Anda di halaman 1dari 42

BUKU PANDUAN PRAKTIKUM

EKOLOGI PERAIRAN

Disusun oleh :
TIM ASISTEN PRAKTIKUM
Septiyani Fadlilah
Maidhotul Aeni
Ahmad Saikli Maulana
Khoirul Setiawan

PROGRAM STUDI AKUAKULTUR


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS TIDAR
MAGELANG
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT bahwasanya telah dapat
kami selesaikan pedoman buku praktikum Ekologi Perairan. Buku ini merupakan
panduan bagi mahasiswa untuk melaksanakan kegiatan praktikum yang merupakan
suatu kegiatan aplikasi dari mata kuliah Ekologi Perairan di Program Studi
Akuakultur Universitas Tidar.

Di dalam panduan ini kami jabarkan langkah-langkah yang harus dilakukan


oleh mahasiswa peserta didik untuk dapat melakukan praktikum Ekologi Perairan.
Besar harapan kami bahwa buku ini dapat dipergunakan sebagaimana mestinya dan
dapat membantu mahasiswa peserta didik untuk dapat lebih memahami tentang
ekologi perairan. Akhirnya kami berharap kepada para pembaca untuk dapat
memberikan kritik dan saran agar selanjutnya dapat kami pergunakan untuk
melaksanakan perbaikan buku ini.

Magelang, 16 Februari 2023

Tim Penulis

PANDUAN PRAKTIKUM EKOLOGI PERAIRAN ii


DAFTAR ISI

COVER .................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
TATA TERTIB PRAKTIKUM ............................................................................. iv
SUBSTANSI WAJIB DARI PELAKSANAAN PRAKTIKUM ............................ v
BOBOT NILAI PRAKTIKUM............................................................................... v
RUANG LINGKUP PRAKTIKUM ....................................................................... v
I. PERAIRAN TERGENANG ............................................................................ 1
II. PERAIRAN MENGALIR ............................................................................... 4
III. PERAIRAN PAYAU DAN LAUT ................................................................. 7
IV. SUKSESI EKOLOGI..................................................................................... 18
V. ANALISIS DATA ......................................................................................... 21
SISTEMATIKA PENULISAN LAPORAN PRAKTIKUM ................................ 35
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 36

PANDUAN PRAKTIKUM EKOLOGI PERAIRAN iii


TATA TERTIB PRAKTIKUM

I. Praktikum Laboratorium
1. Praktikan wajib datang tepat waktu. Jika terlambat lebih dari 15 menit tidak
diizinkan mengikuti praktikum (nilai praktikum 0).
2. Bagi praktikan yang berhalangan mengikuti acara praktikum, karena alasan
tertentu dapat membuat surat izin dengan melampirkan bukti. Apabila tanpa
alasan jelas atau tanpa izin maka dianggap tidak mengikuti praktikum (nilai 0).
3. Praktikan wajib memakai jas praktikum selama pelaksanaan kegiatan praktikum.
4. Dilarang merokok, minum dan makan ketika melaksanakan praktikum.
5. Meminjam dan mengembalikan peralatan praktikum secara tertulis, peralatan
dalam keadaan bersih, kering dan dan tidak cacat/rusak.
6. Setelah mengambil bahan praktikum wajib mengembalikan bahan praktikum
ketempat semula dalam keadaan tertib.
7. Memecahkan atau merusak alat praktikum mendapatkan sanksi nilai praktikum
yang dilakukan hilang dan diwajibkan mengisi surat pernyataan.
8. Setiap praktikan wajib mengumpulkan laporan sesuai dengan deadline yang
ditetapkan. Keterlambatan pengumpulan akan mendapatkan pengurangan nilai.
9. Asisten berhak menegur praktikan yang melanggar tata tertib baik secara lisan,
tertulis, maupun tidak tertulis.
II. Praktikum Lapangan
1. Praktikan wajib hadir sesuai dengan waktu yang ditentukan dan berkumpul di
Fakultas Pertanian (Kampus Sidotopo). Jika terlambat lebih dari 10 menit dari
jadwal praktikan dipersilahkan pulang (nilai praktikum 0).
2. Praktikan mengenakan PDH Prodi Akuakultur pada waktu pmberangkatan, dan
pakaian bebas sopan, dan bersepatu selama kegiatan praktikum berlangsung.
3. Praktikan wajib membawa buku tulis, alat tulis, kamera dan jas ujan/payung dan
obat pribadi apabila memiliki riwayat penyakit.
4. Praktikan dilarang merokok dan membawa senjata tajam.
5. Setiap praktikan wajib menjaga ketenangan dan keamanan selama kegiatan
praktikum berlangsung.

PANDUAN PRAKTIKUM EKOLOGI PERAIRAN iv


SUBSTANSI WAJIB DARI PELAKSANAAN PRAKTIKUM
PROGRAM STUDI AKUAKULTUR

1. Pre-test : Tes/pengujian yang berisikan sejumlah


pertanyaan seputar materi praktikum sebelum
kegiatan dilaksanakan.
2. Laporan Praktikum : Laporan praktikum dari setiap acara praktikum
bersifat kelompok dan setiap anggota kelompok
wajib mengerjakan.

BOBOT NILAI PRAKTIKUM

Kehadiran Pre-test Laporan Responsi


10% 10% 40% 40%

RUANG LINGKUP PRAKTIKUM

1. Asistensi
2. Ekologi Perairan Tergenang
3. Ekologi Perairan Mengalir
4. Ekologi Perairan Payau dan Laut
5. Suksesi Ekologi
6. Responsi

PANDUAN PRAKTIKUM EKOLOGI PERAIRAN v


I. PERAIRAN TERGENANG

1.1 Tujuan
Praktikum ini bertujuan agar praktikan (mahasiswa) mampu mengidentifikasi
komponen-komponen penyusun ekosistem perairan tergenang, dan menjelaskan
interaksi dan hubungan timbal balik antara komponen penyusun ekosistem tersebut,
serta mengetahui parameter kualitas air yang terdiri dari parameter fisika, kimia,
dan biologi di ekosistem perairan tergenang.
1.2 Uraian Materi
Ekositem perairan tergenang (lentik) merupakan suatu kondisi ekosistem yang
dicirikan oleh ketenangan air (lenis) yang terdapat dalam ekosistem tersebut. Dapat
juga diartikan sebagai suatu jenis ekosistem berair yang kecepatan arusnya sudah
berkurang, sehingga lumpur dan materi-materi lepas cenderung mengendap didasar
perairan yang menyebabkan dasarnya menjadi lunak, sehingga tidak sesuai untuk
bentos permukaan tetapi cocok untuk penggali nekton dan beberapa plankton
(Odum, 1971).
Menurut Muhtadi (2016) perairan tergenang merupakan perairan umum yang
masa airnya tenang sehingga disebut habitat lentik. Contoh perairan tergenang
adalah danau atau situ, waduk, kolam rawa, dan lain-lain. Perairan permukaan
diklasifikasikan menjadi dua kelompok utama yaitu badan air tergenang (standing
water atau lentik) dan badan air mengalir (flowing water atau lotik). Danau atau situ
memiliki karakteristik air yang tenang, adanya stratifikasi suhu, organisme yang
hidup di dalamnya tidak membutuhkan adaptasi khusus, residence-nya (yaitu waktu
yang dibutuhkan untuk terjadinya pergantian atau perputaran air), dan substrat
umumnya berupa lumpu halus.
Karakteristik perairan tergenang adalah arus stagnan (arusnya relatif tidak
ada/sangat rendah), stratifikasi suhu (suhu akan berkurang/semakin rendah dengan
bertambahnya kedalaman), oksigen akan berkurang/semakin rendah dengan
bertambahnya kedalaman, dasar perairan umumnya bersubstrat lumpur, memiliki
RT (Residence Time) yang lama, organisme tidak membutuhkan adaptasi khusus.

PANDUAN PRAKTIKUM EKOLOGI PERAIRAN 1


Gambar 1. Zonasi Perairan Tergenang (Odum, 1996) ; (Rangkuta dan Kardova,
2014)
Zonasi di perairan tergenang secara horizontal (Gambar 1) adalah:
1. Zona litoral, berada di tepi perairan yang umumnya berada di wilayah perairan
dangkal dan cahaya bisa menembus pada dasar perairan. Pada zona ini biasanya
terdapat tanaman air.
2. Zona limnetik, merupakan daerah perairan air terbuka sampai kedalaman
penetrasi cahaya yang efektif, atau disebut tingkat kompensasi dimana proses
fotosintesis seimbang dengan proses respirasi.
3. Zona profundal, merupakan bagian dasar air yang tidak tercapai oleh penetrasi
cahaya yang efektif.
Zonasi perairan tergenang secara vertikal (Gambar 1) adalah:
1. Zona eufotik; zona dimana penetrasi cahaya matahari masih ada. Pada zona ini
terdapat banyak fitoplankton karena fitoplankton membutuhkan cahaya
matahari untuk melakukan fotosintesis.
2. Zona disfotik; zona dimana penetrasi cahaya matahari tidak ada. Pada zona ini
fitoplankton tidak ada.
1.3 Alat dan Bahan
A. Alat
Alat Fungsi
Secchi disk Mengukur tingkat kecerahan perairan
Paralon Mengukur kedalaman perairan dan
mengambil contoh bentos
Termometer Mengukur suhu perairan
Plankton net Menyaring Plankton
pH meter Mengukur pH perairan
DO meter Mengukur DO perairan

