Makalah Pendidikan Anti Korupsi
Makalah Pendidikan Anti Korupsi
NAMA KELOMPOK 1
1. AHMAD HARIYANTO
2. MUSMULIADI
3. KURNIAWAN
DOSEN PENGAMPU :
M. ZAINUL HAFIZI S.Pd., M.Pd
Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT ysng telsh melimpahkan rahmat-NYA,
sehingga kami dapat menyelesaikan pembuatan makalah sejarah korupsi di Indonesia yang
diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Anti Korupsi.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, kritik san saran
dari semua pihak sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah
sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya makalah yang
telah disusun ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Akhir kata kami sampaikan terimakasih kami ucapkan kepada dosen pembimbing
mata kuliah dan kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam pembuatan makalah ini
dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridahi usaha kita semua.
Kelompok 1
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.............................................................................................................................. 3
BAB I ......................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 4
BAB II........................................................................................................................................ 6
PEMBAHASAN ........................................................................................................................ 6
PENUTUP................................................................................................................................ 13
KESIMPULAN ........................................................................................................................ 13
PENDAHULUAN
Korupsi merupakan masalah serius yang harus dihadapi oleh bangsa Indonesia.
Masih banyak orang yang sadar bahwa korupsi itu merupakan tindakan menyimpang. Oleh
karena itu, orang-orang tersebut harus dibekali dengan ilmu dan nilai-nilai yang baik agar
terhindar dari tindakan menyimpang. Sebagai bangsa Indonesia, nilai-nilai yang baik tersebut
berasal dari 5 sila Pancasila. Pancasila merupakan dasar negara Indonesia yang menjadi
panutan setiap bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia yang sebenarnya adalah bangsa Indonesia
yang tidak hanya memahami nilai-nilai dari Pancasila, namun dapat
mengimplementasikannya ke dalam kehidupan sehari-hari. Sebesar apapun masalah yang
menimpa tanah ibu pertiwi ini, haruslah dihadapi dengan rasa kesatuan dan persatuan agar
bangsa ini tidak terpecah belah dan menjadi bangsa yang satu. Nilai-nilai Pancasila haruslah
dipegang teguh oleh setiap bangsa Indonesia. Layaknya kitab suci, nilai-nilai tersebut jika
dimaknai dengan baik akan menuntun kita ke dalam hal-hal yang baik, ke dalam kemajuan
bangsa Indonesia. Benar adanya bahwa korupsi terjadi karena pemahaman kita mengenai
Pancasila masih kurang. Kebanyakan dari kita hanya mengetahui sila-sila dari Pancasila.
Namun dalam memaknainya masih kurang sehingga masih banyak pelanggaran-pelanggaran
dan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di negeri ini.Banyaknya masyarakat biasa
maupun tokoh-tokoh masyarakat Indonesia yang korupsi, memperlihatkan bahwa nilai-nilai
dari Pancasila tidak tertanam dengan baik di dalam diri bangsa Indonesia. Nilai-nilai
Pancasila yang merupakan jati diri dari bangsa Indonesia sepertinya harus tunduk kepada ego
dan nafsu godaan dunia yang menjebak bangsa Indonesia ke dalam perangkap besi. Dahulu
bangsa Indonesia dijajah oleh bangsa asing begitu lamanya, sekarang bangsa Indonesia
dijajah oleh bangsa sendiri dengan hadirnya isu korupsi ke dalam kehidupan sehari-hari
bangsa Indonesia.
PEMBAHASAN
1. PENGERTIAN KORUPSI
Korupsi berasal dari bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere: busuk,
rusak, menggoyahkan, memutar balik, menyogok, menurut Transparency International adalah
perilaku pejabat publik, baik politikus atau politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak
wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya,
dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka, ini adalah
salah satu tindak korupsi.
