Bahan Ajar Penataran KUHP Baru PDF
Bahan Ajar Penataran KUHP Baru PDF
Baru (Undang-Undang
No. 1 Tahun 2023)
Kerjasama MAHUPIKI – FH
Universitas Pancasila
Jakarta, 7 – 9 Februari 2023
DAFTAR ISI
1) Tindak Pidana, Ajaran Melawan Hukum, Tindak Pidana Aduan, dan Alasan Pembenar,
Prof. Dr. Marcus Priyo Gunarto, S.H., M.H……………………………………………………………………..3
Monistis Dualistis
Memandang keseluruhan syarat (tumpukan Memisahkan antara dilarangnya suatu pbtn
syarat) untuk adanya pidana itu merupakan dgn sanksi ancaman pid (criminal act/actus
sifat dari perbuatan. reus) dan dpt dipertg-jwbkannya si pembuat
(criminal responsibility/ mens rea).
1.D. Simon
2.Van Hamel 1.HB. Vos
3.E. Mezger 2.W.P.J Pompe
4.Karni 3.Moeljatno
5.J. Boumann.
Doktrin tentang Tindak Pidana
Monitis Dualiastis
Memisahkan antara
Memandang keseluruhan dilarangnya suatu perbuatan
syarat (tumpukan syarat) dengan sanksi ancaman pidana
untuk adanya itu (criminal act/ actus reus) dan
merupakan sifat dari dapat dipertanggungjawabkan
si pembuat (criminal
perbuatan.
responsibility/ mens rea)
Unsur Tindak Pidana
Monistis
Simon: Perbtn salah dan melawan hkm, yg diancam pid, yg dilakukan oleh
org yg mampu bertggjwb (een strafbaar gestelde, onrechtmatige, met schuld
verband staande handeling van een toerekeningsvatbaar persoon).
Jadi unsurnya:
• Perbuatan manusia (positief atau negatief)
• Diancam dengan pidana (strafbaar gesteld)
• Melawan hukum (onrechtmatig)
• Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand)
• Oleh orang yang mampu bertanggungjawab (toerekeningsvatbaar persoon)
Jadi unsurnya:
1. Perbuatan manusia yg di rmskan dlm UU
2. Melawan hukum
3. Dilakukan dgn kesalahan
4. Patut di pidana
J. Boumann:
“Die tanbestandmaszige rechtwidrige und schuld-hafte handlung
(Perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan
dengan kesalahan)
Unsur Tindak Pidana
Dualistis
HB Vos:
Kelakuan manusia yang diancam dengan Pidana dalam UU
W.P.J. Pompe:
Menurut teori: suatu plgrn thd norma yg dilkkn krn kesalahan si pelanggar dan diancam dgn
pid u/ mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum
Menurut Hukum Positip: suatu kejadian/ feit yg oleh prtrn UU dirumuskan sbg perbtn yg dpt
dihukum.
Ditempat lain:
Sf adlh pbtn yg bersifat mlwn hk, dilkn dgn kesalahan dan diancam pidana, ttp sifat mlwn hk
(wederrechtelijkheid) dan kesalahan (schuld) bukanlah sifat mutlak adanya Sf. Org tdk
dipidana kalau tdk ada sifat mlwn hk/ kesalahan.
Jadi dipisahkan antara tindak pidana dari org yg dpt dipidana.
Unsur Sf:
•Pelanggaran norma (norm overtreding)
•Adanya kesalahan (schuld heeft)
Moeljatno:
Perbtn Pid adlh perbtn yg diancam dg pid, brg siapa yg mlggr larangan tsb.
Perbuatan pidana hrs ada unsur:
Perbuatan (manusia)
Memenuhi rumusan UU (syarat formil)
Bersifat melawan hkm (syarat materiil).
(1) Dalam hal tertentu, pelaku Tindak Pidana • Ada kepentingan hukum yg lebih besar jika
hanya dapat dituntut atas dasar dibandingkan kepentingan penuntutan;
pengaduan. • Harus dinyatakan secara tegas dlm UU;
• Untuk memberikan kepastian hukum yang
(2) Tindak Pidana aduan harus ditentukan berhak mengadukan;
secara tegas dalam Undang- • Yang berhak mengadukan adalah korban, kcl
Undang. ditentukan lain;
• Diajukan dengan permohonan dan diikuti
dengan permintaan untuk dituntut;
• Ada batas waktu pengajuan dan penarikan;
• Jika sudah ditarik tidak dapat diajukan lagi;
Yang berhak
mengadukan
PADA PRINSIPNYA YANG BERHAK MENGADUKAN
ADALAH KORBAN
DALAM HAL:
- Korban belum berusia 16 tahunà orang tua/wali
- Orang tua tidak ada/ justru yg harus diadukan à
klg sedarah dlm garis lurus;
- Klg sedarah dlm garis lurus tidak ada àklg dlm
garis menyamping derajat 3;
- Tidak ada ot/wali, klg garis lurus atau garis
menyamping derajat 3à diri sendiri dan/atau
pendamping.
Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden (218) Presiden/ Wkl Presiden Tertulis
Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Kepala Negara Sahabat dan Wakil Negara Sahabat (226) Presiden/ Wkl Presiden Tertulis
Neg. sahabat.
Penghinaan terhadap Pemerintah atau Lembaga Negara (240) Pempinan Pem/ Lbg Neg. Tertulis
Bersikap tidak hormat/ menyerang integritas terhadap aparat penegak hukum, petugas pengadilan, atau Hakim Tertulis
persidangan padahal telah diperingatkan oleh hakim (280)
memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu dengan ancaman Korban Tertulis/lisan
pencemaran atau pencemaran tertulis. (448)
Dengan dimasukkannya Pasal 40 KUHP sebagai alasan pemaaf, maka konsepsi hal itu
mesti disesuaikan, karena bukan lagi keadaan lingkungan seputar tindak pidana yang
normal saja, yang menyebabkan seseorang dikatakan tidak memiliki alasan pemaaf.
Daya Paksa
Pasal 42 KUHP Nasional menentukan alasan pemaaf, daya paksa (overmacht), yang
terdiri atas:
1. Dipaksa oleh keluatan yang tidak dapat ditahan (daya paksa absolut),
sehingga pelaku tidak memiliki free will untuk bertindak;
2. Dipaksa oleh adanya ancaman, tekanan, atau kekuatan yang tidak dapat
dihindari (daya paksa relatif), yaitu jika ancaman, tekanan atau kekuatan
tersebut menurut akal sehat tidak dapat dilawan, dimana kepentingan yang
dikorbankan seimbang atau sedikit lebih daripada kepentingan yang
diselamatkan.
Pembelaan Terpaksa yang
Melampaui Batas
Pasal 43 KUHP Nasional menegaskan pembelaan terpaksa yang
melampaui batas sebagai alasan pemaaf, sehingga pembuat delik tidak
dipidana;
Dalam hal ini pembelaan terpaksa ini telah tidak proporsional apabila
dibandingkan dengan serangan, baik kekerasan maupun ancaman
kekerasan atau serangkan lainnya yang diterimanya atau diterima
orang lain, baik terhadap diri, kehormatan maupun harta benda. Namun
demikian, pembuat tetap dimaafkan karena hal itu semata-mata karena
kegoncangan jiwa yang hebat akibat serangkan atau ancaman
serangan itu.