PANDUAN PRAKTIKUM EKOLOGI PERAIRAN 2


Cutter atau pisau Mengerik perifiton yang menempel
pada substrat seperti kayu, batu, dan
lain-lain yang terdapat di perairan.
Botol sampel Menyimpan sampel air
Plastik sampel Menyimpan sampel substrat
Kertas label Menandakan sampel
Ekman grab Mengambil sampel substrat
Bubu Mengambil sampel bentos

B. Bahan
Bahan Fungsi
Lugol Mengawetkan plankton dan
perifiton
Formalin Mengawetkan Bentos, ikan, dan
sejenisnya
Aquades Pelarut

PANDUAN PRAKTIKUM EKOLOGI PERAIRAN 3


II. PERAIRAN MENGALIR

2.1 Tujuan
Praktikum ini bertujuan agar praktikan (mahasiswa) mampu mengidentifikasi
komponen-komponen penyusun ekosistem perairan mengalir, dan menjelaskan
interaksi dan hubungan timbal balik antara komponen penyusun ekosistem tersebut,
serta mengetahui parameter kualitas air yang terdiri dari parameter fisika, kimia,
dan biologi di ekosistem perairan mengalir.
2.2 Uraian Materi
Ekosistem perairan mengalir merupakan perairan dengan adanya arus dan
perbedaan gradien lingkungan (elevasi) dimana didalam ekosistem perairan
tersebut terjadi interaksi antara faktor biotik dan abiotik. Perairan mengalir disebut
juga dengan perairan lotik. Salah satu bentuk dari perairan mengalir adalah sungai.
Sungai merupakan salah satu komponen lingkungan yang berperan penting bagi
kehidupan semua makhluk hidup untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya
lingkungan. Sungai bergerak dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Sungai
didefinisikan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Penataan Ruang sebagai aliran atau tampungan air yang terbentuk
alami maupun buatan berupa jaringan pengairan serta airnya yang mengalir dari
hulu hingga muara yang tepi kiri dan kanannya dibatasi dengan garis sempadan.
Sungai dibedakan menjadi dua tipe yaitu sungai permanent dan sungai
intermittent. Sungai permanent merupakan sungai yang mendapatkan air sepanjang
tahun yang airnya berasal dari sumber air tanah, sedangkan sungai intermittent
merupakan sungai yang mendapatkan air pada musim tertentu seperti dari surface
run off sehingga sungai tersebut akan berisi air pada musim hujan (Hakim dkk.,
2019). Sungai dapat dimanfaatkan untuk berbagai aktivitas seperti tempat
penampungan air, sarana transportasi, pengairan sawah, keperluan peternakan,
keperluan industri, perumahan, daerah tangkapan air, pengendali banjir,
ketersediaan air, irigasi, tempat memelihara ikan, dan juga sebagai tempat rekreasi
(Ashar, 2020). Sungai memiliki ciri-ciri seperti arus yang searah dan relatif kencang
yang dipengaruhi oleh waktu, iklim, dan pola aliran air. Menurut zonasi, ekosistem
perairan mengalir dibedakan menjadi dua yaitu berdasarkan gradien dan aliran air.

PANDUAN PRAKTIKUM EKOLOGI PERAIRAN 4


1. Berdasarkan gradien lingkungan
Berdasarkan gradien lingkungan ekosistem perairan mengalir dibedakan
menjadi dua yaitu hulu dan hilir. Hulu merupakan perairan mengalir yang
mempunyai daerah yang sempit dan perairan yang dangkal. Hulu biasanya terdapat
di dataran tinggi dengan kadar oksigen tinggi dengan kepadatan organisme
perairanya yang rendah serta mempunyai arus yang cepat. Sedangkan hilir
merupakan perairan mengalir yang memiliki daerah yang lebar dan perairan yang
dalam. Hilir biasanya terdapat di dataran rendah dengan kadar oksigen rendah
dengan kepadatan organisme yang tinggi serta mempunyai arus yang cepat.
2. Berdasarkan aliran air
Berdasarkan aliran air, ekosistem perairan mengalir dibedakan menjadi dua
yaitu zona aliran cepat dan zona aliran lambat. Zona aliran cepat memiliki ciri-ciri
seperti adanya arus yang tinggi sehingga mencegah terjadinya akumulasi lumpur
dan partikel-partikel lainnya, terdapat pada daerah dangkal. Sedangkan zona aliran
lambat mempunyai ciri seperti adanya arus yang lambat sehingga banyak terdapat
endapan lumpur dan partikel-partikel lainnya, terdapat pada daerah yang memiliki
kedalaman yang cukup tinggi.
2.3 Alat dan Bahan
A. Alat
Alat Fungsi
Secchi disk Mengukur tingkat kecerahan perairan
Paralon Mengukur kedalaman perairan dan
mengambil contoh bentos
Termometer Mengukur suhu perairan
Plankton net Menyaring Plankton
pH meter Mengukur pH perairan
DO meter Mengukur DO perairan
Cutter atau pisau Mengerik perifiton yang menempel
pada substrat seperti kayu, batu, dan
lain-lain yang terdapat di perairan.
Botol sampel Menyimpan sampel air
Plastik sampel Menyimpan sampel substrat
Kertas label Menandakan sampel
Ekman grab Mengambil sampel substrat
Bubu Mengambil sampel bentos
Botol aqua Untuk mengukur arus sungai
Tali Sebagai tali botol aqua dalam
mengukur arus sungai

PANDUAN PRAKTIKUM EKOLOGI PERAIRAN 5


Meteran jahit Untuk mengukur lebar badan sungai

B. Bahan
Bahan Fungsi
Lugol Mengawetkan plankton dan
perifiton
Formalin Mengawetkan bentos, ikan, dan
sejenisnya
Aquades Sebagai pelarut dan untuk
mengkalibrasi alat

PANDUAN PRAKTIKUM EKOLOGI PERAIRAN 6


III. PERAIRAN PAYAU DAN LAUT

3.1 Tujuan
Praktikum ini bertujuan agar praktikan (mahasiswa) mampu mengidentifikasi
komponen-komponen penyusun ekosistem perairan payau dan laut, dan
menjelaskan interaksi dan hubungan timbal balik antara komponen penyusun
ekosistem tersebut, serta mengetahui parameter kualitas air yang terdiri dari
parameter fisika, kimia, dan biologi di ekosistem perairan payau dan laut.

3.2 Uraian Materi


A. Ekologi Perairan Payau
1. Perairan Payau
Wilayah pesisir merupakan daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah
darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih
dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin;
sedangkan ke arah laut meliputi bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-
proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun
yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan
pencemaran. Wilayah pesisir dalam hal ini adalah ekosistem pesisir yang berarti
ekosistem semi tertutup yang mempunyai hubungan bebas dengan laut terbuka dan
menerima masukan air tawar dari daratan. Keterkaitan daratan dan pesisir sebagai
penghubung antara daratan di hulu dan wilayah pesisir, penghantar bahan pencemar
dari hulu ke pesisir serta dampak yang terjadi di hulu juga dirasakan di pesisir
karena peran daratan.
Wilayah pesisir di wilayah tropis memiliki tiga ekosistem inti, yakni ekosistem
mangrove, lamun (seagrass), dan terumbu karang (coral reef). Sejak awal tahun
1990-an fenomena degradasi bio-geofisik sumber daya pesisir semakin
berkembang dan meluas akibat pemanfaatan yang berlebihan yang menyebabkan
hilangnya ekosistem mangrove, terumbu karang, dan estuaria yang selanjutnya
dapat mengganggu lingkungan biosfer wilayah pantai dan pesisir yang memiliki
peran produksi yang besar. Sekitar 75% dari luas wilayah nasional adalah berupa
lautan. Salah satu bagian terpenting dari kondisi geografis Indonesia sebagai
wilayah kepulauan adalah wilayah pantai dan pesisir dengan garis pantai sepanjang

PANDUAN PRAKTIKUM EKOLOGI PERAIRAN 7


81.000 km. Wilayah pantai dan pesisir memiliki arti yang strategis karena
merupakan wilayah interaksi/peralihan (interface) antara ekosistem darat dan laut
yang memiliki sifat dan ciri yang unik dan mengandung produksi biologi cukup
besar serta jasa lingkungan lainnya.
2. Ekosistem Mangrove
Mangrove adalah individu jenis tumbuhan maupun komunitas tumbuhan yang
tumbuh di daerah pasang surut. Mangrove juga dinamakan hutan pantai, hutan
pasang surut, hutan payau, atau hutan bakau. Bakau dalam bahasa Indonesia
merupakan nama salah satu spesies penyusun hutan mangrove, yaitu Rhizophora
sp. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi
oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada
daerah pasang surut pantai berlumpur. Hutan mangrove banyak ditemukan di pantai
teluk yang dangkal, estuaria, delta, dan daerah pantai yang terlindung.
Hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk
menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh
beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai
kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Ekosistem mangrove umumnya
berkembang di daerah intertidal (daerah pasang surut) sehingga daerahnya
tergenang air laut secara berkala (setiap hari maupun saat pasang purnama),
menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat, terlindung dari gelombang
besar, dan arus pasang surut yang kuat. Karena itu hutan mangrove banyak
ditemukan di pantai-pantai teluk yang dangkal, estuaria, delta, dan daerah pantai
yang terlindung.
Hutan mangrove meliputi pohon-pohon dan semak yang tergolong ke dalam
8 famili, dan terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga: Avicennie, Sonneratia,
Rhyzophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lummitzera, Laguncularia,
Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus. Terdapat salah satu jenis yang
dominan dalam satu hutan mangrove yang termasuk famili: Rhizophoraceae,
Sonneratiaceae, Avicenniaceae, Meliaceae. Mangrove hidup di daerah antara level
pasang naik tertinggi (maximum spring tide) sampai level di sekitar atau di atas
permukaan rata-rata (mean sea level). Komunitas (tumbuhan) hutan mangrove

PANDUAN PRAKTIKUM EKOLOGI PERAIRAN 8


hidup di daerah pantai terlindung di daerah tropis dan sub tropis. Berikut siklus
ekosistem laut dapat ditinjau dari gambar 2.

