Anda di halaman 1dari 215

Materi Penataran KUHP

Baru (Undang-Undang
No. 1 Tahun 2023)
Kerjasama MAHUPIKI – FH
Universitas Pancasila
Jakarta, 7 – 9 Februari 2023
DAFTAR ISI
1) Tindak Pidana, Ajaran Melawan Hukum, Tindak Pidana Aduan, dan Alasan Pembenar,
Prof. Dr. Marcus Priyo Gunarto, S.H., M.H……………………………………………………………………..3

2) Kesalahan dan Pertanggungjawaban Pidana, Alasan Pemaaf,


Dr. Chairul Huda, S.H., M.H……………………………………………………………………………………..27

3) Alasan Pemberat dan Peringan Pidana,


Dr. Yenti Garnasih, S.H., M.H. …………………………………………………………………………………..54

4) Ruang Lingkup Berlakunya Hukum Pidana,


Prof. Dr. Topo Santoso, S.H., M.H.………………………………………………………………………………79

5) Pemidanaan Pidana dan Tindakan,


Prof. Dr. Harkristuti Harkrisnowo, S.H., M.A., PhD…………………………………………………………....107

6) Penyertaan, Perbarengan, Permufakatan Jahat, Persiapan, Percobaan,


Dr. Surastini Fitriasih, S.H., M.H………………………………………………………………………………...152

7) Tindak Pidana Khusus & Pengaturan Peralihan dalam KUHP Baru,


Prof. Dr. H. Elwi Danil, S.H., M.H……………………………………………………………………………….171

8) Gugurnya Kewenangan Penuntutan dan Pelaksanaan Pidana,


Prof. Dr. Pujino, S.H., M.Hum……………………………………………………………………………………192
TINDAK PIDANA,
AJARAN MELAWAN
HUKUM, TINDAK
PIDANA ADUAN DAN
ALASAN PEMBENAR
Prof. Dr. Marcus Priyo Gunarto, S.H., M.H.
3 Masalah Pokok Hukum Pidana

Perbuatan Pertanggungjawaban/ Pidana


Kesalahan
Trias Hukum Pidana
The three basic concepts
Tindak Pidana
Peristiwa Pidana
01 Starfbaarfeit 02
Utrecht, UUDS 1950 Pasal 14 ayat 1

Perbuatan Pidana Tindak Pidana


03 04
Moeljatno, UU 1/1951 Soedarto, UU No.7/1955

Arti delict Sbg:


05 Delik Tatbestandmassigkeit, ketentuan yg dirumuskan UU ybs, mk disitu ada delik.
Wesenschau, yi. klkn yg menccki lksn kttn yg dirmskn UU ybs, ttp baru mrpkn delik
apabila menurut sifatnya cocok dgn makna dari ketentuan UU yang terkait.
Doktrin tentang Tindak Pidana

Monistis Dualistis
Memandang keseluruhan syarat (tumpukan Memisahkan antara dilarangnya suatu pbtn
syarat) untuk adanya pidana itu merupakan dgn sanksi ancaman pid (criminal act/actus
sifat dari perbuatan. reus) dan dpt dipertg-jwbkannya si pembuat
(criminal responsibility/ mens rea).
1.D. Simon
2.Van Hamel 1.HB. Vos
3.E. Mezger 2.W.P.J Pompe
4.Karni 3.Moeljatno
5.J. Boumann.
Doktrin tentang Tindak Pidana

Monitis Dualiastis

Memisahkan antara
Memandang keseluruhan dilarangnya suatu perbuatan
syarat (tumpukan syarat) dengan sanksi ancaman pidana
untuk adanya itu (criminal act/ actus reus) dan
merupakan sifat dari dapat dipertanggungjawabkan
si pembuat (criminal
perbuatan.
responsibility/ mens rea)
Unsur Tindak Pidana
Monistis
Simon: Perbtn salah dan melawan hkm, yg diancam pid, yg dilakukan oleh
org yg mampu bertggjwb (een strafbaar gestelde, onrechtmatige, met schuld
verband staande handeling van een toerekeningsvatbaar persoon).

Jadi unsurnya:
• Perbuatan manusia (positief atau negatief)
• Diancam dengan pidana (strafbaar gesteld)
• Melawan hukum (onrechtmatig)
• Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand)
• Oleh orang yang mampu bertanggungjawab (toerekeningsvatbaar persoon)

Unsur objektif: Unsur Subjektif:


1.Perbuatan orang; 1. Orang yg mampu bertgjwb
2.Akibat yg kelihatan dr perbuatan itu; 2. Adanya kesalahan (dolus/ culpa) à
3.Mungkin ada keadaan ttt yg menyertai dpt berupa akibat dr perbuatan
Perbtn itu (ex. Openbaar)
Van Hamel:
Def hampir sama dg Simons, hanya ada satu syarat lagi yi. Perbt itu hrs patut di pidana
(..welke handeling een strafwaardig karakter heeft)

Jadi unsurnya:
1. Perbuatan manusia yg di rmskan dlm UU
2. Melawan hukum
3. Dilakukan dgn kesalahan
4. Patut di pidana

E. Mezger: Tindak pidana adalah keseluruhan syarat untuk adanya


pidana (Die straftat ist der inbegriff der voraussetzungen der strafe).

1.Perbuatan dalam arti yang luas (aktif atau membiarkan)


2.Sifat melawan hukum (bersifat objektif maupun subjektif)
3.Dapat dipertanggungjawabkan kepada seseorang
4.Diancam dengan pidana
Karni:
Delik mengandung perbuatan yang mengandung perlawanan hak, yang dilakukan
dengan salah/ dosa, oleh orang yang sempurna akal budinya dan kepada siapa
perbuatan patut dipertanggungjawabkan.

J. Boumann:
“Die tanbestandmaszige rechtwidrige und schuld-hafte handlung
(Perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan
dengan kesalahan)
Unsur Tindak Pidana
Dualistis
HB Vos:
Kelakuan manusia yang diancam dengan Pidana dalam UU

W.P.J. Pompe:
Menurut teori: suatu plgrn thd norma yg dilkkn krn kesalahan si pelanggar dan diancam dgn
pid u/ mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum
Menurut Hukum Positip: suatu kejadian/ feit yg oleh prtrn UU dirumuskan sbg perbtn yg dpt
dihukum.
Ditempat lain:
Sf adlh pbtn yg bersifat mlwn hk, dilkn dgn kesalahan dan diancam pidana, ttp sifat mlwn hk
(wederrechtelijkheid) dan kesalahan (schuld) bukanlah sifat mutlak adanya Sf. Org tdk
dipidana kalau tdk ada sifat mlwn hk/ kesalahan.
Jadi dipisahkan antara tindak pidana dari org yg dpt dipidana.
Unsur Sf:
•Pelanggaran norma (norm overtreding)
•Adanya kesalahan (schuld heeft)
Moeljatno:
Perbtn Pid adlh perbtn yg diancam dg pid, brg siapa yg mlggr larangan tsb.
Perbuatan pidana hrs ada unsur:

Perbuatan (manusia)
Memenuhi rumusan UU (syarat formil)
Bersifat melawan hkm (syarat materiil).

Syarat formil berkaitan dengan asas legalitas


Syarat materiil à perbtn itu hrs dirasakan oleh msyrkt sbg perbtn yg tak boleh/ tak patut
dilkkn.
Kesalahan dan kemampuan bertgjwb tak masuk sbg unsur Pbt pid krn hal tsb melekat pd
org yg berbuat.
Tindak Pidana
Pasal 12 Pasal 36
1) Tindak Pidana merupakan perbuatan yang
1) Setiap Orang hanya dapat dimintai
oleh peraturan perundang- undangan
pertanggung- jawaban atas Tindak Pidana
diancam dengan sanksi pidana dan/atau
yang dilakukan dengan sengaja atau karena
Tindakan.
kealpaan.
2) Untuk dinyatakan sebagai Tindak Pidana,
2) Perbuatan yang dapat dipidana merupakan
suatu perbuatan yang diancam dengan
Tindak Pidana yang dilakukan dengan
sanksi pidana dan/atau tindakan oleh
sengaja, sedangkan Tindak Pidana yang
peraturan perundang- undangan harus
dilakukan karena
bersifat melawan hukum atau bertentangan
kealpaan dapat dipidana jika secara tegas
dengan hukum yang hidup dalam
ditentukan dalam peraturan perundang-
masyarakat.
undangan
3) Setiap Tindak Pidana selalu bersifat
melawan hukum, kecuali ada alasan
pembenar.
• Mengacu Pada Trias Hukum Pidana;
• Tidak ada di WvS, TP perlu dirumuskan untuk menjamin kepastian hukum;
• Mengikuti pandangan dualistis, perbuatan dan pertanggungjawaban pidana
dipisah;
• Perbuatan harus diancam dengan pidana dan/ atau tindakan;
• Perbuatan Selalu bersifat melawan hukum::
• Bertentangan dengan UU; atau
• Bertentangan dengan .hukum yang hidup à unsur pencelaan
• Dikecualikan sebagai TP jika ada alasan pembenar;
• TP Hanya perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, culpa di pidana apabila
dinyatakan secara tegas di dalam UU.
• Dikecualikan apabila ada alasan pembenar. (persoalan perbuatan, sedangkan
alasan pemaaf sebagai persoalan pertanggungjawaban pidana)
Tindak Pidana Aduan
Pasal 24

(1) Dalam hal tertentu, pelaku Tindak Pidana • Ada kepentingan hukum yg lebih besar jika
hanya dapat dituntut atas dasar dibandingkan kepentingan penuntutan;
pengaduan. • Harus dinyatakan secara tegas dlm UU;
• Untuk memberikan kepastian hukum yang
(2) Tindak Pidana aduan harus ditentukan berhak mengadukan;
secara tegas dalam Undang- • Yang berhak mengadukan adalah korban, kcl
Undang. ditentukan lain;
• Diajukan dengan permohonan dan diikuti
dengan permintaan untuk dituntut;
• Ada batas waktu pengajuan dan penarikan;
• Jika sudah ditarik tidak dapat diajukan lagi;
Yang berhak
mengadukan
PADA PRINSIPNYA YANG BERHAK MENGADUKAN
ADALAH KORBAN
DALAM HAL:
- Korban belum berusia 16 tahunà orang tua/wali
- Orang tua tidak ada/ justru yg harus diadukan à
klg sedarah dlm garis lurus;
- Klg sedarah dlm garis lurus tidak ada àklg dlm
garis menyamping derajat 3;
- Tidak ada ot/wali, klg garis lurus atau garis
menyamping derajat 3à diri sendiri dan/atau
pendamping.

SELAIN KORBAN, DALAM TINDAK PIDANA


TERTENTU UU MENENTUKAN SECARA LIMITATIF.
TP. Aduan, Pengaduan, dan Cara Mengadu
Perbuatan Pengadu Cara

Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden (218) Presiden/ Wkl Presiden Tertulis

Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Kepala Negara Sahabat dan Wakil Negara Sahabat (226) Presiden/ Wkl Presiden Tertulis
Neg. sahabat.

Penghinaan terhadap Pemerintah atau Lembaga Negara (240) Pempinan Pem/ Lbg Neg. Tertulis

Bersikap tidak hormat/ menyerang integritas terhadap aparat penegak hukum, petugas pengadilan, atau Hakim Tertulis
persidangan padahal telah diperingatkan oleh hakim (280)

Pemalsuan/ cap/ tanda/ merk (388) Korban Tertulis/lisan

Perzinahan (411) Suami/istri à terikat kawin Tertulis/lisan


Orang tua/ anaknyaà tidak terikat

Membuka rahasia (443) Korban

memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu dengan ancaman Korban Tertulis/lisan
pencemaran atau pencemaran tertulis. (448)

Melarikan Anak (454) Anak/ ot/ walinya Tertulis/lisan

Melarikan Perempuan (454) Perempuan/ suaminya Tertulis/lisan

Perkosaan dlm ikatan perkawinan (473 ayat 6) korban Tertulis/lisan

Pencurian pada boedel scheiding (481)

Tindak Pidana Penerbitan dan percetakan (596)


Sifat Melawan Hukum
Pasal 12

• Ada frasa diancam dengan sanksi pidana


(1) ------------------------------------------------
dan/atau tindakan oleh peraturan
(2) Untuk dinyatakan sebagai Tindak
perundang- undangan à melawan
Pidana, suatu perbuatan yang diancam
hukum formil;
dengan sanksi pidana dan/atau
• Ada frasa atau bertentangan dengan
tindakan oleh peraturan perundang-
hukum yang hidup dlm masyarakatà
undangan harus bersifat melawan
melawan hukum materiil.
hukum atau bertentangan dengan
• Ada frasa selalu bersifat melawan
hukum yang hidup dalam masyarakat.
hukum, kecuali ada alasan pembenarà
(3) Setiap Tindak Pidana selalu bersifat
sifat yg selalu melekat pada tindak
melawan hukum, kecuali ada alasan
pidana / fungsi konstitutip dari setiap
pembenar.
delik.
Melawan Hukum

1) Arti formil: melawan hukum adalah melawan UU/ hk positip.


2) Arti materiil: (mempunyai banyak pengertian)
- melawan UU maupun melawan hk di luar UU;
- perbuatan yg bertentangan dgn asas-asas umum, norma-norma
tidak tertulis;
- bertentangan dengan kebudayaan;
- bertentangan dengan kewajiban orang;
- bertentangan dengan dasar pikiran/ faham nasional/ idiologi;
- perbuatan yang membahayakan kepentingan masyarakat.
Alasan Pembenar

Alasan Pembenar Seseorng melakukan Sifat melawan


dipandang sebagai perbuatan yang hukumnya perbuatan
masalah perbuatan, mencocoki lukisan dihapuskan, karena
sedangkan alasan tindak pidana tidak dianggap benar.
pemaaf dipandang dipidana, karena
sebagai masalah perbuatan dipandang
pertanggungjawaban. patut dan wajar,
bahkan harus
dilakukan.
Alasan Pembenar dalam KUHP
Diatur pada Pasal 31 sampai dengan Pasal 35, yaitu:
- jika perbuatan tersebut dilakukan untuk melaksanakan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
- jika perbuatan tersebut dilakukan untuk melaksanakan perintah jabatan
dari Pejabat yang berwenang;.
- jika perbuatan tersebut dilakukan karena keadaan darurat;
- jika perbuatan tersebut dilakukan karena pembelaan terhadap serangan
atau ancaman serangan seketika yang melawan hukum terhadap diri
sendiri atau orang lain, kehormatan dalam arti kesusilaan, atau harta
benda sendiri atau orang lain;
- ketiadaan sifat melawan hukum pada perbuatan yang dilakukan
Melaksanakan Ketentuan Peraturan
Perundang-undangan
• frasa Ketentuan Peraturan Perundang-undangan
Pasal 31 mengandung arti UU dalam arti materiil, yaitu setiap
ketentuan peraturan perundang-undangan yang
dibentuk oleh alat pembentuk perundang-undangan
yang umum.
Setiap Orang yang melakukan perbuatan yang • Peraturan itu berasal dari perintah langsung
dilarang tidak dipidana, jika perbuatan tersebut dari pembentuk Undang-Undang atau
• Dibuat oleh kekuasaan yang lebih rendah untuk
dilakukan untuk melaksanakan ketentuan membuat peraturan yang bersumber dari
peraturan perundang-undangan. Undang-Undang.
• tidak terbatas pada melakukan perbuatan yang
diperintahkan oleh peraturan perundang-
undangan, akan tetapi bisa lebih luas lagi, ialah
meliputi pula perbuatan-perbuatan yang
dilakukan atas wewenang yang diberikan oleh
suatu undang-undang.
• Sekalipun melaksanakan ketentuan peraturan
perundang-undangan, cara melaksanakan tetap harus
secara patut dan wajar (asas proporsionalitas).
Melaksanakan Perintah Jababtan dari Pejabat yang
berwenang (ambtejik bevel)
• tidak tiap-tiap pelaksanaan perintah jabatan
Pasal 31 melepaskan orang yang diperintah dari
tanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan.
Dengan lain kata, di situ termaktub pengutukan
daripada apa yang dinamakan: disiplin bangkai
Setiap Orang yang melakukan perbuatan (kadaver disiplin).
yang dilarang tidak dipidana, jika perbuatan • perintah itu dikatakan sah, apabila perintah itu
tersebut dilakukan untuk melaksanakan berdasarkan tugas, wewenang atau kewajiban yang
didasarkan kepada sesuatu peraturan perundang-
perintah jabatan dari undangan.
Pejabat yang berwenang. • antara orang yang diperintah dengan orang yang
memerintah harus ada hubungan jabatan/ ada
hubungan sub-ordinasi antara orang yang berhak
memerintah dengan orang yang diperintah,
meskipun hubungan itu sifatnya sementara.
• Pelaksanaan perintah harus patut dan wajar,
seimbang dan tidak boleh melampaui batas
kepatutan
Keadaan Darurat