Perintah Jabatan yang diberikan
Tanpa Wewenang
Pasal 44 KUHP Nasional menentukan bahwa perintah jabatan yang diberikan tanpa
wewenang, jika dilakukan dengan itikad baik mengira bahwa perintah tersebut
diberikan dengan wewenang dan pelaksanaanya dalam lingkup pekerjaannya,
dikategorikan sebagai alasan pemaaf, sehingga pembuat delik tidak dipidana;
Dalam hal ini pelaksana perintah jabatan yang tidak sah (tanpa wewenang) tidak
dipidana, jika:
1. Pembuat dengan itikad baik mengira bahwa perintah yang diterimanya sah.
Misalnya: karena sebelumnya telah menerima perintah serupa dari atasannya;
dan
2. Tindakan yang dilakukan masih dalam ruang lingkup tugasnya, sehingga seperti
pelaksanaan tugas pada umumnya.
PERTANGGUNGJAWABAN
PIDANA KORPORASI
Korporasi sebagai
Subjek Tindak Pidana
Pasal 45 KUHP Nasional menegaskan tentang korporasi sebagai subjek tindak
pidana. Dalam hal ini yang dimaksud korporasi adalah:
1. badan hukum (perseroan terbatas, yayasan koperasi, BUMN/BUMD,
perkumpulan berbadan hukum atau yang disamakan dengan itu);
2. perkumpulan tidak berbadan hukum (badan usaha firma, CV, atau yang
disamakan dengan itu).
Tidak jelas betul apakah partai politik atau organisasi terorisme dapat digolongkan
kedalam pengertian korporasi.
Tindak Pidana oleh Korporasi
KUHP Nasional hanya mengenal tindak pidana oleh korporasi (crime by corporation), yaitu tindak
pidana yang dilakukan oleh:
1. Pengurus yang mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi,
yaitu orang yang mempunyai wewenang mewakili, mengambil keputusan, dan menerapkan
pengawasan terhadap korporasi tersebut, termasuk kedudukan sebagai orang yang
menyuruh melakukan tindak pidana, turut serta melakukan, menggerakan orang lain supaya
melakukan tindak pidana atau membantu tindak pidana tersebut (Pasal 46),
2. Orang yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang
bertindak untuk dan atas nama koporasi atau bertindak demi kepentingan korporasi tersebut
(Pasal 46);
3. Pemberi perintah dalam korporasi (Pasal 47);
4. Pemegang kendali korporasi, setiap orang yang memiliki kekuasaan atau wewenang
sebagai penentu kebijakan korporasi atau memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan
korporasi tersebut tanpa harus mendapat otorisasi dari atasannya (Pasal 47);
5. Pemilik manfaat korporasi, yang berada di luar struktur organisasi tetapi mengendalikan
korporasi (Pasal 47).
Pembatasan
Pertanggungjawaban Korporasi
Tidak jelas betul apa yang menjadi kriteria sehingga pidana dan pertanggungjawaban
pidana dapat dimintakan secara kumulatif kepada pengurus dan korporasinya sekaligus;
Syarat
Pertanggungjawaban Korporasi
Syarat pertaggungjawaban pidana atas tindak pidana oleh korporasi ditentukan dalam
Pasal 48 KUHP Nasional, yaitu hanya dapat dimintakan tanggung jawab pidana jika:
a. Termasuk dalam ruang lingkup usaha atau kegiatan sebagaimana ditentukan
dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi;
b. Menguntungkan korporasi secara melawan hukum;
c. Diterima sebagai kebijakan korporasi;
d. Korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan
pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan
terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak
pidana; dan/atau
e. Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana;
Syarat…
Pasal 48 KUHP Nasional menggabungkan antara kriteria tindka pidana sebagai tindak
pidana oleh korporasi (huruf a dan c) dan syarat pertanggungjawaban pidana korporasi (
huruf b, d dan e). Dalam hal ini KUHP Nasional dapat dipnadang masih menganut ajaran
monistis;
Padahal jika ajaran kesalahan normatif diterima dalam hal ini, kesalahan korporasi
berupakan indicator non mental element, yaitu pelanggaran atas:
a. Standard of care (membiarkan terjadinya tindak pidana);
b. Standard operating procedure (tidak melakukan pencegahan dan memastikan
kepatuhan terhadap hukum);
c. Standard of liability (mendapatkan keuntungan dari tindak pidana);
Alasan Pembenar & Pemaaf
bagi Korporasi
Alasan pembenar dan alsan pemaaf yang diajukan oleh pengurus yang mempunyai
kedudukan fungsional, pemberi perintah, pemegang kendali, dan/atau pemilik manfaat
dapat juga diajukan oleh Korporasi sepanjang berhubungan langsung dengan tindak
pidana yang didakwakan kepada koporasi (Pasal 50 KUHP Nasional);
Penerapan ketentuan ini tentunya harus dipilah secara selektif, alasan pembenar dan
alasan pemaaf dari orang perseorangan seperti apa yang kemudian relevan untuk juga
dipandang sebagai alasan pembenar dan pemaaf bagi korporasi.
ALASAN PEMBERAT
DAN PERINGAN
PIDANA
Dr. Yenti Garnasih, S.H., M.H.
Tidak ada Sifat Melawan Hukum
Pasal 58 Pasal 59
Faktor yang memperberat pidana meliputi: Pemberatan sebagaimana yang dimaksud
a. Pejabat yang Melakukan Tindak dalam pasal 58 dapat ditambah paling
Pidana sehingga kewajiban jabatan banyak 1/3 (satu per tiga) dari maksimum
yang khusus atau melakukan Tindak ancaman pidana
pidana dengan menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan, atau
sarana yang diberikan kepadanya
karena jabatan;
b. Penggunaan bendera kebangsaan,
lagu kebangsaan, atau lambing
negara Indonesia pada waktu
melakukan Tindak Pidana; atau
c. Pengulangan Tindak Pidana
Peringan Pidana
PASAL 70
(1) Dengan tetap mempertimbangkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 sampai dengan
pasal 54, pidana penjara sedapat mungkin tidak dijatuhkan jika ditemukan keadaan:
a. Terdakwa adalah anak
b. Terdakwa berumur diatas 75 (tujuh pukuh lima) tahun;
c. Terdakwa baru pertama kali melakukan Tindak Pidana;
d. Kerugian dan penderitaan Korban tidak terlalu besar
e. Terdakwa telah membayar ganti rugi kepada korban
f. Terdakwa tidak menyadari bahwa Tindak Pidana yang dilakukan akan menimbulkan kerugian
besar
g. Tindak Pidana terjadi karena hasutan yang sangat kuat dari orang lain;
h. Korban Tindak Pidana mendorong atau menggerakan terjadinya Tindak Pidana tersebut;
i. Tindak Pidana tersebut merupakan akibat dari suatu keadaan yang tidak mungkin terulang lagi;
j. Kepribadian dan perilaku terdakwa meyakinkan bahwa ia tidak akan melakukan Tindak Pidana
yang lain;
k. Pidana penjara akan menimbulkan penderitaan yang besar bagi terdakwa datau keluarganya
l. Pembinaan di luar Lembaga pemasyarakatan diperkirakan akan berhasil untuk diri terdakwa
m. Penjatuhan pidana yang lebih ringan tidak akan mengurangi sifat berat Tindak Pidana yang
dilakukan terdakwa;
n. Penjatuhan pidana yang lebih ringan tidak akan mengurangi sifat beat Tidak Pidana yang
dilakukan terdakwa;
o. Tindak Pidana terjadi karena kealpaan.