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan
resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintahan rentan korupsi dalam
prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk
penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai
dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah
kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura
bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Pada tahun 1755 dengan Perjanjian Giyanti, VOC memecah Mataram menjadi dua
kekuasaan yaitu Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta.
Dalam buku History of Java karya Thomas Stamford Raffles (Gubernur Jenderal
Inggris yang memerintah Pulau Jawa tahun 1811-1816), Hal menarik dalam buku itu adalah
pembahasan seputar karakter penduduk Jawa. Penduduk Jawa digambarkan sangat “nrimo”
atau pasrah terhadap keadaan. Namun, di pihak lain, mempunyai keinginan untuk lebih
dihargai oleh orang lain. Tidak terus terang, suka menyembunyikan persoalan, dan termasuk
mengambil sesuatu keuntungan atau kesempatan di kala orang lain tidak mengetahui. Hal
menarik lainnya adalah adanya bangsawan yang gemar menumpuk harta, memelihara sanak
(abdi dalem) yang pada umumnya abdi dalem lebih suka mendapat atau mencari perhatian
majikannya. Akibatnya, abdi dalem lebih suka mencari muka atau berperilaku oportunis.
Dalam kalangan elit kerajaan, raja lebih suka disanjung, dihormati, dihargai dan
tidak suka menerima kritik dan saran.
Dalam aspek ekonomi, raja dan lingkaran kaum bangsawan mendominasi sumber-
sumber ekonomi di masyarakat. Rakyat umumnya “dibiarkan” miskin, tertindas, tunduk dan
harus menuruti apa kata, kemauan atau kehendak “penguasa”.
Budaya yang sangat tertutup dan penuh “keculasan” itu turut menyuburkan “budaya
korupsi” di Nusantara. Tidak jarang abdi dalem juga melakukan “korup” dalam mengambil
“upeti” (pajak) dari rakyat yang akan diserahkan kepada Demang (Lurah) selanjutnya oleh
Demang akan diserahkan kepada Tumenggung. Abdi dalem di Katemenggungan setingkat
kabupaten atau propinsi juga mengkorup harta yang akan diserahkan kepada Raja atau
Sultan.Kebiasaan mengambil “upeti” dari rakyat kecil yang dilakukan oleh Raja Jawa ditiru
oleh Belanda ketika menguasai Nusantara (1800 - 1942) minus Zaman Inggris (1811 - 1816),
Akibat kebijakan itulah banyak terjadi perlawanan-perlawanan rakyat terhadap Belanda.
Sebut saja misalnya perlawanan Diponegoro (1825-1830), Imam Bonjol (1821-1837), Aceh
(1873-1904) dan lain-lain.
Tahun 1970, terdorong oleh ketidakseriusan TPK dalam memberantas korupsi seperti
komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk rasa memprotes keberadaan
TPK.
D. Pasca Reformasi
Pada Era Reformasi hampir seluruh elemen penyelenggara negara sudah terjangkit
“Virus Korupsi” yang sangat ganas.
Vox Populi Vox Dei Devide et impera (Politik pecah belah) atau politik adu domba
adalah kombinasi strategi politik, militer, dan ekonomi yang bertujuan mendapatkan dan
menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok
kecil yang lebih mudah ditaklukan. Dalam konteks lain, politik pecah belah juga berarti
mencegah kelompok-kelompok kecil untuk bersatu menjadi sebuah kelompok besar yang
lebih kuat.
-Menciptakan atau mendorong perpecahan dalam masyarakat untuk mencegah aliansi yang
bisa menentang kekuasaan berdaulat.
-Membantu dan mempromosikan mereka yang bersedia untuk bekerja sama dengan
kekuasaan yang berdaulat.
-Mendorong konsumerisme yang berkemampuan untuk melemahkan biaya politik dan militer
3. FENOMENA KORUPSI DI INDONESIA
Masalah korupsi di Indonesia sudah ada bertahun-tahun yang lalu, namun, akhir-
akhir ini, korupsi kembali ramai sejak kasus Gayus Tambunan. Korupsi di Indonesia
kebanyakan dilakukan oleh para pejabat tinggi, seperti anggota DPR, Bupati, Gubernur.