Gambar 2. Ekosistem laut


Sumber: Bengen (2009)
a. Zonasi Mangrove
Struktur, fungsi ekosistem mangrove, komposisi, dan distribusi spesies serta
pola pertumbuhan mangrove sangat tergantung pada faktor-faktor lingkungan,
antara lain:
1) Fisiografi
Pantai Mangrove dapat tumbuh pada pantai yang bentuknya landai.
Walaupun mangrove masih dapat tumbuh di daerah pantai yang terjal, akan
tetapi pertumbuhannya tidak optimal.
2) Iklim
Pantai yang beriklim tropik basah yang dicirikan dengan kelembaban, angin
musim, curah hujan, dan temperatur yang tinggi menyebabkan pencegahan
akumulasi garam-garam tanah sehingga hutan mangrove tumbuh subur dan
dapat berkembang biak dengan baik.
3) Pasang Surut
Durasi pasang surut berpengaruh besar terhadap perubahan salinitas pada
tanah mangrove. Salinitas air menjadi sangat tinggi pada saat pasang naik, dan
menurun selama pasang surut.

PANDUAN PRAKTIKUM EKOLOGI PERAIRAN 9


4) Gelombang dan Arus
Pada pantai berpasir dan berlumpur, gelombang dapat membawa partikel
pasir dan sedimen laut. Partikel besar atau kasar akan mengendap, terakumulasi
membentuk pantai berpasir.
5) Salinitas
Lingkungan asin/bergaram diperlukan untuk kestabilan ekosistem
mangrove. Salinitas air dan salinitas tanah merupakan faktor penting dalam
pertumbuhan, daya tahan, dan zonasi spesies mangrove.
6) Oksigen Terlarut
Tanah pada hutan mangrove yang berlumpur dan jenuh air mengandung
oksigen rendah dan terkadang bahkan tidak mengandung oksigen. Dalam
keadaan demikian, hanya spesies-spesies tumbuhan tertentu saja yang dapat
hidup. Untuk beradaptasi dengan keadaan tersebut, selain dengan adanya sistem
perakaran yang khas, kekurangan oksigen juga dapat dipenuhi oleh adanya
lubang-lubang dalam tanah yang dibuat oleh hewan-hewan seperti harimau dan
lain sebagainya.
7) Substrat
Substrat yang terdapat pada sekitar daerah mangrove, yaitu tanah
berlumpur, tanah berpasir, ataupun tanah berkerikil.
8) Nutrien
Nutrien di mangrove dibagi atas nutrien inorganik dan detritus organik.
Mangrove hidup pada perairan bersalinitas cukup tinggi/kadar garam tinggi,
sehingga mangrove memiliki sistem adaptasi khusus. Adaptasi terhadap kadar
garam tinggi dilakukan dengan cara:
➢ Memiliki sel-sel khusus dalam daun yang berfungi menyimpan garam,
➢ Berdaun tebal dan kuat yang banyak mengandung air untuk mengatur
keseimbangan garam,
➢ Daunnya memiliki stuktur stomata khusus untuk mengurangi penguapan. Pada
pohon mangrove juga memiliki sistem adaptasi terhadap kadar oksigen rendah,
yaitu dengan adanya bentuk perakaran yang khas. Misalnya, tipe cakar ayam
yang mempunyai pneumatofora seperti pada Avicennia spp. dan Sonneratia

PANDUAN PRAKTIKUM EKOLOGI PERAIRAN 10


spp., tipe penyangga yang mempunyai lenti sel seperti pada Rhizophora spp.,
akar papan pada Ceriops spp., dan akar lutut pada Bruguiera spp.
Pohon mangrove juga memiliki akar yang sangat ekstensif dan membentuk
jaringan horizontal yang lebar. Akar digunakan untuk memperkokoh pohon, selain
itu juga untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen sebagai sistem adaptasi
terhadap tanah yang kurang stabil dan adanya pasang surut. Mann (1982)
menambahkan pasang surut di habitat mangrove akan memengaruhi kestabilan
tanah sehingga lebih labil dari tanah umumnya, adaptasi yang dilakukan spesies
mangrove adalah dengan membuat struktur akar ekstensif dan jaringan horizontal
yang lebar untuk memperkokoh pohon, mengambil unsur hara, dan menahan
sedimen. Akar dan daun pada mangrove tersebut merupakan karakteristik
morfologi dasar yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi jenis tumbuhan
mangrove. Karakteristik lain yang dapat digunakan adalah bunga dan buah. Semua
jenis mangrove menghasilkan buah dan biji. Ketika biji ini jatuh akan mengapung,
sehingga penyebarannya dengan mudah dibantu angin dan arus. Jika menemukan
substrat yang sesuai, biji tersebut akan tumbuh menjadi vegetasi baru. Visualisasi
akar mangrove dapat ditinjau dari gambar 3.

Gambar 3. Akar mangrove


Sumber: Bengen (2001)
b. Penentuan Pohon, Anakan, dan Semai pohon mangrove
Kategori pohon dan anakan mangrove serta semai adalah sebagai berikut.
• Pohon : Diameter > 4 cm, Tinggi > 1m
• Anakan : Diameter < 4 cm , Tinggi > 1 m

PANDUAN PRAKTIKUM EKOLOGI PERAIRAN 11


• Semai : Tinggi < 1 m, Diameter < 4 cm
Prosedur pengamatan pada setiap plot yaitu:
➢ Determinasi/indentifikasi jenis tumbuhan mangrove yang ada.
➢ Hitung jumlah individu tiap jenis.
➢ Ukur lingkar batang tiap pohon mangrove setinggi dada (1.3 m)

Gambar 4. Penentuan pohon, anakan, dan semai


Sumber: bengai (2001)
c. Manfaat dan Peran Mangrove
Fungsi dan peranan mangrove Mangrove merupakan sumber daya alam yang
dapat dipulihkan (renewable resources atau flow resources) yang mempunyai
manfaat ganda (manfaat ekonomis dan ekologis). Manfaat ekonomis di antaranya
terdiri atas hasil berupa kayu (kayu bakar, arang, kayu konstruksi, dan lain-lain)
serta hasil bukan kayu (hasil hutan ikutan dan pariwisata). Manfaat mangrove
secara ekologi adalah sebagai berikut.
• Peredam gelombang dan angin badai, pelindung pantai dari abrasi, penahan
lumpur dan perangkap sedimen yang diangkut oleh aliran air permukaan.
• Penghasil sejumlah besar detritus, terutama yang berasal dari daun dan dahan
pohon mangrove yang rontok.
• Sebagian dari detritus ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan bagi para
pemakan detritus, dan sebagian lagi diuraikan secara bakterial menjadi
mineral-mineral hara yang berperan dalam penyuburan perairan.
• Daerah asuhan (nursery ground), daerah mencari makanan (feeding ground),
dan daerah pemijahan (spawning ground) bermacam biota perairan (ikan,
udang, dan kekerangan), baik yang hidup di perairan pantai maupun lepas
pantai

PANDUAN PRAKTIKUM EKOLOGI PERAIRAN 12


• Pengontrol penyakit malaria.
• Memelihara kualitas air (meredukasi polutan, pencemar air) Penyerap CO2
dan penghasil O2 yang relatif tinggi dibanding tipe hutan lain.
B. Perairan Laut
1. Lamun
Lamun merupakan salah satu tumbuhan berbunga (Anthophyta atau
Angiospermae) yang memiliki rhizoma, daun dan akar sejati yang hidup terendam
di dalam laut, sedangkan padang lamun merupakan hamparan vegetasi lamun yang
menutupi suatu area dan terbentuk dari satu atau beberapa jenis lamun dengan
kepadatan jarang atau tinggi. Di Indonesia, terdapat 12 jenis lamun dari 50 jenis
dan termasuk ke dalam dua famili, yakni Potamogetonaceae dan
Hydrocharitaceae. Lamun memiliki zonasi yang khas, yakni zonasi dekat daratan
akan ditumbuhi oleh jenis lamun yang memiliki daun yang tinggi dan semakin
menuju laut maka jenis lamun yang ditemukan adalah lamun-lamun yang memilki
daun yang lebih rendah. Karena pola hidup lamun sering berupa hamparan, maka
dikenal juga istilah padang lamun (Seagrass bed), yaitu hamparan vegetasi lamun
yang menutup suatu area pesisir/laut dangkal, terbentuk dari satu jenis atau lebih
dengan kerapatan padat atau jarang. Sistem (organisasi) ekologi padang lamun yang
terdiri dari komponen biotik dan abiotik disebut ekosistem lamun (Seagrass
ecosystem). Habitat tempat hidup lamun adalah perairan dangkal agak berpasir dan
sering juga dijumpai di terumbu karang.

