Anda di halaman 1dari 108

RENCANA PEMBELAJARAN SEMESTER

(RPS)

PROGRAM STUDI : Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian


MATA KULIAH : Etika dan Falsafah Kepolisian
BOBOT : 2 sks
DOSEN PENGAMPU :

SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN


2022

1
RENCANA PEMBELAJARAN SEMESTER
(RPS)

Universitas : Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian


Fakultas :
Program Studi :

Mata Kuliah : Etika dan Falsafah Kepolisian


Bobot/Sks : 1 sks
Kode Mata Kuliah :
Bentuk/Sifat : (1) Kuliah/Teori (2) Seminar/diskusi (3)
praktikum/simulasi
Pra-Syarat (jika ada) :
Semester : 2
Periode Kuliah : Semester Genap
Jumlah Pertemuan tatap : 7 Pertemuan
muka
Jadwal Kuliah :
Ruang :
Dosen Pengampu : Dr. Benyamin Lufpi, M.Hum
…………………………….

A. DESKRIPSI
Mata Kuliah Falsafah dan Etika Kepolisian ini bertujuan untuk memberikan
pemahaman perihal dua ruang lingkup. Lingkup pertama, adalah tentang Etika dan Etika
Profesi ; dan lingkup kedua adalah Falsafah Kepolisian serta simulasi sidang Kode Etik
Kepolisian.
Pada lingkup pertama diorientasikan pada pemahaman konsep dasar tentang etika
dan sejumlah teori didalamnya,serta peran dan fungsinya dalam konteks profesi.
Kemudian, yang kedua diorientasikan pada pemahaman falsafah kepolisian, etika profesi
Polri serta penerapan sidang kode etik profesi Polri .

B. CAPAIAN PEMBELAJARAN LULUSAN (CPL)

Ranah Capaian Pembelajaran Lulusan

2
Sikap 1. menginternalisasi nilai, norma, dan etika akademik (S-8)
2. menunjukkan sikap bertanggungjawab atas pekerjaan di bidang
keahliannya secara mandiri (S-9)
Keterampilan umum 3. mampu menerapkan pemikiran logis, kritis, sistematis, dan
inovatif dalam konteks pengembangan atau implementasi ilmu
pengetahuan dan teknologi yang memperhatikan dan
menerapkan nilai humaniora yang sesuai dengan bidang
keahliannya; (KU-1)
4. mampu menunjukkan kinerja mandiri, bermutu, dan terukur;
(KU-2)
Pengetahuan 5. menguasai konsep, teori, karakateristik normative etis
dan/atau fakta-fakta tentang etika profesi kepolisian; (P-1)

Keterampilan 6. mampu merencanakan, melaksanakan sidang kode etik


Khusus kepolisian dan mengevaluasinya secara optimal; (KK-3)

C. CAPAIAN PEMBELAJARAN MATA KULIAH (CPMK)

CPMK SUB-CPMK
1. Memahami konsep-konsep dasar etika, 1. Menjelaskan pengertian dasar etika,
teori etika, dan etika profesi.
dan asal usul genuinnya sebagai
filsafat moral.
2. Menjelaskan pengertian moral.
3. Menjelaskan aspek berpikir dalam
tradisi kajian etika, utamanya
menyangkut berfikir kritis.
4. Menjelaskan hubungan etika denan
budaya dan kehidupan social.

2.Memahami hubungan etika dengan profesi 2.1 Menjelaskan profesi kepolisian


kepolisian. 2.2.Menjelaskan peranan etika dalam
tugas-tugas kepolisian

3.Memahami dan Mengoperasikan 1. Mempraktekan Sidang Kode Etik


pelaksanaan sidang kode etik Polri Polri
2. Mamahami tahap-tahap pelaksanaan
Sidang Kode Etik Polri
3. Memahami instrument dan prosedur
dalam pelaksanaan Sidang Kode Etik

3
Polri

D. MATERI

POKOK BAHASAN SUB-POKOK BAHASAN


(MATERI POKOK) (SUB-MATERI)
1. Konsep-konsep dasar tentang etika dan 1.1. konsep tentang moral
teori etika 1.2. teori etika
1.3. pengambilan keputusan moral
2. hubungan etika dan profefsi kepolisian 2.1. profesi kepolisian
2.2. etika dalam tugas kepolisian
2.3. sejarah kode etik polri
2.4. landasan pelaksanaan tugas Polri

3. Konsep-konsep dan intrumen yang 3.1. instrument penyimpangan dalam


dikandung dalam Kode Etik Profesi Polri Kode Etik Polri
3.2. lahirnya kode etik profesi polri
3.3. lahirnya TRI BRATA dan makna
yang dikandung
3.4. Catur Prasetya

E. KEGIATAN PEMBELAJARAN (METODE)


1. Kegiatan pembelajaran dilaksanakan dengan mengedepankan pendekatan student
center learning (pembelajaran berpusat pada mahasiswa). Para mahasiswa didorong
dan difasilitasi untuk aktif mencari dan memperoleh kemampuan yang diharapkan,
baik pengetahuan, keterampilan maupun sikap.
2. Ada 4 kegiatan (metode) utama yang akan dilaksanakan dalam perkuliahan yaitu:
● Presentasi oleh dosen (ceramah)

● Diskusi kelas berbasis kelompok

● Simulasi/praktek sidang

F. TUGAS
Ada 5 (lima) tugas utama yang harus dikerjakan oleh mahasiswa selama perkuliahan (1
semester), yaitu:
1. Membuat makalah kelompok dan mempresentasikan dalam diskusi kelas,
2. Membuat resume bahan kuliah pada setiap pertemuan (tugas individu),
3. Membuat penjelasan istilah (semacam glossary) untuk berbagai istilah/konsep penting
yang ditemukan dalam perkuliahan.
4. Melakukan simulasi sidang etik

4
5. Membuat biografi singkat mahasiswa

G. PENILAIAN
1. Metode/teknik:
● Tes tulis (ujian tengah dan akhir semester),

● Penilaian produk (penilaian makalah, laporan hasil studi kasus, dan glossary),

● Penilaian kinerja (penilaian presentasi dalam diskusi kelas, partisipasi simulasi),

● Penilaian sikap (penilaian sikap dan perilaku selama mengikuti kuliah, ketaatan
terhadap aturan).

2. Instrumen
● Naskah soal ujian tengah dan akhir semester,

● Skala penilaian/rubrik untuk menilai makalah, laporan hasil studi kasus, glossary
dan presentasi dalam diskusi,
● Pengamatan perilaku selama mengikuti perkuliahan dan sismulasi sidang

3. Komponen dan proporsi penilaian


1. UTS (35%)
2. UAS (45%)
3. Praktek Simulasi (20%)

4. Kriteria kelulusan
TINGKAT HURUF ANGKA KETERANGAN
PENGUASAAN (%)
86 – 100 A 4 Lulus
81 - 85 A- 3,7 Lulus
76 - 80 B+ 3,3 Lulus
71 - 75 B 3,0 Lulus
66 - 70 B- 2,7 Lulus
61 - 65 C+ 2,3 Lulus
56 - 60 C 2,0 Lulus
51 - 55 C- 1,7 Belum Lulus
46 – 50 D 1 Belum Lulus
0 - 45 E 0 Belum Lulus

H. PERATURAN (TATA TERTIB)


1. Mahasiswa hadir dalam perkuliahan tatap muka minimal 90% dari jumlah pertemuan
ideal,
2. Setiap mahasiswa harus aktif dan partisipatif dalam perkuliahan.
5
3. Mahasiswa hadir di kelas tepat waktu sesuai dengan waktu yang ditetapkan (jadwal),
4. Toleransi keterlambatan adalah adalah 15 menit. Jika melewati batas waktu toleransi,
maka mahasiswa dapat mengikuti perkuliahan tetapi tidak dicatat sebagai kehadiran,
5. Ada pemberitahuan jika tidak hadir dalam perkuliahan tatap muka, melalui surat,
pesan di media sosial, atau telepon dan menyampaikan bukti pendukung,
6. Selama perkuliahan berlangsung, Handphone dalam posisi off/silent. Boleh
menerima telepon di luar kelas setelah mendapat izin dari dosen,
7. Meminta izin (dengan cara mengangkat tangan) jika ingin berbicara, bertanya,
menjawab, meninggalkan kelas atau keperluan lain,
8. Saling menghargai dan tidak membuat kegaduhan/gangguan/kerusakan dalam kelas,
9. menggunakan pakaian yang rapi dan sopan selama perkuliahan, dan sesuai aturan,
10. Tidak boleh ada plagiat dan bentuk-bentuk pelanggaran norma lainnya.

I. SUMBER (REFERENSI)

Astawa, Ketut.2017. Etika Profesi Polri, PTIK Perss, Jakarta


Bertens, K.2005. Etika, Gramedia, Jakarta
Ellisoton, Frederick A dan Michael Feldberg.1985. Moral Issues in Police Work,
Rowman & Littlefield Publishers, Maryland.
Hart, H.L.A.2009. Law Liberty and Morality, terj. Ani Mualifatul Aisah, Genta
Publishing.
Hazlitt, Henry.2003. Dasar – Dasar Moralitas, terj. Cuk Ananta Wijaya, Pustaka
Pelajar, Jakarta.
Koehm, Daryl.2000. Landasan Etika Profesi, terj. Agus Hardjana, Kanisius,
Yogyakarta.
Kunarto.1997. Etika Kepolisian, Cipta Manunggal, Jakarta
Rachels, James.2004. Filsafat Moral, terj. A. Sudiarja, Kanisius, Yogyakarta.
Rahardjo, Satjipto.2002. Polisi Sipil; Dalam Perubahan Sosial di Indonesia,
Kompas, Jakarta.
Shidarta.2006. Moralitas Profesi Hukum, Refika Aditama, Bandung.
Souryal, Sam S.1999. Ethics In Criminal Justice, peny. Kunarto, Cipta Manunggal,
Jakarta.
Suseno, Franz Magnis.1987. Etika Dasar; Masalah – Masalah Pokok Filsafat Moral,
Kanisius, Yogyakarta.
Villiers, Peter.1999. Better Police Ethics; A Practical Guide, peny.Kunarto, Cipta
Manunggal, Jakarta.
Undang – Undang dan Peraturan-Peraturan.

J. RINCIAN RENCANA KEGIATAN


(Lihat halaman berikut)

6
RINCIAN RENCANA KEGIATAN

Capaian Pembelajaran Mata Kuliah (CPMK):


1. Menguasai konsep etika dan etika profesi,
2. Memahami hububngan etika dan profesi kepolisian,
3. Mempraktekan sidang kode etik Polri.

Pert.ke Capaian Indikator Materi Kegiatan Alokasi Sumber Penilaian/


(tgl.) Pembelajaran pembelajaran waktu dan Media/alat Tugas
(Sub-CPMK) (Metode)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
1 Memahami dan Memahami tujuan, RPS (kontrak Ceramah, diskusi, 100 RPS Tugas:
menyepakati RPS materi, proses, tugas, perkuliahan) tanya jawab menit Laptop, LCD Membuat
(kontrak sumber, penilaian dan resuma materi
perkuliahan) hal-hal lain dalam untuk minggu
perkuliahan depan: konsep
etika
2 Mahasiswa Pengertian etika 100 5: 10-20 Tugas:
● Menjelaskan ● Presentasi dosen,
memahami konsep Pengeftian moral menit membuat
dasar etika dan pengertian dasar Etika dan social ● Presentasi Power point, resume materi
etika profesi etika, dan asal usul budaya Laptop, untuk minggu
mahasiswa
Projektor LCD depan: teori
genuinnya sebagai (individu, sampel
etika hedonism
acak)
filsafat moral. dan eudomonia
● Tanya jawab,
● Menjelaskan

pengertian moral.

7
● Menjelaskan aspek

berpikir dalam tradisi


kajian etika,
utamanya
menyangkut berfikir
kritis.

● Menjelaskan

hubungan etika
denan budaya dan
kehidupan social.
3 Mewmahami Teori Teori etika : Presentasi dosen, 100 1: 7-18 Tugas:
● Memahami dan
Etika : Hedonism tanya jawab, menit 2: 10-19 membuat
Hedonisme dan menjelaskan teori eudomonia diskusi resume materi
eudomonia etika hedonism Power point, untuk minggu
● Memehami dan Laptop, depan:
menjelaskan teori Projektor LCD utilitarian dan
eudomonia deontologi
4 Memahami teori Teori etika Diskusi 100 1:21-57, Tugas:
● Memahami dan
etiuka (utilitarian utilitarian kelas/kelompok, menit 3:32-74, Tugas:
dan deontologi menjelaskan teori Teori etika Presentasi dosen membuat
utilitarian deontologi resume materi
● Power point,
● Memahami dan untuk minggu
menjelaskan teori ● Video/film depan

8
deontologi keputusan
● Laptop,
moral
projektor
LCD
5 Memahami 100 Tugas:
● Memahami moral
Keputusan moral menit Tugas:
● Memahami langkah- membuat
resume materi
lanngka pengambilan
untuk minggu
keputusan secara
depan tentang
moral
hubungan
● Memahami perbedaan etika dengan
keputusan moral profesi
dengan prosed kepolisian
keputusan yang lain.
6 Memahami Citra Polri 100 Tugas:
● Menjelaskan profesi
hububngan etika Kinerja kepolisian menit membuat
dan profesi kepolisian resume materi
kepolisian untuk minggu
● Menjelaskan peranan depan tentang
etika dalam tugas- landasan
pelaksanaan
tugas kepolisian
tugas Polri

7 Memahami Landansan yuridis 100 Tugas:


● Menjelaskan
landasan Landasan menit membuat
Pelaksanaan Tugas landasan yuridis kebijakan resume materi
Polri dalam pelaksanaan untuk minggu

9
tugas kepolisian depan tentang
situasi dan
● Menjelaskan landasan kondisi yang
kebijakan dalam dihadapi
kepolisian
pelaksanaan tugas
kepolisian

8 UTS
9 Memahami situasi 1.Menjelaskan gangguan 100 Tugas:
Dan Kondisi Yang menit membuat
Kamtibmas dan ● Gangguan
Dihadapi Polri resume materi
kecenderungan Kamtibmas untuk minggu
perkembangnnya. ● Demokrasi depan tentang
2. Menjelaskan yang penyimpangan
● Dilema Polri kode etik dan
dihadapi Polri dalam
dalam penegakan lauhirnya kode
menegakkan hokum hokum etik kepolisian
3. Menjelaskan Masalah-
masalah yang dihadapi
Polri di lapangan

10 Memahami konsep- 1.Menjelaskan 1. penyimpangan 100 Tugas:


konsep dan instrument dalam Kode Etik menit membuat
makalah
intrumen yang penyimpangan dalam Polri
singkat

10
dikandung dalam Kode Etik Polri 2. lahirnya kode tentang
Kode Etik Profesi 2. menjelaskan lahirnya etik profesi Tribrata dan
kode etik profesi polri Catur
Polri
polri Prasetya

11 Memahami konsep- Menjelaskan lahirnya 100


● TRI BRATA
konsep dan TRI BRATA dan menit
makna yang dan makna yang Tugas:
intrumen yang dikandung
dikandung membuat
dikandung dalam ● Catur Prasetya resume materi
Menjelaskan Catur untuk minggu
Kode Etik Profesi
Prasetya depan tentang
Polri
instrument
PBB dadlam
kode etik
kepolisian

12 Memahami Menjelaskan instrument Instrumen PBB 100


Instrumen PBB PBB tentang eteik tentang kode etik menit
kepolisian kepolisian
13 Mampu Melakukan Simulasi 100 Tugas
mempraktekan simulasi menit kelompok
sidang kode etik Praktek
simulasi Kode
Etik
14 Mampu Melakukan Simulasi 100 Tugas

11
mempraktekan simulasi menit kelompok
sidang kode etik Praktek
simulasi Kode
Etik
15 Mampu Melakukan Simulasi 100 Tugas
mempraktekan simulasi menit kelompok
sidang kode etik Praktek
simulasi Kode
Etik
16 UAS

Mengetahui: mengetahui/menyetujui: Jakarta,


…………………………. 2017
Ketua Program Studi reviewer (jika ada)
Dosen,

………………………………..….. ……………………………………………
…………………………………….

12
ETIKA DAN FALSAFAH KEPOLISIAN

B. Pengantar

Mata Kuliah Etika Profesi ini bertujuan untuk memberikan


pemahaman perihal dua ruang lingkup. Lingkup pertama, adalah tentang
Etika dan Etika Profesi ; dan lingkup kedua adalah Etika Profesi Polri
serta simulasi sidang Kode Etik Kepolisian.
Pada lingkup pertama diorientasikan pada pemahaman konsep dasar
tentang etika dan sejumlah teori didalamnya, serta peran dan fungsinya
dalam konteks profesi. Kemudian, yang kedua diorientasikan pada
pemahaman etika profesi Polri serta penerapan sidang kode etik profesi
Polri .

C. Standar Kompetensi
1. Memahami konsep-konsep dasar, eori etika, dan etika profesi.
2. Memahami Etika dan Falsafah Kepolisian.
3. Menerapkan Sidang Kode Etik Kepolisian
4. Menganalisis masalah-masalah dalam penerapan Sidang Kode Etik
Kepolisian

D. Kegiatan Pembelajaran
Kegiatan pembelajaran untuk mata kuliah Etika Profesi ini dilaksanakan
dalam 14 pertetmuan. Yaitu, meliputi kuliah konvensional tatap muka --
tentu saja ada tanya jawab di dalamnya dengan memperhitungkan keaktifan
mahasiswa sebagai komponen penilain -- dan simulasi Sidang Kode Etik
Kepolisian.
Konsep-konsep dan teori etika, serta etika profefsi diberikan pada Paruh
semester pertama sebelum UTS; Sementara pada paruh kedua, penguatan
pada Kode Etik Polri dan Simulasi Sidang Kode Etik. .

13 | Page
Bab 1
KONSEP DASAR TENTANG ETIKA
DAN ETIKA PROFESI

Kompetensi dasar:
Memahami konsep-konsep dasar tentang etika dan profesi

Indikator Hasil Belajar:


1. Menjelaskan pengertian dasar etika, dan asal usul genuinnya sebagai
filsafat moral.
2. Menjelaskan pengertian moral.
3. Menjelaskan aspek berpikir dalam tradisi kajian etika, utamanya
menyangkut berfikir kritis.
4. Menjelaskan hubungan etika denan budaya dan kehidupan social.

Pada dasarnya “etika” dalam belantara disiplin di dunia akademik masuk


pada ruang lingkup filsafat, utamanya kemudian lebih pada filsafat moral. Pada
pertyameuan awal ini adalah memahami orientasi filsafat moral ini.

Tradisi kritis :
Pintu masuk dunia filsafat Moral

Beraneka ragam pintu masuk dunia filsafat. Orang bisa memulai dari
mempelajari sejarah (lahirnya) filsafat; bisa dari ketertarikan pada tema-tema
tertentu1 tanpa harus berangkat dari metode kronologis; bisa berangkat dari focus
(kekaguman) pada seorang filosof 2; bisa pula berangkat dari metode berfikir kritis
dan radikal. Tapi tentu saja orang tidak dapat masuk dunia filsafat melalui
1
. Misalnya, apa itu kematian, apa itu berfikir, apa itu hukum, apa itu kerja, apa itu salah dan benar
dan seterusnya.

2
. Mungkin saja (awal masuk filsafat) orang mengagumi Karl Marx karena (gagasan)
radikalismenya, atau Mahatma Gandhi karena perlawanannya yang unik atas kolonialisme, atau
Socrates karena semangat asketismenya, atau Sukarno karena gagasan nasionalismenhya dan
seterusnya. Sekedar catatan, kekaguman pada satu orang jika diseriusi akan merembet pada nama-
nama besar lain; kekaguman pada nasionalisme Sukarno akan menyeretnya pada gagasan – gagasan
awal integralistik dan “ide” ; ke Baruch Spinosa ke Hegel ke Plato. Untuk mengerti Plato, agar
lengkap perlu membaca Aristoteles dan seterusnya dan seterusnya. Anda mahasiswa jurusan non-
filsafat tak usah khawatir, cara yang panjang dan rumit ini bukan untuk Anda !

14 | Page
ketertarikannya pada wilayah klenik (jadi lucu ada mahasiswa yang
menhubungkan filsafat dengan dunia perdukunan!). Dunia klenik menutup orang
berfikir rasional. Wilayah klenik tidak perlu penjelasan dan argumentasi begini
atau begitu, orang dituntut kepatuhan total (sebetulnya untuk keperluan-keparluan
pragmatic jangka pendek)3.
Namun, bukan hanya wilayah klenik yang menutup argumentasi rasional,
wilayah ideology juga mendekati ketertutupan argumentasi alternative 4. Apakah
agama masuk pada wilayah ini ? Pada banyak sisi agama justru menuntun /
merangsang berfikir argumentative – menuntun rasionalitas. Namun ruang
dogmatis agamalah yang acapkali membingkai rasio yang dibutuhkan filsafat.
Hemat saya, sistem sosisialah yang membuat agama beku sehingga menyerupai
wilayah klenik. Sistem social, merujuk jalan fakir Auguste Comte hanyalah
merupakan suprastruktur dari infrastruktur tata fakir masyarakatnya. Misalnya,
masyarakat yang didominasi klenik cenderung menghasilkan system kekuasaan
feodal. Jadi demokrasi hanya bisa hadir dalam masyarakat yang menerima
pemikiran kritis, masyarakat yang memberi ruang argumentasi rasional.
Kita kembali ke pintu masuk filsafat. Metode berfikir kritis dan radikal
kalau dirunut dari deretan kategori pintu masuk filsafat di atas tergolong pada
tema tertentu dalam filsafat. Dalam hal ini, epistemology dan logika, misalnya.
Epistemology adalah cabang filsafat tentang tata cara memperoleh pengetahuan,
sementara logika adalah tata tertib agar cara memperoleh pengetahuan itu tidak
sesat. Logika tidak untuk menjaring / mendapat pengetahuan tetapi sebagai rambu
– rambu agar dalam proses menggapai pengatahuan tidak sesat.

Namun cara berfikir radikal dan kritis tidak melulu produk epistemology
dan logika, masih perlu bidang yang menyeret realitas pada “gagasan – gagasan
mendasar” yang menjadi tradisi berfikir filsafat. Misalnya bidang yang membahas
apa yang dimaksud “pengetahuan” dan apakah pengetahuan memang ada, apa

3
. Dalam hukum Tiga Tahap Auguste Comte, filosof social Prancis kelahiran 1798, wilayah
pemikiran klenik ini mendominasi tahap awal sejarah pemikiran masyarakat. Melalui temuan –
temuan spekulatif teknologi dengan sendirinya pemikiran klenik ini luntur, bahkan agama
(terutama yang disebut agama monoteis ) sangat efektif memberangus perklenikan.

4
. Dalam bahasa sarkastik pemikiran ideologik adalah sebuah bentuk pembodohan, karena
didalamnya orang dibimbing berfikir menggunakan kaca mata kuda; lurus, satu arah. Tentu
ideology tidak pernah salah, ia selalu benar, tidak ada cara mengkritikny kecuali dengan
menggunakan ideologi lain.

15 | Page
yang dimaksud “ada”, bidang filsafat ini adalah ontology. Bidang lain, Bidang
filsafat yang bertugas membongkar nilai tidak dapat dilepaskan dari proses
membangun tradisi berfikir kritis. Kehidupan social tidak lepas dari tindakan –
tindakan yang berkategori nilai, dengan nilai orang mengatakan si A berbuat baik,
si B berbuat tidak baik. Bandingkan misalnya seseorang yang hidup di hutan
sendirian, nilai tidak akan terkonstruksi selayaknya dalam kehidupan social.
Bidang filsafat yang mendiskusikan nilai adalah aksiologi. Pada bidang inilah
persoalan – persoalan etika dimulai.

Di atas telah diurai, betapa pemikiran argumentasi rasional - kritis hanya


bisa tumbuh dalam masyarkat – Auguste Comte menyebutnya – positivistic.
Masyarakat yang tunduk pada ilmu pengetahuan sebagai panglima; yaitu sebuah
corak masyarkat dimana dalam pencarian kebenaran diputuskan melalui ilmu
pengetahuan. Comte, belakangan banyak dikritik5. Karena nampaknya Comte tidak

5
. Gugatan paling serius dari kalangan Mazhab Frankfurt, Jerman dipenghujung tahun 1950-an. Di
Amerika agak belakangan berkembang kritik atas positivistic, kulminasinya pada Richard Rorty.
Selain mazhab Frankfurt yang menjadi sparing partner pemikiran positivistic adalah kalangan
agamawan. Kemajuan ilmu pengetahuan positive seringkali mendaku sebagai ditinggalkannya
agama.

16 | Page
begitu menaruh perhatian terhadap makna kebenaran yang ia legitimasikan dalam
ilmu pengetahuan.

Maka menjadi sangat penting pintu masuk dunia filsafat juga adalah
mendiskusikan apa yang dimaksud kebenaran. Atau, apa kritetria kebenaran?
Karena kebenaran gaya Comte yang membawa pencerahan (aufklarung) ternyata
toh hanya sebuah dimensi dari dimensi kebenaran yang lain. Seperti yang diajukan
kleim Mazhab Frankfurt, kebenaran gaya positivistic bersifat “mendominasi” dan
“memonopoli”. Disini kita memasuki wilayah epistemologi.

Etika;
Refleksi atas Ruang Moral

Orang mudah kepleset menyepadankan istilah etika dengan etiket. Padahal


kedua konsep ini jauh berbeda. Etiket dalam kamus bahasa inggris berarti
etiquette, artinya sopan santun atau tata cara. Misalnya dalam kalimat berikut, “we
have to keep our etiquette toward our guest”. Bisa jadi asal usul penggunaan etiket
barangkali serapan dari kata etiquette ini, namun proses penyerapan ini mengalami
peyoratif makna dasarnya sehingga menyepadankannya dengan etika. Ini bias
makna dalam skala yang serius. Jadi, etiket (hanya) mempunyai makna yang
merujuk pada kesusilaan; tata-krama; sopan santun, dan semacamnya. Prinsipnya
sebuah tindakan social yang merujuk pada ukuran kewajaran castom atau
kebiasaan setempat. Etiket terikat pada custom, bandingkan dengan etika!
(dibawah, pada bagian Etika dan Budaya kita akan diskusikan ini).

Namun demikian, tentu saja etiket (sebutlah ; “kesusilaan”) tidak terlalu


jauh lepas dari perbincangan wilayah etika meskipun keduanya, menurut Bertens
(2002;8) -- dilacak dari asal-usulnya -- tak mempunyai hubungan apapun.

Diskusi Sekitar Moral

Tidak ada debat berkepanjangan bahwa etika sepenuhnya menyangkut


diskusi tentang moral6. Singkatnya, kajian tentang moral. Pertanyaan tentang apa
6
. K. Berten sangat hati hati menjelaskan konsep etika dan moral ini. Etika, merujuk Berten
mengandung tiga pengertian yang dipakai secara sekaligus.

17 | Page
itu yang baik sama dengan bertanya apa itu (ber)moral. Literatur apa saja untuk
menarik batasan tentang etika, hemat saya, definisi yang akan didapatkan tidak
jauh dari upaya Christy Rakoczy dalam http://answers.yourdictionary.com yang
menempatkan pentingnya konsep moral sebagai konsep kunci dalam etika.
Katanya;

the study of standards of conduct and moral judgment;


moral philosophya treatise on this study
the system or code of morals of a particular person, religion, group,
profession, etc.

Taruhlah, kita tak perlu sulit memahami moral, cukuplah moral difahami
sebagai mana orang-orang umum memahaminya. Konsep ini sepenuhnya
menyangkut persoalan ‘yang baik’ dan ‘yang buruk’. Namun dalam belajar etika
persoalannya terletak pada dua skema yang mendasar. Pertama, apa itu baik,
mengapa ia disebut baik, dan dari mana yang baik ini berasal. Pertanyaan ini
tidak mengajak pada relatifisme; justru etika mengantarkan kita pada kekokohan
argumentasi tentang kebaikan yang tidak relative 7. Kedua, bagaimana standar
moral itu mungkin dalam masyarakat, atau apakah kode moral itu memang ada ?
Pertanyaan Ini menyangkut misteri moral.

Kita dilahirkan dan tumbuh dalam dunia social yang telah lebih dahulu eksis
belantara moral. Saya harus mempertimbangkan tindakan saya dalam dunia social
menurut (standar) moral yang ada pada lingkungan social dimana saya tinggal 8.
Dan, tentu saja standar moral, taruhlah yang sejauh saya fahami, standar moral
berbeda-beda. Ukuran moral saya berbeda dengan ukuran moral Anda 9. Anda
mungkin lebih sensitive dari saya. Jangan mengukur moral(itas) saya
menggunakan ukuran Anda karena ini menyangkut hati nurani yang persifat
personal. Namun proposisi ini (“hati nurani yang persifat personal”) tak perlu
ditarik deduksi secara kaku, toh pada dasarnya ada semacam hati nurani yang

7
. Lihat, misalhnya Shamali….
8
Tentu pengukuran semacam ini perlu bagi saya karena menyangkut “survival”. Khusus
catatan ini terbuka peluang untuk didiskusikan lebih jauh, misalnya, apakah moral relefan
dihubungkan dengan masalah survive?
9
. Untuk ini lihat K. Berten.

