Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

KOMUNIKASI EFEKTIF DALAM PRAKTIK KEBIDANAN

MODEL BANTUAN MENURUT HERONS’ DAN PATIENT SAFETY

Dosen Pengampu : Dian Purnamasari S.ST. M.Keb

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 03

Alda Dwi Febriariningsih : 202207104

Irwani : 202207120

Mawar Angraini : 202207127

Rizqi Aulia Putri Anju : 202207146

PROGRAM STUDI SARJANA KEBIDANAN + PROFESI

INSTITUT ILMU KESEHATAN PELAMONIA

TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. atas segala berkat
dan rahmat-Nya sehingga makalah “MODEL BANTUAN MENURUT
HERONS’ DAN PATIENT SAFETY” ini dapat tersusun tepat pada
waktunya. Tak lupa pula kami ucapkan terima kasih kepada ibu dosen
Dian Purnamasari, S.ST., M.Keb. selaku pengampu mata kuliah
“Komunikasi Efektif dalam Praktik Kebidanan” serta pihak-pihak yang telah
berkontribusi dengan memberikan sumbangsi baik pikiran maupun
materinya.

Kami sebagai penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat


menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami
berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca
serta diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Kami menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam


penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan
pengalaman kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan segala bentuk
kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan
makalah ini.

Makassar, 01 Maret 2023

Penyusun
DAFTAR ISI

MAKALAH ............................................................................................................ 1

KATA PENGANTAR ............................................................................................... 2

DAFTAR ISI ........................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................... 4

A. Latar Belakang .................................................................................... 4

B. Tujuan .................................................................................................. 4

C. Rumusan Masalah .............................................................................. 5

BAB II PEMBAHASAN............................................................................................ 6

A. Model Bantuan Menurut Heron’s : otoritatif dan fasilitatif ............... 6

B. Standar Patient Safety ........................................................................ 7

C. Sasaran Patient Safety ....................................................................... 9

D. Mendukung Konsep SBAR (Sitiation, Background, Assessment,


Recommendation) dan model reach (Respect, Empathy, Audible,
Clarity, Humble) sebagai strategi untuk meningkatkan komunikasi efektif
saat serah terima informasi pasien dalam meningkatkan patient safety18

E. Langkah-langkah Patient Safety Di Rumah Sakit .......................... 21

BAB III PENUTUP ................................................................................................ 26

A. Kesimpulan ........................................................................................ 26

B. Saran .................................................................................................. 27

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 28


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Model dalam teori kebidanan indonesia mengadopsi dari


beberapa model negara dengan berdasarkan dari beberapa teori
yang sudah ada disamping dari teori & model yang bersumber dari
masyarakat. Model asuhan kebidanandidasarkan pada kenyataan
bahwa kehamilan dan persalinan merupakan episodeyang normal
dalam siklus kehidupan wanita.Model kebidanan ini dapat dijadikan
tolak ukur bagi bidan dalammemberikan pelayanan kebidanan pada
klien sehingga akan terbina suatuhubungan saling percaya dalam
pelaksanaan askeb. Dengan ini diharapkan profesikebidanan dapat
memberikan sumbangan yang berarti dalam upaya
menurunkanangka kesakitan, trauma persalinan, kematian &
kejadian seksio sesaria pada persalinan. Manajemen kebidanan
adalah suatu metode/proses berfikir logissistematis.oleh karena itu
manajemen kebidanan merupakan alur fikir bagiseorang bidan
dalam memberikan arah / kerangka dalam menangani kasus
yangmenjadi tanggung jawabnya.Menjelaskan dasar-dasar
yangharus diperhatikan oleh bidandalam melaksanakan asuhan
kebidanan.

B. Tujuan

1. Untuk mengetahui model bantuan Heron’s : otoritatif dan


fasilitatif
2. Untuk mengetahui standar patient safety
3. Untuk mengetahui sasaran patient safety
4. Untuk mengetahui dan mendukung konsep SBAR dan model
reach sebagai strategi untuk meningkatkan komunikasi efektif
saat serah terima informasi pasien dalam meningkatkan patient
safety
5. Untuk mengetahui langkah-langkah patient safety dirumah sakit

C. Rumusan Masalah

1. Apa itu model bantuan Heron’s : otoritatif dan fasilitatif?


2. Apa itu standar patient safety?
3. Apa itu sasaran patient safety?
4. Apa itu mendukung konsep SBAR dan model reach sebagai
strategi untuk meningkatkan komunikasi efektif saat serah
terima informasi pasien dalam meningkatkan patient safety?
5. Bagaimana langkah-langkah patient safety dirumah sakit?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Model Bantuan Menurut Heron’s : otoritatif dan fasilitatif