Gambar 5. Ekosistem Lamun


Sumber: Yulianda (2007)
Menurut Den Hartog (1977), ekosistem lamun memiliki beberapa ciri ekologis,
antara lain sebagai berikut;
• Terdapat di perairan pantai yang landai, di dataran lumpur/pasir

PANDUAN PRAKTIKUM EKOLOGI PERAIRAN 13


• Terdapat pada batas terendah daerah pasang surut dekat pohon bakau atau di
daerah terumbu karang.
• Mampu hidup sampai kedalaman 30 meter, di perairan tenang dan terlindung.
• Sangat tergantung pada intensitas matahari yang masuk dalam perairan
tersebut.
• Mampu melaksanakan proses metabolisme secara optimal jika seluruh
tubuhnya terendam air.
• Mempunyai sistem perakaran yang berkembang baik.
Adapun zonasi sebaran lamun dimulai dari pantai kearah tubir umumnya
berkesinambungan, perbedaan yang terdapat biasanya hanya pada komposisi jenis
dan luas penutupannya saja. Zonasi sebaran dan karakteristik habitat lamun di
perairan pesisir menurut genangan air dan kedalamannya dapat digolongkan
sebagai berikut.
➢ Jenis lamun yang tumbuh di daerah dangkal yang selalu terbuka saat air surut.
Contoh organismenya antara lain: Holodule pinifolia.
➢ Jenis yang hidup pada daerah sedang/daerah pasang surut, misalnya, Thallasia
hemprichi.
➢ Jenis yang tumbuh di tempat dalam dan selalu terendam air, misalnya,
Thalasodendron ciliatum.
2. Terumbu Karang
Istilah karang dan terumbu seringkali disalah artikan, karang (coral) disebut
juga karang batu (stony coral), yaitu hewan dari Ordo Scleractinia, yang mampu
mensekresi CaCO3 (limestone). Hewan karang tunggal umumnya disebut polip,
sedangkan terumbu (reef). Endapan masif batu kapur (limestone), terutama kalsium
karbonat (CaCO3), yang utamanya dihasilkan oleh hewan karang dan biota-biota
lain yang mensekresi kapur, seperti alga berkapur dan moluska. Ada istilah lain
yang juga banyak orang salah mengartikannya, yakni karang terumbu komunitas
hewan karang hermatipik, yaitu karang yang mampu membangun terumbu.
Terumbu adalah endapan masif batu kapur (limestone), terutama kalsium
karbonat (CaCO3), yang utamanya dihasilkan oleh hewan karang dan biota-biota
lain yang mensekresi kapur, seperti alga berkapur dan moluska. Terumbu karang
atau coral reefs adalah ekosistem di dasar laut tropis yang dibangun terutama oleh

PANDUAN PRAKTIKUM EKOLOGI PERAIRAN 14


biota laut penghasil kapur (CaCO3) yang dihasilkan oleh organisme karang
pembentuk terumbu (karang hermatipik) khususnya jenis-jenis karang batu dan alga
berkapur, bersama-sama dengan biota yang hidup di dasar lainnya dari filum
Cnidaria, ordo Scleractinia yang hidup bersimbiosis dengan Zooxantellae, dan
sedikit tambahan dari algae berkapur serta organisme lain yang menyekresi kalsium
karbonat. Terumbu karang bisa dikatakan sebagai hutan tropis ekosistem laut.
Ekosistem ini terdapat di laut dangkal yang hangat dan bersih serta merupakan
ekosistem yang sangat penting dan memiliki keanekaragaman hayati yang sangat
tinggi. Berikut struktur karang dapat ditinjau dari gambar 6.

Gambar 6. Struktur Karang


Sumber: National Geographic Indonesia, 2007
Terumbu karang dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu:
1. Terumbu karang tepi (fringing reefs)
Terumbu karang tepi atau karang penerus berkembang di mayoritas pesisir
pantai dari pulau-pulau besar. Perkembangannya bisa mencapai kedalaman 40
meter dengan pertumbuhan ke atas dan ke arah luar menuju laut lepas. Dalam
proses perkembangannya, terumbu ini berbentuk melingkar yang ditandai

PANDUAN PRAKTIKUM EKOLOGI PERAIRAN 15


dengan adanya ban atau bagian endapan karang mati di sekeliling pulau. Pada
pantai yang curam, pertumbuhan terumbu jelas mengarah vertikal.
2. Terumbu karang penghalang (barrier reefs)
Terumbu karang ini terletak pada jarak yang relatif jauh dari pulau, sekitar 0,5–
2 km ke arah laut lepas dengan dibatasi oleh perairan berkedalaman hingga 75
meter. Terkadang membentuk lagoon (kolom air) atau celah perairan yang
lebarnya mencapai puluhan kilometer. Umumnya karang penghalang tumbuh
di sekitar pulau sangat besar atau benua dan membentuk gugusan pulau karang
yang terputus-putus.
3. Terumbu karang cincin (atolls)
Terumbu karang berbentuk cincin yang mengelilingi batas dari pulau-pulau
vulkanik yang tenggelam sehingga tidak terdapat perbatasan dengan daratan.
Menurut Darwin, terumbu karang cincin merupakan proses lanjutan dari
terumbu karang penghalang, dengan kedalaman rata-rata 45 meter.
4. Gosong terumbu (patch reefs)
Gosong terumbu (patch reefs), terkadang disebut juga sebagai pulau datar (flat
island). Terumbu ini tumbuh dari bawah ke atas sampai ke permukaan dan,
dalam kurun waktu geologis, membantu pembentukan pulau datar. Umumnya
pulau ini akan berkembang secara horizontal atau vertikal dengan kedalaman
relatif dangkal.
3.3 Alat dan Bahan
A. Alat
Alat Fungsi
Secchi disk Mengukur tingkat kecerahan perairan
Paralon Mengukur kedalaman perairan dan
mengambil contoh bentos
Termometer Mengukur suhu perairan
Plankton net Menyaring Plankton
pH meter Mengukur pH perairan
DO meter Mengukur DO perairan
Refraktometer Mengukur salinitas perairan
Cutter atau pisau Mengerik perifiton yang menempel
pada substrat seperti kayu, batu, dan
lain-lain yang terdapat di perairan.
Botol sampel Menyimpan sampel air
Plastik sampel Menyimpan sampel substrat
Kertas label Menandakan sampel

PANDUAN PRAKTIKUM EKOLOGI PERAIRAN 16


Ekman grab Mengambil sampel substrat
Bubu Mengambil sampel bentos
Botol aqua Untuk mengukur arus sungai
Tali Sebagai tali botol aqua dalam
mengukur arus sungai
Meteran jahit Untuk mengukur lebar badan sungai

B. Bahan
Bahan Fungsi
Lugol Mengawetkan plankton dan
perifiton
Formalin Mengawetkan bentos, ikan, dan
sejenisnya
Aquades Sebagai pelarut dan untuk
mengkalibrasi alat

PANDUAN PRAKTIKUM EKOLOGI PERAIRAN 17


IV. SUKSESI EKOLOGI

4.1 Tujuan
Praktikum ini bertujuan agar praktikan (mahasiswa) mampu mengetahui
kelimpahan komunitas perairan pada suatu media dalam jangka waktu tertentu.

4.2 Uraian Materi


Suksesi erat kaitannya dengan perubahan ekosistem sebagai akibat dari pola
keseimbangan atau interaksi antar komponen yang saling berhubungan, dimana hal
ini terjadi karena adanya perubahan lingkungan atau evolusi lingkungan. Suksesi
atau dinamika ekosistem dapat dijabarkan melalui tiga parameter, yang meliputi :
a. Proses perkembangan komunitas yang melibatkan perubahan kaitannya
dengan pola atau struktur spesies dan proses dalam komunitas yang dapat
diperngaruhi oleh waktu serta arah perubahannya dapat diduga.
b. Sebagai hasil modifikasi lingkungan fisik oleh suatu komunitas. Jadi dalam hal
ini, suksesi sebagai pengatur komunitas, disisi lain kondisi lingkungan dapat
menjadi faktor yang mendukung proses perubahan itu sendiri atau justru
menjadi faktor penghambat dalam suatu komunitas.
c. Dalam tahapan akhir dari suatu puncak ekosistem, dimana biomassa
maksimum dan fungsi simbiose dapat dipertahankan keberadaannya.
Secara umum suksesi dapat digolongkan menjadi dua, yakni suksesi primer
dan suksesi sekunder.
1. Suksesi primer
Suksesi primer biasanya terjadi pada kondisi lingkungan perawan atau
lingkungan yang baru terbentuk dan sama sekali belum mengalami rekayasa secara
alami atau buatan. Suksesi ini terjadi apabila komunitas asal mengalami gangguan
baik secara alami (banjir, tanah longsor, letusan gunung berapi, endapan sedimen
di muara sungai atau endapan pasir di pantai, dll) atau buatan (aktivitas
pertambangan minyak bumi, batu bara, dll) sehingga mengakibatkan terjadinya
ketidakseimbangan atau bahkan dapat menghilangkan komunitas asal secara total
serta dapat membentuk pola habitat yang baru. Suksesi primer juga dapat
membentuk suatu ekosistem pioner atau bahkan dapat menggantikan keberadaan
dari spesies pioner itu sendiri.