18 | Page
bersifat kolektif; ada moral yang bersifat kolektif. Atau dalam ungkapan lain,
moral yang pengukurannya melalui hati nurani ini bersifat personal.

Karena itu pengukuran tindakan manusia atas nilai moral berbeda beda
secara personal. Namun jangan buru-buru mendakwa tulisan ini sebagai
relatifisme10. Uniknya, perbedaan – perbedaan pengukuran moral ini tidak berbeda
terlalu jauh. Pengertiannya, dalam kelonggaran ini masih relative ada standar
kesamaan11. Mungkin, tepatnya, bebas tapi terbatas. Para etikawan, misalnya
menjuluki orang yang tindakannya tidak sensitive terhadap nilai nilai moral
sebagai moral insane, atau bebal moralitas. Standar ini berlaku dimana-mana
bahwa perilaku culas, khianat, pengecut, menipu adalah tidak direstui secara
moral. Standar ini menggumkan! Berlaku dimanapun masyarakat manusia berada.
Di kalangan para Mafioso pun sejauh mereka punya system karir maka ukuran
moral yang disebut di atas berlaku. Sejumlah elit mafia pastilah sudah teruji
berpegang teguh pada standar moral itu; mereka tidak khianat, culas, maupun tidak
pengecut. Bayangkan, nilai – nilai itu berlaku umum, sejak dari kalangan
(masyarakat) mavioso, komunitas Dewan di Senayan, arisan ibu-ibu PKK, hingga
perkumpulan Sepak Bola.

Ilustrasi itu sedikit membantu kita, bahwa meskipun moral(itas) diukur


secar relative berbeda pada setiap orang namun ada standar sehingga perbedaan
itu tidak jauh ajuh amat. Imanuel Kant-lah yang mencoba membangun standar itu
dengan cara menetapkan rumus yang berlaku pada semua tindakan. Ia
mengusulkan tiga criteria bagi imperative kategoris pada tindakan moral.

Rumus pertama, suatu tindakan disebut (ber)moral jika kaidahnya bisa


disemestakan. Mamang tidak perlu semua orang sepakat dengan kaidah ini secara
actual namun setiap orang harusnya setuju. Sebuah kebohongan adalah tindakan
yang tidak bisa disemestakan; atau dengan lain kata kebohongan itu sendiri hadir
justru karena melanggar hukum yang bisa disemestakan. Kalau saya punya wanita

10
. Relatifisme memandang bahwa kebenaran bersifat relative. Sama dengan mengatakan
‘tidak ada kebenaran tunggal’. Proposisi ini tak bermaksud meng-address perdebatan
panjang antara kaum positivism dengan ost-positivism; positivism mengakui ada
kebenaran tunggal, sebaliknya post-positivism menolak kebanaran tunggal.
11
. Kesamaan standar (atau tepatnya similarity) ini hemat saya tak begitu sulit dari
pendektan sosiologis. Bahwa proses social memungkinkan ‘standarisasi’ perilaku anggota
masyarakat.

19 | Page
simpanan, kemudian orang bertanya, “apakah si Dewi itu teman istimewamu ?”
Atas pertanyaan (issue) ini saya sedang berhadapan dengan pilihan moral. Saya
berharap skandal saya tak ada yang mengetahui, maka saya (bisa) berbohong.

Di lain sisi bisa juga saya mengatakan kebenarannya (tak berbohong)


dengan demikian saya harus menghadapi akibatnya .
12
Ketika saya memilih
berbohong, sebetulnya semua bisa selesai – tak ada yang mengetahui. Dan
meskipun berbohong untuk menyelesaikan kasus ini membuat saya lebih senang
namun demikian pilihan saya salah secara moral, karena didasarkan pada kaidah
yang tak pernah menjadi hukum universal13. Saya masih bisa berargumentasi
bahwa kebohongan yang saya lakukan adalah “untuk kebaikan” 14. Namun pada
rumus ini tidak ada suatu yang khusus (kebohngan tertentu) yang bisa
disemestkan, tidak bisa dikatakan “kebohongan sebagai hukum universal”.
Bayangkan, jika argument saya diterima (kebohongan untuk “kebaikan”) ! bagi
Palmquis ( ), jika kehidupan social ini menerima kebohongan yang akan
menyenangkan orang maka fungsi utama bahasa (kemampuannya untuk menopang
kebenaran) akan terkikis.

Rumus kedua, menyasaratkan bahwa kita menghargai pribadi orang; bertindaklah


sedemikian rupa dalam kerangka memperlakukan manusia sebagai tujuan, bukan
sebagai alat semata.

Rumus Ketiga, mensyaratakan bahwa kaidah kita harus otonom (yang mengatur
sendiri); setiap mahluk yang rasional menciptakan hukum universal. Maka dalam
kontek ini kaidah moral harus selaras dengan penentuan hukum kehendak
universal.

Etika dan Budaya

Pertanyaan mendasar bagian ini adalah “apakah etika / moral terikat pada
budaya?” Konon, di suatu wilayah di tanah air ada adat yang membenarkan
. saya menghadapi dilema moral ketika saya bisa memilih dua hal ini. Jadi, tindakan moral
12

menysarakatkan adanya kebebasan; tidak ada moral tanpa kebebasan.


13
. Tapi coba renungkan, bandingkan jika kebohongan itu untuk kebaikan.
14
. Istilah ini menggunakan tanda apostrop karena argument saya sebetulnya sebuah kata bersayap,
tidak lain adalah untuk melindungi kesenangan saya, atau saya dibuat nyaman dengan diterimanya
argument ini.

20 | Page
‘penculikan’ anak gadis yang hendak diperistri. Di bagian budaya lain
menempatkan wanita dalam posisi yang “berat” pada relasi gender; katanya, sang
pria (suami) sabung ayam, si perempuan (istri) bekerja keras. Konon lagi, di
wilayah budaya tertentu (agaknya) welcome terhadap pernikahan siri. Dan tentu
masih ada deretan realitas moral lain dimana dipandang biasa atau wajar di suatu
budaya tertentu, tetapi dianggap wirang15 bagi komunitas lain dalam masyarakat
kita. Fenomena ekstrim diilustrasikan oleh (James: ) berikut. Sebuah komunitas
di Callatia (salah satu suku di India) memakan jenasah orang tuanya ketika
meninggal. Laki – laki orang Eskimo sering mempunyai istri lebih dari satu; jika
datang ke rumahnya, cara mereka menghormati tamu ini dengan memberikan istri
mereka.

Realitas dilematik-moral semacam itu tidak hanya terjadi di lingkungan


masyarakat archeis dimana nilai dan norma diregulasikan secara antropologis. Di
lingkungan masayarakat demokratis pun acap kali ditemukan dilematik-moral.
Misalnya, setelah reformasi dan otonomi daerah, maka daerah bebas membuat
regulasi menyangkut administratifnya sendiri. Belakangan sejumlah regulasi di
daerah dipandang bermasalah. Misalnya, apakah menurut Anda otonomi daerah,
melalui proses demokrasi di daerah, terus bebas pula menerapkan, misalnya
“syari’at islam” ? Kita juga harus sensitive tentang moralitas yang ‘dianut’ dalam
cara bangsa ini ber-demokrasi, misalnya. Misalnya, bagaimana etika memahami
realitas pencitraan sebuah rezim ditengah kesulitan ekonomi yang diderita rakyat
di depan mata kita ?

Dengan sejumlah perbedaan kebasaan yang menyentuh (persoalan) moral


itu, orang mengatakan bahwa perbedaan itu wajar. Maknanya setiap komunitas
budaya mempunyai kode moral nya sendiri. Jadi, sekali lagi perbedaan dalam kode
moral dipandang wajar. Pandangan ini dopegang oleh penganut relatifisme budaya
(cultural relativism). Prinsip penganut ini adalah bahwa budaya merelatifkan nilai,
norma, sekaligus kode moral. Istilah ‘salah’ dan ‘benar’ tak bisa dipaksakan dari
satu komunitas budaya tertentu ke komunitas budaya lain. Tak ada standar moral
yang bisa dipakai di semua tempat. Kebenaran difahami menurut tata cara
masyarakat tertentu yang bersangkutan. Dengan demikian gagasan penganut
relatifisme budaya memetahkan adanya nilai –nilai universal.
15
. istilah Jawa, maknanya malu karena tak wajar atau tak lazim dilakukan.

21 | Page
Andaikan kita memahami bahwa hari ini sedang terjadi pertempuran
gagasan, jika (faham) relatifisme budaya ini menang atau mendominasi dalam
pertempuran ini maka etika-pun akan pingsan. Kita tak lagi perlu mempalajari
etika! Atau sebaliknya, argument relatifisme budaya ini justru merupakan
tantangan keyakinan mengenai adanya obyektivitas dan universalitas kebenaran
moral.

Mari kita amati argumentasi kaum reltifisme budaya ini. Argumentasi yang
dipakai berangkat dari fakta mengenai adanya perbedaan pandangan budaya.
Kemudian melalui perbedaan fakta budaya ini dipakai untuk menarik kesimpulan
atas status moralitas. Kita disini merasa miris mendengar ada komunitas budaya
tertentu memakan jenasah orang tuanya; tapi fenomena ini biasa bagi suku Callatia
di India. Kaum relatifisme budaya ini menyimpulkan, bahwa; makan jenasah itu
tidak benar dan (tapi) tidak salah secara obyektf. Jadi, menurut kaum relatifisme
budaya ini berpandangan bahwa ‘memakan jenasah’ hanyalah pandangan yang
berbeda dari suatu komunitas budaya tertentu dengan komunitas budaya lain.
Kesimpulan ini berangkat dari gagasan dasar nya; kebudayaan yang berbeda
mempunyai kode moral yang berbeda. Tidak ada kebenaran obyektif dalam
moralitas.

Kita periksa lagi argumen kaum relatifis ini. Presmis yang mereka ajukan adalah
fakta mengenai perbedaan apa yang dipercayai oleh budaya tertentu; tetapi
kesimpulan yang ditarik menyangkut ‘apa yang sesungguhnya’. Atau, kesimpulan
yang ditarik tidak berasal dari premis yang dihasilkannya.

Jadi, apakah jika fakta adanya perbedaan pendangan terus dapat disimpulkan
bahwa tidak ada kebenaran obyektif ? Kalau ada dua argument yang
bertentangan, bisa jadi salah satu yang benar, atau dua-duanya bisa salah. Tapi, tak
bisa dua-duanya benar. Di lain sisi, kebenaran obyektif moral tidak harus gugur
atau dikatakan ‘tidak ada kebenaran moral obyektif’ hanya karena disebabkan
komunitas tertentu tidak mengetahuinya.

22 | Page
Bab 2
TEORI ETIKA

Kompetensi dasar:
Memahami empat teori etika.
Menganalisa/perbandingan empat teori etika

Indikator Hasil Belajar:


1. Menjelaskan teori etika hedonism

2. menjelaskan teori eudomonia

3. Menjelaskan teori utilitarian

4. Menjelasakan teori etika deontology

5. Menganalisa - perbandingan emtap teori etika

Topik ini dimaksudkan sebagai pencarian orientasi kritis terhadap


legitimasi atas suatu tindakan. Legitimasi yang dimaksud adalah pada kekuatan
etis selain pada kekuatan logic dan rasionalnya. Dalam interaksi sehari hari
kekuatan legitimasi semacam ini ditemukan pada argumentasi, jadi argumentasi ini
penting – apalagi dalam alam pekerjaan polisi sebagai garda depan penegak hokum
dan ketertiban masyarakat. Namun demikian, etika atau filsafat moral agaknya
sedikit berbeda dengan disiplin lain semacam administrasi, Menejeman Lalu Lintas
dan lainnya yang cenderung “manual”. Dalam etika tidak pernah ada manual
(baca: petunjuk operasional), oleh karrena itu bersifat reflektif – kritik. Kebenaran
tidak hadir secara kebetulan, ia dikonstruksi melalui (adu) argumentasi yang
kerapkali sangat panjang. Kebenaran hanya bisa keketahui melalui argumentasi,
menutup (adu) argumentasi sama halnya dengan menutup kebenaran itu sendiri 16.
Sesuatu dikatakan benar justru karena ia tahan atas serangan argumentasi lain.

16
. Melalui tata fakir ini pula dunia kerja polisi selayaknya tidak bertumpu pada model
herarkhi yang ketat karena pertanggungjawaban atas tindakan profesinya bersifat personal.
Argumentasi atas (pilihan) tindakan tidak bersifat kolektif . Kelancaran lalu lintas
argumentasi tak mungkin hadir dalam system haerarkhi.

23 | Page
Kembali ke awal persoalan, apakah yang dimaksud landasan yang
mempunyai kekuatan etis? Jawabannya adalah landasan yang mempunyai dasar
moral. Dalam kerangka inilah maka pembahasan “etika” dalam pembagian materi
filsatat dimasukkan sebagai “filsafat moral”. Untuk mengerti hal ini kita
diharuskan mengerti makna moral. Dibawah ini sedikit elaborasi upaya kita dalam
memahami makna moral. Ilustrasi berikut diambil dari Franz Magnis Suseno
(Etika Dasar: 1989), bahwa manusia dapat dinilai dari banyak segi.

Pak Iman seorang manusia yang baik, tapi tidak sebagai dosen yang baik.
Penilaian sebagai ‘seorang yang baik’ adalah penilaian terhadap manusia sebagai
“manusia”. Tolok ukur penilaian semacam ini (bahwa Pak Iman adalah seorang
yang baik) adalah pertimbangan kategori moral. Semantara untuk ‘dosen yang
baik’ bukanlah pada tolok ukur moral, tetapi skill (keahlian), sebutlah itu
profesionalisme. Jadi dengan mudah ditarik kesimpulan bahwa pertimbangan
moral artinya menimbang Pak Iman dalam ukuran ukuran manusia dan
kemanusiaan. Misalnya, manusia hendaknya jujur, adil, tidak pernah culas, tidak
korupsi, stabilitas emosi, tidak menyakiti orang tanpa sebab yang jelas. Nah,
menimbang Pak Iman sebagai dosen berada diluar ukuran – ukuran (moralitas) itu,
yaitu pada keluasan ilmu yang diajar, kemampuannya menyajikan materi
perkuliahan, kekayaan literatur, berwawasan luas dan semacamnya. Semua
mengacu pada keahlian yang menunjang pekrejaannya.

Secara katagorik dapat kita katakan bahwa Pak Iman adalah sebagai
manusia yang baik tetapi bukan dosen yang baik. Perihal Pak Iman sebagai dosen
harus jujur dan berkemampuan mengajar yang handal adalah mencampuradukkan
criteria moralitas dengan profesi dosen. Kita disyaratkan berfikir analitis dalam
menggunakan konsep dalam filsafat moral. Dari sini ruang diskusi kita mulai;
pada dasar – dasar penilaian moral itu.

1. Hedonisme
Sistem filsafat moral hedonisme ini memandang bahwa hal yang terbaik
bagi manusia adalah “hedone” atau kesenangan. Sesuatu tindakan atau apapun itu
mendapat predikat baik diukur dari seberapa jauh ia dapat memuaskan keinginan,
meningkatkan kuantitas kesenangan dan menikmatinya.

24 | Page
Terdapat dua aliran dalam filsafat moral hedonisme ini. Pertama,
dikembangkan oleh Aristipos, seorang murid Sokrates (433 – 355 SM). Aristipos
menekankan pada konstruksi kesenangan yang bersifat aktual. Bukan kesenangan
bersifat ‘opini’ yang meliputi kesenangan yang non-badani. Kesenangan non-
badani dipandang sebagai semata-mata bersifat ilusi. Kesenagan yang akan datang,
misalnya, adalah bukan kesenangan karena tidak aktual. Tidak bisa dikatakan
menunda kesenangan untuk kesenangan yang akan datang adalah sebuah
kesenangan. Artinya menunda kesengan itu sendiri bukanlah kesenangan. Akan
tetapi, bagi Aristipos, sebagaimana diajarkan gurunya Sokrates, untuk meraih
kesenangan kita harus mengendalikan kesenangan. Mengendalikan kesenangan
bukan meninggalkan kesenangan.

Kedua, aliran yang dikembangkan oleh Epikuros (341 – 270 SM).


Epikuros memperluas dimensi kesenangan, ada kesenangan non-badani selain
kesenagan badani. Perluasan dimensi kesenangan ini akan lebih jelas dilihat dari
pernyataannya yang diambil dari surat terhadap Menoikeus, “Bila kami
mempertahankan bahwa kesenangan adalah tujuannya, kami tak maksudkan
kesenangan inderawi, tapi kesenangan dari nyeri dalam tubuh kita dan kebebasan
dari keresahan dalam jiwa”. Kebebasan dari keresahan dalam jiwa dirumuskan
dalam terminologi ataraxia . Setiap kesenangan dinilai baik, persoalannya tidak
setiap kesenangan harus dimanfaatkan (meskipun ia sanggup menikmati
kesenangan itu) guna memelihara ataraxia.

Kalau hedonisme ini kita letakkan sebagai teori untuk memahami realitas,
bagaimana kita memahami orang semacam Ibu Theresa yang bersusah payah dan
menghabiskan waktunya untuk orang orang kusta? Jawabnya, Ibu Theresa juga
sedang mengejar kesenangan. Nah, aliran hedonisme-nya Epikurus lah yang bisa
menjawab ini; yang dikejar Ibu Theresa adalah kesenangan jiwa, ataraxsia tadi.
Jadi bagi system filsafat moral hedonisme, seluruh aktifitas dan kegiatan menusia
diabdikan untuk (mencari) kesenangan.

Dalam K. Bertens (Etika; 2005) diuraikan kritik terhadap sistem filsafat


hedonisme ini. Yaitu, diantaranya, menyejajarkan kesenangan dengan moralitas
yang baik. Jika tindakan cenderung diorientasikan pada kesenangan, bagaimana
kalau kesenangan orang itu melukai manusia lain ? Nah, disinilah persoalanya,

25 | Page
system filsafat hedonisme ada problem etis jika memaksakan masuk pada wilayah
etika normative (yang baik secara moral). Cukuplah hedonisme ini berhenti pada
wilayah etika deskriptif (kenyataan bahwa tingkah laku manusia dibimbing oleh
kesenangan). Kritik Bertens ini bisa jadi ada kelemahan, karena pernyataan
‘kesenangan melukai orang lain’ sangat hipotetikal. Bagi Epikurian, konsep
ataraxia dengan sendirinya akan terganggu oleh tindakan orang yang melukai
orang lain.

Kelemahan berikutnya, hedonisme berpikir bahwa sesuatu itu baik karena


disenangi. Padahal kesenangan tidak melulu diangkat dari perasaan subyektif
tanpa referensi yang obyektif. Kesenangan memang subyektif, namun berangkat
dari pantulan yang obyektif.

2. Eudomonia
Pada system filsafat hedonisme di atas, kesenangan diletakkan sebagai
tujuan manusia. Setiap tindakan, dalam hedonisme, diorientasikan untuk
memenuhi kesenangan dan mengurangi penderitaan. Persoalannya manusia bukan
jenis mahluk yang hanya terdiri dari tubuh dan jiwa. Pemuasan tubuh (hedonisme
Aristipos) dan pemuasan tubuh dan jiwa (hedonisme Epikurus) bermuara pada
dimensi kesenangan, kesenangan ini akan berbeda dengan kebahagiaan
sebagaimana dirumuskan dalam system filsafat eudomonia ini17. Karena manusia
adalah mahluk komplek, multi dimensi. Ia dilahirkan dalam pusaran pluralitas
nilai; nilai fisikal, nilai pengetahuan, nilai kebenaran, nilai social, nilai moral, nilai
estetis. Manusia baru dapat menjadi manusia utuh kalau belantara nilai tersebut
dikenalinya. Dan, justru manusia, seperti dirumuskan Aristoteles, tidak akan
menemukan kebahagiaan jika hanya melulu mengorientasikan aktifitasnya kepada
kesenangan. Ironisnnya, system filsafat Aristoteles ini berpendapat bahwa
manusia juga tak akan menemukan kebahagiaan jika hanya mengorientasikan
aktifitasnya sekedar hanya untuk mancari kebahagiaan.

17
. Untuk membantu kritik terhadap hedonisme, menarik tulisan Jiddu Krisnamurti,
misalnya dalam The Impossible Question (1997), bahwa kesenangan adalah dimensi
pengalaman, semantara kebahagiaan tidak terikat pada pengalaman.

26 | Page
Jadi bagaimana kita selayaknya mengorientasikan aktifitas hidup kita?
Yaitu mengembangkan bakat – bakat atau potensi kita sedemikian rupa !
Kebahagiaan didekati dengan cara merealisasikan potensi diri. Franz Magnis
mengilustrasikan, seorang yang mau menjadi pengukir akan bahagia dengan
patung sederhana hasil karyanya sendiri daripada patung yang jauh lebih indah
yang diperoleh dari pembelian orang tuanya. Berkarya dan berkeringat dalam
mengembangkan potensinya secara otentik adalah hal yang membahagiakan.
Salah satu kewajiban dasar manusia adalah mengembangkan diri; “manusia adalah
tugas bagi dirinya sendiri”, tulis Franz Magnis (1987;119). Meminjam Descartes,
cogito ergo sum, aku berfikir maka aku ada. Keberadaan seseorang manusia
(eksistensi) sebagai manusia hanya melalui kontribusinya terhadap noktah sekecil
apapun di belantara pluralitas nilai yang telah disebut di atas.

Namun, manusia tak dapat berkembang jika ia semata – mata hanya


mengorientasikan pada perkembangan dirinya, seperti halnya telah disebutkan di
atas bahwa manusia tak akan bahagia jika hanya mngorientasikan diri untuk
mencari kebahagiaan. Mengapa? Karena melulu pada orientasi pengembangan
diri sama dengan menghadirkan kekhawatiran akan dirinya sendiri. Kekhawatiran
inilah yang menjadi tirai penutup pengembangan diri yang otentik 18. Praktik
pengembangan diri yang diajarkan Aristoteles adalah obsesinya pada
“kemanusiaan”, pada nilai atau tugas yang dipanggulkan kepadanya. Nilai dan
tugas itu adalah tanggungjawab obyektif.

Apa itu tanggungjawab obyektif ? Ya, bukan tanggungjawab subyektif !


Bandingkan dengan system filsafat hedonisme, dalam hedonisme sesuatu yang
dipandang bernilai adalah bila sesuatu itu mendekatkan pada kesenangan. Bagi
Aristoteles kesenagan ini dibatasi pada lingkup yang “obyektif”. Yaitu beban atau
tugas kemanusiaan yang melekat dalam profesi apapun yang disandangnya. Dalam
setiap profesi19 dikandung tugas kemanusiaan. Tentu dalam kontek ini kita tak
18
. Temuan psikolog terakhir memperkuat tata fakir Aristoteles ini. Kebanyakan sakit
jiwa manusia modern yang serba berkecukupan secara materi justru disebabkan oleh
modus “to have”, periksa misalnya karya psikoanalis Erich Fromm (banyak bukunya
sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, dianataranya “To Have or To Be”
diterbitkan Gramedia ).

19
. Profesi difahami sebagai peran social yang diperoleh melalui proses pendidikan secara
khusus. “Tuntutan atas profesionalisme” merujuk pada pemahaman memperlakukan /
memainkan peran profesinya pada nilai-nilai dasar yang dituntut dalam profesi tersebut.

27 | Page
bisa menyebut pencuri dan mafia sebagai profesi (meskipun misalnya ada
pendidikan khusus untuk itu – tapi ini mustahi khan? ) , karena dibatasi pada
lingkup definisi tanggungjawab obyektif itu.

Kebahagiaan (eudaimonia), yang disebut sebagai tujuan akhir hanya dapat


diperoleh ketika manusia mampu menanggalkan egonya bersamaan dengan cara
mengembangkan diri. Pengembangan diri ini ditempuh melalui dua komponen,
yaitu intelektual dan moral.

Konsep “tujuan akhir” ini penting dalam sistem filsafat moral Aristoteles,
karena pada dasarnya setiap aktifitas manusia ditujukan pada sebuah tujuan.
Aristoteles melakukan “potong kompas” atas deretan tujuan yang bersifat
haerarkhi. Kekayaan, pangkat, status tentu bukanlah tujuan akhir. Pencarian
kekayaan adalah sebuah aktifitas untuk memperoleh tujuan yang lain, begitu pula
pangkat. Seseorang mencapai tujuan akhir dengan menjalankan fungsinya sebagai
manusia dengan baik. Komponen utama manusia adalah intelek dan moral. K.
Bertens menyebut, “tujuan pemain suling adalah main suling dengan baik”.

28 | Page
3. Utilitarian

Kita tak bisa memahami sistem filsafat utilitarian ini tanpa mengerti sistem
filsafat hedonisme. Utilis, bahasa Latin, artinya berguna. Menilai sesuatu itu baik
sejauh memberikan manfaat atau nilai guna. Persoalannya menjadi rumit
manakala, misalnya, jika saya melakukan sesuatu dengan maksud memberikan
manfaat bagi orang tapi ternyata justru sebaliknya. Apakah efek atau akibat dari

29 | Page
tindakan saya yang justru melenceng dari tujuan awal ini diluar tanggung jawab
saya ? karena toh saya bermaksud memberi manfaat.

Dari persoalan ini utilitarian membagi dua nilai guna. Pertama, berguna
bagi saya pribadi. Kedua, berguna bagi orang lain. Suatu tindakan belum tentu baik
secara moral kalau hanya diukur dari satu ukuran saja. Misalnya, (hanya) berguna
untuk saya, tidak bagi orang lain. Penilaian moral terletak pada kegunaannya bagi
orang lain. Namun, pencapaian tujuan dalam memberikan guna bagi orang lain
diluar tanggungjawab saya sebagai pelaku tindakan. Yang dinilai sacara moral
adalah maksud dari sebuah tindakan. Franz Magnis Suseno mengilustrasikan, kalau
saya pulang tengah malam sehingga secara tak sengaja membangunkan tetangga.
Kemudian, karena itu, tetangga saya sempat memadamkan api yang sedikit
menjalar hingga tak jadi kebakaran besar. Tetangga itu berterimakasih kepada
saya, padahal saya tak sengaja membangunkannya, maka dalam penilaian moral
saya tidak berjasa apa-apa.

Utilitarianisme menganjurkan penghayatan moral yang kritis dan rasional.


Tindakan “pada dirinya sendiri” tidak diperhitungkan; tidak ada hukum wajib atau
haram pada diri pelaku atas dirinya sendiri, karena nilai moral atas tindakan diukur
dari tujuan dan akibatnya sejauh diperhitungkan sebelumnya. Terhadap hubungan
sex diluar nikah, bagi penganut utilitarian tak mudah diyakinkan terhadap efek
baik buruknya. Atau, kalau saya, sebagai warga Indonesia mengaku tak percaya
pada keberadaan Tuhan; apa yang salah dengan pengakuan ini? Yang jelas salah
adalah kalau saya nyolong sendal jepit (karena jelas ada yang dirugikan! ). Jadi,
coba bandingkan melalui imajinasi Anda, mana paling besar bobrok moral atas tiga
“dosa” itu: sex diluar nikah, menyatakah tak percaya Tuhan, dan nyolong sendal
jepit !

Jadi, sistem filsafat utilitarian memberikan “energi kritis” terhadap aturan


moral. Misalnya, mengapa kebijakan negara perlu memelihara judi? Mengapa
perlu lokalisasi ? mengapa polisi memilih tindakan / diskresi pemeliharaan
ketertiban masyarakat (meskipun melanggar hukum) dari pada penegakkan
hukum? Jika kita sepakat semua jawaban itu semua bermuara pada nilai guna,
disinilah utilitarianisme mengajak ulang menyasar lebih jauh pada dimensi nilai
guna itu. Utilitarian merangsang suasana pertanggungjawaban; suatu keputusan,

30 | Page
tindakan msaih mengandung pertanyaan moral sejauh dapat
mempertanggungjawabkan akibat-akibatnya bagi semua fihak yang terkena
keputusan itu.

4. Deontologi

Terminologi deontologi berasal dari kata Yunani, deon, berarti ‘apa yang
harus dilakukan’ atau ‘kewajiban’. Sering pula dikenal dengan nama Teori
Kewajiban. Perbedaannya mendasar dengan tiga teori yang disebut didepan
sebelumnya, system etika ini (deontologi ) tidak mengukur baik tidaknya sebuah
tindakan dari hasilnya, tetapi pada maksud (niat) si pelaku. Kritik yang biasa
dilancarkan terhadap tiga teori sebelumnya adalah bahwa tiga teori itu berasifat
teleologik. Pada deontologi tidak demikian, karena, sekali lagi, ukuran baik tidak
terletak pada tujuan sebuah tindakan, tetapi pada maksud si pelaku.