1. Otoritatif berarti orang membantu (sering seorang


manajer/supervisor adalah memberikan informasi, menantang
orang lain atau menunjukkan apa yang orang lain harus
lakukan.
2. Fasilitatif berarti bahwa orang yang membantu adalah
menggambarkan ide - ide, solusi, kepercayaan diri, dsbnya dari
orang lain, membantu dia atau dia untuk mencapai solusi
sendiri atau keputusan.
Resmi intervensi
1) Preskriptif adalah anda secara eksplisit mengarahkan orang
anda membantu dengan memberikan saran dan arah
2) Informatif adalah anada memberikan informasi untuk mengajar
dan membimbing orang lain
3) Menghadapi adalah anda tantangan perilaku orang lain atau
sikap. Tidak menjadi bingung dengan konfrontasi yang agresif
menghadapi yang positif dan konstruktif. Ini membantu orang
lain mempertimbangkan perilaku dan sikap yang mereka
sebaliknya akan menyadari.
Fasilitatif intervensi
1) Katarsis adalah anda membantu orang lain untuk
mengekspresikan dan mengatasi pikiran atau emosi yang
mereka sebelumnya tidak dikonfrontasi.
2) Catalytic adalah anda menbantu orang lain mencerminkan,
menemukan dan belajar untuk dirinya sendiri, ini membantu dia
menjadi lebih mengarahkan diri sendiri dalam membuat
keputusan,memecahkan masalah dan sebagainya.
3) Mendukung adalah anda membangun kepercayaan dari orang
lain dengan berfokus pada mereka, kualitas, kompetensi dan
prestasi.

B. Standar Patient Safety

Menurut Supari tahun 2005, patient safety adalah bebas


dari cidera aksidental atau menghindarkan cidera pada pasien
akibat perawatan medis dan kesalahan pengobatan.
Patient safety (keselamatan pasien) rumah sakit adalah
suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih
aman. Hal ini termasuk : assesment resiko, identifikasi dan
pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien,
pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insident
dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan
timbulnya resiko. Sistem ini mencegah terjadinya cedera yang di
sebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau
tidak mengambil tindakan yang seharusnya dilakukan (DepKes RI,
2006).
The Institute of Medicine (IOM) mendefinisikan keselamatan
sebagai freedom from accidental injury. Keselamatan dinyatakan
sebagai ranah pertama dari mutu dan definisi dari keselamatan ini
merupakan pernyataan dari perspektif pasien (Kohn, dkk, 2000
dalam Sutanto, 2014). Pengertian lain menurut Hughes (2008)
dalam Sutanto (2014), menyatakan bahwa keselamatan pasien
merupakan pencegahan cedera terhadap pasien. Pencegahan
cedera didefinisikan sebagai bebas dari bahaya yang terjadi
dengan tidak sengaja atau dapat dicegah sebagai hasil perawatan
medis. Sedangkan praktek keselamatan pasien diartikan sebagai
menurunkan risiko kejadian yang tidak diinginkan yang
berhubungan dengan paparan terhadap lingkup diagnosis atau
kondisi perawatan medis.
Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit/
KKESELAMATAN PASIEN-RS (2008) mendefinisikan bahwa
keselamatan (safety) adalah bebas dari bahaya atau risiko
(hazard). Keselamatan pasien (patient safety) adalah pasien bebas
dari harm/ cedera yang tidak seharusnya terjadi atau bebas dari
harm yang potensial akan terjadi (penyakit, cedera fisik/ sosial/
psikologis, cacat, kematian dan lain-lain), terkait dengan pelayanan
kesehatan.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1691/
Menkes/ Per/ VIII/ 2011, keselamatan pasien rumah sakit adalah
suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih
aman yang meliputi asesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan
hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis
insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta
implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko dan
mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan
akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan
yang seharusnya diambil.
Insiden keselamatan pasien yang selanjutnya disebut
insiden adalah setiap kejadian yang tidak disengaja dan kondisi
yang mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan cedera yang
dapat dicegah pada pasien, terdiri dari Kejadian Tidak Diharapkan
dan Kejadian Nyaris Cedera. Kejadian Tidak Diharapkan,
selanjutnya disingkat KTD adalah insiden yang mengakibatkan
cedera pada pasien. Kejadian Nyaris Cedera, selanjutnya disingkat
disingkat KNC adalah terjadinya insiden yang belum sampai
terpapar ke pasien. Kejadian Tidak Cedera, selanjutnya disingkat
KTC adalah insiden yang sudah terpapar ke pasien, tetapi tidak
timbul cedera. Kondisi Potensial Cedera, selanjutnya disingkat KPC
adalah kondisi yang sangat berpotensi untuk menimbulkan cedera,
tetapi belum terjadi insiden. Kejadian sentinel adalah suatu KTD
yang mengakibatkan kematian atau cedera yang serius
(Permenkes Nomor 1691/ Menkes/ Per/ VIII/ 2011).

