Anda di halaman 1dari 20

UJIAN AKHIR SEMESTER

Nama : Muhammad Kennyzyra Bintang


NIM : 21914032
Mata Kuliah : Rekayasa Jalan Raya

Soal Bagian A:
Diketahui:
1. Data ruas jalan
a. Status Jalan : Jalan Nasional
b. Lokasi : Sumatera
c. Tipe Jalan : 4 lajur 2 arah
d. Umur Rencana : 20 tahun
e. CBR Desain : 4%
f. Faktor Pertumbuhan : 4,8%
g. Data Lalu Lintas dapat dilihat pada Tabel berikut.

Tabel 1. Data Lalu Lintas Eksisting


Golongan LHR Tahun LHR Tahun LHR Tahun
No. Jenis Kendaraan
Kendaraan 2019 2020 2021
1 Mobil, angkutan
2,3,4 3.518 12.332 6.526
umum, pick up, dll
2 Bus kecil 5a 12 131 21
3 Bus besar 5b 24 33 5
4 Truck 2 as (4 roda) 6a 284 1.506 372
5 Truck 2 as (6 roda) 6b 692 541 401
6 Truck 3 as 7a 1.354 659 572
7 Truck Gandeng 7b 162 2 2
8 Truck Trailer 4 as, 5
7c 72 18 12
as, dan 6 as
Jumlah 6118 15222 7911

h. Ketentuan lainnya :
Parameter lain yang dibutuhkan untuk desain namun belum tercantum pada
soal dapat diasumsikan sendiri dengan alasan dan keterangan yang jelas.

Ditanya:
1. Buatlah rancangan perkerasan dan gambarkan sketsa bagian pelebaran jalan
(perkerasan baru) dengan metode Bina Marga 2017.
2. Berdasar hasil rancangan tersebut (dengan BM 2017), buatlah análisis
tegangan regangan yang terjadi sampai terjadi kerusakan dengan menggunakan
software Kenpave.
3. Berdasar metode mekanistik empirik dengan menggunakan software Kenpave,
buatlah minimal 2 alternatif rancangan desain perkerasan sesuai beban dan
umur rencana sebelumnya (poin a).
4. Buatlah kajian/pembahasan dari hasil hasil

Jawaban:
1. Langkah-langkah pembuatan rancangan perkerasan dapat dilihat
sebagai berikut.
a. Menentukan faktor pengali pertumbuhan lalu lintas kumulatif (R)
Nilai faktor pengali pertumbuhan lalu lintas kumulatif (R) dapat dihitung
menggunakan persamaan berikut (Direktorat Jenderal Bina Marga, 2017).

Dengan nilai UR = 20 tahun dan i = 4,8% maka didapatkan nilai R =


20,091.
b. Menentukan faktor distribusi arah (DD)
Menurut Direktorat Jenderal Bina Marga (2017), nilai DD untuk jalan yang
memiliki 2 arah umumnya diambil 0,5. Maka nilai DD adalah 0,5.

Sumber: Direktorat Jenderal Bina Marga (2017)


c. Menentukan faktor distribusi lajur (DL)
Tabel Faktor Distribusi Lajur (DL)

Sumber: Direktorat Jenderal Bina Marga (2017)

Berdasarkan tabel di atas maka didapatkan nilai DL yaitu 80% atau 0,8
dikarenakan jalan yang dirancang memiliki 2 lajur di setiap arahnya.
d. Menentukan faktor Ekivalen Beban (Vehicle Damage Factor)
Nilai VDF untuk masing-masing jenis kendaraan dapat dilihat pada tabel
berikut.