Immanuel Kant (1724 – 1804) paling berpengaruh mewarnai system etika


ini. Menurutnya, apa saja yang disebut baik tergantung pada kehendak yang baik.
Sebaliknya, apa saja yang baik akan menjadi tidak baik kalau tidak didasari
kehendak yang tidak baik. Pintar dan cerdas tentu sebuah kualitas yang baik,
namun tanpa didasari kehendak yang tidak baik kepintarannya dan kecerdasannya
menjadi potensi yang membahanyakan, menjadi tidak baik.

Maka pertanyaannya ; apa yang membuat kehendak menjadi baik ?


Jawabannya sederhana; yaitu kewajiban! Kewajiban inilah yang akhirnya
memisahkan tindakan yang muncul dari kehendak yang subyektif menjadi tindakan
yang muncul dari kehendak yang obyektif, karena kewajiban selalu bersentuhan
dalam lingkup dari norma, dan nilai. Ini dapat dimengerti bahwa tingkah laku
manusia hanya diformat oleh norma yang mewajibkan itu. 20 Tindakan yang
didasarkan pada kewajiban tidak lagi ditafsir secara personal atau subyektif.
Misalnya, kalau perbuatan menolong atau membantu orang lemah hanya atas dasar
kasihan, atau sebatas watak sebagai manusia penolong, maka perbuatan ini masih
belum mempunyai nilai moral. Perbuatan ini masih netral secara moral. Perbuatan
ini baru mempunyai nilai moral kalau tindakan ini didasarkan pada kewajiban;

20
. Tentang hal ikhwal kewajiban ini Kant memilah dua macam; imperative hipotetis dan
imperative kategorik . Imperative hipotesis adalah kewajban yang menyertakan syarat. Misalnya
jika saya mau lulus ujian maka saya harus belajar keras. Imperative kategorik adalah kewajiban
tanpa tawar menawar, atau mewajibkan begitu saja. Missal, janji harus ditepati.

31 | Page
adanya kehendak bahwa menolong orang lemah adalah kewajiban. Sama halnya
kalau hati Anda terketuk (terenyuh) melihat pengemis kemudian menolongnya
atas dasar kasihan, maka menurut teori ini nilai tindakan Anda secara moral masih
nol besar.

Sebuah tindakan adalah baik hanya jika dilakukan karena ia wajib


dilakukan. Tindakan semacam itu oleh Kant disebut “legalitas”. Term legalitas ini
selanjutnya (melalui perubahan social) menjadi dimaknai sebagai ‘taat hokum’;
suatu tindakan bersifat moral jika semata-mata dilakukan karena untuk hokum dan
moral.

Kritik terhadap teori ini biasanya dialamatkan pada kekakuan (rigorous)


system nilai ini. Kalau saya menolong orang dengan alasan bahwa saya senang
berbuat baik menurut teori ini dasar tindakan saya masih didorong oleh
kecenderungan, oleh karena itu secara moral tindakan saya belum dikategorikan
baik. Andaikan saya menjawab bahwa tindakan saya itu didorong oleh kewajiban
berbuat baik, barulah tindakan tadi mempunyai bobot moral baik. Mengapa
demikian? Dugaan saya tindakan atas dasar kewajiban lebih menyita pengorbanan,
saya harus mengorbankan tindakan yang semau-saya sendiri (ada aspek “menahan
diri”); sementara pada tindakan yang mengikuti kecenderungan tidak demikian.
Oleh karena itu, menurut Kant, tindakan yang mengikuti kecenderungan
dikategorikan ketidakbebasan (hiteronom).

Bab 3
KEPUTUSAN MORAL

32 | Page
Kompetensi dasar:
Memahami makna dasar keputusan moral, hingga perbedaannya dengan
keputusan-keputusan lain.

Indikator Hasil Belajar:


1.Menjelaskan tentang keputusan moral
2. Menjelaskan teknis menimbang tindakan moral

Tentu, paling awal sebelum memasuki diskusi topik ini Anda/mahasiswa


harus sudah ‘duduk’ konsep moral. Kalau masih kabur konsep moral Anda belum
bisa memasuki topic ini. Buka kembali pertemuan-pertemuan awal.

Apa itu Keputusan Moral ?


Keputusan moral haruslah menyangkut persentuhannya dengan aspek
tindakan social. Pengertian ‘tindakan sosial’ mengacu pada memberikan
implikasi/efek pada manusia lain diluar diri kita, yang melakukan tindakan. Tetapi
proposisi semacam ini masih rumit, Anda bisa membantahnya! Perhatikan ilustrasi
berikut . Kalau saya lebih menyukai makan tempe dari pada rendang, selera saya
ini tentu amoral. Tindakan pilihan saya ini tidak bisa dinilai secara moral. Tak
seorangpun bisa menilai bahwa selera saya ini mempunya bobot moral atau tidak.
Selera tidak berhubungan dengan moral, karena sangat personal.
Tetapi, tunggu. Jangan ditarik kesimpulan dulu! Kalau saya dimintai
pertimbangan mana yang lebih cantik antara istri saya dengan Britney Spears, artis
Amerika itu, terus terang saya rikuh menjawabnya: antara memilih jujur atau
tidak. Salah-salah menjawab bisa-bisa berabe. (tak perlu dilanjutkan soal ini,
mudah-mudahan istri saya tak membaca bahan kuliah ini!). Nah, yang perlu
dicermati selera dalam konteks ini ada unsur (penilaian) moral. Iyalah, nilai-nilai
dalam masyarakat dan kebudayaanya memaksa saya utuk bilang bahwa istri
(harus) lebih cantik dari siapapun.
Keputusan yang tidak ada/menyangkut orang lain memang tidak ada
hubungannya dengan moral. Jadi, keputusna saya memilih membeli tempe
ketimbang rendang tidak ada hubungannya dengan topic kita! Tetapi, seberapa

33 | Page
kuat memang sebuah keputusan –bahkan itu hanya menyangkut selera— steril dari
implikasi terhadap orang lain? Pilihan saya terhadap tempe pada derajat teertentu
mempunyai implikasi terhadap orang lain, barangkali selera saya ini akan membuat
merengut penjual rendang dan sumringah bagi penjual tempe. Anda tentu mudah
memberi penilaian merengutnya orang penjual rending itu diluar tanggungjawab
moral saya! Tentu, secara moral pula saya bisa berujar EGP-lah (emang gue
pikirin).
Kalau mau diambil kesimpulan, keputusasn saya membeli tempe tidak ada
hubungannya dengan tindakan moral. Tidak bisa dinilai secara moral. Nah,
disinilah persoalannya. Proposisi definitive di atas tentang ‘tidak ada implikasi
apapun teerhaddap orang lain’ melalui ilustrasi logika ini ditabrak! Tetapi definsi
itu tidak pula salah, bahwa keputusan moral adalah menyangkut pada tindakan
social dan memberikan implikasi pada manusia lain di luar diri kita yang
melakukan tindakan. Coba perhatikan berikut ini. Jika keputusan saya membeli
tempe itu karena dibimbing oleh nilai-nilai primordial atas kebencian etnis
pedagang rending nih ini lain. Tidak usah bingung, tindakan saya ini tidak
memenuhi cara berfikir kriteria penilaian moral yang disinggung di atas, disini
khan tinddakan saya bikan dibimbing oleh selera tetapi oleh kebencian atas suku
atau etnis tertentu.

Menimbang Tindakan Moral


Ada dimensi lain yang perlu dipertimbangan dalam (prasyarat) tindakan itu
mempunyai kerangka moral atau tidak. Ilustrasi di bawah ini akan mendiskusikan
ikhwal itu. Begini kisahnya.
Konon, pada tahun 1993 di Saskatchewan, Kanada tersebutlah sebuah
kisah, Tracy namanya. Tracy ini, menurut cerita sejak usia 3 tahun menderita
lumpuh otak. Ia hidup dalam penderitaan tiada akhir, sebelum meninggal padda
usia 13 tahun. Seluruh organnya normal, bernafas dan makan seperti mahluk hidup
pada umunya, ya kecuali pada bagian kepala itu tadi. Pada saat-saat tertentu yang
tidak diketahui sebabnya ia mengerang kesakitan luar biasa. Kedua orang tua yang
sangat menyayangi hanya bisa mononton tanpa bisa kuasa memberi pertolongan
apapun.

34 | Page
Robert Latimer dan Nyonya Latimer, kedua orang tuanya cuma bisa
bergumam, “Tracy dilahirkan hanya untuk merasakan kesakiatan” . Menjelang
ulang tahunnya yang kelima, yang berarti sepanjang usia itu pula Tracy hidup
dalam keskitan, muncul gagasan dari kedua orang tuanya untuk segera
mengakhiri rasa sakitnya. Tiada jalan lain, mengusir kesakaitan ini dengan cara
membunnya. Disiapkanlah rencana pembunuhan atas Tracy. Keputusan membunuh
Tracy berangkat dari kasih sayang orang tua yang sangat mendalam. Menyayangi
berarti menjauhkan dari penderitaan.
Nuraninya bergolak dalam menimbang untuk mengambil keputusna atas
rencana pembunuhan itu. Pergolakan ini merupakan pertempuran antara kasih
sayang, rasionalitas, dan belitan norma hokum legal formal. Apakah pembunuhaan
atas kasih sayang bisa dibenarkan? Kalau iya, siapakah yang membenarkan ?
Hokum legal formal tak mengenal apa yang terjadi pada pergolakan di dalam dada
dua orang tua ini: betapa rasa kasih sayangnya luar biasa. Hokum legal formal
hanya sebuah teks yang mengatakan bahwa pembunuhan adalah tindakan
melanggar hokum. Titik. Berarti harga melepas penderitaan Tracy harus dibayar
dengan penjara. Tidak cukup hukuman penjara, masih ada derifasi atas
tindakannya, yaitu hokum social. Hal lain yang bergolak di kepala dua orang tua
ini, apakah betul Tracy menderita sedemikian berat, bukan sekedar dugaanya
saja ? Mengapa pula mengukur cara hidup orang lain – meskipun itu anaknya
sendiri -- dengan ukuran-ukuran dirinya ? Ya, mungkin jawabnya rasa empati
yang mendalam, tetapi menjadi sejahat itukah sebuah empati? Nah, pertanyaan
terakhir ini membingungkan, utamanya pada konsep “jahat”. Konsep ini tentu
masih harus diletakan sebagai hipotesis karena bukankah ruang pertempuran moral
ini sedang menelusuri posisi ‘jahat’ atau tidaknya sebuah tindakan. Pada sisi lain
kesimpulan kedua orang tua Tracy tentang penderitaan itu pun masih jauh dari
akurat; apakah betul penderitaan Tracy tak akan pernah berakhir? Jangan-jangan
masih ada keajaiban masih ada harapan sembuh. Atau, berarti jangan-jangan
keputusan pembunuhan ini terlalu dini ? Lantas, apakah pertimbangan ‘kedinian’
semacam ini menjadi absyah secara moral ? Satu pertanyaan lagi: apakah rencana
pembunuhan itu bukan sekedar ego kedua orang tua Tracy yang ada dasarnya
emoh menerima beban mengurus manusia cacat ?
Pergolakan pertimbmangan untuk membunuh Tracy ini buntu. Rencana
pembunuhan pada ulang tahunya yang ke lima tidak jadi dilakukan! Tetapi apakah
35 | Page
berarti kedua orang tua ini memenangkan pertempuran dalam dilema moral itu ?
Alih-alih, yang menghantui setelah itu adalah munculnya sebuah pertanyaan:
masih tegakah terus menerus ‘membiarkan’ Tracy menderita berkepanjangan ?
Sebetulnya, pertanyaan semacam ini kembali pada pertanyaan awal sebelum
munculnya pertanyaan-pertanyaan yang lain. Meskipun demikian pertanyaan ini
mempunyai kualitas melebihi dari pertanyaan awal karena justru telah melampaui
timbangan atas pertanyaan-pertanyaan lain. Pertanyaan semacam ini sirkular:
tidak akan muncul kembali kalau tidak terlebih dahulu melampaui pergulatan
sejumlah pertanyaan sebelumnya.
***
Ulang tahun Tracy dirayakan secara normal, tidak ada kejutan apapun.
Begitu pula pada tahunnya yang ke-6. Setahun kemudian, pada tahun ke-9,
pergolakan pertimmbangan moral tentang rencana pembunuhan itu muncul
kembali secara kencang untuk segera direalisasikan. Sejumlah pertanyaan yang
sama seperti di atas kembali membuncah. Tetapi tahun ke-9 ini aman. Tahun ke-10
aman. Begitupun tahun berikutnya, hingga memasuki tahun ke-12, tepatnya pada
tahun 1993 pergolakan itu muncul dengan kencang. Tentu, sejumlah pertanyaan di
atas kembali mewarnai petermpuran ini. Gawang pertahanan Robert Letimer
bobol. Konon, pada hari minggu ketika Nyonya Latimer dan anak-anak lain pergi
ke gereja, Robert meletakkan Tracy di tempat duduk truk pick up-nya kemudian
menyalurkan asap mobil ke dalamnya. Tracy sesak napas, lemas, dan kemudian
meninggal.
***
Dalam sidang, Robert dituntut 25 tahun, kena tuntutan pasal pembunuhan
berencana. Hakim mempunyai pertimbangan lain, tidak mau keras. Dalam rapat
sejumlah hakim itu, tuntutan 25 ditolak. Hakim hanya menjatuhkan hukuman satu
tahun penjara.
Tetapi ini belum selesai, singkat cerita Mahkamah Agung Kanada ikut
campur, hingga tuntutan awal dikembalikan: Robert Latimer akhirnya diputus
mendapat ganjaran hukuman 25 tahun penjara… (belum selesai)

36 | Page
Bab 4
HUBUNGAN ETIKA DAN PROFESI KEPOLISIAN

Kompetensi dasar:
Memahami hubungan etika dengan profesi kepolisian

Indikator Hasil Belajar:


1. Menjelaskan
2. Menjelaskan peranan etika dalam tugas-tugas kepolisian

1. Pengertian

a. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia yang baru (Departemen Pendidikan


dan Kebudayaan 1988 ) dijelaskan etika mempunyai tiga arti:

1) Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan
kewajiban moral (ahlak).

2) Kumpulan azas atau nilai yang berkenaan dengan ahlak.

3) Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau
masyarakat

b. Menurut K. Bertens dalam bukunya "Etika" menyatakan juga cenderung


untuk membedakan tiga arti mengenai kata etika itu dengan urutan terbalik
dan dipertajam :

1) Nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi


seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
Secara singkat arti ini bisa dirumuskan juga sebagai "Sistem Nilai".

2) Kumpulan azas atau nilai moral, yang dimaksud disini adalah kode
etik.

3) Ilmu tentang apa yang baik atau buruk. Etika baru menjadi i1mu,
bilamana kemungkinan-kemungkinan etis (azas-azas dan nilai-nilai
tentang yang dianggap baik dan buruk) yang begitu saja diterinia dalam
suatu masyarakat seringkali tanpa disadari menjadi bahan refleksi bagi
suatu penelitian sistimatis dan metodis. Etika disini sama artinya
dengan filsafat moral.

c. Jenderal Polisi (Purn) Kunarto dalam bukunya Tri Brata dan Catur Prasatya
menyatakan :

37 | Page
1) Berbicara tentang etika Polri perlu dipahami tentang pengertian etika:
Ilmu dan pengetahuan tentang perilaku manusia yang terkait dengan
norma, nilai-nilai atau ukuran buruk baiknya yang berlaku pada
masyarakat.

2) Etika yang dikaitkan dengan Kepolisian melahirkan etika Kepolisian :


Norma tentang perilaku Polisi untuk dijadikan pedoman dalam
mewujudkan pelaksanaan tugas yang baik bagi penegakan hukum,
ketertiban umum dan keamanan masyarakat.

3) Etika Kepolisian yang diproyeksikan kepada Kepolisian Negara


Republik Indonesia melahirkan etika Polri : Perilaku etis setiap anggota
Polri dalam semua bentuk penugasan, agar semua tugas dapat
dilaksanakan secara baik sehingga terwujud kondisi rasa aman serta
tertib dengan derajat tinggi di lingkungan masyarakat Indonesia.

Selanjutnya beliau juga memberikan pengertian tentang kode etik


adalah kumpulan inti-inti etika.

d. Dalam pembahasan selanjutnya digunakan pengertian Etika Polri adalah :

1). Nilai dan norma moral yang dijadikan pedoman mengatur tingkah laku
etis anggota Polri dalam bentuk penugasan, agar semua tugas-tugas
dapat dilaksanakan secara baik sehingga tercapai tujuan Polri (dalam
pengertian ini sudah termasuk kode etik profesi Polri)

2). Sebagai etika yang diterapkan di lingkungan Polri merupakan cabang


dari ilmu etika atau filsafat moral yang diterapkan di lingkungan Polri.

2. Peranan Etika Polri dalam pelaksanaan tugas Polri untuk mewujudkan tujuan
Polri.

a. Polri dibentuk untuk mengemban fungsi Kepolisian yang merupakan salah


satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan
ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan
pelayanan kepada masyarakat.

Adapun tujuan Polri adalah untuk mewujudkan keamanan dalam negeri


yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib
dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan
pelayanan masyarakat serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan
menjunjung tinggi hak asasi manusia. Sejalan dengan itu Polri diberikan
tugas pokok :

1) Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat.

2) Menegakkan hukum dan ;

38 | Page
3) Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat.

b. Keberhasilan pelaksanaan fungsi dan tugas yang diemban Polri untuk


mencapai tujuan yang ditetapkan tersebut tergantung dari sumber daya
yang ada yaitu sumber daya manusia dan sumber daya lain sebagai
pendukung seperti anggaran, dukungan sarana alai peralatan dan
sebagainya.

Kalau di dalami secara teliti dan mendalam sumber yang paling dominan
yang menentukan keberhasilan pelaksanaan tugas Polri adalah sumber daya
manusia, sedangkan sumber daya yang lain adalah sumber daya
pendukung.

Faktor sumber daya manusia yang paling menentukan dalam keberhasilan


pelaksanaan tugas adalah kualitas sumber daya manusia yang ada, yang
tercermin pada kadar profesionalisme sumber daya manusia yang ada, yang
ditentukan oleh penguasaan keahlian dan penghayatan nilai-nilai / norma-
norma moral yang diwujudkan dalam tingkah laku yang etis anggota Polri.

Penguasaan keahlian dan penghayatan norma-norma / nilai-nilai etika


sama-sama menentukan sejauh mana kadar profesionalisme yang terepleksi
dalam tingkah laku etis anggota Polri, tetapi dalam hal ini harus digaris
bawahi bahwa etika Polri adalah landasan/dasar untuk menanam,
menumbuh kembangkan profesional Polri yang semakin menjadi tuntutan
masyarakat.

c. Citra Polri

Implementasi etika Polri dalam wujud tingkah laku etis Polri dalam
penegakan hukum, memelihara Kamtibmas, mengayomi, melindungi dan
melayani masyarakat akan menentukan citra Polri. Kadar citra Polri ini
utamanya ditentukan oleh :

1) Sikap perilaku anggota Polri di lapangan yang langsung melindungi,


mengayomi dan melayani masyarakat dalam gakkum dan memelihara
kamtibmas. Mereka yang mengemban tugas di lapangan / digaris depan
inilah pada hakekatnya menentukan mutu dari hasil / produk Polri itu.
Wujud tindakan etis tindakan Polri di lapangan yang konkrit, langsung
dan menyentuh hati masyarakat yang paling dalam, inilah yang akan
menentukan sejauh mana kepercayaan dan kecintaan masyarakat
terhadap Polri.

2) Pimpinan Polri karena dia yang mengambil keputusan yang berdampak


luas terhadap anggota dan kesatuan yang di pimpinnya, dan tingkah
lakunya akan dijadikan tauladan bawahannya.

3. Untuk apa anggota Polri mempelajari etika profesi Polri

39 | Page
Dengan menyadari pentingnya peranan etika Polri dalam mengemban dan
mensukseskan pelaksanaan tugas selaku anggota Polri, maka manfaat
mempelajari etika profesi Polri bagi anggota Polri adalah :

a. Meningkatkan pemahaman dan penghayatan etika Polri adalah dasar untuk


menanam, menumbuh kembangkan profesional Polri yang semakin
menjadi tuntutan masyarakat.

b. Membantu meningkatkan kesadaran moral dan menjadi siap untuk


mengambil keputusan yang etis : yang tepat dan berbobot dalam
pengabdiannya selaku anggota Polri.

c. Meningkatkan pemahaman dan penghayatan etika profesi sebagai pedoman


moral yang berfungsi sebagai pengawas dan pengendali tingkah laku
sebagai anggota Polri dalam pengabdiannya kepada negara dan bangsa
Indonesia.

d. Bagi perwira Polri dituntut memahami dan menghayati etika Polri secara
mendalam karena :

1) Perwira harus memegang teguh kesetiaan dan ketaatan.

2) Perwira adalah Peminipin yang menjadi suri tauladan dan panutan dari
bawahannya.

3) Keputusan-keputusan dari Perwira selaku pemimpin mempunyai


dampak yang luas dan mendalam, menyangkut kehormatan dan
martabat serta kelangsungan kesatuan yang dipinipinnya.

4) Sebagai perwira dituntut keberanian untuk bertanggung jawab atas


semua tindakan dan akibat tindakan dari bawahannya.

40 | Page
Bab 5

LANDASAN PELAKSANAAN TUGAS POLRI

Kompetensi dasar:
Memahami landansan pelaksanaan tugas-tugas kepolisian

Indikator Hasil Belajar:


1.Menjelaskan landasan yuridis dalam pelaksanaan tugas kepolisian
2.Menjelaskan landasan kebijakan dalam pelaksanaan tugas kepolisian

1. LANDASAN YURIDIS

a. Sebenarnya banyak peraturan perundang-undangan yang merupakan


landasan yuridis yang berkaitan dengan tugas dan wewenang Polri,
diantaranya Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Polri, Undang-
undang No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Undang-
undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan berbagai
peraturan perundang-undangan lainnya, yang memberikan landasan hukum
menyangkut tugas dan wewenang Polri. Undang-undang tersebut sarat
dengan nilai-nilai moral yang seharusnya dipedomani dan dijadikan
landasan oleh anggota Polri dalam melaksanakan pengabdiaannya kepada
negara dan bangsa.

b. Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Polri

Hal-hal yang penting yang dinivat oleh Undang-undang No. 2 tahun 2002
yang erat kaitannya dengan nilai-nilai moral Polri antara lain

1) Kemandirian dalam pelaksanaan tugas-tugas Pro Yustisia

a) Dari aspek Pro Yustisia, kewenangan Polri dan tata cara,


pelaksanaannya bersumber dari hukum ; bukan dari sumber
kekuasaan dan pelaksanaan kewenangan tersebut dipertanggung
jawabkan pula kepada hukum yang dibuat oleh rakyat melalui
perwakilannya di DPR.

b) Kewenangan Pro Yustisia tersebut fungsional terlepas dari hirarkhi


birokrasi, baik birokrasi intern Polri maupun dalam rangka
penyelenggaraan pemerintah negara. Artinya pejabat Polri sebagai
penegak hukum diberi otonomi kewenangan penegakkan hukum
bebas dari intervensi atasan maupun intervensi dari luar institusi.

41 | Page
2) Lebih mengedepankan fungsi pelayanan dan perlindungan yang
merupakan orientasi dari Polisi negara-negara modern.

3) Polri termasuk pada sistem peradilan umum, dengan demikian


pengawasan kinerja institusi dan anggota Polri dilakukan oleh sistem
kontrol sosial yaitu pengawasan langsung dari rakyat dan Polri
mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum dengan masyarakat.

4) Ingin diwujudkan Polri yang berwajah sipil, mandiri, profesional dan


modern, bersih dan taat pada asas hukum yang menjadi landasan hukum
kewenangannya, didukung dan diawasi oleh suatu Lembaga
Independen yang terbebas dari berbagai kepentingan.

Pelaku Komisi Kepolisian Nasional yang mempunyai wewenang


memberi pertimbangan pengangkatan dan pemberhentian Kapolri,
sehingga Kapolri tidak dijadikan alat kepentingan Presiden.

5) Asas pelaksanaan tugas Polri

a) Asas Legalitas

b) Asas Kewajiban

c) Asas Partisipasi

d) Asas Preventip

e) Asas Subsidiaritas

6) Untuk diangkat menjadi anggota Polri seorang calon harus memenuhi


syarat-syarat antara lain :

a) Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

b) Setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Undang-


Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tabun 1945.

c) Berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela.

7) Calon anggota yang telah berhasil lulus pendidikan pembentukan wajib


mengucapkan sumpah atau janji,menurut agama dan kepercayaannya
itu. Sumpah atau janji ini merupakan komitmen bathiniah anggota Polri
terhadap profesinya yang ditandai dengan :

a) Kesetiaan dan ketaatan sepenuhnya kepada Pancasila dan UUD


Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Tri Brata dan Catur
Prasetya dan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta
pemerintah yang sah.

42 | Page
b) Ketaatan kepada segala peraturan pemndang-undangan yang
berlaku.

c) Pelaksanaan tugas dengan penuh pengabdian kesadaran dan


tanggung jawab.

d) Menjunjung tinggi kehormatan negara, pemerintah dan martabat


anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.

e) Mengutamakan kepentingan masyarakat, bangsa dan negara daripada


kepentingan sendiri dan golongan.

f) Memegang teguh rahasia jabatan.

g) Berperilaku jujur, tertib, cermat dan semangat untuk kepentingan


Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

h) Tidak terikat pada suatu pemberian berupa hadiah dan atau janji-
janji langsung maupun tidak langsung yang ada kaitannya dengan
pekerjaan/ jabatan.

8) Harus bersifat netral.

9) Memberi landasan hukum adanya etika profesi Polri, dimana semua


anggota Polri terikat pada kode etik profesi Polri tersebut.

10) Bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama,


kesopanan, kesusilaan serta menjunjung tinggi HAM.

c. Undang-undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana:

Dalam pelaksanaan tugas, anggota Polri wajib memperhatikan asas-asas


yang terdapat dalam KUHAP antara lain:

1) Praduga tak bersalah (Presumtion of Innocence).

2) Persamaan dimuka hukum (Equality Before The Law).

3) Hak pemberian bantuan/penasehat hukum (Legal Aid/Assistance).

4) Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya


ringan serta bebas, jujur, dan tidak memihak.

5) Penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan hanya


dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi
wewenang oleh UU dan hanya dalam hal dengan cara yang diatur
dengan undang-undang.

6) Kepada seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili tanpa


alasan yang berdasarkan Undang-undang dan/atau, karena

43 | Page
kekeliruannya mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan diberi
ganti rugi dan direhabilitasi dari para pejabat penegak hukum yang
dengan sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkan asas hukum
tersebut dilanggar, dituntut pidana dan / atau dikenakan hukuman
administrasi.

d. Hak Asasi Manusia :

1) Bahwa HAM merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada
diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus
dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan,
dikurangi atau dirampas oleh siapapun.

2) Bahwa selain hak asasi manusia juga mempunyai kewajiban dasar


antara manusia yang satu terhadap yang lain dan terhadap masyarakat
secara keseluruhan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
benegara.

3) Tugas Polri sebagai penegak hukum, memelihara Kamtibmas,


pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat pada hakekatnya adalah
tugas untuk menegakkan HAM, karena itu anggota Polri selama
pelaksanaan tugasnya wajib untuk menghormati dan menjunjung tinggi
HAM.

4) Dalam undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia


mempunyai pasal-pasal yang erat kaitannya dengan nilai-nilai moral
anggota Polri dalam pelaksanaan tugasnya antara lain:

a) Pasal3 ayat (2)

Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan


perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan
perlakuan yang sama di depan hukum.

b) Pasal 3 ayat (3)

Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan


kebebasan dasar manusia tanpa diskriminasi.

c) Pasal 4

Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi,
pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak,
hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan didepan hukum,
dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun dan oleh siapapun

44 | Page
d) Pasal 5 ayat (1)

Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut


dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai
dengan martabat kemanuasiannya di depan hukum.

e) Pasal 8

Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi


manusia terutama menjadi tanggung jawab pemerintah.

f) Pasal 9 ayat (2)

Setiap orang berhak hidup tentram, aman, damai, bahagia, sejahtera


lahir dan bathin .

g) Pasal 18 ayat (1)

Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut, karena disangka


melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah,
sarnpai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang
pengadilan dan diberikan jaminan hukum yang diperlukan untuk
pembelanya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

h) Pasal 18 ayat (3)

Setiap ada perubahan dalam peraturan perundang-undangan, maka


berlaku ketentuan yang paling menguntungkan bagi tersangka.

i) Pasal 18 ayat (4)

Setiap orang yang diperiksa berhak mendapatkan bantuan hukum


sejak saat pengadilan sarnpai adanya putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.

j) Pasal 18 ayat (5)

Setiap orang tidak dituntut untuk keduanya dalam perkara yang


sama atas suatu perbuatan yang telah memperoleh kekuasaan
hukum tetap.

k) Pasal 29 ayat (1)

Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,


kehormatan, martabat dan hak miliknya.

