Hanjar ETIKA Dan Falsafah
Hanjar ETIKA Dan Falsafah
(RPS)
1
RENCANA PEMBELAJARAN SEMESTER
(RPS)
A. DESKRIPSI
Mata Kuliah Falsafah dan Etika Kepolisian ini bertujuan untuk memberikan
pemahaman perihal dua ruang lingkup. Lingkup pertama, adalah tentang Etika dan Etika
Profesi ; dan lingkup kedua adalah Falsafah Kepolisian serta simulasi sidang Kode Etik
Kepolisian.
Pada lingkup pertama diorientasikan pada pemahaman konsep dasar tentang etika
dan sejumlah teori didalamnya,serta peran dan fungsinya dalam konteks profesi.
Kemudian, yang kedua diorientasikan pada pemahaman falsafah kepolisian, etika profesi
Polri serta penerapan sidang kode etik profesi Polri .
2
Sikap 1. menginternalisasi nilai, norma, dan etika akademik (S-8)
2. menunjukkan sikap bertanggungjawab atas pekerjaan di bidang
keahliannya secara mandiri (S-9)
Keterampilan umum 3. mampu menerapkan pemikiran logis, kritis, sistematis, dan
inovatif dalam konteks pengembangan atau implementasi ilmu
pengetahuan dan teknologi yang memperhatikan dan
menerapkan nilai humaniora yang sesuai dengan bidang
keahliannya; (KU-1)
4. mampu menunjukkan kinerja mandiri, bermutu, dan terukur;
(KU-2)
Pengetahuan 5. menguasai konsep, teori, karakateristik normative etis
dan/atau fakta-fakta tentang etika profesi kepolisian; (P-1)
CPMK SUB-CPMK
1. Memahami konsep-konsep dasar etika, 1. Menjelaskan pengertian dasar etika,
teori etika, dan etika profesi.
dan asal usul genuinnya sebagai
filsafat moral.
2. Menjelaskan pengertian moral.
3. Menjelaskan aspek berpikir dalam
tradisi kajian etika, utamanya
menyangkut berfikir kritis.
4. Menjelaskan hubungan etika denan
budaya dan kehidupan social.
3
Polri
D. MATERI
● Simulasi/praktek sidang
F. TUGAS
Ada 5 (lima) tugas utama yang harus dikerjakan oleh mahasiswa selama perkuliahan (1
semester), yaitu:
1. Membuat makalah kelompok dan mempresentasikan dalam diskusi kelas,
2. Membuat resume bahan kuliah pada setiap pertemuan (tugas individu),
3. Membuat penjelasan istilah (semacam glossary) untuk berbagai istilah/konsep penting
yang ditemukan dalam perkuliahan.
4. Melakukan simulasi sidang etik
4
5. Membuat biografi singkat mahasiswa
G. PENILAIAN
1. Metode/teknik:
● Tes tulis (ujian tengah dan akhir semester),
● Penilaian produk (penilaian makalah, laporan hasil studi kasus, dan glossary),
● Penilaian sikap (penilaian sikap dan perilaku selama mengikuti kuliah, ketaatan
terhadap aturan).
2. Instrumen
● Naskah soal ujian tengah dan akhir semester,
● Skala penilaian/rubrik untuk menilai makalah, laporan hasil studi kasus, glossary
dan presentasi dalam diskusi,
● Pengamatan perilaku selama mengikuti perkuliahan dan sismulasi sidang
4. Kriteria kelulusan
TINGKAT HURUF ANGKA KETERANGAN
PENGUASAAN (%)
86 – 100 A 4 Lulus
81 - 85 A- 3,7 Lulus
76 - 80 B+ 3,3 Lulus
71 - 75 B 3,0 Lulus
66 - 70 B- 2,7 Lulus
61 - 65 C+ 2,3 Lulus
56 - 60 C 2,0 Lulus
51 - 55 C- 1,7 Belum Lulus
46 – 50 D 1 Belum Lulus
0 - 45 E 0 Belum Lulus
I. SUMBER (REFERENSI)
6
RINCIAN RENCANA KEGIATAN
pengertian moral.
7
● Menjelaskan aspek
● Menjelaskan
hubungan etika
denan budaya dan
kehidupan social.
3 Mewmahami Teori Teori etika : Presentasi dosen, 100 1: 7-18 Tugas:
● Memahami dan
Etika : Hedonism tanya jawab, menit 2: 10-19 membuat
Hedonisme dan menjelaskan teori eudomonia diskusi resume materi
eudomonia etika hedonism Power point, untuk minggu
● Memehami dan Laptop, depan:
menjelaskan teori Projektor LCD utilitarian dan
eudomonia deontologi
4 Memahami teori Teori etika Diskusi 100 1:21-57, Tugas:
● Memahami dan
etiuka (utilitarian utilitarian kelas/kelompok, menit 3:32-74, Tugas:
dan deontologi menjelaskan teori Teori etika Presentasi dosen membuat
utilitarian deontologi resume materi
● Power point,
● Memahami dan untuk minggu
menjelaskan teori ● Video/film depan
8
deontologi keputusan
● Laptop,
moral
projektor
LCD
5 Memahami 100 Tugas:
● Memahami moral
Keputusan moral menit Tugas:
● Memahami langkah- membuat
resume materi
lanngka pengambilan
untuk minggu
keputusan secara
depan tentang
moral
hubungan
● Memahami perbedaan etika dengan
keputusan moral profesi
dengan prosed kepolisian
keputusan yang lain.
6 Memahami Citra Polri 100 Tugas:
● Menjelaskan profesi
hububngan etika Kinerja kepolisian menit membuat
dan profesi kepolisian resume materi
kepolisian untuk minggu
● Menjelaskan peranan depan tentang
etika dalam tugas- landasan
pelaksanaan
tugas kepolisian
tugas Polri
9
tugas kepolisian depan tentang
situasi dan
● Menjelaskan landasan kondisi yang
kebijakan dalam dihadapi
kepolisian
pelaksanaan tugas
kepolisian
8 UTS
9 Memahami situasi 1.Menjelaskan gangguan 100 Tugas:
Dan Kondisi Yang menit membuat
Kamtibmas dan ● Gangguan
Dihadapi Polri resume materi
kecenderungan Kamtibmas untuk minggu
perkembangnnya. ● Demokrasi depan tentang
2. Menjelaskan yang penyimpangan
● Dilema Polri kode etik dan
dihadapi Polri dalam
dalam penegakan lauhirnya kode
menegakkan hokum hokum etik kepolisian
3. Menjelaskan Masalah-
masalah yang dihadapi
Polri di lapangan
10
dikandung dalam Kode Etik Polri 2. lahirnya kode tentang
Kode Etik Profesi 2. menjelaskan lahirnya etik profesi Tribrata dan
kode etik profesi polri Catur
Polri
polri Prasetya
11
mempraktekan simulasi menit kelompok
sidang kode etik Praktek
simulasi Kode
Etik
15 Mampu Melakukan Simulasi 100 Tugas
mempraktekan simulasi menit kelompok
sidang kode etik Praktek
simulasi Kode
Etik
16 UAS
………………………………..….. ……………………………………………
…………………………………….
12
ETIKA DAN FALSAFAH KEPOLISIAN
B. Pengantar
C. Standar Kompetensi
1. Memahami konsep-konsep dasar, eori etika, dan etika profesi.
2. Memahami Etika dan Falsafah Kepolisian.
3. Menerapkan Sidang Kode Etik Kepolisian
4. Menganalisis masalah-masalah dalam penerapan Sidang Kode Etik
Kepolisian
D. Kegiatan Pembelajaran
Kegiatan pembelajaran untuk mata kuliah Etika Profesi ini dilaksanakan
dalam 14 pertetmuan. Yaitu, meliputi kuliah konvensional tatap muka --
tentu saja ada tanya jawab di dalamnya dengan memperhitungkan keaktifan
mahasiswa sebagai komponen penilain -- dan simulasi Sidang Kode Etik
Kepolisian.
Konsep-konsep dan teori etika, serta etika profefsi diberikan pada Paruh
semester pertama sebelum UTS; Sementara pada paruh kedua, penguatan
pada Kode Etik Polri dan Simulasi Sidang Kode Etik. .
13 | Page
Bab 1
KONSEP DASAR TENTANG ETIKA
DAN ETIKA PROFESI
Kompetensi dasar:
Memahami konsep-konsep dasar tentang etika dan profesi
Tradisi kritis :
Pintu masuk dunia filsafat Moral
Beraneka ragam pintu masuk dunia filsafat. Orang bisa memulai dari
mempelajari sejarah (lahirnya) filsafat; bisa dari ketertarikan pada tema-tema
tertentu1 tanpa harus berangkat dari metode kronologis; bisa berangkat dari focus
(kekaguman) pada seorang filosof 2; bisa pula berangkat dari metode berfikir kritis
dan radikal. Tapi tentu saja orang tidak dapat masuk dunia filsafat melalui
1
. Misalnya, apa itu kematian, apa itu berfikir, apa itu hukum, apa itu kerja, apa itu salah dan benar
dan seterusnya.
2
. Mungkin saja (awal masuk filsafat) orang mengagumi Karl Marx karena (gagasan)
radikalismenya, atau Mahatma Gandhi karena perlawanannya yang unik atas kolonialisme, atau
Socrates karena semangat asketismenya, atau Sukarno karena gagasan nasionalismenhya dan
seterusnya. Sekedar catatan, kekaguman pada satu orang jika diseriusi akan merembet pada nama-
nama besar lain; kekaguman pada nasionalisme Sukarno akan menyeretnya pada gagasan – gagasan
awal integralistik dan “ide” ; ke Baruch Spinosa ke Hegel ke Plato. Untuk mengerti Plato, agar
lengkap perlu membaca Aristoteles dan seterusnya dan seterusnya. Anda mahasiswa jurusan non-
filsafat tak usah khawatir, cara yang panjang dan rumit ini bukan untuk Anda !
14 | Page
ketertarikannya pada wilayah klenik (jadi lucu ada mahasiswa yang
menhubungkan filsafat dengan dunia perdukunan!). Dunia klenik menutup orang
berfikir rasional. Wilayah klenik tidak perlu penjelasan dan argumentasi begini
atau begitu, orang dituntut kepatuhan total (sebetulnya untuk keperluan-keparluan
pragmatic jangka pendek)3.
Namun, bukan hanya wilayah klenik yang menutup argumentasi rasional,
wilayah ideology juga mendekati ketertutupan argumentasi alternative 4. Apakah
agama masuk pada wilayah ini ? Pada banyak sisi agama justru menuntun /
merangsang berfikir argumentative – menuntun rasionalitas. Namun ruang
dogmatis agamalah yang acapkali membingkai rasio yang dibutuhkan filsafat.