Pasal 33 • dalam WVS tidak diatur, dalam praktek


mendasarkan pada Pasal 48 WvS.
• keadaan ini disebut dengan istilah
Setiap Orang yang melakukan perbuatan noodtoestand, yang maknanya berbeda
yang dilarang tidak dipidana, jika dengan keadaan terpaksa (overmacht) ;
perbuatan tersebut dilakukan karena • disitu terdapat perbenturan antara
keadaan darurat. kepentingan hukum dengan kepentingan
hukum, antara kewajiban hukum dengan
kepentingan hukum, dan antara
kewajiban hukum dengan kewajiban
hukum.
Pembelaan terhafap Serangan / Ancaman Serangan
• seolah-olah pembentuk UU membenarkan perbuatan
eigenrichting;
Pasal 34 • ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, ialah:
1). Harus ada serangan, dan adanya serangan itu
harus bersifat :
• seketika;
Setiap Orang yang terpaksa melakukan • melawan hukum;
perbuatan yang dilarang tidak dipidana, jika • yang langsung mengancam;
• ditujukan pada diri sendiri atau orang lain,
perbuatan tersebut dilakukan karena kehormatan dalam arti kesusilaan, atau
pembelaan terhadap serangan atau harta benda sendiri atau orang lain
ancaman serangan seketika yang melawan 2). Ada pembelaan yang perlu diadakan terhadap
serangan itu.
hukum terhadap diri sendiri atau orang lain, • pembelaan harus dan perlu diadakan;
kehormatan dalam arti kesusilaan, atau • pembelaan harus menyangkut
harta benda sendiri atau orang lain. kepentingan-kepentingan yang disebut
dalam undang-undang yakni terhadap
diri sendiri/ badan (lijf), kehormatan
(eerbaarheid) atau harta-benda (goed)
kepunyaan sendiri atau orang lain.
• Tetap berlaku asas proporsionalitas dan subsidiaritas
Tidak ada Sifat Melawan Hukum

1. setiap tindak pidana harus selalu bersifat melawan


Pasal 35 hukum atau menjadi unsur konstitutif dari setiap delik;
2. Suatu perbuatan dikatakan melawan hukum secara
formil adalah apabila perbuatan itu bertentangan dengan
ketentuan undang-undang (hukum tertulis).
Ketiadaan sifat melawan hukum dari Tindak
3. melawan hukum secara materil, suatu perbuatan disebut
Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 sebagai perbuatan melawan hukum tidaklah hanya
ayat (2) merupakan alasan pembenar. sekedar bertentangan dengan ketentuan hukum tertulis
saja. Di samping harus memenuhi syarat-syarat formil,
yaitu memenuhi semua unsur yang disebut dalam
rumusan delik, perbuatan haruslah benar-benar
12 ayat (2)
dirasakan masyarakat sebagai perbuatan yang tidak
Untuk dinyatakan sebagai Tindak Pidana, suatu boleh atau tidak patut dilakukan.
perbuatan yang diancam dengan sanksi pidana 4. Melawan hukum materiil bisa bermakna:
dan/atau tindakan oleh peraturan perundang- • melawan UU maupun melawan hk di luar UU,
undangan harus bersifat melawan hukum atau bertentangan dgn asas-asas umum, norma-norma
tidak tertulis, kebudayaan, kewajiban orang pada
bertentangan dengan hukum yang hidup dalam
umumnya, dasar pikiran/ faham nasional/ idiologi,
masyarakat. perbuatan yang membahayakan kepentingan
masyarakat.
KESALAHAN DAN
PERTANGGUNGJAWABA
N PIDANA, ALASAN
PEMAAF DALAM KUHP
NASIONAL
Dr. Chairul Huda, S.H., M.H.
KUHP Nasional

UU No. 1 Tahun 2003 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,


selanjutnya disebut KUHP Nasional, mengubah peradaban Bangsa
Indonesia, yang kini didalamnya tercermin “jatidiri baru”, yang:
• Merdeka (dekolonialisasi);
• Demokratis (demokratisasi hukum pidana);
• Tertib (konsolidasi hukum pidana); dan
• Responsif (adaptasi dan harmonisasi).
KUHP Nasional

UU No. 1 Tahun 2003 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,


selanjutnya disebut KUHP Nasional, mengubah peradaban Bangsa
Indonesia, yang kini didalamnya tercermin “jatidiri baru”, yang:
• Merdeka (dekolonialisasi);
• Demokratis (demokratisasi hukum pidana);
• Tertib (konsolidasi hukum pidana); dan
• Responsif (adaptasi dan harmonisasi).
DEMOKRATIS
Sebagai bangsa yang demokratis, KUHP Nasional telah meninggalkan
konsepsi aliran pemikiran klasik (classical school), seperti yang dianut
WvS/KUHP (pemikiran abad 18), melainkan beralih pada aliran Neo Klasik,
yang lebih memperhatikan kesimbangan diantara berbagai faktor;
Diantaranya adalah menjaga kesimbangan antara faktor objektif
(perbuatan/lahiriah) dan faktor subjektif (orang/batiniah/sikap batin),
sehingga dapat dikatakan KUHP Nasional mengikuti ajaran dualistis.
Dengan dilengkapi dengan pendekatan terhadap korban (victim
approach), maka diadakan perubahan besar dalam perumusan tiga
masalah mendasar dalam hukum pidana (tindak pidana,
pertanggungjawaban pidan dan pemidanaan).
Tindak Pidana &
Pertanggungjawaban Pidana
Sebagai konsekuensi dianutnya ajaran dualistis, maka hal ihwal berkenaan
dengan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana dipisahkan. Namun
demikin, ajaran tentang pertanggungjawaban berpangkal tolak dari ajaran tentang
perbuatan. Artinya, terdapat korelasi yang erat diantara keduanya, terutama terkait
ketercelaan (blameworthy). Dalam hal ini ketercelaan yang ada para seseorang
yang melakukan tindak pidana sehingga dapat dipertanggungjawabkan dalam
Hukum Pidana, berasal dari ketercelaan atas tindak pidana yang dilakukannya;
Perbedaannya tentu pada kwalifikasi ketercelaan dimaksud, ketercelaan pada
perbuatan bersifat objektif, karena melekat pada kelakukan beserta akibatnya,
sedangkan ketercelaan pada orang yang melakukannya, berisifat subjektif, yaitu
menyangkut penilaian keadaan subjektif ketika melakukan tindak pidana tersebut.
Pengaturan
Pertanggungjawaban Pidana
Dengan definisi dan korelasi tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana
tersebut, maka pengaturan pertanggungjawaban pidana dalam KUHP nasional
meliputi:
1. Syarat pertanggungjawaban pidana (Pasal 36);
2. Strict Liability dan Vicarious Liability (Pasal 37);
3. Kekurangmampuan bertanggungjawab (Pasal 38);
4. Ketidakmampuan bertanggungjawab (Pasal 39);
5. Usia Pertanggungjawaban Pidana (Pasal 40 dan 41);
6. Daya paksa absolut dan relatif (Pasal 42);
7. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas (Pasal 43);
8. Perintah jabatan yang diberikan tanpa wenang (Pasal 44);
9. Pertanggungjawaban pidana Korporasi (Pasal 45 sd 50).
UMUM
Syarat
Pertanggungjawaban Pidana
Pasal 36 KUHP Nasional dinyatakan sebagai penegasan asas tiada pidana tanpa
kesalahan (dalam penjelasan). Starat dapat dipertanggungjawabkannya seseorang
dalam hukum Pidana dalah adanya kesalahan. Sayangnya, kesalahan dalam
ketentuan ini, sebatas berbentuk “kesengajaan” dan “kealpaan”, yang
menunjukkan KUHP Nasional masih berpangkal tolak pada ajaran kesalahan
secara psikologis (psychologish Schuldbegrip);
Dalam hal ini adanya hubungan antara tindak pidana yang dilakukannya dengan
keadaan psikologisnya itu, yang kemudian diakumulasikan dalam dua keadaaan,
yaitu adanya kesengajaan (kesalahan umum) atau kealpaan (kesalahan khusus).
Dengan adanya kesengajaan atau kealpaan ketika melakukan tindak pidana, maka
pembuat dapat dinyatakan “bersalah” (guity). Pertanggungjawaban pidana
kemudian diorientasikan untuk mencari dan membuktikan adanya kesengajaan
dan kealpaan itu.
Normatief Schuldbegrip
Demikian pula, pertanggungawaban korporasi tidak termasuk pertanggungjawaban
berdasar kesalahan (liability based on fault), yang sebenarnya telah diakui dalam
praktek peradilan (putusan dr. Setyaningrum, dr Ayu dkk) dan PERMA No. 13 Tahun
2016. Dalam hal ini kesalahan bukan hanya berarti “kesengajaan” dan “kealpaan”,
tetapi berbagai indikator lain yang berbasis pada penilaian normatif atas perbuatan
yang dilakukan (normatief schuldbegrib);
Dalam hal ini, ajaran kesalahan normatif menggunakan pangkal tolak “keadaan
psikologis” pembuat dalam menentukan ada tidaknya kesalahan, tetapi hal itu
dilihat dalam ukuran-ukuran eksternal, sehingga bersifat “normatif”. Namun
demikian, kemudian kesalahan tidak semata-mata sebagai penilaian atas keadaan
psikologis manusia, tetapi juga indikator-indikator lainnya (indikator non psikologis),
sehingga kesalahan juga dapat diterapkan bagi korporasi.
Strict Liability & Vicarious Liability
Pasal 37 KUHP Nasional menentukan Strict Liability dan Vicarious Liability. Dilihat dari
penempatannya, kedua hal ini menjadi tidak identik dengan pertanggungjawaban
korporasi. Dengan strict liability maka terbuktinya unsur-unsur tindak pidana telah
dipandang cukup untuk memidana terdakwa, tanpa memperhatikan adanya
kesalahan;
Sedangkan dengan vicarious liability maka setiap atasan/majikan bertanggung
jawab atas tindak pidana yang dilakukan bawahannya/orang yang melakukan
pekerjaan atau perbuatan untuknya atau dalam batas perintahnya, jika UU
menentukannya. Persoalannya apakah UU harus menentukan sebagai tindak pidana
tersendiri yang diadakan untuk itu (misalnya: command responsibility dalam
pelanggaran ham berat) atau justru memang suatu bentuk perluasan
pertanggungjawaban pidana. Karena bukan ditempatkan dalam pengaturan tindak
pidana korporasi, dapatkah hal ini digunakan pada tindak pidana pada umumnya
(misalnya pertanggungjawaban pers).
Kurang Mampu Bertanggungjawab
Pasal 38 KUHP Nasional merupakan hal baru terkait dengan konsepsi
pertanggungjawaban pidana. Dalam hal ini tindak pidana yang dilakukan oleh orang
yang mempunyai keadaan mental/intelektual tertentu dapat dikurangi
pidananya/dikenakan tindakan. Dalam hal ini, yang perlu dibuktikan adalah bahwa
yang bersangkutan berada dalam kategori:
1. disabilitas mental meliputi: psikososial (skizofrenia, bipolar, depresi, anxiety
dan gangguan kepribadian) dan disabilitas perkembangan (autis dan
hiperaktif);
2. disabilitas intelektual meliputi: lambat belajar, disabilitas grahita dan down
syndrome.
Tidak Mampu Bertanggungjawab
Pasal 39 KUHP Nasional merupakan pengaturan kemampuan bertanggung jawab.
Dalam hal ini harus dibuktikan bahwa:
1. tindak pidana yang dilakukan oleh orang yang menyandang disabilitas mental
yang sedang dalam keadaan kekambuhan akut dan disertai dengan
gambaran psikotik;
2. tindak pidana yang dilakukan oleh orang yang menyandang disabilitas intelektual
derajat sedang atau berat;
Yang menyebabkan dirinya tidak dapat didipidana, tetapi dapat dikenakan tindakan.
Disini masalah penilaian disabilitas mental dan intelektualnya wewenang psikiater
dari segi medis, sedangkan penentuan pertanggungjawaban pidananya wewenang
hakim;
Mestinya pasal ini ditempatkan sebelum menentukan kesengajaan atau kealpaan
sebagai syarat pertanggung jawaban pidana.
Penilaian Kurang Mampu/Tidak
Mampu Bertanggungjawab
Penilaian adanya keadaan disabilitas mental dan intelektualnya dilakukan
dari segi medis (menjadi wewenang psikiater).Berbeda dengan Pasal 44
KUHP, Pasal 38 dan 39 sebenarnya tidak tepat menjadi bagian masalah
pertanggungjawaban pidana. Mengingat hakim tinggal
mengurangi/tidak menjatuhkan pidana, jika dokter menyatakan adanya
keadaan disabilitas mental atau disabilitas intelektual pada diri
terdakwa. Wewenang hakim untuk menilai apakah hal itu menyebabkan
terdakwa tidak dapat dipertanggungjawabkan pidana tidak ada lagi.
Sebenarnya Pasal 38 lebih tepat ditempatkan sebagai alasan peringan
pidana dan Pasal 39 merupakan alasan penghapus pidana, diluar
masalah pertanggungjawaban pidana yang memerlukan penilaian yuridis.
ALASAN
PEMAAF
Usia Pertanggungajawaban Pidana
Pasal 40 KUHP Nasional merupakan pengaturan alasan pemaaf, terkait usia
pertanggungjawab pidana yang ditentukan 12 tahun. Anak dibawah 12 tahun yang
melakukan tindak pidana dimaafkan, yang dapat dipandang tidak memiliki kesalahan
sama sekali (avas) dan karenanya tidak akan dimintai pertanggungjawaban pidana,
tetapi tetap diproses oleh penyidik, pembimbing kemasyarakatan dan pekerja sosial
di luar peradilan pidana (out of court settlement), sebagaimana ditentukan dalam Pasal
41 KUHP Nasional;
Sayangnya tidak ada lagi pengaturan seperti Pasal 45 KUHP, dimana anak (12 sd 18
tahun) tidak dipidana jika dipandang belum mampu menentukan “kesengajaannya”.
Pasal 113 ayat (3) KUHP Nasional yang menyatakan anak dibawah 14 tahun tidak
dapat dikenakan pidana dan hanya dapat dikenakan tindakan, bukan pengaturan
pertanggung jawaban pidana tetapi terkait syarat penjatuhan tindakan bagi anak
semata.
Hakekat Alasan Pemaaf
Pada hakekatnya alasan pemaaf adalah alasan yang meniadakan kesalahan.
Perbuatannya tetap merupakan tindak pidana, tetapi pembuatnya dimaafkan karena
perbuatan terdorong oleh suatu keadaan tertentu dari luar yang menekan kehendaknya
(involuntary). Kenyataan anak berusia dibawah 12 tahun yang melakukan tidak pidana,
tidak dipidana tentu bukan keadaan tertentu yang berada diluar yang menekan
kehendak bebas (free will) anak dimaksud;