Sumber: Direktorat Jenderal Bina Marga (2017)

Berdasarkan tabel di atas maka nilai VDF yang digunakan dapat dilihat
pada tabel di halaman selanjutnya.
Tabel 2 Nilai VDF yang digunakan
Golongan
Jenis Kendaraan VDF 4 VDF 5
Kendaraan
Mobil, angkutan
2,3,4 0 0
umum, pick up, dll
Bus kecil 5a 0,3 0,2
Bus besar 5b 1 1
Truck 2 as (4 roda) 6a 0,3 0,2
Truck 2 as (6 roda) 6b 0,7 0,7
Truck 3 as 7a 7,6 11,2
Truck Gandeng 7b 36,9 90,4
Truck Trailer 4 as,
7c 41,6 93,7
5 as, dan 6 as

e. Menghitung beban sumbu standar kumulatif


Beban sumbu standar kumulatif atau Cumulative Equivalent Single Axle
Load (CESAL) dapat dihitung menggunakan persamaan berikut
(Direktorat Jenderal Bina Marga, 2017).

Maka untuk contoh perhitungan digunakan jenis kendaraan bus kecil


sebagai berikut.
LHR 2021 = 21 kendaraan
LHR 2023 = 21 x (1+4,8%)2
= 24 kendaraan
ESA4 = LHR x VDF x 365 x DD x DL x R
= 24 x 0,3 x 365 x 0,5 x 0,8 x 20,091
= 21120,146
Rekapitulasi hasil perhitungan dapat dilihat pada Tabel di halaman
selanjutnya.
Tabel 3 Rekapitulasi Hasil Perhitungan ESA4 dan ESA5
Golongan
Jenis kendaraan LHR 2021 LHR 2023 VDF 4 VDF 5 ESA4 ESA5
Kendaraan
Mobil, angkutan
2,3,4 6526 7168 0 0 0 0
umum, pick up, dll
Bus kecil 5a 21 24 0.3 0.2 21120.146 14080.097
Bus besar 5b 5 6 1 1 17600.122 17600.122
Truck 2 as (4 roda) 6a 372 409 0.3 0.2 359922.490 239948.327
Truck 2 as (6 roda) 6b 401 441 0.7 0.7 905526.264 905526.264
Truck 3 as 7a 572 629 7.6 11.2 14022603.674 20664889.625
Truck Gandeng 7b 2 3 36.9 90.4 324722.246 795525.503
Truck Trailer 4 as,
7c 12 14 41.6 93.7 1708385.152 3847973.287
5 as, dan 6 as
Jumlah 17359880.09 26485543.23
Berdasarkan tabel di atas maka nilai ESA4 adalah 17359880.09 atau 17,360 x
106 dan nilai ESA5 adalah 26485543.23 atau 26,486 x 106.
f. Memilih Jenis Perkerasan
Pemilihan jenis pekerasan dapat dilakukan berdasarkan tabel berikut.

Sumber: Direktorat Jenderal Bina Marga (2017)

Berdasarkan poin sebelumnya, nilai ESA4 adalah 17,360 x 106 sehingga


dipilih struktur perkerasan dengan AC tebal ≥ 100 mm dengan lapis fondasi
berbutir (ESA pangkat 5, kontraktor besar dengan sumber daya yang
memadai, dan penentuan desain perkerasan lentur menggunakan Bagan
Desain 3B.
g. Menentukan Desain Fondasi Jalan Minimum
Desain fondasi jalan minimum dapat ditentukan berdasarkan bagan berikut.

Sumber: Direktorat Jenderal Bina Marga (2017)

Dengan nilai CBR sebesar 4% dan nilai ESA5 sebesar 26,486 x 106 maka
digunakan tebal minimum perbaikan tanah dasar sebesar 200 mm.
h. Menentukan Desain Perkerasan Lentur
Desain perkerasan lentur dapat ditentukan menggunakan Bagan Desain 3B
sebagai berikut.
Dengan nilai ESA5 sebesar 26,486 x 106 maka digunakan struktur
perkerasan tipe FFF6. Sketsa bagian perkerasan baru adalah sebagai
berikut.

Gambar 1 Desain Perkerasan Lentur Baru


Dengan informasi ketebalan setiap lapis sebagai berikut.