C. Sasaran Patient Safety

Dalam Permenkes 1691/ Menkes/ Per/ VIII/ 2011


menyatakan bahwa setiap rumah sakit wajib mengupayakan
pemenuhan Sasaran Keselamatan Pasien. Sasaran Keselamatan
Pasien meliputi tercapainya hal-hal sebagai berikut:
a. Ketepatan identifikasi pasien;
b. Peningkatan komunikasi yang efektif;
c. Peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai;
d. Kepastian tepat-lokasi, tepat-prosedur, tepat-pasien operasi;
e. Pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan; dan
f. Pengurangan risiko pasien jatuh.
Sasaran Keselamatan Pasien (SKP) merupakan syarat
untuk diterapkan di semua rumah sakit yang diakreditasi oleh
Komisi Akreditasi Rumah Sakit. Penyusunan sasaran ini mengacu
kepada Nine Life-Saving Patient Safety Solutions dari World Health
Organization (WHO) dalam Sutanto (2014) Patient Safety (2007)
yang digunakan juga oleh Komite Keselamatan Pasien Rumah
Sakit PERSI (KKP-RS, PERSI), dan dari Joint Commission
International (JCI). Maksud dari Sasaran Keselamatan Pasien
adalah mendorong perbaikan spesifik dalam keselamatan pasien.
Sasaran menyoroti bagian-bagian yang bermasalah dalam
pelayanan kesehatan dan menjelaskan bukti serta solusi dari
konsensus berbasis bukti dan keahlian atas permasalahan ini.
Diakui bahwa desain sistem yang baik secara intrinsik adalah untuk
memberikan pelayanan kesehatan yang aman dan bermutu tinggi,
sedapat mungkin sasaran secara umum difokuskan pada solusi-
solusi yang menyeluruh. Enam sasaran keselamatan pasien adalah
tercapainya hal-hal sebagai berikut:
1. Sasaran I : Ketepatan Identifikasi Pasien
Standar SKP I
Rumah sakit mengembangkan pendekatan untuk
memperbaiki untuk meningkatkan ketelitian identifikasi pasien.
Maksud dan Tujuan Sasaran I
Kesalahan karena keliru dalam mengidentifikasi pasien
dapat terjadi di hampir semua aspek/tahapan diagnosis dan
pengobatan. Kesalahan identifikasi pasien bisa terjadi pada
pasien yang dalam keadaan terbius/tersedasi, mengalami
disorientasi, tidak sadar, bertukar tempat tidur/kamar/ lokasi di
rumah sakit, adanya kelainan sensori, atau akibat situasi lain.
Maksud sasaran ini adalah untuk melakukan dua kali
pengecekan yaitu: pertama, untuk identifikasi pasien sebagai
individu yang akan menerima pelayanan atau pengobatan; dan
kedua, untuk kesesuaian pelayanan atau pengobatan terhadap
individu tersebut. Kebijakan dan/atau prosedur yang secara
kolaboratif dikembangkan untuk memperbaiki proses
identifikasi, khususnya pada proses untuk mengidentifikasi
pasien ketika pemberian obat, darah, atau produk darah;
pengambilan darah dan spesimen lain untuk pemeriksaan
klinis; atau pemberian pengobatan atau tindakan lain.
Kebijakan dan/atau prosedur memerlukan sedikitnya dua cara
untuk mengidentifikasi seorang pasien, seperti nama pasien,
nomor rekam medis, tanggal lahir, gelang identitas pasien
dengan bar-code, dan lain-lain. Nomor kamar pasien atau
lokasi tidak bisa digunakan untuk identifikasi. Kebijakan dan/
atau prosedur juga menjelaskan penggunaan dua identitas
berbeda di lokasi yang berbeda di rumah sakit, seperti di
pelayanan rawat jalan, unit gawat darurat, atau ruang operasi
termasuk identifikasi pada pasien koma tanpa identitas. Suatu
proses kolaboratif digunakan untuk mengembangkan kebijakan
dan/atau prosedur agar dapat memastikan semua
kemungkinan situasi untuk dapat diidentifikasi.
Elemen Penilaian Sasaran I
1. Pasien diidentifikasi menggunakan dua identitas pasien,
tidak boleh menggunakan nomor kamar atau lokasi
pasien.
2. Pasien diidentifikasi sebelum pemberian obat, darah,
atau produk darah.
3. Pasien diidentifikasi sebelum mengambil darah dan
spesimen lain untuk pemeriksaan klinis.
4. Pasien diidentifikasi sebelum pemberian pengobatan dan
tindakan/ prosedur.
5. Kebijakan dan prosedur mengarahkan pelaksanaan
identifikasi yang konsisten pada semua situasi dan lokasi.
2. Sasaran II : Peningkatan Komunikasi Yang Efektif
Standar SKP II
Rumah sakit mengembangkan pendekatan untuk
meningkatkan efektivitas komunikasi antar para pemberi
layanan.
Maksud dan Tujuan Sasaran II
Komunikasi efektif, yang tepat waktu, akurat, lengkap, jelas,
dan yang dipahami oleh pasien, akan mengurangi kesalahan,
dan menghasilkan peningkatan keselamatan pasien.
Komunikasi dapat berbentuk elektronik, lisan, atau tertulis.
Komunikasi yang mudah terjadi kesalahan kebanyakan terjadi
pada saat perintah diberikan secara lisan atau melalui telepon.
Komunikasi yang mudah terjadi kesalahan yang lain adalah
pelaporan kembali hasil pemeriksaan kritis, seperti melaporkan
hasil laboratorium klinik cito melalui telepon ke unit pelayanan.
Rumah sakit secara kolaboratif mengembangkan suatu
kebijakan dan/ atau prosedur untuk perintah lisan dan telepon
termasuk: mencatat (memasukkan ke komputer) perintah yang
lengkap atau hasil pemeriksaan oleh penerima perintah;
