensori berada dalam kesadaran
control jika kecemasan tersebut bisa dikelola.
Perilaku yang dapat diobservasi:
1. Tersenyum lebar, menyeringai tetapi tanpak tidak tepat
2. Menggerakan bibir tanpa membuat suara
3. Pergerkan mata yang tepat
4. Respon verbal yang lambat seperti asyik
5. Diam dan tampak asik
b. Comdeming ( halusinasi menjijikan, cemas sedang )
Pengalaman sensori menjijikan dan menakutkan. Klien yang
berhalusinasi yang mulai merasa kehilangan control dan mungkin
berusaha menjauh diri, sertra merasa malu karna adanya pengalaman
sensori tersebut dan menarik dari diri orang lain. Perilaku yang dapat
diobservasi :
1. Ditandai dengan peningkatan kerja syisem syraf autonomic yang
menunjukan kecemasan missal nya terdapat peningkatan nadi,
pernafasan dan tekanan darah.
2. Rentang perhatian menjadi sempit
3. Asik dengan pengalaman sensori dan mungkin kehilangan
kemampuan untuk membedakan halusinasi dengan realias
c. Controlling (pengalaman sensori berkuasa, cemas berat)
Klien yang berhalusinasi menyerah untuk mencoba melawan
pengalaman halusinasinya. Isi halusinasi bisa menjadi menarik atau
memikat. Seseorang mungkin mengalami kesepian jika pengalaman
sensori berakhir :
1. Arahan yang disertai halusinasi tidak hanya dijadikan obyek saja
oleh klien tetapi mungkin diikut atau dituruti
2. Klien mengalami kesulitan berhubungan dengan orang lain
3. Rentang perhatian hanya dalam beberapa detik atau menit
4. Tampak tanda kecemasan berat seperti berkeringtat, teremor, tidak
mampu mengikuti perintah.
d. Conquering (melebur dalam pengaruh halusinasi, panik)
Pengalaman sensori bisa mengancam jika klien tidak mengikuti
perintah dari halusinasi. Halusinasi mungkin berakhir dalam waktu empat
jam atau sehari bila tidak ada itrvensi traupetik.
Perilaku yang dapat di observasi :
E. Predisposisi
Menurut stuart dan lansia (2005 : Stuart 2009), faktor presdisposisi yang
dapat mengakibatkan terjadinya halusinasi pada klien skizofrenia meliputi
faktor biologi,psikologi dan juga sosialkultural.
a. Faktor biologi
Menurut videback (2008), faktor biologi yang dapat menyebabkan
terjadinya skizofrenia adalah faktor genetik, neurotomi, neurokimia
serta imunovirologi.
1. Genetik
Secara genetik ditemukan perubahan pada kromosom 5 dan 6
yang mempredisposisikan individu mengalami skizofrenia (copel,
2007). Sedangkan Buchanan dan carpeter (2000) dalam dalam
stuart (2009) menyebutkan bahwa kromosom yang berperan dalam
menurunkan skizofrenia adalah kromosom6.sedangkan kromosom
lain yang juga berperan adalah kromosoni 4, 8, 15, dan 22,
cracdock et al (2006 dalam stuart, 2009). Penelitian lain juga
menemukan gen GAD 1 yang tanggung jawab memproduksi
GABA, dimana pada klien skizofrenia tidak dapat meningkat
secara normal sesuai perkembangan pada daerah frontal,dimana
bagian ini berfungsi dalam proses berfikir dan pengambilan
keputusan hung et al (2007) dalam stuart (2009).
Penelitian yang paling penting memusatkan pada penelitian
anak kembar yang menujukan anak kembar identik beresiko
mengalami skizofrenia sebesar 50% sedangkan pada kembar non
identik/fraternal beresiko 15% mengalami skizofrenia, angka ini
meningkat sampai 35% jika kedua orang tua biologis menderita
skizofrenia videback (2008) dalam stuart (2009) semua penelitian
ini menunjukan bahwa faktor genetic hanya sebagian kecil
penyebab terjadinya skizofrenia dan ternyata masih ada faktor lain
yang juga berperan sebagai faktor penyebab terjadinya skizofrenia.
2. Neuroanatomi
Keadaan patologis yang terjuadi pada lobus temporalis dan
frontalis berkorelasi dengan terjadinya tanda-tanda positif negative
dan skizofrenia. Copel (2007) menyebutkan bahwa tanda-tanda
positif skizofrenia.seperti psikosis disebabkan karena fungsi otak
yang abnormal pada lobus temporalis .sedangkankan tanda-tanda
negatif seperti tidak ada kemauan atau motivasi dan anhedonia
disebabkan oleh fungsi otak yang abnormal pada lobus frontalis.