PANDUAN PRAKTIKUM EKOLOGI PERAIRAN 18


2. Suksesi sekunder
Suksesi sekunder biasanya terjadi apabila dalam suatu komunitas mengalami
ketidakseimbangan atau ganggguan baik secara alami maupun buatan, akan tetapi
tidak merusak secara total dari habitata spesies (keberadaan substrat lama masih
tersedia pada habitat tersebut).
Suksesi biota aquatik dapat juga diartikan sebagai pergantian suatu komunitas
oleh biota aquatic lainnya secara bertahap sebagai akibat dari pola perubahan
lingkungan atau ekosistem yang ada baik secara alami maupun buatan. Perubahan
ini dapat bersifat kontinu atau secara berkelanjutan, dimana rentetan suatu
perkembangan komunitas cenderung mengarah pada keadaan yang mantap (stabil)
dan permanen atau sering juga dinamakan klimaks. Suksesi dapat diartikan sebagai
suatu tahapan atau dinamika perubahan yang terjadi pada vegetasi di permukaan
bumi dalam populasi yang mempunyai peluang untuk digantikan dengan yang lain.
Sementara itu, Clements (1916) membedakan enam sub- komponen, diantaranya
terdiri dari: (a) nudation; (b) migrasi; (c) excesis; (d) kompetisi; (e) reaksi; dan (f)
final stabilisasi, klimaks (tahap akhir).
Suksesi-suksesi yang terjadi sebagai akibat dari perubahan lingkungan dalam
komunitas memerlukan waktu yang cukup signifikan. Dalam tahapan ini akan
berakhir dengan sebuah komunitas atau sering juga disebut dengan klimaks.
Mengacu dari konsep ini, komunitas sudah mengalami homoestosis. Konsep
mutahir suksesi juga sebagai bentuk pergantian dari berbagai jenis pioner
oleh jenis-jenis yang lebih mantap (stabil) yang sesuai dengan kondisi
lingkungannya dalam kurun waktu tertentu. Penggantian spesies dapat terjadi
karena kecenderungan populasi untuk mengubah atau memodifikasi lingkungan
fisik sehingga keadaannya nyaman untuk populasi lainnya dan akhirnya dapat
tercapai keseimbangan antara lingkungan biotik dan abiotik.
Tahapan awal dalam peristiwa suksesi yaitu terjadinya kolonisasi atau pola
penempatan dari penghunian habitat yang kosong oleh suatu organisme atau
spesies. Kolonisasi dalam hal ini dapat ditentukan oleh dua hal, yakni stok
kelimpahan sebagai komponen utama atau faktor pendukung dan ketersediaan
substrat sebagai tempat hidup dari organisme tersebut (tempat menempel). Dalam
hal ini komunitas dari makro benthos maupun kualitas perairan di sekitar lokasi

PANDUAN PRAKTIKUM EKOLOGI PERAIRAN 19


yang saling berdekatan atau dari tempat yang jauh serta pola reproduksi dari
masing-masing spesies juga akan saling mempengaruhi proses suksesi
makrobenthik pada ekosistem tertentu. Substrat batu kapur sebagai media yang
efektif untuk penempelan makro benthik seperti karang, sehingga dapat dijadikan
sebagai media atau tempat penempelan untuk melihat suksesi makro benthos dalam
jangka waktu tertentu.
4.3 Alat dan Bahan
A. Alat
Alat Fungsi
Akuarium Sebagai wadah pengamatan
Lampu LED Sebagai pencahayaan dalam pengamatan
Heater Untuk mengatur suhu dalam air
Kain penutup Sebagai penutup akuarium
Termometer Alat pengukur suhu dalam air
Plankton net Untuk menyaring plankton
pH meter Alat pengukur pH atau derajat keasaman
DO meter Alat pengukur kadar oksigen terlarut dalam air
Alat tulis Untuk menulis hasil pengamatan
Kamera Alat dokumentasi
Mikroskop Untuk pengamatan mikroorganisme
Meletakkan sampel untuk pengamatan
Gelas objek dan gelas penutup
mikroskop
Mengambil air sampel dalam skala
Pipet tetes
kecil
Ember Mengambil air

B. Bahan
Bahan Fungsi
Air sumur Sampel yang akan diamati
Air PDAM Sampel yang akan diamati
Air yang direbus Sampel yang akan diamati
Kertas label Menandakan sampel tiap perlakuan
Aquades Pelarut
Untuk mengidentifikasi biota hasil
Buku identifikasi
pengamatan

PANDUAN PRAKTIKUM EKOLOGI PERAIRAN 20


V. ANALISIS DATA

1. Parameter Fisika
a. Warna
Warna perairan dikelompokkan menjadi dua, yaitu warna sesungguhnya dan
warna tampak. Warna sesungguhnya adalah warna yang hanya disebabkan oleh
bahan-bahan kimia terlarut, sedangkan warna tampak adalah warna yang tidak
hanya disebabkan oleh bahan terlarut, tetapi juga oleh bahan tersuspensi. Warna
perairan ditimbulkan oleh adanya bahan organik dan bahan anorganik, seperti
keberadaan plankton, humus, dan ion-ion logam, serta bahan-bahan lain. Warna
perairan diamati secara langsung dengan pengamatan visual (warna tampak).
b. Suhu
Suhu dapat mempengaruhi aktivitas organisme akuatik seperti kegiatan tingkah
laku, pertumbuhan dan siklus reproduksi dikarenakan suhu berperan dalam
mengendalikan proses metabolisme dan respirasi. Suhu yang baik untuk hidup
organisme perairan yaitu antara 28-320C. Suhu air yang rendah dapat menyebabkan
berkurangnya nafsu makan pada ikan dan laju metabolisme menurun sehingga
kelangsungan hidup suatu organisme menjadi rendah, sebaliknya jika suhu terlalu
tinggi dapat menyebakan gangguan kesehatan pada ikan seperti, ikan rentan
terserang penyakit, mengalami stress, dan mengalami tingkah laku abnormal.
Langkah-langkah pengukuran suhu air dengan thermometer adalah sebagai berikut:
- Memasukkan thermometer secara langsung ke dalam perairan dan didiamkan 2–
5 menit hingga thermometer menunjukkan nilai stabil.
- Mencatat pembacaan skala dari thermometer tanpa mengangkat terlebih dahulu
thermometer dari air.
c. Arus
Kecepatan arus memiliki peran dalam pencampuran massa air, pengangkutan
unsur hara, dan transportasi oksigen. Kecepatan arus di sungai ditentukan oleh
kemiringan, substrat, kedalaman, dan kelebaran dasarnya. Perubahan kecepatan
arus berkaitan dengan massa air yang tidak selalu stabil ataupun pengaruh dari
angin selama penelitian. Kecepatan arus sungai dapat dibagi dalam 5 kategori yaitu
sungai berarus sangat cepat (memiliki kecepatan di atas 1 m/s), sungai berarus cepat

PANDUAN PRAKTIKUM EKOLOGI PERAIRAN 21


(memiliki kecepatan sekitar 0,5-1 m/s), sungai berarus sedang (memiliki kecepatan
sekitar 0,25- 0,5 m/s), sungai berarus lambat (memiliki kecepatan sekitar 0,1-0,25
m/s), dan sungai berarus sangat lambat (memiliki kecepatan di bawah 0,1 m/s).
Kecepatan arus yang masih baik untuk budidaya berkisar 5 – 15 cm/dt.
Kecepatan arus dilakukan dengan menggunakan botol aqua yang ditaruh di
permukaan sungai sejalan arah arus, di sampingnya telah diletakkan pipa yang
bertujuan untuk mengukur jarak yang ditempuh botol aqua dengan menghitung
waktu yang diperlukan oleh botol aqua untuk sampai pada ujung pipa lainnya
dengan menggunakan stopwatch.
d. Kedalaman
Kedalaman merupakan faktor penting dalam keberhasilan kegiatan budidaya
ikan karena ketinggian air sungai ketika pasang dan surut berbeda sehingga
penempatan KJA harus tepat. Kedalaman merupakan salah satu parameter
lingkungan yang berpengaruh terhadap kecerahan atau tingkat batas kemampuan
cahaya matahari yang mampu masuk ke dalam suatu perairan. Kedalaman
minimum untuk kegiatan budidaya adalah 2 meter dari dasar.
Pengukuran kedalaman dilakukan dengan paralon dimasukkan ke dalam
perairan dengan posisi tegak sampai menyentuh dasar perairan. Batas yang
ditunjukkan pada paralon adalah kedalaman dari perairan tersebut. Paralon
dimasukkan hanya sampai dasar perairan dan tidak boleh ditekan dikarenakan akan
menyebabkan paralon masuk ke substrat di dasar perairan dan menyebabkan
pengukuran tidak akurat. Setelah paralon sampai dasar perairan, kemudiat dilihat
skala kedalaman/ketinggian yang ada di paralon dan lalu dicatat hasilnya.
e. Kecerahan
Kecerahan perairan sangat dipengaruhi oleh keberadaan padatan tersuspensi,
zat-zat terlarut, partikel-partikel dan warna air. Tingkat kecerahan pada perairan
yang sesuai akan mendukung kehidupan organisme perairan, rendahnya kecerahan
pada suatu perairan akan memberi pengaruh terhadap proses fotosintesis
fitoplankton.
Untuk mengukur tingkat kecerahan perairan, alat yang digunakan berupa secchi
disk. Dengan cara membenamkan secchi disk ke dalam air di perairan yang
diinginkan, kemudian dilihat pada kedalaman berapa secchi disk tidak tampak dan

PANDUAN PRAKTIKUM EKOLOGI PERAIRAN 22


kedalaman berapa secchi disk tampak lagi bila, setelah itu secchi disk ditarik
perlahan ke atas. Kecerahan dihitung dengan melihat kedalaman rata-rata secchi
masih terlihat (D1) dan secchi tidak terlihat (D2) atau dengan rumus :
D1 + D2
Kecerahan =
2
Hasil dari penghitungan dari rumus tersebut kemudian diinterpretasikan
menurut Pal dkk., (2015), interpretasi secchi disajikan dalam table berikut.
Kedalaman Secchi Keterangan
< 20 cm Perairan sangat keruh. Jika kekeruhan disebabkan oleh
fitoplankton maka konsentrasi DO pada pagi hari akan
rendah, dan jika disebabkan oleh partikel tersuspensi
maka produktivitas perairan rendah
20-30 cm Kekeruhan mulai tinggi
30-45 cm Kondisi perairan yang baik, terutama jika kekeruhan
disebabkan oleh fitoplankton
45-60 cm Fitoplankton jarang ditemukan
> 60 cm Perairan jernih, produktivitas sangat rendah dan dapat
menimbulkan masalah dengan tanaman air

f. Tipe substrat
Substrat merupakan media berupa tempat (habitat) bagi organisme untuk
melakukan aktivitas kehidupan. Substrat suatu perairan berbeda-beda, yakni jenis
substrat berbatu, substrat berpasir ataupun substrat berlumpur. Kondisi substrat
yang demikian menyebabkan perbedaan komposisi fauna dan struktur komunitas
pada perairan laut dan pantai.
Untuk menentukan tipe substrat dilakukan dengan cara manual, yaitu dengan
memasukkan tangan atau benda yang dapat memastikan substrat di dalam perairan.
Kemudian disentuh dan diambil sedikit substrat pada tiap-tiap substasiun untuk
diamati secara visual.
g. Lebar badan sungai
Pengukuran lebar sungai dan lebar badan sungai dilakukan pengukuran dari
ujung sisi yang satu ke ujung sisi yang lainnya, biasanya lebar badan sungai lebih
lebar dari lebar sungai, lebar badan sungai diukur dari ujung sisi sungai hingga ke