kemudian penerima perintah membacakan kembali (read back)
perintah atau hasil pemeriksaan; dan mengkonfirmasi bahwa
apa yang sudah dituliskan dan dibaca ulang adalah akurat.
Kebijakan dan/atau prosedur pengidentifikasian juga
menjelaskan bahwa diperbolehkan tidak melakukan
pembacaan kembali (read back) bila tidak memungkinkan
seperti di kamar operasi dan situasi gawat darurat di IGD atau
ICU.
Elemen Penilaian Sasaran II
1. Perintah lengkap secara lisan dan yang melalui telepon
atau hasil pemeriksaan dituliskan secara lengkap oleh
penerima perintah.
2. Perintah lengkap lisan dan telpon atau hasil pemeriksaan
dibacakan kembali secara lengkap oleh penerima perintah.
3. Perintah atau hasil pemeriksaan dikonfirmasi oleh pemberi
perintah atau yang menyampaikan hasil pemeriksaan.
4. Kebijakan dan prosedur mengarahkan pelaksanaan
verifikasi keakuratan komunikasi lisan atau melalui telepon
secara konsisten.
3. Sasaran III : Peningkatan Keamanan Obat yang Perlu
Diwaspadai (High-Alert)
Standar SKP III
Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk
memperbaiki keamanan obat-obat yang perlu diwaspadai (high-
alert).
Maksud dan Tujuan Sasaran III
Bila obat-obatan menjadi bagian dari rencana pengobatan
pasien, manajemen harus berperan secara kritis untuk
memastikan keselamatan pasien. Obat-obatan yang perlu
diwaspadai (high-alert medications) adalah obat yang sering
menyebabkan terjadi kesalahan/kesalahan serius (sentinel
event), obat yang berisiko tinggi menyebabkan dampak yang
tidak diinginkan (adverse outcome) seperti obat-obat yang
terlihat mirip dan kedengarannya mirip (Nama Obat Rupa dan
Ucapan Mirip/NORUM, atau Look Alike Soun Alike/LASA).
Obat-obatan yang sering disebutkan dalam isu keselamatan
pasien adalah pemberian elektrolit konsentrat secara tidak
sengaja (misalnya, kalium klorida 2meq/ml atau yang lebih
pekat, kalium fosfat, natrium klorida lebih pekat dari 0.9%, dan
magnesium sulfat =50% atau lebih pekat). Kesalahan ini bisa
terjadi bila perawat tidak mendapatkan orientasi dengan baik di
unit pelayanan pasien, atau bila perawat kontrak tidak
diorientasikan terlebih dahulu sebelum ditugaskan, atau pada
keadaan gawat darurat. Cara yang paling efektif untuk
mengurangi atau mengeliminasi kejadian tersebut adalah
dengan meningkatkan proses pengelolaan obat-obat yang perlu
diwaspadai termasuk memindahkan elektrolit konsentrat dari
unit pelayanan pasien ke farmasi.
Rumah sakit secara kolaboratif mengembangkan suatu
kebijakan dan/atau prosedur untuk membuat daftar obat-obat
yang perlu diwaspadai berdasarkan data yang ada di rumah
sakit. Kebijakan dan/atau prosedur juga mengidentifikasi area
mana saja yang membutuhkan elektrolit konsentrat, seperti di
IGD atau kamar operasi, serta pemberian label secara benar
pada elektrolit dan bagaimana penyimpanannya di area
tersebut, sehingga membatasi akses, untuk mencegah
pemberian yang tidak sengaja/kurang hati-hati.
Elemen Penilaian Sasaran III
1. Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan agar
memuat proses identifikasi, menetapkan lokasi,
pemberian label, dan penyimpanan elektrolit konsentrat.
2. Implementasi kebijakan dan prosedur.
3. Elektrolit konsentrat tidak berada di unit pelayanan
pasien kecuali jika dibutuhkan secara klinis dan tindakan
diambil untuk mencegah pemberian yang kurang hati-
hati di area tersebut sesuai kebijakan.
4. Elektrolit konsentrat yang disimpan pada unit pelayanan
pasien harus diberi label yang jelas, dan disimpan pada
area yang dibatasi ketat (restricted).
4. Sasaran IV : Kepastian Tepat-Lokasi, Tepat-Prosedur, Tepat-
Pasien Operasi
Standar SKP IV
Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk
memastikan tepat-lokasi, tepat-prosedur, dan tepat- pasien.
Maksud dan Tujuan Sasaran IV, Salah-lokasi, salah-prosedur,
salah-pasien pada operasi, adalah sesuatu yang
mengkhawatirkan dan tidak jarang terjadi di rumah sakit.
Kesalahan ini adalah akibat dari komunikasi yang tidak efektif
atau yang tidak adekuat antara anggota tim bedah, kurang/tidak
melibatkan pasien di dalam penandaan lokasi (site marking),
dan tidak ada prosedur untuk verifikasi lokasi operasi. Di
samping itu, asesmen pasien yang tidak adekuat, penelaahan
ulang catatan medis tidak adekuat, budaya yang tidak
mendukung komunikasi terbuka antar anggota tim bedah,
permasalahan yang berhubungan dengan tulisan tangan yang
tidak terbaca (illegible handwritting) dan pemakaian singkatan
adalah faktor-faktor kontribusi yang sering terjadi.
Rumah sakit perlu untuk secara kolaboratif mengembangkan
suatu kebijakan dan/atau prosedur yang efektif di dalam
mengeliminasi masalah yang mengkhawatirkan ini. Digunakan
juga praktek berbasis bukti, seperti yang digambarkan di
Surgical Safety Checklist dari WHO Patient Safety (2009), juga
di The Joint Commission’s Universal Protocol for Preventing
Wrong Site, Wrong Procedure, Wrong Person Surgery.