Namun, ada juga dari kalangan pelajar.
Di Indonesia sendiri, korupsi sudah menjadi hal yang wajar di kalangan pejabat
tinggi. Tidak tanggung tanggung, mereka memakai uang rakyat hingga milyaran rupiah. Para
pejabat ini seakan tidak takut untuk korupsi, walaupun sudah tertangkap, namun hukuman
untuk para koruptor termasuk ringan dibandingkan hukuman untuk para koruptor di luar
negeri yang kebanyakan adalah hukuman mati.
Korupsi di Indonesia adalah penyakit lama yang tidak pernah sembuh. Segala cara
dan diagnosa telah ditempuh, dari pengamat, kritikus, aktivis semuanya telah angkat bicara,
bahkan lantang. Namun sayang di sayang, Cyindrome korupsi telah berurat akar dalam sistim
pemerintahan. Satau-satu cara adalah mengurangi titik potensi dan resikonya, dengan
bermacam pola dan strategi. Diantaranya adalah menicptakan transparansi birokrasi
pemerintahan dengan langkah nyata dan konkrit. Agar toksin-toksin yang berbahaya bagi
ketahanan negara itu bisa terpantau dan ditanggulangi dengan langka-langka preventif. Dan
hal ini bisa terwujud, manakalah karakter aparat pemerintahan sudah terbebas dari mental
suka menggaruk dan menilap yang bukan haknya. Pada titik ini, tindakan penyadaran moral,
adalah kata kunci yang tepat untuk mengurangi aurah buruk wajah pemerintahan.
1. Pembungkaman Fakta
Sejumlah kasus korupsi seperti penyuapan oknum DPR Komisi XI dalam kasus
pemilihan Deputi Gubernur BI, korupsi pengadaan sapi dan mesin jahit oleh mantan Menteri
Sosial periode 2004-2009, keterlibatan Polisi dan Jaksa dalam pencucian uang (money
laundry) dan penggelapan pajak, adalah contoh fakta hukum tahun-tahun sebelumnya yang
baru terungkap saat ini. Kasus penggelapan pajak misalnya, baru terungkap setelah Susno
Duadji (mantan Kabag Reskrim Mabes Polri) melaporkan skandal tersebut kepada Satgas
Pemberantas Mafia Hukum. Demikian juga kasus-kasus lain yang boleh jadi “mengendap
atau diendapkan” karena belum tersentuh hukum. Jika kita analogikan, korupsi di Indonesia
akan terungkap sampai ke akar-akarnya, bila ada oknum-oknum birokrasi (inner cycle) yang
berani memberikan “kesaksian dan pengakuan dosa” seperti yang dilakukan Susno Duadji.
Jika tidak, berbagai skandal korupsi akan terus mengalami pembungkaman, selama
penegakan hukum masih tebang-pilih.
2. Politisasi Korupsi
3. Kemiskinan Karakter
Apa yang kurang dari gaji seorang Jaksa sebesar 3-4 juta, belum ditambah
tunjangan, seorang PNS seperti Gayus Tambunan dan Bahasyim dengan gaji 12 juta per
bulan, atau anggota DPR dengan gaji total sekitar 70 juta. Tapi masih “menilap uang rakyat”
dan menerima suap di sana-sini. Fakta ini menandakan, ada ketidakberesan moral para
aparatus negeri ini. Korupsi merupakan gejala kemiskinan karakter. Sebab, dengan gaji yang
lumayan besar, tidak memberikan kepuasan bagi oknum-oknum pejabat yang doyan korup.
Gejala kemiskinan karakter ini, telah terinstitusionalisasikan dalam budaya birokrasi
pemerintahan.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Salama, Nadiatus. 2014. Motif dan Proses Psikologis Korupsi. Jurnal Psikologi