PANDUAN PRAKTIKUM EKOLOGI PERAIRAN 23


ujung lainnya, sedangkan lebar sungai diukur dari ujung sisi sungai yang masih
terdapat air hingga ujung sisi lainnya yang masih terdapat air.
2. Parameter Kimia
a. pH
Derajat keasaman atau pH merupakan parameter untuk mengetahui sifat asam
atau basa di suatu perairan yang umumnya digunakan untuk pencemaran. Nilai pH
yang aman untuk organisme akuatik di perairan yaitu berkisar antara 6,5-8,0. Faktor
yang mempengaruhi nilai pH di perairan yaitu yaitu faktor fisika (kekeruhan),
faktor kimia (kadar CO2 dan salinitas), dan faktor biologis (perombakan bahan
organik dan densitas organisme). Langkah-langkah pengukuran pH air dengan pH
meter adalah sebagai berikut:
- pH meter dikalibrasi menggunakan akuades untuk mendapatkan hasil yang
akurat, kemudian dikeringkan dengan tisu halus.
- Mencelupkan elektroda ke dalam contoh uji (air pemeriksaan kualitas air) hingga
pH meter menunjukkan pembacaan yang stabil.
- Mencatat hasil pembacaan skala atau angka pada tampilan dari pH meter.
b. Dissolved Oxygen (DO) atau Oksigen Terlarut
Dissolved Oxygen (DO) di perairan memiliki peran penting sebagai indikator
kualitas air, dikarenakan DO berperan dalam proses oksidasi serta reduksi bahan
organik dan anorganik yang berfungsi untuk membantu mengurangi tingginya
beban pencemaran. Kadar oksigen terlarut di perairan bervariasi tergantung pada
suhu, salinitas, turbulensi air dan tekanan atmosfer. Kandungan DO yang baik
untuk budidaya ikan adalah antara 5-7 mg/l. Kadar oksigen terlarut di perairan yang
terlalu rendah dapat mengakibatkan organisme perairan mati dikarenakan
kekurangan oksigen. Langkah-langkah pengukuran oksigen terlarut (Dissolved
Oxygen) dengan DO meter adalah sebagai berikut:
- DO meter dikalibrasi menggunakan akuades.
- Mencelupkan sensor pada DO meter kedalam sampel air dan tekan tombol
power, tunggu selama 2-5 menit hingga nilai DO stabil.
- Mencatat hasil pembacaan skala atau angka pada tampilan DO meter.
c. Salinitas

PANDUAN PRAKTIKUM EKOLOGI PERAIRAN 24


Salinitas didefinisikan sebagai berat dalam gram dari semua zat padat yang
terlarut dalam 1 kilo gram air laut jikalau semua brom dan yodium digantikan
dengan khlor dalam jumlah yang setara; semua karbonat diubah menjadi oksidanya
dan semua zat organik dioksidasikan. Salinitas bisa berubah-ubah setiap waktu baik
pagi maupun sore, musim kemarau maupun musim hujan. Pada saat musim
kemarau salinitas bisa naik dengan drastis, sehingga banyak para pembudidaya ikan
tidak membudidayakan ikannya atau memilih untuk panen dini pada saat musim
kemarau datang. Langkah-langkah mengukur salinitas menggunakan refraktometer
adalah sebagai berikut:
- Refraktometer dibersihkan dengan tisu mengarah ke bawah.
- Pada bagian prisma Refraktometer ditetesi dengan tetes cairan seperti aquadest
atau larutan NaCl 5%.
- Cairan dituangkan hingga melapisi seluruh permukaan prisma menggunakan
pipet.
- Tutup secara hati-hati refraktometer dengan mengembalikan pelat ke posisi
awal. Prisma jangan dipaksakan masuk jika sedikit tertahan.
- Untuk mendapat hasil salinitas, tengok ke dalam ujung bulat refraktometer.
Bakal terlihat satu angka skala atau lebih. Ukuran salinitas terlihat pada garis
pertemuan bagian putih dan biru..
- Setelah dipakai, Refraktometer wajib dibersihkan hingga kering menggunakan
tisu atau kain lembut.
- Refraktometer sebaiknya disimpan di tempat kering.
3. Parameter Biologi
a. Plankton
Plankton merupakan organisme mikroskopis yang melayang-layang dalam air
dan mempunyai kemampuan renang yang sangat lemah serta pergerakannya selalu
dipengaruhi oleh arus air. Keberadaan plankton pada suatu perairan dipengaruhi
oleh lingkungan yang komposisinya berubah yang berkaitan dengan pergerakan air,
kekeruhan, suhu, dan nutrient. Rendahnya nilai parameter biologi plankton pada
suatu perairan akan menunjukkan penurunan kualitas dan tingkat pencemaran
perairan. Plankton di perairan terdiri dari fitoplankton dan zooplankton.

PANDUAN PRAKTIKUM EKOLOGI PERAIRAN 25


Fitoplankton adalah plankton yang bersifat sebagai tumbuhan, sedangkan
zooplankton adalah plankton hewan seperti holoplankton dan meroplankton.
Pengambilan sampel plankton diambil dengan cara menggunakan wadah yang
telah diketahui volumenya kemudian menyaring air yang telah diambil dengan
menggunakan plankton net. Penyaringan air dengan menggunakan plankton net
dilakukan dengan cara air diguyurkan mengelilingi jala secara perlahan untuk
menghindari atau mengurangi kerusakan pada morfologi plankton yang terjaring
akibat adanya gesekan oleh air. Air yang telah tersaring dimasukkan ke dalam botol
dan diawetkan menggunakan pengawet lugol sebanyak 3-5 tetes. Setelah
pengambilan sampel selesai, kemudian jala plankton net dibilas dengan air bebas
plankton. Sampel air kemudian dibawa ke laboratorium untuk dihitung kelimpahan
planktonnya. Kelimpahan plankton dinyatakan dalam sel/m3 (untuk fitoplankton)
atau individu/m3 (untuk zooplankton) yang dihitung dengan rumus (Fachrul, 2007):
Vr 1
N=nx x x1000
Vo Vs
Keterangan:
N : Kelimpahan plankton (sel/m3) atau individu/m3
n : Jumlah plankton yang teramati (sel atau individu)
Vr : Volume air yang tersaring (m3)
Vo : Volume air yang diamati pada Sedgwich-Rafter (m3)
Vs : Volume air yang disaring (Lt)
1000 : Faktor konversi dari Liter ke m3
b. Perifiton
Perifiton adalah organisme yang tumbuh dan melekat pada substrat. Perifiton
terdiri dari bakteri, protozoa menempel, algae, rotifera dan mikroorganisme yang
hidup menempel. Secara umum, perifiton terdiri dari perifiton nabati dan perifiton
hewani. Mikroorganisme perifiton dapat menunjukkan adanya hubungan antara
keberadaan komunitas dengan tingkat kebersihan ataupun pencemaran perairan,
sehingga dapat dijadikan indikator biologi atau pencemaran organik. Perifiton
bersifat saprobia atau ketergantungan organisme pada proses dekomposisi bahan
organik sebagai satu-satunya sumber. Berdasarkan substrat dan penempelannya,
organisme perifiton dapat dibagi menjadi enam jenis, antara lain:

PANDUAN PRAKTIKUM EKOLOGI PERAIRAN 26


• Epipilik merupakan organisme yang menempel pada permukaan sedimen dan
lumpur.
• Epilitik merupakan organisme yang menempel pada permukaan batuan.
• Epifitik merupakan organisme yang menempel pada permukaan tumbuhan.
• Epizoik merupakan organisme yang menempel pada permukaan hewan.
• Episamik merupakan organisme yang hidup dan bergerak diantara butiran pasir-
pasir.
• Epidendrik merupakan organisme yang tumbuh pada permukan kayu
Perifiton diambil dengan mengerik substrat berukuran 2 cm x 2 cm yang telah
kita dapatkan yang berupa kayu-kayu ataupun bebatuan. Hasil pengerikan tersebut
kemudian dibawa ke laboratorium untuk diamati dengan mikroskop untuk dihitung
kepadatan perifitonnya. Kepadatan perifiton dinyatakan dalam ind/cm2 yang
dihitung dengan rumus berikut:
Uoi Vr 1 𝑛
N= x x x
Op UVo A Up
Keterangan:
Ni = Kepadatan perifiton jenis i (ind/cm2)
Oi = Luas gelas penutup (mm2)
Op = Luas lapang pandang (mm2)
Vr = Volume botol contoh (ml)
Vo = Volume satu tetes air contoh (ml)
A = Luas bidang kerikan (cm2)
n = Jumlah perifiton jenis i yang tercacah
p = Jumlah lapang pandang
U = ulangan
c. Nekton
Nekton merupakan organisme perairan yang aktif bergerak dan berenang bebas
di kolom perairan, tidak bergantung pada pergerakan arus dan gelombang. Nekton
merupakan unsur yang paling banyak dan mudah ditemui dalam ekosistem perairan
contohnya ikan. Ikan dapat dijadikan sebagai indikator kualitas lingkungan dan
ekosistem perairan. Hal ini karena ikan merupakan organisme perairan yang

