Anda di halaman 1dari 39

Mini Project

Tingkat Kepatuhan Minum OAT Pada Pasien TB Paru


di Puskesmas Gunung Sari Periode Tahun 2021

Disusun Oleh :

dr. Widya Azhar

Dokter Pendamping :

dr. Qudratini Fitriana

PROGRAM DOKTER INTERNSIP


PUSKESMAS GUNUNG SARI
NOVEMBER 2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang selalu melimpahkan
rahmat, anugerah, dan karunianya sehingga kami bisa menyelesaikan Mini Project “Tingkat
Kepatuhan Minum OAT Pada Pasien TB Paru di Puskesmas Gunung Sari Periode Tahun
2021” ini dengan baik sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Kami mengucapkan terima
kasih kepada dr. Qudratini Fitriana selaku pendamping dokter internsip Puskesmas Gunung
Sari beserta staf puskesmas Gunung Sari yang membantu kami menyelesaikan Mini Project
ini.
Kami menyadari bahwa penulisan Mini Project kami masih kurang sempurna. Untuk
itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca agar
kedepannya kami dapat memperbaiki dan menyempurnakan tulisan ini. Kami berharap agar
laporan kasus yang kami tulis ini berguna bagi semua orang dan dapat digunakan sebaik-
baiknya sebagai sumber informasi. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.

Gunung Sari,
November 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Rumusan Masalah 2
1.3. TujuanPenulisan 2
1.4. Manfaat Penulisan 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi 3
2.2. Epidemiologi 3
2.3. Etiologi 3
2.4. Patogenesis 4
2.4.1. Tuberkulosis Primer.......................................................................4
2.4.2. Tuberkulosis Post Primer...............................................................4
2.5. Klasifikasi 5
2.5.1. Berdasarkan Organ yang Terkena..................................................5
2.5.2. Berdasarkan Pemeriksaan Laboratorium.......................................5
2.5.3. Berdasarkan Riwayat Pengobatan Sebelumnya.............................5
2.6. Diagnosis 6
2.6.1. Gambaran Klinis............................................................................6
2.6.2. Pemeriksaan Fisik..........................................................................7
2.6.3. Pemeriksaan Laboratorium............................................................7
2.6.4. Pemeriksaan Radiologi...................................................................8
2.7. Penatalaksanaan 10
2.8. Evaluasi Pengobatan 13
2.8.1. Evaluasi Klinis.............................................................................13
2.8.2. Evaluasi Bakteriologi...................................................................13
2.8.3. Evaluasi Radiologi.......................................................................13
2.9. Komplikasi 14
BAB III METODE PENELITIAN 15
3.1. Jenis Penelitian 15
3.2. Waktu dan Lokasi Penelitian 15
3.3. Populasi Penelitian 15
iii
3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi 15
3.4.1. Kriteria Inklusi.............................................................................15
3.4.2. Kriteria Eksklusi...........................................................................15
3.5. Definisi Operasional 15
3.6. Pengumpulan Data 16
3 7. Pengolahan dan Analisis Data16
BAB IV HASIL PENELITIAN 17
BAB V PEMBAHASAN 20
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) paru merupakan penyakit infeksi bakteri menahun yang disebabkan
oleh Mycobacterium tuberkulosis yang merupakan bakteri aerob. Penyakit ini biasanya
menyerang organ paru, tetapi dapat menyebar hampir seluruh bagian tubuh, seperti otak,
ginjal, tulang, dan kelenjar getah bening.1,2

Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan yang besar di dunia. Dalam 20 tahun


World Health Organitation (WHO) dengan negara-negara yang tergabung di dalamnya
mengupayakan untuk mengurangi TB Paru. Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit infeksi
menular yang di sebabkan oleh infeksi menular oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis.
Sumber penularan yaitu pasien TB BTA positif melalui percik renik dahak yang
dikeluarkannya. Penyakit ini apabila tidak segera diobati atau pengobatannya tidak tuntas
dapat menimbulkan komplikasi berbahaya hingga kematian (Kemenkes RI, 2015).

Menurut WHO tuberkulosis merupakan penyakit yang menjadi perhatian global.


Dengan berbagai upaya pengendalian yang dilakukan, insiden dan kematian akibat
tuberkulosis telah menurun, namun tuberkulosis diperkirakan masih menyerang 9,6 juta
orang dan menyebabkan 1,2 juta kematian pada tahun 2014. India, Indonesia dan China
merupakan negara dengan penderita tuberkulosis terbanyak yaitu berturut-turut 23%, 10%,
dan 10% dari seluruh penderita di dunia (WHO, 2015).