Hemat saya, sistem sosisialah yang membuat agama beku sehingga menyerupai
wilayah klenik. Sistem social, merujuk jalan fakir Auguste Comte hanyalah
merupakan suprastruktur dari infrastruktur tata fakir masyarakatnya. Misalnya,
masyarakat yang didominasi klenik cenderung menghasilkan system kekuasaan
feodal. Jadi demokrasi hanya bisa hadir dalam masyarakat yang menerima
pemikiran kritis, masyarakat yang memberi ruang argumentasi rasional.
Kita kembali ke pintu masuk filsafat. Metode berfikir kritis dan radikal
kalau dirunut dari deretan kategori pintu masuk filsafat di atas tergolong pada
tema tertentu dalam filsafat. Dalam hal ini, epistemology dan logika, misalnya.
Epistemology adalah cabang filsafat tentang tata cara memperoleh pengetahuan,
sementara logika adalah tata tertib agar cara memperoleh pengetahuan itu tidak
sesat. Logika tidak untuk menjaring / mendapat pengetahuan tetapi sebagai rambu
– rambu agar dalam proses menggapai pengatahuan tidak sesat.
Namun cara berfikir radikal dan kritis tidak melulu produk epistemology
dan logika, masih perlu bidang yang menyeret realitas pada “gagasan – gagasan
mendasar” yang menjadi tradisi berfikir filsafat. Misalnya bidang yang membahas
apa yang dimaksud “pengetahuan” dan apakah pengetahuan memang ada, apa
3
. Dalam hukum Tiga Tahap Auguste Comte, filosof social Prancis kelahiran 1798, wilayah
pemikiran klenik ini mendominasi tahap awal sejarah pemikiran masyarakat. Melalui temuan –
temuan spekulatif teknologi dengan sendirinya pemikiran klenik ini luntur, bahkan agama
(terutama yang disebut agama monoteis ) sangat efektif memberangus perklenikan.
4
. Dalam bahasa sarkastik pemikiran ideologik adalah sebuah bentuk pembodohan, karena
didalamnya orang dibimbing berfikir menggunakan kaca mata kuda; lurus, satu arah. Tentu
ideology tidak pernah salah, ia selalu benar, tidak ada cara mengkritikny kecuali dengan
menggunakan ideologi lain.
15 | Page
yang dimaksud “ada”, bidang filsafat ini adalah ontology. Bidang lain, Bidang
filsafat yang bertugas membongkar nilai tidak dapat dilepaskan dari proses
membangun tradisi berfikir kritis. Kehidupan social tidak lepas dari tindakan –
tindakan yang berkategori nilai, dengan nilai orang mengatakan si A berbuat baik,
si B berbuat tidak baik. Bandingkan misalnya seseorang yang hidup di hutan
sendirian, nilai tidak akan terkonstruksi selayaknya dalam kehidupan social.
Bidang filsafat yang mendiskusikan nilai adalah aksiologi. Pada bidang inilah
persoalan – persoalan etika dimulai.
5
. Gugatan paling serius dari kalangan Mazhab Frankfurt, Jerman dipenghujung tahun 1950-an. Di
Amerika agak belakangan berkembang kritik atas positivistic, kulminasinya pada Richard Rorty.
Selain mazhab Frankfurt yang menjadi sparing partner pemikiran positivistic adalah kalangan
agamawan. Kemajuan ilmu pengetahuan positive seringkali mendaku sebagai ditinggalkannya
agama.
16 | Page
begitu menaruh perhatian terhadap makna kebenaran yang ia legitimasikan dalam
ilmu pengetahuan.
Maka menjadi sangat penting pintu masuk dunia filsafat juga adalah
mendiskusikan apa yang dimaksud kebenaran. Atau, apa kritetria kebenaran?
Karena kebenaran gaya Comte yang membawa pencerahan (aufklarung) ternyata
toh hanya sebuah dimensi dari dimensi kebenaran yang lain. Seperti yang diajukan
kleim Mazhab Frankfurt, kebenaran gaya positivistic bersifat “mendominasi” dan
“memonopoli”. Disini kita memasuki wilayah epistemologi.
Etika;
Refleksi atas Ruang Moral
17 | Page
itu yang baik sama dengan bertanya apa itu (ber)moral. Literatur apa saja untuk
menarik batasan tentang etika, hemat saya, definisi yang akan didapatkan tidak
jauh dari upaya Christy Rakoczy dalam http://answers.yourdictionary.com yang
menempatkan pentingnya konsep moral sebagai konsep kunci dalam etika.
Katanya;
Taruhlah, kita tak perlu sulit memahami moral, cukuplah moral difahami
sebagai mana orang-orang umum memahaminya. Konsep ini sepenuhnya
menyangkut persoalan ‘yang baik’ dan ‘yang buruk’. Namun dalam belajar etika
persoalannya terletak pada dua skema yang mendasar. Pertama, apa itu baik,
mengapa ia disebut baik, dan dari mana yang baik ini berasal. Pertanyaan ini
tidak mengajak pada relatifisme; justru etika mengantarkan kita pada kekokohan
argumentasi tentang kebaikan yang tidak relative 7. Kedua, bagaimana standar
moral itu mungkin dalam masyarakat, atau apakah kode moral itu memang ada ?
Pertanyaan Ini menyangkut misteri moral.
Kita dilahirkan dan tumbuh dalam dunia social yang telah lebih dahulu eksis
belantara moral. Saya harus mempertimbangkan tindakan saya dalam dunia social
menurut (standar) moral yang ada pada lingkungan social dimana saya tinggal 8.
Dan, tentu saja standar moral, taruhlah yang sejauh saya fahami, standar moral
berbeda-beda. Ukuran moral saya berbeda dengan ukuran moral Anda 9. Anda
mungkin lebih sensitive dari saya. Jangan mengukur moral(itas) saya
menggunakan ukuran Anda karena ini menyangkut hati nurani yang persifat
personal. Namun proposisi ini (“hati nurani yang persifat personal”) tak perlu
ditarik deduksi secara kaku, toh pada dasarnya ada semacam hati nurani yang
7
. Lihat, misalhnya Shamali….
8
Tentu pengukuran semacam ini perlu bagi saya karena menyangkut “survival”. Khusus
catatan ini terbuka peluang untuk didiskusikan lebih jauh, misalnya, apakah moral relefan
dihubungkan dengan masalah survive?
9
. Untuk ini lihat K. Berten.
18 | Page
bersifat kolektif; ada moral yang bersifat kolektif. Atau dalam ungkapan lain,
moral yang pengukurannya melalui hati nurani ini bersifat personal.
Karena itu pengukuran tindakan manusia atas nilai moral berbeda beda
secara personal. Namun jangan buru-buru mendakwa tulisan ini sebagai
relatifisme10. Uniknya, perbedaan – perbedaan pengukuran moral ini tidak berbeda
terlalu jauh. Pengertiannya, dalam kelonggaran ini masih relative ada standar
kesamaan11. Mungkin, tepatnya, bebas tapi terbatas. Para etikawan, misalnya
menjuluki orang yang tindakannya tidak sensitive terhadap nilai nilai moral
sebagai moral insane, atau bebal moralitas. Standar ini berlaku dimana-mana
bahwa perilaku culas, khianat, pengecut, menipu adalah tidak direstui secara
moral. Standar ini menggumkan! Berlaku dimanapun masyarakat manusia berada.
Di kalangan para Mafioso pun sejauh mereka punya system karir maka ukuran
moral yang disebut di atas berlaku. Sejumlah elit mafia pastilah sudah teruji
berpegang teguh pada standar moral itu; mereka tidak khianat, culas, maupun tidak
pengecut. Bayangkan, nilai – nilai itu berlaku umum, sejak dari kalangan
(masyarakat) mavioso, komunitas Dewan di Senayan, arisan ibu-ibu PKK, hingga
perkumpulan Sepak Bola.
10
. Relatifisme memandang bahwa kebenaran bersifat relative. Sama dengan mengatakan
‘tidak ada kebenaran tunggal’. Proposisi ini tak bermaksud meng-address perdebatan
panjang antara kaum positivism dengan ost-positivism; positivism mengakui ada
kebenaran tunggal, sebaliknya post-positivism menolak kebanaran tunggal.
11
. Kesamaan standar (atau tepatnya similarity) ini hemat saya tak begitu sulit dari
pendektan sosiologis. Bahwa proses social memungkinkan ‘standarisasi’ perilaku anggota
masyarakat.
19 | Page
simpanan, kemudian orang bertanya, “apakah si Dewi itu teman istimewamu ?”
Atas pertanyaan (issue) ini saya sedang berhadapan dengan pilihan moral. Saya
berharap skandal saya tak ada yang mengetahui, maka saya (bisa) berbohong.
Rumus Ketiga, mensyaratakan bahwa kaidah kita harus otonom (yang mengatur
sendiri); setiap mahluk yang rasional menciptakan hukum universal. Maka dalam
kontek ini kaidah moral harus selaras dengan penentuan hukum kehendak
universal.
Pertanyaan mendasar bagian ini adalah “apakah etika / moral terikat pada
budaya?” Konon, di suatu wilayah di tanah air ada adat yang membenarkan
. saya menghadapi dilema moral ketika saya bisa memilih dua hal ini. Jadi, tindakan moral
12
20 | Page
‘penculikan’ anak gadis yang hendak diperistri. Di bagian budaya lain
menempatkan wanita dalam posisi yang “berat” pada relasi gender; katanya, sang
pria (suami) sabung ayam, si perempuan (istri) bekerja keras. Konon lagi, di
wilayah budaya tertentu (agaknya) welcome terhadap pernikahan siri. Dan tentu
masih ada deretan realitas moral lain dimana dipandang biasa atau wajar di suatu
budaya tertentu, tetapi dianggap wirang15 bagi komunitas lain dalam masyarakat
kita. Fenomena ekstrim diilustrasikan oleh (James: ) berikut. Sebuah komunitas
di Callatia (salah satu suku di India) memakan jenasah orang tuanya ketika
meninggal. Laki – laki orang Eskimo sering mempunyai istri lebih dari satu; jika
datang ke rumahnya, cara mereka menghormati tamu ini dengan memberikan istri
mereka.
21 | Page
Andaikan kita memahami bahwa hari ini sedang terjadi pertempuran
gagasan, jika (faham) relatifisme budaya ini menang atau mendominasi dalam
pertempuran ini maka etika-pun akan pingsan. Kita tak lagi perlu mempalajari
etika! Atau sebaliknya, argument relatifisme budaya ini justru merupakan
tantangan keyakinan mengenai adanya obyektivitas dan universalitas kebenaran
moral.
Mari kita amati argumentasi kaum reltifisme budaya ini. Argumentasi yang
dipakai berangkat dari fakta mengenai adanya perbedaan pandangan budaya.