Hal ini sesuai sadock dan sadock (2007 dalam towsen, 2009)
yang menyatakan bahwa fungsi utama lobus frontalis adalah
aktivasi motorik, intelektual, perencanaan konseptual, aspek
kepribadian, aspek produksi bahasa, sehingga apabila terjadinya
gangguan pada lobus frontalis, maka akan terjadi perubahan pada
aktivitas motorik, gangguan intelektual, perubahan kepribadian dan
juga emosi yang tidak stabil.sedangkan fungsi utama dan lobus
temporalis adalah pengaturan bahasa, ingatan dan juga emosi.
Sehingga gangguan yang terjadi pada kortek temporalis dan
nucleus-nukleus limbic yang berhubungan pada lobus temporalis
akan menyebabkan timbulnya gejala halusinasi.
3. Neurokimia
Penelitian di bidang neurotransmisi telah memperjelas hipotesis
disregulasi pada skizorfenia, gangguan terus menerus dalam satu
atau lebih neurotrasmiter dan neuromodulator mekanisme
pengaturan homeostatic menyebabkan neurotransmisi tidak stabil
atau tidak menentu.teori ini menyatakan bahwa area mesolimbik
overaktif terhadap dopamine,sedangkan apa area prefrontal
mengalami hipoaktif sehingga terjadio keseimbangan antara system
neurotransmitter dopamine dan serotonin serta yang lain (Stuart,
2009) pernyataan memberi arti bahwa neurotransmitter mempunyai
peranan yang penting menyebabkan terjadinya skizofrenia.
4. Imunovirologi
Sebuah penelitian untuk menerntukan “Virus Skizofrenia” telah
berlangsung (Torrey et al, 2007 Dalam et al, 2008). Bukti campuran
menunjukkan bahwa paparan prenatal terhadap virus influenza
terutama selama trimester pertama, mungkinn menjadi salah satu
faktor penyebab skizofren pada beberapa orang tetapi tidak pada
orang lain. Infeksi virus lebih sering terjadi pada tempat-tempat
keramaian dan musim dingin dan awal musim semi dan dapat
terjadi inutero atau pada anak usia dini pada beberapa orang yang
rentan (Stuart, 2009).
b. Faktor Psikologis
Awal terjadinya skizofren difokuskan pada hubungan dalam
keluarga yang mempengaruhi perkembangan gangguan ini, teori awal
menunjukkan kurangnya hubungan antara orang tua dan anak, serta
disfungsi system keluarga sebagai penyebab skizofren (Townsen,
2009). Penelitian lain menyebutkan beberapa dengan skizofren
menunjukkan selain kelainan halus yang meliputi perhatian,
koordinasi, kemampuan social, fungsin neuromotor dan respon
emosional jauh sebelum mereka menunjukkan gejala yang jelas dari
skizofren (Schiffman et al, 2004 dalam Stuart, 2009). Sinaga (2007)
menyebutkan bahwa lingkungan emosional yang tidak stabil
mempunyai resiko yang besar pada perkembangan skizofren, pada
masa kanak disfungsi situasi social seperti trauma masa kecil,
kekerasan, hostilitas dan hubungan interpersonal yang kurang hangat
diterima oleh anak sangat mempengaruhi perkembangan neurogikal
anak sehingga lebih rentan mengalami skizofrenia di kemudian hari.
c. Faktor Sosial Budaya
Faktor sosial kultural meliputi disfungsi dalam keluarga,
konflik keluarga. Masalah keluarga dapat menjadi pencetus terjadinya
skizofrenia, hal ini ditunjukan oleh penelitian yang mengatakan bahwa
skizofrenia ditemukan pada 24 responden (33.33%) yang hidup sendiri
dan 78 responden tidak mempunyai pendidikan ataupun keahlian
(91%). Hal ini menunjukan bahwa memang kehidudan perkawinan
dapat menjadi pencetus terjadinya skizofrenia jika terjadi akumulasi
masalah yang tidak dapat diselesaikan (Hawari,2001 dalam Corolina,
2008).
F. Presipitasi
Kondisi normal, otak mempunyai peranan penting dalam meregulasi
sejumlah informasi. Informasi normal diproses melalui aktifitas neoron.
Situmulus visual dan audiotory dideteksi dan di saring oleh kan pada kelien
skizoferinia terjadi mekanisme yang abnormal dalam memperoses informasi
adalah faktor kesehehatan, lingkungan, sikap dan perilaku individu (Stuart &
laria, 2005 dalam stuart, 2009 ).