Tabel 4 Desain Perkerasan Lentur Baru


AC-WC 40 mm
AC-BC 60 mm
AC-BASE 160 mm
LPA KELAS A 300 mm
PERBAIKAN TANAH DASAR 200 mm

2. Buatlah analisis tegangan regangan yang terjadi sampai terjadi


kerusakan dengan menggunakan software Kenpave.
Analisis kerusakan desain perkerasan yang dibuat (dengan detail ketebalan
dapat dilihat pada Gambar 1 dan Tabel 4) dilakukan dengan menggunakan
software Kenpave. Sehingga didapatkan hasil sebagai berikut.

Tabel 5 Hasil Analisis Tegangan Regangan Menggunakan Software Kenpave


Horizontal Strain Vertikal Strain Vertikal Strain
No Koordinat
pada 25,995 cm pada 25,995 cm pada 56,005
1 1,186 x 10-4 1,750 x 10-4 1,700 x 10-4
2 1,065 x 10-4 1,837 x 10-4 1,763 x 10-4
3 9,778 x 10-5 1,842 x 10-4 1,774 x 10-4
Nilai Max 1,186 x 10-4 1,842 x 10-4 1,774 x 10-4

Keterangan:
a. Penggunaan kedalaman 25,995 cm merupakan dasar lapis perkerasan
b. Penggunaan kedalaman 56,005 cm merupakan dasar subgrade
Selanjutnya dilakukan analisis kerusakan berdasarkan jenis kerusakan fatigue
cracking, rutting, dan permanent deformation sebagai berikut.
a. Fatigue Cracking
Nf = 0,0796 x (ɛt)-3,921 |E|-0,854
= 0,0796 x (1,186 x 10-4)-3,921 |1600000|-0,854
= 991,079,600 ESAL
b. Rutting
Nr = f4 x (ɛc)-f5
= 1,365 x 10-9 x (1,842 x 10-4)-4,477
= 71,685,447 ESAL
c. Permanent Deformation
Nd = f4 x (ɛc)-f5
= 1,365 x 10-9 x (1,774 x 10-4)-4,477
= 84,833,486 ESAL
Maka dapat disimpulkan dengan penggunaan desain perkerasan seperti pada
Gambar 1 dan Tabel 4 didapatkan kerusakan yang lebih dahulu terjadi adalah
kerusakan berupa rutting dikarenakan nilai Nr < Nd dan Nf.
3. Berdasarkan metode mekanik empiric dengan menggunakan software
Kenpave, buatlah minimal 2 alternatif rancangan desain sesuai beban dan
umur rencana sebelumnya (poin a).
Berdasarkan Tabel 4, didapatkan nilai ESA4 yaitu 17,360 x 106 sehingga
berdasarkan tabel pemilihan jenis perkerasan, selain memilih bagan desain 3B
dapat dipilih bagan desain 3 sebagai alternatif 1.

Maka berdasarkan tabel di atas, digunakan bagan 3 sebagai alternatif desain 1.


Dengan nilai ESA5 sebesar 26,486 x 106 maka dipilih desain perkerasan tipe
F1 dengan detail sebagai berikut.

Tabel 6 Desain Perkerasan Lentur Baru alternatif 1


AC-WC 40 mm
AC-BC 60 mm
AC-BC atau AC BASE 75 mm
CTB 150 mm
LPA KELAS A 150 mm
PERBAIKAN TANAH DASAR 200 mm

Maka dengan software Kenpave didapatkan hasil sebagai berikut.