Penandaan lokasi operasi perlu melibatkan pasien dan
dilakukan atas satu pada tanda yang dapat dikenali. Tanda itu
harus digunakan secara konsisten di rumah sakit dan harus
dibuat oleh operator/orang yang akan melakukan tindakan,
dilaksanakan saat pasien terjaga dan sadar jika
memungkinkan, dan harus terlihat sampai saat akan disayat.
Penandaan lokasi operasi dilakukan pada semua kasus
termasuk sisi (laterality), multipel struktur (jari tangan, jari kaki,
lesi) atau multipel level (tulang belakang). Maksud proses
verifikasi praoperatif adalah untuk:
a). memverifikasi lokasi, prosedur, dan pasien yang benar;
b). memastikan bahwa semua dokumen, foto (imaging),
hasil pemeriksaan yang relevan tersedia, diberi label
dengan baik, dan dipampang; dan
c). melakukan verifikasi ketersediaan peralatan khusus dan/
atau implant- implant yang dibutuhkan.
Tahap “Sebelum insisi” (Time out) memungkinkan semua
pertanyaan atau kekeliruan diselesaikan. Time out dilakukan di
tempat, dimana tindakan akan dilakukan, tepat sebelum
tindakan dimulai, dan melibatkan seluruh tim operasi. Rumah
sakit menetapkan bagaimana proses itu didokumentasikan
secara ringkas, misalnya menggunakan checklist.
Elemen Penilaian Sasaran IV
1. Rumah sakit menggunakan suatu tanda yang jelas dan
dimengerti untuk identifikasi lokasi operasi dan melibatkan
pasien di dalam proses penandaan.
2. Rumah sakit menggunakan suatu checklist atau proses lain
untuk memverifikasi saat preoperasi tepat lokasi, tepat
prosedur, dan tepat pasien dan semua dokumen serta
peralatan yang diperlukan tersedia, tepat, dan fungsional.
3. Tim operasi yang lengkap menerapkan dan mencatat
prosedur “sebelum insisi/time-out” tepat sebelum
dimulainya suatu prosedur/tindakan pembedahan.
4. Kebijakan dan prosedur dikembangkan untuk mendukung
proses yang seragam untuk memastikan tepat lokasi, tepat
prosedur, dan tepat pasien, termasuk prosedur medis dan
dental yang dilaksanakan di luar kamar operasi.
5. Sasaran V : Pengurangan Risiko Infeksi Terkait Pelayanan
Kesehatan
Standar SKP V
Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk
mengurangi risiko infeksi yang terkait pelayanan kesehatan.
Maksud dan Tujuan Sasaran V
Pencegahan dan pengendalian infeksi merupakan tantangan
terbesar dalam tatanan pelayanan kesehatan, dan peningkatan
biaya untuk mengatasi infeksi yang berhubungan dengan
pelayanan kesehatan merupakan keprihatinan besar bagi
pasien maupun para profesional pelayanan kesehatan. Infeksi
biasanya dijumpai dalam semua bentuk pelayanan kesehatan
termasuk infeksi saluran kemih, infeksi pada aliran darah (blood
stream infections) dan pneumonia (sering kali dihubungkan
dengan ventilasi mekanis).
Pusat dari eliminasi infeksi ini maupun infeksi-infeksi lain
adalah cuci tangan (hand hygiene) yang tepat. Pedoman hand
hygiene bisa dibaca kepustakaan WHO, dan berbagai
organisasi nasional dan internasional. Rumah sakit mempunyai
proses kolaboratif untuk mengembangkan kebijakan dan/ atau
prosedur yang menyesuaikan atau mengadopsi petunjuk hand
hygiene yang diterima secara umum dan untuk implementasi
petunjuk itu di rumah sakit.
Elemen Penilaian Sasaran V
1. Rumah sakit mengadopsi atau mengadaptasi pedoman
hand hygiene terbaru yang diterbitkan dan sudah diterima
secara umum (al.dari WHO Patient Safety).
2. Rumah sakit menerapkan program hand hygiene yang
efektif.
3. Kebijakan dan/ atau prosedur dikembangkan untuk
mengarahkan pengurangan secara berkelanjutan risiko dari
infeksi yang terkait pelayanan kesehatan.
6. Sasaran VI : Pengurangan Risiko Pasien Jatuh
Standar SKP VI
Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk
mengurangi risiko pasien dari cedera karena jatuh.
Maksud dan Tujuan Sasaran VI
Jumlah kasus jatuh cukup bermakna sebagai penyebab
cedera bagi pasien rawat inap. Dalam konteks
populasi/masyarakat yang dilayani, pelayanan yang disediakan,
dan fasilitasnya, rumah sakit perlu mengevaluasi risiko pasien
jatuh dan mengambil tindakan untuk mengurangi risiko cedera
bila sampai jatuh. Evaluasi bisa termasuk riwayat jatuh, obat
dan telaah terhadap konsumsi alkohol, gaya jalan dan
keseimbangan, serta alat bantu berjalan yang digunakan oleh
pasien. Program tersebut harus diterapkan rumah sakit.
Elemen Penilaian Sasaran VI
1. Rumah sakit menerapkan proses asesmen awal atas pasien
terhadap risiko jatuh dan melakukan asesmen ulang pasien
bila diindikasikan terjadi perubahan kondisi atau
pengobatan, dan lain-lain.
2. Langkah-langkah diterapkan untuk mengurangi risiko jatuh
bagi mereka yang pada hasil asesmen dianggap berisiko
jatuh.
3. Langkah-langkah dimonitor hasilnya, baik keberhasilan
pengurangan cedera akibat jatuh dan dampak dari kejadian
tidak diharapkan.
4. Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan untuk
mengarahkan pengurangan berkelanjutan risiko pasien
cedera akibat jatuh di rumah sakit.