Pada tahun 2015 di Indonesia terdapat peningkatan kasus tuberkulosis dibandingkan


dengan tahun 2014. Pada tahun 2015 terjadi 330.910 kasus tuberkulosis lebih banyak
dibandingkan tahun 2014 yang hanya 324.539 kasus. Jumlah kasus tertinggi terdapat di
provinsi dengan jumlah penduduk yang besar yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa tengah
(Kemenkes RI, 2016). Sampai saat ini, penyakit TB masih menjadi permasalahan dunia.
Angka prevalensi TB paru diperkirakan berjumlah 12 juta kasus di dunia. Di Indonesia, TB
merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Jumlah pasien TB di Indonesia merupakan
ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total
jumlah pasien TB di dunia. Depkes RI menyatakan bahwa hasil survey dari seluruh rumah
sakit terdapat 220.000 pasien penderita TB pertahun atau 500 penderita perhari dan setiap
tahunnya terdapat 528.000 kasus baru TB di Indonesia.1,3,4

1
Peningkatan tuberkulosis paru di tanggulangi dengan beberapa strategi dari Kementrian
Kesehatan, salah satunya yaitu meningkatkan perluasan pelayanan DOTS (Directly Observed
Treatment Short-course). DOTS adalah salah satu strategi untuk meningkatkan pengetahuan
masyarakat mengenai TB paru melalui penyuluhan sesuai dengan budaya setempat, mengenai
TB paru pada masyarakat miskin, memberdayakan masyarakat dan pasien TB paru, serta
menyediakan akses dan standar pelayanan yang diperlukan bagi seluruh pasien TB paru.
Pengobatan kasus TB merupakan salah satu strategi utama dalam pengendalian TB
karena dapat memutuskan rantai penularan. Pada tahun 1994, WHO meluncurkan strategi
pengendalian TB untuk diimplementasikan secara internasional, yaitu DOTS (Direct Observe
Treatment Short-course). Pada 2006, WHO menetapkan strategi baru untuk menghentikan TB
yang bertujuan untuk mengintensifkan penanggulangan TB, menjangkau semua pasien, dan
memastikan tercapainya target Millennium Development Goals (MDGs) pada tahun 2015.
Pengobatan TB paru memerlukan jangka waktu sekitar 6 – 9 bulan. Semua penderita
mempunyai potensi tidak patuh untuk berobat dan minum obat. Penggunaan obat yang benar
sesuai dengan jadwal (kepatuhan) sangat penting untuk menghindari timbulnya TB paru yang
resisten terutama pada fase lanjutan setelah penderita merasa sembuh. Penderita meminum
obat harus teratur sesuai petunjuk dan menghabiskan obat sesuai waktu yang ditentukan
berturut-turut tanpa putus.4,5
Berhasil atau tidaknya pengobatan TB tergantung pada pengetahuan pasien, ada
tidaknya upaya dari diri sendiri, atau motivasi dan dukungan untuk berobat secara tuntas
akan mempengaruhi kepatuhan pasien untuk mengkonsunsi obat. Puskesmas Gunung Sari
merupakan salah satu tempat pelayanan kesehatan di wilayah . Salah satu program dari
Puskesmas Gunung Sari adalah penatalaksanaan dan pengobatan penyakit TB paru, dimana
pasien yang didiagnosis menderita TB paru harus mendapatkan obat anti tuberkulosis (OAT)
selama minimal 6 bulan dalam pemantauan tenaga kesehatan. Berdasarkan data puskesmas
Gunung Sari periode 2021 terdapat 41 kasus yang diobati dengan total pasien sembuh 38
kasus. Namun, dari 41 pasien tersebut belum terdapat data puskesmas yang menggambarkan
kepatuhan pasien tersebut mengonsumsi OAT. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk
mengetahui tingkat kepatuhan minum OAT pada penderita TB paru di puskesmas Gunung
Sari periode 2021.

2
1.2. Rumusan Masalah

1. Mengetahui tingkat pengetahuan pasien TB paru di Puskesmas Gunung Sari mengenai


penyakit TB paru dan pengobatannya.
2. Mengetahui tingkat kepatuhan minum OAT pada pasien TB paru di Puskesmas Gunung
Sari.

3. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan minum OAT pada pasien TB


paru di Puskesmas Gunung Sari.