Dengan dimasukkannya Pasal 40 KUHP sebagai alasan pemaaf, maka konsepsi hal itu
mesti disesuaikan, karena bukan lagi keadaan lingkungan seputar tindak pidana yang
normal saja, yang menyebabkan seseorang dikatakan tidak memiliki alasan pemaaf.
Daya Paksa
Pasal 42 KUHP Nasional menentukan alasan pemaaf, daya paksa (overmacht), yang
terdiri atas:
1. Dipaksa oleh keluatan yang tidak dapat ditahan (daya paksa absolut),
sehingga pelaku tidak memiliki free will untuk bertindak;
2. Dipaksa oleh adanya ancaman, tekanan, atau kekuatan yang tidak dapat
dihindari (daya paksa relatif), yaitu jika ancaman, tekanan atau kekuatan
tersebut menurut akal sehat tidak dapat dilawan, dimana kepentingan yang
dikorbankan seimbang atau sedikit lebih daripada kepentingan yang
diselamatkan.
Pembelaan Terpaksa yang
Melampaui Batas
Pasal 43 KUHP Nasional menegaskan pembelaan terpaksa yang
melampaui batas sebagai alasan pemaaf, sehingga pembuat delik tidak
dipidana;
Dalam hal ini pembelaan terpaksa ini telah tidak proporsional apabila
dibandingkan dengan serangan, baik kekerasan maupun ancaman
kekerasan atau serangkan lainnya yang diterimanya atau diterima
orang lain, baik terhadap diri, kehormatan maupun harta benda. Namun
demikian, pembuat tetap dimaafkan karena hal itu semata-mata karena
kegoncangan jiwa yang hebat akibat serangkan atau ancaman
serangan itu.
Perintah Jabatan yang diberikan
Tanpa Wewenang
Pasal 44 KUHP Nasional menentukan bahwa perintah jabatan yang diberikan tanpa
wewenang, jika dilakukan dengan itikad baik mengira bahwa perintah tersebut
diberikan dengan wewenang dan pelaksanaanya dalam lingkup pekerjaannya,
dikategorikan sebagai alasan pemaaf, sehingga pembuat delik tidak dipidana;
Dalam hal ini pelaksana perintah jabatan yang tidak sah (tanpa wewenang) tidak
dipidana, jika:
1. Pembuat dengan itikad baik mengira bahwa perintah yang diterimanya sah.
Misalnya: karena sebelumnya telah menerima perintah serupa dari atasannya;
dan
2. Tindakan yang dilakukan masih dalam ruang lingkup tugasnya, sehingga seperti
pelaksanaan tugas pada umumnya.
PERTANGGUNGJAWABAN
PIDANA KORPORASI
Korporasi sebagai
Subjek Tindak Pidana
Pasal 45 KUHP Nasional menegaskan tentang korporasi sebagai subjek tindak
pidana. Dalam hal ini yang dimaksud korporasi adalah:
1. badan hukum (perseroan terbatas, yayasan koperasi, BUMN/BUMD,
perkumpulan berbadan hukum atau yang disamakan dengan itu);
2. perkumpulan tidak berbadan hukum (badan usaha firma, CV, atau yang
disamakan dengan itu).
Tidak jelas betul apakah partai politik atau organisasi terorisme dapat digolongkan
kedalam pengertian korporasi.
Tindak Pidana oleh Korporasi
KUHP Nasional hanya mengenal tindak pidana oleh korporasi (crime by corporation), yaitu tindak
pidana yang dilakukan oleh:
1. Pengurus yang mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi,
yaitu orang yang mempunyai wewenang mewakili, mengambil keputusan, dan menerapkan
pengawasan terhadap korporasi tersebut, termasuk kedudukan sebagai orang yang
menyuruh melakukan tindak pidana, turut serta melakukan, menggerakan orang lain supaya
melakukan tindak pidana atau membantu tindak pidana tersebut (Pasal 46),
2. Orang yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang
bertindak untuk dan atas nama koporasi atau bertindak demi kepentingan korporasi tersebut
(Pasal 46);
3. Pemberi perintah dalam korporasi (Pasal 47);
4. Pemegang kendali korporasi, setiap orang yang memiliki kekuasaan atau wewenang
sebagai penentu kebijakan korporasi atau memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan
korporasi tersebut tanpa harus mendapat otorisasi dari atasannya (Pasal 47);
5. Pemilik manfaat korporasi, yang berada di luar struktur organisasi tetapi mengendalikan
korporasi (Pasal 47).
Pembatasan
Pertanggungjawaban Korporasi

Namun demikian, Pasal 49 KUHP Nasional hanya mengenakan pertanggungjawaban


korporasi kepada:
1. Pengurus yang mempunyai kedudukan fungsional;
2. Pemberi perintah dalam korporasi;
3. Pemegang kendali korporasi;
4. Pemilik manfaat korporasi.

Ketentuan ini mengecualikan pertangungjawban pidana bagi “orang yang berdasarkan


hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak untuk dan atas nama
koporasi atau bertindak demi kepentingan korporasi tersebut” (pegawai korporasi atau
orang yang dipekerjakan oleh korporasi).
Sifat
Pertanggungjawaban Korporasi

Pertaggungjawaban pidana atas tindak pidana oleh korporasi dapat dimintakan:


1. Pengurusnya saja (korporasi sebagai pelaku dan pengurus yang bertanggung
jawab);
2. Korporasinya saja (korporasi sebagai pelaku dan juga sebagai yang bertanggung
jawab);
3. Pengurus dan korporasinya.

Tidak jelas betul apa yang menjadi kriteria sehingga pidana dan pertanggungjawaban
pidana dapat dimintakan secara kumulatif kepada pengurus dan korporasinya sekaligus;
Syarat
Pertanggungjawaban Korporasi

Syarat pertaggungjawaban pidana atas tindak pidana oleh korporasi ditentukan dalam
Pasal 48 KUHP Nasional, yaitu hanya dapat dimintakan tanggung jawab pidana jika:
a. Termasuk dalam ruang lingkup usaha atau kegiatan sebagaimana ditentukan
dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi;
b. Menguntungkan korporasi secara melawan hukum;
c. Diterima sebagai kebijakan korporasi;
d. Korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan
pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan
terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak
pidana; dan/atau
e. Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana;
Syarat…

Pasal 48 KUHP Nasional menggabungkan antara kriteria tindka pidana sebagai tindak
pidana oleh korporasi (huruf a dan c) dan syarat pertanggungjawaban pidana korporasi (
huruf b, d dan e). Dalam hal ini KUHP Nasional dapat dipnadang masih menganut ajaran
monistis;
Padahal jika ajaran kesalahan normatif diterima dalam hal ini, kesalahan korporasi
berupakan indicator non mental element, yaitu pelanggaran atas:
a. Standard of care (membiarkan terjadinya tindak pidana);
b. Standard operating procedure (tidak melakukan pencegahan dan memastikan
kepatuhan terhadap hukum);
c. Standard of liability (mendapatkan keuntungan dari tindak pidana);
Alasan Pembenar & Pemaaf
bagi Korporasi

Alasan pembenar dan alsan pemaaf yang diajukan oleh pengurus yang mempunyai
kedudukan fungsional, pemberi perintah, pemegang kendali, dan/atau pemilik manfaat
dapat juga diajukan oleh Korporasi sepanjang berhubungan langsung dengan tindak
pidana yang didakwakan kepada koporasi (Pasal 50 KUHP Nasional);

Penerapan ketentuan ini tentunya harus dipilah secara selektif, alasan pembenar dan
alasan pemaaf dari orang perseorangan seperti apa yang kemudian relevan untuk juga
dipandang sebagai alasan pembenar dan pemaaf bagi korporasi.
ALASAN PEMBERAT
DAN PERINGAN
PIDANA
Dr. Yenti Garnasih, S.H., M.H.
Tidak ada Sifat Melawan Hukum

Pasal 58 Pasal 59
Faktor yang memperberat pidana meliputi: Pemberatan sebagaimana yang dimaksud
a. Pejabat yang Melakukan Tindak dalam pasal 58 dapat ditambah paling
Pidana sehingga kewajiban jabatan banyak 1/3 (satu per tiga) dari maksimum
yang khusus atau melakukan Tindak ancaman pidana
pidana dengan menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan, atau
sarana yang diberikan kepadanya
karena jabatan;
b. Penggunaan bendera kebangsaan,
lagu kebangsaan, atau lambing
negara Indonesia pada waktu
melakukan Tindak Pidana; atau
c. Pengulangan Tindak Pidana
Peringan Pidana
PASAL 70
(1) Dengan tetap mempertimbangkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 sampai dengan
pasal 54, pidana penjara sedapat mungkin tidak dijatuhkan jika ditemukan keadaan:
a. Terdakwa adalah anak
b. Terdakwa berumur diatas 75 (tujuh pukuh lima) tahun;
c. Terdakwa baru pertama kali melakukan Tindak Pidana;
d. Kerugian dan penderitaan Korban tidak terlalu besar
e. Terdakwa telah membayar ganti rugi kepada korban
f. Terdakwa tidak menyadari bahwa Tindak Pidana yang dilakukan akan menimbulkan kerugian
besar
g. Tindak Pidana terjadi karena hasutan yang sangat kuat dari orang lain;
h. Korban Tindak Pidana mendorong atau menggerakan terjadinya Tindak Pidana tersebut;
i. Tindak Pidana tersebut merupakan akibat dari suatu keadaan yang tidak mungkin terulang lagi;
j. Kepribadian dan perilaku terdakwa meyakinkan bahwa ia tidak akan melakukan Tindak Pidana
yang lain;
k. Pidana penjara akan menimbulkan penderitaan yang besar bagi terdakwa datau keluarganya
l. Pembinaan di luar Lembaga pemasyarakatan diperkirakan akan berhasil untuk diri terdakwa
m. Penjatuhan pidana yang lebih ringan tidak akan mengurangi sifat berat Tindak Pidana yang
dilakukan terdakwa;
n. Penjatuhan pidana yang lebih ringan tidak akan mengurangi sifat beat Tidak Pidana yang
dilakukan terdakwa;
o. Tindak Pidana terjadi karena kealpaan.
Peringan Pidana

PASAL 70

(2) Ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi:

a. Tindak Pidana yang diancam dengan pidana penjawa 5 (lima) tahun atau lebih;
b. Tindak Pidana yang diancam dengan pidana minimum khusus
c. Tindak Pidana tertentu yang sangat membahayakan atay merugikan
masyarakat; atau
d. Tindak Pidana yang merugikan keuangan atau perekonomian negara.
KEUNGGULAN KUHP
Tim Ahli UU KUHP
1. Bertitik tolak dari asas 11. Pembagian Pidana dan
keseimbangan; Tindakan ke dalam 3 kelompok
2. Rekodifikasi Hukum Pidana (umum, anak, korporasi)
yang terbuka dan terbatas ; 12. Pidana denda diatur dalam 8
3. Tujuan Pemidanaan kategori
4. Pedoman Pemidanaan 13. Mengatur penjatuhan pidana
5. 11 pertimbangan bagi hakim mati secara bersyarat sebagai
sebelum menjatuhkan jalan tengah pro kontra pidana
KEUNGGULAN KUHP pemidanaan mati
SEBAGAI HUKUM 6. Penentuan sanksi pidana 14. Mencegah penjatuhan pidana
dengan Modified Delphi penjara utk TP Max 5 Tahun
PIDANA & SISTEM Method 15. Mengatur alternatif pidana
PEMIDANAAN 7. Putusan Pemaafan Oleh Hakim
(Judicial Pardon)
penjara berupa pidana denda,
pidana pengawasan, dan pidana
MODERN 8. Pertanggungjawaban pidana kerja sosial
korporasi 16. Mengatur Pemidanaan Dua
9. Mengutamakan pidana pokok Jalur, yaitu berupa Pidana &
yang lebih ringan Tindakan
10. Perluasan jenis pidana pokok 17. Mengatur Pertanggungawaban
(Pengawasan dan Kerja Mutlak (Strict Liability) &
Sosial); Pertanggungjawaban Pengganti
(Vicarious Liability)
antara “kepentingan umum/masyarakat”
dan “kepentingan individu”;
antara perlindungan/kepentingan pelaku,
korban dan penegakan hukum;

Asas
antara faktor “objektif” (perbuatan/lahiriah/ actus reus) dan
“subjektif” (orang/batiniah/sikap batin/ mens rea); à ide
“daad-dader strafrecht”;
Keseimbangan antara “kepastian hukum”, “kelenturan/
elastisitas/fleksibilitas”, dan “keadilan”;
antara nilai-nilai particular, nasional dan nilai-nilai global/
internasional/
universal;
Tercermin dalam 3 masalah pokok Hukum pidana, yaitu:Perbuatan
Pidana/ Tindak Pidana; Kesalahan/ Pertanggungjawaban Pidana;
dan Pidana / Pemidanaan
Rekodifikasi terhadap pasal-pasal KUHP yang
masih relevan, pertumbuhan hukum pidana di luar
Rekodifikasi KUHP sejak Indonesia berkembang, konvensi
internasional mengandung hukum pidana yang telah
Hukum diratifikasi, perkembangan ilmu hukum pidana dan
kriminologi, serta core crime tindak pidana khusus ;
cttn: dimasukkannya core crime TP. Khusus dlm
Pidana yang KUHP supaya asas-asas hukum pidana dalam buku
Terbuka dan I menjadi brideging article

Terbatas Terbuka: Masih dimungkinkan pertumbuhan/


pengaturan hukum pidana di luar KUHP di
kemudian hari;
Rekodifikasi terhadap pasal-pasal KUHP yang
masih relevan, pertumbuhan hukum pidana di luar
Rekodifikasi KUHP sejak Indonesia berkembang, konvensi
internasional mengandung hukum pidana yang telah
Hukum diratifikasi, perkembangan ilmu hukum pidana dan
kriminologi, serta core crime tindak pidana khusus ;
cttn: dimasukkannya core crime TP. Khusus dlm
Pidana yang KUHP supaya asas-asas hukum pidana dalam buku
Terbuka dan I menjadi brideging article

Terbatas Terbuka: Masih dimungkinkan pertumbuhan/


pengaturan hukum pidana di luar KUHP di
kemudian hari;
Dirumuskan Tujuan
Pemidanaan
Pasal 51
Pemidanaan bertujuan:
PENCEGAHAN a. mencegah dilakukannya Tindak Pidana dengan
menegakkan norma hukum demi pelindungan
MASYARAKATAN/REHABILITASI dan pengayoman masyarakat;
b. memasyarakatkan terpidana dengan
PENYELESAIAN KONFLIK, PEMULIHAN mengadakan pembinaan dan pembimbingan
KESEIMBANGAN & PENCIPTAAN agar menjadi orang yang baik dan berguna;
RASA AMAN & DAMAI c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan akibat
Tindak Pidana, memulihkan keseimbangan,
PENUMBUHAN PENYESALAN TERPIDANA serta mendatangkan rasa aman dan damai
dalam masyarakat; dan
d. menumbuhkan rasa penyesalan dan
membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
Hakim wajib menegakkan hukum dan
keadilan.

Pedoman Jika terdapat pertentangan antara


kepastian hukum dan keadilan, hakim
Pemidanaan wajib mengutamakan keadilan.

Dirumuskan hal-hal yang harus


dipertimbangkan oleh hakim;
Faktor-faktor yang Harus dipertimbangkan Hakim

a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
adalah proses yang dilakukan dalam
kelompok untuk mensurvei dan
mengumpulkan pendapat dari para ahli
Penentuan terkait penentuan maksimum pidana pada
masing-masing tindak pidana;
Sanksi Pidana Adanya kemungkinan pengaruh individual
dengan otomatis dihilangkan.
Modifikasi
Metode ini dapat digunakan untuk
Delphi Method mengevaluasi sebaran pendapat dari para
ahli ataupun poin-poin konsensus (hal-hal
yang telah disepakati).
Hakim dapat memutuskan untuk tidak menjatuhkan
pidana atau tidak mengenakan tindakan dengan
Putusan oleh mempertimbangkan:
Hakim §Ringannya perbuatan;
§Keadaan pribadi pelaku;
(Judicial §Keadaan pada waktu dilakukan Tindak Pidana serta
yang terjadi kemudian;
Pardon) §Segi keadilan dan kemanusiaan.
Pertanggungjawaban Korporasi

Yang dapat dipertanggung jawabkan: selain pengurus yang


mempunyai kedudukan fungsional, orang yang berdasarkan
hubungan kerja/ hub lain untuk kept korporasi/ bertindak demi
kepentingan Korporasi, juga terhadap pemberi perintah,
pemegang kendali, atau pemilik manfaat Korporasi yang
berada di luar struktur organisasi (Pasal 45-47);
a. terdakwa adalah Anak; j. tindak pidana merupakan akibat
b. terdakwa berusia di atas 75 suatu keadaan yang tak mungkin
tahun; terulang lagi;
Mengutamakan c. terdakwa baru pertama kali k. kepribadian dan perilaku terdakwa
pidana pokok yang melakukan Tindak Pidana; meyakinkan bahwa ia tidak akan
d. kerugian dan penderitaan Korban melakukan Tindak Pidana yang lain;
lebih ringan tidak terlalu besar; l. pidana penjara akan menimbulkan
(alternatif pidana e. terdakwa telah membayar ganti penderitaan yang besar bagi
rugi kepada Korban; terdakwa atau keluarganya;
penjara) f. terdakwa tidak menyadari akan m. pembinaan di luar lembaga
menimbulkan kerugian yang pemasyarakatan diperkirakan akan
besar; berhasil untuk diri terdakwa;
g. tindak pidana terjadi karena n. penjatuhan pidana yang lebih ringan
hasutan yang sangat kuat dari tidak akan mengurangi sifat berat
orang lain; Tindak Pidana yang dilakukan
h. Korban tindak pidana terdakwa;
menyebabkan terjadinya Tindak o. Tindak Pidana terjadi di kalangan
Pidana tersebut;... keluarga; dan/atau
i. Korban tindak pidana p. Tindak Pidana terjadi karena
mendorong atau menggerakkan kealpaan.
terjadinya Tindak Pidana;
v