Peringan Pidana
PASAL 70
(2) Ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi:
a. Tindak Pidana yang diancam dengan pidana penjawa 5 (lima) tahun atau lebih;
b. Tindak Pidana yang diancam dengan pidana minimum khusus
c. Tindak Pidana tertentu yang sangat membahayakan atay merugikan
masyarakat; atau
d. Tindak Pidana yang merugikan keuangan atau perekonomian negara.
KEUNGGULAN KUHP
Tim Ahli UU KUHP
1. Bertitik tolak dari asas 11. Pembagian Pidana dan
keseimbangan; Tindakan ke dalam 3 kelompok
2. Rekodifikasi Hukum Pidana (umum, anak, korporasi)
yang terbuka dan terbatas ; 12. Pidana denda diatur dalam 8
3. Tujuan Pemidanaan kategori
4. Pedoman Pemidanaan 13. Mengatur penjatuhan pidana
5. 11 pertimbangan bagi hakim mati secara bersyarat sebagai
sebelum menjatuhkan jalan tengah pro kontra pidana
KEUNGGULAN KUHP pemidanaan mati
SEBAGAI HUKUM 6. Penentuan sanksi pidana 14. Mencegah penjatuhan pidana
dengan Modified Delphi penjara utk TP Max 5 Tahun
PIDANA & SISTEM Method 15. Mengatur alternatif pidana
PEMIDANAAN 7. Putusan Pemaafan Oleh Hakim
(Judicial Pardon)
penjara berupa pidana denda,
pidana pengawasan, dan pidana
MODERN 8. Pertanggungjawaban pidana kerja sosial
korporasi 16. Mengatur Pemidanaan Dua
9. Mengutamakan pidana pokok Jalur, yaitu berupa Pidana &
yang lebih ringan Tindakan
10. Perluasan jenis pidana pokok 17. Mengatur Pertanggungawaban
(Pengawasan dan Kerja Mutlak (Strict Liability) &
Sosial); Pertanggungjawaban Pengganti
(Vicarious Liability)
antara “kepentingan umum/masyarakat”
dan “kepentingan individu”;
antara perlindungan/kepentingan pelaku,
korban dan penegakan hukum;
Asas
antara faktor “objektif” (perbuatan/lahiriah/ actus reus) dan
“subjektif” (orang/batiniah/sikap batin/ mens rea); à ide
“daad-dader strafrecht”;
Keseimbangan antara “kepastian hukum”, “kelenturan/
elastisitas/fleksibilitas”, dan “keadilan”;
antara nilai-nilai particular, nasional dan nilai-nilai global/
internasional/
universal;
Tercermin dalam 3 masalah pokok Hukum pidana, yaitu:Perbuatan
Pidana/ Tindak Pidana; Kesalahan/ Pertanggungjawaban Pidana;
dan Pidana / Pemidanaan
Rekodifikasi terhadap pasal-pasal KUHP yang
masih relevan, pertumbuhan hukum pidana di luar
Rekodifikasi KUHP sejak Indonesia berkembang, konvensi
internasional mengandung hukum pidana yang telah
Hukum diratifikasi, perkembangan ilmu hukum pidana dan
kriminologi, serta core crime tindak pidana khusus ;
cttn: dimasukkannya core crime TP. Khusus dlm
Pidana yang KUHP supaya asas-asas hukum pidana dalam buku
Terbuka dan I menjadi brideging article
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
adalah proses yang dilakukan dalam
kelompok untuk mensurvei dan
mengumpulkan pendapat dari para ahli
Penentuan terkait penentuan maksimum pidana pada
masing-masing tindak pidana;
Sanksi Pidana Adanya kemungkinan pengaruh individual
dengan otomatis dihilangkan.
Modifikasi
Metode ini dapat digunakan untuk
Delphi Method mengevaluasi sebaran pendapat dari para
ahli ataupun poin-poin konsensus (hal-hal
yang telah disepakati).
Hakim dapat memutuskan untuk tidak menjatuhkan
pidana atau tidak mengenakan tindakan dengan
Putusan oleh mempertimbangkan:
Hakim §Ringannya perbuatan;
§Keadaan pribadi pelaku;
(Judicial §Keadaan pada waktu dilakukan Tindak Pidana serta
yang terjadi kemudian;
Pardon) §Segi keadilan dan kemanusiaan.
Pertanggungjawaban Korporasi
Perluasan Jenis v
Pidana Pokok
Pengawasan dan
Kerja Sosial Ø
Ø
Pidana pokok (pidana mati
Pidana bagi ditempatkan sebagai bersifat
khusus)
orang; Pidana tambahan;
Tindakan
Pembagian Pidana
& Tindakan ke Pidana bagi Pidana pokok
Pidana tambahan;
dalam 3 Kelompok anak; Tindakan
(Umum, Anak,
Korporasi)
Pidana pokok
Pidana bagi Pidana tambahan;
korporasi; Tindakan
Pidana denda diatur dalam 8 Kategori
• Tindak Pidana terjadi karena hasutan yang sangat kuat dari orang lain; • Tindak Pidana terjadi di kalangan keluarga; dan/atau
• Tindak Pidana terjadi karena kealpaan.
• Korban Tindak Pidana mendorong atau menggerakkan terjadinya Tindak Pidana
tersebut;
• Tindak Pidana tersebut merupakan akibat dari suatu keadaan yang tidak
mungkin terulang lagi;
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi:
a. Tindak Pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
b. Tindak Pidana yang diancam dengan pidana minimum khusus;
c. Tindak Pidana tertentu yang sangat membahayakan atau merugikan masyarakat; atau
d. Tindak Pidana yang merugikan keuangan atau perekonomian negara.
Mengatur Pemidanaan Dua Jalur,
yaitu brupa Pidana & Tindakan
Mengatur Pertanggungjawaban Mutlak Strict
Liability Dan Pertanggungjawaban Pengganti
Vicarious Liability
Pasal 36
1. Setiap Orang hanya dapat dimintai pertanggungjawaban atas Tindak Pidana yang dilakukan
dengan sengaja atau karena kealpaan.
2. Perbuatan yang dapat dipidana merupakan Tindak Pidana yang dilakukan dengan sengaja,
sedangkan Tindak Pidana yang dilakukan karena kealpaan dapat dipidana jika secara tegas
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 37
Dalam hal ditentukan oleh Undang-Undang, Setiap Orang dapat:
• dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur Tindak Pidana tanpa
memperhatikan adanya kesalahan; atau
• dimintai pertanggungjawaban atas Tindak Pidana yang dilakukan oleh orang lain.
RUANG LINGKUP
BERLAKUNYA
HUKUM PIDANA
(1) tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana
kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu
aturan undang-undang;
(2) untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh
digunakan analogi (qiyas); dan
(3) aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut
Pasal 1 KUHP
Internasional:
Ps 15 (1) ICCPR: hukum tidak berlaku surut
Ps 15 (2) ICCPR àpengecualian, untuk kejahatan menurut hukum kebiasaan
international
Ps 22, 23, dan 24 ICC (Statuta Roma)
Nasional
Ps 28i UUD 1945
Ps 18 (2) dan Ps 18 (3) UU No. 39 Tahun 1999
Pasal 28i UUD 1945
“Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah
hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.”