1.3. Tujuan Penulisan

Mengetahui tingkat kepatuhan minum OAT pada pasien TB paru di Puskesmas Gunung
Sari periode 2021.

1.4. Manfaat Penulisan


1. Melaksanakan program Mini Project dokter internsip di Puskesmas Gunung Sari.
2. Meningkatkan pengetahuan pasien TB paru mengenai penyakit TB paru dan pentingnya
kepatuhan minum OAT.
3. Meningkatkan pelayanan program pengobatan TB paru di Puskesmas Gunung Sari.

3
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Penyakit Tuberkulosis adalah penyakit infeksi bakteri menahun yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis yang ditandai dengan pembentukan granuloma pada jaringan
yang terinfeksi, sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ
tubuh lainnya termasuk meningen, ginjal, tulang, dan nodus limfe.1

2.2. Epidemiologi

Hingga saat ini, TB masih menjadi masalah kesehatan utama di dunia.


Mycobacterium tuberkulosis telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia. Pada Tahun 1993,
WHO mencanangkan kedaruratan global penyakit TB karena pada sebagian besar negara di
dunia penyakit TB tidak terkendali. Hal ini disebabkan banyaknya penderita yang tidak
berhasil disembuhkan terutama penderita menular (BTA positif). Pada tahun 1995
diperkirakan setiap tahun terjadi sekitar 9 juta penderita baru TB dengan kematian 3 juta
orang. Di negara-negara berkembang, kematian TB merupakan 25% dari seluruh kematian
yang sebenarnya dapat dicegah. Diperkirakan 95% penderita TB berada di negara
berkembang 75% penderita TB adalah kelompok usia produktif (15 – 50 tahun).1,2
Beban TB di Indonesia masih sangat tinggi, khususnya mengenai kesembuhan yang
ada. TB adalah pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan merupakan peringkat
ketiga dalam daftar 10 penyakit pembunuh tertinggi di Indonesia yang menyebabkan sekitar
88.000 kematian setiap tahunnya. Secara Regional prevalensi TB BTA positif di Indonesia
dikelompokan kedalam 3 wilayah, yaitu :2
1. Wilayah Sumatera angka prevalensi TB adalah 160 per 100.000 penduduk

2. Wilayah Jawa dan Bali angka prevalensi TB adalah 110 per 100.000 penduduk

3. Wilayah Indonesia timur angka prevalensi TB adalah 210 per 100.000 penduduk

5
2.3. Etiologi

Mycobacterium Tuberkulosis merupakan kuman berbentuk batang yang


berukuran dengan panjang 1-4 mm dan dengan tebal 0,3-0,6 mm. sebagian besar
komponen M. tuberculosis adalah berupa lemak atau lipid sehingga kuman mampu tahan
terhadap asam serta sangat tahan dengan zat kimia dan factor fisik. Mikroorganisme ini
adalah bersifat aerob yaitu menyukai daerah yang banyak oksigen. Oleh karena itu, M.
tuberculosis senang tinggal di daerah apeks paru-paru yang dimana terdapat kandungan
oksigen yang tinggi. Daerah tersebut menjadi daerah yang kondusif untuk penyakit
Tuberkulosis (Somantri, 2008). Kuman ini tahan pada udara kering maupun dalam
keadaan dingin (dapat tahan bertahun-tahun dalam lemari es). Hal ini terjadi karena
kuman pada saat itu berada dalam sifat dormant. Dari sifat dormant ini kuman dapat
bangkit dari tidurnya dan menjadikan tuberculosis aktif kembali. Tuberculosis paru
merupakan penyakit infeksi pada saluran pernapasan. Basil mikrobakterium tersebut
masuk kedalam jaringan paru melalui saluran nafas (droplet infection) sampai alveoli,
maka terjadilah infeksi primer (ghon) selanjutnya menyerang kelenjar getah bening
setempat dan terbentuklah primer kompleks (ranke), keduanya ini dinamakan
tuberculosis primer, yang dalam perjalanannya sebagian besar akan mengalami
penyembuhan. Tuberculosis paru primer, peradangan terjadi sebelum tubuh mempunyai
kekebalan spesifik terhadap basil mikobakterium. Tuberculosis yang kebanyakan
didapatkan pada usia 1-3 tahun. Sedangkan yang disebut tuberculosis post primer
(reinfection) adalah peradangan jaringan paru oleh karena terjadi penularan ulang yang
mana di dalam tubuh terbentuk kekebalan spesifik terhadap basil tersebut (Abdul, 2013).
2.4. Patofisiologi
Penyakit tuberculosis paru ditularkan melalui udara secara langsung dari penderita
penyakit tuberculosis kepada orang lain. Dengan demikian, penularan penyakit
tuberculosis terjadi melalui hubungan dekat antara penderita dan orang yang tertular
(terinfeksi), misalnya berada di dalam ruangan tidur atau ruang kerja yang sama.
Penyebaran penyakit tuberculosis sering tidak mengetahui bahwa ia menderita sakit
tuberculosis. Droplet yang mengandung basil tuberculosis yang dihasilkan dari batuk
dapat melayang di udara sehingga kurang lebih 1 - 2 jam tergantung ada atau tidaknya
sinar matahari serta kualitas ventilasi ruangan dan kelembaban. Dalam suasana yang
gelap dan lembab kuman dapat bertahan sampai berhari-hari bahkan berbulan-bulan.
Jika droplet terhirup oleh orang lain yang sehat, maka droplet akan masuk ke system