Tabel 7 Hasil Analisis Tegangan Regangan Menggunakan Software Kenpave


Alternatif 1
Horizontal Strain Vertikal Strain Vertikal Strain
No Koordinat
pada 17,495 cm pada 17,495 cm pada 47,505
1 9,089 x 10-5 1,354 x 10-4 1,722 x 10-4
2 2,865 x 10-5 1,340 x 10-4 1,806 x 10-4
3 3,328 x 10-6 1,289 x 10-4 1,821 x 10-4
Nilai Max 9,089 x 10-5 1,354 x 10-4 1,821 x 10-4
Keterangan:
a. Penggunaan kedalaman 17,495 cm merupakan dasar lapis perkerasan
b. Penggunaan kedalaman 47,505 cm merupakan dasar subgrade
Selanjutnya dilakukan analisis kerusakan berdasarkan jenis kerusakan fatigue
cracking, rutting, dan permanent deformation sebagai berikut.
a. Fatigue Cracking
Nf = 0,0796 x (ɛt)-3,921 |E|-0,854
= 0,0796 x (9,089 x 10-5)-3,921 |1600000|-0,854
= 2,813,539,139 ESAL
b. Rutting
Nr = f4 x (ɛc)-f5
= 1,365 x 10-9 x (1,354 x 10-4)-4,477
= 284,364,836 ESAL
c. Permanent Deformation
Nd = f4 x (ɛc)-f5
= 1,365 x 10-9 x (1,821 x 10-4)-4,477
= 75,461,429 ESAL
Maka dapat disimpulkan dengan penggunaan desain perkerasan seperti pada
Tabel 7 didapatkan kerusakan yang lebih dahulu terjadi adalah kerusakan
berupa permanent deformation dikarenakan nilai Nd < Nf dan Nr.
Selanjutnya dibuat alternatif 2 yaitu memakai bagan 3B tetapi dengan
ketebalan yang berbeda dan nilai ketebalan perbaikan tanah dasar yang
berbeda.
Dengan nilai ESA5 sebesar 26,486 x 106 maka dipilih desain perkerasan tipe
FFF7 dengan detail sebagai berikut.

Tabel 8 Desain Perkerasan Lentur Baru alternatif 2


AC-WC 40 mm
AC-BC 60 mm
AC-BASE 180 mm
LPA KELAS A 300 mm
PERBAIKAN TANAH DASAR 400 mm

Maka dengan software Kenpave didapatkan hasil sebagai berikut.

Tabel 9 Hasil Analisis Tegangan Regangan Menggunakan Software Kenpave


Alternatif 2
Horizontal Strain Vertikal Strain Vertikal Strain
No Koordinat
pada 27,995 cm pada 27,995 cm pada 58,005
1 1,071 x 10-4 1,565 x 10-4 1,554 x 10-4
2 1,007 x 10-4 1,648 x 10-4 1,609 x 10-4
3 9,477 x 10-5 1,656 x 10-4 1,618 x 10-4
Nilai Max 1,071 x 10-4 1,656 x 10-4 1,618 x 10-4
Keterangan:
a. Penggunaan kedalaman 27,995 cm merupakan dasar lapis perkerasan
b. Penggunaan kedalaman 58,005 cm merupakan dasar subgrade
Selanjutnya dilakukan analisis kerusakan berdasarkan jenis kerusakan fatigue
cracking, rutting, dan permanent deformation sebagai berikut.
a. Fatigue Cracking
Nf = 0,0796 x (ɛt)-3,921 |E|-0,854
= 0,0796 x (1,071 x 10-4)-3,921 |1600000|-0,854
= 1,478,393,646 ESAL
b. Rutting
Nr = f4 x (ɛc)-f5
= 1,365 x 10-9 x (1,656 x 10-4)-4,477
= 115,451,490 ESAL
c. Permanent Deformation
Nd = f4 x (ɛc)-f5
= 1,365 x 10-9 x (1,618 x 10-4)-4,477
= 128,096,077 ESAL
Maka dapat disimpulkan dengan penggunaan desain perkerasan seperti pada
Tabel 9 didapatkan kerusakan yang lebih dahulu terjadi adalah kerusakan
berupa rutting dikarenakan nilai Nr < Nf dan Nd.
4. Buatlah kajian/pembahasan dari hasil pekerjaan saudara pada poin a s/d
c perkaya dengan literatur yang relevan.
Setelah mendapatkan nilai Nf, Nr, dan Nd untuk masing-masing desain
perkerasan, maka dapat dilakukan tabulasi berdasarkan umur rencana yang
dapat dilihat pada Tabel 10 di halaman selanjutnya.
Tabel 10 Perbandingan Umur Rencana Setiap Desain Perkerasan
UR
Jenis Perkerasan
Nf Nr Nd
Perkerasan Asli 77,069 27,382 30,038
Alternatif 1 98,948 51,822 28,179
Alternatif 2 85,409 35,181 36,989
Min 77,069 27,382 28,179