PENAFSIRAN EKSTENSIF
Hakim meluaskan lingkungan
kaidah yang lebih tinggi sehingga
perkara yang bersangkutan
termasuk juga di dalamnya
ANALOGI
Hakim membawa perkara yang
harus diselesaikan ke dalam
lingkungan kaidah yang lebih tinggi
Pasal 1 ayat (2) KUHP
-+-----------+---------------+---->
UU Perbuatan Perubahan UU
ASAS TERITORIAL
Dalam KUHP Baru, berkaitan dengan Asas Wilayah atau Teritorial, Pasal 4 menyatakan bahwa:
“Ketentuan pidana dalam Undang-Undang berlaku bagi Setiap Orang yang melakukan: 1. Tindak
Pidana di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; 2. Tindak Pidana di Kapal Indonesia atau di
Pesawat Udara Indonesia; atau Tindak Pidana di bidang teknologi informasi atau Tindak Pidana
lainnya yang akibatnya dialami atau terjadi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di
Kapal Indonesia dan di Pesawat Udara Indonesia.
- Pada Penjelasan Pasal 4 Huruf a dinyatakan bahwa: “Yang dimaksud
dengan ‘wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia’ adalah satu
kesatuan wilayah kedaulatan di daratan, perairan pedalaman, perairan
kepulauan beserta dasar laut dan tanah di bawahnya, dan ruang udara di
atasnya serta seluruh wilayah yang batas dan hak negara di laut teritorial,
zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinen yang diatur
dalam Undang-Undang. “
Penjelasan Pasal 4 Huruf a KUHP Baru ini dengan demikian tidak membatasi
berlakunya hukum pidana hanya pada kepada lautan yang masuk wilayah negara atau
teritorial sea saja (yakni 12 mil laut dari garis pantai), melainkan yang dimaksud
adalah wilayah yurisdiksi (wilayah di luar Wilayah Negara yang terdiri atas Zona
Ekonomi Eksklusif (ZEE) 200 mil laut, Landas Kontinen, dan Zona Tambahan 24 mil
laut). Penjelasan ini tidak membatasi hanya tindak pidana perikanan saja yang dicakup
pada wilayah yurisdiksi (ZEE, Landas Kontinen, dan zona tambahan). Dengan
demikian, termasuk juga tindak pidana lainnya.
Berlakunya Hukum Pidana menurut Tempat
Untuk mengetahui hukum pidana negara mana yang digunakan: hukum pidana
Indonesia atau hukum pidana negara lain.
- Mungkinkah ada kejadian dimana hukum pidana Indonesia berlaku, tapi hukum
negara lainnya juga dapat digunakan? bagaimana jika kejadian di luar Indonesia,
tapi hukum Indonesia dapat diberlakukan, apa yang harus dilakukan?
- Jika saja semua pertanyaan di atas tidak ada jawabannya dan tidak ada aturannya,
tentu menimbulkan persoalan serius dalam hal penegakan hukumnya.
- Inilah yang dijawab oleh aturan tentang ruang lingkup berlakunya hukum pidana
menurut tempat dan subyek tindak pidana yang diatur pada pasal-pasal 2,3,4,5,6,7,8
dan 9 KUHP.
- Delapan pasal tersebut memberi landasan hukum berlakunya hukum pidana
Indonesia dalam berbagai kejadian
Asas-Asas Berlakunya Hukum Pidana menurut Tempat
Indonesia menganut asas2 di bawah dibuktikan dgn dasar hukum yg terdapat dalam
KUHP:
Asas Teritorialitas/ wilayah :
Ps 2 --> Ps 3 KUHP --> Ps 95 KUHP , UU No 4/1976
Asas Nasionalitas Pasif/ perlindungan : Ps 4 :1,2, dan 3 --> Ps 8 KUHP , UU No.
4/1976 , Ps 3 UU No. 7/ drt/ 1955 Lihat Ps 16 UU 31/1999
Asas Personalitas/ Nasionalitas Aktif :
Ps 5 KUHP --> Ps 7 KUHP --> Ps 92 KUHP
Asas Universalitas :
Ps 4 :2 , Ps 4 sub 4 , Ps 1 UU 4/ 1976
“melakukan kejahatan ttg mata uang, uang kertas negara atau uang kertas Bank”
* Pasal 7 dan 8 KUHP termasuk baik dalam asas Nasionalitas Aktif maupun Pasif.
Asas-Asas Berlakunya Hukum Pidana
menurut Tempat
1. Asas teritorial/wilayah
berlakunya hukum pidana sesuai tempat terjadinya tindak pidana
Pasal 5
Batas Wilayah Negara di darat, perairan, dasar laut dan tanah di bawahnya serta ruang udara di
atasnya ditetapkan atas dasar perjanjian bilateral dan/atau trilateral mengenai batas darat,
batas laut, dan batas udara serta berdasarkan peraturan perundang-undangan dan hukum
internasional.
Pasal 6
(1) Batas Wilayah Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, meliputi:
a. di darat berbatas dengan Wilayah Negara: Malaysia, Papua Nugini, dan Timor Leste;
b. di laut berbatas dengan Wilayah Negara: Malaysia, Papua Nugini, Singapura, dan Timor Leste;
dan
c. di udara mengikuti batas kedaulatan negara di darat dan di laut, dan batasnya dengan angkasa
luar ditetapkan berdasarkan perkembangan hukum internasional.
(2) Batas Wilayah Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), termasuk titik-titik koordinatnya
ditetapkan berdasarkan perjanjian bilateral dan/atau trilateral.
(3) Dalam hal Wilayah Negara tidak berbatasan dengan negara lain, Indonesia menetapkan Batas
Wilayah Negara secara unilateral berdasarkan peraturan perundang-undangan dan hukum
internasional.
Wilayah Indonesia dan Batas dengan Negara Lain
Asas-Asas Berlakunya Hukum Pidana
2. Asas Nasionalitas Aktif/Personalitas
Pasal 5 – 6 (perluasan Ps. 5) & 7 KUHP
- KUHP Indonesia
- TP terjadi di luar Indonesia
- Pelaku WNI (perlindungan terhadap WNI)
- Utk jenis delik kejahatan ( ..?..)
* Pasal 8 juga termasuk perluasan dari Nasionalitas Aktif (menurut van Bemmelen)
Ps 4 :2 , Ps 4 sub 4 , Ps 1 UU 4/ 1976
“melakukan kejahatan ttg mata uang, uang kertas negara atau uang kertas Bank”
Untuk melindungi kepentingan dunia
MEMBANGUN
PARADIGMA BARU
PIDANA &
PEMIDANAAN
MELAUI KUHP BARU
Prof. Dr. Harkristuti Harkrisnowo, S.H., MA.Ph.D.
Landasan Pikir KUHP mengenai Pidana
& Pemidanaan
Bila ada
pertentangan
antara Hukum &
Keadilan?