D. Mendukung Konsep SBAR (Sitiation, Background, Assessment,


Recommendation) dan model reach (Respect, Empathy, Audible,
Clarity, Humble) sebagai strategi untuk meningkatkan komunikasi
efektif saat serah terima informasi pasien dalam meningkatkan
patient safety

Komunikasi efektif menggunakan komunikasi SBAR adalah


kerangka yang mudah diingat, mekanisme nyata yang digunakan
untuk menyampaikan kondisi pasien yang kritis atau perlu perhatian
dan tindakan segera.
1. Situation mengandung komponen tentang identitas pasien,
masalah saat ini, dan hasil diagnosa medis.
2. Backround menggambarkan riwayat penyakit atau situasi yang
mendukung masalah/situasi saat ini.
3. Assesment merupakan kesimpulan masalah yang sedang
terjadi pada pasien sebagai hasil analisa terhadap situasion
dan Background.
4. Recommendation adalah rencana ataupun usulan yang akan
dilakukan untuk permasalahan yang ada (Sukesih & Istanti,
2015). Proses komunikasi SBAR terbukti telah menjadi alat
komunikasi yang efektif dalam pengaturan perawatan akut
untuk tingkatan komunikasi yang urgen, terutama antara dokter
dan perawat, namun masih sedikit yang diketahui dari efektifitas
dalam pengaturan tentang hal ini.
Komunikasi yang efektif merupakan kunci bagi staf untuk
mencapai keselamatan pasien berdasarkan standar
keselamatan pasien di rumah sakit. Komunikasi yang tidak
efektif adalah hal yang paling sering disebutkan sebagai
penyebab dalam beberapa kasus yang ada di rumah sakit.
Komunikasi harus tepat pada waktunya, akurat, komplit tidak
rancu dan dimengerti oleh penerima.. Berdasarkan latar
belakang diatas dapat dirumuskan masalah dalam kajian ini
yaitu bagaimana penggunaan komunikasi SBAR menuju
keselamatan pasien.
1. Respect
Hukum pertama dalam mengembangkan komunikasi
yang efektif adalah sikap menghargai setiap indiidu yang
menjadi sasaran pesan yang disampaikan. Rasa hormat
dan saling menghargai merupakan hokum pertama dalam
berkomunikasi. Ingatlah, pada prinsipnya manusia ingin
dihargai dan dianggap penting. Jika harus mengkritik atau
memarahi seseorang, lakukan dengan penuh respek
terhadap harga diri dan kebanggaan seseorang. Jika kita
membangun komunikasi dengan rasa dan sikap saling
menghargai dan menghormati, maka kita dapat
membangun kerjasama yang menghasilkan sinergi yang
akan meningkatkan efektifitas kinerja kita baik sebagai
individu maupun secara keseluruhan sebagai sebuah tim.
2. Empathy
Empati adalah kemampuan untuk menempatkan diri
kita pada situasi atau kondisi yang dihadapi oleh orang lain.
Salah satu prasyarat utama dalam memiliki sikap empati
adalah kemampuan kita untuk mendengarkan atau
mengerti terlebih dulu sebelum didengarkan atau
dimengerti oleh orang lain. Secara khusus Covey menaruh
kemampuan untuk mendengarkan sebagai salah satu dari 7
kebiasaan manusia yang sangat efektif, yaitu kebiasaan
untuk mengerti terlebih dahulu, baru dimengerti (Seek First
to Understand-Understand then be understood to build the
skills of empathetic listening that inspires openness and
trust). Inilah yang disebutnya dengan komunikasi empatik.
Dengan memahami dan mendengar orang lain terlebih
dahulu, kita dapat membangun keterbukaan dan
kepercayaan yang kita perlukan dalam membangun
kerjasama atau sinergi dengan orang lain.
3. Audible
Makna dari audible adalah dapat didengarkan atau
dimengerti dengan baik. Jika empati berarti kita harus
mendengar terlebih dahulu ataupun mampu menerima
umpan balik dengan baik, maka audible berarti pesan yang
kita sampaikan dapat diterima oleh penerima pesan.
Hukum ini mengatakan bahwa pesan harus disampaikan
melalui media atau delivery channel sedemikian rupa
sehingga dapat diterima dengan baik oleh penerima pesan.
Hukum ini mengacu pada kemampuan kita untuk
menggunakan berbagai media maupun perlengkapan atau
alat bantu audio visual yang akan membantu kita agar
pesan yang kita sampaikan dapat diterima dengan baik.
Dalam komunikasi personal hal ini berarti bahwa pesan
disampaikan dengan cara atau sikap yang dapat diterima
oleh penerima pesan.
4. Clarity
Selain bahwa pesan harus dapat dimengerti
dengan baik, maka hokum keempat yang terkait dengan itu
adalah kejelasan (clarity) dari pesan itu sendiri sehingga
tidak menimbulkan multi interpretasi atau berbagai
penafsiran akan membawa dampak yang tidak sederhana.
Clarity dapat pula berarti keterbukaan atau trnasparansi.
Dalam berkomunikasi kita perlu mengembangkan sikap
terbuka (tidak ada yang ditutupi atau disembunyikan)
sehingga dapat menimbulkan rasa percaya (trust) dari
penerima pesan atau anggota tim kita. Karena tanpa
keterbukaan akan timbul sikap saling curiga dan pada
gilirannya akan menurunkan semangat dan antusiasme
kelompok atau tim kita harus mendengar terlebih dahulu
ataupun mampu menerima umpan balik dengan baik, maka
audible berarti pesan yang kita sampaikan dapat diterima
oleh penerima pesan. Hukum ini mengatakan bahwa pesan
harus disampaikan melalui media atau delivery channel
sedemikian rupa sehingga dapat diterima dengan baik oleh
penerima pesan. Hukum ini mengacu pada kemampuan
kita untuk menggunakan berbagai media maupun
perlengkapan atau alat bantu audio visual yang akan
membantu kita agar pesan yang kita sampaikan dapat
diterima dengan baik. Dalam komunikasi personal hal ini
berarti bahwa pesan disampaikan dengan cara atau sikap
yang dapat diterima oleh penerima pesan.