1) Pasal 30

45 | Page
Setiap orang berhak atas rasa aman dan tentram serta perlindungan
terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu.

m) Pasal 33 ayat (1)

Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman


atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat
dan martabat kemanusiaannya.

n) Pasal 34

Setiap orang tidak boleh ditangkap, ditahan, disiksa, dikucilkan,


diasingkan, atau dibuang secara sewenang-wenang.

2. LANDASAN KEBIJAKAN

a. Cita-cita Nasional

Dalam pembukaan UUD 1945 dinyatakan bahwa : Kemudian daripada itu


untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
serta menjaga ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial, maka.....

b. Negara Republik Indonesia adalah negara demokrasi yang berdasarkan


hukum terdapat dalam :

1) Pasal 1 ayat (2) UUD Tahun 1945 : Kedaulatan berada di tangan rakyat
dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar.

2) Pasal 1 ayat (3) DUD Tahun 1945 : Negara Indonesia adalah Negara
Hukum.

c. Fungsi dan tugas Polri :

Dalam Undang-undang No.2 Tahun 2002 tentang Polri dinyatakan :

1) Fungsi Polri pada pasal 2 :

Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi Pemerintahan Negara


dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat,
penegakkan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada
masyarakat.

46 | Page
2) Pasal 13 tugas pokok Polri adalah :

a) Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat

b) Menegakkan hukum.

c) Memberi perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada


masyarakat.

3) Pasal 41 ayat (3) :

Kepolisian Negara Republik Indonesia membantu secara aktif tugas


pemeliharaan perdamaian dunia dibawah bendera PBB.

d. Dari fungsi dan tugas pokok Polri,maka jelaslah bahwa :

1) Dikaitkan dengan cita-cita Nasional, maka fungsi dan tugas Polri


berkaitan dengan : Melindungi segenap bangsa Indonesia dan
membantu melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

2) Polri adalah pilar utama dari Negara Indonesia yang merupakan negara
demokratis dengan berdasarkan hukum.

e. Sebagai konsekwensi logis dari hubungan fungsi dan tugas Polri dengan
cita-cita Nasional dan Indonesia adalah negara demokratis yang
berdasarkan hukum, maka mutlak harus dibangun Polri yang kuat, mandiri
dan profesional. Pembangunan Polri yang kuat, mandiri dan
profesional bukanlah untuk kepentingan Polri, tetapi adalah suatu
keniscayaan untuk mencapai cita-cita Nasional dan terwujudnya
Negara Indonesia sebagai negara demokratis yang berdasarkan hukum.

Karena itu, maka semua kebijakan yang menyangkut Polri yang


dikeluarkan haruslah mengarah kepada terwujudnya Polri yang kuat,
mandiri dan profesional untuk mewujudkan tegaknya hukum, adanya
stabilitas Kamtibmas dalam Negara Republik Indonesia sebagai negara
demokratis yang berdasarkan hukum.

f. Institusi yang berkaitan dengan kebijakan yang menyangkut pelaksanaan


tugas Polri adalah :

1) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai institusi yang:

a) Membuat Undang-undang yang menjadi landasan tugas wewenang


Polri dan membuat Undang-undang yang akan ditegakkan oleh
Polri.

b) Membuat Undang-undang APBN.

47 | Page
c) Memberi persetujuan atas calon Kapolri oleh Presiden.

2) Presiden / Pemerintah Republik Indonesia yang :

a) Mengeluarkan kebijakan yang menyangkut Polri. Apakah kebijakan


tersebut telah menjamin arah terwujudnya pembangunan Polri yang
kuat, mandiri dan profesional.

b) Membahas Undang-undang bersama-sama DPR dan mengeluarkan


Peraturan Pemerintah yang berkaitan dengan Polri, sehingga aturan-
aturan tersebut satu sama lain menjamin adanya keterpaduan,
koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan simplifikasi. Dengan adanya
peraturan tersebut menjamin adanya pengaturan tugas, batas
kewenangan dan tanggung jawab dari Polri yang jelas dengan
instansi terkait, sehingga dihasilkan kinetja Polri yang optimal.

c) Penentuan calon Kapolri dan mengangkat Kapolri sesudah disetujui


DPR adalah betul-betul pilihan yang terbaik dari calon-calon yang
baik yang tersedia. Karena Polri sebagai organisasi yang besar
dengan bentangan wilayah hukum yang luas serta mengemban tugas
yang penting dibidang penegakkan hukum dan Kamtibmas sebagai
pilar utama dari sebuah negara demokratis yang berdasarkan hukum
membutuhkan adanya Pimpinan Polri yang memiliki kepemimpinan
yang tangguh.

3) Komisi Kepolisian Nasional :

Harus mampu mengajukan saran-saran yang baik dan serta mempunyai


wawasan kedepan kepada Presiden, sehingga dapat disusun atau
dikeluarkan kebijakan Presiden yang tepat menyangkut Polri. Juga
Komisi Kepolisian Nasional harus mampu mengajukan calon-calon
yang secara objektif betul-betul merupakan calon-calon Kapolri yang
terbaik yang dimiliki Polri.

4) Kapolri :

a) Menetapkan, menyelenggarakan dan mengendalikan kebijakan

tehnis Kepolisian serta melaksanakan tugas dan tanggung jawab


akan penyelenggaraan kegiatan operasional kepolisian dan
penyelenggaraan pembinaan kemampuan Polri.

b) Melaksanakan hubungan kerjasama Polri dengan badan, lembaga


serta instansi di dalam dan di luar negeri didasarkan atas sendi-sendi
hubungan fungsional saling menghormati, saling membantu,
mengutamakan kepentingan umum serta memperhatikan hirarkhi.

48 | Page
c) Berdasarkan pasal 34 ayat (3) Undang-undang No.2 Tahun 2002,
Kapolri mengatur tentang ketentuan-ketentuan mengenai kode etik
profesi Polri dengan keputusan Kapolri.

Kode etik profesi yang ditetapkan Kapolri merupakan norma


moral profesi yang merupakan landasan profesionalisme
Polri.

5) Kepala-Kepala Kesatuan Polri :

a) Menentukan kebijakan kesatuan yang ditetapkan berdasarkan


SWOT / kondisi awal, kebijakan atasan secara keseluruhan,
kebijakan instansi dan satuan samping agar semua dapat menunjang
dan tidak bertabrakan.

b) Melaksanakan serta mengendalikan iniplementasi kebijakan di


lapangan dan pelaksanaan "kebijakan pembinaan anggota antara
lain menyangkut tentang nilai-nilai / norma-norma etika profesi,
yang pembinaanya merupakan fungsi komando.

49 | Page
Bab 5
SITUASI DAN KONDISI YANG DIHADAPI POLRI

Kompetensi dasar:
Memahami situasi dan kondisi yang dihadapi kepolisian

Indikator Hasil Belajar:


1.Menjelaskan gangguan Kamtibmas dan kecenderungan perkembangnnya.
2. Menjelaskan yang dihadapi Polri dalam menegakkan hokum
3. Menjelaskan Masalah-masalah yang dihadapi Polri di lapangan

1. Trend Gangguan Kamtibmas

a. Kita berada pada lingkungan yang selalu berubah secara cepat. Perubahan-
perubahan itu ada yang membawa kearah yang mempersatukan, tetapi ada
yang mendatangkan konflik tata nilai. Perubahan-perubahan tersebut
apabila tidak mampu dikendalikan dengan baik, akan mengakibatkan
diorganisasi sosial bahkan disintegrasi sosial.

Kemajuan teknologi, kemajuan transportasi dan komunikasi telah


mendorong perpindahan manusia dan barang dari satu tempat ke tempat
lain / mobilitas manusia dan barang secara cepat, mendorong arus
pertukaran informasi secara cepat, dunia terasa semakin sempit dan seolah-
olah tidak mengenal batas-batas negara. Fator-faktor ini telah merupakan
faktor-faktor korelatip timbulnya kejahatan yang tidak lagi berskala lokal /
nasional, tetapi telah menjadi kejahatan antar negara Trans National Crime
antara lain : cyber crime, terrorisme, narkoba, uang palsu, penyelundupan,
pencucian uang, hak cipta, kejahatan di bidang perbankan, kejahatan
ekonomi.

b. Disamping FKK yang bersifat global tersebut di dalam negeri, beberapa


faktor korelatip kriminogen yang menonjol antara. lain : pertumbuhan
penduduk yang tinggi, kesenjangan antara yang punya dan yang tidak
punya, lapangan kerja yang sangat terbatas/penggangguran yang tinggi,
kesadaran hukum yang masih rendah, FKK ini telah berpengaruh terhadap
berbagai kejahatan / ancaman faktual antara lain : gangguan keamanan,
kekerasan massal, korupsi ( Indonesia salah satu Negara yang tertinggi
korupsinya di dunia ), terrorisme, kejahatan dengan kekerasan, kejahatan
perbankan, narkoba, uang palsu, kemaksiatan, cyber crime, premanisme,
penyelundupan, pelanggaran hak cipta, kejahatan ekonomi, dan sebagainya

50 | Page
c. Pelaku kejahatan telah melibatkan baik warga negara Indonesia maupun
orang asing, melibatkan sindikat internasional, melibatkan mulai dari
masyarakat awam” sampai dengan pejabat tinggi negara dan pengusaha,
mulai pengusaha dengan kredit inventasi kecil sampai dengan konglomerat,
melibatkan oknum TNI / Polri, oknum BUMN dan oknum-oknum instansi
pemerintah termasuk oknum-oknum instansi Departemen Agama, P & K
dan oknum-oknum aparat penegak hukum, baik jaksa maupun hakim
bahkan melibatkan institusi yang independen, yang anggota-anggotanya
dipilih dan memiliki reputasi yang tidak diragukan lagi, seperti KPU.

d. Berkaitan dengan trend kejahatan tersebut yang berkembang secara pesat


tidak hanya bersifat nasional tetapi telah bersifat internasional, maka dalam
penanggulangannya membutuhkan kerjasama antar negara di dunia,
sedangkan untuk penanggulangan kejahatan di dalam negeri harus
dilakukan koordinasi, kerjasama dan keterpaduan antar seluruh instansi dan
dengan melibatkan dukungan/partisipasi seluruh lapisan masyarakat.
Penanggulangan kejahatan tidak hanya tanggung jawab Polri atau aparat
penegak hukum saja, tetapi tanggung jawab bersama seluruh instansi
pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat.

e. Trend kejahatan yang meningkat tersebut bagi anggota Polri dihadapkan


kepada tantangan yang semakin meningkat. Belum selesai satu kasus,
sudah timbul kasus-kasus lainnya yang semuanya menuntut diselesaikan
secara cepat sesuai tuntutan masyarakat, sehingga secara potensial dapat
berpengaruh negatif terhadap kejiwaan anggota yang bersangkutan. Semua
itu menuntut anggota Polri pada umumnya mampu bekerja keras, memiliki
semangat tinggi, memiliki karakter dan semangat pantang menyerah
senantiasa menambah dan mengembangkan ilmu pengetahuan serta
ketrampilannya dalam pengabdiannya kepada negara dan bangsa.

2. Demokrasi

a. Negara Indonesia adalah negara demokratis dimana kedaulatan berada di


tangan rakyat, sebagaimana tercantum pada pasal 1 ayat (2) UUD 1945.
Sesuai kedaulatan rakyat, maka wewenang untuk memerintah masyarakat
harus berdasarkan penugasan dan persetujuan para warga masyarakat
sendiri. Kedaulatan rakyat berdasarkan hak setiap orang untuk menentukan
dirinya sendiri dan turut serta dalam proses pengambilan keputusan yang
menyangkut seluruh masyarakat. Pemerintahan negara harus tetap dibawah
kontrol masyarakat.

Ciri-ciri suatu negara demokratis :

1) Adanya pembagian kekuasaan, pemerintah yang dipilih secara


demokratis dan bertanggung jawab kepada rakyat.

51 | Page
2) Pemerintahan berdasarkan atas hukum, keberadaan dan
penghormatannya kepada Rule Of law.

3) Penghormatan kepada hak-hak asasi manusia.

b. Kalau dicermati ciri-ciri suatu negara demokratis, maka tugas polisi


berkaitan, erat dengan ciri-ciri tersebut.

1) Mengamankan agar pemilihan secara demokratis yang mewakili rakyat


sebagai pemegang kedaulatan dapat berlangsung aman dan lancar

Dalam kaitan ini Polri bertugas dan bertanggung jawab atas


pengamanan :

a) Pemilu legislatif : pemilu untuk memilih anggota DPF' DPRD


Propinsi, DPRD Kabupaten dan Kota serta memilih anggota DPD.

b) Pemilu Presiden putaran I dan II

c) Pemilihan Kepala Daerah Propinsi/Gubernur, pemilihan Kepala


Daerah Kabupaten/Kota (Bupati).

Data tahun 2004 di seluruh Indonesia jumlah Propinsi ada 32 dan


Daerah Kabupaten dan Kota ada 404.

Tugas dan tanggung jawab pengamanan pelaksanaan pemilu dan


pilkada ini menuntut fokus perhatian pelaksanaan tugas yang cukup
besar bagi Polri.

2) Polri bertugas menegakkan hukum, sehingga berkaitan erat dengan ciri


negara demokratis dimana pemerintah berdasarkan atas hukum. Polri
sendiri dalam melaksanakan tugasnya harus senantiasa bertindak
berdasarkan atas hukum, Polri wajib senantiasa patuh dan tunduk pada
hukum serta menguasai dan mahir menggunakan hukum sebagai senjata
yang melandasinya dalam penegakkan hukum tersebut.

Polisi dalam tugasnya sebagai penegak hukum, memelihara kamtibmas,


pelindung, pelayan dan pengayom masyarakat, pada prinsipnya adalah
melindungi jiwa, harta, kehormatan manusia, sehingga pada hakekatnya
adalah melindungi hak asasi manusia.

3) Sejalan dengan itu, maka dalam pelaksanaan tugasnya Polri wajib


senantiasa menjunjung tinggi hak asasi manusia.

c. Karena itu maka Polisi adalah pilar utama dalam suatu negara demokrasi,
sebagai konsekwensinya suatu negara demokratis, mutlak menuntut adanya
Polisi yang kuat, mandiri dan profesional. Sebaliknya seberapa jauh

52 | Page
kemandirian dan profesionalisme Polisi, tergantung sejauh mana kadar
demokrasi dari negara tersebut.

Di negara-negara yang tidak demokrasi seperti monarchi absolut, maka


Polisi cenderung menegakkan hukum untuk kepentingan raja, di negara-
negara yang dijajah, maka Polisinya adalah alat penjajah untuk
menegakkan kelestarian penjajah. Di negara-negara sosialis menurut Simon
Wolin dan Robert Slusser dalam bukunya The Soviet Secret Police
menggambarkan bahwa dalam masyarakat sosialis, Polisi adalah alat
pemerintah untuk menindas mereka yang tidak sepaham dengan ideologi
sosialis, sehingga Polisi tidak mampu mengembangkan sistem Kepolisian
modern yang falsafah dan etikanya menjunjung hukum martabat manusia
dan kemanusiaan.

Bagi yang menentang ideologi sosialis dengan mudah dapat direkayasa


untuk dijebloskan ke penjara yang di proses melalui sistem peradilan
pidananya dimana Polisi sebagai ujung tombaknya. Gambaran ini adalah
bukti bahwa kondisi dimana masyarakat tidak berkesempatan secara
demokratis mengoreksi Polisinya, maka sulit diperoleh perilaku Polisi yang
etis atau Polisi yang etika kepolisiannya menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusian (HAM), dengan demikian sulit pula Polisi itu dapat
berkembang dengan lingkungan yang berubah. Karena dia sepenuhnya alat
penguasa, sehingga segenap tindakannya yang tidak etis, bahkan melanggar
hukum dapat menjadi benar dan sah sepanjang penguasa merestuinya.
Keadaan itu terjadi di semua negara yang berideologi sosialis saat itu,
sampai dekade 1980-an, dimana ideologi komunis di Eropa Timur tidak
dianut lagi.

Di dunia ini terdapat ± 200 negara yang mengidentifikasikan dirinya


sebagai negara demokratis, terlepas dari kadar demokrasi dari negara
tersebut yang berbeda-beda.

Jenis dari demokrasi 200 negara membentang dalam spektum dari mulai
jenis negara demokrasi liberal seperti Amerika Serikat sampai demokrasi
Korea Utara yang lebih pantas disebut Otoriter.

Sejauh mana kadar kemandirian dan profesionalisme Polisi suatu negara


tergantung dari sejauh mana kadar demokrasi dari negara tersebut.

d. Fakta sejarah mengungkapkan penggabungan Polri dengan Angkatan


Perang menjadi ABRI melalui TAP MPR No. II Tabun 1960, yang
dikukuhkan melalui UU No. 13 tahun 1961.

Selanjutnya sejak tahun 1965 Polri tunduk pada hukum Disiplin Militer,
Hukum Pidana Militer, Hukum Acara Pidana Militer dan tunduk pada
Peradilan Militer.

53 | Page
Selanjutnya tahun 1969 melalui Keppres No. 79, instansi Polri ditempatkan
dibawah Panglima ABRI, berlakunya Doktrin ABRI (CADEK) bagi Polri,
dengan demikian sistem pembinaan Polri sangat kental berwujud militer.

Hal ini berlangsung lebih dari 30 tahun yang merupakan kurun waktu yang
cukup lama, yang berdampak sikap Polri pun menjadi militerisme, sehingga
masyarakat merasakan Polisi itu identik dengan militer.

Secara Politik tugas Polri terkooptasi oleh sistem kekuasaan yang otoriter,
sehingga Polri terkenal lebih sebagai penguasa daripada sebagai pelayan
masyarakat serta Polri lebih sebagai penindas daripada pelindung dan
pengayom masyarakat.

Kondisi perilaku Polri ini mengakibatkan rakyat tidak puas dan titik
kulminasinya sering terjadi benturan antara Polisi dan rakyat, sehingga
tumbuh kuat tuntutan terhadap Polri agar Polri berubah menjadi Polisi
Sipil, tuntutan tersebut hanya mungkin terwujud, bila Polri dipisahkan
dengan TNI.

e. Seiring dengan arus globalisasi pada akhir abad XX, bergulir pula issu
universal yaitu demokratisasi, supermasi hukum, masyarakat madani dan
HAM.

Guliran issu-issu pokok internasional tersebut menyebabkan lahirnya era


reformasi di negara kita pada tahun 1998, dimana salah satu tuntutan
reformasi adalah tuntutan reformasi perubahan paradigma Polri yaitu agar
Polri berwajah sipil mengutamakan penegakkan supremasi hukum daripada
jadi alat kontrol bagi penguasa dan lebih berorientasi pada tugas
perlindungan, pelayanan dan pengayoman masyarakat.

Berkaitan dengan paradigma baru Polri, Prof Dr. Hotman R. Siahaan dalam
orasi ilmiah pada Dies Natalis PTIK Ke-59 dengan judul Paradigma,
perpolisian komunitas mengantisipasi konflik sosial Pemilihan Kepala
Daerah pada hal 6 mengemukakan :

"Bagaimanapun Paradigma baru kepolisian tidak bisa dilepaskan dari


perubahan paradigma demokrasi di negeri ini. Jika kita simak turut campur
tangan negara by force melalui statisasi yang tunduk pada politik
kekuasaan yang represif di masa Orde Baru, dimana negara muncul dengan
berbagai organisasi kekuasaan yang secara efektif menekan sebagian besar
rakyat yang kecewa atau yang tidak mendukung pemerintah, maka Polisi di
negeri ini menanggung beban sejarah menjadi alat kekuasaan negara
terhadap masyarakat.”

f Sejalan dengan tuntutan reformasi dan perkembangan demokrasi di negara


kita, maka Polri secara kelembagaan telah dipisah dari TNI dan
Departemen Pertahanan, dan menjadi instansi yang berdiri sendiri langsung

54 | Page
dibawah Presiden dan telah meningkatkan jumlah anggaran dan personil
Polri. Sejauh mana kultur dan kinerja Polri akan bergeser tergantung sejauh
mana pengeseran demokrasi di negara kita. Etika masyarakat yang
demokratis akan melahirkan Polsi yang etis.

Bagi Polri harus menyadari makna yang terkandung dalam momentum ini
dan berupaya memanfaatkan secara optimal momentum ini dengan
mewujudkan pengabdian Polri yang konkrit yang dirasakan secara
langsung oleh rakyat sebagai pelindung, pelayan dan pengayom
masyarakat, yang sekaligus pula merupakan kontribusi Polri dalam
mengawal perjalanan demokrasi kita, dimana betul-betul dapat diwujudkan
kedaulatan di tangan rakyat, hukum dapat ditegakkan dan HAM dihormati
dan dijunjung tinggi.

3. Hukum

a. Negara Indonesia adalah negara hukum sesuai dengan UUD 1945 pasal 1
ayat (3), Paham negara hukum berdasarkan keyakinan bahwa kekuasaan
negara harus dijalankan atas dasar hukum yang baik dan adil. Hukm
menjadi landasan tindakan negara dan hukum itu harus baik dan adil. Baik
karena sesuai dengan apa yang diharapkan masyarakat dari hukum dan adil,
karena maksud dasar segenap hukum adalah keadilan. Dari segi moral
politik ada 4 alasan utama menuntut agar negara diselenggarakan dan
menjalankan tugasnya berdasarkan hukum :

1) Agar adanya kepastian hukum.

2) Agar adanya pemenuhan atas tuntutan untuk perlakuan yang sama.

3) Legitimasi demokratis

4) Tuntutan akal budi

b. Ciri-ciri utama negara hukum adalah

1) Kekuasaannya diselenggarakan sesuai dengan hukum positif yang


berlaku.

2) Kegiatan negara berada dibawah kontrol kekuasaan kehakiman yang


efektif.

3) Berdasarkan Undang-undang Dasar yang menjamin Hak Asasi


Manusia.

4) Adanya pembagian kekuasaan

Indonesia adalah Negara Hukum, karena itu semua pelaksanaan


pemerintahan harus berdasarkan atas hukum, didasari dan dibatasi oleh

55 | Page
hukum dan mempertanggung jawabkan perbuatannya/tindakannya kepada
hukum/sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

c. Dalam kaitannya Indonesia sebagai negara, hukum maka :

1) Dalam semua tindakannya Polri harus berazaskan hukum positif. Dalam


melaksanakan kewenangannya, Polri harus menjalankan sesuai dengan
ketentuan hukum yang menjadi landasan hukum kewenangannya.

2) Polisi bertugas untuk menegakkan hukum, karena. itu Polri selain harus
tunduk dan patuh kepada, hukum, Polri harus mahir menguasai hukum
sebagai landasan dan senjata dalam pelaksanaan tugasnya dan dapat
dijadikan teladan bagi masyarakat dalam kepatuhan dan ketaatannya
kepada hukum.

d. Dilema yang dihadapi Polri dalam menegakkan hukum

1) Banyak hukum masih dari warisan jaman kolonial yang tidak sesuai
dengan perkembangan tuntutan masyarakat.

2) Hukum yang diikuti seharusnya adalah hukum yang baik dan adil,
artinya hukum sendiri secara moral harus dapat dipertanggung
jawabkan, dan itu berarti hukum harus sesuai dengan paham keadilan
masyarakat dan menjamin HAM. Tetapi dalam kenyataannya hukum
positif yang berlaku yang harus ditegakkan. Polri, masih ada yang
sudah tidak sejalan dengan paham rasa keadilan masyarakat dan HAM.
Dalam hal ini jika Polri menegakkan hukum tersebut mangakibatkan
adanya kesan Polri bersikap untuk kepetingan penguasa dan tidak
melindungi kepentingan rakyat, contoh UU No. 9 Tahun 1998 tentang
Kemerdekaan menyampaikan pendapat.

3) Ada undang-undang yang belum sinkron dengan peraturan


perundangan-undangan yang lain.

e. Dalam menegakkan hukum, maka Polri dituntut untuk

1) Memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam tentang hukum.

2) Memahami betul situasi yang di dihadapi di lapangan.

3) Bijak dalam bertindak, tetapi tetap bertanggung jawab. Harus


memenuhi asas legalitas, tindakan sesuai dengan kewajiban /
kepentingan, tindakan itu memang diperlukan adanya keseimbangan
dan etis.

4. HAM

56 | Page
a. HAM adalah salah satu hak yang melekat secara kodrati pada manusia yang
apabila hak itu tidak ada, tidak akan bisa hidup sebagai manusia. HAM
adalah salah satu tuntutan dalam era reformasi dan sekaligus dia merupakan
prasyarat atau ciri suatu negara demokratis.

Sebenarnya negara kita dalam merebut kemerdekaan kita dan


memproklamasikan kemerdekaan kita adalah merupakan perwujudan
konkrit untuk menegakkan HAM, sebagaimana dinyatakan dalam
Pembukaan UUD 1945 "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak
segala bangsa dan oleh karena itu, maka penjajahan diatas dunia harus
dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri
keadilan". Selanjutnya sebagai negara demokrasi yang berdasarkan pada
hukum, maka dalam Pembukaan UUD 1945 sudah pula dicantumkan
Pancasila yang sangat menjunjung tinggi HAM serta memuat HAM pada
pasal-pasal yaitu : Pasal 27 ayat (1), pasal 27 (2), pasal 28, pasal 29 (2),
pasal 34 (1), Bab X A tentang HAM, pasal 28 A, B, C, D, E, F, G, H, dan J.

Pemerintah kits telah pula mengeluarkan undang-undang yang berkaitan


dengan HAM dan tugas Polri antara lain :

1) Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

2) Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang HAM.

3) Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Peradilan HAM.

4) Undang-undang No. 5 Tahun 1998 tentang pengesahan konvensi


menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang
kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia.

5) Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Polri pasal 19 ayat (1)


dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pejabat, Polri senantiasa
bertindak berdasarkan norma hukum, dan mengindahkan norma agama,
kesopanan, kesusilaan serta menjunjung tinggi HAM.

b. Tugas Polri untuk memelihara kamtibmas, menegakkan hukum, melayani


dan melindungi serta mengayomi masyarakat pada hakekatnya adalah tugas
untuk melindungi HAM. Atas dasar untuk menjunjung tinggi HAM yang
merupakan salah satu ciri dari negara hukum materiil inilah menjadi salah
satu alasan yang mendorong lahirnya Tri Brata yang selanjutnya Tri Brata
merupakan sumber dari kode etik profesi Polri. Dalam kode etik profesi
Polri ini dengan tegas dinyatakan bahwa Polri dalam melaksanakan
tugasnya senantiasa mengindahkan nilai-nilai kemanusiaan (pasal 6 Kode
Etik Profesi Polri Peraturan Kapolri No. Pol. 7 tahun 2006). Kenyataan di
lapangan tingkah laku anggota Polri masih banyak yang belum sesuai
dengan HAM, sehingga menjadi sorotan terus dari masyarakat, agar Polri
mampu menjalankan tugasnya dengan baik dan menjadi pilar yang kokoh

57 | Page
dari demokrasi Indonesia, maka Polri harus mampu senantiasa menjunjung
tinggi HAM dalam pelaksanaan tugasnya yang tercermin dari perbuatan
Polri yang senantiasa etis.

c. Bagi Indonesia pemahaman tentang HAM perlu digaris bawahi, bahwa


disamping HAM ada pula kewajiban asasi manusia. HAM bukan berarti
kebebasan yang tidak bertepi, tetapi kebebasan yang dibatasi oleh HAM
orang lain yang wajib pula dihormati, untuk itu perlu digaris bawahi :

1) Pasal 69 UU No. 39 Tahun 1991 ayat (2) setiap HAM seseorang


menimbulkan kewajiban dasar dan tanggung jawab untuk menghormati
HAM orang lain secara timbal balik serta menjadi tugas pemerintah
untuk menghormati, melindungi menegakkan dan memajukannya.

2) Pasal 70 dalam menjalankan hak dan kewajibannya, kebebasannya


setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dalam
UU, dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan
atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang
adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan dan ketertiban
umum dalam suatu masyarakat demokratis.