Kemudian melalui perbedaan fakta budaya ini dipakai untuk menarik kesimpulan
atas status moralitas. Kita disini merasa miris mendengar ada komunitas budaya
tertentu memakan jenasah orang tuanya; tapi fenomena ini biasa bagi suku Callatia
di India. Kaum relatifisme budaya ini menyimpulkan, bahwa; makan jenasah itu
tidak benar dan (tapi) tidak salah secara obyektf. Jadi, menurut kaum relatifisme
budaya ini berpandangan bahwa ‘memakan jenasah’ hanyalah pandangan yang
berbeda dari suatu komunitas budaya tertentu dengan komunitas budaya lain.
Kesimpulan ini berangkat dari gagasan dasar nya; kebudayaan yang berbeda
mempunyai kode moral yang berbeda. Tidak ada kebenaran obyektif dalam
moralitas.
Kita periksa lagi argumen kaum relatifis ini. Presmis yang mereka ajukan adalah
fakta mengenai perbedaan apa yang dipercayai oleh budaya tertentu; tetapi
kesimpulan yang ditarik menyangkut ‘apa yang sesungguhnya’. Atau, kesimpulan
yang ditarik tidak berasal dari premis yang dihasilkannya.
Jadi, apakah jika fakta adanya perbedaan pendangan terus dapat disimpulkan
bahwa tidak ada kebenaran obyektif ? Kalau ada dua argument yang
bertentangan, bisa jadi salah satu yang benar, atau dua-duanya bisa salah. Tapi, tak
bisa dua-duanya benar. Di lain sisi, kebenaran obyektif moral tidak harus gugur
atau dikatakan ‘tidak ada kebenaran moral obyektif’ hanya karena disebabkan
komunitas tertentu tidak mengetahuinya.
22 | Page
Bab 2
TEORI ETIKA
Kompetensi dasar:
Memahami empat teori etika.
Menganalisa/perbandingan empat teori etika
16
. Melalui tata fakir ini pula dunia kerja polisi selayaknya tidak bertumpu pada model
herarkhi yang ketat karena pertanggungjawaban atas tindakan profesinya bersifat personal.
Argumentasi atas (pilihan) tindakan tidak bersifat kolektif . Kelancaran lalu lintas
argumentasi tak mungkin hadir dalam system haerarkhi.
23 | Page
Kembali ke awal persoalan, apakah yang dimaksud landasan yang
mempunyai kekuatan etis? Jawabannya adalah landasan yang mempunyai dasar
moral. Dalam kerangka inilah maka pembahasan “etika” dalam pembagian materi
filsatat dimasukkan sebagai “filsafat moral”. Untuk mengerti hal ini kita
diharuskan mengerti makna moral. Dibawah ini sedikit elaborasi upaya kita dalam
memahami makna moral. Ilustrasi berikut diambil dari Franz Magnis Suseno
(Etika Dasar: 1989), bahwa manusia dapat dinilai dari banyak segi.
Pak Iman seorang manusia yang baik, tapi tidak sebagai dosen yang baik.
Penilaian sebagai ‘seorang yang baik’ adalah penilaian terhadap manusia sebagai
“manusia”. Tolok ukur penilaian semacam ini (bahwa Pak Iman adalah seorang
yang baik) adalah pertimbangan kategori moral. Semantara untuk ‘dosen yang
baik’ bukanlah pada tolok ukur moral, tetapi skill (keahlian), sebutlah itu
profesionalisme. Jadi dengan mudah ditarik kesimpulan bahwa pertimbangan
moral artinya menimbang Pak Iman dalam ukuran ukuran manusia dan
kemanusiaan. Misalnya, manusia hendaknya jujur, adil, tidak pernah culas, tidak
korupsi, stabilitas emosi, tidak menyakiti orang tanpa sebab yang jelas. Nah,
menimbang Pak Iman sebagai dosen berada diluar ukuran – ukuran (moralitas) itu,
yaitu pada keluasan ilmu yang diajar, kemampuannya menyajikan materi
perkuliahan, kekayaan literatur, berwawasan luas dan semacamnya. Semua
mengacu pada keahlian yang menunjang pekrejaannya.
Secara katagorik dapat kita katakan bahwa Pak Iman adalah sebagai
manusia yang baik tetapi bukan dosen yang baik. Perihal Pak Iman sebagai dosen
harus jujur dan berkemampuan mengajar yang handal adalah mencampuradukkan
criteria moralitas dengan profesi dosen. Kita disyaratkan berfikir analitis dalam
menggunakan konsep dalam filsafat moral. Dari sini ruang diskusi kita mulai;
pada dasar – dasar penilaian moral itu.
1. Hedonisme
Sistem filsafat moral hedonisme ini memandang bahwa hal yang terbaik
bagi manusia adalah “hedone” atau kesenangan. Sesuatu tindakan atau apapun itu
mendapat predikat baik diukur dari seberapa jauh ia dapat memuaskan keinginan,
meningkatkan kuantitas kesenangan dan menikmatinya.
24 | Page
Terdapat dua aliran dalam filsafat moral hedonisme ini. Pertama,
dikembangkan oleh Aristipos, seorang murid Sokrates (433 – 355 SM). Aristipos
menekankan pada konstruksi kesenangan yang bersifat aktual. Bukan kesenangan
bersifat ‘opini’ yang meliputi kesenangan yang non-badani. Kesenangan non-
badani dipandang sebagai semata-mata bersifat ilusi. Kesenagan yang akan datang,
misalnya, adalah bukan kesenangan karena tidak aktual. Tidak bisa dikatakan
menunda kesenangan untuk kesenangan yang akan datang adalah sebuah
kesenangan. Artinya menunda kesengan itu sendiri bukanlah kesenangan. Akan
tetapi, bagi Aristipos, sebagaimana diajarkan gurunya Sokrates, untuk meraih
kesenangan kita harus mengendalikan kesenangan. Mengendalikan kesenangan
bukan meninggalkan kesenangan.
Kalau hedonisme ini kita letakkan sebagai teori untuk memahami realitas,
bagaimana kita memahami orang semacam Ibu Theresa yang bersusah payah dan
menghabiskan waktunya untuk orang orang kusta? Jawabnya, Ibu Theresa juga
sedang mengejar kesenangan. Nah, aliran hedonisme-nya Epikurus lah yang bisa
menjawab ini; yang dikejar Ibu Theresa adalah kesenangan jiwa, ataraxsia tadi.
Jadi bagi system filsafat moral hedonisme, seluruh aktifitas dan kegiatan menusia
diabdikan untuk (mencari) kesenangan.
25 | Page
system filsafat hedonisme ada problem etis jika memaksakan masuk pada wilayah
etika normative (yang baik secara moral). Cukuplah hedonisme ini berhenti pada
wilayah etika deskriptif (kenyataan bahwa tingkah laku manusia dibimbing oleh
kesenangan). Kritik Bertens ini bisa jadi ada kelemahan, karena pernyataan
‘kesenangan melukai orang lain’ sangat hipotetikal. Bagi Epikurian, konsep
ataraxia dengan sendirinya akan terganggu oleh tindakan orang yang melukai
orang lain.
2. Eudomonia
Pada system filsafat hedonisme di atas, kesenangan diletakkan sebagai
tujuan manusia. Setiap tindakan, dalam hedonisme, diorientasikan untuk
memenuhi kesenangan dan mengurangi penderitaan. Persoalannya manusia bukan
jenis mahluk yang hanya terdiri dari tubuh dan jiwa. Pemuasan tubuh (hedonisme
Aristipos) dan pemuasan tubuh dan jiwa (hedonisme Epikurus) bermuara pada
dimensi kesenangan, kesenangan ini akan berbeda dengan kebahagiaan
sebagaimana dirumuskan dalam system filsafat eudomonia ini17. Karena manusia
adalah mahluk komplek, multi dimensi. Ia dilahirkan dalam pusaran pluralitas
nilai; nilai fisikal, nilai pengetahuan, nilai kebenaran, nilai social, nilai moral, nilai
estetis. Manusia baru dapat menjadi manusia utuh kalau belantara nilai tersebut
dikenalinya. Dan, justru manusia, seperti dirumuskan Aristoteles, tidak akan
menemukan kebahagiaan jika hanya melulu mengorientasikan aktifitasnya kepada
kesenangan. Ironisnnya, system filsafat Aristoteles ini berpendapat bahwa
manusia juga tak akan menemukan kebahagiaan jika hanya mengorientasikan
aktifitasnya sekedar hanya untuk mancari kebahagiaan.
17
. Untuk membantu kritik terhadap hedonisme, menarik tulisan Jiddu Krisnamurti,
misalnya dalam The Impossible Question (1997), bahwa kesenangan adalah dimensi
pengalaman, semantara kebahagiaan tidak terikat pada pengalaman.
26 | Page
Jadi bagaimana kita selayaknya mengorientasikan aktifitas hidup kita?
Yaitu mengembangkan bakat – bakat atau potensi kita sedemikian rupa !
Kebahagiaan didekati dengan cara merealisasikan potensi diri. Franz Magnis
mengilustrasikan, seorang yang mau menjadi pengukir akan bahagia dengan
patung sederhana hasil karyanya sendiri daripada patung yang jauh lebih indah
yang diperoleh dari pembelian orang tuanya. Berkarya dan berkeringat dalam
mengembangkan potensinya secara otentik adalah hal yang membahagiakan.
Salah satu kewajiban dasar manusia adalah mengembangkan diri; “manusia adalah
tugas bagi dirinya sendiri”, tulis Franz Magnis (1987;119). Meminjam Descartes,
cogito ergo sum, aku berfikir maka aku ada. Keberadaan seseorang manusia
(eksistensi) sebagai manusia hanya melalui kontribusinya terhadap noktah sekecil
apapun di belantara pluralitas nilai yang telah disebut di atas.
19
. Profesi difahami sebagai peran social yang diperoleh melalui proses pendidikan secara
khusus. “Tuntutan atas profesionalisme” merujuk pada pemahaman memperlakukan /
memainkan peran profesinya pada nilai-nilai dasar yang dituntut dalam profesi tersebut.
27 | Page
bisa menyebut pencuri dan mafia sebagai profesi (meskipun misalnya ada
pendidikan khusus untuk itu – tapi ini mustahi khan? ) , karena dibatasi pada
lingkup definisi tanggungjawab obyektif itu.
Konsep “tujuan akhir” ini penting dalam sistem filsafat moral Aristoteles,
karena pada dasarnya setiap aktifitas manusia ditujukan pada sebuah tujuan.
Aristoteles melakukan “potong kompas” atas deretan tujuan yang bersifat
haerarkhi. Kekayaan, pangkat, status tentu bukanlah tujuan akhir. Pencarian
kekayaan adalah sebuah aktifitas untuk memperoleh tujuan yang lain, begitu pula
pangkat. Seseorang mencapai tujuan akhir dengan menjalankan fungsinya sebagai
manusia dengan baik. Komponen utama manusia adalah intelek dan moral. K.
Bertens menyebut, “tujuan pemain suling adalah main suling dengan baik”.