Perluasan Jenis v
Pidana Pokok
Pengawasan dan
Kerja Sosial Ø

Ø
Pidana pokok (pidana mati
Pidana bagi ditempatkan sebagai bersifat
khusus)
orang; Pidana tambahan;
Tindakan

Pembagian Pidana
& Tindakan ke Pidana bagi Pidana pokok
Pidana tambahan;
dalam 3 Kelompok anak; Tindakan
(Umum, Anak,
Korporasi)
Pidana pokok
Pidana bagi Pidana tambahan;
korporasi; Tindakan
Pidana denda diatur dalam 8 Kategori

Kategori I : paling banyak 1 JUTA


Kategori II : paling banyak 10 JUTA
Kategori III : paling banyak 50 JUTA
Kategori IV : paling banyak 200 JUTA
Kategori V : paling banyak 500 JUTA
Kategori VI : paling banyak 2 M
Kategori VII. : paling banyak 5 M
Kategori VIII : paling banyak 50 M
Pidana mati dengan masa percobaan dijatuhkan dengan
memperhatikan :
a. rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk
Mengatur memperbaiki diri; atau
Penjatuhan Pidana b. peran terdakwa dalam Tindak Pidana.
Harus dicantumkan dalam putusan pengadilan;
Mati secara Jika terpidana selama masa percobaan menunjukkan sikap
bersyarat sebagai dan perbuatan yang terpuji, pidana mati dapat diubah
menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keppres
jalan tengah setelah mendapatkan pertimbangan MA;
Jika terpidana selama masa percobaan tidak menunjukkan
pro/kontra Pidana sikap & perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan
Mati untuk diperbaiki, pidana mati dapat dilaksanakan atas
perintah Jaksa Agung.
- Jika seseorang melakukan Tindak Pidana yang
Mencegah hanya diancam dengan pidana penjara di bawah 5
(lima) tahun, sedangkan hakim berpendapat tidak
penjatuhan perlu menjatuhkan pidana penjara setelah
pidana penjara mempertimbangkan tujuan pemidanaan dan pedoman
pemidanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51
utk TP Max 5 sampai dengan Pasal 54, orang tersebut dapat dijatuhi
Tahun pidana denda (Pasal 71).
(Mencegah
- Pidana kerja sosial dapat dijatuhkan kepada
pengenaan terdakwa yang melakukan Tindak Pidana yang
pidana penjara diancam dengan pidana penjara kurang dari 5 (lima)
tahun dan hakim menjatuhkan pidana penjara paling
jangka pendek). lama 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak
kategori II (Pasal 85).
Mengatur Alternatif Pidana Penjara berupa
Pidana Denda, Pidana Pengawasan, dan
Pidana Kerja Sosial

Pidana Penjara dapat di ubah menjadi pidana denda,


pengawasan, dan pidana kerja social dalam keadaan-
keadaan tertentu;
Pasal 70
(1) Dengan tetap mempertimbangkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 sampai dengan Pasal 54, pidana penjara sedapat
mungkin tidak dijatuhkan jika ditemukan keadaan:
• terdakwa adalah Anak; • kepribadian dan perilaku terdakwa meyakinkan bahwa ia tidak akan melakukan
Tindak Pidana yang lain;
• terdakwa berumur di atas 75 (tujuh puluh lima) tahun;
• pidana penjara akan menimbulkan penderitaan yang besar bagi terdakwa atau
• terdakwa baru pertama kali melakukan Tindak Pidana; keluarganya;
• kerugian dan penderitaan Korban tidak terlalu besar; • pembinaan di luar lembaga pemasyarakatan diperkirakan akan berhasil untuk
• terdakwa telah membayar ganti rugi kepada Korban; diri terdakwa;
• penjatuhan pidana yang lebih ringan tidak akan mengurangi sifat berat Tindak
• terdakwa tidak menyadari bahwa Tindak Pidana yang dilakukan akan
menimbulkan kerugian yang besar; Pidana yang dilakukan terdakwa;

• Tindak Pidana terjadi karena hasutan yang sangat kuat dari orang lain; • Tindak Pidana terjadi di kalangan keluarga; dan/atau
• Tindak Pidana terjadi karena kealpaan.
• Korban Tindak Pidana mendorong atau menggerakkan terjadinya Tindak Pidana
tersebut;
• Tindak Pidana tersebut merupakan akibat dari suatu keadaan yang tidak
mungkin terulang lagi;

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi:

a. Tindak Pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
b. Tindak Pidana yang diancam dengan pidana minimum khusus;
c. Tindak Pidana tertentu yang sangat membahayakan atau merugikan masyarakat; atau
d. Tindak Pidana yang merugikan keuangan atau perekonomian negara.
Mengatur Pemidanaan Dua Jalur,
yaitu brupa Pidana & Tindakan
Mengatur Pertanggungjawaban Mutlak Strict
Liability Dan Pertanggungjawaban Pengganti
Vicarious Liability
Pasal 36
1. Setiap Orang hanya dapat dimintai pertanggungjawaban atas Tindak Pidana yang dilakukan
dengan sengaja atau karena kealpaan.
2. Perbuatan yang dapat dipidana merupakan Tindak Pidana yang dilakukan dengan sengaja,
sedangkan Tindak Pidana yang dilakukan karena kealpaan dapat dipidana jika secara tegas
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 37
Dalam hal ditentukan oleh Undang-Undang, Setiap Orang dapat:
• dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur Tindak Pidana tanpa
memperhatikan adanya kesalahan; atau
• dimintai pertanggungjawaban atas Tindak Pidana yang dilakukan oleh orang lain.
RUANG LINGKUP
BERLAKUNYA
HUKUM PIDANA

Prof. Dr. Topo Santoso, S.H., M.H.


Ruang Lingkup Berlakunya
Hukum Pidana

01 Menurut Waktu 02 Menurut Tempat


Menurut Jerome Hall

(1) Nulla Poena Sine Lege


(Tidak/tiada Pidana Tanpa
Undang-Undang) Anselm Von Feurbach
(2) "affects only proven
criminals"
(3) (hanya mempengaruhi Dari ketentuan asas legalitas ini muncul tiga aturan
pelaku tindak pidana yang yang dalam bahasa Latin dikenal dengan:
terbukti bersalah) (1) Nulla Poena Sine Lege;
(2) Nulla Poena Sine Crimine; dan
(2) Nullum Crimen Sine Lege (3) Nullum Crimen Sine Poena Legali
(Tidak/tiada Kejahatan Tanpa
Undang-Undang).

melindungi keseluruhan warga


negara
Prinsip-prinsip di Dalamnya
- Lex Scripta (hukuman harus didasarkan undang-undang
tertulis),
- Lex Certa (undang-undang yang dirumuskan terperinci dan
cermat, bentuk dan beratnya hukuman harus jelas
ditentukan dan bisa dibedakan),
- Lex Praevia (larangan berlaku surut)
- Lex Stricta (undang-undang harus dirumuskan dengan
ketat, larangan hukuman atas dasar analogy).
Moeljatno:

Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut mengandung tiga pengertian, yaitu:

(1) tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana
kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu
aturan undang-undang;
(2) untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh
digunakan analogi (qiyas); dan
(3) aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut
Pasal 1 KUHP

(1) Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali berdasarkan


kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada
sebelumnya.

(2) Jika ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah


perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan
ketentuan yang paling menguntungkan .
Aturan Hukum Pidana harus Tertulis (Lex Scripta)
- Aturan hukum pidana harus merupakan aturan yang dibuat oleh badan
legislatif (produk legislatif)
- Produk legislatif yg dimaksud adalah dalam bentuk UU atau Perda
- Bagaimana dengan Hukum adat ?
- Merupakan pengecualian ?
- Lihat UU Drt No.1/1951 dan R-KUHP Ps. 2.

Larangan Berlaku Surut


Undang-undang pidana berjalan ke depan dan tidak ke belakang :

X mundur (ke belakang) harus ke depan (maju)


(Dilarang) ß---------- UU Pidana ---------------à
Perlu diketahui kapan suatu tindak pidana terjadi (waktu terjadinya tindap pidana =
tempus delicti.
Teori-Teori Tempus Delicti
1. Teori Perbuatan fisik (de leer van de lichamelijke daad);
2. Teori bekerjanya alat yang digunakan (de leer van het instrument);
3. Teori Akibat (de leer van het gevolg);
4. Teori waktu yang jamak (de leer van de meervoudige tijd).

Tempus Delicti penting diketahui dalam hal-hal:

• Kaitannya dengan Ps 1 KUHP


• Kaitannya dengan aturan tentang Daluwarsa
• Kaitannya dengan ketentuan mengenai pelaku tindak pidana anak : UU Sistem
Peradilan Pidana Anak (SPPA)
Larangan Berlaku Surut dalam berbagai Ketentuan
selain yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP

Internasional:
— Ps 15 (1) ICCPR: hukum tidak berlaku surut
— Ps 15 (2) ICCPR àpengecualian, untuk kejahatan menurut hukum kebiasaan
international
— Ps 22, 23, dan 24 ICC (Statuta Roma)

Nasional
— Ps 28i UUD 1945
— Ps 18 (2) dan Ps 18 (3) UU No. 39 Tahun 1999
Pasal 28i UUD 1945
“Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah
hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.”

UU No.39/1999 tentang HAM


Ps 18 (2) Ps 18 (3)
Setiap orang tidak boleh dituntut Setiap ada perubahan dalam
untuk dihukum atau dijatuhi peraturan perundang-undangan
pidana, kecuali berdasarkan suatu maka berlaku ketentuan yang paling
peraturan perundang-undangan menguntungkan bagi tersangka
yang sudah ada sebelum tindak
pidana itu dilakukan
Pengecualian Larangan Berlaku Surut

- Ps 1 ayat (2) KUHP à dalam hal terjadi perubahan UU maka


digunakan UU yang menguntungkan bagi terdakwa

- Ps 43 UU No. 26 Tahun 2000 (UU Pengadilan HAM) à diperlukan syarat2


ttt, al: pembentukan pengadilan HAM ad hoc dgn persetujuan DPR

- Perpu 1/2002 & 2/2002 à UU 15/2003 (UU Pemberantasan TP Terorisme) ;


UU 16/2003 yang memberlakukan UU No. 15/2003 untuk kasus Bom Bali
(UU No. 16/2003 dibatalkan oleh MK)
Pendapat Scholten dan Utrecht

PENAFSIRAN EKSTENSIF
Hakim meluaskan lingkungan
kaidah yang lebih tinggi sehingga
perkara yang bersangkutan
termasuk juga di dalamnya

ANALOGI
Hakim membawa perkara yang
harus diselesaikan ke dalam
lingkungan kaidah yang lebih tinggi
Pasal 1 ayat (2) KUHP

1. UU dimungkinkan utk berlaku surut


2. 3 syarat memberlakukan surut suatu UU
a. terjadi perubahan UU
b.perubahan terjadi setelah tindak pidana dilakukan
c. perubahan menguntungkan bagi TSK/TDW
3. Disebut sebagai hukum transitoir
Pasal 1 ayat (2) KUHP

-+-----------+---------------+---->
UU Perbuatan Perubahan UU

• Apa yg dimaksud dgn Perubahan UU ?


Teori : (1) Teori formil (2) Teori materiil terbatas (3) Teori materiil tidak terbatas

• Apa yg dimaksud dgn Paling menguntungkan bagi tersangka/terdakwa?


Yang Menguntungkan Bagi Terdakwa

— Hal ini tidak dapat ditentukan sec. Umum


(in abstracto), dan hanya dapat ditentukan untuk masing2 perkara sendiri
(in concreto).

Yang menguntungkan bagi TSK/TDKW:


sanksi menjadi lebih ringan, diubah menjadi delik aduan, unsur- unsur
pokok delik menjadi lebih banyak (ditambah)
MENURUT TEMPAT
Ø Asas Teritorial
Ø Asas Nasional Aktif
Ø Asas Nasional Pasif dan Perlindungan
Ø Asas Universal

ASAS TERITORIAL
Dalam KUHP Baru, berkaitan dengan Asas Wilayah atau Teritorial, Pasal 4 menyatakan bahwa:
“Ketentuan pidana dalam Undang-Undang berlaku bagi Setiap Orang yang melakukan: 1. Tindak
Pidana di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; 2. Tindak Pidana di Kapal Indonesia atau di
Pesawat Udara Indonesia; atau Tindak Pidana di bidang teknologi informasi atau Tindak Pidana
lainnya yang akibatnya dialami atau terjadi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di
Kapal Indonesia dan di Pesawat Udara Indonesia.
- Pada Penjelasan Pasal 4 Huruf a dinyatakan bahwa: “Yang dimaksud
dengan ‘wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia’ adalah satu
kesatuan wilayah kedaulatan di daratan, perairan pedalaman, perairan
kepulauan beserta dasar laut dan tanah di bawahnya, dan ruang udara di
atasnya serta seluruh wilayah yang batas dan hak negara di laut teritorial,
zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinen yang diatur
dalam Undang-Undang. “
Penjelasan Pasal 4 Huruf a KUHP Baru ini dengan demikian tidak membatasi
berlakunya hukum pidana hanya pada kepada lautan yang masuk wilayah negara atau
teritorial sea saja (yakni 12 mil laut dari garis pantai), melainkan yang dimaksud
adalah wilayah yurisdiksi (wilayah di luar Wilayah Negara yang terdiri atas Zona
Ekonomi Eksklusif (ZEE) 200 mil laut, Landas Kontinen, dan Zona Tambahan 24 mil
laut). Penjelasan ini tidak membatasi hanya tindak pidana perikanan saja yang dicakup
pada wilayah yurisdiksi (ZEE, Landas Kontinen, dan zona tambahan). Dengan
demikian, termasuk juga tindak pidana lainnya.
Berlakunya Hukum Pidana menurut Tempat
Untuk mengetahui hukum pidana negara mana yang digunakan: hukum pidana
Indonesia atau hukum pidana negara lain.

- Mungkinkah ada kejadian dimana hukum pidana Indonesia berlaku, tapi hukum
negara lainnya juga dapat digunakan? bagaimana jika kejadian di luar Indonesia,
tapi hukum Indonesia dapat diberlakukan, apa yang harus dilakukan?
- Jika saja semua pertanyaan di atas tidak ada jawabannya dan tidak ada aturannya,
tentu menimbulkan persoalan serius dalam hal penegakan hukumnya.
- Inilah yang dijawab oleh aturan tentang ruang lingkup berlakunya hukum pidana
menurut tempat dan subyek tindak pidana yang diatur pada pasal-pasal 2,3,4,5,6,7,8
dan 9 KUHP.
- Delapan pasal tersebut memberi landasan hukum berlakunya hukum pidana
Indonesia dalam berbagai kejadian
Asas-Asas Berlakunya Hukum Pidana menurut Tempat

Indonesia menganut asas2 di bawah dibuktikan dgn dasar hukum yg terdapat dalam
KUHP:
— Asas Teritorialitas/ wilayah :
Ps 2 --> Ps 3 KUHP --> Ps 95 KUHP , UU No 4/1976
— Asas Nasionalitas Pasif/ perlindungan : Ps 4 :1,2, dan 3 --> Ps 8 KUHP , UU No.
4/1976 , Ps 3 UU No. 7/ drt/ 1955 Lihat Ps 16 UU 31/1999
— Asas Personalitas/ Nasionalitas Aktif :
Ps 5 KUHP --> Ps 7 KUHP --> Ps 92 KUHP
— Asas Universalitas :
Ps 4 :2 , Ps 4 sub 4 , Ps 1 UU 4/ 1976
“melakukan kejahatan ttg mata uang, uang kertas negara atau uang kertas Bank”
* Pasal 7 dan 8 KUHP termasuk baik dalam asas Nasionalitas Aktif maupun Pasif.
Asas-Asas Berlakunya Hukum Pidana
menurut Tempat

1. Asas teritorial/wilayah
berlakunya hukum pidana sesuai tempat terjadinya tindak pidana

Pasal 2 dan 3 KUHP


— KUHP Indonesia
— TP terjadi di Indonesia
— Pelaku WNA/WNI
— Berlaku teori2 locus delicti
UU No.43 / 2008 tentang Wilayah Negara

Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang selanjutnya disebut


dengan Wilayah Negara adalah salah satu unsur negara yang merupakan
satu kesatuan wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan
dan laut teritorial beserta dasar laut dan tanah di bawahnya, serta ruang
udara di atasnya, termasuk seluruh sumber kekayaan yang terkandung di
dalamnya.
Batas Wilayah

Pasal 5
Batas Wilayah Negara di darat, perairan, dasar laut dan tanah di bawahnya serta ruang udara di
atasnya ditetapkan atas dasar perjanjian bilateral dan/atau trilateral mengenai batas darat,
batas laut, dan batas udara serta berdasarkan peraturan perundang-undangan dan hukum
internasional.