3) Pasal 73 hak dan kebebasan yang diatur dalam undang-undang ini


hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan UU, semata-mata untuk
menjamin pengakuan serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan,
ketetiban umum dan kepentingan bangsa.

d. Masalah-masalah yang dihadapi Polri di lapangan :

1) Masyarakat sering menuntut HAM untuk ditegakkan, tetapi mereka


sendiri melakukan tindakan-tindakan yang melanggar HAM orang lain.
Mayarakat banyak yang belum menyadari bahwa disamping mereka
memiliki HAM, mereka juga memiliki kewajiban asasi
manusia.Kebebasan asasi seseorang dibatasi oleh HAM orang lain. Di
lapangan banyak dijumpai tindakan-tindakan masyarakat yang
menghakimi sendiri dan melawan serta menentang petugas.

2) Sebagai akibat tuntutan yang tinggi masyarakat terhadap HAM,


masyarakat menyoroti setiap tindak tanduk Polri, tanpa mau mengerti
situasi dan kondisi yang dihadapi Polri., sehingga seolah-olah tindakan
Polri semua salah, tindakan Polri seolah-olah tidak ada yang benar. Hal
ini menimbulkan dampak ada sinyalemen, kecenderungan dari anggota
Polri untuk ragu-ragu dalam melaksanakan tugasnya.

Dalam hal ini, perlu dihayati oleh semua anggota Polri bahwa tidak
perlu ragu-ragu bertindak melaksanakan tugas sepanjang dalam
penggunaan kebebasan atau wewenang Polri senantiasa memegang
legality, necessity, proportionality serta etis.

58 | Page
a) Legality

Apakah kekuasaan atau wewenang yang digunakan dalam keadaan


tertentu ada dasarnya di dalam hukum nasional.

b) Necessity

Apakah pelaksanan kekuasaan/wewenang tersebut sangat


diperlukan

c) Proportionality

Apakah kekuasaan/wewenang yang digunakan seimbang” dengan


beratnya pelanggaran dan tujuan penegakkan hukum yang sah
dicapai.

d) Etis

Harus sesuai dengan kode etik profesi Polri.

5. Masyarakat

a. Pada hakekatnya harapan masyarakat terhadap Polri, agar Polri mampu


melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan baik yaitu mampu
melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, sehingga masyarakat
merasa aman dan tentram. Jadi harapan masyarakat, agar Polri mampu
melaksanakan dan menyelesaikan apa yang menjadi tugasnya dengan baik.

Tetapi kenyataannya tuntutan mereka sering berlebihan, mereka menuntut


perlindungan, pelayanan masyarakat dan pengayoman secara tuntas
sekarang juga dan disini, tanpa mau menyadari keterbatasanketerbatasan
yang ada pada Polri menyangkut personil, anggaran, sarana dan prasarana
Polri dan sebagaimananya.

b. Masyarakat sering melontarkan kritik-kritik terhadap Polri, kadang terlalu


tajam dan pahit. Kritik dalam masyarakat demokratis adalah wajar bahkan
dibutuhkan, karena dia merupakan kontrol dari masyarakat demokratis
terhadap aparatur pemerintah yang merupakan abdi negara, agar mereka
tetap berjalan diatas jalan yang telah ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan.

Sebenarnya dari kontrol masyarakat terhadap Polisi dalam suatu


masyarakat demokratis akan melahirkan Polisi yang profesional dan etis.

Bagi anggota Polri menghadapi kritik masyarakat itu harus berlapang dada
dan berpikir positif dalam arti :

1) Kritik masyarakat adalah wajar sebagai kontrol masyarakat dalam suatu


negara demokratis.

59 | Page
2) Mengganggap suatu kritik masyarakat adalah merupakan kepedulian
masyarakat, masyarakat masih percaya pada Polisinya, ingin ikut
menyampaikan pendapat sebagai partisipasi untuk memperbaiki
Polisinya.

3) Kalau temyata kritik-kritik itu mengandung kebenaran dan kesalahan


memang ada pada Polri, maka kritik tersebut harus ditindak lanjuti
dengan memperbaiki kesalahan / kekurangan yang ada dan bila perlu
kita menyampaikan terima kasih kepada masyarakat yang telah
menyampaikan kritiknya.

Kritik bukanlah beban yang menghambat kinerja Polri, tetapi justru


tantangan untuk meningkatkan kinerja pengabdian Polri. Kalau kritik
tersebut salah, maka kewajiban Polri untuk mengadakan sosialisasi
yang mampu menjernihkan” suasana, mengapa Polri bertindak
demikian Dan pengertian ini selanjutnya diharapkan dari kritik
masyarakat akan mendorong menjadi partisipasi terhadap Polri.

c. Kesadaran hukum masyarakat masih kurang. Dinilai secara umum masih


rendahnya kesadaran dan kepatuhan masyarakat tentang hukum, hal ini
tercermin dari ketaatan masyarakat terhadap aturan lalu lintas.
Sudah menjadi pendapat umum, bahwa lalu lintas adalah cermin atau
etalase budaya bangsa, bahkan Sosiolog Jepang Prof WATANABE secara
ekstrim menilai tinggi rendahnya disiplin nasional suatu bangsa dilihat dari
sejauh mana ketaatan masyarakat terhadap hukum lalu lintas di jalan raya.
Melihat tingkat disiplin nasional suatu bangsa tidaklah sulit, cukup berdiri
barang satu atau dua jam dipinggir jalan di kota-kota besar negara yang
bersangkutan. Kalau selama dua jam tersebut tidak terjadi pelanggaran lalu
lintas, dapat dipastikan disiplin nasional bangsa tersebut baik. Dari fakta
tersebut semakin menyadarkan kita, bahwa kita masih termasuk bangsa
yang berkadar disiplin nasional rendah, karena pelanggaran lalu lintas kita
terus terjadi dalam setiap jam bahkan setiap menit dan setiap saat.

Kurang kesadaran masyarakat terhadap hukum tercermin pada banyaknya


tindakan-tindakan masyarakat yang menghakimi sendiri.

Hal ini merupakan tantangan bagi Polri, untuk mengambil langkahlangkah


penerangan, sosialisasi yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran
hukum masyarakat.

d. Dalam melaksanakan tugas Polri untuk menghadapi ancaman faktual, maka


faktor-faktor yang mempunyai hubungan korektif terhadap kejahatan
(FKK) dan juga PH ada ditengah-tengah masyarakat, pelakunya
kejahatan/pelanggar hukum juga warga masyarakat yang yang tersesat,
yang ada ditengah-tengah masyarakat, sehingga untuk menanggulanginya

60 | Page
baik pencegahan ataupun tindakan reperesip menuntut keterlibatan /
partisipasi dari masyarakat itu sendiri.

Lebih-lebih, jika disadari keterbatasan Polri baik keterbatasan sumber daya


manusianya maupun anggaran serta dukungan, menunjukkan dengan jelas
untuk keberhasilan pelaksanaan tugas Polri sangat tergantung sejauh mana
Polri mampu mengembangkan potensi masyarakat, agar masyarakat secara
aktif berpartisipasi bersama-sama anggota Polri menanggulangi
pelanggaran hukum / gangguan Kamtibmas.

Penanggulangan Kamtibmas adalah tanggung jawab bersama, tanggung


jawab masyarakat dan Polri walaupun secara institusional, tanggung jawab
dipercayakan kepada Polri. Untuk menggugah dan mendorong partisipasi
masyarakat, maka pradigma Polri harus berorientasi untuk melindungi,
mengayomi dan melayani kepentingan masyarakat.

6. Keterbatasan Polri

a. Keterbatasan Polri dan integrasi Polri dalam ABRI

1) Personil

a) Jumlah personil kurang, walaupun pihak Polri sudah senantiasa


mengemukakan rasio yang dibutuhkan antara Polri dan penduduk
secara internasional berkisar satu berbanding empat ratus, namun
kurang mendapat tanggapan dari pinipinan ABRI, sehingga rasio
Polisi : penduduk waktu itu mencapai satu berbanding 1.200.

Jumlah Polri waktu itu sudah dinilai cukup, karena masih ada
personil TNI yang siap membantu pelaksanaan tugas Polri, dan
adanya pam swakarsa yang dilandasi doktrin sishankamrata.

b) Profesionalisme Polri yang rendah. Oleh Mabes ABRI tidak ada


dialokasikan anggaran Polri untuk pendidikan ke luar negeri. Di
pihak lain, pihak negara yang bersedia membantu Polri tidak
bersedia membantu, karena Polri termasuk Angkatan Bersenjata,
sehingga walaupun ada program pendidikan ke luar negeri adalah
karena hubungan pribadi Prof Awaloedin Djamin, MPA selaku
mantan Duta Besar RI di Jerman Barat, yang telah berhasil
menggalang kerjasama dengan Jerman Barat untuk bidang Reserse,
dengan Belanda untuk bidang lalu lintas dan Inggris untuk bidang
manajemen.

2) Anggaran Polri yang kecil sebagai akibat daripada metode operasi,


dimana operasi Kamtibmas merupakan subsistem dari operasi
kamdagri. Operasi Kamtibmas sejajar dengan operasi teritorial, operasi
tempur dan operasi Intel.

61 | Page
Semua bentuk operasi dibawah kodal Pangab, sedangkan operasi
Kepolisian merupakan operasi rutin yang tidak didukung anggaran
oprasional.

Dengan demikian, untuk operasi Kepolisian tidak didukung oleh


anggaran dari sektor hankam dan demikian pula operasi kepolisian
tidak didukung oleh anggaran sektor hukum, sehingga anggaran Polri
sangat amat minim.

3) Sarana dan prasarana alat Polri sangat kecil. Sejalan dengan metode
operasi yang digunakan, maka akibatnya dukungan sarana dan
prasarana alat Polri pun sangat kecil.

b. Dengan adanya reformasi, maka secara struktural Polri telah mandiri


lepas dari Departemen Pertahanan dan Mabes TNI, berdiri sendiri langsung
dibawah Presiden, Polri mandiri dibidang operasional dan pembinaan. Dan
seiring kemandirian dalam bidang pembinaan, maka anggaran Polda sudah
jauh meningkat, rasio jumlah Polri berbanding penduduk sudah meningkat.

Dalam kaitan ini, Polri harus dapat menunjukkan peningkatan kinerja


dengan pengabdian berupa karya nyata yang dirasakan oleh masyarakat
semakin meningkat.

Kalaupun masih ada keterbatasan/kekurangan harus dijadikan tantangan


untuk lebih meningkatkan kinerjanya, sehingga walaupun masih ada
keterbatasan Polri mampu mempersembahkan kinerja yang jauh lebih baik
daripada sebelumnya.

c. Dalam kaftan keterbatasan ini harus disadari bahwa :

1) Keterbatasan sumber daya senantiasa dihadapi oleh semua organisasi.

2) Polri harus tahu persis apa yang dibutuhkan dan berapa kebutuhannya.

3) Senantiasa memanfaatkan sumber daya yang terbatas adanya secara


hemat, penentuan skala prioritas yang tepat secara optimal, sehingga
tercapai effisiensi dan efektivitas.

4) Berupaya memperjuangkan kepada atasan perlunya ada prioritas


tambahan dukungan yang betul-betul diperlukan, dengan alasanalasan
yang rasional untuk mendukung peningkatan kinerja Polri yang baik.

62 | Page
Bab 6
ETIKA DAN KODE ETIK PROFESI POLRI

Kompetensi dasar:
Memahami konsep-konsep dan intrumen yang dikandung dalam Kode Etik Profesi
Polri

Indikator Hasil Belajar:


1.Menjelaskan instrument penyimpangan dalam Kode Etik Polri
2. menjelaskan lahirnya kode etik profesi polri

3.Menjelaskan lahirnya TRI BRATA dan makna yang dikandung

4. menjelaskan Catur Prasetya

1. PENYIMPANGAN-PENYIMPANGAN

a. Kita senantiasa dihadapkan pada masalah-masalah dengan pilihan-pilihan


antara salah dan benar antara buruk dan baik yang sering sangat
relatif dan sangat nisbi, justru pada saat itulah utamanya letak peranan
etika.

Etika melalui hati nurani akan senantiasa mengawasi dan mengingatkan


untuk selalu mengambil pilihan guna berbuat yang baik dan yang benar,
untuk berbuat etis. Semakin etis perbuatan polisi, maka semakin nyata
pelaksanaan fungsi polisinya dan sebaliknya semakin buruk perilaku
polisinya, semakin tipis fungsi polisinya dan semakin tebal
pelanggarannya.

b. Penyimpangan etika cukup rumit untuk diukur, karena tolak ukumya tidak
hanya sekedar pemikiran, namun juga rasa. Tetapi secara umum
pelanggaran atas hukum, pelanggaran ketentuan disiplin dan pelanggaran
atas kode etik profesi itulah penyimpangan etika, karena hukum pada
hakekatnya adalah endapan etika yang berbentuk UU. Ketentuan disiplin
pada hakekatnya adalah endapan etika yang berwujud Peraturan
Pemerintah dan kode etik profesi adalah kristalisasi nilai-nilai etika Polri
yang terkandung dalam Tri Brata dan Catur Prasetya yang diwadahi dalam
bentuk peraturan Kapolri.

c. Tipologi penyimpangan :

63 | Page
1) Thomas Barker dalam bukunya Police Deviance membagi tipologi
penyimpangan perilaku polisi dalam suatu tipologi yang terdiri dari dua
hal :

a) Penyimpangan pekerjaan yang terdiri dari korupsi dan


penyelewengan polisi.

b) Penyalahgunaan wewenang.

2) Penyimpangan pekerjaan polisi :

a) Anggapan buruk diperoleh dari citra pekerjaan yang dilakukan


dengan tidak tepat.

b) Setiap pekerjaan mungkin memberi kesempatan untuk berbuat


penyimpangan, tetapi ada pekerjaan seperti polisi dimana
anggotanya ditempatkan dalam tata cara kerja dengan begitu banyak
kesempatan untuk melakukan penyimpangan.

Fenomena ini terutama diperbesar oleh sifat otoriter pekerjaan polisi


dan solidaritas subkultural yang dihubungkan dengan penegakkan
hukum.

3) Penyalahgunaan wewenang :

Penyalahgunaan wewenang dapat didefinisikan sebagai segala bentuk


tindakan yang dilakukan polisi tanpa mengindahkan motif, maksud dan
rasa dendam yang cenderung untuk melukai, menghina, menginjak-
injak martabat manusia, menunjukkan perasaan merendahkan dan/atau
melanggar hak-hak hukum seorang penduduk dalam pelaksanaan
pekerjaan polisi.

Bentuk-bentuk penyalahgunaan wewenang :

a) Penyiksaan fisik, yang menggabungkan brutalitas dan kekerasan


polisi.

Penyiksaan fisik terjadi jika seorang petugas polisi menggunakan


kekerasan lebih dari yang dibutuhkan untuk melakukan
penangkapan atau Penggeledahan dan/atau penggunaan kekerasan
fisik yang berlebihan oleh petugas polisi terhadap orang lain
tanpa alasan dengan menyalahgunakan wewenang polisi.

b) Penyiksaan psikologis disini tercakup keadaan dimana seorang


petugas polisi secara lisan menyerang, mengolok-olok,
memperlakukan secara terbuka atau melecehkan seseorang dan/atau

64 | Page
menempatkan seseorang yang benar dibawah kekuasaan polisi
dalam situasi dimana penghargaan atau citra orang tersebut terhina
dan/atau tidak berdaya.

Ancaman oleh tindakan fisik oleh petugas atas diri seseorang atau
ancaman tidak adil dan penangkapan yang tidak dibenarkan,
merupakan contoh-contoh penyiksaan psikologis.

c) Penyiksaan hukum : pelanggaran terhadap hak-hak konstitusional


seseorang suatu penggeledahan tidak sah, menghentikan seseorang
tanpa dasar hukum merupakan contoh-contoh penyiksaan hukum.

4) Ada tiga perbedaan khusus antara penyimpangan pekerjaan dengan


penyalahgunaan wewenang :

a) Berdasarkan motivasi :

Penyalahgunaan wewenang sebagian besar dimotivasi oleh tujuan


petugas untuk menyelesaikan tugas atau masalah secara langsung,
sedangkan penyimpangan pekerjaan sebagian besar didorong oleh
keuntungan pribadi, kepuasaan dan kesenangan petugas.

b) Menyangkut pertanggungjawaban polisi.

Karena penyalahgunaan wewenang memiliki tempat eksternal,


perilaku semacam itu cenderung terjadi berupa perampasan hak-hak
sipil penduduk.

Pertanggung jawaban semacam itu tidak begitu berat seperti


penyimpangan pekerjaan.

c) Toleransi antar sejawat akan lebih besar untuk penyalahgunaan


wewenang daripada untuk penyimpangan pekerjaan.

Para mantan polisi, selalu berusaha mencari akhir yang sah


sekaligus mencurahkan frustasi dan berupaya membuang hal yang
menekan dirinya, yang kebanyakan petugas pernah mengalaminya,
hal itu lalu membentuk dan mengembangkan suatu ikatan
pemahaman tentang perilaku fungsi itu. Sebaliknya, penyimpangan
pekerjaan cenderung lebih dipandang salah oleh anggota organisasi
lainnya dan secara khusus tidak menimbulkan dukungan sejawat
sebesar dukungan terhadap penyalahgunaan wewenang.

d. Jenis-jenis penyimpangan :

1) Lahirnya citra buruk atau kegagalan tugas Polisi berawal dari


penyimpangan etika atau tidak memegang teguh kode etik profesi
sampai dengan pelanggaran-pelanggaran hukum.

65 | Page
Bentangan spektrum penyimpangan etika Polri sangat lebar, mulai dari
penyimpangan-penyimpangan yang ringan seperti tidak tepat waktu
memeriksa saksi/tersangka melewati waktu yang dicantumkan dalam
Surat Panggilan ; atau main domino pada waktu tugas (bahkan akan
berbahaya kalau adanya kecenderungan untuk mengganggap
pelanggaran-pelanggaran tersebut tidak lagi dianggap sebagai
penyimpangan ) sampai dengan penyimpangan pekerjaan,
penyalahgunaan wewenang, pelanggaran HAM dan korusi.

Contoh-contoh penyimpangan:

Tidak jujur, melakukan kekerasan, pilih bulu / diskriminatif,


penerimaan hadiah, mengambil/menggelapkan barang bukti, penahanan
yang tidak sah, membocorkan rahasia negara dan sebagainya, Setiap
pelanggaran etika/ penyimpangan-penyimpangan etika harus diambil
tindakan tegas sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

2) Menyangkut penyimpangan oleh anggota Polri dapat dikemukakan :

a) Hasil temuan penelitian 147 mahasiswa PTIK Angkatan 39-A, di 19


Polda menyangkut perilaku korupsi oleh anggota Polri.

Penelitian tersebut dilaksanakan secara komprehensif meliputi


fungsi operasional maupun pembinaan serta dukungan Polri
(termasuk bidang personel, keuangan, anggaran kesehatan dan
logistik).

Hasil temuan mahasiswa tersebut dapat disederhanakan dalam


penggolongan sebagai berikut :

(1) Pertama : Korupsi internal, dalam arti korupsi yang dilakukan


oleh petugas polisi tidak melibatkan masyarakat diluar
komunitas Polri.

Bentuk korupsi ini menyangkut kepentingan pelaku dalam


ruang lingkup kedinasan, tidak menyangkut secara langsung
kepentingan publik. Contoh yang banyak terjadi adalah korupsi
dalam kaitan purchase of position atau jual beli jabatan, korupsi
pada penerirriaan atau rekruitment polisi serta menyangkut
pendistribusian logistik dan penyaluran dana keuangan atau
anggaran.

(2) Kedua : Korupsi eksternal, dalam arti korupsi yang melibatkan


kepentingan masyarakat secara langsung. Dalam hal ini yang
dikatakan sebagai masyarakat adalah mereka yang terlibat atau
memiliki urusan dengan polisi baik itu sebagai korban

66 | Page
kejahatan, tersangka maupun saksi serta masyarakat yang
membutuhkan pelayanan.

Korupsi ini terjadi dalam ruang lingkup tugas Polri yang


berkaitan dengan Law Enforcement (penegakkan hukum) serta
Public Service (pelayanan masyarakat). Termasuk pula dalam
pola korupsi eksternal ini adalah setiap bentuk
penyalahgunaan wewenang oleh pejabat Polri yang
melibatkan individu-individu anggota masyarakat yang bukan
anggota Polri..

Korupsi ini dapat menyangkut kepentingan masyarakat secara


langsung, maupun menyangkut kepentingan petugas polisi
dalam ruang lingkup kedinasan. Beberapa contoh bentuk
korupsi eksternal ini adalah seperti mekanisme permohonan
pinjam pakai barang bukti oleh pemilik atau korban,
penyelesaian perkara kejahatan dalam mekanisme hukum
pidana (tidak melakukan penyidikan atas pelaku kejahatan atau
lebih dikenal dengan istilah 8 - 6 ), pungutan pada penerbitan
berbagai bentuk Surat Keterangan, surat pemberitahuan,
maupun laporan kehilangan dengan dalih biaya administrasi
maupun korupsi dijalanan oleh petugas lalu lintas atau Samapta
terhadap pelanggar lalu lintas maupun pungutan liar terhadap
truck muatan yang akan masuk jalan lalu lintas tertentu, maupun
korupsi suap berkaitan dengan kasus perjudian maupun tempat
hiburan yang diduga terdapat kejahatan di dalamnya.

Korupsi melibatkan anggota masyarakat non polisi dan pejabat


polisi dalam kaitan dengan penempatan anggota polisi pada
suatu jabatan tertentu.

b) Hasil penelitian PTIK tahun 2002 tentang Kinerja Polri Pasca Polri
Mandiri.

Objek penelitian pada 10 Polda yang dinilai cukup mewakili Polda


seluruh Indonesia.

Hasil penelitian menunjukkan cukup banyak kemajuan yang telah


dicapai oleh Polri, namun Polri harus masih bekerja keras,
karena masih banyak ditemukan kekurangan dan kelemahan-
kelemahan antara lain :

(1) Di bidang pemeliharaan keamanan :

(a) Kehadiran Polri ditengah-tengah masyarakat masih kurang,


khususnya untuk tugas-tugas patroli, bahkan untuk

67 | Page
lingkungan pemukiman/dipedesaan, responden tidak pemah
melihat patroli polisi.

(b) Keberadaan Babinkamtibmas sebagai kepanjangan tangan


Polri ditengah-tengah masyarakat belum berjalan
sebagaimana yang diharapkan masyarakat.

(2) Di bidang penegakkan hukum :

Masih banyak terjadi pembiaran (sikap tidak peduli) terhadap


berbagai bentuk pelanggaran baik di bidang lalu lintas maupun
kriminalitas seperti kendaraan berhenti dan atau parkir tidak
pada tempatnya, bentuk-bentuk perjudian, pelacuran, pedagang
kaki lima peredaran VCD / CD berbau pomografi, serta
berbagai bentuk premanisme,sehingga mengganggu
ketentraman dan kenyamanan masyarakat.

(3) Perlindungan dan pengayoman masyarakat.

Beberapa daerah khususnya di Indonesia kawasan timur,


merasakan keberhasilan polisi dapat menimbulkan rasa aman,
namun pada tempat-tempat tertentu seperti lingkungan daerah
rawan kriminalitas masyarakat melihat bahwa kehadiran polisi
ditengah-tengah masyarakat bukan memberikan rasa aman dan
perlindungan kepada masyarakat, sebaliknya justru
menimbulkan keresahan, masyarakat menilai bahwa
kehadiran polisi identik dengan pungutan liar, perlindungan
pada praktek amoral dan kekerasan.

(4) Pe1ayanan masyarakat :

(a) Belum sepenuhnya dihayati oleh anggota bahkan sebagian


anggota masih larut dalam karakternya sebagai sosok
militer, angkuh dan sok kuasa (arogan).

(b) Sebagian masyarakat menilai masih ada diskriniinasi dalam


pelayanan kepada masyarakat, sambutan yang kurang
ramah, mengutip uang jasa, cenderung mempersulit usaha
dan pelayanan yang kurang transparan bahkan
mengungkapkan kata-kata pameo "lapor ayam, kambing
hilang"

(5) Puskodalops :

(a) Kurang perhatian terhadap kasus-kasus yang dianggap


ringan.

(b) Membeda-bedakan pelayanan.

68 | Page
(c) Mengharap atau mengkondisikan untuk mendapat imbalan.

(6) Tugas Reserse :

(a) Perilaku diskriminatif dalam menindak lanjuti laporan


maupun dalam pemeriksaan.

(b) Penyidik tidak konsisten dalam penentuan waktu


pemeriksaan, antara yang tercantum dalam Surat Panggilan
dengan pelaksanaan pemeriksaan.

(c) Dalam penangkapan masih banyak dikeluhkan adanya


perilaku petugas yang kasar dan secara tehnis tidak benar.

(7) Fungsi Lalu Lintas :

(a) Perbuatan denda damai, pungli dan mencari-cari kesalahan.

(b) Masih adanya pencalonan dalam pengurusan SIM, STNK,


BPKB, baik yang dilakukan oleh orang umum maupun
anggota Polri.

(c) Masyarakat masih merasa dipersulit dalam mengurus


kecelakaan lalu lintas, perIu waktu lama, berbelit-belit dan
mengeluarkan biaya.

(8) Fungsi Sabhara :

(a) Banyak terjadi pembiaran terhadap berbagai bentuk penyakit


masyarakat dan tindakan premanisme yang meresahkan
masyarakat.

(b) Masih ada sebagian anggota Sabhara yang tidak mampu


mengendalikan emosi dan bertindak keras saat menghadapi
pengunjuk rasa.

c) Akibat penyimpangan :

(1) Tindakan penyimpangan termasuk dalam bentuk pelanggaran


HAM dapat memicu keresahan yang bisa berkembang secara
cepat dari kerusuhan yang bersifat lokal menjadi kerusuhan
yang berskala nasional.

(2) Penyimpangan yang dilakukan oleh oknum-oknum polisi bukan


hanya dapat menodai nama baik Polri, tetapi juga dapat
menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap Polri dan
resikonya sulitnya partisipasi masyarakat.

69 | Page
(3) Penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh oknum-
oknum Polri dapat merusak hubungan masyarakat dan Polri
bahkan dapat merusak sistem peradilan pidana.

(4) Keefektifan penegak hukum bisa dirusak karena adanya


penyimpangan oknum-oknum Polri.

2. KRONOLOGIS LAHIRNYA TRI BRATA S/D LAHIRNYA KODE ETIK


PROFESI POLRI

a. Tri Brata

1) Digali sejak tahun 1952 oleh sekelompok guru besar PTIK.

2) Tahun 1953, Tri Brata pada awalnya adalah pengikat disiplin


universiter pada PTIK.

3) Pada tanggal 3 mei 1954 diikrarkan oleh Drs. Soepamo Soeriatmadja


pada wisuda mahasiswa PTIK angkatan II Abimanyu.

4) Tanggal 1 juli 1955 Tri Brata diikrarkan menjadi pedoman hidup


polri,dimana pada saat itu juga Presiden Soekamo menyerahkan Panji-
Panji Polri.

5) Tri Brata sebagai pedoman hidup perlu ditegakkan pula secara


terhormat,maka dibentuklah dewan kehormatan di bawah pimipinan
Kombes Pol Soebarkah.

b. Pedoman lanjutan Tri Brata

Pada rapat Kepala Polisi Komisariat seluruh Indonesia di Bandung pada


tanggal5 s/d 7 mei 1958, disyahkan rumusan tentang pedoman
lanjutan Tri Brata (15 butir).

c. Catur Prasetya adalah 4 sifat sajah rona yang berasal dari tulisan Mpu
Prapanca yang melukiskan kebesaran Gajah Mada sebagai Mahapatih
kerajaan Majapahit. Pada 1 Juli 1960 dalam rangka konferensi para kepala
polisi di Jogjakarta secara resmi Catur Prasetya dijadikan pedoman karya
AKRI.

d. Surat Keputusan Kapolri No.Pol.: Skep/213/VII/1985 tanggal 1 Juli 1985


tentang Kode Etik Kepolisian Republik Indonesia.

e. Keputusan Kapori No.Pol.: Kep/05/III/2001 tanggal 7 maret 2001 tentang


Kode Etik Profesi polri dan Keputusan Kapolri No.Pol.: Kep/04/III/2001
tanggal 7 Maret 2001 tentang buku Petunjuk Administrasi umum Kode Etik
Profesi Polri. Keputusan Kapolri ini sebagai realisasi pasal 23 UU No. 28

70 | Page
tahun 1997 dan TAP MPR No.Vl/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan
Polri.

f. Keputusan Kapolri No.Pol.: Kep/17/VI/2002 tanggal 24 Juni 2002 tentang


Pemaknaan baru Tribrata.

g. Keputusan Kapolri No.Pol.: Kep/32/VII/2003 tanggal 1 Juli 2003 tentang


Kode Etik Profesi Polri dan Keputusan Kapolri No.Pol.: Kep/33/VI/2003
tanggal 1 Juli 2003 tentang Tata Cara Sidang Komisi Kode Etik Polri.

h. Keputusan Kapolri No. Pol : Kep/39/IX/2004 tanggal 9 September 2004


tentang Pengesahan Pemaknaan Baru Catur Prasetya.

i. Peraturan Kapolri No. Pol : 7 tahun 2006 tanggal 1 Juli 2006 tentang Kode
Etik Profesi Polri dan Peraturan Kapolri No. Pol : 8 tahun 2006 tanggal 1
Juli 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Komisi Kode Etik Kepolisian
Negara Republik Indonesia.