28 | Page
3. Utilitarian
Kita tak bisa memahami sistem filsafat utilitarian ini tanpa mengerti sistem
filsafat hedonisme. Utilis, bahasa Latin, artinya berguna. Menilai sesuatu itu baik
sejauh memberikan manfaat atau nilai guna. Persoalannya menjadi rumit
manakala, misalnya, jika saya melakukan sesuatu dengan maksud memberikan
manfaat bagi orang tapi ternyata justru sebaliknya. Apakah efek atau akibat dari
29 | Page
tindakan saya yang justru melenceng dari tujuan awal ini diluar tanggung jawab
saya ? karena toh saya bermaksud memberi manfaat.
Dari persoalan ini utilitarian membagi dua nilai guna. Pertama, berguna
bagi saya pribadi. Kedua, berguna bagi orang lain. Suatu tindakan belum tentu baik
secara moral kalau hanya diukur dari satu ukuran saja. Misalnya, (hanya) berguna
untuk saya, tidak bagi orang lain. Penilaian moral terletak pada kegunaannya bagi
orang lain. Namun, pencapaian tujuan dalam memberikan guna bagi orang lain
diluar tanggungjawab saya sebagai pelaku tindakan. Yang dinilai sacara moral
adalah maksud dari sebuah tindakan. Franz Magnis Suseno mengilustrasikan, kalau
saya pulang tengah malam sehingga secara tak sengaja membangunkan tetangga.
Kemudian, karena itu, tetangga saya sempat memadamkan api yang sedikit
menjalar hingga tak jadi kebakaran besar. Tetangga itu berterimakasih kepada
saya, padahal saya tak sengaja membangunkannya, maka dalam penilaian moral
saya tidak berjasa apa-apa.
30 | Page
tindakan msaih mengandung pertanyaan moral sejauh dapat
mempertanggungjawabkan akibat-akibatnya bagi semua fihak yang terkena
keputusan itu.
4. Deontologi
Terminologi deontologi berasal dari kata Yunani, deon, berarti ‘apa yang
harus dilakukan’ atau ‘kewajiban’. Sering pula dikenal dengan nama Teori
Kewajiban. Perbedaannya mendasar dengan tiga teori yang disebut didepan
sebelumnya, system etika ini (deontologi ) tidak mengukur baik tidaknya sebuah
tindakan dari hasilnya, tetapi pada maksud (niat) si pelaku. Kritik yang biasa
dilancarkan terhadap tiga teori sebelumnya adalah bahwa tiga teori itu berasifat
teleologik. Pada deontologi tidak demikian, karena, sekali lagi, ukuran baik tidak
terletak pada tujuan sebuah tindakan, tetapi pada maksud si pelaku.
20
. Tentang hal ikhwal kewajiban ini Kant memilah dua macam; imperative hipotetis dan
imperative kategorik . Imperative hipotesis adalah kewajban yang menyertakan syarat. Misalnya
jika saya mau lulus ujian maka saya harus belajar keras. Imperative kategorik adalah kewajiban
tanpa tawar menawar, atau mewajibkan begitu saja. Missal, janji harus ditepati.
31 | Page
adanya kehendak bahwa menolong orang lemah adalah kewajiban. Sama halnya
kalau hati Anda terketuk (terenyuh) melihat pengemis kemudian menolongnya
atas dasar kasihan, maka menurut teori ini nilai tindakan Anda secara moral masih
nol besar.
Bab 3
KEPUTUSAN MORAL
32 | Page
Kompetensi dasar:
Memahami makna dasar keputusan moral, hingga perbedaannya dengan
keputusan-keputusan lain.
33 | Page
kuat memang sebuah keputusan –bahkan itu hanya menyangkut selera— steril dari
implikasi terhadap orang lain? Pilihan saya terhadap tempe pada derajat teertentu
mempunyai implikasi terhadap orang lain, barangkali selera saya ini akan membuat
merengut penjual rendang dan sumringah bagi penjual tempe. Anda tentu mudah
memberi penilaian merengutnya orang penjual rending itu diluar tanggungjawab
moral saya! Tentu, secara moral pula saya bisa berujar EGP-lah (emang gue
pikirin).
Kalau mau diambil kesimpulan, keputusasn saya membeli tempe tidak ada
hubungannya dengan tindakan moral. Tidak bisa dinilai secara moral. Nah,
disinilah persoalannya. Proposisi definitive di atas tentang ‘tidak ada implikasi
apapun teerhaddap orang lain’ melalui ilustrasi logika ini ditabrak! Tetapi definsi
itu tidak pula salah, bahwa keputusan moral adalah menyangkut pada tindakan
social dan memberikan implikasi pada manusia lain di luar diri kita yang
melakukan tindakan. Coba perhatikan berikut ini. Jika keputusan saya membeli
tempe itu karena dibimbing oleh nilai-nilai primordial atas kebencian etnis
pedagang rending nih ini lain. Tidak usah bingung, tindakan saya ini tidak
memenuhi cara berfikir kriteria penilaian moral yang disinggung di atas, disini
khan tinddakan saya bikan dibimbing oleh selera tetapi oleh kebencian atas suku
atau etnis tertentu.
34 | Page
Robert Latimer dan Nyonya Latimer, kedua orang tuanya cuma bisa
bergumam, “Tracy dilahirkan hanya untuk merasakan kesakiatan” . Menjelang
ulang tahunnya yang kelima, yang berarti sepanjang usia itu pula Tracy hidup
dalam keskitan, muncul gagasan dari kedua orang tuanya untuk segera
mengakhiri rasa sakitnya. Tiada jalan lain, mengusir kesakaitan ini dengan cara
membunnya. Disiapkanlah rencana pembunuhan atas Tracy. Keputusan membunuh
Tracy berangkat dari kasih sayang orang tua yang sangat mendalam. Menyayangi
berarti menjauhkan dari penderitaan.
Nuraninya bergolak dalam menimbang untuk mengambil keputusna atas
rencana pembunuhan itu. Pergolakan ini merupakan pertempuran antara kasih
sayang, rasionalitas, dan belitan norma hokum legal formal. Apakah pembunuhaan
atas kasih sayang bisa dibenarkan? Kalau iya, siapakah yang membenarkan ?
Hokum legal formal tak mengenal apa yang terjadi pada pergolakan di dalam dada
dua orang tua ini: betapa rasa kasih sayangnya luar biasa. Hokum legal formal
hanya sebuah teks yang mengatakan bahwa pembunuhan adalah tindakan
melanggar hokum. Titik. Berarti harga melepas penderitaan Tracy harus dibayar
dengan penjara. Tidak cukup hukuman penjara, masih ada derifasi atas
tindakannya, yaitu hokum social. Hal lain yang bergolak di kepala dua orang tua
ini, apakah betul Tracy menderita sedemikian berat, bukan sekedar dugaanya
saja ? Mengapa pula mengukur cara hidup orang lain – meskipun itu anaknya
sendiri -- dengan ukuran-ukuran dirinya ? Ya, mungkin jawabnya rasa empati
yang mendalam, tetapi menjadi sejahat itukah sebuah empati? Nah, pertanyaan
terakhir ini membingungkan, utamanya pada konsep “jahat”. Konsep ini tentu
masih harus diletakan sebagai hipotesis karena bukankah ruang pertempuran moral
ini sedang menelusuri posisi ‘jahat’ atau tidaknya sebuah tindakan. Pada sisi lain
kesimpulan kedua orang tua Tracy tentang penderitaan itu pun masih jauh dari
akurat; apakah betul penderitaan Tracy tak akan pernah berakhir? Jangan-jangan
masih ada keajaiban masih ada harapan sembuh. Atau, berarti jangan-jangan
keputusan pembunuhan ini terlalu dini ? Lantas, apakah pertimbangan ‘kedinian’
semacam ini menjadi absyah secara moral ? Satu pertanyaan lagi: apakah rencana
pembunuhan itu bukan sekedar ego kedua orang tua Tracy yang ada dasarnya
emoh menerima beban mengurus manusia cacat ?
Pergolakan pertimbmangan untuk membunuh Tracy ini buntu. Rencana
pembunuhan pada ulang tahunya yang ke lima tidak jadi dilakukan! Tetapi apakah
35 | Page
berarti kedua orang tua ini memenangkan pertempuran dalam dilema moral itu ?
Alih-alih, yang menghantui setelah itu adalah munculnya sebuah pertanyaan:
masih tegakah terus menerus ‘membiarkan’ Tracy menderita berkepanjangan ?
Sebetulnya, pertanyaan semacam ini kembali pada pertanyaan awal sebelum
munculnya pertanyaan-pertanyaan yang lain. Meskipun demikian pertanyaan ini
mempunyai kualitas melebihi dari pertanyaan awal karena justru telah melampaui
timbangan atas pertanyaan-pertanyaan lain. Pertanyaan semacam ini sirkular:
tidak akan muncul kembali kalau tidak terlebih dahulu melampaui pergulatan
sejumlah pertanyaan sebelumnya.
***
Ulang tahun Tracy dirayakan secara normal, tidak ada kejutan apapun.
Begitu pula pada tahunnya yang ke-6. Setahun kemudian, pada tahun ke-9,
pergolakan pertimmbangan moral tentang rencana pembunuhan itu muncul
kembali secara kencang untuk segera direalisasikan. Sejumlah pertanyaan yang
sama seperti di atas kembali membuncah. Tetapi tahun ke-9 ini aman. Tahun ke-10
aman. Begitupun tahun berikutnya, hingga memasuki tahun ke-12, tepatnya pada
tahun 1993 pergolakan itu muncul dengan kencang. Tentu, sejumlah pertanyaan di
atas kembali mewarnai petermpuran ini. Gawang pertahanan Robert Letimer
bobol. Konon, pada hari minggu ketika Nyonya Latimer dan anak-anak lain pergi
ke gereja, Robert meletakkan Tracy di tempat duduk truk pick up-nya kemudian
menyalurkan asap mobil ke dalamnya. Tracy sesak napas, lemas, dan kemudian
meninggal.
***
Dalam sidang, Robert dituntut 25 tahun, kena tuntutan pasal pembunuhan
berencana. Hakim mempunyai pertimbangan lain, tidak mau keras. Dalam rapat
sejumlah hakim itu, tuntutan 25 ditolak. Hakim hanya menjatuhkan hukuman satu
tahun penjara.
Tetapi ini belum selesai, singkat cerita Mahkamah Agung Kanada ikut
campur, hingga tuntutan awal dikembalikan: Robert Latimer akhirnya diputus
mendapat ganjaran hukuman 25 tahun penjara… (belum selesai)
36 | Page
Bab 4
HUBUNGAN ETIKA DAN PROFESI KEPOLISIAN
Kompetensi dasar:
Memahami hubungan etika dengan profesi kepolisian
1. Pengertian
1) Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan
kewajiban moral (ahlak).
3) Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau
masyarakat
2) Kumpulan azas atau nilai moral, yang dimaksud disini adalah kode
etik.