E. Langkah-langkah Patient Safety Di Rumah Sakit

1. Di Rumah Sakit
a. Rumah sakit agar membentuk Tim Keselamatan Pasien
Rumah Sakit, dengan susunan organisasi sebagai berikut :
Ketua : dokter, Anggota : dokter, dokter gigi, perawat,
tenaga kefarmasian dan tenaga kesehatan lainnya
b. Rumah sakit agar mengembangkan sistem informasi
pencatatan dan pelaporan internal tentang insiden
c. Rumah sakit agar melakukan pelaporan insiden ke Komite
Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) secara rahasia
d. Rumah sakit agar memenuhi standar keselamatan pasien
rumah sakit dan menerapkan tujuh langkah menuju
keselamatan pasien rumah sakit.
e. Rumah sakit pendidikan mengembangkan standar
pelayanan medis berdasarkan hasil dari analisis akar
masalah dan sebagai tempat pelatihan standar-standar
yang baru dikembangkan.
2. Di Propinsi/Kabupaten/kota
a. Melakukan advokasi program keselamatan pasien ke
rumah sakit - rumah sakit di wilayahnya
b. Melakukan advokasi ke pemerintah daerah agar
tersedianya dukungan anggaran terkait dengan program
keselamatan pasien rumah sakit
c. Melakukan pembinaan pelaksanaan program keselamatan
pasien rumah sakit.
3. Di Pusat
a. Membentuk Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit
dibawah Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia.
b. Menyusun panduan nasional tentang Keselamatan Pasien
Rumah Sakit.
c. Melakukan sosialisasi dan advokasi program keselamatan
pasien ke Dinas Kesehatan Propinsi/Kabupaten/Kota,
PERSI Daerah dan rumah sakit pendidikan dengan jejaring
pendidikan
d. Mengembangkan laboratorium uji coba program
keselamatan pasien.
Selain itu, menurut Hasting G, 2006, ada delapan langkah yang
bisa dilakukan untuk mengembangkan budaya Patient safety ini,
yaitu:
1. Put the focus back on safety
Setiap staf yang bekerja di RS pasti ingin memberikan yang
terbaik dan teraman untuk pasien. Tetapi supaya keselamatan
pasien ini bisa dikembangkan dan semua staf merasa
mendapatkan dukungan, patient safety ini harus menjadi
prioritas strategis dari rumah sakit atau unit pelayanan
kesehatan lainnya. Empat CEO RS yang terlibat dalam safer
patient initiatives di Inggris mengatakan bahwa tanggung jawab
untuk keselamatan pasien tidak bisa didelegasikan dan mereka
memegang peran kunci dalam membangun dan
mempertahankan fokus patient safety di dalam RS.
2. Think small and make the right thing easy to do
Memberikan pelayanan kesehatan yang aman bagi pasien
mungkin membutuhkan langkah-langkah yang agak kompleks.
Tetapi dengan memecah kompleksitas ini dan membuat
langkah-langkah yang lebih mudah mungkin akan memberikan
peningkatan yang lebih nyata.
3. Encourage open reporting
Belajar dari pengalaman, meskipun itu sesuatu yang salah
adalah pengalaman yang berharga. Koordinator patient safety
dan manajer RS harus membuat budaya yang mendorong
pelaporan. Mencatat tindakan-tindakan yang membahayakan
pasien sama pentingnya dengan mencatat tindakan-tindakan
yang menyelamatkan pasien. Diskusi terbuka mengenai insiden-
insiden yang terjadi bisa menjadi pembelajaran bagi semua staf.
4. Make data capture a priority
Dibutuhkan sistem pencatatan data yang lebih baik untuk
mempelajari dan mengikuti perkembangan kualitas dari waktu
ke waktu. Misalnya saja data mortalitas. Dengan perubahan
data mortalitas dari tahun ke tahun, klinisi dan manajer bisa
melihat bagaimana manfaat dari penerapan patient safety.
5. Use systems-wide approaches
Keselamatan pasien tidak bisa menjadi tanggung jawab
individual. Pengembangan hanya bisa terjadi jika ada sistem
pendukung yang adekuat. Staf juga harus dilatih dan didorong
untuk melakukan peningkatan kualitas pelayanan dan
keselamatan terhadap pasien. Tetapi jika pendekatan patient
safety tidak diintegrasikan secara utuh kedalam sistem yang
berlaku di RS, maka peningkatan yang terjadi hanya akan
bersifat sementara.
6. Build implementation knowledge
Staf juga membutuhkan motivasi dan dukungan untuk
mengembangkan metodologi, sistem berfikir, dan implementasi
program. Pemimpin sebagai pengarah jalannya program disini
memegang peranan kunci. Di Inggris, pengembangan mutu
pelayanan kesehatan dan keselamatan pasien sudah
dimasukkan ke dalam kurikulum kedokteran dan keperawatan,
sehingga diharapkan sesudah lulus kedua hal ini sudah menjadi
bagian dalam budaya kerja.
7. Involve patients in safety efforts
Keterlibatan pasien dalam pengembangan patient safety terbukti
dapat memberikan pengaruh yang positif. Perannya saat ini
mungkin masih kecil, tetapi akan terus berkembang.
Dimasukkannya perwakilan masyarakat umum dalam komite
keselamatan pasien adalah salah satu bentuk kontribusi aktif
dari masyarakat (pasien). Secara sederhana pasien bisa
diarahkan untuk menjawab ketiga pertanyaan berikut: apa
masalahnya? Apa yang bisa kubantu? Apa yang tidak boleh
kukerjakan?
8. Develop top-class patient safety leaders
Prioritisasi keselamatan pasien, pembangunan sistem untuk
pengumpulan data-data berkualitas tinggi, mendorong budaya
tidak saling menyalahkan, memotivasi staf, dan melibatkan
pasien dalam lingkungan kerja bukanlah sesuatu hal yang bisa
tercapai dalam semalam. Diperlukan kepemimpinan yang kuat,
tim yang kompak, serta dedikasi dan komitmen yang tinggi
untuk tercapainya tujuan pengembangan budaya patient safety.
Seringkali RS harus bekerja dengan konsultan leadership untuk
mengembangkan kerjasama tim dan keterampilan komunikasi
staf. Dengan kepemimpinan yang baik, masing-masing anggota
tim dengan berbagai peran yang berbeda bisa saling
melengkapi dengan anggota tim lainnya melalui kolaborasi yang
erat.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Model dalam teori kebidanan indonesia mengadopsi dari