Pasal 6
(1) Batas Wilayah Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, meliputi:
a. di darat berbatas dengan Wilayah Negara: Malaysia, Papua Nugini, dan Timor Leste;
b. di laut berbatas dengan Wilayah Negara: Malaysia, Papua Nugini, Singapura, dan Timor Leste;
dan
c. di udara mengikuti batas kedaulatan negara di darat dan di laut, dan batasnya dengan angkasa
luar ditetapkan berdasarkan perkembangan hukum internasional.
(2) Batas Wilayah Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), termasuk titik-titik koordinatnya
ditetapkan berdasarkan perjanjian bilateral dan/atau trilateral.
(3) Dalam hal Wilayah Negara tidak berbatasan dengan negara lain, Indonesia menetapkan Batas
Wilayah Negara secara unilateral berdasarkan peraturan perundang-undangan dan hukum
internasional.
Wilayah Indonesia dan Batas dengan Negara Lain
Asas-Asas Berlakunya Hukum Pidana
2. Asas Nasionalitas Aktif/Personalitas
Pasal 5 – 6 (perluasan Ps. 5) & 7 KUHP
- KUHP Indonesia
- TP terjadi di luar Indonesia
- Pelaku WNI (perlindungan terhadap WNI)
- Utk jenis delik kejahatan ( ..?..)
* Pasal 8 juga termasuk perluasan dari Nasionalitas Aktif (menurut van Bemmelen)

3. Asas Nasionalitas Pasif/Perlindungan


Pasal 4 dan 8 KUHP
-KUHP Indonesia
-TP terjadi di mana saja (di luar Ind)
-Pelaku WNA/WNI
-Melindungi kepentingan negara/nasional
* Pasal 7 juga termasuk perluasan dari asas Nasionalitas Pasif (menurut Van Bemmelen)
Asas Universal

Ps 4 :2 , Ps 4 sub 4 , Ps 1 UU 4/ 1976
“melakukan kejahatan ttg mata uang, uang kertas negara atau uang kertas Bank”
Untuk melindungi kepentingan dunia
MEMBANGUN
PARADIGMA BARU
PIDANA &
PEMIDANAAN
MELAUI KUHP BARU
Prof. Dr. Harkristuti Harkrisnowo, S.H., MA.Ph.D.
Landasan Pikir KUHP mengenai Pidana
& Pemidanaan

• Pandangan Retributif/Pembalasan/Lex Talionis sudah harus ditinggalkan


• Kearifan lokal/local wisdom perlu mendapat tempat à menggali nilai-nilai
tradisional
• Ketidaksesuaian lagi pandangan yang mengedepankan PENJARA sebagai pidana
yang paling tepat dan dominan dalam pemidanaan à Alternatif Penjara
• Overcrowding di Lembaga Pemasyarakatan harus dikurangi melalui perubahan
dalam aturan tentang pidana
• Kondisi faktual memerlukan pendekatan yang mengetengahkan penyelesaian
konflik tanpa penghukuman
• Jenis Pidana & Tindakan tidak dapat disamakan bagi orang dewasa, Anak &
Korporrasi
Novelty dalam
Pidana & Pemidanaan
Tujuan Pemidanaan
Pasal 53 KUHP
- Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk
menderitakan dan merendahkan derajat
Pidana dan HAM manusia
Pasal 52 - [Convention against Torture and other
Cruels, Unusual and Degrading Treatment
or Punishment (CAT), UU no. 5 tahun 1998
Pedoman
Pemidanaan
Kewajiban Menegakkan Hukum &
Keadilan Pasal 53

Bila ada
pertentangan
antara Hukum &
Keadilan?
HUKUM KEADILAN
KEADILAN yang
diutamakan
Faktor-Faktor yang Harus
dipertimbangkan Hakim Pasal 54
a. bentuk kesalahan pelaku Tindak Pidana;
b. motif dan tujuan melakukan Tindak Pidana;
c. sikap batin pelaku Tindak Pidana;
d. Tindak Pidana dilakukan dengan direncanakan atau tidak;
e. cara melakukan Tindak Pidana;
f. sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan Tindak Pidana;
g. riwayat hidup, keadaan sosial, dan keadaan ekonomi pelaku Tindak Pidana;
h. pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku Tindak Pidana;
i. pengaruh Tindak Pidana terhadap Korban atau keluarga Korban;
j. pemaafan dari Korban dan/atau keluarganya; dan/atau
k. nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Pemanfaatan Peradilan / Judicial
Pardon Pasal 54 ayat (2)
q Hakim dapat memutus perkara tanpa menjatuhkan pidana atau tanpa
mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan:
§ Ringannya perbuatan
§ Keadaan pribadi pelaku
§ Keadaan pada waktu dilakukan Tindak Pidana
§ Keadaan yang terjadi kemudian
§ Segi keadilan dan kemanusiaan
q Latar belakang:
q Berangkat dari pelbagai kasus tindak pidana yang ringan di masa lalu, akan
tetapi tetap dijatuhi pidana
q Memberi ruang bagi Hakim untuk memaafkan terdakwa untuk kasus-kasus
ringan
Kategori Pidana & Tindakan
Jenis Pidana untuk Dewasa
Pedoman Penerapan Pidana Penjara
dengan Perumusan Tunggal dan
Perumusan Alternatif

Pasal 57
Dalam hal Tindak Pidana diancam dengan pidana pokok secara alternatif,
penjatuhan pidana pokok yang lebih ringan harus lebih diutamakan,
jika hal itu dipertimbangkan telah sesuai dan dapat menunjang
tercapainya tujuan pemidanaan.
Pidana Penjara sedapat mungkin Tidak
dijatuhkan dalam hal....
Lanjutan...
i. Korban tindak pidana mendorong atau menggerakkan terjadinya Tindak
Pidana;
j. tindak pidana merupakan akibat suatu keadaan yang tak mungkin terulang
lagi;
k. kepribadian dan perilaku terdakwa meyakinkan bahwa ia tidak akan melakukan
Tindak Pidana yang lain;
l. pidana penjara akan menimbulkan penderitaan yang besar bagi terdakwa atau
keluarganya;
m. pembinaan di luar lembaga pemasyarakatan diperkirakan akan berhasil untuk
diri terdakwa;
n. penjatuhan pidana yang lebih ringan tidak akan mengurangi sifat berat Tindak
Pidana yang dilakukan terdakwa;
o. Tindak Pidana terjadi di kalangan keluarga; dan/atau
p. Tindak Pidana terjadi karena kealpaan.
Pengecualian...

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi:
a. Tindak Pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
b. Tindak Pidana yang diancam dengan pidana minimum khusus;
c. Tindak Pidana tertentu yang sangat membahayakan atau merugikan masyarakat; atau
d. Tindak Pidana yang merugikan keuangan atau perekonomian negara.
Pasal 71: Ketentuan tentang Pidana Penjara
(1) Jika seseorang melakukan Tindak Pidana yang hanya diancam dengan pidana penjara di bawah 5
(lima) tahun, sedangkan hakim berpendapat tidak perlu menjatuhkan pidana penjara setelah
mempertimbangkan tujuan pemidanaan dan pedoman pemidanaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 51 sampai dengan Pasal 54, orang tersebut dapat dijatuhi pidana denda.

(2) Pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dijatuhkan jika:
a. tanpa Korban;
b. Korban tidak mempermasalahkan; atau
c. bukan pengulangan Tindak Pidana.

(3) Pidana denda yang dapat dijatuhkan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah pidana denda paling banyak kategori V dan pidana denda paling sedikit kategori III;

(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c tidak berlaku bagi orang yang pernah
dijatuhi pidana penjara untuk Tindak Pidana yang dilakukan sebelum berumur 18 (delapan belas)
tahun.
Pidana Tutupan Pasal 74

(1) Orang yang melakukan Tindak Pidana yang diancam dengan pidana
penjara karena keadaan pribadi, perbuatannya dapat dijatuhi pidana
tutupan;
(2) Pidana tutupan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dijatuhkan
kepada terdakwa yang melakukan Tindak Pidana karena terdorong
oleh maksud yang patut dihormati;
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku, jika cara
melakukan atau akibat dari Tindak Pidana tersebut sedemikian rupa
sehingga terdakwa lebih tepat untuk dijatuhi pidana penjara.
Strategi Baru: Alternatif Pidana Penjara
Pidana Pengawasan Pasal 75

Terdakwa yang melakukan Tindak Pidana yang diancam dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dapat dijatuhi pidana pengawasan dengan tetap
memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 sampai dengan
Pasal 54 dan Pasal 70 (Ps 75)

Pasal 76:
(1) Pidana pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 dijatuhkan paling
lama sama dengan pidana penjara yang diancamkan yang tidak lebih dari 3 tahun.
(2) Dalam putusan pidana pengawasan ditetapkan syarat umum, berupa terpidana
tidak akan melakukan Tindak Pidana lagi.
Pidana Pengawasan Pasal 76

(3) Selain syarat umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dalam putusan juga dapat
ditetapkan syarat khusus, berupa:
a. terpidana dalam waktu tertentu yang lebih pendek dari masa pidana
pengawasan harus mengganti seluruh atau sebagian kerugian yang timbul
akibat Tindak Pidana yang dilakukan; dan/atau
b. terpidana harus melakukan atau tidak melakukan sesuatu tanpa mengurangi
kemerdekaan beragama, kemerdekaan menganut kepercayaan, dan/atau
kemerdekaan berpolitik.

(4) Dalam hal terpidana melanggar syarat umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
terpidana wajib menjalani pidana penjara yang lamanya tidak lebih dari ancaman
pidana penjara bagi Tindak Pidana itu.
(5) Dalam hal terpidana melanggar syarat khusus tanpa alasan yang sah, jaksa
berdasarkan pertimbangan pembimbing kemasyarakatan mengusulkan kepada
hakim agar terpidana menjalani pidana penjara atau memperpanjang masa
pengawasan yang ditentukan oleh hakim yang lamanya tidak lebih dari pidana
pengawasan yang dijatuhkan.

(6) Jaksa dapat mengusulkan pengurangan masa pengawasan kepada hakim jika selama
dalam pengawasan terpidana menunjukkan kelakuan yang baik, berdasarkan
pertimbangan pembimbing kemasyarakatan.

(7) Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara dan batas pengurangan dan perpanjangan
masa pengawasan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pidana Pengawasan Pasal 77

(1) Jika terpidana selama menjalani pidana pengawasan melakukan Tindak Pidana dan
dijatuhi pidana yang bukan pidana mati atau bukan pidana penjara, pidana
pengawasan tetap dilaksanakan.

(2) Jika terpidana dijatuhi pidana penjara, pidana pengawasan ditunda dan
dilaksanakan kembali setelah terpidana selesai menjalani pidana penjara.
Pidana Kerja Sosial Pasal 85

(1) Pidana kerja sosial dapat dijatuhkan kepada terdakwa yang melakukan Tindak
Pidana yang diancam dengan pidana penjara kurang dari 5 (lima) tahun dan hakim
menjatuhkan pidana penjara paling lama 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling
banyak kategori II.

(2) Dalam menjatuhkan pidana kerja sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim
wajib mempertimbangkan:
a. pengakuan terdakwa terhadap Tindak Pidana yang dilakukan;
b. kemampuan kerja terdakwa;
c. persetujuan terdakwa sesudah dijelaskan mengenai tujuan dan segala hal yang
berhubungan dengan pidana kerja sosial;
d. riwayat sosial terdakwa;
Lanjutan...
e. pelindungan keselamatan kerja terdakwa;
f. agama, kepercayaan, dan keyakinan politik terdakwa; dan
g. kemampuan terdakwa membayar pidana denda.

(3) Pelaksanaan pidana kerja sosial tidak boleh dikomersialkan.

(4) Pidana kerja sosial dijatuhkan paling singkat 8 (delapan) jam dan paling lama 240 (dua
ratus empat puluh) jam.

(5) Pidana kerja sosial dilaksanakan paling lama 8 (delapan) jam dalam 1 (satu) Hari dan
dapat diangsur dalam waktu paling lama 6 (enam) Bulan dengan memperhatikan
kegiatan terpidana dalam menjalankan mata pencahariannya dan/atau kegiatan lain
yang bermanfaat.

(6) Pelaksanaan pidana kerja sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dimuat dalam
putusan pengadilan.
Lanjutan...

(7) Putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) juga memuat perintah jika
terpidana tanpa alasan yang sah tidak melaksanakan seluruh atau sebagian pidana
kerja sosial, terpidana wajib:
a. mengulangi seluruh atau sebagian pidana kerja sosial tersebut;
b. menjalani seluruh atau sebagian pidana penjara yang diganti dengan pidana kerja
sosial tersebut; atau
c. membayar seluruh atau sebagian pidana denda yang diganti dengan pidana kerja
sosial atau menjalani pidana penjara sebagai pengganti pidana denda yang tidak
dibayar.

(8) Pengawasan terhadap pelaksanaan pidana kerja sosial dilakukan oleh jaksa dan
pembimbingan dilakukan oleh pembimbing kemasyarakatan.
Lanjutan...

(9) Putusan pengadilan mengenai pidana kerja sosial juga harus memuat:

a. lama pidana penjara atau besarnya denda yang sesungguhnya dijatuhkan oleh
hakim;
b. lama pidana kerja sosial harus dijalani, dengan mencantumkan jumlah jam per
Hari dan jangka waktu penyelesaian pidana kerja sosial; dan
c. sanksi jika terpidana tidak menjalani pidana kerja sosial yang dijatuhkan.
Denda: 8 Kategori Besaran Pasal 79

KATEGORI BESARAN MAKSIMAL (Rp.)


I 1 Juta
Minimum II 10 Juta
Rp. 50.000 III 50 Juta
(Pasal 78 (2) IV 200 Juta
V 500 Juta
VI 2M
VII 5M
VIII 50 M
Pidana Denda untuk Korporasi Pasal 121

(1) Pidana denda untuk Korporasi dijatuhi paling sedikit kategori IV, kecuali ditentukan
lain oleh Undang-Undang.

(2) Dalam hal Tindak Pidana yang dilakukan diancam dengan:


a. Pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun, pidana denda paling banyak untuk
Korporasi adalah kategori VI;
b. Pidana penjara paling lama 7 (tujuh) sampai dengan paling lama 15 (lima belas)
tahun, pidana denda paling banyak untuk Korporasi adalah kategori VII; atau
c. Pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 (dua
puluh) tahun, pidana denda paling banyak untuk Korporasi adalah kategori VIII.
Pidana Denda untuk Korporasi Pasal 122

(1) Pidana denda wajib dibayar dalam jangka waktu tertentu yang dimuat dalam
putusan pengadilan.

(2)Putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menentukan


pembayaran pidana denda dengan cara mengangsur.

(3) Jika pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dibayar dalam jangka
waktu yang telah ditentukan, kekayaan atau pendapatan Korporasi dapat disita dan
dilelang oleh jaksa untuk melunasi pidana denda yang tidak dibayar.