3) Ilmu tentang apa yang baik atau buruk. Etika baru menjadi i1mu,
bilamana kemungkinan-kemungkinan etis (azas-azas dan nilai-nilai
tentang yang dianggap baik dan buruk) yang begitu saja diterinia dalam
suatu masyarakat seringkali tanpa disadari menjadi bahan refleksi bagi
suatu penelitian sistimatis dan metodis. Etika disini sama artinya
dengan filsafat moral.
c. Jenderal Polisi (Purn) Kunarto dalam bukunya Tri Brata dan Catur Prasatya
menyatakan :
37 | Page
1) Berbicara tentang etika Polri perlu dipahami tentang pengertian etika:
Ilmu dan pengetahuan tentang perilaku manusia yang terkait dengan
norma, nilai-nilai atau ukuran buruk baiknya yang berlaku pada
masyarakat.
1). Nilai dan norma moral yang dijadikan pedoman mengatur tingkah laku
etis anggota Polri dalam bentuk penugasan, agar semua tugas-tugas
dapat dilaksanakan secara baik sehingga tercapai tujuan Polri (dalam
pengertian ini sudah termasuk kode etik profesi Polri)
2. Peranan Etika Polri dalam pelaksanaan tugas Polri untuk mewujudkan tujuan
Polri.
38 | Page
3) Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat.
Kalau di dalami secara teliti dan mendalam sumber yang paling dominan
yang menentukan keberhasilan pelaksanaan tugas Polri adalah sumber daya
manusia, sedangkan sumber daya yang lain adalah sumber daya
pendukung.
c. Citra Polri
Implementasi etika Polri dalam wujud tingkah laku etis Polri dalam
penegakan hukum, memelihara Kamtibmas, mengayomi, melindungi dan
melayani masyarakat akan menentukan citra Polri. Kadar citra Polri ini
utamanya ditentukan oleh :
39 | Page
Dengan menyadari pentingnya peranan etika Polri dalam mengemban dan
mensukseskan pelaksanaan tugas selaku anggota Polri, maka manfaat
mempelajari etika profesi Polri bagi anggota Polri adalah :
d. Bagi perwira Polri dituntut memahami dan menghayati etika Polri secara
mendalam karena :
2) Perwira adalah Peminipin yang menjadi suri tauladan dan panutan dari
bawahannya.
40 | Page
Bab 5
Kompetensi dasar:
Memahami landansan pelaksanaan tugas-tugas kepolisian
1. LANDASAN YURIDIS
Hal-hal yang penting yang dinivat oleh Undang-undang No. 2 tahun 2002
yang erat kaitannya dengan nilai-nilai moral Polri antara lain
41 | Page
2) Lebih mengedepankan fungsi pelayanan dan perlindungan yang
merupakan orientasi dari Polisi negara-negara modern.
a) Asas Legalitas
b) Asas Kewajiban
c) Asas Partisipasi
d) Asas Preventip
e) Asas Subsidiaritas
42 | Page
b) Ketaatan kepada segala peraturan pemndang-undangan yang
berlaku.
h) Tidak terikat pada suatu pemberian berupa hadiah dan atau janji-
janji langsung maupun tidak langsung yang ada kaitannya dengan
pekerjaan/ jabatan.
43 | Page
kekeliruannya mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan diberi
ganti rugi dan direhabilitasi dari para pejabat penegak hukum yang
dengan sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkan asas hukum
tersebut dilanggar, dituntut pidana dan / atau dikenakan hukuman
administrasi.
1) Bahwa HAM merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada
diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus
dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan,
dikurangi atau dirampas oleh siapapun.
c) Pasal 4
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi,
pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak,
hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan didepan hukum,
dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun dan oleh siapapun
44 | Page
d) Pasal 5 ayat (1)
e) Pasal 8
1) Pasal 30
45 | Page
Setiap orang berhak atas rasa aman dan tentram serta perlindungan
terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu.
n) Pasal 34
2. LANDASAN KEBIJAKAN
a. Cita-cita Nasional
1) Pasal 1 ayat (2) UUD Tahun 1945 : Kedaulatan berada di tangan rakyat
dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar.
2) Pasal 1 ayat (3) DUD Tahun 1945 : Negara Indonesia adalah Negara
Hukum.
46 | Page
2) Pasal 13 tugas pokok Polri adalah :
b) Menegakkan hukum.
2) Polri adalah pilar utama dari Negara Indonesia yang merupakan negara
demokratis dengan berdasarkan hukum.
e. Sebagai konsekwensi logis dari hubungan fungsi dan tugas Polri dengan
cita-cita Nasional dan Indonesia adalah negara demokratis yang
berdasarkan hukum, maka mutlak harus dibangun Polri yang kuat, mandiri
dan profesional. Pembangunan Polri yang kuat, mandiri dan
profesional bukanlah untuk kepentingan Polri, tetapi adalah suatu
keniscayaan untuk mencapai cita-cita Nasional dan terwujudnya
Negara Indonesia sebagai negara demokratis yang berdasarkan hukum.
47 | Page
c) Memberi persetujuan atas calon Kapolri oleh Presiden.
4) Kapolri :
48 | Page
c) Berdasarkan pasal 34 ayat (3) Undang-undang No.2 Tahun 2002,
Kapolri mengatur tentang ketentuan-ketentuan mengenai kode etik
profesi Polri dengan keputusan Kapolri.
49 | Page
Bab 5
SITUASI DAN KONDISI YANG DIHADAPI POLRI
Kompetensi dasar:
Memahami situasi dan kondisi yang dihadapi kepolisian
a. Kita berada pada lingkungan yang selalu berubah secara cepat. Perubahan-
perubahan itu ada yang membawa kearah yang mempersatukan, tetapi ada
yang mendatangkan konflik tata nilai. Perubahan-perubahan tersebut
apabila tidak mampu dikendalikan dengan baik, akan mengakibatkan
diorganisasi sosial bahkan disintegrasi sosial.
50 | Page
c. Pelaku kejahatan telah melibatkan baik warga negara Indonesia maupun
orang asing, melibatkan sindikat internasional, melibatkan mulai dari
masyarakat awam” sampai dengan pejabat tinggi negara dan pengusaha,
mulai pengusaha dengan kredit inventasi kecil sampai dengan konglomerat,
melibatkan oknum TNI / Polri, oknum BUMN dan oknum-oknum instansi
pemerintah termasuk oknum-oknum instansi Departemen Agama, P & K
dan oknum-oknum aparat penegak hukum, baik jaksa maupun hakim
bahkan melibatkan institusi yang independen, yang anggota-anggotanya
dipilih dan memiliki reputasi yang tidak diragukan lagi, seperti KPU.
2. Demokrasi
51 | Page
2) Pemerintahan berdasarkan atas hukum, keberadaan dan
penghormatannya kepada Rule Of law.
c. Karena itu maka Polisi adalah pilar utama dalam suatu negara demokrasi,
sebagai konsekwensinya suatu negara demokratis, mutlak menuntut adanya
Polisi yang kuat, mandiri dan profesional. Sebaliknya seberapa jauh
52 | Page
kemandirian dan profesionalisme Polisi, tergantung sejauh mana kadar
demokrasi dari negara tersebut.
Jenis dari demokrasi 200 negara membentang dalam spektum dari mulai
jenis negara demokrasi liberal seperti Amerika Serikat sampai demokrasi
Korea Utara yang lebih pantas disebut Otoriter.
Selanjutnya sejak tahun 1965 Polri tunduk pada hukum Disiplin Militer,
Hukum Pidana Militer, Hukum Acara Pidana Militer dan tunduk pada
Peradilan Militer.
53 | Page
Selanjutnya tahun 1969 melalui Keppres No. 79, instansi Polri ditempatkan
dibawah Panglima ABRI, berlakunya Doktrin ABRI (CADEK) bagi Polri,
dengan demikian sistem pembinaan Polri sangat kental berwujud militer.
Hal ini berlangsung lebih dari 30 tahun yang merupakan kurun waktu yang
cukup lama, yang berdampak sikap Polri pun menjadi militerisme, sehingga
masyarakat merasakan Polisi itu identik dengan militer.
Secara Politik tugas Polri terkooptasi oleh sistem kekuasaan yang otoriter,
sehingga Polri terkenal lebih sebagai penguasa daripada sebagai pelayan
masyarakat serta Polri lebih sebagai penindas daripada pelindung dan
pengayom masyarakat.
Kondisi perilaku Polri ini mengakibatkan rakyat tidak puas dan titik
kulminasinya sering terjadi benturan antara Polisi dan rakyat, sehingga
tumbuh kuat tuntutan terhadap Polri agar Polri berubah menjadi Polisi
Sipil, tuntutan tersebut hanya mungkin terwujud, bila Polri dipisahkan
dengan TNI.
e. Seiring dengan arus globalisasi pada akhir abad XX, bergulir pula issu
universal yaitu demokratisasi, supermasi hukum, masyarakat madani dan
HAM.
Berkaitan dengan paradigma baru Polri, Prof Dr. Hotman R. Siahaan dalam
orasi ilmiah pada Dies Natalis PTIK Ke-59 dengan judul Paradigma,
perpolisian komunitas mengantisipasi konflik sosial Pemilihan Kepala
Daerah pada hal 6 mengemukakan :
54 | Page
dibawah Presiden dan telah meningkatkan jumlah anggaran dan personil
Polri. Sejauh mana kultur dan kinerja Polri akan bergeser tergantung sejauh
mana pengeseran demokrasi di negara kita. Etika masyarakat yang
demokratis akan melahirkan Polsi yang etis.
Bagi Polri harus menyadari makna yang terkandung dalam momentum ini
dan berupaya memanfaatkan secara optimal momentum ini dengan
mewujudkan pengabdian Polri yang konkrit yang dirasakan secara
langsung oleh rakyat sebagai pelindung, pelayan dan pengayom
masyarakat, yang sekaligus pula merupakan kontribusi Polri dalam
mengawal perjalanan demokrasi kita, dimana betul-betul dapat diwujudkan
kedaulatan di tangan rakyat, hukum dapat ditegakkan dan HAM dihormati
dan dijunjung tinggi.
3. Hukum
a. Negara Indonesia adalah negara hukum sesuai dengan UUD 1945 pasal 1
ayat (3), Paham negara hukum berdasarkan keyakinan bahwa kekuasaan
negara harus dijalankan atas dasar hukum yang baik dan adil. Hukm
menjadi landasan tindakan negara dan hukum itu harus baik dan adil. Baik
karena sesuai dengan apa yang diharapkan masyarakat dari hukum dan adil,
karena maksud dasar segenap hukum adalah keadilan. Dari segi moral
politik ada 4 alasan utama menuntut agar negara diselenggarakan dan
menjalankan tugasnya berdasarkan hukum :
3) Legitimasi demokratis
55 | Page
hukum dan mempertanggung jawabkan perbuatannya/tindakannya kepada
hukum/sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
2) Polisi bertugas untuk menegakkan hukum, karena. itu Polri selain harus
tunduk dan patuh kepada, hukum, Polri harus mahir menguasai hukum
sebagai landasan dan senjata dalam pelaksanaan tugasnya dan dapat
dijadikan teladan bagi masyarakat dalam kepatuhan dan ketaatannya
kepada hukum.