3. SUMBER KODE ETIK PROFESI POLRI :

a. Sikap dan perilaku pejabat Polri terikat pada kode etik profesi Kepolisian
Negara Republik Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam pasal 34 ayat
(1) UU No.2 Tahun 2002 tentang Polri.

b. Pasal 34 ayat (1) tersebut mengamanatkan, agar setiap anggota Polri dalam
melaksanakan tugas dan wewenang harus mencerminkan kepribadian
Bhayangkara Negara seutuhnya yaitu : pejuang, pengawal dan pengayom
Negara Republik Indonesia. Selain itu untuk mengabdikan diri sebagai alat
negara, penegak hukum yang tugas dan wewenangnya bersangkut paut
dengan hak dan kewajiban warga negara secara langsung, diperlukan
kesadaran dan kecakapan tehnis tinggi. Oleh karena itu sikap anggota Polri
harus menghayati dan dijiwai oleh Etika dan Falsafah Kepolisian yang
tercermin dalam sikap dan perilakunya. Etika dan Falsafah Kepolisian
tersebut dirumuskan dalam kode etik Polri yang merupakan kristalisasi
nilai-nilai yang terkandung dalam Tri Brata dan Catur Prasetya yang
dilandasi dan dijiwai Pancasila.

Dengan demikian maka :

1) Pancasila merupakan landasan dan menjiwai Tri Brata dan Catur


Prasetya.

2) Tri Brata dan Catur Prasetya merupakan sumber kode etik profesi Polri,
karena kode etik profesi Polri merupakan kristalisasi nilai-nilai yang
terkandung dalam Tri Brata dan Catur Prasetya.

4. TRI BRATA :

71 | Page
a. Penamaan

Tentang penamaan semula ada beberapa usul seperti : Tri Sila, Tri Marga,
Tri Sula, Tri Pomo dan Tri Brata , akhirnya diambil nama Tri Brata.

b. Arti Tri Brata

Kata Brata diambil dari Hasta Brata yang merupakan petunjuk Sri Rama
sewaktu meyerahkan tahta kepada adiknya Bharata. Hasta berarti delapan
dan Brata berarti jalan. Hasta Brata memuat delapan jalan untuk menjadi
raja yang baik. Tri Brata berarti 3 jalan menuju Kepolisian Negara
Republik Indonesia yang ideal.

c. Rumusan Tri Brata

1) Pada awal sebagai hasil penyelidikan Prof. Djoko Soetono, SH pernah


mengemukakan rumusan Tri Brata dalam bahasa Belanda.

1. De Politie is de eerste dienar van land en Volk

2. De Politie is de eerste burger van den staat

3. De Politie is het self discipline organ van het volk

2) Rumusan dalam bahasa Sansekerta dan Indonesia.

a) Rumusan awal

1. Polisi itu Rastrasewakottama.

Polisi itu abdi utama dari pada nusa dan bangsa.

2. Polisi itu Nagara Yanottama.

Polisi itu warga negara utama daripada negara.

3. Polisi itu Yana Anucasana Dharma

Polisi itu wajib menjaga ketertiban pribadi daripada rakyat.

b) Rumusan Perubahan.

Polisi ialah :

1. Rastra Sewakottama, abdi utama daripada nusa dan bangsa.

2. Nagara Yanottama, warga negara teladan daripada negara

3. Yana Anucasana Dharma, wajib menjaga ketertiban pribadi


daripada rakyat.

3) Pemaknaan baru Tribrata.

72 | Page
Kami Polisi Indonesia

1. Berbakti kepada Nusa dan Bangsa dengan penuh ketaqwaan


terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

2. Menjunjung tinggi kebenaran, keadilan dan kemanusiaan dalam


menegakkan hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

3. Senantiasa melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat


dengan keikhlasan untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban.

d. Dipergunakan bahasa Sansekerta karena, ;

Penggunaan bahasa klasik dianggap sesuai dengan tradisional yang harus


diciptakan dalam lingkungan suatu perguruan tinggi sebagai lembaga
bersejarah. Di pihak lain bahasa klasik dianggap lebih dapat meningkatkan
pamor, sebagaimana diharapkan dari suatu perumusan pedoman hidup yang
akan dijunjung tinggi.

e. Latar belakang daripada Tribrata

Menurut Mayjen Pol (P) Soeparno S. Atmadja mengemukakan latar


belakang daripada Tribrata tampak sebagai usaha untuk mencari pedoman
bagi Polri dalam menghadapi perubahan masyarakat Indonesia dari suasana
jajahan kearah kehidupan bangsa dan negara yang merdeka dan berdaulat
ditengah-tengah pengaruh jaman modern yang menunjukkan adanya
perubahan dari masyarakat Leiser Faire kepada masyarakat berencana yang
demokratis.

f. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap lahirya Tribrata menurut Prof.


Djoko Soetono, SH dalam kuliah beliau di PTIK dengan judul Tri Brata
sebagai mythos, Logos dan Etos :

1) Dibentuknya panitia Undang-undang Kepolisian Negara yang


membutuhkan suatu nota tentang Perkembangan tentang fungsi Polisi,
untuk mengetahui bagaimana tentang Kontruksi Polisi dalam negara
yang tipenya sebagaimana yang diletakkan dalam pasal 1 ayat (1) UUD
Sementara Tahun 1950.Adalah demokratische rechtstaats (negara
demokratis yang berdasarkan hukum).

2) Rapat Dewan Guru Besar PTIK Tahun 1953 yang akan mewisuda
mahasiswa PTIK Angkatan II yang membutuhkan kaul untuk
diucapkan :

3) Diikrarkan Tribrata pada tanggal 1 Juli 1995 sebagai Pedoman Hidup


Kepolisian Negara Republik Indonesia.

73 | Page
g. Alasan lahirnya Tri Brata menurut Prof. Djoko Soetono, SH dalam kuliah
beliau di PTIK dengan judul Tri Brata sebagai Mythos, Logos dan
Etos.

1) Polri belum punya pedoman hidup sebagaimana TNI telah punya Sapta
Marga.

2) Masyarakat dalam kondisi kritis.

3) Belum adanya instruksi, bagaimana polisi harus bertindak, masih harus


bersandarkan pedoman peninggalan jaman Hindia Belanda dan jaman
Jepang, sehingga perlu adanya pedoman hidup.

h. Tri brata adalah Kaul / ikrar

Kaul atau ikrar merupakan suatu pernyataan yang luhur dari jiwa sendiri,
karena tidak dapat menyatakan lain dari itu. Kaul bukan sumpah, karena
sumpah mengandung unsur paksaan dari luar.

i. Tribrata merupakan pedoman hidup Polri.

1) Tribrata mengandung asas-asas yang berguna sebagai batu ujian dalam


memperkembangkan norma-norma, tetapi tidak dapat diterapkan
kepada perbuatan dalam kenyataan praktek yang konkrit, karena
sifatnya terlalu umum

2) Tribrata itu tidak memberikan suatu norma, tetapi diserahkan kepada


anggota Kepolisian Negara, untuk menjelmakan sendiri kalau kita
berhadapan dengan suatu masalah bagaimana tindakan kita, kalau kita
memahami sebagai pedoman sebagai cita-cita ialah Tribrata, maka cita-
cita menjadi beginsel dan beginsel menjadi generale norm dan generale
norm menjadi casus atau concretenorm, ini diserahkan kepada anggota
kepolisian.

3) Tribrata mengandung asas-asas yang mempunyai hubungan landasan


dengan seluruh kehidupan kejadian sehari-hari.

j. Tribrata sebagai Logos, Mythos dan Ethos.

1) Tribrata sebagai logos.

Tribrata adalah hasil kesimpulan penyelidikan ilmiah dengan (methode


functional) dari perkembangan fungsi polisi, sejalan dengan
perkembangan tipe negara sampai mencapai tipe negara hukum materiil
atau rechstaats dalam arti sosial.

Perkembangan type negara phase pertama ialah Polizei Staats, phase


kedua ialah Rechstaat dalam dua arti yaitu Rechstaat sebagai liberal

74 | Page
rechstaat dan rechstaat dalam arti formil, sedangkan phase ketiga ialah
Staattype yang merupakan juga staattype dari negara kita dan negara
modem di dunia yaitu materialle rechstaat dalam arti sosial etis.

Menyangkut methode yang digunakan Prof. Djoko Soetono, SH dalam


kuliah beliau tentang Tri Brata sebagai mythos, logos dan
ethos,mengatakan methode yang dijalankan, berhubung dengan
penyelidikan fungsi polisi adalah methode Vallenhoven dalam
pidato penyambutannya Exate Rechstwetenschap, itu adalah sejarahnya
dimana harus diketahui regelimatnya daripada bangunan negara itu
dengan membandingkan negara kita dari se1uruh dunia.

Penyelidikan juga berdasarkan kepada historis Vengelijking, jadi tidak


hanya menyinggung kepolisian di Inggris, Amerika dan di negeri
Belanda, tetapi perkembangan itu dibandingkan satu dengan lainnya.
Norma yang sesungguhnya dengan pemilihan tadi menjadi inti sari dari
fungsi polisi. Dan methode ini sekarang disebutkan dengan methode
functional yaitu bahwa sesuatu bangunan dapat dipandang tersendiri,
tetapi harus dihubungkan dengan struktur dengan sosial, contohnya
dengan struktumya dan tipe dari negara itu. Jadi Tribrata adalah
kesimpulan dari penyelidikan daripada perkembangan fungsi polisi,
mencari secara historis redelijk, sehingga merupakan rationelle ideal
type dan merupakan logisering daripada perkembangan polisi yang
terdapat di seluruh dunia.

Jadi Tri Brata bukan sebagai hasil renungan, tetapi sebagai hasil
penyelidikan ilmiah, menggunakan methode ilmiah, diperoleh dari
berpikir tertib dan benar, sehingga kesimpulannya merupakan rumusan
yang benar.

2) Tribrata sebagai mythos.

a) Bambang R. Anees Radea Yulia, dalam bukunya filsafat untuk


umum halaman 36, memberi pengertian tentang mythos.

Apakah mythos itu ? Mythos adalah sebuah cerita yang memberikan


pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang.

Ceritera ini dapat dituturkan, tetapi juga dapat diungkapkan lewat


cara tarian atau pementasan wayang misalnya.

Lewat kisah itu mythos memberikan arah kepada kelakuan manusia


dan merupakan pedoman untuk kebijaksanaan manusia dalam
menjalankan kehidupannya. Lewat mythos ini manusia dapat turut
serta mengambil bagian (berpartisipasi) dalam kejadian kejadian
disekitamya, dapat menanggapi daya-daya kekuatan alam.

75 | Page
b) Tribrata sebagai mythos berbeda dengan mythos pada umumnya
yang tidak berdasarkan kenyataan, sedangkan Tri Brata adalah
suatu.miythe yang berdasarkan suatu logos, berdasarkan
logisitening serta rasionalisitie dari perkembangan fungsi polisi.
Karena itu pada umumnya mythos dipercaya kebenarannya yang
tidak usah di uji lagi tetapi Tribrata dipercaya kebenarannya, karena
berdasarkan kenyataan sebagai hasil penelitian ilmiah yang
mendalam tentang perkembangan fungsi kepolisian.

c) Tribrata adalah suatu mythe.

Mythosnya itu jalan secara logos menganut langkah demi langkah


daripada perkembangan fungsi Polri. Jadi disini terletak
suatu mythos, yaitu Tribrata jalan yang merupakan cakupan secara
ideal type dari kepolisian Negara sehingga menjadi pedoman hidup
yang baik, dari kenyataan das sein menjadi das sollen / cita-cita
mythos bertujuan untuk menggerakkan hingga anggota Polri
terdorong untuk bertindak sebagai apa yang telah ditunjukkan oleh
Tribrata sebagai pedoman hidup itu.

3) Tribrata sebagai ethos.

a) Bertens dalam bukunya Etika hal . 224 menyatakan dalam concise


oxford, Dictionary Ethos disifatkan sebagai characteristic spirit of
community, people or system, suasana khas yang menandai suatu
kelompok bangsa atau sistem Ethos nilai-nilai luhur dan sifat-sifat
baik yang terkandungdalam profesi. Tribrata sebagai ethos
mengandung nilai-nilai dasar yang baik yang terkandung dalam
profesi Polri.

b) Logos sebagaimana yang telah dijelaskan menjadi suatu mythe yang


menjadi atau merupakan pedoman hidup dari seluruh anggota Polri
yang harus ditepati, maka mythe itu mempengaruhi levenshoulding
dari manusia dan disini jalan mempengaruhi dari anggota Polri,
lantas menjadi suatu ethos dari Kepolisian Negara dan ethos itu
memberikan inspirasi dan memberikan arheidsvreugle menjamin,
bahwa anggota polisi merasa bangga terhadap beroepsethieeknya
sebagaimana tercantum dalam Tri Brata.

Di situ letaknya semua Tribrata sebagai ethos, logos, sein menjadi


sollen lalu menjadi mythos dan ini mempengaruhi levensoulding
daripada manusia Polri.

Hal ini sesungguhnya berlaku tidak hanya untuk polisi Indonesia


saja, akan tetapi bagi seluruh polisi di seluruh dunia.

k. Arti Tribrata.

76 | Page
1) Arti Brata I Rastra Sewakottama ; abdi utama daripada Nusa dan
Bangsa.

a) Perkembangan fungsi kepolisian sejalan dengan perkembangan type


negara:

(1) Dalam negara dengan type politiestaat, maka polisi merupakan


machts aparat atau alat kekuasaan untuk menindas rakyat.

(2) Dalam librale rechstaat atau negara hukum yang bersifat liberal.
Rakyat menghendaki supaya pemerintah tidak turut campur
tangan dalam kehidupan rakyat sehari-hari, melainkan hanya
memberikan pertolongan, dimana terdapat ancaman bahaya bagi
rakyat. Dengan penuh kebebasan, yang tidak diganggu oleh
turut campur tangan pihak pemerintah, rakyat akan
memperkembangkan sendiri kesejahteraannya sampai kepada
taraf yang setinggi-tingginya.

Polisi sebagai salah satu aparatur pemerintah tidak


diperbolehkan turut campur tangan dalam persoalan rakyat,
terkecuali kalau ada panggilan, karena terdapat bahaya
atau ancaman bahaya. Jika tidak ada panggilan, polisi
tinggal menunggu saja seperti jaga malam, karena ini negara
hukum tarap ini mendapat julukan negara jaga malam atau
Nachswachter Staat.

(3) Dalam negara hukum yang bersifat formil, rakyat menghendaki


lagi adanya turut campur tangan pemerintah akan
pengaturan kehidupan masyarakat sehari-hari. Hanya turut
campur tangan pemerintah harus diletakkan dahulu dalam
Undang-Undang yang dibuat oleh para wakil dari rakyat.

Di luar undang-undang pemerintah tidak diperbolehkan


mengulurkan tangan membantu kehidupan seharihari daripada
rakyat, karena wewenang turut campur tanpa undang-undang
dikhawatirkan akan berakibat kembalinya pemerintahan
sewenang-wenang.

Turut campur pemerintah ditetapkan terlebih dahulu secara


formil dalam undang-undang Siapa yang melanggar undang-
undang, ia dihadapkan dimuka pengadilan, dimana hakim
memberi hukuman yang setimpal dengan kesalahan yang dibuat
oleh para terdakwa. Karena itu, dalam taraf negara hukum yang
bersifat formil ini undang-undang dan hakim menjadi soko
gurunya. Tugas polisi dalam taraf negara hukum yang bersifat
formil ini dengan sendirinya lebih ditujukan kepada kegiatan

77 | Page
untuk membantu hakim dan jaksa, yang menjadi penuntut
umum dalam sidang-sidang pengadilan. Yang dipentingkan
adalah untuk. menyidik para pelanggar undang-undang dan
mengajukannya dihadapan jaksa dan sidang pengadilan atau
tugas Yustisiillah yang diutamakan oleh polisi.

(4) Dalam materiil rechtstaat atau social ethics atau welvaart staat.

Untuk mengurus dan mencukupi kebutuhan rakyat yang luas


dan mendadak itu, pihak eksekutif tidak dapat lagi menunggu
keluarnya undang-undang yang mengijinkannya untuk turut
serta mengatur pemenuhan kebutuhan dikalangan masyarakat
itu, sebab apabila pengaturan terlambat, maka akibatnya
akan buruk sekali. Oleh karena itu, maka pihak legislatif
terpaksa menyerahkan banyak diantara wewenang untuk
mengatur, kepada pihak eksekutif, sehingga kedudukan
eksekutif menonjol ke muka.

Yang paling penting bagi pemerintah dalam suasana negara


hukum yang bersifat material adalah untuk menyediakan service
yang sebesar-besarnya dan dengan waktu yang secepat-
cepatnya kepada masyarakat.Maka dari sebab itu dapat
dipahami bahwa tugas polisi dalam suasana negara hukum
dalam arti kata social service state, harus ditujukan kepada
masyarakat yang setingi-tingginya.

Apabila dalam taraf negara hukum yang bersifat formil,


tindakan represip terhadap kejahatan sudah dianggap memadai,
maka dalam negara hukum yang bersifat materiil tugas represip
saja tidak mencukupi, namun yang lebih penting adalah tugas
preventif.

Dalam materiil reechhstaat atau social ethics atau welvaart saat


negara adalah publick dienst yang harus menyelenggarakan
kepentingan rakyat. Polisi sebagai organ negara, maka polisi
juga harus menjadi abdi utama yang menyelenggarakan
kepentingan rakyat.

Organ polisi harus mengabdikan diri kepada kepentingan


rakyat / masyarakat atau dilihat secara normatif ia mengabdikan
diri untuk kepentingan nusa dan bangsa.

b) Jadi rumusan abdi utama daripada nusa dan bangsa itu,


sesungguhnya fungsi polisi mengikuti perkembangan polizei staat
melalui reechtstaat dalam dua arti libraale rechstaat, formile

78 | Page
reehstaat yang akhirnya berkembang dalam arti materiil atau social
ethics atau welvaart staat.

c) Dalam hubungan polisi adalah abdi utama dari nusa dan bangsa
seperti dikutip dari buku karangan John Moyler dengan judul : The
Police of Britain yang berbunyi; The Policeman is what his name
denotes, the community man, concerned with general good rule and
government of an organized society or policy and may properly be
called upon for many kinds of service. Jadi pejabat polisi itu disini
disebut sebagai abdi masyarakat ("The community of man") yang
dapat dipanggil untuk berbagai keperluan (for many kinds of
service). Kutipan ini merupakan bukti bahwa Brata pertama dari
Tribrata dikukuhkan oleh kedudukan polisi di Inggris.

d) Kenapa abdi utama ? Polisi adalah abdi utama, karena polisi adalah
aparatur negara yang merupakan pos terdepan / voorpost, jadi
paling pertama berhubungan dengan rakyat.

Dengan demikian polisi mempunyai hubungan yang paling erat


dengan rakyat dibandingkan dengan organ-organ negara lain.
Sejalan dengan kedekatan/keeratan hubungan polisi dengan
masyarakat, maka salah satu asas dalam pelaksanaan tugas
Polri adalah asas subsidiartitas selain asas legalitas, asas kewajiban,
asas partisipasi dan asas preventif.

Asas subsidiartitas yaitu sebagai pelindung, pengayom dan pelayan


masyarakat, maka harus mempermudah, melancarkan dan
menyelamatkan suatu keadaan yang walaupun tidak menjadi
tanggung jawabnya, tetapi dengan kemampuan, fasilitas
kewenangan yang dimilikinya dimungkinkan untuk menolong,
menyalurkan atau mencegah atau mempertahankan keadaan sampai
instansi yang berwenang datang untuk mengambil alih
persoalannya.

Asas ini sangat penting sebagai tindakan kemanusiaan dari


integritas tugas polisi. Dengan demikian, maka dengan asas
subsidiaritas, polisi wajib bertindak untuk memberi perlindungan,
pelayanan, dan pengayoman kepada masyarakat yang membutuhkan
sebelum petugas yang berwenang terhadap masalah tersebut
datang/menanganinya.

Jadi utama tidaklah berarti polisi mempunyai kedudukan yang lebih


tinggi atau di atas masyarakat, hal ini jelas terlihat pada kuliah Prof.
Djoko Soetono, SH dengan judul Tribrata sebagai mithos, logos dan
ethos yang diedit oleh Mayjen Pol (P) Drs. Moh. Subekti (haI54).

79 | Page
" Maka polisi sebagai organ daripada rakyat sebagai hati nurani,
rakyat selalu memperingatkan ini tindakan kamu salah, tetapi kami
adalah tidak diatas kamu, kami adalah sosial institut, kami adalah
sebagai warga negara dari Republik Indonesia ”.

e) Abdi utama daripada nusa dan bangsa dilihat dari segi pengertian
gemein schaft yang bersifat spontan.

Dalam pengertian gemein schaft Negara Nasional dilihat sebagai


masyarakat gotong royong dalam arti solidarisme. Disini para
anggota masyarakat nusa dan bangsa dianggap sebagai abdi yang
penuh cinta terhadap tanah air, abdi masyarakat yang secara spontan
siap sedia untuk menyajikan jasa-jasa untuk kepentingan nusa dan
bangsa.

Bahwa polisi sebagai organ negara mernpakan abdi yang harus


melayani kepentingan masyarakat, sebagai abdi polisi siap sedia
berbakti bagi kepentingan masyarakat, nusa dan bangsa.

f) Pengertian abdi utama dari nusa dan bangsa mengandung makna


sebagai abdi masyarakat. Polisi senantiasa memberikan pelayanan
pengabdiannya dalam wujud perlindungan, pelayanan dan
pengayoman kepada masyarakat tersebut, tetap dalam kerangka
penegakkan hukum dan memelihara Kamtibmas dengan kata lain
tugas-tugas penegakkan hukum dan memelihara Kamtibmas
senantiasa dilandasi dan dijiwai oleh tugas- tugas untuk melindungi,
melayani dan mengayomi masyarakat.

g) Dengan pengabdian sebesar-besamya diusahakan, agar supaya dapat


dicegah segala kejahatan dan pelanggaran serta gangguan terhadap
ketertiban dan ketentraman umum. Karena itu Brata I mengandung
asas preventif, dimana terkandung sendi-sendi prikemanusiaan.

h) Sendi abdi utama daripada nusa dan bangsa dianggap sebagai Brata
yang terpenting dalam rangka pemikiran nasional, maka sendi abdi
utama diletakkan sebagai Brata pertama dalam Tribrata., Rastra
Sewakottama dimaksudkan sebagai parsprototo untuk seluruh
Tribrata, karena sendi abdi utama tersebut di anggap sebagai yang
terpenting dan mencakup sendi-sendi lainnya daripada Tribrata,
karena itu motto Rastra Sewakottama dicantumkan dalam panji-
panji Polri.

Semuanya ini merupakan bukti bahwa sebenamya sejak awal sudah


diletakkan landasan dalam Tribrata, bahwa Polri harus pertama-
tama mengutamakan orientasi pelaksanaan tugasnya adalah
pelayanan, perlindungan dan pengayoman kepada masyarakat.

80 | Page
Memang dapat dimengerti bahwa dalam Paradigma baru dinyatakan
bahwa Polri lebih mengutamakan tugas pelayanan, pengayoman dan
perlindungan kepada masyarakat, sebagai akibat dari tingkah laku
Polri selama ini lebih menitik beratkan kepada penggunaan
pendekatan represif, pendekatan keamanan, lebih menitik beratkan
penggunaan kekuasaan, berpenampilan militeristik.dan pengayoman
kepada penguasa.

Jadi dalam Paradigma baru untuk lebih menekankan komitmen


Polri guna merubah praktek-praktek tingkah laku Polri selama ini
dengan menampilkan polisi sipil yang berorientasi kepada
masyarakat.

Dengan Paradigma yang baru tersebut pada hakekatnya kita


kembali ke jati diri Polri yaitu Tribrata sebagai pedoman hidup
Polri, sebagai sumber dari kode etik profesi Polri.

i) Dari uraian arti Brata I dari Tribrata Polri sebagai abdi utama dari
nusa dan bangsa mengandung nilai-nilai moral:

(I) Melayani, melindungi, mengayomi.

(2) Patriotisme, kerelaan berkorban, cinta tanah air, pantang


menyerah, percaya diri sendiri, siap sedia dengan
keikhlasan,berbakti untuk kepentingan masyarakat tanpa
pamrih.

(3) Asas preventif

2) Brata II Negara yanottama warga negara teladan daripada negara

a) Negara pada Brata kedua merupakan istilah yang dilihat dari


pengertian gessell schaft yang bersifat rasional, dimana negara
sebagai organisasi yang tersusun secara rasional. Disini anggota
masyarakat berkedudukan sebagai warga negara yang mempunyai
hak dan kewajiban.

Menurut hati nurani warganegara yang baik adalah warganegara


yang senantiasa menjunjung tinggi kaedah-kaedah negara, yang
menjadi tauladan bagi warganegara lainnya.

Dalam pengertian warganegara yang menaati kaedah-kaedah negara


sudah tercakup didalamnya pengertian tolong-menolong. Demikian
pula, apabila ide menjaga ketertiban pribadi diterapkan kepada
warganegara, maka warganegara yang berketertiban pribadi adalah
warganegara yang senantiasa menjunjung tinggi kaedah-kaedah

81 | Page
negara yaitu warganegara teladan atau warganegara utama dari
negara.

b) Pada absolute monorchi hubungan antara seorang dengan negara itu


dipandang sebagai kaula negara. Sekarang sebagai warganegara
yang mempunyai hak asasi dan kewajiban-kewajiban. Polisi sebagai
organ negara mempunyai fungsi yang berubah tidak lagi sebagai
machts aparaat/alat kekuasaan, tetapi sebagai sociale institut (badan
sosial) yang bertugas menyelenggarakan kepentingan masyarakat,
karena itu polisi adalah warganegara utama atau warganegara
teladan daripada negara

Mengapa warganegara utama ? Polisi itu pada hakekatnya adalah


warga negara sebagaimana dengan warga negara lainnya, tetapi ia
mempunyai tugas kewajiban untuk menegakkan hukum.

Orang yang dipercaya untuk mengemban tugas menegakkan


hukum, supaya tidak terjadi krisis kewibawaan, maka pertama-tama
dituntut terhadap dirinya harus bersih terlebih dahulu dan harus
menepati semua kewajibannya sebagai warganegara.

Karena itu, polisi sebagai penegak hukum harus pertama-tama


memberi contoh dahulu, dia dituntut untuk menjadi warganegara
utama yang bisa dijadikan teladan oleh masyarakat.

Jadi pengertian utama/teladan disini bukan merupakan warganegara


yang mempunyai hak lebih tinggi daripada warganegara lainnya,
tetapi warganegara yang harus bisa memberi contoh bagi
masyarakat, sehingga mendorong masyarakat untuk mematuhi
hukum.

c) Sebagai warganegara, maka dalam pelaksanaan tugasnya polisi


memperlakukan penduduk sebagai sesama warganegara yang
sederajat, sendi persamaan adalah salah satu sendi pokok daripada
demokrasi. Sebagai warganegara teladan menghendaki anggota
Polri memiliki nilai-nilai moral untuk senantiasa menjunjung tinggi
hukum, HAM, menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan.

d) Berkaitan dengan tuntutan kepada polisi untuk bisa menjadi


warganegara teladan daripada negara sejalan dengan apa yang
dikemukakan oleh Prof. Dr. Hotman R. Siahaan pada orasi ilmiah
Dies Natalis Ke-59 PTIK, yang berjudul Paradigma Perpolisian
Komunitas Mengantisipasi Konflik Sosial Pemilihan Kepala Daerah
(pada hal 40).

Ada beberapa pemikiran yang mungkin dapat dipertimbangkan oleh


jajaran kepolisian menghadapi potensi konflik yang muncul dalam

82 | Page
pilkada diseantero negeri ini antara lain : untuk menumbuhkan
social trust masyarakat terhadap kinerja aparat kepolisian dan juga
institusi kepolisian, maka seluruh jajaran kepolisian dituntut mampu
mengembangkan diri mereka sebagai minoritas kreatif (creatif
minority) dalam penegakkan hukum dan HAM, serta juga mampu
menempatkan diri sebagai teladan moralitas dalam masyarakatnya,
dan juga membangun human relations dengan semua komponen
masyarakat/khususnya dalam konteks pilkada adalah para politisi
dan para tokoh agama untuk menumbuhkan citra positif polisi.