HUKUM KEADILAN
KEADILAN yang
diutamakan
Faktor-Faktor yang Harus
dipertimbangkan Hakim Pasal 54
a. bentuk kesalahan pelaku Tindak Pidana;
b. motif dan tujuan melakukan Tindak Pidana;
c. sikap batin pelaku Tindak Pidana;
d. Tindak Pidana dilakukan dengan direncanakan atau tidak;
e. cara melakukan Tindak Pidana;
f. sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan Tindak Pidana;
g. riwayat hidup, keadaan sosial, dan keadaan ekonomi pelaku Tindak Pidana;
h. pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku Tindak Pidana;
i. pengaruh Tindak Pidana terhadap Korban atau keluarga Korban;
j. pemaafan dari Korban dan/atau keluarganya; dan/atau
k. nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Pemanfaatan Peradilan / Judicial
Pardon Pasal 54 ayat (2)
q Hakim dapat memutus perkara tanpa menjatuhkan pidana atau tanpa
mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan:
§ Ringannya perbuatan
§ Keadaan pribadi pelaku
§ Keadaan pada waktu dilakukan Tindak Pidana
§ Keadaan yang terjadi kemudian
§ Segi keadilan dan kemanusiaan
q Latar belakang:
q Berangkat dari pelbagai kasus tindak pidana yang ringan di masa lalu, akan
tetapi tetap dijatuhi pidana
q Memberi ruang bagi Hakim untuk memaafkan terdakwa untuk kasus-kasus
ringan
Kategori Pidana & Tindakan
Jenis Pidana untuk Dewasa
Pedoman Penerapan Pidana Penjara
dengan Perumusan Tunggal dan
Perumusan Alternatif
Pasal 57
Dalam hal Tindak Pidana diancam dengan pidana pokok secara alternatif,
penjatuhan pidana pokok yang lebih ringan harus lebih diutamakan,
jika hal itu dipertimbangkan telah sesuai dan dapat menunjang
tercapainya tujuan pemidanaan.
Pidana Penjara sedapat mungkin Tidak
dijatuhkan dalam hal....
Lanjutan...
i. Korban tindak pidana mendorong atau menggerakkan terjadinya Tindak
Pidana;
j. tindak pidana merupakan akibat suatu keadaan yang tak mungkin terulang
lagi;
k. kepribadian dan perilaku terdakwa meyakinkan bahwa ia tidak akan melakukan
Tindak Pidana yang lain;
l. pidana penjara akan menimbulkan penderitaan yang besar bagi terdakwa atau
keluarganya;
m. pembinaan di luar lembaga pemasyarakatan diperkirakan akan berhasil untuk
diri terdakwa;
n. penjatuhan pidana yang lebih ringan tidak akan mengurangi sifat berat Tindak
Pidana yang dilakukan terdakwa;
o. Tindak Pidana terjadi di kalangan keluarga; dan/atau
p. Tindak Pidana terjadi karena kealpaan.
Pengecualian...
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi:
a. Tindak Pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
b. Tindak Pidana yang diancam dengan pidana minimum khusus;
c. Tindak Pidana tertentu yang sangat membahayakan atau merugikan masyarakat; atau
d. Tindak Pidana yang merugikan keuangan atau perekonomian negara.
Pasal 71: Ketentuan tentang Pidana Penjara
(1) Jika seseorang melakukan Tindak Pidana yang hanya diancam dengan pidana penjara di bawah 5
(lima) tahun, sedangkan hakim berpendapat tidak perlu menjatuhkan pidana penjara setelah
mempertimbangkan tujuan pemidanaan dan pedoman pemidanaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 51 sampai dengan Pasal 54, orang tersebut dapat dijatuhi pidana denda.
(2) Pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dijatuhkan jika:
a. tanpa Korban;
b. Korban tidak mempermasalahkan; atau
c. bukan pengulangan Tindak Pidana.
(3) Pidana denda yang dapat dijatuhkan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah pidana denda paling banyak kategori V dan pidana denda paling sedikit kategori III;
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c tidak berlaku bagi orang yang pernah
dijatuhi pidana penjara untuk Tindak Pidana yang dilakukan sebelum berumur 18 (delapan belas)
tahun.
Pidana Tutupan Pasal 74
(1) Orang yang melakukan Tindak Pidana yang diancam dengan pidana
penjara karena keadaan pribadi, perbuatannya dapat dijatuhi pidana
tutupan;
(2) Pidana tutupan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dijatuhkan
kepada terdakwa yang melakukan Tindak Pidana karena terdorong
oleh maksud yang patut dihormati;
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku, jika cara
melakukan atau akibat dari Tindak Pidana tersebut sedemikian rupa
sehingga terdakwa lebih tepat untuk dijatuhi pidana penjara.
Strategi Baru: Alternatif Pidana Penjara
Pidana Pengawasan Pasal 75
Terdakwa yang melakukan Tindak Pidana yang diancam dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dapat dijatuhi pidana pengawasan dengan tetap
memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 sampai dengan
Pasal 54 dan Pasal 70 (Ps 75)
Pasal 76:
(1) Pidana pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 dijatuhkan paling
lama sama dengan pidana penjara yang diancamkan yang tidak lebih dari 3 tahun.
(2) Dalam putusan pidana pengawasan ditetapkan syarat umum, berupa terpidana
tidak akan melakukan Tindak Pidana lagi.
Pidana Pengawasan Pasal 76
(3) Selain syarat umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dalam putusan juga dapat
ditetapkan syarat khusus, berupa:
a. terpidana dalam waktu tertentu yang lebih pendek dari masa pidana
pengawasan harus mengganti seluruh atau sebagian kerugian yang timbul
akibat Tindak Pidana yang dilakukan; dan/atau
b. terpidana harus melakukan atau tidak melakukan sesuatu tanpa mengurangi
kemerdekaan beragama, kemerdekaan menganut kepercayaan, dan/atau
kemerdekaan berpolitik.
(4) Dalam hal terpidana melanggar syarat umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
terpidana wajib menjalani pidana penjara yang lamanya tidak lebih dari ancaman
pidana penjara bagi Tindak Pidana itu.
(5) Dalam hal terpidana melanggar syarat khusus tanpa alasan yang sah, jaksa
berdasarkan pertimbangan pembimbing kemasyarakatan mengusulkan kepada
hakim agar terpidana menjalani pidana penjara atau memperpanjang masa
pengawasan yang ditentukan oleh hakim yang lamanya tidak lebih dari pidana
pengawasan yang dijatuhkan.
(6) Jaksa dapat mengusulkan pengurangan masa pengawasan kepada hakim jika selama
dalam pengawasan terpidana menunjukkan kelakuan yang baik, berdasarkan
pertimbangan pembimbing kemasyarakatan.
(7) Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara dan batas pengurangan dan perpanjangan
masa pengawasan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pidana Pengawasan Pasal 77
(1) Jika terpidana selama menjalani pidana pengawasan melakukan Tindak Pidana dan
dijatuhi pidana yang bukan pidana mati atau bukan pidana penjara, pidana
pengawasan tetap dilaksanakan.
(2) Jika terpidana dijatuhi pidana penjara, pidana pengawasan ditunda dan
dilaksanakan kembali setelah terpidana selesai menjalani pidana penjara.
Pidana Kerja Sosial Pasal 85
(1) Pidana kerja sosial dapat dijatuhkan kepada terdakwa yang melakukan Tindak
Pidana yang diancam dengan pidana penjara kurang dari 5 (lima) tahun dan hakim
menjatuhkan pidana penjara paling lama 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling
banyak kategori II.
(2) Dalam menjatuhkan pidana kerja sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim
wajib mempertimbangkan:
a. pengakuan terdakwa terhadap Tindak Pidana yang dilakukan;
b. kemampuan kerja terdakwa;
c. persetujuan terdakwa sesudah dijelaskan mengenai tujuan dan segala hal yang
berhubungan dengan pidana kerja sosial;
d. riwayat sosial terdakwa;
Lanjutan...
e. pelindungan keselamatan kerja terdakwa;
f. agama, kepercayaan, dan keyakinan politik terdakwa; dan
g. kemampuan terdakwa membayar pidana denda.