1) Banyak hukum masih dari warisan jaman kolonial yang tidak sesuai
dengan perkembangan tuntutan masyarakat.
2) Hukum yang diikuti seharusnya adalah hukum yang baik dan adil,
artinya hukum sendiri secara moral harus dapat dipertanggung
jawabkan, dan itu berarti hukum harus sesuai dengan paham keadilan
masyarakat dan menjamin HAM. Tetapi dalam kenyataannya hukum
positif yang berlaku yang harus ditegakkan. Polri, masih ada yang
sudah tidak sejalan dengan paham rasa keadilan masyarakat dan HAM.
Dalam hal ini jika Polri menegakkan hukum tersebut mangakibatkan
adanya kesan Polri bersikap untuk kepetingan penguasa dan tidak
melindungi kepentingan rakyat, contoh UU No. 9 Tahun 1998 tentang
Kemerdekaan menyampaikan pendapat.
4. HAM
56 | Page
a. HAM adalah salah satu hak yang melekat secara kodrati pada manusia yang
apabila hak itu tidak ada, tidak akan bisa hidup sebagai manusia. HAM
adalah salah satu tuntutan dalam era reformasi dan sekaligus dia merupakan
prasyarat atau ciri suatu negara demokratis.
57 | Page
dari demokrasi Indonesia, maka Polri harus mampu senantiasa menjunjung
tinggi HAM dalam pelaksanaan tugasnya yang tercermin dari perbuatan
Polri yang senantiasa etis.
Dalam hal ini, perlu dihayati oleh semua anggota Polri bahwa tidak
perlu ragu-ragu bertindak melaksanakan tugas sepanjang dalam
penggunaan kebebasan atau wewenang Polri senantiasa memegang
legality, necessity, proportionality serta etis.
58 | Page
a) Legality
b) Necessity
c) Proportionality
d) Etis
5. Masyarakat
Bagi anggota Polri menghadapi kritik masyarakat itu harus berlapang dada
dan berpikir positif dalam arti :
59 | Page
2) Mengganggap suatu kritik masyarakat adalah merupakan kepedulian
masyarakat, masyarakat masih percaya pada Polisinya, ingin ikut
menyampaikan pendapat sebagai partisipasi untuk memperbaiki
Polisinya.
60 | Page
baik pencegahan ataupun tindakan reperesip menuntut keterlibatan /
partisipasi dari masyarakat itu sendiri.
6. Keterbatasan Polri
1) Personil
Jumlah Polri waktu itu sudah dinilai cukup, karena masih ada
personil TNI yang siap membantu pelaksanaan tugas Polri, dan
adanya pam swakarsa yang dilandasi doktrin sishankamrata.
61 | Page
Semua bentuk operasi dibawah kodal Pangab, sedangkan operasi
Kepolisian merupakan operasi rutin yang tidak didukung anggaran
oprasional.
3) Sarana dan prasarana alat Polri sangat kecil. Sejalan dengan metode
operasi yang digunakan, maka akibatnya dukungan sarana dan
prasarana alat Polri pun sangat kecil.
2) Polri harus tahu persis apa yang dibutuhkan dan berapa kebutuhannya.
62 | Page
Bab 6
ETIKA DAN KODE ETIK PROFESI POLRI
Kompetensi dasar:
Memahami konsep-konsep dan intrumen yang dikandung dalam Kode Etik Profesi
Polri
1. PENYIMPANGAN-PENYIMPANGAN
b. Penyimpangan etika cukup rumit untuk diukur, karena tolak ukumya tidak
hanya sekedar pemikiran, namun juga rasa. Tetapi secara umum
pelanggaran atas hukum, pelanggaran ketentuan disiplin dan pelanggaran
atas kode etik profesi itulah penyimpangan etika, karena hukum pada
hakekatnya adalah endapan etika yang berbentuk UU. Ketentuan disiplin
pada hakekatnya adalah endapan etika yang berwujud Peraturan
Pemerintah dan kode etik profesi adalah kristalisasi nilai-nilai etika Polri
yang terkandung dalam Tri Brata dan Catur Prasetya yang diwadahi dalam
bentuk peraturan Kapolri.
c. Tipologi penyimpangan :
63 | Page
1) Thomas Barker dalam bukunya Police Deviance membagi tipologi
penyimpangan perilaku polisi dalam suatu tipologi yang terdiri dari dua
hal :
b) Penyalahgunaan wewenang.
3) Penyalahgunaan wewenang :
64 | Page
menempatkan seseorang yang benar dibawah kekuasaan polisi
dalam situasi dimana penghargaan atau citra orang tersebut terhina
dan/atau tidak berdaya.
Ancaman oleh tindakan fisik oleh petugas atas diri seseorang atau
ancaman tidak adil dan penangkapan yang tidak dibenarkan,
merupakan contoh-contoh penyiksaan psikologis.
a) Berdasarkan motivasi :
d. Jenis-jenis penyimpangan :
65 | Page
Bentangan spektrum penyimpangan etika Polri sangat lebar, mulai dari
penyimpangan-penyimpangan yang ringan seperti tidak tepat waktu
memeriksa saksi/tersangka melewati waktu yang dicantumkan dalam
Surat Panggilan ; atau main domino pada waktu tugas (bahkan akan
berbahaya kalau adanya kecenderungan untuk mengganggap
pelanggaran-pelanggaran tersebut tidak lagi dianggap sebagai
penyimpangan ) sampai dengan penyimpangan pekerjaan,
penyalahgunaan wewenang, pelanggaran HAM dan korusi.
Contoh-contoh penyimpangan:
66 | Page
kejahatan, tersangka maupun saksi serta masyarakat yang
membutuhkan pelayanan.
b) Hasil penelitian PTIK tahun 2002 tentang Kinerja Polri Pasca Polri
Mandiri.
67 | Page
lingkungan pemukiman/dipedesaan, responden tidak pemah
melihat patroli polisi.
(5) Puskodalops :
68 | Page
(c) Mengharap atau mengkondisikan untuk mendapat imbalan.
c) Akibat penyimpangan :
69 | Page
(3) Penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh oknum-
oknum Polri dapat merusak hubungan masyarakat dan Polri
bahkan dapat merusak sistem peradilan pidana.
a. Tri Brata
c. Catur Prasetya adalah 4 sifat sajah rona yang berasal dari tulisan Mpu
Prapanca yang melukiskan kebesaran Gajah Mada sebagai Mahapatih
kerajaan Majapahit. Pada 1 Juli 1960 dalam rangka konferensi para kepala
polisi di Jogjakarta secara resmi Catur Prasetya dijadikan pedoman karya
AKRI.
70 | Page
tahun 1997 dan TAP MPR No.Vl/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan
Polri.
i. Peraturan Kapolri No. Pol : 7 tahun 2006 tanggal 1 Juli 2006 tentang Kode
Etik Profesi Polri dan Peraturan Kapolri No. Pol : 8 tahun 2006 tanggal 1
Juli 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Komisi Kode Etik Kepolisian
Negara Republik Indonesia.
a. Sikap dan perilaku pejabat Polri terikat pada kode etik profesi Kepolisian
Negara Republik Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam pasal 34 ayat
(1) UU No.2 Tahun 2002 tentang Polri.
b. Pasal 34 ayat (1) tersebut mengamanatkan, agar setiap anggota Polri dalam
melaksanakan tugas dan wewenang harus mencerminkan kepribadian
Bhayangkara Negara seutuhnya yaitu : pejuang, pengawal dan pengayom
Negara Republik Indonesia. Selain itu untuk mengabdikan diri sebagai alat
negara, penegak hukum yang tugas dan wewenangnya bersangkut paut
dengan hak dan kewajiban warga negara secara langsung, diperlukan
kesadaran dan kecakapan tehnis tinggi. Oleh karena itu sikap anggota Polri
harus menghayati dan dijiwai oleh Etika dan Falsafah Kepolisian yang
tercermin dalam sikap dan perilakunya. Etika dan Falsafah Kepolisian
tersebut dirumuskan dalam kode etik Polri yang merupakan kristalisasi
nilai-nilai yang terkandung dalam Tri Brata dan Catur Prasetya yang
dilandasi dan dijiwai Pancasila.
2) Tri Brata dan Catur Prasetya merupakan sumber kode etik profesi Polri,
karena kode etik profesi Polri merupakan kristalisasi nilai-nilai yang
terkandung dalam Tri Brata dan Catur Prasetya.
4. TRI BRATA :
71 | Page
a. Penamaan
Tentang penamaan semula ada beberapa usul seperti : Tri Sila, Tri Marga,
Tri Sula, Tri Pomo dan Tri Brata , akhirnya diambil nama Tri Brata.
Kata Brata diambil dari Hasta Brata yang merupakan petunjuk Sri Rama
sewaktu meyerahkan tahta kepada adiknya Bharata. Hasta berarti delapan
dan Brata berarti jalan. Hasta Brata memuat delapan jalan untuk menjadi
raja yang baik. Tri Brata berarti 3 jalan menuju Kepolisian Negara
Republik Indonesia yang ideal.
a) Rumusan awal
b) Rumusan Perubahan.
Polisi ialah :
72 | Page
Kami Polisi Indonesia
2) Rapat Dewan Guru Besar PTIK Tahun 1953 yang akan mewisuda
mahasiswa PTIK Angkatan II yang membutuhkan kaul untuk
diucapkan :
73 | Page
g. Alasan lahirnya Tri Brata menurut Prof. Djoko Soetono, SH dalam kuliah
beliau di PTIK dengan judul Tri Brata sebagai Mythos, Logos dan
Etos.
1) Polri belum punya pedoman hidup sebagaimana TNI telah punya Sapta
Marga.
Kaul atau ikrar merupakan suatu pernyataan yang luhur dari jiwa sendiri,
karena tidak dapat menyatakan lain dari itu. Kaul bukan sumpah, karena
sumpah mengandung unsur paksaan dari luar.
74 | Page
rechstaat dan rechstaat dalam arti formil, sedangkan phase ketiga ialah
Staattype yang merupakan juga staattype dari negara kita dan negara
modem di dunia yaitu materialle rechstaat dalam arti sosial etis.
Jadi Tri Brata bukan sebagai hasil renungan, tetapi sebagai hasil
penyelidikan ilmiah, menggunakan methode ilmiah, diperoleh dari
berpikir tertib dan benar, sehingga kesimpulannya merupakan rumusan
yang benar.