6
pernapasan dan terdampar pada dinding system pernapasan. Droplet besar akan
terdampar pada saluran pernapasan bagian atas, sedangkan droplet kecil akan masuk ke
dalam alveoli di lobus manapun, tidak ada predileksi lokasi terdamparnya droplet kecil.
Pada tempat terdamparnya, basil tuberculosis akan membentuk suatu focus infeksi
primer berupa tempat pembiakan basil tuberculosis tersebut dan tubuh penderita akan
memberikan reaksi inflamasi. Setelah itu infeksi tersebut akan menyebar melalui
sirkulasi, yang pertama terangsang adalah limfokinase yaitu akan dibentuk lebih banyak
untuk merangsang macrofage, sehingga berkurang atau tidaknya jumlah kuman
tergantung pada jumlah macrophage. Karena fungsi dari macrofage adalah membunuh
kuman atau basil apabila prosesini berhasil dan macrofage lebih banyak maka klien
akan sembuh dan daya tahan tubuhnya akan meningkat. Apabila kekebalan tubuhnya
menurun pada saat itu maka kuman tersebut akan bersarang di dalam jaringan paruparu
dengan membentuk tuberkel (biji-biji kecil sebesar kepala jarum). Tuberkel lama-
kelamaan akan bertambah besar dan bergabung menjadi satu dan lama-lama akan
timbul perkejuan di tempat tersebut. Apabila jaringan yang nekrosis tersebut
dikeluarkan saat penderita batuk yang menyebabkan pembuluh darah pecah, maka klien
akan batuk darah (hemaptoe). (Djojodibroto, 2014).

2.5. Klasifikasi

2.5.1. Berdasarkan Organ yang Terkena

1. Tuberkulosis paru

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru,


tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.4
2. Tuberkulosis ekstra paru

Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput
otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal,
saluran kencing, alat kelamin, dan lain – lain.4

2.5.2. Berdasarkan Pemeriksaan Laboratorium

1. Tuberkulosis paru BTA positif 4,5

- Sekurang- kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif

7
- 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukan
gambaran tuberkulosis
- 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif

- 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotika non OAT
2. Tuberkulosis paru BTA negatif 4,5

- Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif.

- Foto toraks abnormal menunjukan gambaran tuberkulosis.

- Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

- Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

2.5.3. Berdasarkan Riwayat Pengobatan Sebelumnya4

1. Kasus baru adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
2. Kasus kambuh (relaps) adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,
didiagnosis kembali dengan BTA postif (apusan atau kultur).

8
3. Kasus setelah putus berobat (default) adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat
2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
4. Kasus setelah gagal (failure) adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap
positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
5. Kasus pindahan (transfes in) adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki
register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.
6. Kasus lain adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kasus ini
termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah
selesai pengobatan ulangan.

2.6. Faktor-faktor yang mempengaruhi Penyakit Tuberkulosis Paru


Kondisi social ekonomi, status gizi, umur, jenis kelamin dan faktor toksis pada manusia
merupakan faktor penting dari penyebab penyakit tuberculosis yaitu sebagai berikut
(Naga, 2014) :
a. Faktor lingkungan
Faktor lingkungan sangat berpengaruh dalam penularan penyakit Tuberkulosis yaitu
kaitannya dengan kondisi rumah, kepadatan hunian, lingkungan perumahan, serta
lingkungan dan sanitasi tempat bekerja yang buruk. Semua faktor tersebut dapat
memudahkan penularan penyakit tuberculosis.