PANDUAN PRAKTIKUM EKOLOGI PERAIRAN 27


memiliki siklus hidup lebih kompleks dibandingkan dengan organisme perairan
lainnya dan menempati peringkat teratas dalam struktur trofik.
Pengambilan contoh nekton dilakukan dengan cara menangkapnya secara
langsung dengan menggunakan saringan, kemudian masukkan ke dalam plastik
yang ditambahkan dengan aquades.
d. Neuston
Neuston merupakan organisme perairan baik itu hewan maupun tumbuhan
yang hidup di permukaan perairan, organisme yang hidup di permukaan perairan
dibagi menjadi dua, yaitu: Epineuston (organisme yang hidup diatas permukaan air)
dan Hyponeuston (organisme yang hidup dibawah lapisan permukaan). Organisme
neuston yang umum ditemukan di perairan adalah dari kelompok tumbuhan.
Kelompok tumbuhan atau vegetasi air disebut dengan makrofita. Makrofita yang
terdapat di lingkungan ekosistem perairan terbagi menjadi 3, yakni: (i) vegetasi
tersembut (contoh: Thypa sp. dan Scirpus sp.), (ii) vegetasi daun mengapung
(contoh: Teratai dan enceng gondok) dan (iii) vegetasi terendam (contoh: Elode sp.
dan Pamtogeton sp). Pengambilan contoh neuston dilakukan dengan cara
menangkapnya secara langsung, baik dengan saringan ataupun secara manual.
e. Bentos
Bentos merupakan organisme penghuni dasar perairan atau endapan dasar.
Organisme bentos bersifat herbivora dan detritivor serta membantu mempercepat
proses dekomposisi materi organik. Organisme bentos memiliki peran ekologis
untuk ekosistem perairan. Organisme bentos berukuran mikroskopis seperti
Crustacea, Isopoda, Decapoda, Oligochaeta, Mollusca, Nematoda dan Annelida.
Organisme bentos menempati struktur trofik kedua dan ketiga, membantu proses
mineralisasi dan pendaurulangan bahan organik serta membatu mempercepat
proses dekomposisi materi organik. Organisme perairan bentos dapat
dikelompokkan menjadi tiga, yakni: berdasarkan ukuran, jenis makanan serta
tempat berkembang dan substrat.
a) Berdasarkan ukuran, organisme bentos berdasarkan ukuran terdiri dari:
makrobentos, mikrobentos dan meiobentos.
• Makrobentos berukuran 1 mm, contohnya: larva Chironomide,
Oligochaeta dan Bivalvia.

PANDUAN PRAKTIKUM EKOLOGI PERAIRAN 28


• Mikrobentos berukuran 0,05 mm, contohnya: Bakteria, Fungi dan
Protozoa.
• Meiobentos berukuran 0,05 – 1 mm, contohnya: Nematoda dan Crustacea.
b) Berdasarkan jenis makanan, organisme bentos berdasarkan jenis makanan
terdiri dari: filter feeder dan deposit feeder.
• Filter feeder merupakan organisme yang memakan material yang
tersuspensi dalam air seperti zat organik dan plankton. Contoh: Bivalvia,
Sponge, Ascidians dan Cacing Kipas.
• Deposit feeder merupakan organisme yang memakan material organik
yang terjebak dalam sedimen seperti detritus dan material organik yang
lebih halus. Contoh: Cacing, Gastropoda, Teripang dan Crustacea.
c) Berdasarkan tempat berkembang dan substrat, organisme bentos berdasarkan
tempat tumbuh terdiri dari: Haptobentos, Herpobentos, Endobentos dan
Rhizobentos.
• Haptobentos merupakan organisme bentik yang berkembang pada substrat
keras.
• Herpobentos merupakan organisme yang hidup pada substrat yang lunak.
• Endobentos merupakan mikroflora yang berkembang dalam substrat.
• Rhizobentos merupakan tumbuhan berakar atau makrofita bentik.
1) Kepadatan Bentos
X =µ/3m
Keterangan :
X = Kepadatan Benthos (ind/m2)
µ = Jumlah individu (bentos) yang diperoleh
3 = merupakan angka yang menunjukkan jumlah ulangan
m = Diameter paralon
2) Indeks Keanekaragaman (H’)
Indeks keanekaragaman (H’) menggambarkan keadaan populasi organisme
secara matematis agar mempermudah dalam menganalisis informasi jumlah
individu masing-masing jenis pada suatu komunitas. Untuk itu dilakukan
perhitungan dengan menggunakan persamaan dari Shannon-Wiener (Krebs, 1989)
dengan rumus sebagai berikut:

PANDUAN PRAKTIKUM EKOLOGI PERAIRAN 29


Hʹ = − ∑𝑠𝑖=𝑠 𝑝𝑖 In 𝑝𝑖
Keterangan:
H’ = indeks keanekaragaman Shannon – Wiener
𝑛𝑖
pi = 𝑁

ni = Jumlah individu dari suatu jenis ke-i


s = Jumlah total individu seluruh jenis
Indeks keanekaragaman (H’) Shannon-Wiener memiliki kisaran nilai
tertentu, yaitu:

H’<1 (keanekaragaman rendah),


1<H’<3 (keanekaragaman sedang),
H’>3 (keanekaragaman tinggi) (Sulaeman dkk., 2020)
3) Indeks Keseragaman
Indeks keseragaman (Evenness index) yang digunakan berdasarkan fungsi
Shannon-Wiener untuk mengetahui sebaran tiap jenis hewan makrobentos dalam
luasan area pengamatan (Fachrul, 2007).
𝐻ʹ 𝐻ʹ
E = 𝐻 𝑚𝑎𝑥 = ln 𝑆

Keterangan:
E = Indeks Keseragaman
Hʹ = Indeks Keanekaragaman
H max = ln 𝑆
S = Jumlah spesies
Indeks keseragaman jenis (E) memiliki kisaran nilai 0-1. Apabila nilai indeks
keseragaman jenis mendekati angka 1, maka setiap jenis memiliki jumlah individu
yang hampir sama.
4) Indeks Dominansi
Menurut Simpson (1949) dalam Odum (1993) indeks dominansi ini dapat
dihitung dengan rumus:
𝑛𝑖 2
C = (𝑁)

Keterangan:
C = Indeks dominansi Simpson

PANDUAN PRAKTIKUM EKOLOGI PERAIRAN 30


ni = jumlah total individu jenis ke- i
N = jumlah seluruh individu dalam total n
pi = ni/N = sebagai proporsi jenis ke-i
Indeks dominansi Simpson memberikan bobot yang relatif lebih kecil pada
taksa yang jarang ditemui dan bobot lebih pada taksa yang melimpah.
- 0-0,5 menandakan tidak ada jenis yang mendominasi,
- 0,5-1 mengindikasikan adanya jenis tertentu yang mendominasi (Desinawati
dkk., 2018).
Langkah-langkah pengujian makrozoobentos adalah sebagai berikut:
1) Saring hewan bentos dengan saringan yang berdiameter 0,595 mm lalu dicuci
dengan air hingga bebas dari kotoran dan bahan pengawet, alkohol atau
formalin.
2) Letakkan bentos pada cawan petri dengan pembubuhan beberapa tetes air
bersih hingga basah.
3) Amati hewan bentos dengan mikroskop binokuler.
4) Lakukan identifikasi spesies hewan bentos khususnya hewan dasar air.
f. Tumbuhan air
Pengambilan contoh tumbuhan air dilakukan dengan cara mengambilnya
secara langsung dan memasukkannya ke dalam plastik. Pengambilan tumbuhan ini
dilakukan di setiap stasiun yang telah ditentukan.
g. Lamun
Hitung persentase penutupan (C) dari tiap spesies lamun dalam tiap transek
kuadrat (1 x1 m2) dengan rumus English et al., 1997 in Yayasan Terangi 2005:
∑(𝑀𝑖 𝑥 𝑡𝑖)
𝐶=
∑f
Dimana:
Mi = nilai tengah persentase dari kelas ke-I
F = frekuensi (jumlah dari sektor dengan kelas penutupan yang sama)
Penutupan maksimum yang mungkin tercatat untuk suatu spesies adalah 75%.
Apabila perhitungan penutupan suatu spesies lamun melebihi angka ini, maka ada
kesalahan dalam menjalankan metode ini.
h. Mangrove
Kategori pohon dan anakan mangrove serta semai adalah sebagai berikut.