75 | Page
b) Tribrata sebagai mythos berbeda dengan mythos pada umumnya
yang tidak berdasarkan kenyataan, sedangkan Tri Brata adalah
suatu.miythe yang berdasarkan suatu logos, berdasarkan
logisitening serta rasionalisitie dari perkembangan fungsi polisi.
Karena itu pada umumnya mythos dipercaya kebenarannya yang
tidak usah di uji lagi tetapi Tribrata dipercaya kebenarannya, karena
berdasarkan kenyataan sebagai hasil penelitian ilmiah yang
mendalam tentang perkembangan fungsi kepolisian.
k. Arti Tribrata.
76 | Page
1) Arti Brata I Rastra Sewakottama ; abdi utama daripada Nusa dan
Bangsa.
(2) Dalam librale rechstaat atau negara hukum yang bersifat liberal.
Rakyat menghendaki supaya pemerintah tidak turut campur
tangan dalam kehidupan rakyat sehari-hari, melainkan hanya
memberikan pertolongan, dimana terdapat ancaman bahaya bagi
rakyat. Dengan penuh kebebasan, yang tidak diganggu oleh
turut campur tangan pihak pemerintah, rakyat akan
memperkembangkan sendiri kesejahteraannya sampai kepada
taraf yang setinggi-tingginya.
77 | Page
untuk membantu hakim dan jaksa, yang menjadi penuntut
umum dalam sidang-sidang pengadilan. Yang dipentingkan
adalah untuk. menyidik para pelanggar undang-undang dan
mengajukannya dihadapan jaksa dan sidang pengadilan atau
tugas Yustisiillah yang diutamakan oleh polisi.
(4) Dalam materiil rechtstaat atau social ethics atau welvaart staat.
78 | Page
reehstaat yang akhirnya berkembang dalam arti materiil atau social
ethics atau welvaart staat.
c) Dalam hubungan polisi adalah abdi utama dari nusa dan bangsa
seperti dikutip dari buku karangan John Moyler dengan judul : The
Police of Britain yang berbunyi; The Policeman is what his name
denotes, the community man, concerned with general good rule and
government of an organized society or policy and may properly be
called upon for many kinds of service. Jadi pejabat polisi itu disini
disebut sebagai abdi masyarakat ("The community of man") yang
dapat dipanggil untuk berbagai keperluan (for many kinds of
service). Kutipan ini merupakan bukti bahwa Brata pertama dari
Tribrata dikukuhkan oleh kedudukan polisi di Inggris.
d) Kenapa abdi utama ? Polisi adalah abdi utama, karena polisi adalah
aparatur negara yang merupakan pos terdepan / voorpost, jadi
paling pertama berhubungan dengan rakyat.
79 | Page
" Maka polisi sebagai organ daripada rakyat sebagai hati nurani,
rakyat selalu memperingatkan ini tindakan kamu salah, tetapi kami
adalah tidak diatas kamu, kami adalah sosial institut, kami adalah
sebagai warga negara dari Republik Indonesia ”.
e) Abdi utama daripada nusa dan bangsa dilihat dari segi pengertian
gemein schaft yang bersifat spontan.
h) Sendi abdi utama daripada nusa dan bangsa dianggap sebagai Brata
yang terpenting dalam rangka pemikiran nasional, maka sendi abdi
utama diletakkan sebagai Brata pertama dalam Tribrata., Rastra
Sewakottama dimaksudkan sebagai parsprototo untuk seluruh
Tribrata, karena sendi abdi utama tersebut di anggap sebagai yang
terpenting dan mencakup sendi-sendi lainnya daripada Tribrata,
karena itu motto Rastra Sewakottama dicantumkan dalam panji-
panji Polri.
80 | Page
Memang dapat dimengerti bahwa dalam Paradigma baru dinyatakan
bahwa Polri lebih mengutamakan tugas pelayanan, pengayoman dan
perlindungan kepada masyarakat, sebagai akibat dari tingkah laku
Polri selama ini lebih menitik beratkan kepada penggunaan
pendekatan represif, pendekatan keamanan, lebih menitik beratkan
penggunaan kekuasaan, berpenampilan militeristik.dan pengayoman
kepada penguasa.
i) Dari uraian arti Brata I dari Tribrata Polri sebagai abdi utama dari
nusa dan bangsa mengandung nilai-nilai moral:
81 | Page
negara yaitu warganegara teladan atau warganegara utama dari
negara.
82 | Page
pilkada diseantero negeri ini antara lain : untuk menumbuhkan
social trust masyarakat terhadap kinerja aparat kepolisian dan juga
institusi kepolisian, maka seluruh jajaran kepolisian dituntut mampu
mengembangkan diri mereka sebagai minoritas kreatif (creatif
minority) dalam penegakkan hukum dan HAM, serta juga mampu
menempatkan diri sebagai teladan moralitas dalam masyarakatnya,
dan juga membangun human relations dengan semua komponen
masyarakat/khususnya dalam konteks pilkada adalah para politisi
dan para tokoh agama untuk menumbuhkan citra positif polisi.
Jadi bukan hanya teladan dalam mentaati hukum, tetapi lebih jauh
adalah teladan moralitas yang harus tercermin pada pelaksanaan
tugas Polri sebagai pengayom, pelindung dan pelayan masyarakat,
sebagai penegak hukum dan pemelihara Kamtibmas.
2) Bhakti :
84 | Page
Bhakti adalah pengabdian yang dilandasi cinta. Sebagai abdi dari nusa
dan bangsa, maka polisi dalam pengabdiannya berupa pelayanan,
pengayoman dan perlindungan kepada masyarakat dilandasi oleh
kecintaan kepada negara, bangsa/masyarakat. Melandasi atas kecintaan
dalam pengabdiannya, maka polisi rela berkorban, ikhlas dalam
pengabdiannya tidakmengharapkan pamrih, setia, pantang menyerah
dalam pengabdiannya kepada nusa dan bangsa.
3) Dharma :
4) Waspada :
85 | Page
Dalam menjaga ketertiban pribadi daripada masyarakat, maka Polri
harus senantiasa waspada dengan berjaga sepanjang waktu, agar
masyarakat tentram (Vigilat Quiescant).
Tri Brata bermakna polisi bagi polisi, kalau polisi benar-benar mengerti,
memahami dan menghayati Tri Brata, sehingga ikrar kita benar : dalam,
maka Tri Brata menjadi mythos, Tri Brata dianggap sebagai kebenaran
yang tidak dapat digugat dan Tri Brata sebagai ethos kita.
Sehingga dia akan senantiasa menjadi pengawas bagi kita melalui hati
nurani atau senantiasa mengingatkan polisi untuk senantiasa bertingkah
laku yang baik, bertingkah laku yang etis dan tidak melakukan
penyimpangan.
5. Catur Prasetya :
a. Catur Prasetya adalah amanat Mahapatih Gajah Mada yang berasal dari
tulisan kepada para pasukan Bhayangkara yang dipimpinnya. Pada waktu
itu bentuk negara adalah kerajaan, dimana kepala negaranya adalah raja.
Raja adalah merupakan penjelmaan Tuhan di dunia, karena itu setia dan
patuh kepada raja berarti setia dan patuh juga terhadap Tuhan.
86 | Page
1) Supaya pasukan Bhayangkara Satya Haprabu. Sikap setia kepada
negara dan raja, karena raja adalah merupakan penjelmaan Tuhan di
dunia, sehingga apabila setia dan patuh kepada rajanya berarti setia dan
patuh juga terhadap Tuhannya. Karena itu apa yang dikatakan oleh raja
itu berarti sama dengan perintah Tuhan yang harus dipatuhi.
c. Arti Prasetya I
87 | Page
Satya Haprabu setia kepada negara dan pimpinannya.
Polri adalah abdi negara bukan alat penguasa, walaupun kesetiaan kepada
negara sudah termasuk kesetiaan kepada Pimpinan Negara, tetapi polisi
bukan alat penguasa, polisi bukan alat pemerintah, polisi adalah alat negara,
polisi adalah abdi negara yang menyiapkan jasa-jasa kepada
masyarakat/rakyat, polisi melindungi, mengayomi dan melayani
masyakarakat dalam rangka menegakkan hukum dan memelihara
Kamtibmas.
Dikaitkan dengan etika, maka sebagai individu musuh anggota Polri juga
ada didalam dirinya sendiri adalah niat untuk melakukan penyimpangan
harus dibasmi dengan senantiasa memelihara, memupuk dan
menumbuhkan kembangkan nilai-nilai moral etika profesi Polri.
88 | Page
f. Prasetya IV Tan Satrisna tidak terikat kepada sesuatu. Dalam melaksanakan
tugas tidak terikat sesuatu sepi ing pamrih, pengabdian karena kewajiban
melaksanakan tugas, karena panggilan pengabdian, karena kewajiban.
Social control membuat suatu massa menjadi suatu gemein schaft yang ada
dindingnya, yang ada tanggung jawabnya antara satu dengan yang lain.
Apakah inti dari gemein schaft itu?
Intinya tidak lain dan tidak bukan adalah gotong royong. Kalau dilihat
dalam Pancasila, maka dapat diperas menjadi gotong royong.
Abdi utama pada Brata I adalah gotong royong dalam arti solidarisme kita
harus berkorban dan kita harus mengabdi kepada nusa dan bangsa. Kalau
warganegra pada Brata II itu sudah tolong menolong karena sudah ada
proses individualisering, dimana satu warganegara harus menolong
warganegara lainnya. Jadi, Pancasila yang intinya gotong royong telah
menyinari Tribrata yang didalamnya juga tersimpul gotong royong, karena
Tribrata itu cakupannya tiga hal yang maksudnya mau membikin massa
menjadi gemein schap.
89 | Page
b. Menurut Bapak Mayjen (P) Drs. Soeparno. S. Atmadja dalam bukunya
yang berjudul Tri Brata.
Jika kita mengadakan tinjauan isi daripada Tri Brata, maka didalamnya
sebenarnya tersimpul pula sendi-sendi yang terdapat pada Pancasila,
sehingga Tri Brata seolah-olah mendapat sinar dari Pancasila.
1) Sila ketiga Pancasila menyinari atau menjiwai Brata 1 & II Tri Brata.
Begitu pula Brata pertama tentang sendi abdi utama daripada nusa dan
bangsa, menghendaki tugas polisi diselenggarakan secara preventif.
Apalagi kalau kita meninjau Brata I yang berisikan asas bahwa polisi
itu adalah abdi utama daripada nusa dan bangsa atau daripada rakyat
90 | Page
sebagai eksponen daripada bangsa, maka asas kedaulatan ditangan
rakyat yang merupakan sendi pokok daripada demokrasi.
4) Sila kelima Pancasila menyinari Brata II Tri Brata, Brata kedua yang
berisikan sendi warganegara utama daripada negara menghendaki
bahwa anggota polisi yang senantiasa menjunjung tinggi keadilan dan
hukum negara bertindak adil bijaksana dan ini adalah sesuai dengan
sendi keadilan sosial yang tercantum dalam sila kelima Pancasila.