Jadi bukan hanya teladan dalam mentaati hukum, tetapi lebih jauh
adalah teladan moralitas yang harus tercermin pada pelaksanaan
tugas Polri sebagai pengayom, pelindung dan pelayan masyarakat,
sebagai penegak hukum dan pemelihara Kamtibmas.

3) Brata III Yana Anucasana Dharma wajib menjaga ketertiban pribadi


daripada rakyat.

a) Tugas polisi dikaitkan dengan Tata Tentram Kerta Raharja adalah


pembinaan ketertiban dan keamanan umum, agar ketertiban dan
keamanan umum dapat tercapai, maka masyarakat sebagai
keseluruhan mengikatkan diri pada kaedahkaedah yang disepakati
bersama untuk ditaati oleh semua anggota masyarakat. Ini berarti
bahwa masyarakat menekankan suatu ketertiban kepada diri
pribadinya , justru untuk kepentingan terciptanya suasana kegiatan
usaha yang meningkat bagi tercapainya tujuan masyarakat.

Agar ketertiban dan keamanan dapat dicapai, maka dibentuk organ


polisi untuk menjaga ketertiban dan keamanan umum itu dan bila
perlu dengan paksaan, agar aturan-aturan kesepakatan itu dipatuhi.
Jadi tugas polisi adalah memelihara Kamtibmas dan menegakkan
hukum. Ketertiban dan keamanan umum akan tercapai, manakala
terpelihara dan terjaganya ketertiban pribadi daripada anggota
masyarakat yang tergantung dari kesadaran berkaidah bagi setiap
anggota masyarakat untuk mentaati dan mematuhi aturan-aturan
yang telah disepakati bersama tersebut, yang pada gilirannya
tergantung dari hati nurani anggota dari masyarakat.

Bruce Smith dalam bukunya yang berjudul Police System In The


United State, menyatakan : When Organized Society sets up a
Police Force is motives of self dicipline. Jadi kalau masyarakat
teratur mengadakan organ polisi, maka itu disebabkan pertimbangan
disiplin pribadi/ketertiban pribadi. Dengan demikian justru dalam
pertimbangan ketertiban pribadi inilah letak hubungan pokok antara
tugas serta organ polisi dengan perkembangan kepribadian yang
tercantum dalam Tri Brata.
83 | Page
Hati nurani adalah sumber daripada kesadaran bertindak. Dilihat ke
dalam polisi adalah hati nurani daripada rakyat, dilihat ke luar polisi
menjaga ketertiban pribadi daripada rakyat. Brata ketiga ini
mengandung asas preventif dari pelaksanaan tugas Polri, karena
dengan dijaganya ketertiban pribadi daripada rakyat yang dijalankan
dengan usaha peningkatan kesadaran berkaedah masyarakat, maka
kejahatan dan pelanggaran dapat dicegah.

Asas preventif ini sesuai dengan aliran modern dikalangan


kepolisian. Kalaupun harus diambil tindakan represif dalam bentuk
upaya paksa itu harus dilaksanakan berdasarkan hukum dengan
menjunjung tinggi HAM. Pelaku kejahatan adalah warganegara atau
anggota masyarakat yang tersesat, yang harus dibina, dibimbing
untuk kembali menjadi warganegara yang patuh dan taat hukum.

b). Nilai-nilai moral yang terkandung :

(1) Pengawasan yang terus-menerus dengan penuh kewaspadaan


untuk memonitor perkembangan masyarakat, sehingga setiap
saat dapat mengambil langkahlangkah pencegahan atau bila
perlu tindakan represif dalam upaya menjaga ketertiban dan
keamanan umum.

(2) Mengutamakan tindakan preventif/pencegahan.

(3) Tindakan harus senantiasa berdasarkan hukum dan menjunjung


tinggi HAM.

l. Tribrata : Bhakti, Dharma, Waspada :

1) Pada lambang Polri terdapat motto : Rastra Sewakottama atau abdi


utama daripada nusa dan bangsa (Brata I Tri Brata), maka pada
lambang/pataka PTIK terdapat kata-kata Bhakti, Dharma, Waspada.

Keputusan untuk menetapkan kata-kata bhakti, dharma, waspada pada


lambang PTIK mulai diperkembangkan pada tahun 1958, setelah Prof.
Djoko Soetono, SH mengadakan penelitian yang lebih lanjut tentang
Tri Brata dan sampai pada kesimpulan bahwa :

a). Bhakti dimaksudkan sebagai isi daripada Brata pertama.

b). Dharma sebagai daripada Brata kedua.

c). Waspada sebagai isi daripada Brata ketiga.

2) Bhakti :

84 | Page
Bhakti adalah pengabdian yang dilandasi cinta. Sebagai abdi dari nusa
dan bangsa, maka polisi dalam pengabdiannya berupa pelayanan,
pengayoman dan perlindungan kepada masyarakat dilandasi oleh
kecintaan kepada negara, bangsa/masyarakat. Melandasi atas kecintaan
dalam pengabdiannya, maka polisi rela berkorban, ikhlas dalam
pengabdiannya tidakmengharapkan pamrih, setia, pantang menyerah
dalam pengabdiannya kepada nusa dan bangsa.

Ide gemein schaft dihubungkan dengan Brata pertama membawa kita


kepada kesimpulan bahwa sendi abdi utama itu berisikan pembaktian
terhadap masyarakat, tanah air, karena itu tepatlah digunakan perkataan
bhakti.

3) Dharma :

Dalam buku Sara Samuccaya oleh G. Pudja, MA, SH cetakan ke III,


Departemen Agama RI (pada hal 285) dinyatakan Dharma mempunyai
banyak arti.

Adapun yang bersifat umum adalah kebenaran, hukum, kebajikan dan


agama, sedangkan dilihat pengertian yang terkandung menurut kata itu
dharma berarti menopang dan secara umum diartikan lebih jauh segala
sesuatu yang dapat menjaga alam semesta ini disebut Dharma pula.

Dari pengertian kata itu akhirnya dapat disimpulkan bahwa kebutuhan


manusia akan adanya kepastian dan tertib hukum adalah suatu
kebutuhan hidup manusia yang paling hakiki. Tanpa dharma hidup
manusia akan selalu bertentangan antara satu dengan yang lain. Dan
masyarkatpun selalu bertentangan antara yang kuat akan memakan
yang lemah sebagai suatu hukum rimba. Dalam keadaan seperti itu,
dharma berfungsi melindungi yang lemah dan karena itu dikatakan
Dharma bersifat menyangga pula.

Dengan demikian Dharma disini berarti dalam pelaksanaan tugas Polri


harus menaati hukum, semua tindakannya berdasarkan hukum dan
senantiasa menjunjung tinggi/membela kebenaran dan kebajikan yang
dilandasi atas keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan yang Maha Esa,
sehingga bisa menjadi teladan dari masyarakat, sejalan dengan itu nilai-
nilai moral yang terkandung adalah patuh pada hukum, menjunjung
tinggi HAM, membela kebenaran dan keadilan, kebajikan, iman dan
taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Dengan demikian tepatlah kalau isi dari Brata II disimpulkan sebagai


Dharma.

4) Waspada :

85 | Page
Dalam menjaga ketertiban pribadi daripada masyarakat, maka Polri
harus senantiasa waspada dengan berjaga sepanjang waktu, agar
masyarakat tentram (Vigilat Quiescant).

Dengan senantiasa berjaga sepanjang waktu semua perkembangan


ketertiban pribadi masyarakat akan termonitor dan polisi dapat
melaksanakan tugas dengan mengambil tindakan yang tepat untuk
mencegah, agar tidak terjadi gangguan atau mengambil tindakan
represip kalau diperlukan untuk mengungkap tuntas kasus yang terjadi.

Dengan kewaspadaan sepanjang waktu ini, maka berarti polisi


senantiasa siap siaga, maka masyarakat akan merasa tentram.

Dengan demikian adalah tepat penggunaan kata waspada sebagai


kesimpulan dari isi Brata ke III dari Tri Brata.

m. Tri Brata sebagai polisinya polisi

Tri Brata bermakna polisi bagi polisi, kalau polisi benar-benar mengerti,
memahami dan menghayati Tri Brata, sehingga ikrar kita benar : dalam,
maka Tri Brata menjadi mythos, Tri Brata dianggap sebagai kebenaran
yang tidak dapat digugat dan Tri Brata sebagai ethos kita.

Sehingga dia akan senantiasa menjadi pengawas bagi kita melalui hati
nurani atau senantiasa mengingatkan polisi untuk senantiasa bertingkah
laku yang baik, bertingkah laku yang etis dan tidak melakukan
penyimpangan.

Senantiasa mengingatkan polisi untuk senantiasa bertingkah laku seperti


Tri Brata dan tidak dapat bertingkah laku lain, selain bertingkah laku
sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Tri Brata tersebut.

5. Catur Prasetya :

a. Catur Prasetya adalah amanat Mahapatih Gajah Mada yang berasal dari
tulisan kepada para pasukan Bhayangkara yang dipimpinnya. Pada waktu
itu bentuk negara adalah kerajaan, dimana kepala negaranya adalah raja.
Raja adalah merupakan penjelmaan Tuhan di dunia, karena itu setia dan
patuh kepada raja berarti setia dan patuh juga terhadap Tuhan.

Tugas pasukan Bhayangkara adalah menjaga ketentraman, ketertiban,


menegakkan peraturan sekaligus sebagai pengawal pribadi raja negara
Majapahit. Situasi yang dihadapi pada waktu itu adalah menyelamatkan
raja Jayanegara dan negara/kerajaan dari pemberontakkan yang dipimpin
oleh Ra Kuti.

Adapun amanat Mahapatih Gajah Mada tersebut adalah :

86 | Page
1) Supaya pasukan Bhayangkara Satya Haprabu. Sikap setia kepada
negara dan raja, karena raja adalah merupakan penjelmaan Tuhan di
dunia, sehingga apabila setia dan patuh kepada rajanya berarti setia dan
patuh juga terhadap Tuhannya. Karena itu apa yang dikatakan oleh raja
itu berarti sama dengan perintah Tuhan yang harus dipatuhi.

2) Supaya pasukan Bhayangkara Hanyaken musuh. Tindakan untuk selalu


melenyapkan musuh, baik musuh negara maupun musuh masyarakat.
Karena pada waktu itu, ada anggota Sapta Dharma Putra yang ingin
membunuh raja dan ingin merebut tahta kerajaan.

3) Supaya pasukan Bhayangkara Gineung Pratidina suatu tekad


mempertahankan negara, yang pada waktu itu raja Jayanegara
meloloskan diri dari ibu kota kerajaan meninggalkan kerajaan
Majapahit beserta pengawalnya, maka oleh gajah Mada ditimbulkanlah
semangat lagi dan meningkatkan kualitas pengabdiannya, untuk
mempertahankan negara dan merebut kembali negara Majapahit dari Ra
Kuti yang telah menduduki tahta kerajaan dengan cara licik.

4) Supaya pasukan Bhayangkara Tan Satrisna, ini merupakan sikap yang


muncul dari hati nurani yang ikhlas tanpa pamrih, tidak terikat sesuatu
hadiah.

Hal ini perlu disampaikan kepada anggota pasukan Bhayangkara,


karena pada saat Gajah Mada ke luar dari persembunyiaanya di desa
Bedander, pergi ke ibu kota menyamar sebagai rakyat jelata yang ingin
mengetahui sikap rakyat.

Dalam penyamarannya itulah, Gajah Mada mengetahui bahwa Ra Kuti


mengadakan sayembara bagi siapa saja yang dapat menunjukkan
dimana Jayanegara berada, akan diberi hadiah satu pundi-pundi uang
emas.

b. Berbeda dengan kerajaan Majapahit, sekarang ini negara Indonesia adalah


Negara Demokratis berdasarkan atas hukum, sebagai negara demokratis
berarti kedaulatan ada ditangan rakyat. Negara adalah organ yang bertugas
dan berkewajiban menyiapkan jasa jasa yang dibutuhkan
rakyat/masyarakat. Polisi sebagai bagian dari organ negara adalah abdi
negara yang bertugas untuk melayani, melindungi dan mengayomi
masyarakat, memelihara Kamtibmas serta menegakkan hukum.

Dalam penafsiran arti butir-butir Catur Prasetya harus disesuaikan dengan


perkembangan tipe negara kita sebagai negara demokratis yang
berdasarkan hukum dan harus sejalan dengan Tri Brata yang merupakan
pedoman hidup Polri.

c. Arti Prasetya I

87 | Page
Satya Haprabu setia kepada negara dan pimpinannya.

Satya Haprabu berarti

Setia kepada negara, setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia,


setia kepada bangsa/rakyat Indonesia, setia kepada wilayah negara
Kesatuan Republik Indonesia, setia kepada pemerintah negara sudah
termasuk kesetiaan kepada Kepala Negara/Pimpinan.

Polri adalah abdi negara bukan alat penguasa, walaupun kesetiaan kepada
negara sudah termasuk kesetiaan kepada Pimpinan Negara, tetapi polisi
bukan alat penguasa, polisi bukan alat pemerintah, polisi adalah alat negara,
polisi adalah abdi negara yang menyiapkan jasa-jasa kepada
masyarakat/rakyat, polisi melindungi, mengayomi dan melayani
masyakarakat dalam rangka menegakkan hukum dan memelihara
Kamtibmas.

d. Prasetya II Hanyaken musuh mengenyahkan musuh-musuh negara dan


masyarakat.

Musuh Polri yang harus dihilangkan/dibasmi adalah FKK, PH, AF (faktor-


faktor korelatip kriminogin, Police Hazard, dan ancaman faktual).
Ancaman faktual berupa kejahatan, pelanggaran dan gangguan Kamtibmas,
sedangkan pelaku kejahatan, pelanggaran dan gangguan Kamtibmas adalah
warga masyarakat yang tersesat, yang harus dibimbing untuk bisa kembali
menjadi warga masyarakat yang taat dan patuh hukum.

Jadi musuh-musuh yang harus dibasmi adalah bukan pelaku kejahatan,


pelanggaran atau gangguan Kamtibmas, tetapi aktivitas/kegiatan dari
pelaku tersebut, dalam wujud kejahatan, pelanggaran dan gangguan
Kamtibmas.

Di dalam membasmi musuh-musuh ini, maka harus senantiasa


berlandaskan norma-norma hukum, dan mengindahkan norma kesusilaan,
norma kesopanan norma agama dan menjunjung tinggi HAM.

Dikaitkan dengan etika, maka sebagai individu musuh anggota Polri juga
ada didalam dirinya sendiri adalah niat untuk melakukan penyimpangan
harus dibasmi dengan senantiasa memelihara, memupuk dan
menumbuhkan kembangkan nilai-nilai moral etika profesi Polri.

e. Prasetya III Gineung Pratidiana, mengagungkan negara, Anggota Polri


harus senantiasa mengagungkan negara melalui kerja keras/rame ing gawe
dalam pengabdiannya kepada negara dan bangsa.

88 | Page
f. Prasetya IV Tan Satrisna tidak terikat kepada sesuatu. Dalam melaksanakan
tugas tidak terikat sesuatu sepi ing pamrih, pengabdian karena kewajiban
melaksanakan tugas, karena panggilan pengabdian, karena kewajiban.

6. Hubungan Tri Brata dengan Pancasila :

a. Menurut Prof. Djoko soetono, SH

Berkaitan dengan rencana dari pada planning daripada negara modern,


maka polisi itu adalah aparat daripada disiplin daripada rakyat sendiri
disitulah dengan singkat letaknya daripada isi Tri Brata. Sebagai disiplin
aparat berhubungan dengan rencana untuk mempertahankan rencana ini
harus ada social controlnya, sebab sekarang kita hidup dalam massificate
proces, dan orang hidup massale democratic dan orang bergerak dalam
ikatan massal, misalnya orang bergerak dalam rapat raksasa dan itu
menimbulkan banyak kerawanan keamanan dan tentram, kalau tidak ada
suatu aparat yang bisa mengontrol hal itu.

Arti social control itu apa ?

Social control membuat suatu massa menjadi suatu gemein schaft yang ada
dindingnya, yang ada tanggung jawabnya antara satu dengan yang lain.
Apakah inti dari gemein schaft itu?

Intinya tidak lain dan tidak bukan adalah gotong royong. Kalau dilihat
dalam Pancasila, maka dapat diperas menjadi gotong royong.

Masyarakat kita, masyarakat Indonesia disamping gotong royong telah


terdapat tolong-menolong. Gotong royong adalah solidarisme, sedangkan
dalam tolong-menolong itu adalah mutualisme, sudah ada individualisering
proces.

Abdi utama pada Brata I adalah gotong royong dalam arti solidarisme kita
harus berkorban dan kita harus mengabdi kepada nusa dan bangsa. Kalau
warganegra pada Brata II itu sudah tolong menolong karena sudah ada
proses individualisering, dimana satu warganegara harus menolong
warganegara lainnya. Jadi, Pancasila yang intinya gotong royong telah
menyinari Tribrata yang didalamnya juga tersimpul gotong royong, karena
Tribrata itu cakupannya tiga hal yang maksudnya mau membikin massa
menjadi gemein schap.

Jadi Prof. Djoko Soetono, SH tidak menghubungkan BrataBrata dari


Tribrata dengan sila-sila dari Pancasila satu persatu, tetapi melihat
hubungan Pancasila dari Tri Brata secara umum sila-sila Pancasila
terpancar menyinari Tri Brata dalam wujud gotong royong.

89 | Page
b. Menurut Bapak Mayjen (P) Drs. Soeparno. S. Atmadja dalam bukunya
yang berjudul Tri Brata.

Jika kita mengadakan tinjauan isi daripada Tri Brata, maka didalamnya
sebenarnya tersimpul pula sendi-sendi yang terdapat pada Pancasila,
sehingga Tri Brata seolah-olah mendapat sinar dari Pancasila.

1) Sila ketiga Pancasila menyinari atau menjiwai Brata 1 & II Tri Brata.

Dalam Brata I & II tersimpul ide negara nasional atau negara


kebangsaan, dimana sendi kebangsaan ini adalah sila ke III Pancasila.

2) Sila kedua Pancasila menyinari Brata III & I Tri Brata.

Brata ketiga yang mengandung sendi menjaga ketertiban pribadi


daripada rakyat, menghendaki bahwa pembinaan ketertiban dan
keamanan umum dilakukan secara preventif ialah dengan membina
ketertiban pribadi daripada rakyat. Segi preventif ini didalamnya
mengandung sendi kemanusiaan.

Begitu pula Brata pertama tentang sendi abdi utama daripada nusa dan
bangsa, menghendaki tugas polisi diselenggarakan secara preventif.

Sebab dengan pengabdian sebesar-besarnya diusahakan, agar supaya


dapat dicegah segala kejahatan, pelanggaran dan gangguan terhadap
ketertiban dan keamanan umum.

Karena itu, baik Brata ketiga maupun Brata pertama sesungguhnya


mengandung sendi perikemanusiaan, yang terdapat pada sila kedua
daripada Pancasila.

3) Sila keempat Pancasila menyinari Brata II & I, Brata kedua


menghendaki organ polisi sebagai warganegara utama daripada negara
dapat memberi contoh kepada warganegara lainnya, dalam memegang
keadilan dan menjunjung hukum negara. Disini organ polisi dilihat
sebagai warganegara lainnya, hanya karena tugasnya, maka polisi harus
dapat memberi contoh yang baik kepada warganegara lainnya.

Karena itu, dapat dilihat terjalinnya sendi persamaan antara polisi


sebagai warganegara dan warganegara lainnya. Dan memang dalam
hubungan sendi ini, dari pihak polisi diharapkan, supaya ia
memperlakukan penduduk sebagai sesama warganegara yang sederajat.
Sendi persamaan adalah salah satu sendi pokok daripada demokratis,
sehingga dapat dikatakan bahwa Brata II mengandung sendi demokrasi
didalamnya.

Apalagi kalau kita meninjau Brata I yang berisikan asas bahwa polisi
itu adalah abdi utama daripada nusa dan bangsa atau daripada rakyat

90 | Page
sebagai eksponen daripada bangsa, maka asas kedaulatan ditangan
rakyat yang merupakan sendi pokok daripada demokrasi.

Dan sendi demokrasi yang disebut dengan kata-kata kedaulatan rakyat,


adalah tersimpul dalam sila keempat daripada Pancasila.

4) Sila kelima Pancasila menyinari Brata II Tri Brata, Brata kedua yang
berisikan sendi warganegara utama daripada negara menghendaki
bahwa anggota polisi yang senantiasa menjunjung tinggi keadilan dan
hukum negara bertindak adil bijaksana dan ini adalah sesuai dengan
sendi keadilan sosial yang tercantum dalam sila kelima Pancasila.

5) Sila kesatu Pancasila menyinari Brata I, II & III dari Tribrata.

Respon terhadap sifat-sifat Ketuhanan Yang Maha Esa, ternyata


tersimpul pula didalam Tri Brata. Dalam Trigrata tampak adanya sendi-
sendi yang merupakan jawaban atas sifat-sifat Tuhan Yang Rahman,
Yang Rohim dan sebagai Maliki Yaumidin.

Brata 1 yang mengandung sendi patriotisme sebenarnya tercermin


respon kita terhadap Tuhan Yang Rahman atau Pemurah.

Sebagai jawaban kepada Tuhan Yang Pemurah itu, kita menunjukkan


sikap patriotik terhadap nusa dan bangsa.

Brata kedua yang berisikan sendi warganegara utama negara, dilihat


sebagai respon kita terhadap Tuhan Yang Rohim atau Penyayang.
Sebagai jawaban atas Tuhan Yang Penyayang itu, kita bertekad untuk
membina negara yang merdeka dan berdaulat ini dengan baik. Dengan
menunjukkan kepribadian sebagai warganegara tauladan yang memberi
contoh kepada warganegara lainnya.

Adapun Brata ketiga merupakan respon kita kepada sifat Tuhan sebagai
Maliki Yaumidin yang mengadili di hari akhir menghendaki, bahwa
kita sebagai makhlukNYA mengikuti apa yang diridhoi oleh-NYA. Ini
berarti kita harus bersikap dan berbuat sesuai dengan hati nurani kita
yang murni. Dengan adanya sendi hati nurani daripada rakyat atau
wajib menjaga ketertiban pribadi daripada rakyat, maka kita
memberikan jawaban atas sifat Tuhan Maliki Yaumidin.

Mengingat uraian diatas dapatlah dikatakan bahwa silasila dari


Pancasila kesemuanya terjalin dalam BrataBrata dari Tri Brata.

Karena itulah dapat dipahami pula, bahwa dalam lambang Tribrata


terdapat tiga bintang bersudut lima sebagai gambaran tentang pancaran
Pancasila terhadap Tribrata.

7. Hubungan Tri Brata dengan Catur Prasetya :

91 | Page
a. Tribrata merupakan pedoman hidup Polri dan Catur Prasetya merupakan
pedoman karya Polri mempunyai hubungan satu sama lain. Hubungan
antara Tri Brata dari Catur Prasetya dikemukakan oleh Prof. Djoko
Soetono, SH dalam tulisan beliau tentang arti Tri Brata untuk Revolusi
Indonesia yang pada intinya dapat disimpulkan sebagai berikut :

1). Tri Brata sebagai pedoman hidup, Beroeps/Corps Ethiek Polri memang
nampaknya lunak, kurang tegas.

Dalam tampak lunak, halus tersebut bersemayam jiwa Ksatriaan


tangguh, satrio utomo, ladak ririh, memiliki ingehouden kracht,
memiliki kekuatan potensial untuk memihak kepada rakyat, weruh ing
semu, tangguh lan weweko, apabila dirinya tersinggung ; dalam
menunaikan tugas selalu dengan kebesaran jiwa dan lapang dada.

2). Dengan Catur Prasetya, terutama Hanyaken musuh, tugas polisi


menjadi dipertajam, dipertegas. Hanyaken musuh bukan berarti
membunuh musuh, tetapi yang penting ialah meniadakan kegiatan
daripada musuh dengan postulaat seperti yang diamanatkan dalam Tri
Brata dengan tetap menyelamatkan pelakunya dengan selalu
mengutamakan upaya-upaya yang sesuai dengan hukum dan yang
seimbang menurut keperluan.

3). Tribrata tidak boleh diceraikan dari Catur Prasetya :

a). Oleh karena saking bhaktinya, terlalu dharmanya terlampau


waspadanya, maka terjadi tidak hanyaken musuh dengan secepat-
cepatnya.

b). Sebaliknya jika hanyaken musuh dengan meninggalkan Tri Brata,


maka akan terjadi exces/peliaran didalam menjalankan tugasnya.

Ingat, masyarakat baru Indonesia tak menginginkan kembalinya


praktek kepolisian bergaya polisi kolonial penindas dan menuntut
democratisering daripada tugas kepolisian.

4). Catur Prasetya mengutamakan memukul dan hancurkan musuh-musuh.

Dalam melaksanakan tugas, polisi dihadapkan kepada perlawanan dari


para pelaku gangguan Kamtibmas, tetapi polisi harus tahan uji,
memiliki ketahanan dan keuletan dalam pengabdian. Tribrata memberi
ketahanan, memberi jiwa potensial yang membaja dan gemblengan,
memancar dari ketahanan jiwa, pancaran hati nurani nan bersih.
Bukankah Tri Brata itu merupakan polisinya polisi sendiri?

5). Disamping disiplin yang kuat (Catur Prasetya) harus ada ketahanan
mental dan moral yang tinggi, bahkan bersedia mati sahid menjadi

92 | Page
satrio utomo (Tri Brata dalam melaksanakan tugas suci dan luhur bagi
perwujudan Tata Tentram Kerta Raharja).

6). Dalam menilai musuh harus selalu waspada, sehingga dapat diambil
tindakan/sikap tegas dan tepat.

7). Tri Brata sebagai pedoman hidup Polri bagaikan pemancaran halus
daripada Pancasila, selalu membimbing, memberi pimpinan dan
pengendalian (bukan semangat lahir saja) dalam mengamalkan Catur
Prasetya.

Catur Prasetya sebagai pedoman karya Polri bagaikan pemancaran


wadah daripada Pancasila, demi pengabdian tiap warga Polri kepada
Ibu Pertiwi, setia kepada sumbernya Pancasila yaitu sebagai dasar
negara, yang menghormati rakyat yang berjuang mencapai masyarakat
Tata Tentram Kerta Raharja.

8. Pemaknaan Baru Tri Brata :

a. Rumusan Tri Brata

Rumusan pemaknaan baru Tri Brata sebagai nilai dasar dan pedoman moral
Polri dituangkan dalam Keputusan Kapolri No.Pol.: Kep/17/VI/2002
tanggal 24 Juni 2002.

Kami Polisi Indonesia:

l. Berbhakti kepada nusa dan bangsa dengan penuh ketakwaan terhadap


Tuhan Yang Maha Esa.

2. Menjunjung tinggi kebenaran, keadilan dan kemanusiaan dalam


menegakkan hukum negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

3. Senantiasa melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat dengan


keikhlasan untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban.

b. Arti Tri Brata : (tiga asas kewajiban)

Tri Brata adalah nilai dasar yang merupakan pedoman moral dan penuntun
moral bagi setiap anggota Polri serta dapat pula berlaku bagi pengemban
fungsi kepolisian lainnya.

c. Latar belakang :

1) Reformasi yang meningkatkan tuntutan masyarakat terhadap


penghayatan dan perlindungan hak asasi manusia serta penegakkan
hukum, supremasi hukum yang pada gilirannya bermuara pada tuntutan
pelaksanaan tugas Polri yang lebih profesional, yang bertumpu pada

93 | Page
perubahan aspek kultural Polri Untuk mewujudkan kultur Polri yang
lebih profesional, dimana diharapkan anggota Polri mampu menjawab
tantangan tugas yang semakin komplek, perlu diadakan perubahan
mendasar pada aspek instrumental yang menjadi faktor stimulus bagi
terciptanya kultur polisi yang diharapkan dengan mengadakan rumusan
pemaknaan baru Tri Brata.

2) Perlu digaris bawahi bahwa pemaknaan baru Tribrata ini :

a) Tanpa meninggalkan makna-makna Tribrata yang sudah dikenal


selama ini.

b) Tribrata yang dikenal selama ini terbukti mampu mewgenal segenap


insan Polri dalam pengabdiannya kepada masyarakat, bangsa dan
negara.

d. Dasar Pemikiran :

1) Sebagai pedoman, diharapkan bahwa makna yang terkandung


didalamnya dapat langsung dilaksanakan oleh segenap anggota Polri,
namun salah satu kendala yang dihadapi justru pada permahaman
bahasa serta rumusan Tribrata yang sarat dengan filsafat.