Keterangan:
a. Detail lapis perkerasan asli dapat dilihat pada Tabel 4
b. Detail lapis perkerasan alternatif 1 dapat dilihat pada Tabel 6
c. Detail lapis perkerasan alternatif 2 dapat dilihat pada Tabel 8

Berdasarkan tabel 10, dapat disimpulkan bahwa pada desain perkerasan


menggunakan lapis berbutir, jenis kerusakan rutting lebih dahulu terjadi jika
dibandingkan dua kerusakan lainnya. Sedangkan untuk pemakaian desain
perkerasan menggunakan Cement Treated Base (CTB), kerusakan permanent
deformation lebih dahulu terjadi dibandingkan dua kerusakan lainnya. Selain
itu, jika dibandingkan antara jenis perkerasan berdasarkan jenis kerusakan,
fatigue cracking dan rutting lebih dahulu terjadi pada perkerasan dengan
perkerasan menggunakan lapis butir (dengan detail tebal setiap lapisan bisa
dilihat pada Tabel 4) yaitu pada tahun ke 77,069 dan tahun ke 27,382.
Sedangkan untuk kerusakan permanent deformation lebih dahulu terjadi pada
lapisan dengan pemakaian CTB yaitu pada tahun ke 28,179. Akan tetapi setiap
kerusakan terjadi di atas umur rencana yaitu di atas 20 tahun.
Jika ditinjau dari tebal lapisan antara desain perkerasan asli dan alternatif 2,
maka didapatkan kesimpulan semakin tebal lapis perkerasan maka nilai
horizontal strain dan vertical strain akan semakin kecil. Hal ini senada dengan
kesimpulan penelitian tentang studi pengaruh tebal lapis dan modulus
elastisitas terhadap respon struktur perkerasan lentur dan kapasitas beban
repetisi yang dilakukan oleh Suneth dan Kushari (2018). Suneth dan Kushari
Soal Bagian B:
I
PENDAHULUAN

Direktorat Jenderal Bina Marga (1997) menyatakan bahwa ruas jalan adalah
bagian atau penggalan jalan diantara dua simpul atau persimpangan sebidang atau
tidak sebidang, baik yang dilengkapi dengan alat pemberi isyarat lalu lintas maupun
tidak. Sedangkan Jalan menurut Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 Pasal 1
ayat 4 adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan,
termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu
lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah
permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api,
jalan lori, dan jalan kabel. Setiap ruas jalan memiliki jenis struktur perkerasan jalan.
Perkerasan jalan adalah konstruksi yang dibangun di atas lapisan tanah dasar
(subgrade), yang berfungsi untuk menopang beban lalu lintas. Pada umumnya
terdapat dua jenis struktur perkerasan jalan dengan salah satu jenis perkerasan
tersebut adalah perkerasan lentur. Perkerasan Lentur (Flexible Pavement)
merupakan perkerasan yang umumnya menggunakan bahan campuran beraspal
sebagai lapis permukaan serta bahan berbutir sebagai lapisan di bawahnya (Darlan,
2014).
Mahmudin dan Fauziah (2019) menyatakan bahwa telah dikembangkan
beberapa jenis lapis perkerasan dan metode untuk menghitung tebal lapis
perkerasan. Pengembangan ini bertujuan untuk meminimalisir terjadinya kerusakan
jalan. Kerusakan jalan menurut Winarto (2012, dalam Hardiani 2008) merupakan
perubahan bentuk permukaan jalan yang mengakibatkan penurunan kualitas layan
pada usia layannya sebagai akibat ketidak mampuan suatu komponen berfungsi
dengan baik. Selain itu, menurut Mahmudin dan Fauziah (2019) kerusakan jalan
juga dapat terjadi akibat perhitungan lapisan jalan yang kurang dari persyaratan.
Dalam perencanaan tebal perkerasan lentur terdapat beberapa peraturan yang
dipakai seperti Bina Marga (1987), Bina Marga (2013), Bina Marga (2017), dan
AASHTO (1993).
Menurut saya, dengan melakukan komparasi penggunaan metode yang
digunakan untuk merencanakan tebal perkerasan sangat bagus sehingga
kedepannya dapat ditemukan jenis perkerasan paling efektif dan ekonomis tetapi
dengan umur rencana yang paling lama.