(4) Dalam hal kekayaan atau pendapatan Korporasi tidak mencukupi untuk melunasi
pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Korporasi dikenai pidana
pengganti berupa pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha Korporasi.
Penyitaan dan Pelelangan untuk Denda
Pasal 82
(1) Jika penyitaan dan pelelangan kekayaan atau pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
81 ayat (3) tidak cukup atau tidak memungkinkan untuk dilaksanakan, pidana denda yang tidak
dibayar tersebut diganti dengan pidana penjara, pidana pengawasan, atau pidana kerja sosial
dengan ketentuan pidana denda tersebut tidak melebihi pidana denda kategori II.
(2) Lama pidana pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. untuk pidana penjara pengganti, paling singkat 1 (satu) Bulan dan paling lama 1 tahun yang
dapat diperberat paling lama 1 tahun 4 Bulan jika ada perbarengan;
b. untuk pidana pengawasan pengganti, paling singkat 1 (satu) Bulan dan paling lama 1 (satu)
tahun, berlaku syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) dan ayat (3);
atau
c. untuk pidana kerja sosial pengganti paling singkat 8 (delapan) jam dan paling lama 240 (dua
ratus empat puluh) jam.
(3) Jika pada saat menjalani pidana pengganti sebagian pidana denda dibayar, lama pidana pengganti
dikurangi menurut ukuran yang sepadan.
(4) Perhitungan lama pidana pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (3) didasarkan pada ukuran untuk
setiap pidana denda Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) atau kurang yang disepadankan dengan:
a. 1 (satu) jam pidana kerja sosial pengganti; atau
b. 1 (satu) Hari pidana pengawasan atau pidana penjara pengganti.
Jika Penyitaan dan Pelelangan Tidak Dapat dilakukan
Pasal 83

(1) Jika penyitaan dan pelelangan kekayaan atau pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81
ayat (3) tidak dapat dilakukan, pidana denda di atas kategori II yang tidak dibayar diganti dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama sebagaimana diancamkan untuk
Tindak Pidana yang bersangkutan.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (3) berlaku juga untuk ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang mengenai pidana penjara pengganti.
PIDANA TAMBAHAN
Pidana Tambahan Pasal 66 ayat (1)
Pidana Tambahan Pasal 66 ayat (2)

(2) Pidana tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenakan dalam hal
penjatuhan pidana pokok saja tidak cukup untuk mencapai tujuan pemidanaan.
(3) Pidana tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dijatuhkan 1 (satu)
jenis atau lebih.
(4) Pidana tambahan untuk percobaan dan pembantuan sama dengan pidana
tambahan untuk Tindak Pidananya.
(5) Pidana tambahan bagi anggota Tentara Nasional Indonesia yang melakukan
Tindak Pidana dalam perkara koneksitas dikenakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan bagi Tentara Nasional Indonesia.
Pencabutan Hak Tertentu…

a. hak memegang jabatan publik pada umumnya/jabatan tertentu;

b. hak menjadi anggota TNI dan POLRI;

c. hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;

d. hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu, atau pengampu pengawas atas orang
yang bukan Anaknya sendiri;

e. hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian, atau mengampu atas


Anaknya sendiri;

f. hak menjalankan profesi tertentu; dan/atau

g. hak memperoleh pembebasan bersyarat


Dengan Pembatasan…
Pencabutan hak untuk:
a. memegang jabatan publik pada umumnya atau jabatan tertentu;
b. menjadi anggota TNI dan POLRI;
c. memilih dan dipilih dan
d. menjalankan profesi tertentu .....

hanya jika Tindak Pidana diancam dengan pidana penjara 5 tahun/lebih berupa:
Tindak Pidana jabatan atau yang melanggar kewajiban khusus suatu jabatan;
Tindak Pidana yang terkait dengan profesinya; atau
Tindak Pidana dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang
diberikan kepadanya karena jabatan atau profesinya.
Tindakan Bagi Orang Dewasa

Tindakan yang dapat dikenakan Tindakan bagi penyandang


bersama pidana pokok disabilitas mental/intelektual
a. konseling; a. rehabilitasi;
b. penyerahan kepada
b. rehabilitasi;
seseorang;
c. pelatihan kerja; c. perawatan di lembaga;
d. perawatan di lembaga; d. penyerahan kepada
dan/atau pemerintah; dan/atau
e. perbaikan akibat Tindak e. perawatan di rumah sakit
Pidana. jiwa.
Pidana Mati
Pasal 67 :
- Pidana mati adalah pidana
- yang bersifat khusus
- yang selalu diancamkan secara alternatif.

Pasal 100

(1) Hakim menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun dengan
memperhatikan:
a. rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri; atau
b. peran terdakwa dalam Tindak Pidana.
(2) Pidana mati dengan masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dicantumkan
dalam putusan pengadilan.
(3) Tenggang waktu masa percobaan 10 (sepuluh) tahun dimulai 1 (satu) Hari setelah putusan
pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Lanjutan…
(4) Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan sikap
dan perbuatan yang terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup
dengan Keputusan Presiden setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung.
(5) Pidana penjara seumur hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dihitung sejak Keputusan
Presiden ditetapkan.
(6) Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menunjukkan
sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki, pidana mati dapat
dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.

Pasal 101

- Jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan selama 10
(sepuluh) tahun sejak grasi ditolak bukan karena terpidana melarikan diri, pidana mati dapat
diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden.
Jenis Pidana bagi Anak

Pidana Pokok A. Pidana peringatan;


B. Pidana dengan syarat:
1.Pembinaan di luar lembaga;
2. Pelayanan masyarakat; atau
3. Pengawasan.
C. Pelatihan kerja;
D. Pembinaan dalam lembaga; dan
E. Pidana Penjara.

Pidana tambahan Perampasan keuntungan yang diperoleh


Pemenuhan kewajiban adat
Jenis Tindakan bagi Anak
a. pengembalian kepada orang tua atau orang tua asuh;
b. penyerahan kepada pemerintah;
c. penyerahan kepada seseorang;
d.perawatan di rumah sakit jiwa;
e. perawatan di lembaga;
f. kewajiban mengikuti pendidikan formal/latihan yang
diadakan oleh pemerintah atau lembaga swasta;
g. pencabutan SIM; atau
h. perbaikan akibat tindak pidana
Pidana & Tindakan bagi
Korporasi dalam KUHP

PIDANA TINDAKAN

a. pengambilalihan Korporasi;
Pidana Pokok (Denda) b. penempatan di bawah
Pidana Tambahan pengawasan; dan/atau
c. penempatan Korporasi di
bawah pengampuan.
Pidana Tambahan bagi Korporasi
a. pembayaran ganti rugi;
b. perbaikan akibat Tindak Pidana;
c. pelaksanaan kewajiban yang telah dilalaikan;
d. pemenuhan kewajiban adat.
e. pembiayaan pelatihan kerja;
f. perampasan Barang atau keuntungan yang diperoleh dari Tindak Pidana;
g. pengumuman putusan pengadilan;
h. pencabutan izin tertentu;
i. pelarangan permanen melakukan perbuatan tertentu;
j. penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan Korporasi;
k. pembekuan seluruh atau sebagian kegiatan usaha Korporasi; dan
l. pembubaran Korporasi.
Pemidanaan terhadap Korporasi Wajib
mempertimbangkan Pasal 56
a. tingkat kerugian atau dampak yang ditimbulkan;
b. tingkat keterlibatan pengurus yang mempunyai kedudukan fungsional
Korporasi dan/atau peran pemberi perintah, pemegang kendali, dan/atau
pemilik manfaat Korporasi;
c. lamanya Tindak Pidana yang telah dilakukan;
d. frekuensi Tindak Pidana oleh Korporasi;
e. bentuk kesalahan Tindak Pidana;
f. keterlibatan Pejabat;
g. nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat;
h. rekam jejak Korporasi dalam melakukan usaha atau kegiatan;
i. pengaruh pemidanaan terhadap Korporasi; dan/atau
j. kerja sama Korporasi dalam penanganan Tindak Pidana
Epilog…
- Perubahan paradigma pidana & pemidanaan dalam KUHP memperhatikan
perkembangan internasional dan kearifan lokal
- Konsep-konsep yang diajukan (e.g. judicial pardon, pidana kerja sosial, tindakan,
pidana mati dengan percobaan) merefleksikan kepedulian para perancang atas
kondisi aktual
- Diperlukan adanya pelatihan khusus bagi APH mengenai perubahan paradigma ini
dan koordinasi antar lembaga
- Pemerintah harus merekrut pegawai baru utk menjadi Pembimbing Kemasyarakatan
- Diperlukan adanya kolaborasi dengan akademisi dan pegiat sosial baik untuk
melakukan pelatihan maupun penelitian
PERMUFAKATAN JAHAT,
PERSIAPAN, PERCOBAAN,
PENYERTAAN, PERBARENGAN
TINDAK PIDANA
Dr. Surastini Fitriasih, S.H., M.H.
Permufakatan Jahat

⚫ Diatur dalam Pasal 13 dan Pasal 14


⚫ Terjadi jika2 (dua) orang atau lebih bersepakat untuk melakukan
Tindak Pidana.
⚫ Dipidana jikaditentukan secara tegas dalam Undang-Undang
⚫ Hanya untuk tindak pidana yang sangat serius (diancam pidana
penjara di atas 7 tahun)
Permufakatan Jahat
⚫ Ancaman Pidana:palingbanyak1/3(satu per tiga) dari maksimum ancaman pidana pokok
untukTindak Pidana yang bersangkutan.
⚫ JikaTindak Pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup dipidana dengan pidana penjarapaling lama7 (tujuh) tahun.
⚫ Pidana tambahan: sama dengan pidana tambahan untukTindak Pidana yang
bersangkutan.

Terdapat dasar penghapus pidana untuk permufakatan jahat,yaitu:


a. Bila pelaku menarik diri dari kesepakatanuntuk melakukanTindak Pidana,atau
b. Melakukan tindakan yang patut untuk mencegah terjadinyaTindak Pidana
Catatan Perbandingan KUHP Lama dan
KUHP Baru
⚫ KUHP Lama mengatur Permufakatan Jahat dalam Pasal 88 sebagai bagian
dari Bab IX tentang pengertian dan dalam pasal-pasal tertentu
⚫ Pasal 88:dikatakan ada permufakatan jahat apabiladua orang atau lebih telah
bersepakat akan melakukan kejahatan
⚫ Pemidanaan tidak ditentukan secara umum,melainkan secara khusus dalam
pasal-pasal tindak pidana tertentu yang permufakatan jahatnya dapat
dipidana.Misalnya Pasal 110, Pasal 116,Pasal 125
⚫ Tidak terdapat alasan penghapus pidana
Persiapan Melakukan Tindak Pidana
⚫ Diatur dalam Pasal 15 dan Pasal 16
⚫ terjadi jika pelaku berusaha untuk mendapatkan ataumenyiapkan sarana berupa alat,
mengumpulkan informasi atau menyusun perencanaan tindakan,ataumelakukan tindakan serupa
yang dimaksudkan untuk menciptakan kondisi untuk dilakukannya suatu perbuatan yang secara
langsung ditujukan bagi penyelesaianTindak Pidana.
⚫ Dipidana jikaditentukan secara tegas dalam Undang-Undang.
⚫ Hanya untuk tindak pidana yang sangat serius (diancampidana penjara di atas 7
tahun)
⚫ Terdapat dasar penghapus pidana untuk persiapan melakukan Tindak Pidana, yaitu: pelaku
menghentikan atau mencegah kemungkinan terciptanya kondisi untuk dilakukannya suatu
perbuatan yang secara langsung ditujukan bagi penyelesaianTindak Pidana
Pemidanaan untuk Persiapan Melakukan
Tindak Pidana

⚫ Ancaman pidana: paling banyak 1/2 (satu per dua) dari maksimum
ancaman pidana pokok untukTindak Pidana yang bersangkutan.
⚫ JikaTindak Pidana yang diancam dengan pidana matiatau pidana penjara seumur
hidup:dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.
⚫ Pidana tambahan untuk persiapan melakukanTindak Pidana sama dengan pidana
tambahan untukTindak Pidana yang bersangkutan.
Percobaan Tindak Pidana

⚫ Diatur dalam Pasal 17,Pasal 18 dan Pasal 19


⚫ Terjadi jika niat pelaku telah nyata dari adanya permulaan pelaksanaan dariTindak Pidana yang dituju,
tetapi pelaksanaannya tidak selesai,tidak mencapai hasil,atau tidak menimbulkan akibat yang dilarang,
bukan karenasemata-mata atas kehendaknya sendiri.
⚫ Permulaan pelaksanaan terjadi jika:
◦ perbuatan yang dilakukan itu diniatkan atau ditujukan untuk terjadinyaTindak Pidana;
dan
◦ perbuatan yang dilakukan langsung berpotensi menimbulkanTindak Pidana yang dituju.
Lanjutan…

⚫ Ancaman Pidana: paling banyak 2/3 (dua per tiga) dari maksimum ancaman pidana
pokok untukTindak Pidana yang bersangkutan.
⚫ JikaTindak Pidana diancam dengan pidana mati atau pidana penjaraseumur hidup:
dipidana dengan pidana penjarapaling lama 15 (limabelas) tahun.
⚫ Pidana tambahan:sama dengan pidana tambahan untukTindak Pidana yang
bersangkutan.
Percobaan melakukan Tindak Pidana
TIDAK DIPIDANA jika:
Pelaku setelah melakukan permulaan pelaksanaan :
a. tidak menyelesaikan perbuatannya karena kehendaknya sendiri secara sukarela; atau
b. dengan kehendaknya sendiri mencegah tercapainya tujuan atau akibat perbuatannya.

⚫ Dalam hal percobaan telah menimbulkan kerugian atau menurut peraturan


perundang-undangan telah merupakan Tindak Pidana tersendiri, pelaku dapat
dipertanggungjawabkan untuk Tindak Pidana yang bersangkutan.

⚫ PercobaanTindak Pidanayanghanya diancampidanadendakategori II


Penyertaan
⚫ Penyertaan:ketentuantentang pertanggungjawaban pihak-pihak yang terlibatdalamsuatu tindakpidana
⚫ Diatur dalamPasal20 sd Pasal22,Paragraf5 (Penyertaan), BagianKesatu (Tindak Pidana), Bab II Buku I
(Tindak PidanadanPertanggungjawabanPidana) danPasal248

Pasal20
Setiap OrangdipidanasebagaipelakuTindak Pidanajika:
⚫ melakukan sendiriTindak Pidana;
⚫ melakukanTindak Pidana dengan perantaraan alatatau menyuruh orang lainyang tidak dapat
dipertanggungjawabkan;
⚫ turut sertamelakukanTindak Pidana;atau
⚫ menggerakkan orang lainsupaya melakukanTindak Pidana dengan cara memberi atau menjanjikan sesuatu,
menyalahgunakan kekuasaan atau martabat,melakukanKekerasan, menggunakanAncaman Kekerasan, melakukan
penyesatan,ataudengan memberi kesempatan,sarana,atau keterangan.
Pasal21
(1) Setiap Orang dipidana sebagai pembantu Tindak Pidana jika dengan sengaja:
a.memberi kesempatan, sarana, atau keterangan untuk melakukan Tindak Pidana; atau
b.memberi bantuan pada waktu Tindak Pidana dilakukan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk pembantuan melakukan Tindak
Pidana yang hanya diancam dengan pidana denda paling banyak kategori II.
(3) Pidana untuk pembantuan melakukan Tindak Pidana paling banyak 2/3 (dua per tiga) dari
maksimum ancarnan pidana pokok untuk Tindak Pidana yang bersangkutan.
(4) Pembantuan melakukan Tindak Pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
(5) Pidana tambahan untuk pembantuan melakukan Tindak Pidana sama dengan pidana tambahan
untuk Tindak Pidana yang bersangkutan.
Pasal22
Keadaan pribadi pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 atau pembantu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21dapat menghapus,mengurangi,ataumemperberat
pidananya

Pasal248
⚫ Ketentuan dalam pasal ini sama dengan Pasal 163 bis KUHP Lama yang mengatur tentang
penggerakan yang gagal dan penggerakan tanpaakibat
⚫ Ancaman pidana bagi penggerakan yang gagal atau penggerakan tanpaakibat:pidana penjara paling
lama 6 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV,tetapi tidak boleh lebih berat daripada
pidana yang dijatuhkan terhadap percobaan melakukanTindak Pidana tersebut,atau jika
percobaannya tidak dipidana maka tidak dapat dijatuhi pidana yang lebih berat dari yang ditentukan
untukTindak Pidana tersebut.
Catatan:

⚫Tidak lagi dibedakan antara “pelaku” (pelaku dalam arti sempit) dan
“pembuat” (pelaku dalam arti luas: yang terdiri dari “pelaku” dan yang
dianggap sebagai pelaku)
⚫Bentuk penyertaan tetap ada 4 (empat): menyuruh melakukan, turut
melakukan, menggerakkan untuk melakukan dan membantu melakukan
⚫Pasal 20 memuat hal baru:
- melakukan TP dengan perantaraan alat (by use of inanimate objects)
- menegaskan bentuk penyertaan menyuruh melakukan (doen plegen) dan
dalam penjelasan dipertegas tentang pertanggungjawaban bagi yang disuruh
melakukan
• dalam penjelasan diberikan pengertian serta persyaratan bentuk penyertaan
turut melakukan,yang selama ini berasal dari doktri
• dalam penjelasan terdapat penegasan tentang beberapa persyaratan yang
selama ini diperoleh melalui penafsiran ataupun menurut pendapat doktrin
• menggunakan terminologi “menggerakkan” untuk uitlokking dan dalam
penjelasan disebutkan bahwa membujuk, menganjurkan, memancing dan
memikat termasuk dalam pengertian menggerakkan.
⚫ Pasal 21 ayat (3) merupakan pengganti dari ketentuan Pasal 57 KUHP
Lama“membantu melakukan pelanggaran tidak dipidana”. Mengingat tidak
dikenal lagi tindak pidana pelanggaran, maka yang digunakan sebagai batasan
adalah ancaman pidana, yaitu maksimal denda kategori II (Rp.10 juta)
⚫ Tidak terdapat ketentuan tentangbatasan pertanggungjawaban penggerak (seperti dalam
Pasal 55 ayat (2) KUHP Lama) dan batasan pertanggungjawaban pembantu (Pasal 56 ayat
(4))
⚫ Pasal 248 berbeda dengan Pasal 163 bis KUHP Lama dalam hal batasan penggunaan
ketentuan bagi penggerakan yang gagaldan penggerakan tanpaakibat.
⚫ Pasal 163 bis KUHP Lama hanya berlaku untuk mencoba menggerakan seseorang
untuk melakukan Kejahatan.Pasal 248 tidak memberikan batasan tersebut,
mengingat sudah tidak dikenal lagi pembedaan antara Kejahatan dan Pelanggaran.
Namun juga tidak terdapat batasan berdasarkan
ancaman pidana (misalnya maksimal diancam pidana denda Kategori II).
⚫ Jadi dapat disimpulkan bahwa Pasal 248 berlaku untuk semua tindak pidana.Hal ini
diperkuat dengan ketentuan dalam Pasal 248 yang menyatakan jika percobaanTP
tersebut (yang diminta untuk dilakukan) tidak dipidana,maka tidak dapat dijatuhi
pidana yang lebih berat dari yang ditentukan terhadapTP tsb.
⚫ Pasal 22 merupakan ketentuan dalam penyertaan yang berimplikasi pada
alasan penghapus, peringan dan pemberat pidana. Ketentuan ini serupa
dengan Pasal 58 KUHP Lama
Perbarengan
⚫ Diatur dalam Bab tentang Pidana dan Pemidanaan,Pasal 125 s.d
Pasal 131
⚫ Jenis perbarengan dan stelsel pemidanaan yang dianut pada prinsipnya sama
dengan ketentuan perbarengan dalam KUHP Lama, namun ada beberapa
hal baru
⚫ Sama halnya dengan ketentuan dalam KUHP Lama,terdapat larangan untuk
menjatuhkan pidana pokok lainnya,dalam hal hakim menjatuhkan pidana mati
atau pidana penjaraseumur hidup
Jenis Perbarengan dan Stelsel
Jenis Perbarengan (Stelsel) Pemidanaan
Ø Eendaadse Samenloop (Concursus ü 1 pidana saja yang dijatuhkan,
Idealis – Perbarengan Peraturan) prinsip Absorpsi
Ø Pengecualian: dalam hal perbuatan
ü Lex specialis derogat legi generali,
masuk dalam aturan umum dan
khusus kecuali UU menentukan lain
ü 1 pidana saja yang dijatuhkan;
Ø Voortgezette Handeling (Perbuatan
stelsel Absorpsi
Berlanjut)
Ø Meerdaadse Samenloop (Concursus ü Kumulasi terbatas (diperlunak)
Realis-perbarengan perbuatan) ü Jpidana minimum khusus
Ketentuan tentang Delik Tertinggal

⚫ Ketentuannya sama dengan Pasal 71 KUHP Lama


⚫ Ada penegasan bagaimana bunyi putusan dalam hal hakim
telah menjatuhkan pidana maksimum dalam putusan
terdahulu, yaitu hakim cukup menyatakan bahwa terdakwa
bersalah tanpa perlu diikuti pidana
TINDAK PIDANA KHUSUS DAN
ATURAN PERALIHAN DALAM
KUHP BARU

Prof. Dr. H. Elwi Danil, S.H., M.H.


Pengantar
■ UU Nomor 1 Tahun 2023 Tentang KUHP telah disahkan pada tanggal
2 Januari 2023.
■ UU ini lahir setelah melalui perjuangan dan pergulatan pemikiran yang
cukup panjang dari para ahli hukum pidana Indonesia sejak
kemerdekaan.
■ Mengakhiri berlakunya WvS warisan zaman Kolonial yang cenderung
dicitrakan sebagai “retributive view”.
■ Wujudkan visi Reformasi Hukum Pidana Indonesia;
■ Misi utama : proses dekolonialisasi berupa rekodifikasi terbuka yang
bersifat sistemik.
Lanjutan…
■ Pembentuk KUHP Baru : mengisi berbagai kekurangan WvS NI, dan
mengakamodasi berbagai teori hukum pidana dan kriminologi.
■ Mengakomodasi konsep monodualistik dalam memberi perlindungan
terhadap “offender” dan “victim”.
■ Mengimplementasikan teori dualistis : pemisahan rumusan antara
tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana.
■ Sebelum diundangkan, terdapat berbagai substansi pengaturan yang
mendapat perhatian khusus masyarakat.
■ Dari sekian banyak rumusan yang menimbul- kan resistensi dari
masyarakat, salah satu diantaranya adalah mengenai pengaturan bab
tersendiri tentang tindak pidana khusus dalam KUHP.
Pengertian Hukum Pidana Khusus

§ Prof Sudarto
Hukum pidana khusus (bijzonder strafrecht) : hukum pidana yang
ditetapkan untuk golongan orang khusus, atau yang berhubungan
dengan perbuatan khusus.
§ Kekhususan dari Hukum Pidana Khusus dapat dilihat dari :
o Aspek orang (subyek) atau pelaku;
o Aspek perbuatan.
§ Terdapat ketentuan-ketentuan yang menyimpang dari Aturan
Umum Hukum Pidana.
Soedarto:
Ada 3 Kelompok UU Pidana Khusus

1. UU yang tidak dikodifikasikan. Misalnya UU Lalu Lintas, UU Korupsi,


2. Peraturan-peraturan Hukum Administrasi yang mengandung sanksi
pidana. Misalnya UU Agraria, UU Perkawinan, UU Pertambangan.
3. UU yang mengandung hukum pidana khusus, yakni UU yang
mengatur tentang Delik-delik untuk kelompok orang tertentu atau
perbuatan tertentu. Misalnya KUHP Tentara, UU Tindak Pidana
Ekonomi.
Karakteristik Hukum Pidana Khusus:
Penyimpangan Dari Hukum Pidana Umum

q Salah satu karakteristik yang utama dari hukum pidana khusus


adalah terkandung adanya berbagai penyimpangan dari prinsip-
prinsip umum hukum pidana.
q Penyimpangan : dalam perspektif hukum pidana meteriel maupun
hukum pidana formiel.
q Penyimpangan : merupakan pengecualian yang dengan terpaksa
dilakukan.
Beberapa Segi
Penyimpangan Hukum Pidana Khusus

q Aspek Hukum Pidana Materil :


§ Subyek Hukum : korporasi
§ Perbuatan – Kejahatan atau rumusan delik yang relatif elastis.
§ Percobaan – Delik Selesai
§ Pidana – Kumulasi Pidana Pokok
q Aspek Hukum Pidana Formil :
§ Penyidik, Penuntut Umum, Hakim
§ Persidangan, Pembuktian terbalik.
§ Perluasan alat bukti elektronik.
§ Peradilan in absentia.
Sifat Khusus Ketentuan
Hukum Pidana Khusus
§ Logische Specialiteit
• Karena unsur-unsur umum ditambah unsur khusus
• Pasal 338-341, 362 – 363, 372 – 374 KUHP
§ Systematische Specialiteit
• Karena cara pembentukannya memang menghendaki ketentuan
tersebut diberlakukan sebagai ketentuan pidana khusus.
• Peraturan hukum pidana di luar KUHP, UU PTPK, UU Terorisme, dan
sebagainya,
Pergeseran Makna
Tindak Pidana Khusus
KUHP Baru berimplikasi pada pemaknaan tindak pidana khusus;
Tidak lagi dimaknai sebagai tindak pidana yang diatur di luar kodifikasi.
Ada dua kategori tindak pidana khusus;
1) Tindak pidana khusus dalam KUHP;
2) Tindak pidana khusus di luar KUHP.
Pertanyaan : Apa latar belakang adanya kebijakan perundang-undangan
?
Untuk konsolidasi dalam suatu kodifikasi hukum, tindak pidana khusus
dikelompokan dalam 1 (satu) Bab tersendiri dalam KUHP yaitu Bab
Tindak Pidana Khusus.
Pengaturan Tindak Pidana Khusus
Dalam KUHP Baru
- Dirumuskan dalam Bab XXXV yang terdiri atas enam bagian dari
Pasal 598 sampai Pasal 612 KUHP Baru.
- Ada lima tindak pidana khusus yang dirumuskan dalam KUHP
Baru, yakni:
1. Tindak pidana berat terhadap HAM; Pasal 588 dan Pasal 599.
2. Tindak pidana terorisme; Pasal 600, 601 dan 602 KUHP Baru.
3. Tindak pidana korupsi; Pasal 603 – 606 KUHP Baru;
4. Tindak pidana pencucian uang; Pasal 607 dan 608 KUHP
Baru;
5. Tindak pidana narkotika; Pasal 609 -611 KUHP Baru.
Lanjutan…
■ Pasal 612 KUHP Baru mengatur tentang permufakatan jahat, persiapan, percobaan
dan pembantuan tindak pidana khusus.
■ Kelima tindak pidana khusus itu dirumuskan secara umum/tindak pidana
pokoknya (core crime).
■ Berfungsi sebagai ketentuan penghubung (bridging articles) antara KUHP dan
Undang-undang diluar KUHP yang mengatur Tindak Pidana dalam Bab Tindak
Pidana Khusus.
■ Pertanyaannya: kenapa perhatian pembentuk KUHP hanya tertuju pada lima
tindak pidana itu saja ?.
■ Prof. Muladi : kelimanya terkategori sebagai tindak pidana berat yang diatur
dengan “global approach” yang secara khusus di samping hukum pidana formil
yang banyak menyimpang, dan di dalamnya diatur pula kelembagaan penegak
hukum khusus.
Karakteristik Khusus dari Tindak Pidana
Khusus dalam KUHP
Penempatan Tindak Pidana khusus dalam Bab tersendiri dalam KUHP
didasarkan pada karateristik khusus yaitu:
1. dampak viktimisasinya besar;
2. sering bersifat transnasional terorganisasi;
3. pengaturan acara pidanya bersifat khusus
4. sering menyimpang dari asas umum hukum pidana materiil;
5. adanya lembaga-lembaga pendukung penegak hukum yang
bersifat khusus dengan kewenangan khusus;
6. merupakan perbuatan yang sangat jahat dan tercela serta sangat
dikutuk masyarakat.
Menjadi Perhatian Masyarakat
- Tindak pidana korupsi : UNCAC tahun 2003;
- Tindak pidana penncucian uang : Palermo Convention tahun 2000
tentang Transnational Organized Crime dan berbagai standar
Financial Action Task Force (FATF) on Money Laundering.
- Tindak pidana narkotika : Single Convention on Narcotic Drugs 1961
beserta Protokol Tahun 1972 yang mengubahnya dan UN Convention
Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substance
1988.
- Tindak pidana pelanggaran HAM Berat : Rome Statute on
International Criminal Court 1988.
- Tindak pidana terorisme : berkaitan dengan berbagai konvensi
internasional dan regional tentang terorisme.
Legitimasi Kewennagan Lembaga
Penegak Hukum
- Konsekuensi penempatan Bab Tindak Pidana Khusus, perdebatan
delegitimasi Kewenangan Lembaga Penegak Hukum terhadap tindak
pidana khusus yang core crimes-nya berada di dalam kodifikasi KUHP
sebagai bentuk Tindak Pidana Umum;
- Solusi , Pengaturan Kewenangan Lembaga Penegak Hukum (Pasal 620
KUHP) yang tetap memberikan kewenangan Lembaga sebagaimana
telah ditentukan dalam Undang-Undang masing-masing Lembaga
tersebut;
- Contoh, KPK tetap memiliki kewenangan melakukan dan menangani
kasus Tindak Pidana Korupsi yang pengaturan ada di dalam KUHP
maupun yang pengaturannya ada di luar KUHP .
Lanjutan…
- Pasal 620 KUHP
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, ketentuan dalam Bab tentang
Tindak Pidana Khusus dalam Undang-Undang ini dilaksanakan oleh
lembaga penegak hukum berdasarkan tugas dan kewenangan yang diatur
dalam Undang-Undang masing-masing”.

Jadi adanya pengaturan dalam satu Bab dalam KUHP tentang Tindak
Pidana Khusus tidaklah mengurangi adanya kewenangan lembaga penegak
hukum yang sudah diatur dalam Undang-Undang tersendiri.
Pasal RUU Materi Asal
KUHP

Pasal 598 Tindak Pidana Pasal 8 dan Pasal 9 Undang-


dan Berat Terhadap Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pasal 599 Hak Asasi Manusia Pengadilan Hak Asasi Manusia

Pasal 600 Tinda kpidana Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 22 UU No. 15/2003
s.d. Terorisme ttg Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2002 tentang
Pasal 602 Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Menjadi Undang-Undang sebagaimana telah
diubah dengan UU No. 5 Tahun 2018
Pasal 603 Tindak Pidana Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5, Pasal 11, dan Pasal 13
s.d. Korupsi UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah
Pasal 606 diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Pasal RUU Materi Asal
KUHP

Pasal 607 Tindak Pidana Pasal 2 s.d. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8


s.d. Pencucian Uang Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pasal 609 Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

Pasal 610 Tindak Pidana Pasal 111 s.d. Pasal 126 Undang-Undang
s.d. Narkotika Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
Pasal 615
Tindak Pidana Korupsi dalam KUHP

Pasal 603 KUHP Pasal 2 ayat (1) UU Korupsi

Pasal 604 KUHP Pasal 3 UU Korupsi

Pasal 605 KUHP Pasal 5 UU Korupsi

Pasal 606 KUHP Pasal 11 dan Pasal 13 UU Korupsi


Aturan Penutup Pasal 187

o Ketentuan dalam Bab I sampai Bab V Buku Kesatu


berlaku juga bagi perbuatan yang dapat dipidana menurut
peraturan perundang-undangan lain, kecuali ditentukan
lain menurut Undang-undang
o Aturan ini adalah pasal penghubung antara Buku I KUHP
dengan berbagai peraturan perundangan-undangan lain di
luar KUHP.
o Sama dengan Pasal 103 KUHP existing.
Ketentuan Peralihan
■ Pasal 613 – 620 KUHP.
■ Pengaturan ketentuan peralihan mengharuskan setiap UU yang
memuat hukum pidana menyesuaikan dengan Buku I pada saat KUHP
berlaku.
■ Kejahatan dan pelanggaran : diganti menjadi tindak pidana.
■ Badan hukum dan seterusnya disamakan dengan korporasi.
■ Benda berwujud dan seterusnya : disamakan dengan barang.
■ Istilah pegawai negeri dan seterusnya yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan di luar KUHP dan memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud Pasal 154 merupakan Pejabat sebagaimana
ditentukan dalam KUHP.
Ketentuan Penutup
o Ketentuan penutup menegaskan berbagai aturan hukum pidana yang dinyatakan
tindak berlaku lagi dan beberapa konsekuensi perubahan lain sejak KUHP Baru
berlaku tiga tahun kemudian sebagai periode peralihan (engagement period)
untuk mengatur pelaksanaan proses peralihan dan sosialisasi, baik bagi
masyarakat maupun penegak hukum sebagai calon adresat norma.
o Di samping itu, juga ditegaskan tentang pembentukan peraturan pelaksanaan
harus ditetapkan paling lama dua tahun terhitung sejak UU ini diundangkan.
o Ada UU yang secara keseluruhan dinyatakan tidak berlaku, seperti UU No. 1
Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, dan ada pula hanya pasal-pasal
tertentu saja yang dinyatakan tidak berlaku seperti Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, 5,
11 dan Pasal 13 UU Korupsi.
o Tentang pasal-pasal yang diacu, maka pengacuannya diganti dengan ketentuan
yang ada dalam KUHP.
GUGURNYA KEWENANGAN
PENUNTUTAN DAN
PELAKSANAAN PIDANA

Prof. Dr. Pujiono, S.H., M.Hum.