(4) Pidana kerja sosial dijatuhkan paling singkat 8 (delapan) jam dan paling lama 240 (dua
ratus empat puluh) jam.
(5) Pidana kerja sosial dilaksanakan paling lama 8 (delapan) jam dalam 1 (satu) Hari dan
dapat diangsur dalam waktu paling lama 6 (enam) Bulan dengan memperhatikan
kegiatan terpidana dalam menjalankan mata pencahariannya dan/atau kegiatan lain
yang bermanfaat.
(6) Pelaksanaan pidana kerja sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dimuat dalam
putusan pengadilan.
Lanjutan...
(7) Putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) juga memuat perintah jika
terpidana tanpa alasan yang sah tidak melaksanakan seluruh atau sebagian pidana
kerja sosial, terpidana wajib:
a. mengulangi seluruh atau sebagian pidana kerja sosial tersebut;
b. menjalani seluruh atau sebagian pidana penjara yang diganti dengan pidana kerja
sosial tersebut; atau
c. membayar seluruh atau sebagian pidana denda yang diganti dengan pidana kerja
sosial atau menjalani pidana penjara sebagai pengganti pidana denda yang tidak
dibayar.
(8) Pengawasan terhadap pelaksanaan pidana kerja sosial dilakukan oleh jaksa dan
pembimbingan dilakukan oleh pembimbing kemasyarakatan.
Lanjutan...
(9) Putusan pengadilan mengenai pidana kerja sosial juga harus memuat:
a. lama pidana penjara atau besarnya denda yang sesungguhnya dijatuhkan oleh
hakim;
b. lama pidana kerja sosial harus dijalani, dengan mencantumkan jumlah jam per
Hari dan jangka waktu penyelesaian pidana kerja sosial; dan
c. sanksi jika terpidana tidak menjalani pidana kerja sosial yang dijatuhkan.
Denda: 8 Kategori Besaran Pasal 79
(1) Pidana denda untuk Korporasi dijatuhi paling sedikit kategori IV, kecuali ditentukan
lain oleh Undang-Undang.
(1) Pidana denda wajib dibayar dalam jangka waktu tertentu yang dimuat dalam
putusan pengadilan.
(3) Jika pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dibayar dalam jangka
waktu yang telah ditentukan, kekayaan atau pendapatan Korporasi dapat disita dan
dilelang oleh jaksa untuk melunasi pidana denda yang tidak dibayar.
(4) Dalam hal kekayaan atau pendapatan Korporasi tidak mencukupi untuk melunasi
pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Korporasi dikenai pidana
pengganti berupa pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha Korporasi.
Penyitaan dan Pelelangan untuk Denda
Pasal 82
(1) Jika penyitaan dan pelelangan kekayaan atau pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
81 ayat (3) tidak cukup atau tidak memungkinkan untuk dilaksanakan, pidana denda yang tidak
dibayar tersebut diganti dengan pidana penjara, pidana pengawasan, atau pidana kerja sosial
dengan ketentuan pidana denda tersebut tidak melebihi pidana denda kategori II.
(2) Lama pidana pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. untuk pidana penjara pengganti, paling singkat 1 (satu) Bulan dan paling lama 1 tahun yang
dapat diperberat paling lama 1 tahun 4 Bulan jika ada perbarengan;
b. untuk pidana pengawasan pengganti, paling singkat 1 (satu) Bulan dan paling lama 1 (satu)
tahun, berlaku syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) dan ayat (3);
atau
c. untuk pidana kerja sosial pengganti paling singkat 8 (delapan) jam dan paling lama 240 (dua
ratus empat puluh) jam.
(3) Jika pada saat menjalani pidana pengganti sebagian pidana denda dibayar, lama pidana pengganti
dikurangi menurut ukuran yang sepadan.
(4) Perhitungan lama pidana pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (3) didasarkan pada ukuran untuk
setiap pidana denda Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) atau kurang yang disepadankan dengan:
a. 1 (satu) jam pidana kerja sosial pengganti; atau
b. 1 (satu) Hari pidana pengawasan atau pidana penjara pengganti.
Jika Penyitaan dan Pelelangan Tidak Dapat dilakukan
Pasal 83
(1) Jika penyitaan dan pelelangan kekayaan atau pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81
ayat (3) tidak dapat dilakukan, pidana denda di atas kategori II yang tidak dibayar diganti dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama sebagaimana diancamkan untuk
Tindak Pidana yang bersangkutan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (3) berlaku juga untuk ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang mengenai pidana penjara pengganti.
PIDANA TAMBAHAN
Pidana Tambahan Pasal 66 ayat (1)
Pidana Tambahan Pasal 66 ayat (2)
(2) Pidana tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenakan dalam hal
penjatuhan pidana pokok saja tidak cukup untuk mencapai tujuan pemidanaan.
(3) Pidana tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dijatuhkan 1 (satu)
jenis atau lebih.
(4) Pidana tambahan untuk percobaan dan pembantuan sama dengan pidana
tambahan untuk Tindak Pidananya.
(5) Pidana tambahan bagi anggota Tentara Nasional Indonesia yang melakukan
Tindak Pidana dalam perkara koneksitas dikenakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan bagi Tentara Nasional Indonesia.
Pencabutan Hak Tertentu…
c. hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
d. hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu, atau pengampu pengawas atas orang
yang bukan Anaknya sendiri;
hanya jika Tindak Pidana diancam dengan pidana penjara 5 tahun/lebih berupa:
Tindak Pidana jabatan atau yang melanggar kewajiban khusus suatu jabatan;
Tindak Pidana yang terkait dengan profesinya; atau
Tindak Pidana dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang
diberikan kepadanya karena jabatan atau profesinya.
Tindakan Bagi Orang Dewasa
Pasal 100
(1) Hakim menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun dengan
memperhatikan:
a. rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri; atau
b. peran terdakwa dalam Tindak Pidana.
(2) Pidana mati dengan masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dicantumkan
dalam putusan pengadilan.
(3) Tenggang waktu masa percobaan 10 (sepuluh) tahun dimulai 1 (satu) Hari setelah putusan
pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Lanjutan…
(4) Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan sikap
dan perbuatan yang terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup
dengan Keputusan Presiden setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung.
(5) Pidana penjara seumur hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dihitung sejak Keputusan
Presiden ditetapkan.
(6) Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menunjukkan
sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki, pidana mati dapat
dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.
Pasal 101
- Jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan selama 10
(sepuluh) tahun sejak grasi ditolak bukan karena terpidana melarikan diri, pidana mati dapat
diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden.
Jenis Pidana bagi Anak
PIDANA TINDAKAN
a. pengambilalihan Korporasi;
Pidana Pokok (Denda) b. penempatan di bawah
Pidana Tambahan pengawasan; dan/atau
c. penempatan Korporasi di
bawah pengampuan.