II
PEMBAHASAN DAN DISKUSI

Mahmudin dan Fauziah (2019) melakukan penelitian mengenai analisis lapis


tebal perkerasan lentur dengan metode empiric dan metode mekanistik-empirik
dengan program KENPAVE pada ruas Jalan Imogiri Timur dan didapatkan hasil
pada perhitungan metode mekanistik-empiris tebal lapis perkerasan lentur
menggunakan program KENPAVE didapat tebal lapis permukaan atas Bina Marga
(1987) dan AASHTO (1993) dengan ketebalan ekstrem minimum sebesar 5 cm.
Sedangkan dengan menggunakan metode Bina Marga (2013) dan Bina Marga
(2017) dengan ketebalan ekstrem minimum sebesar 7 cm. Banyak kesamaan
Perhitungan menggunakan Bina Marga (2013) dan Bina Marga (2017), dikarenakan
Bina Marga (2013) dan Bina Marga (2017) sama-sama mempertimbangkan faktor
CESA4 untuk menentukan tebal perkerasan. Sedangkan Bina Marga (1987)
menggunakan faktor daya dukung tanah atau nilai CBR (%) untuk menentukan
tebal perkerasan dan untuk metode AASHTO (1993) mempertimbangkan nilai
Modulus Resilient (MR).
Sumarsono dan Gultom (2018) melakukan penelitian mengenai perbandingan
analisa perkerasan metode Bina Marga (2017) dan AASHTO (1993) pada ruas Jalan
Jatibarang dan didapatkan hasil berdasarkan hasil analisis perhitungan untuk
didapatkan nilai CESA pada setiap metode yaitu Bina Marga Revisi Juni 2017 dan
AASHTO 1993 diperoleh hasil yang berbeda cukup signifikan yaitu metode Bina
Marga Revisi Juni 2017 sebesar 151.479.002 dan AASHTO 1993 sebesar
53.641.295. Selain itu, Faktor yang mempengaruhi nilai CESA Bina Marga Revisi
Juni 2017 lebih besar dari AASHTO 1993 adalah nilai VDF, dimana nilai VDF
metode Bina Marga Revisi Juni 2017 disesuaikan dengan kondisi kendaraan yang
berada di Indonesia dengan melakukan Survei WIM (Weigh in Motion/pengukuran
berat sumbu kendaraan secara dinamis).
Aji dkk (2015) melakukan penelitian mengenai evaluasi struktural perkerasan
lentur menggunakan metode AASHTO (1993) dan metode Bina Marga (2013) pada
ruas Jalan Nasional Losari-Cirebon dan didapatkan hasil bahwa Proses perhitungan
modulus bahan tiap lapis perkerasan dari data lendutan FWD untuk metode
AASHTO 1993 dilakukan dengan cara iterasi manual dengan menggunakan data
lendutan d1 dan data lendutan d6. Sedangkan dalam metode Bina Marga 2013
dengan GMP-nya, keseluruhan data lendutan FWD akan terpakai didalam proses
backcalculation menggunakan program EVERCALC yang menghasilkan modulus
bahan setiap lapis perkerasan termasuk lapisan subgrade. Selain itu, dengan
perkembangan selanjutnya perhitungan analitis metode Bina Marga 2013 lebih baik
dibandingkan dengan metode AASHTO 1993, sehingga dapat menggantikan
penggunaan metode analitis-empiris AASHTO 1993 dengan peningkatan ketelitian
proses dan hasil analisis dan sesuai untuk kondisi yang ada di Indonesia dengan
beragam macam jenis lapis struktur perkerasan.
Sehingga berdasarkan hasil beberapa penelitian di atas, didapatkan bahwa
untuk setiap metode desain perkerasan memiliki faktor pertimbangan sendiri untuk
menentukan tebal perkerasan. Metode yang berbeda tersebut akan menghasilkan
tebal perkerasan yang berbeda. Selain itu, penggunaan peraturan dipertimbangkan
sesuai dengan kondisi di wilayah yang akan direncanakan dan sesuai dengan
perkembangan zaman.