Faktor pencetus halusinasi diakibatkan gangguan umpan balik diotak
yang mengatur jumlah dan waktu dalam peroses informasi. Stimuli
penglihatan dan pendengaran pada awal nya disaring oleh hipoyalamus dan
dikirim untuk diperoses oleh lobus frontal dan bila informasi yang
disampaikan terllu banyak pada suatu waktu atau jika informasi tersebut salah,
lobus frontal mengirimkan pesan operload ke ganglia basal dan diingatkan lagi
hipotalamus untuk memperlambat tranmisi kelobus frontal. Penurunan fungsi
lobus frontal menyebabkan ganguan pada peroses umpan balik dalam
penyampaian informasi yang menghasilkan peroses informasi overload
(Stuart, 2009). Setresor persipitasi yang lain adanya abnormal pada pintu
mekanisme pada klien skizofrenia, pintu mekanisme adalah peroses elektrik
yang melibatkan elektolit, hal ini memicu penghambatan saraf dan rangsang
aksi dan umpan balik yang terjadi pada sistem saraf. Penurunan pintu
mekanisme atau gating proses ini ditujukan dengan ketidakmampuan individu
dalam memilih sitimuli secara selektif (Stuart, 2009).
G. Rentang respon
Respon Adaptif Respon
Maladaptif
H. Pohon masalah
Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan. Akibat.
J. Mekanisme koping
Pada klien skizofrenia , klien berusaha untuk melindungi dirinya dalam
pengalaman yang disebabkan oleh penyakitnya . klien akan melakukan regresi
untuk mengatasi kecemasan yang dialaminya , melakukan proyeksi sebagai
usaha untuk menjelaskan persepsinya dan menarik diri yhang berhubungan
dengan masalah membangun kepercayaan dan keasyikan terhadap pengalaman
internal (Stuart, 2009).
3. Terminasi
a. Evaluasi respon klien terhadap tindakan keperawatan
1. Evaluasi klien/Subjektif
“Bagaimana perasaan ibu sekarang setelah melakukan latihan
tadi?” Bagus sekali, sekarang ibu sudah bisa melakukannya.
2. Evaluasi perawta/Objektif
“Apa yang Ibu R lakukan jika suara-suara itu muncul?” Nah,
lakukan terus ya bu kemampuan ibu ini saat suara-suara itu
muncul lagi.
b. Rencana tindak lanjut
“Sekarang, mari kita masukkan pada jadwal harian. Apa yang Ibu
R lakukan jika suara-suara itu muncul? Bagus. Beri tanda M
(mandiri) kalau dilakukan tanpa disuruh, B (bantuan) kalau
diingatkan baru dilakukan dan T (tidak) tidak melakukan”
c. Kontrak yang akan datang
Topik: “Bagaimana kalau kita bertemu lagi untuk belajar dan
latihan mengendalikan suara-suara dengan cara yang kedua, apakah
ibu setuju?”
Waktu: “Bagaimana kalau nanti siang bu? Oke baik bu. Kita
latihannya mau berapa lama bu? 15 menit cukup bu? Oh oke, 15
menit ya bu”
Tempat: “Dimana kita akan melakukan latihan nya bu? Diruangan
ini saja bagaimana menurut ibu?”
2. SP-2 pasien: Halusinasi Pertemuan Ke-2
A. Proses Keperawatan
1. Kondisi klien
Klien terlihat berbicara sendiri, mara-marah dan tertawa sendiri di
sudut kamarnya.
2. Diagnosis Keperawatan:
Gangguan Sensori Persepsi: Halusinasi Pendengaran
3. Tujuan
Klien mampu untuk mengenal Halusinasi, cara-cara mengontrol
Halusinasi dengan cara kedua yaitu berbincang-bincang dengan orang
lain.
4. Tindakan Keperawatan
a. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien
b. Melatih klien mengendalikan Halusinasi dengan cara berbincang-
bincang dengan orang lain.
c. Menganjurkan klien memasukkan ke dalam jadwal kegiatan harian
3. Terminasi
a. Evaluasi respon klien terhadap tindakan keperawatan
1. Evaluasi klien/subjektif
“Bagaimana perasaan ibu setelahkita berbincang-bincang
tentang cara yang ketiga untuk mencegah suara-suara? Bagus
sekali bu”
2. Evaluasi perawat/objektif
“Coba ibu sebutkan kembali cara-cara yang telah kita latih dari
kemarin bu?” Iya bagus sekali, ibu masih mengingat dan bisa
melakukannya”
b. Rencana tindak lanjut klien
“Mari kita masukkan ke dalam jadwal kegiatan harian ibu. Ibu
coba lakukan sesuai jadwal ya bu”
c. Kontrak yang akan datang
Topik: “Kita akan membahas cara minum obat yang baik serta
kegunaan obat”
Waktu: “Jam berapa ibu bersedia untuk berbincang-bincang bu?
Kalau 20 menit bagaimana menurut ibu?”
Tempat: “Dimana ibu mau kita berbicang-bincang? Bagaimana
kalau diruangan sana saja bu?”
“Proses terjadinya halusinasi adalah pada waktu klien lagi sendiri, dia
biasanya bicara sendiri, marah-marah dan juga tertawa sendiri”
B. Analisa Data
D. Intervensi Keperawatan
Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian
obat antipsikotik dan
antiansietas, jika perlu