PANDUAN PRAKTIKUM EKOLOGI PERAIRAN 31


• Pohon : Diameter > 4 cm, Tinggi > 1m
• Anakan : Diameter < 4 cm , Tinggi > 1 m
• Semai : Tinggi < 1 m, Diameter < 4 cm
Prosedur pengamatan pada setiap plot;
1. Determinasi/indentifikasi jenis tumbuhan mangrove yang ada.
2. Hitung jumlah individu tiap jenis.
3. Ukur lingkar batang tiap pohon mangrove setinggi dada (1.3 m).
Suatu gambaran mengenai pengaruh atau peranan spesies tumbuhan
mangrove dalam komunitas mangrove. Terlebih dahulu kita mengetahui: Kerapatan
jenis Jumlah tegakan jenis i dalam suatu area
1) Kerapatan jenis mangrove

Di : Kerapatan jenis i
Ni : Jumlah tegakan dari jenis i
A : Luas total area pengambilan contoh
2) Kerapatan relatif mangrove
Perbandingan antara jumlah tegakan jenis i (Ni) dan jumlah total tegakan
seluruh jenis (ΣN)

Dimana,
Rdi : Kerapatan relatif jenis i
ΣN : Jumlah total tegakan seluruh jenis
3) Frekuensi jenis
Peluang ditemukannya jenis i dalam plot yang diamati

Dimana,
Fi : Frekuensi jenis i
Pi : Jumlah plot dimana ditemukannya jenis i
Σp : Jumlah total plot yang diamati

PANDUAN PRAKTIKUM EKOLOGI PERAIRAN 32


4) Frekuensi relatif jenis

Dimana,
Rfi : Frekuensi relatif jenis i
F : Frekuensi jenis i
ΣF : Jumlah frekuensi untuk seluruh jenis

5) Penutupan jenis

Dimana,
BA : πDBH2 /4 (dalam cm)
DBH : CBH/π Π : Suatu konstanta
DBH : Diameter pohon dari jenis i
A : Luas total area pengambilan contoh
CBH : Lingkaran pohon setinggi dada jenis i
Ci : Luas area penutupan
6) Penutupan relatif jenis
Perbandingan secara luas area penutupan jenis I (Ci) dan luas area penutupan
untuk seluruh jenis (ΣC)

Keterangan :
RCi : Penutupan relatif jenis
Ci : Luas area penutupan jenis ke-i
ΣC : Luas total area penutupan untuk seluruh jenis

Jadi Indeks Nilai Penting (INP) mempunyai rumus:


INP= RDi + RFi + RCi
Keterangan:
INP : Indeks nilai penting
RDi : Kepekatan relatif jenis

PANDUAN PRAKTIKUM EKOLOGI PERAIRAN 33


RFi : Frekuensi relatif jenis
RCi : Penutupan relatif jenis
i. Terumbu Karang
Rumus Presentase tutupan terumbu karang

(Panjang total kategori ke – i)x 100%


Panjang transek

Kriteria penutupan karang hidup:


75.0%-100% = sangat baik
50.0%-74.9% = baik
25.0%-49.9% = sedang
0.0%-24.9% = buruk

PANDUAN PRAKTIKUM EKOLOGI PERAIRAN 34


SISTEMATIKA PENULISAN LAPORAN PRAKTIKUM

1. Laporan praktikum diketik dan bersifat kelompok. Pada bagian belakang


laporan setelah daftar pustaka diberikan pembagian tugas anggota kelompok.
2. HVS A4, margin 4-3-3-3, TNR 12
3. Dikumpulkan secara hardfile dan wajib diserahkan kepada asisten praktikum
secara langsung sesuai deadline yang sudah ditentukan.
4. Laporan praktikum dijilid dengan menggunakan buffalo berwarna biru muda
5. Apabila terdapat revisi dari asisten praktikum terhadap laporan praktikan,
wajib diperbaiki sebelum kembali dikumpulkan.
6. Wajib dibuat sebagai syarat responsi.

Contoh cover :

LAPORAN PRAKTIKUM
EKOLOGI PERAIRAN

JUDUL PRAKTIKUM

Logo
Universitas
4 3
Tidar

Disusun oleh :
Kelompok
(Nama – NPM)

PROGRAM STUDI AKUAKULTUR


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS TIDAR
MAGELANG
2023

PANDUAN PRAKTIKUM EKOLOGI PERAIRAN 35


DAFTAR PUSTAKA

Adinugroho, M., Subiyanto, dan Haeruddin. 2014. Komposisi dan Distribusi


Plankton di Perairan Teluk Semarang. Saintifika. Vol 16 (2): 39-48.
Akbarurrasyid, M. 2021. Ekologi Perairan. Jakarta: Amafrad Press.
Anggraini, D R. A A, Damai. Q, Hasani. 2018. Analisis Kesesuaian Perairan Untuk
Budidaya Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis) di Perairan Pulau
Tegal Teluk Lampung. e-Jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya
Perairan. Vol. 6 (2): 719-728.
Ashar, Y. K. 2020. Analisis Kualitas (BOD, COD, DO) Air Sungai Pesanggrahan
Desa Rawadenok Kelurahan Rangkepan Jaya Baru Kecamatan Mas Kota
Depok. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Islam Negeri
Sumatera Utara, Medan.
Dwiyanto, V., Indriana, D. K., & Tugiono, S. 2016. Analisis Pembangkit Listrik
Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) Studi Kasus: Sungai Air Anak (Hulu Sungai
Way Besai). JRSDD. Vol. 4(3): 407-422.
Hakim, A. A., Mohammad, M. K., Nurlisa, A. B., & Ridwan, A. 2019. Analisis
Orde Sungai dan Distribusi Stadia Sebagai Dasar Penentuan Daerah
Perlindungan Ikan Sidat (Anguilla spp.) di DAS Cimandiri, Jawa Barat.
Jurnal Pengelolaan Perikanan Tropis. Vol. 3(1): 1-9.
Harmilia, E. D., Puspitasari, M., & Hasanah, A. U. 2021. Analisis Fisika Kimia
Perairan di Anak Sungai Komering Kabupaten Banyuasin untuk Kegiatan
Budidaya Ikan. Journal of Global Sustainable Agriculture. Vol. 2(1): 16-
24.
Junda, M., Hijriah., & Hala, Y. 2013. Identifikasi Perifiton sebagai Penentu
Kualitas Air pada Tambak Ikan Nila (Oreochromis niloticus). Jurnal
Bionatura. Vol. 14(1): 16-24.
Kamaludin, S. H K, Surtikanti. W, Surakusumah. 2018. Studi Kelayakan Situ
Bagendit sebagai Sumber Belajar Pada Mata Kuliah Biologi Air Tawar.
Journal Indonesian Biology Teacher. Vol. 1 (2: 53-6.
Khasanah, U. M F, Samawi. K, Amri. 2016. Analisis Kesesuaian Perairan untuk
Lokasi Budidaya Rumput Laut Eucheuma cottonii di Perairan Kecamatan
Sajoanging Kabupaten Wajo. Jurnal Rumput Laut Indonesia. Vol. 1
(2):123-131.
Kurnianti, L. Y., Haeruddin., & Arif, R. 2020. Analisis Beban dan Status
Pencemaran BOD dan COD di Kali Asin, Semarang. Journal of Fisheries
and Marine Research. Vol. 4(3): 379-388.
Lestari, Y. I., Dwi, M., Dedi, S., Neri, K., & Yudi, A. 2020. Analisis Kualitas
Perairan Untuk Budidaya Ikan Air Tawar di Bendungan Batu Bulan.
Indonesian Journal of Applied Science and Technology. Vol. 1(4): 126-133.

PANDUAN PRAKTIKUM EKOLOGI PERAIRAN 36


Mainassy, M. C. 2017. Pengaruh Parameter Fisika dan Kimia terhadap Kehadiran
Ikan Lompa (Thryssa baelama forsskål) di Perairan Pantai Apui Kabupaten
Maluku Tengah. Jurnal Perikanan UGM. Vol. XIX(2): 61-66.
Muhtadi, A., & Cordova, M. R. 2016. Ekologi Perairan.
Nurruhwati, I. Zahidah. A, Sahidin. 2017. Kelimpahan Plankton di Waduk Cirata
Provinsi Jawa Barat. Jurnal Akuatika Indonesia. Vol. 2 (2): 102-108.
Odum E. 1971. Fundamentals of Ecology. Philadelphia, PA: Saunders.
Pemerintah Republik Indonesia. 2021. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 21 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang. Jakarta.
Pal, S. D, Das. K, Chakraborty. 2015. Colour Optimization of the Secchi Disk and
Assesment of the Water Quality in Consideration of Light Extinction
CoEfficient of Some Selected Water Bodies at Cooch Behar, West Bengal.
International Journal of Multidiciplinary Research and Development. Vol.
2 (3): 513-518.
Rangkuti, A. M., & Cordova, M. R. 2014. Ekologi Perairan Suatu Panduan
Praktikum. Bogor: PT. Penerbit IPB Press.
Ridwantara, D., Ibnu, D. B., Asep, A. H. S., Walim, L., & Ibnu, B. 2019. Uji
Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Benih Ikan Mas Mantap (Cyprinus
carpio) pada Rentang Suhu yang Berbeda. Jurnal Perikanan dan Kelautan.
Vol. X(1): 46-54.
Rosada, K. K., & Sunardi. 2021. Metode Pengambilan dan Analisis Plankton.
Bandung: Unpad Press.
Rosmawati. 2011. Ekologi Perairan. Hilliana Press: Jakarta.
Syaifullah, A. 2014. Studi Parameter Fisika Perairan Bagi Peruntukan Budidaya
Ikan (Kasus Waduk Bilibili, Kabupaten Gowa). Skripsi. Universitas
Muhammadiyah Makassar.
Urbasa, P. A., Undap, S. L., & Rompas, R. J. 2015. Dampak Kualitas Air Pada Budi
Daya Ikan dengan Jaring Tancap di Desa Toulimembet Danau Tondano
Jurnal Budidaya Perairan Januari. Vol. 3(1): 59-67.
Wijaya, H.K. 2009. Komunitas Perifiton dan Fitoplankton Serta Parameter Fisika
Kimia Perairan Sebagai Penentu Kuallitas Air di Bagian Hulu Sungai
Cisadane, Jawa Barat. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

PANDUAN PRAKTIKUM EKOLOGI PERAIRAN 37

Anda mungkin juga menyukai