A. Pengaturan Gugurnya Kewenangan
Penuntutan dalam KUHP Nasional
B. Pengertian Gugurnya Kewenangan
Penuntutan
C. Ruang Lingkup Gugurnya Kewenangan
Pokok Penuntutan
D. Alasan-alasan Gugurnya Kewenangan
Pembasahan Penuntutan
E. Pengertian Gugurnya Kewenangan
Pelaksanaan Pidana
F. Ruang Lingkup Gugurnya Pelaksanaan
Pidana
G. Alasan-alasan Gugurnya Pelaksanaan
Pidana
Pengaturan dalam KUHP Nasional

o BUKU KESATU : Aturan Umum


o BAB IV Tentang Gugurnya Kewenangan
Penuntutan dan Pelaksanaan Pidana
o Pasal 132 sd Pasal 143

o Bagian Kesatu : Gugurnya Kewenangan


Penuntutan ( Pasal 132 sd 139
o Bagian Kedua: Gugurnya Kewenangan
Pelaksanaan Pidana (Pasal 140 sd 143)
Pengertian
Gugurnya Kewenangan Penuntutan
● Buku Kesatu Bab V tentang Pengertian Istilah, tidak ditemukan pengertian otentik
tentang Gugurnya Kewenangan Penuntutan
● Mengacu pada penjelasan Pasal 132, yang dimaksud dengan “penuntutan” adalah
proses peradilan yang dimulai dari penyidikan.
● Sehingga Gugurnya kewenangan penuntutan dapat diartikan sebagai gugurnya
proses peradilan terhadap suatu tindak pidana/perbutan pidana, mulai dari tahap
penyidikan hingga penuntutan
● Artinya adalah adanya alasan-alasan gugurnya kewenangan penuntutan, menyebab
suatu tidak pidana tidak dapat dilakukan proses peradilan/proses hukum yang
dimulai dari tahap penyidikan hingga tahap penututan yang dilakukan oleh Jaksa
Penuntut Umum
● Tahap penuntutan, tidak ansih kegiatan jaksa melakukan penuntutan dimuka
pengadilan, akan tetapi mencakup rangkaian proses penyidikan
Ruang Lingkup Alasan-Alasan
Gugurnya Kewenangan Menuntut

1. Alasan-alasan umum yang bersumber dari dalam KUHP


2. Alasan-alasan di luar KUHP
3. Alasan khusus adanya penyelesaian di luar proses peradilan
4. Alasan khusus karena adanya pembayaran denda
5. Alasan Gugurnya Kewenangan Menuntut untuk orang
(natuurlijke persoon) dan korporasi (recht persoon)
Alasan Hapusnya Kewenangan Menuntut
Pasal 132 ayat (1) KUHP Nasional
• ada putusan pengadilan yang telah • maksimum pidana denda kategori IV
memperoleh kekuatan hukum tetap dibayar dengan sukarela bagi Tindak
Pidana yang diancam dengan pidana
terhadap Setiap Orang atas perkara yang
penjara paling lama 1 (satu) tahun atau
sama; pidana denda paling banyak kategori
• tersangka atau terdakwa meninggal III;
dunia; • ditariknya pengaduan bagi Tindak Pidana
• kedaluwarsa; aduan;
• maksimum pidana denda dibayar • telah ada penyelesaian di luar proses
dengan sukarela bagi Tindak Pidana peradilan sebagaimana diatur dalam
yang hanya diancam dengan pidana Undang-Undang; atau
denda paling banyak kategori II; • diberikannya amnesti atau abolisi.
Alasan Hapusnya Kewenangan Menuntut
Pasal 132 ayat (2) KUHP Nasional
• Ketentuan mengenai gugurnya kewenangan penuntutan bagi Korporasi memperhatikan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121.
• Pasal 121 :
(1)Pidana denda untuk Korporasi dijatuhi paling sedikit kategori IV, kecuali ditentukan lain oleh
Undang-Undang.
(2)Dalam hal Tindak Pidana yang dilakukan diancam dengan: a.pidana penjara di bawah 7 (tujuh)
tahun, pidana denda paling banyak untuk Korporasi adalah kategori VI; b.pidana penjara paling lama
7 (tujuh) sampai dengan paling lama 15 (lima belas) tahun, pidana denda paling banyak untuk
Korporasi adalah kategori VII; atau c.pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana
penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun, pidana denda paling banyak untuk Korporasi adalah
kategori VIII.
(Pertanyaan ini terkait alasan yang mana? dari Ps. 132? semua atau tertentu?)
Kalau tertentu Ps. 121 ini ada kaitannya dengan besaran denda? Apakah merupakan eksepsional/pengecualian
Ps. 132 ayat (1) huruf d dan e ?
Alasan Hapusnya Kewenangan Menuntut
Pasal 132 ayat (1) KUHP
Penjelasan Pasal 132 huruf d dan e
š Pasal 133 ayat (1) KUHP š Bagi Tindak Pidana ringan yang hanya diancam
š Pidana denda sebagaimana dengan pidana denda Kategori I atau Kategori II,
dimaksud dalam Pasal 132 ayat (1) dinilai cukup jika terhadap orang yang
melakukan Tindak Pidana tersebut tidak
huruf d dan huruf e serta biaya dilakukan penuntutan, asal membayar denda
yang telah dikeluarkan jika maksimum yang diancamkan. Penuntut umum
penuntutan telah dimulai, harus menerima keinginan terdakwa untuk
dibayarkan kepada Pejabat yang memenuhi maksimum denda tersebut. (Note:
berwenang dalam jangka waktu demi hukum/imperatif, Ps. 82 KUHP/WvS)
š Bagi Tindak Pidana yang diancam dengan
yang telah ditetapkan. pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau
pidana denda paling banyak Kategori III, jika
(Catatan: Ps. 133 ayat (1) tdk ada penuntut umum menyetujui maka terdakwa
penjelasan/cukup jelas, normanya dapat memenuhi maksimum denda untuk
merujuk penjelasan Pasal 132 ayat (1) menggugurkan penuntutan. (Note: tergatung
kebijakan Penuntut umum/bersifat fakultatif)
huruf d dan e) Salah satu kebijakan untuk mengurangi over
overcrowding Lembaga Pemasyarakatan.
Alasan Hapusnya Kewenangan Menuntut
Pasal 132 ayat (2) KUHP
š Jika diancamkan pula pidana tambahan berupa perampasan Barang atau tagihan, Barang
dan/atau tagihan yang dirampas harus diserahkan atau harus dibayar menurut taksiran
Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)dalam hal Barang dan/atau tagihan tersebut
sudah tidak berada dalam kekuasaan terpidana. (apa benar terpidana?)

(Catatn: makna “diancamkan pula” adalah sersifat kumulatif. Pelaku diancam pidana
pokok dan tambahan berupa perampasan barang dan atau tagihan)
Merupakan syarat tambahan, untuk adanya Hapusnya kewenangan menuntut untuk
Ketentuan Ps. 133 ayat (1), untuk tindak pidana yang diancam sanksi pidana sebagaimana
tersebut Ps. 132 ayat (1) huruf d dan e

Penjelasan Ps. 133 Ayat (2)

Ketentuan ini hanya berlaku untuk Tindak Pidana yang diancam dengan pidana
tambahan berupa perampasan Barang dan/atau tagihan.
Alasan Hapusnya Kewenangan Menuntut
Pasal 133 ayat (3) KUHP
Jika pidana diperberat karena pengulangan, pemberatan tersebut tetap berlaku
sekalipun kewenangan menuntut pidana terhadap Tindak Pidana yang dilakukan
lebih dahulu gugur berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132
ayat (1) huruf d dan huruf e.

Penjelasan Ps. 133 Ayat (3)


Meskipun Tindak Pidana yang dilakukan terlebih dahulu sudah gugur hak penuntutannya
berdasarkan Pasal 132 ayat (1)huruf e dan huruf f namun apabila terdakwa mengulangi
perbuatannya, maka terhadap Tindak Pidana yang kedua dan selanjutnya tetap berlaku ketentuan
pemberatan ancaman pidana bagi pengulangan Tindak Pidana sesuai dengan ketentuan yang
berlaku untuk itu.
Catatan: Untuk pengulangan tindak pidana yg ke-2 seterusnya, pemberatan tetap berlaku,
meskipun tindak pidana yg terdahulu gugur penuntutannya.
Tertulis Pasal 132 ayat (1) huruf e dan huruf f, seharusnya huruf d dan e ?
Alasan Gugurnya Kewenangan Penuntutan
karena Nebis in Idem Pasal 134 KUHP
Pasal 134 Penjelasan Pasal 134
Seseorang tidak dapat dituntut Ketentuan ini dimaksudkan untuk
untuk kedua kalinya dalam 1 (satu) memberi kepastian hukum dengan
perkara yang sama jika untuk mengedepankan asas ne bis in idem.
perkara tersebut telah ada putusan
pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
Alasan Gugurnya Kewenangan Penuntutan
karena Nebis in Idem Pasal 135 KUHP

Pasal 135 Pasal 135 tidak ada penjelasan


• Jika putusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
Cukup jelas.
134 berasal dari pengadilan luar negeri, terhadap
Setiap Orang yang melakukan Tindak Pidana
yang sama tidak boleh diadakan penuntutan
dalam hal:
a. putusan bebas dari tuduhan atau lepas dari
segala tuntutan hukum; atau
b. putusan berupa pemidanaan dan pidananya
telah dijalani seluruhnya, telah diberi ampun,
atau pelaksanaan pidana tersebut
kedaluwarsa.
Alasan Gugurnya Kewenangan Penuntutan
karena Daluwarsa Pasal 136 ayat (1) KUHP

Kewenangan penuntutan dinyatakan gugur karena kedaluwarsa apabila:


• setelah melampaui waktu 3 (tiga) tahun untuk Tindak Pidana yang diancam dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun dan/atau hanya denda paling banyak kategori III;
• setelah melampaui waktu 6 (enam) tahun untuk Tindak Pidana yang diancam dengan pidana penjara
di atas 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun;
• setelah melampaui waktu 12 (dua belas) tahun untuk Tindak Pidana yang diancam dengan pidana
penjara di atas 3 (tiga) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun;
• setelah melampaui waktu 18 (delapan belas) tahun untuk Tindak Pidana yang diancam dengan pidana
penjara di atas 7 (tujuh) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun; dan
• setelah melampaui waktu 20 (dua puluh) tahun untuk Tindak Pidana yang diancam dengan pidana
penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, atau pidana mati.
Penjelasan…

- Penjelasan Pasal 136 Ayat (1)


- Ketentuan kedaluwarsa dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk memberi
kepastian hukum terhadap status Tindak Pidana yang dilakukan. Hal ini
dikarenakan dengan lewatnya jangka waktu tersebut pada umumnya sulit
untuk menentukan alat-alat bukti.
- Penentuan tenggang waktu kedaluwarsa disesuaikan dengan berat
ringannya Tindak Pidana yang dilakukan. Bagi Tindak Pidana yang lebih
berat, tenggang waktu kedaluwarsa lebih lama daripada tenggang waktu bagi
Tindak Pidana yang lebih ringan.
Tenggang Waktu Gugurnya Kewenangan
Penuntutan karena Daluwarsa untuk Anak
Pasal 136 ayat (2) KUHP

Dalam hal Tindak Pidana dilakukan oleh Anak, tenggang waktu gugurnya kewenangan
untuk menuntut karena kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikurangi
menjadi 1/3 (satu per tiga).

Penjelasan Ps. 136 Ayat (2)


Ketentuan pada ayat ini disesuaikan dengan prinsip dalam hukum pidana yang
memperlakukan secara khusus bagi Anak. Oleh karena itu, tenggang waktu
kedaluwarsa terhadap Tindak Pidana yang dilakukan Anak lebih singkat dari pada
Tindak Pidana yang dilakukan orang dewasa.
Perhitungan Tenggang Waktu Daluwarsa
Pasal 137 KUHP

Waktu kedaluwarsa dihitung mulai keesokan hari setelah perbuatan dilakukan, kecuali bagi:
• Tindak Pidana pemalsuan dan Tindak Pidana perusakan mata uang, kedaluwarsa dihitung mulai
keesokan harinya setelah Barang yang dipalsukan atau mata uang yang dirusak digunakan; atau
• Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 450, Pasal 451, dan Pasal 452 kedaluwarsa dihitung
mulai keesokan harinya setelah Korban Tindak Pidana dilepaskan atau mati sebagai akibat langsung
dari Tindak Pidana tersebut.

Pasal 137 Huruf a, tidak ada penjelasan (cukup jelas).


Penjelasan Ps. 137 Huruf b
Sesuai dengan sifat Tindak Pidana yang ada keberlangsungan, maka selesainya Tindak Pidana yang
dimaksud dalam ketentuan ini adalah pada waktu Korban yang dilarikan, diculik, atau dirampas
kemerdekaannya, dilepaskan. Apabila Korban sampai dibunuh maka waktu gugurnya penuntutan, dihitung
mulai hari berikutnya dari waktu matinya Korban.
Penghentian Tenggang Waktu Daluwarsa
Pasal 138 KUHP

• Tindakan penuntutan Tindak Pidana menghentikan tenggang waktu kedaluwarsa.


• Penghentian tenggang waktu kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung
keesokan hari setelah tersangka atau terdakwa mengetahui atau diberitahukan mengenai
penuntutan terhadap dirinya yang dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
• Setelah kedaluwarsa dihentikan karena tindakan penuntutan, mulai diberlakukan tenggang
waktu kedaluwarsa baru.

Harus dibaca/dimaknai: sejak pemberitahuan adanya penyidikan (Penjelasan Ps. 132 KUHP
(N))

Pasal 138 tidak ada penjelasan, Cukup jelas.


Penghentian Penuntutan Sementara
Pasal 139 KUHP
Apabila penuntutan dihentikan untuk sementara waktu karena ada sengketa hukum yang
harus diputuskan lebih dahulu, tenggang waktu kedaluwarsa penuntutan menjadi tertunda
sampai sengketa tersebut mendapatkan putusan.

Catatan: berkaitan dengan Prejudicieel Geschil (Perma No. 1 Th 1956 jo SEMA 4 Th 1980)
Put MA 628K/Pid/1984 nunggu putusan perdata put tetap ttg hak (status kepemilikan
tanah)

• Penjelasan Pasal 139


• Yang dimaksud dengan “sengketa hukum” adalah perbedaan pendapat mengenai
persoalan hukum yang harus diputus terlebih dahulu oleh pengadilan lain sebelum
perkara pokok diputuskan.
Alasan Gugurnya Pelaksanaan Pidana
Pasal 140 KUHP
Pasal 140 Kewenangan pelaksanaan pidana dinyatakan gugur, jika:
- terpidana meninggal dunia;
- kedaluwarsa;
- terpidana mendapat grasi atau amnesti; atau
- penyerahan untuk pelaksanaan pidana ke negara lain.
Penjelasan Pasal 140
a. Cukup jelas.
b. Penjelasan Huruf b, Yang dimaksud dengan “kedaluwarsa” adalah
kedaluwarsa dalam melaksanakan putusan pengadilan.
c. Huruf c Cukup jelas.
d. Huruf d Cukup jelas.
Pelaksanaan Perampasan Barang / Tagihan
Dalam Hal Terpidana Meninggal Dunia
Pasal 141 KUHP

Jika terpidana meninggal dunia, pidana perampasan Barang tertentu


dan/atau tagihan yang telah disita tetap dapat dilaksanakan.

Pasal 141 cukup jelas.


Tenggang Waktu Daluwarsa Kewenangan
Pelaksanaan Pidana Pasal 142
(1) Kewenangan pelaksanaan pidana gugur karena kedaluwarsa setelah berlaku tenggang waktu
yang sama dengan tenggang waktu kedaluwarsa kewenangan menuntut sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 136 ditambah 1/3 (satu per tiga).
(2) Tenggang waktu kedaluwarsa pelaksanaan pidana harus melebihi lama pidana yang dijatuhkan
kecuali untuk pidana penjara seumur hidup.
(3) Pelaksanaan pidana mati tidak mempunyai tenggang waktu kedaluwarsa.
(4) Jika pidana mati diubah menjadi pidana penjara seumur hidup sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 101, kewenangan pelaksanaan pidana gugur karena kedaluwarsa setelah lewat waktu yang
sama dengan tenggang waktu kedaluwarsa kewenangan menuntut sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 136 ayat (1) huruf e ditambah 1/3 (satu per tiga) dari tenggang waktu kedaluwarsa
tersebut.

Pasal 142 cukup jelas.


Tenggang Waktu Daluwarsa Kewenangan
Pelaksanaan Pidana Pasal 143

(1) Tenggang waktu kedaluwarsa pelaksanaan pidana dihitung keesokan harinya sejak putusan
pengadilan dapat dilaksanakan.
(2) Apabila terpidana melarikan diri sewaktu menjalani pidana maka tenggang waktu
kedaluwarsa dihitung keesokan harinya sejak tanggal terpidana tersebut melarikan diri.
(3) Apabila pembebasan bersyarat terhadap narapidana dicabut, tenggang waktu kedaluwarsa
dihitung keesokan harinya sejak tanggal pencabutan.
(4) Tenggang waktu kedaluwarsa pelaksanaan pidana ditunda selama:
- pelaksanaan pidana tersebut ditunda berdasarkan peraturan perundang-undangan; atau
- terpidana dirampas kemerdekaannya meskipun perampasan kemer- dekaan tersebut
berkaitan dengan putusan pengadilan untuk Tindak Pidana lain.

Pasal 143 cukup jelas.


Thanks!
Do you have any questions?

CREDITS: This presentation template was created by Slidesgo,


including icons by Flaticon and infographics & images by Freepik

Anda mungkin juga menyukai