III
SIMPULAN DAN REKOMENDASI

Berdasarkan bagian I dan III, maka didapatkan simpulan sebagai berikut.


1. Desain perkerasan diupayakan sesuai dengan standar agar dapat meminimalisir
kerusakan yang terjadi pada ruas jalan.
2. Dalam proses desain perkersan, berbeda metode yang digunakan akan
dipengaruhi faktor yang berbeda dan menghasilkan tebal lapisan yang berbeda.
3. Pemilihan pedoman metode yang digunakan disesuaikan dengan kondisi
wilayah tebal perkerasan akan didesain dan perkembangan zaman.
Rekomendasi yang dapat saya berikan adalah perlu dilakukan kajian lebih
dalam lagi mengenai perbandingan metode yang digunakan terhadap tebal lapis
perkerasan yang didesain karena adanya kaitan antara tebal lapis dengan kerusakan
jalan.

Paper yang digunakan:


Mahmudin, A and Fauziah, M. 2019. Analisis Lapis Tebal Perkerasan Lentur
Dengan Metode Empirik dan Metode Mekanistik-Empirik Dengan Program
KENPAVE Pada Ruas Jalan Imogiri Timur. Semnas BAPPEDA Provinsi
Jawa Tengah 2019. 310-317.

REFERENSI
Aji, A.H.F, Subagio, B.S., Hariyadi, E.S., and Weningtyas, W. 2015. Evaluasi
Struktural Perkerasan Lentur Menggunakan Metode AASHTO 1993 dan
Metode Bina Marga 2013 (Studi Kasus: Jalan Nasional Losari-Cirebon).
Jurnal Teknik Sipil, 2 (22), 147-164.

Darlan. 2014. Kontruksi Perkerasan Lentur (Flexible Pavement). Ditulis dalam


https://dpupr.grobogan.go.id/.
Direktorat Jenderal Bina Marga. 1997. Manual Kapasitas Jalan Indonesia. Penerbit
Bina Marga. Jakarta.
Hardiani, N. 2008. Kajian Perkerasan Jalan Lentur Akibat Beban Lalu Lintas
dengan Menggunakan Program HDM–III. Tugas Akhir. Jakarta. Fakultas
Teknik Universitas Indonesia.
Mahmudin, A and Fauziah, M. 2019. Analisis Lapis Tebal Perkerasan Lentur
Dengan Metode Empirik dan Metode Mekanistik-Empirik Dengan Program
KENPAVE Pada Ruas Jalan Imogiri Timur. Semnas BAPPEDA Provinsi
Jawa Tengah 2019. 310-317.
Sumarsono, S and Gultom, H.J.H. 2018. Perbandingan Analisa Perkerasan Metode
Bina Marga Revisi Juni 2017 dan AASHTO 1993 (Studi Kasus Pada
Pekerjaan Rencana Preservasi Ruas Jalan Jatibarang-Langut TA 2017).
Jurnal Teknik Sipil Itenas, 3 (4), 60-71.

Anda mungkin juga menyukai