b. Faktor social ekonomi


Pendapatan keluarga juga sangat mempengaruhi penularan penyakit tuberculosis
karena dengan pendapatan yang kecil membuat orang tidak dapat hidup dengan
layak seperti tidak mampu mengkonsumsi makanan yang bergizi dan memenuhi
syarat-syarat kesehatan.

c. Status gizi
Kekurangan kalori, protein, vitamin, zat besi, dan lain-lain (malnutrisi), akan
mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang, sehingga rentan terhadap berbagai
penyakit termasuk tertular penyakit tuberculosis paru. Keadaan ini merupakan
faktor penting yang berpengaruh di negara miskin, baik pada orang dewasa maupun
anak-anak.

9
d. Umur
Penyakit tuberculosis paru ditemukan pada usia muda atau usia produktif, dewasa,
maupun lansia karena pada usia produuktif orang yang melakukan kegiatan aktif
tanpa menjaga kesehatan berisiko lebih mudah terserang tuberkulosis. Dewasa ini,
dengan terjadinya transisi demografi akan menyebabkan usia harapan hidup lansia
menjadi lebih tinggi. Pada usia lanjut atau lebih dari 55 tahun, system imunologis
seseorang menurun, sehingga sangat rentan terhadap berbagai penyakit termasuk
penularan penyakit tuberculosis

e. Jenis kelamin
Menurut WHO penyakit tuberculosis lebih banyak di derita oleh laki-laki dari pada
perempuan, hal ini dikarenakan pada laki-laki lebih banyak merokok dan minum
alcohol yang dapat menurunkan system pertahanan tubuh, sehingga wajar jika
perokok dan peminum beralkohol sering disebut agen dari penyakit tuberculosis
paru

2.7. Diagnosis

2.7.1. Gambaran klinis

Gambaran klinis penderita tuberkulosis paru dibagi menjadi dua golongan, yaitu
gejala respiratorik dan gejala sistemik.5,6
1. Gejala respiratorik, meliputi :

a. Batuk > 3 minggu/ batuk darah

- Pada awal terjadinya penyakit, kuman akan berkembang biak di jaringan paru. Batuk
baru akan terjadi bila bronkus telah terlibat. Batuk merupakan akibat dari
terangsangnya bronkus yang bersifat iritatif. Kemudian akibat terjadinya peradangan,
batuk berubah menjadi produktif karena diperlukan untuk membuang produk-produk
ekskresi dari peradangan. Sputum dapat bersifat mukoid atau purulen.
- Batuk darah terjadi akibat pecahnya pembuluh darah. Berat atau ringannya batuk darah
tergantung dari besarnya pembuluh darah yang pecah. Gejala batuk darah tidak selalu
terjadi pada setiap penderita tuberkulosis paru, kadang-kadang merupakan suatu tanda
perluasan proses tuberkulosis paru. Batuk darah tidak selalu ada sangkut-paut dengan
terdapatnya kavitas pada paru.

10
b. Sesak napas
Pada penyakit yang ringan belum dirasakan sesak napas. Sesak napas akan ditemukan
pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru, TB
paru dengan efusi pleura yang massif, atau TB paru dengan penyakit kardiopulmoner yang
mendasarinya.

c. Nyeri dada

Nyeri dada bersifat tumpul. Adanya nyeri menggambarkan keterlibatan pleura yang
kaya akan persyarafan. Kadang-kadang hanya berupa nyeri menetap yang ringan. Dapat juga
disebabkan regangan otot karena batuk.

2. Gejala sistemik, meliputi :5,6

a. Demam

Biasanya subfebris menyerupai demam influenza. Tetapi, kadang-kadang panas badan


dapat mencapai 40-410C. Serangan demam pertama dapat sembuh sebentar, kemudian dapat
timbul kembali. Begitulah seterusnya hilang timbulnya demam influenza ini sehingga pasien
merasa tidak pernah terbebas dari serangan demam. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh
daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi kuman tuberkulosis yang masuk.
b. Keringat di malam hari tanpa disertai aktivitas
c. Anoreksia dan penurunan berat badan
- Penyakit tuberkulosis paru bersifat radang menahun. Gejala malaise sering ditemukan
berupa anoreksia tidak ada nafsu makan sehingga membuat badan penderita makin
kurus (penurunan berat badan).

2.7.2. Pemeriksaan Fisik


Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru.
Pada awal perkembangan penyakit umumnya sulit untuk ditemukan kelainan. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan 6
Inspeksi : Gerakan dinding dada simetris, namun kadang terdapat retraksi rongga dada,

difragma dan mediastinum.