Pidana Tambahan bagi Korporasi
a. pembayaran ganti rugi;
b. perbaikan akibat Tindak Pidana;
c. pelaksanaan kewajiban yang telah dilalaikan;
d. pemenuhan kewajiban adat.
e. pembiayaan pelatihan kerja;
f. perampasan Barang atau keuntungan yang diperoleh dari Tindak Pidana;
g. pengumuman putusan pengadilan;
h. pencabutan izin tertentu;
i. pelarangan permanen melakukan perbuatan tertentu;
j. penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan Korporasi;
k. pembekuan seluruh atau sebagian kegiatan usaha Korporasi; dan
l. pembubaran Korporasi.
Pemidanaan terhadap Korporasi Wajib
mempertimbangkan Pasal 56
a. tingkat kerugian atau dampak yang ditimbulkan;
b. tingkat keterlibatan pengurus yang mempunyai kedudukan fungsional
Korporasi dan/atau peran pemberi perintah, pemegang kendali, dan/atau
pemilik manfaat Korporasi;
c. lamanya Tindak Pidana yang telah dilakukan;
d. frekuensi Tindak Pidana oleh Korporasi;
e. bentuk kesalahan Tindak Pidana;
f. keterlibatan Pejabat;
g. nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat;
h. rekam jejak Korporasi dalam melakukan usaha atau kegiatan;
i. pengaruh pemidanaan terhadap Korporasi; dan/atau
j. kerja sama Korporasi dalam penanganan Tindak Pidana
Epilog…
- Perubahan paradigma pidana & pemidanaan dalam KUHP memperhatikan
perkembangan internasional dan kearifan lokal
- Konsep-konsep yang diajukan (e.g. judicial pardon, pidana kerja sosial, tindakan,
pidana mati dengan percobaan) merefleksikan kepedulian para perancang atas
kondisi aktual
- Diperlukan adanya pelatihan khusus bagi APH mengenai perubahan paradigma ini
dan koordinasi antar lembaga
- Pemerintah harus merekrut pegawai baru utk menjadi Pembimbing Kemasyarakatan
- Diperlukan adanya kolaborasi dengan akademisi dan pegiat sosial baik untuk
melakukan pelatihan maupun penelitian
PERMUFAKATAN JAHAT,
PERSIAPAN, PERCOBAAN,
PENYERTAAN, PERBARENGAN
TINDAK PIDANA
Dr. Surastini Fitriasih, S.H., M.H.
Permufakatan Jahat
⚫ Ancaman pidana: paling banyak 1/2 (satu per dua) dari maksimum
ancaman pidana pokok untukTindak Pidana yang bersangkutan.
⚫ JikaTindak Pidana yang diancam dengan pidana matiatau pidana penjara seumur
hidup:dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.
⚫ Pidana tambahan untuk persiapan melakukanTindak Pidana sama dengan pidana
tambahan untukTindak Pidana yang bersangkutan.
Percobaan Tindak Pidana
⚫ Ancaman Pidana: paling banyak 2/3 (dua per tiga) dari maksimum ancaman pidana
pokok untukTindak Pidana yang bersangkutan.
⚫ JikaTindak Pidana diancam dengan pidana mati atau pidana penjaraseumur hidup:
dipidana dengan pidana penjarapaling lama 15 (limabelas) tahun.
⚫ Pidana tambahan:sama dengan pidana tambahan untukTindak Pidana yang
bersangkutan.
Percobaan melakukan Tindak Pidana
TIDAK DIPIDANA jika:
Pelaku setelah melakukan permulaan pelaksanaan :
a. tidak menyelesaikan perbuatannya karena kehendaknya sendiri secara sukarela; atau
b. dengan kehendaknya sendiri mencegah tercapainya tujuan atau akibat perbuatannya.
Pasal20
Setiap OrangdipidanasebagaipelakuTindak Pidanajika:
⚫ melakukan sendiriTindak Pidana;
⚫ melakukanTindak Pidana dengan perantaraan alatatau menyuruh orang lainyang tidak dapat
dipertanggungjawabkan;
⚫ turut sertamelakukanTindak Pidana;atau
⚫ menggerakkan orang lainsupaya melakukanTindak Pidana dengan cara memberi atau menjanjikan sesuatu,
menyalahgunakan kekuasaan atau martabat,melakukanKekerasan, menggunakanAncaman Kekerasan, melakukan
penyesatan,ataudengan memberi kesempatan,sarana,atau keterangan.
Pasal21
(1) Setiap Orang dipidana sebagai pembantu Tindak Pidana jika dengan sengaja:
a.memberi kesempatan, sarana, atau keterangan untuk melakukan Tindak Pidana; atau
b.memberi bantuan pada waktu Tindak Pidana dilakukan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk pembantuan melakukan Tindak
Pidana yang hanya diancam dengan pidana denda paling banyak kategori II.
(3) Pidana untuk pembantuan melakukan Tindak Pidana paling banyak 2/3 (dua per tiga) dari
maksimum ancarnan pidana pokok untuk Tindak Pidana yang bersangkutan.
(4) Pembantuan melakukan Tindak Pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
(5) Pidana tambahan untuk pembantuan melakukan Tindak Pidana sama dengan pidana tambahan
untuk Tindak Pidana yang bersangkutan.
Pasal22
Keadaan pribadi pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 atau pembantu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21dapat menghapus,mengurangi,ataumemperberat
pidananya
Pasal248
⚫ Ketentuan dalam pasal ini sama dengan Pasal 163 bis KUHP Lama yang mengatur tentang
penggerakan yang gagal dan penggerakan tanpaakibat
⚫ Ancaman pidana bagi penggerakan yang gagal atau penggerakan tanpaakibat:pidana penjara paling
lama 6 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV,tetapi tidak boleh lebih berat daripada
pidana yang dijatuhkan terhadap percobaan melakukanTindak Pidana tersebut,atau jika
percobaannya tidak dipidana maka tidak dapat dijatuhi pidana yang lebih berat dari yang ditentukan
untukTindak Pidana tersebut.
Catatan:
⚫Tidak lagi dibedakan antara “pelaku” (pelaku dalam arti sempit) dan
“pembuat” (pelaku dalam arti luas: yang terdiri dari “pelaku” dan yang
dianggap sebagai pelaku)
⚫Bentuk penyertaan tetap ada 4 (empat): menyuruh melakukan, turut
melakukan, menggerakkan untuk melakukan dan membantu melakukan
⚫Pasal 20 memuat hal baru:
- melakukan TP dengan perantaraan alat (by use of inanimate objects)
- menegaskan bentuk penyertaan menyuruh melakukan (doen plegen) dan
dalam penjelasan dipertegas tentang pertanggungjawaban bagi yang disuruh
melakukan
• dalam penjelasan diberikan pengertian serta persyaratan bentuk penyertaan
turut melakukan,yang selama ini berasal dari doktri
• dalam penjelasan terdapat penegasan tentang beberapa persyaratan yang
selama ini diperoleh melalui penafsiran ataupun menurut pendapat doktrin
• menggunakan terminologi “menggerakkan” untuk uitlokking dan dalam
penjelasan disebutkan bahwa membujuk, menganjurkan, memancing dan
memikat termasuk dalam pengertian menggerakkan.
⚫ Pasal 21 ayat (3) merupakan pengganti dari ketentuan Pasal 57 KUHP
Lama“membantu melakukan pelanggaran tidak dipidana”. Mengingat tidak
dikenal lagi tindak pidana pelanggaran, maka yang digunakan sebagai batasan
adalah ancaman pidana, yaitu maksimal denda kategori II (Rp.10 juta)
⚫ Tidak terdapat ketentuan tentangbatasan pertanggungjawaban penggerak (seperti dalam
Pasal 55 ayat (2) KUHP Lama) dan batasan pertanggungjawaban pembantu (Pasal 56 ayat
(4))
⚫ Pasal 248 berbeda dengan Pasal 163 bis KUHP Lama dalam hal batasan penggunaan
ketentuan bagi penggerakan yang gagaldan penggerakan tanpaakibat.