beberapa model negara dengan berdasarkan dari beberapa teori
yang sudah ada disamping dari teori & model yang bersumber dari
masyarakat. Model asuhan kebidanandidasarkan pada kenyataan
bahwa kehamilan dan persalinan merupakan episodeyang normal
dalam siklus kehidupan wanita
Patient safety (keselamatan pasien) rumah sakit adalah
suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih
aman. Hal ini termasuk : assesment resiko, identifikasi dan
pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien,
pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insident
dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan
timbulnya resiko. Sistem ini mencegah terjadinya cedera yang di
sebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau
tidak mengambil tindakan yang seharusnya dilakukan (DepKes RI,
2006).
Sasaran Keselamatan Pasien (SKP) merupakan syarat
untuk diterapkan di semua rumah sakit yang diakreditasi oleh
Komisi Akreditasi Rumah Sakit. Penyusunan sasaran ini mengacu
kepada Nine Life-Saving Patient Safety Solutions dari World Health
Organization (WHO) dalam Sutanto (2014) Patient Safety (2007)
yang digunakan juga oleh Komite Keselamatan Pasien Rumah
Sakit PERSI (KKP-RS, PERSI), dan dari Joint Commission
International (JCI).
B. Saran

Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu


kritik dan saran dari pembaca sifatnya membangun sangat kami
harapkan demi perbaikan makalah ini kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA

Diah Arrum, S. M. (2019). Pengetahuan Tentang Kesehatan Dalam


Sasaran Keselamatan Pasien Di Rumah Sakit. Idea Nursing
Journal , 1-6.

Ismainar, H. (2015). Keselamatan Pasien Di Rumah Sakit. Sleman:


Deepublish.

Siregar, R. A. (2018). Hubungan Perawat dan Pasien: Implementasi


Standar Keselamatan Pasien. 295-304.

Syifah Sakinah, P. A. (2017). Analisis Sasaran Keselamatan Pasien Dilihat


dari Aspek Pelaksanaan Identifikasi Pasien Dan Keamanan.
Journal Kesehatan Masyarakat , 145-152.

Anda mungkin juga menyukai