Adapun Brata ketiga merupakan respon kita kepada sifat Tuhan sebagai
Maliki Yaumidin yang mengadili di hari akhir menghendaki, bahwa
kita sebagai makhlukNYA mengikuti apa yang diridhoi oleh-NYA. Ini
berarti kita harus bersikap dan berbuat sesuai dengan hati nurani kita
yang murni. Dengan adanya sendi hati nurani daripada rakyat atau
wajib menjaga ketertiban pribadi daripada rakyat, maka kita
memberikan jawaban atas sifat Tuhan Maliki Yaumidin.
91 | Page
a. Tribrata merupakan pedoman hidup Polri dan Catur Prasetya merupakan
pedoman karya Polri mempunyai hubungan satu sama lain. Hubungan
antara Tri Brata dari Catur Prasetya dikemukakan oleh Prof. Djoko
Soetono, SH dalam tulisan beliau tentang arti Tri Brata untuk Revolusi
Indonesia yang pada intinya dapat disimpulkan sebagai berikut :
1). Tri Brata sebagai pedoman hidup, Beroeps/Corps Ethiek Polri memang
nampaknya lunak, kurang tegas.
5). Disamping disiplin yang kuat (Catur Prasetya) harus ada ketahanan
mental dan moral yang tinggi, bahkan bersedia mati sahid menjadi
92 | Page
satrio utomo (Tri Brata dalam melaksanakan tugas suci dan luhur bagi
perwujudan Tata Tentram Kerta Raharja).
6). Dalam menilai musuh harus selalu waspada, sehingga dapat diambil
tindakan/sikap tegas dan tepat.
7). Tri Brata sebagai pedoman hidup Polri bagaikan pemancaran halus
daripada Pancasila, selalu membimbing, memberi pimpinan dan
pengendalian (bukan semangat lahir saja) dalam mengamalkan Catur
Prasetya.
Rumusan pemaknaan baru Tri Brata sebagai nilai dasar dan pedoman moral
Polri dituangkan dalam Keputusan Kapolri No.Pol.: Kep/17/VI/2002
tanggal 24 Juni 2002.
Tri Brata adalah nilai dasar yang merupakan pedoman moral dan penuntun
moral bagi setiap anggota Polri serta dapat pula berlaku bagi pengemban
fungsi kepolisian lainnya.
c. Latar belakang :
93 | Page
perubahan aspek kultural Polri Untuk mewujudkan kultur Polri yang
lebih profesional, dimana diharapkan anggota Polri mampu menjawab
tantangan tugas yang semakin komplek, perlu diadakan perubahan
mendasar pada aspek instrumental yang menjadi faktor stimulus bagi
terciptanya kultur polisi yang diharapkan dengan mengadakan rumusan
pemaknaan baru Tri Brata.
d. Dasar Pemikiran :
e. Nilai Tribrata :
1) Nilai dasar Tribrata tidak lagi menggambarkan atau berisi niat, kaul,
asas-asas, namun secara riil rumusan pemaknaan baru Tri Brata berisi
pernyataan-pernyataan yang lebih menggambarkan secara konkrit nilai
dasar dan filosofi tugas pengabdian setiap anggota Polri dalam
menjawab tuntutan dan harapan masyarakat modern.
b) Nilai Ketuhanan
94 | Page
Nilai-nilai dasar ini merupakan jati diri Polri dan pedoman moral setiap
anggota Polri dalam mengemban tugas dan wewenangnya, serta
memelihara kemampuan profesinya.
2). Nilai-nilai Tribrata adalah nilai-nilai yang terkandung didalam Tri Brata
yang merupakan satu kesatuan yang utuh yang tersusun secara
hierarkhis. dan saling mengontrol, agar setiap nilai tidak membias dari
makna yang sesungguhnya.
a) Berbakti
b) Bertaqwa
g) Keikhlasan
Esensi kode etik profesi Polri haruslah mencerminkan jati diri Polri
dalam 3 (tiga) dimensi hubungan meliputi hubungannya dengan Nusa
dan Bangsa, hubungannya dengan Negara dan hubungannya dengan
masyarakat yang menjadi komitmen moral dalam bentuk etika
pengabdian, etika kelembagaan dan etika kemandirian.
95 | Page
a. Pemaknaan baru catur prasetya disahkan dengan keputusan Kapolri
No.Pol : Kep /39/ VII /2004 tanggal 1 Juli 2004.
Catur Prasetya
2. Menjunjung tinggi keselamatan jiwa raga, harta benda dan hak asasi
manusia.
b. Dasar Pemikiran.
1) Setelah diadakan penelitian maka istilah Catur Prasetya yang lahir dari
amanat Presiden Soekarno tanggal 17 Juni 1956 adalah empat sifat
Gajah Mada yang berasal dari tulisan Mpu Prapanca yang melukiskan
kebesaran Gajah Mada sebagai Mahapatih kerajaan Majapahit dalam
bukunya Nagara Kertagama.
2) Sebagaimana Tri Brata sifat Catur Prasetya yang ditulis dalam bahasa
sansekerta mengundang banyak pertanyaan termasuk pengertiannya
dalam bahasa Indonesia yang selama ini dapat menimbulkan banyak
makna dan interprestasi.
c. Landasan Filosofi.
96 | Page
4) Sebagai insan Bhayangkara anggota Polri secara moral terpanggil dan
berkewajiban mengabdi kepada masyarakat, bangsa dan negara
sepanjang hidupnya.
d. Kandungan Makna
2) Menjunjung tinggi keselamatan jiwa raga, harta benda dan hak asasi
manusia dirinci atas 4 kandungan makna.
97 | Page
konkrit, tepat dan praktis serta mudah dilaksanakan oleh setiap
anggota Polri.
98 | Page
b) Dikeluarkan buku petunjuk administrasi komisi kode etik kepolisian
Negara Republik Indonesia berdasarkan Keputusan Kapolri
No.Pol.: Kep/04/III/2001 tanggal 7 Maret 2001.
Pasal 34
b) Guna mengatur lebih lanjut tentang Tata Cara Sidang Komisi Kode
Etik Polri dikeluarkan Keputusan Kapolri No. Pol :
Kep/33/Vll/2003 tanggal 1 Juli 2003.
99 | Page
(d) Pasal 4 sikap perilaku anggota Polri dalam melaksanakan
tugas menegakkan hukum.
100 | Page
(b) Pasal 14 sikap netral.
2) Tugas komisi kode etik Polri diatur dalam pasal 4 ayat (1)
komisi kode etik Polri bertugas menyelenggarakan sidang untuk
:
101 | Page
a). Etika profesi Polri adalah kristalisasi nilai-nilai Tri Brata yang
dilandasi dan dijiwai oleh Pancasila serta mencerminkan jati diri
setiap anggota Polri dalam wujud yang meliputi etika kepribadian,
kenegaraan, kelembagaan dan hubungan dengan masyarakat.
c.) Etika kenegaraan adalah sikap moral anggota Polri yang menjujung
tinggi landasan ideologis dan konstitusional Negara RI serta
Pancasila dan UUD 1945 diatur dalam pasal 4.
g). Tata cara sidang Komisi Kode Etik Polri diatur dalam Peraturan
Kapolri No. 8 tahun 2006 tentang Pengorganisasian Dan Tata Kerja
Komisi Kode Etik Polri.
Ada yang dirumuskan umum pendek, ada yang dirinci dan panjang ada
yang berbentuk Undang-Undang, ada yang aturan biasa. Namun
ditegaskan olehnya bahwa kode etik yang baik itu harus selalu
memenuhi unsur:
102 | Page
c) Mengembangkan dan memelihara dukungan dan kerjasama dari
masyarakat pada tugas-tugas kepolisian.
Dengan demikian suatu kode etik tidak statis, dia dapat berubah dan
disesuaikan dengan perkembangan situasi, tetapi perubahan itu harus
tetap menjamin terpenuhinya tolak ukur suatu kode etik yang baik.
2) Dari fakta sejarah Polri selama ini kita melihat perkembangan etika
Polri/kode etik profesi Polri.
Tri Brata sejak awal dicanangkan sebagai landasan etika Polri, karena
rumusannya masih sangat umum (bersifat sebagai asas) yang masih
merupakan pedoman hidup, sehingga tidak dapat diterapkan seperti
norma atau aturan jika dihadapkan kepada masalah-masalah konkrit di
lapangan.
103 | Page
a) Apanya yang harus diubah/disesuaikan.
a. Semakin maju suatu masyarakat semakin maju pula dalam meletakkan tata
cara pencegahan dan penanggulangan kejahatan yang mereka hadapi yang
dirumuskan dalam tata hukum mereka.
b. Sejalan dengan itu, diabad modern ini terlihat pula bahwa semakin maju
suatu negara, semakin manusiawi pula dalam memperlakukan pelaku
pelanggaran hukum maupun korban kejahatan, dimana aparat penegak
hukumnya diberi batasan-batasan cara bertindak yang tegas dalam
memperlakukan penjahat maupun korban.
c. Perkembangan kejahatan tidak lagi hanya bersifat lokal pada suatu negara
saja, tetapi sudah tidak lagi mengenal batas-batas negara, pelaku kejahatan
dan korban kejahatan tidak lagi terbatas hanya warganegara dari negara
tersebut, tetapi telah melibatkan warganegara asing, kejahatan telah
berkembang menjadi kejahatan terorganisir, kejahatan antar negara/trans
nasional crime.
104 | Page
e. Tuntutan reformasi sekarang ini dimana isue-isue yang berkembang adalah
demokratisasi, supremasi hukum dan HAM dalam era globalisasi ini, maka
sebagai anggota Polri dituntut pula untuk mengetahui, memahami
pedoman-pedoman bertindak dalam pencegahan dan penanggulangan
kejahatan yang telah diadopsi PBB baik yang telah diratifikasi oleh
pemerintah Indonesia maupun yang belum.
f. Dalam kaitannya dengan etika maka perlu diketahui dan dipahami standar,
panduan dan instrumen internasional dari PBB baik yang telah diratifikasi
pemerintah Indonesia maupun yang belum antara lain :
a. Internalisasi etika adalah suatu learning proces, suatu proses belajar yang
pada dasarnya melalui tahapan mengerti, memahami, menghayati dan
mengamalkan.
105 | Page
3) Pengamalan etika yang terpancar pada tindakan/tingkah laku anggota
Polri yang etis-profesional dalam pengabdiannya.
1) Seleksi calon anggota Polri yang baik, obyektif adil, akan mendapatkan
calon Polri yang memiliki struktur kepribadian yang baik, yang beriman
dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta memiliki penguasaan
ilmu pengetahuan yang baik.
106 | Page
Bab 7
PRAKTEK SIMULASI SIDANG KODE ETIK POLRI
Kompetensi dasar:
Memahami dan Mengoperasikan pelaksanaan sidang kode etik Polri
107 | Page
108 | Page