⚫ Pasal 163 bis KUHP Lama hanya berlaku untuk mencoba menggerakan seseorang
untuk melakukan Kejahatan.Pasal 248 tidak memberikan batasan tersebut,
mengingat sudah tidak dikenal lagi pembedaan antara Kejahatan dan Pelanggaran.
Namun juga tidak terdapat batasan berdasarkan
ancaman pidana (misalnya maksimal diancam pidana denda Kategori II).
⚫ Jadi dapat disimpulkan bahwa Pasal 248 berlaku untuk semua tindak pidana.Hal ini
diperkuat dengan ketentuan dalam Pasal 248 yang menyatakan jika percobaanTP
tersebut (yang diminta untuk dilakukan) tidak dipidana,maka tidak dapat dijatuhi
pidana yang lebih berat dari yang ditentukan terhadapTP tsb.
⚫ Pasal 22 merupakan ketentuan dalam penyertaan yang berimplikasi pada
alasan penghapus, peringan dan pemberat pidana. Ketentuan ini serupa
dengan Pasal 58 KUHP Lama
Perbarengan
⚫ Diatur dalam Bab tentang Pidana dan Pemidanaan,Pasal 125 s.d
Pasal 131
⚫ Jenis perbarengan dan stelsel pemidanaan yang dianut pada prinsipnya sama
dengan ketentuan perbarengan dalam KUHP Lama, namun ada beberapa
hal baru
⚫ Sama halnya dengan ketentuan dalam KUHP Lama,terdapat larangan untuk
menjatuhkan pidana pokok lainnya,dalam hal hakim menjatuhkan pidana mati
atau pidana penjaraseumur hidup
Jenis Perbarengan dan Stelsel
Jenis Perbarengan (Stelsel) Pemidanaan
Ø Eendaadse Samenloop (Concursus ü 1 pidana saja yang dijatuhkan,
Idealis – Perbarengan Peraturan) prinsip Absorpsi
Ø Pengecualian: dalam hal perbuatan
ü Lex specialis derogat legi generali,
masuk dalam aturan umum dan
khusus kecuali UU menentukan lain
ü 1 pidana saja yang dijatuhkan;
Ø Voortgezette Handeling (Perbuatan
stelsel Absorpsi
Berlanjut)
Ø Meerdaadse Samenloop (Concursus ü Kumulasi terbatas (diperlunak)
Realis-perbarengan perbuatan) ü Jpidana minimum khusus
Ketentuan tentang Delik Tertinggal
§ Prof Sudarto
Hukum pidana khusus (bijzonder strafrecht) : hukum pidana yang
ditetapkan untuk golongan orang khusus, atau yang berhubungan
dengan perbuatan khusus.
§ Kekhususan dari Hukum Pidana Khusus dapat dilihat dari :
o Aspek orang (subyek) atau pelaku;
o Aspek perbuatan.
§ Terdapat ketentuan-ketentuan yang menyimpang dari Aturan
Umum Hukum Pidana.
Soedarto:
Ada 3 Kelompok UU Pidana Khusus
Jadi adanya pengaturan dalam satu Bab dalam KUHP tentang Tindak
Pidana Khusus tidaklah mengurangi adanya kewenangan lembaga penegak
hukum yang sudah diatur dalam Undang-Undang tersendiri.
Pasal RUU Materi Asal
KUHP
Pasal 600 Tinda kpidana Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 22 UU No. 15/2003
s.d. Terorisme ttg Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2002 tentang
Pasal 602 Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Menjadi Undang-Undang sebagaimana telah
diubah dengan UU No. 5 Tahun 2018
Pasal 603 Tindak Pidana Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5, Pasal 11, dan Pasal 13
s.d. Korupsi UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah
Pasal 606 diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Pasal RUU Materi Asal
KUHP
Pasal 610 Tindak Pidana Pasal 111 s.d. Pasal 126 Undang-Undang
s.d. Narkotika Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
Pasal 615
Tindak Pidana Korupsi dalam KUHP
(Catatn: makna “diancamkan pula” adalah sersifat kumulatif. Pelaku diancam pidana
pokok dan tambahan berupa perampasan barang dan atau tagihan)
Merupakan syarat tambahan, untuk adanya Hapusnya kewenangan menuntut untuk
Ketentuan Ps. 133 ayat (1), untuk tindak pidana yang diancam sanksi pidana sebagaimana
tersebut Ps. 132 ayat (1) huruf d dan e
Ketentuan ini hanya berlaku untuk Tindak Pidana yang diancam dengan pidana
tambahan berupa perampasan Barang dan/atau tagihan.
Alasan Hapusnya Kewenangan Menuntut
Pasal 133 ayat (3) KUHP
Jika pidana diperberat karena pengulangan, pemberatan tersebut tetap berlaku
sekalipun kewenangan menuntut pidana terhadap Tindak Pidana yang dilakukan
lebih dahulu gugur berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132
ayat (1) huruf d dan huruf e.
Dalam hal Tindak Pidana dilakukan oleh Anak, tenggang waktu gugurnya kewenangan
untuk menuntut karena kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikurangi
menjadi 1/3 (satu per tiga).
Waktu kedaluwarsa dihitung mulai keesokan hari setelah perbuatan dilakukan, kecuali bagi:
• Tindak Pidana pemalsuan dan Tindak Pidana perusakan mata uang, kedaluwarsa dihitung mulai
keesokan harinya setelah Barang yang dipalsukan atau mata uang yang dirusak digunakan; atau
• Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 450, Pasal 451, dan Pasal 452 kedaluwarsa dihitung
mulai keesokan harinya setelah Korban Tindak Pidana dilepaskan atau mati sebagai akibat langsung
dari Tindak Pidana tersebut.
Harus dibaca/dimaknai: sejak pemberitahuan adanya penyidikan (Penjelasan Ps. 132 KUHP
(N))
Catatan: berkaitan dengan Prejudicieel Geschil (Perma No. 1 Th 1956 jo SEMA 4 Th 1980)
Put MA 628K/Pid/1984 nunggu putusan perdata put tetap ttg hak (status kepemilikan
tanah)
(1) Tenggang waktu kedaluwarsa pelaksanaan pidana dihitung keesokan harinya sejak putusan
pengadilan dapat dilaksanakan.
(2) Apabila terpidana melarikan diri sewaktu menjalani pidana maka tenggang waktu
kedaluwarsa dihitung keesokan harinya sejak tanggal terpidana tersebut melarikan diri.
(3) Apabila pembebasan bersyarat terhadap narapidana dicabut, tenggang waktu kedaluwarsa
dihitung keesokan harinya sejak tanggal pencabutan.
(4) Tenggang waktu kedaluwarsa pelaksanaan pidana ditunda selama:
- pelaksanaan pidana tersebut ditunda berdasarkan peraturan perundang-undangan; atau
- terpidana dirampas kemerdekaannya meskipun perampasan kemer- dekaan tersebut
berkaitan dengan putusan pengadilan untuk Tindak Pidana lain.