2) Kemampuan anggota Polri terutama pada tingkat bawah untuk


mencerna nilai-nilai yang sifatnya filsafat, ternyata sulit dan oleh
karenanya diperlukan rumusan dalam bahasa Indonesia yang lebih
sederhana dan mudah dimengerti.

e. Nilai Tribrata :

1) Nilai dasar Tribrata tidak lagi menggambarkan atau berisi niat, kaul,
asas-asas, namun secara riil rumusan pemaknaan baru Tri Brata berisi
pernyataan-pernyataan yang lebih menggambarkan secara konkrit nilai
dasar dan filosofi tugas pengabdian setiap anggota Polri dalam
menjawab tuntutan dan harapan masyarakat modern.

Nilai-nilai dasar yang terkandung dalam pemaknaan baru Tri Brata


adalah :

a) Nilai Paham Kebangsaan

b) Nilai Ketuhanan

c) Nilai Paham Negara Hukum

d) Nilai Paham Sosial Welfare State

94 | Page
Nilai-nilai dasar ini merupakan jati diri Polri dan pedoman moral setiap
anggota Polri dalam mengemban tugas dan wewenangnya, serta
memelihara kemampuan profesinya.

2). Nilai-nilai Tribrata adalah nilai-nilai yang terkandung didalam Tri Brata
yang merupakan satu kesatuan yang utuh yang tersusun secara
hierarkhis. dan saling mengontrol, agar setiap nilai tidak membias dari
makna yang sesungguhnya.

Adapun tata nilai tersebut adalah sebagai berikut :

a) Berbakti

b) Bertaqwa

c) Menjunjung tinggi kebenaran

d) Menjunjung tinggi keadilan

e) Menjunjung tinggi kemanusiaan

f) Pemaknaan peran sebagai pelindung, pengayom dan pelayan


masyarakat.

g) Keikhlasan

Nilai-nilai tersebut haruslah mengkristal ke dalam diri setiap anggota


Polri yang sekaligus menjadi cerminan jati dirinya sebagai pelindung,
pengayom dan pelayan masyarakat, penegak hukum dan pemelihara
Kamtibmas untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban negara.

3) Kristalisasi nilai-nilai Tri brata dalam kode etik profesi Polri.

Esensi kode etik profesi Polri haruslah mencerminkan jati diri Polri
dalam 3 (tiga) dimensi hubungan meliputi hubungannya dengan Nusa
dan Bangsa, hubungannya dengan Negara dan hubungannya dengan
masyarakat yang menjadi komitmen moral dalam bentuk etika
pengabdian, etika kelembagaan dan etika kemandirian.

Bahwa etika pengabdian merupakan komitmen moral setiap anggota


Polri terhadap profesinya, etika kelembagaan adalah sebuah wujud
kepatuhan setiap anggota Polri kepada institusi/ lembaga sebagai wadah
pengabdiannya, sedangkan etika kemandirian adalah sikap moral setiap
anggota Polri dan institusinya untuk senantiasa berlaku netral, tidak
terpengaruh terhadap kepentingan politik dan golongan didalam
melaksanakan tugasnya.

9. Pemaknaan baru Catur Prasetya

95 | Page
a. Pemaknaan baru catur prasetya disahkan dengan keputusan Kapolri
No.Pol : Kep /39/ VII /2004 tanggal 1 Juli 2004.

Catur Prasetya

Sebagai insan Bhayangkara, kehormatan saya adalah berkorban demi


masyarakat bangsa dan negara untuk :

1. Meniadakan segala bentuk gangguan keamanan.

2. Menjunjung tinggi keselamatan jiwa raga, harta benda dan hak asasi
manusia.

3. Menjamin kepastian berdasarkan hukum.

4. Memelihara perasaan tenteram dan damai.

b. Dasar Pemikiran.

1) Setelah diadakan penelitian maka istilah Catur Prasetya yang lahir dari
amanat Presiden Soekarno tanggal 17 Juni 1956 adalah empat sifat
Gajah Mada yang berasal dari tulisan Mpu Prapanca yang melukiskan
kebesaran Gajah Mada sebagai Mahapatih kerajaan Majapahit dalam
bukunya Nagara Kertagama.

2) Sebagaimana Tri Brata sifat Catur Prasetya yang ditulis dalam bahasa
sansekerta mengundang banyak pertanyaan termasuk pengertiannya
dalam bahasa Indonesia yang selama ini dapat menimbulkan banyak
makna dan interprestasi.

3) Tanpa mengurangi makna dari naskah aslinya disusunlah perumusan


dan pemaknaan baru Catur Prasetya yang sarat dengan nilai-nilai
filosofi tapi mudah dimengerti dan dapat diimplementasikan.

c. Landasan Filosofi.

1) Paradigma baru Polri terwujudnya polisi sipil yang dapat menciptakan


rasa aman, keselamatan, kepastian dan kedamaian lahir batin.

2) Pemaknaan baru Catur Prasetya merupakan suatu rangkaian dari


pemaknaan baru Tri Brata sebagai dasar filosofis Polri, sebagai sumber
semangat pengorbanan dan kehormatan yang merupakan panggilan
nurani sebagai insan Bahyangkara dalam melaksanakan tujuannya
selaku alat negara penegak hukum yang mampu memberikan
pengayoman, perlindungan, dan pelayanan kepada masyarakat.

3) Catur Prasetya sebagai prinsip-prinsip moral etis Polri berdiri sejajar


dengan Tri Brata.

96 | Page
4) Sebagai insan Bhayangkara anggota Polri secara moral terpanggil dan
berkewajiban mengabdi kepada masyarakat, bangsa dan negara
sepanjang hidupnya.

d. Kandungan Makna

1) Meniadakan segala bentuk gangguan keamanan dirinci atas 4


kandungan makna.

2) Menjunjung tinggi keselamatan jiwa raga, harta benda dan hak asasi
manusia dirinci atas 4 kandungan makna.

3) Menjamin kepastian berdasarlkan hukum dirinci atas 4 kandungan


makna.

4) Memelihara perasaan tentram dan damai dirinci atas 4 kandungan


makna.

10. Kode Etik Profesi Polri

a. Perkembangan Kode Etik Profesi Polri :

1) Pedoman lanjutan Tri Brata.

a) Pada rapat Kepala Kepolisian Komisariat seluruh Indonesia di


Bandung dari tanggal 5 s.d. 7 Mei 1958 disyahkan suatu rumusan
tentang Pedoman Lanjutan dari Tri Brata, dimana Tri Brata
dijabarkan menjadi 15 butir (tiap-tiap butir dijabarkan menjadi 5
butir).

Dikatakan pedoman lanjutan, karena berisikan asas-asas yang lebih


terperinci dan belum merupakan norma-norma yang dapat
diterapkan secara konkrit.

b) Pertimbangan diambil keputusan ini, karena disadari bahwa dilihat


dari pelaksanaannya TriBrata dalam praktek kepolisian sehari-hari
adalah sangat umum sifatnya, sehingga dianggap perlu untuk
mengadakan perincian lebih lanjut dari masing-masing Brata
tersebut. Pada hakekatnya pedoman lanjutan Tri Brata itu adalah
embrio dari kode etik profesi Polri.

2) Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia berdasarkan Surat


Keputusan Kapolri No.Pol.: Skep/213/VIII/1985 tanggal 1 Juli 1985.

a) Didahului dengan Sarasehan Etika Profesi Polri di PTIK pada


tanggal 6 Juni 1985, dimana tanggapan-tanggapan inti antara lain
perlu pejabaran kode etik bagi pelaksanaan tugas Polri secara

97 | Page
konkrit, tepat dan praktis serta mudah dilaksanakan oleh setiap
anggota Polri.

b) Pertimbangan diambil keputusan ini :

(1) Bahwa Tribrata sebagai falsafah kepolisian Negara Republik


Indonesia perlu dijabarkan dalam pedoman moral pelaksanaan
tugas setiap anggota Polri dalam wujud kode etik kepolisian
Negara Republik Indonesia yang dikristalisasikan dari nilai-nilai
luhur yang terkandung dalam Pancasila, Tri Brata dan Catur
Prasetya.

(2) Bahwa kode etik kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai


pedoman moral pelaksanaan tugas anggota Polri perlu disusun
dengan kalimat padat, ringkas dan dengan bahasa sederhana,
sehingga mudah diterima dan dilaksanakan oleh setiap anggota
Polri dari pangkat yang tertinggi sampai dengan pangkat yang
terendah serta dijabarkan secara terperinci dalam butir-butir
pengamalannya.

c) Substansi dari kode etik Polri mencakup 17 butir pengamalan kode


etik Polri.

(1) Setiap anggota Polri insan Rastra Shwakottama mencakup 5


butir pengamalan.

(2) Setiap anggota Polri insan Negara Yanottam mencakup 6 butir


pengamalan.

(3) Setiap anggota Polri insan Yana Amucacana Dharma mencakup


6 butir pengamalan.

d) Selanjutnya dikeluarkan Surat Keputusan Dirdik Polri No.Pol.:


Skep/OS/1/1986 tanggal 24 Januari 1986 tentang Penggunaan Buku
Pokok Penjelasan dan Pola Pelembagaan Kode Etik Polri sebagai
bahan ajaran di Lembaga-lembaga pendidikan Polri.

3) Kode Etik Profesi Polri berdasarkan Keputusan Kapolri No.Pol.:


Kep/OS/III/2001 tanggal 7 Maret 2001.

a) Keputusan Kapolri ini sebagai realisasi dari pasal 23 UU No. 28


Tahun 1977 tentang Polri.

Pasal 23 ayat (1) sikap dan perilaku Pejabat Kepolisian Negara


Republik Indonesia terikat pada kode etik profesi kepolisian Negara
Republik Indonesia ", ayat (2) kode etik profesi kepolisian Negara
R.I, ditetapkan oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia.

98 | Page
b) Dikeluarkan buku petunjuk administrasi komisi kode etik kepolisian
Negara Republik Indonesia berdasarkan Keputusan Kapolri
No.Pol.: Kep/04/III/2001 tanggal 7 Maret 2001.

4) Kode Etik Profesi Polri berdasarkan Keputusan Kapolri No.Pol.:


Kep/32/VII/2003 tanggal 1 Juli 2003.

a) Kode etik profesi ini dikeluarkan sesuai dengan amanat pasal 34


UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri.

Pasal 34

(1) Sikap dan perilaku pejabat kepolisian negara Republik


Indonesia terikat pada kode etik profesi kepolisian negara
Republik Indonesia.

(2) Ketentuan mengenai kode etik profesi kepolisian negara


Republik Indonesia diatur dengan Keputusan Kapolri.

b) Guna mengatur lebih lanjut tentang Tata Cara Sidang Komisi Kode
Etik Polri dikeluarkan Keputusan Kapolri No. Pol :
Kep/33/Vll/2003 tanggal 1 Juli 2003.

c) Kode etik profesi Polri berdasarkan Keputusan Kapolri No.Pol.:


Kep/32/VII/2003 tanggal I Juli 2003.

(1) Kode etik profesi Polri ini merupakan kristalisasi nilai-nilai


yang terkandung dalam Tri Brata dan Catur Prasetya yang
dilandasi dan dijiwai Pancasila serta mencerminkan jati diri
setiap anggota Polri dalam wujud komitmen moral yang
meliputi etika pengabdian, kelembagaan dan kenegaraan.

(2) Etika pengabdian merupakan komitmen moral setiap anggota


Polri terhadap profesinya sebagai pemelihara Kamtibmas,
penegak hukum serta pelindung, pengayom dan pelayan
masyarakat, yang termuat dalam 7 pasal yaitu : pasal 1 s.d. pasal
7.

(a) Pasal 1 perilaku sikap pengabdian selaku t anggota Polri


yang senantiasa bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

(b) Pasal 2 perilaku anggota Polri dalam berbakti kepada nusa


dan bangsa sebagai wujud pengabdian tertinggi.

(c) Pasal 3 sikap perilaku anggota Polri dalam melaksanakan


tugas memelihara keamanan dan ketertiban umum.

99 | Page
(d) Pasal 4 sikap perilaku anggota Polri dalam melaksanakan
tugas menegakkan hukum.

(e) Pasal 5 perilaku anggota Polri dalam memberikan pelayanan


kepada masyarakat.

(f) Pasal 6 ayat (1) anggota Polri menggunakan kewenangannya


senantiasa berdasarkan pada norma hukum dan
mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan dan
nilai-nilai kemanusiaan.

Pasal 6 ayat (2) memegang teguh rahasia jabatan.

(g) Pasal 7 perilaku anggota Polri untuk senantiasa


menghindarkan diri dari perbuatan tercela yang dapat
merusak kehormatan profesi dan organisasi.

(3) Etika kelembagaan merupakan komitmen moral setiap anggota


Polri terhadap institusinya yang menjadi wadah pengabdian dan
patas dijunjung tinggi sebagai ikrar lahir dan batin dari semua
insan Bhayangkara dengan segala martabat dan kehormatannya,
terdiri dari pasal 8 s.d. pasal 12.

(a) Pasal 8 menempatkan kepentingan organisasi diatas


kepentingan pribadi.

(b) Pasal 9 setiap anggota Polri memegang teguh l garis


komando, perintah tidak boleh bertentangan dengan norma
hukum, dibenarkan menolak perintah atasan yang melanggar
norma hukum, tidak boleh melampaui batas kewenangan,
bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas, tidak
terpengaruh pihak lain dalam pelaksanaan tugas.

(c). Pasal 10 sifat-sifat kepemimpinan; keteladanan, keadilan,


dan kearifan.

(d).Pasal 11 menjaga kehormatan melalui penampilan seragam.

(e) Pasal 12 senantiasa menampilkan rasa setia kawan.

(4) Etika kenegaraan merupakan komitmen moral setiap anggota


Polri dan institusi untuk senantiasa bersikap netral, mandiri dan
tidak terpengaruh oleh kepentingan politik, golongan dalam
rangka menjaga tegaknya hukum Negara Kesatuan Republik
Indonesia terdiri dari 4 pasal yaitu pasal 13 s.d. pasal 16.

(a) Pasal 13 selalu siap sedia menjaga keutuhan wilayah hukum


NKRI.

100 | Page
(b) Pasal 14 sikap netral.

(c) Pasal 15 berpegang teguh pada konstutusi.

(d) Pasal 16 menjaga keamanan Presiden dan menjalankan


segala kebijakan sesuai dengan jiwa konstitusi„maupun
hukum positif.

d) Keputusan Kapolri No.Pol.: Kep/33/V11/2003 tentang Cara Sidang


Komisi Kode Etik Polri.

1) Keputusan Kapolri ini merupakan realisasi dari amanat pasal 35


ayat (1) UU No. 2 Tahun 2002. Pelanggaran Terhadap Kode
Etik Profesi Polri Oleh Pejabat Polri Diselesaikan Oleh Komisi
Kode Etik Polri.

2) Tugas komisi kode etik Polri diatur dalam pasal 4 ayat (1)
komisi kode etik Polri bertugas menyelenggarakan sidang untuk
:

(a) Memeriksa apakah pelanggaran kode etik profesi yang


dilakukan anggota Polri telah terjadi atau tidak.

(b) Menyatakan terperiksa tidak terbukti melakukan


pelanggaran kode etik profesi Polri, jika dalam pemeriksaan
tidak cukup bukti.

(c) Memberikan sanksi moral sebagaimana diatur dalam pasal


37 kode etik profesi Polri, jika terperiksa terbukti melakukan
pelanggaran kode etik profesi Polri.

(d).Wewenang komisi kode etik diatur dalam pasal 4 ayat (2)


antara lain memanggil dan memeriksa terperiksa dan saksi-
saksi.

(e) Pasal 5 diatur wewenang komisi kode etik Polri sesuai


dengan peraturan perundang-undangan lainnya:

(1) Pasal 5 ayat (1) melaksanakan sidang komisi kode etik


profesi Polri sebagaimana diatur dalam pasal 12, 13 dan
14 PP No. 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian
Anggota Polri.

(2) Pasal 5 ayat (2) melaksanakan sidang komisi kode etik


profesi sebagaimana diatur dalam pasal 13 PP No. 2
Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Polri.

5) Kode Etik Polri Berdasarkan Peraturan Kapolri No.7 tahun 2006

101 | Page
a). Etika profesi Polri adalah kristalisasi nilai-nilai Tri Brata yang
dilandasi dan dijiwai oleh Pancasila serta mencerminkan jati diri
setiap anggota Polri dalam wujud yang meliputi etika kepribadian,
kenegaraan, kelembagaan dan hubungan dengan masyarakat.

b). Etika kepribadian adalah nilai moral anggota Polri terhadap


profesinya didasarkan pada panggilan ibadah sebagai umat
beragama diatur dalam pasal 3.

c.) Etika kenegaraan adalah sikap moral anggota Polri yang menjujung
tinggi landasan ideologis dan konstitusional Negara RI serta
Pancasila dan UUD 1945 diatur dalam pasal 4.

d). Etika kelembagaan adalah sikap moral anggota Polri terhadap


institusinya yang patut dijunjung tinggi sebagai ikrar lahir bathin
dari semua insan bhayangkara dengan segala martabat dan
kehormatannya diatur dalam pasal 5,6,7,8 dan 9.

e). Etika dalam hubungan dengan masyarakat adalah sikap moral


anggota Polri yang senantiasa memberikan pelayanan terbaik
kepada masyarakat diatur dalam pasal 10.

f). Pemeriksaan atas pelanggaran kode etik peofesi Polri dilakukan


oleh Komisi Kode Etik Polri (pasal 14).

g). Tata cara sidang Komisi Kode Etik Polri diatur dalam Peraturan
Kapolri No. 8 tahun 2006 tentang Pengorganisasian Dan Tata Kerja
Komisi Kode Etik Polri.

b. Perubahan / penyesuaian kode etik profesi.

1) Dalam bukunya Ethics in Police Service Don. L. Koohen, menyatakan


bahwa kode etik kepolisian itu tidak mungkin dirumuskan secara
universal semua dan berlaku sepanjang masa. Maka selalu saja
rumusannya akan selalu berbeda satu dengan lain.

Ada yang dirumuskan umum pendek, ada yang dirinci dan panjang ada
yang berbentuk Undang-Undang, ada yang aturan biasa. Namun
ditegaskan olehnya bahwa kode etik yang baik itu harus selalu
memenuhi unsur:

a) Mengangkat kedudukan profesi kepolisian dalam pandangan


masyarakat dan untuk membuat kepercayaan masyarakat pada
kepolisiannya.

b) Mendorong polisi agar lebih bertanggung jawab.

102 | Page
c) Mengembangkan dan memelihara dukungan dan kerjasama dari
masyarakat pada tugas-tugas kepolisian.

d) Menggalang suasana kebersamaan intern kepolisian untuk


menciptakan pelayanan yang baik bagi masyarakat.

e) Menciptakan kerjasama dan koordinasi yang harmonis dengan


sesama aparat, pemerintah agar mencapai keuntungan bersama
(sinergi).

f) Menempatkan pelaksanaan tugas Polri sebagai profesi terhormat


dan memandangnya sebagai sarana berharga dan yang terbaik untuk
mengabdi kepada masyarakat.

Dengan demikian suatu kode etik tidak statis, dia dapat berubah dan
disesuaikan dengan perkembangan situasi, tetapi perubahan itu harus
tetap menjamin terpenuhinya tolak ukur suatu kode etik yang baik.

2) Dari fakta sejarah Polri selama ini kita melihat perkembangan etika
Polri/kode etik profesi Polri.

Tri Brata sejak awal dicanangkan sebagai landasan etika Polri, karena
rumusannya masih sangat umum (bersifat sebagai asas) yang masih
merupakan pedoman hidup, sehingga tidak dapat diterapkan seperti
norma atau aturan jika dihadapkan kepada masalah-masalah konkrit di
lapangan.

Penyederhanaan Tri Brata ke dalam ungkapan Bhakti, Dharma,


Waspada juga tidak memudahkan menangkap dan menghayati
maknanya, karena belum bersifat operasional. Walaupun sudah
diadakan upaya-upaya penjabaran Tri Brata menjadi butit-butir yang
kongkrit untuk diharapkan dapat operasional seperti pedoman lanjutan
Tri Brata, kode etik Polri, kode etik profesi Polri, namun secara jujur
harus diakui belum membuahkan hasil sebagaimana diharapkan.
Memang merubah aspek budaya tidaklah mudah, karena banyak faktor
yang berpengaruh.

Karena itu kiranya perlu diadakan evaluasi secara mendalam dan


menyeluruh, sehingga perubahan/penyesuaian kode etik profesi betul-
betul harus dijadikan tantangan dan momentum oleh semua anggota
Polri utamanya oleh para Perwira dan Pimpinan, agar kode etik itu
betul-betul dapat dihayati dan diamalkan dalam wujud sikap perbuatan
seluruh anggota Polri dalam pengabdiannya yang etis dan profesional
kepada negara, bangsa dan masyarakat.

Dipihak lain kalau hasil evaluasi menunjukkan bahwa perlu diadakan


perubahan atau penyesuaian, maka harus betul-betul jelas :

103 | Page
a) Apanya yang harus diubah/disesuaikan.

b) Mengapa harus diubah.

c) Bagaimana perubahannya dan mengapa perubahan/penyesuainnya


seperti itu.

Selanjutnya kode etik profesi yang baru hasil perubahan/penyesuaian


itu betul-betul disosialisasikan, sehingga dimengerti, dipahami, dihayati
dan diamalkan yang tercermin pada anggota Polri dalam
pengabdiannya.

11. Instrumen-Instrumen PBB

Dari perkembangan pencegahan dan penanggulangan kejahatan di dunia


menggambarkan bahwa :

a. Semakin maju suatu masyarakat semakin maju pula dalam meletakkan tata
cara pencegahan dan penanggulangan kejahatan yang mereka hadapi yang
dirumuskan dalam tata hukum mereka.

b. Sejalan dengan itu, diabad modern ini terlihat pula bahwa semakin maju
suatu negara, semakin manusiawi pula dalam memperlakukan pelaku
pelanggaran hukum maupun korban kejahatan, dimana aparat penegak
hukumnya diberi batasan-batasan cara bertindak yang tegas dalam
memperlakukan penjahat maupun korban.

c. Perkembangan kejahatan tidak lagi hanya bersifat lokal pada suatu negara
saja, tetapi sudah tidak lagi mengenal batas-batas negara, pelaku kejahatan
dan korban kejahatan tidak lagi terbatas hanya warganegara dari negara
tersebut, tetapi telah melibatkan warganegara asing, kejahatan telah
berkembang menjadi kejahatan terorganisir, kejahatan antar negara/trans
nasional crime.

d. Karena itu kegiatan kerjasama negara-negara di dunia menjadi semakin


penting.

PBB tahun 1955 mulai melaksanakan Kongres Pertama tentang pencegahan


dan penanggulangan kejahatan di Jenewa yang selanjutnya kongres
diselenggarakan 5 tahun sekali, sejak kongres II di London tahun 1960
PBB telah mengadopsi beberapa pedoman bertindak sampai dengan
sekarang ini pedoman-pedoman yang diadopsi PBB menjadi cukup banyak.
Kalau saja semua negara anggota PBB mau menerima dan meratifikasi
pedoman-pedoman itu untuk dijadikan bagian dari Hukum Nasional
masing-masing negara serta melaksanakannya dengan konsisten, dapat
dipastikan pencegahan dan penanggulangan kejahatan di dunia ini akan
jauh lebih baik.

104 | Page
e. Tuntutan reformasi sekarang ini dimana isue-isue yang berkembang adalah
demokratisasi, supremasi hukum dan HAM dalam era globalisasi ini, maka
sebagai anggota Polri dituntut pula untuk mengetahui, memahami
pedoman-pedoman bertindak dalam pencegahan dan penanggulangan
kejahatan yang telah diadopsi PBB baik yang telah diratifikasi oleh
pemerintah Indonesia maupun yang belum.

f. Dalam kaitannya dengan etika maka perlu diketahui dan dipahami standar,
panduan dan instrumen internasional dari PBB baik yang telah diratifikasi
pemerintah Indonesia maupun yang belum antara lain :

1) Deklarasi Universal tentang Hak-hak manusia (The Internasional Bill of


Human Rights).

2) Standar aturan minimun perlakuan terhadap nara pidana (Standar


minimun rules of prisioner).

3) Deklarasi anti penyiksaan dan tindakan atau hukuman kejam, tidak


manusiawi atau merendahkan martabat manusia (Dedaration against
tortune and other cruel, in human or degrading treatment or
punishment).

4) Pedoman tindak tanduk untuk para penegak hukum (Code of conduct


for law lnforcement officials).

5) Prinsip-prinsip dasar penggunaan kekerasan dan senjata api oleh


petugas-petugas penegak hukum (Basic principle on the use of force
and fire arms by law enforcement officials).

12. Internalisasi etika profesi Polri

a. Internalisasi etika adalah suatu learning proces, suatu proses belajar yang
pada dasarnya melalui tahapan mengerti, memahami, menghayati dan
mengamalkan.

b. Tujuan internalisasi etika :

1) Etika yang dimengerti, dipahami dan dihayati akan menjadikan etika


sebagai mithos, etika Polri merupakan kebenaran yang tidak dapat
diganggu gugat, etika Polri akan senantiasa mengawasi dan
mengingatkan anggota Polri untuk tidak melakukan penyimpangan.
Dalam hal ini etika/kode ethik profesi merupakan polisinya polisi.

2) Dengan etika/kode etik profesi Polri sudah menjadi polisinya polisi,


maka tindakan/tingkah laku anggota Polri sesuai dengan apa yang
disadari oleh hati nuraninya sebagai kewajiban yang harus diambil. Dia
akan menyesal atau menghukum dirinya manakala ia bertingkah laku
tidak mengikuti kesadaran moral hati nuraninya.

105 | Page
3) Pengamalan etika yang terpancar pada tindakan/tingkah laku anggota
Polri yang etis-profesional dalam pengabdiannya.

c. Cara untuk menginternalisasikan etika Polri

1) Seleksi calon anggota Polri yang baik, obyektif adil, akan mendapatkan
calon Polri yang memiliki struktur kepribadian yang baik, yang beriman
dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta memiliki penguasaan
ilmu pengetahuan yang baik.

2) Proses penanaman di Lembaga Pendidikan utamanya di lembaga


pendidikan pembentukan :

a) Semua personil di Lemdik utamanya unsur instruktur dan pimpinan


mampu bertingkah laku yang dapat di contoh/diteladani oleh para
siswa.

Etika memang harus dipompakan, ditanamkan dan dikembangkan


ke dalam hati nurani melalui pendidikan pembentukan.

b) Tersedianya bahan ajaran etika yang mudah dimengerti, dipahami


oleh para siswa sesuai dengan tingkat pendidikannya.

Diberikan oleh pengajar yang menguasai materi etika dengan


kemampuan methode pengkajian yang baik dan menarik didukung
alins dan alongins yang cukup memadai, sehingga para siswa akan
mudah mengerti, memahami dan menghayati serta dapat diamalkan
dalam tingkah lakunya.

3) Proses pemeliharaan, pemupukan dan pengembangan didalam praktek


penugasan di lapangan.

a) Diperlukan pimpinan yang baik agar mampu menguasai, melatih,


membimbing, membina dan memberi contoh dengan keteladanan.

b) Diperlukan adanya lingkungan yang baik yang mendukung


terlaksananya pemeliharaan etika.

c) Memberikan pujian atau penghargaan bagi anggota yang


menunjukkan prestasi dan sebaliknya menindak/menjatuhkan sanksi
yang adil terhadap anggota yang melakukan penyimpangan.

106 | Page
Bab 7
PRAKTEK SIMULASI SIDANG KODE ETIK POLRI

Kompetensi dasar:
Memahami dan Mengoperasikan pelaksanaan sidang kode etik Polri

Indikator Hasil Belajar:


1. Mempraktekan Sidang Kode Etik Polri
2. Mamahami tahap-tahap pelaksanaan Sidang Kode Etik Polri
3. Memahami instrument dan prosedur dalam pelaksanaan Sidang Kode Etik
Polri

Pelaksanaan praktek sidang ini pada dasarnya berpedoman dan dipandu


peraturan sidang itu sendiri. Posedur Sidang Kode Etik sudah dengan sendirinya
tercover regulasi (Perkap No.19/2012 Tentang Organisasi dan Susunan Tata Kerja
Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia

Praktek siding Kode Etik ini membutuhkan dua kali pertemuan.

Pertemuan pertama adalah persiapan. Yaitu meliputi: pembagian


kelompok dan peran-peran yang akan dimainkan oleh mahasiswa dalam sidang;
kemudian persiapan masalah atau bahan yang akan dipakai dalam sidang. Masalah
atau bahan ini tentu saja sebelumnya harus dipelajari secara cermat untuk acaran
penuntutan dalam pelaksanaan sidang. Didalamnya menyangkut penggunaan pasal
dan ayat serta hukuman yang akan dikenakan. Pelaksanaan praktek simulasi
sidang kode etik ini harus dikesankan menyerupai sepenuhnya sidang pada aslinya.
Pertemuan kedua adalah pelaksanaan praktek sidang kode etik.

107 | Page
108 | Page

Anda mungkin juga menyukai