Palpasi : Fremitus biasanya meningkat.

11
Perkusi : Tergantung dari beratnya TB, bisa dari pekak sampai redup.
Auskultasi : Suara nafas bronchial, amforik, suara nafas lemah, ronkhi basah

2.7.3. Pemeriksaan Laboratorium


Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakan diagnosis, menilai keberhasilan
pengobatan, dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan
diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan tiga spesimen dahak yang dikumpulkan dalam
dua hari kunjungan yang berturutan berupa Sewaktu – Pagi – Sewaktu (SPS) :6,7
- S (sewaktu) : dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali.
Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi
pada hari kedua.
- P (pagi) : dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur.

Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK.


- S (sewaktu) : dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua saat menyerahkan dahak pagi.
Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dalam skala IUATLD (International

Union Against Tuberkulosis and Lung Disease) :6,7


- Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang disebut negatif.
- Ditemukan 1 – 9 BTA dalam 100 lapang pandang hanya disebutkan dengan jumlah kuman

yang ditemukan.
- Ditemukan 10 – 99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (+1).
- Ditemukan 1 – 10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut ++ (+2).
- Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut +++ (+3).

2.7.4. Pemeriksaan Radiologi


Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakan dengan pemeriksaan
dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Namun, pada kondisi tertentu,
pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesuai dengan indikasi sebagai berikut :7
- Hanya satu dari tiga spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini,

pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis TB paru BTA positif
- Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah tiga spesimen dahak SPS pada
pemeriksaan sebelumnya hasilnya negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian
antibiotik non OAT.
- Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang memerlukan
penangan khusus, seperti pneumothoraks, pleuritis eksudatif, efusi perikarditis, atau efusi
12
pleural dan pasien yang mengalami batuk berdarah berat untuk menyingkirkan
bronkiektasis atau aspergiloma.
Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi aktif akan tampak bayangan berawan
di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah. Dapat
ditemukan juga kavitas atau bayangan bercak milier. Pada lesi TB inaktif tampak gambaran
fibrotik, kalsifikasi dan penebalan pleura.7,8
Pemeriksaan foto toraks standar untuk menilai kelainan radiologis TB paru adalah
foto toraks posisi posteroanterior dan lateral. Kelainan radiologis tuberkulosis paru menurut
klasifikasi The National Tuberkulosis Assosiation of the USA adalah sebagai berikut:8
1. Minimal lesion
- Infiltrat kecil tanpa kaverne

- Menenai sebagian kecil dari satu paru atau keduanya

- Jumlah keseluruhan paru yang ditemui tanpa memperhitungkan


distribusi, tidak lebih dari luas antara pesendian chondrosternal kedua sampai corpus
vertebra torakalis V (kurang dari 2 sela iga).
2. Moderately advanced lesion

Dapat mengenai sebelah paru atau kedua paru tetapi tidak melebihi ketentuan sebagai
berikut :
- Bercak infiltrat tersebar tidak melebihi volume sebelah paru

- Infiltrat yang mengelompok yang luasnya tidak melebihi 1/3 volume


sebelah paru
- Diameter kaverne bila ada tidak melebihi dari 4 cm.

3. Far advanced lesion

13
Far advanced lesion merupakan lesi yang melewati moderately advanced lesion atau
ada kavernae

Gambar 1.1. Alur Diagnosis TB paru7

2.8. Penatalaksanaan

Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,


mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan, dan mencegah terjadinya resistensi
kuman terhadap obat anti tuberkulosis (OAT). Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan
prinsip-prinsip sebagai berikut :7,9
1. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah yang
cukup, dan dosis yang tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT
tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT Kombinasi Dosis Tetap (OAT KDT) lebih
menguntungkan dan sangat dianjurkan.
2. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT

14
= Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Minum Obat (PMO).

3. Pengobatan TB dilakukan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

 Tahap awal (intensif)

Pada tahap awal (intensif) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi
secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap
intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular
dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA
negatif (konversi) dalam 2 bulan.
 Tahap lanjutan

Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman
persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
-

15
Tabel 2.1. Obat Anti Tuberkulosis7

Dosis yang direkomendasikan (mg/kg)


Jenis OAT Sifat
Harian 3x seminggu

Isoniazid (H) Bakterisid 5 (4 – 6) 10 (8 – 12)


Rifampicin (R) Bakterisid 10 (8 – 12) 10 (8 – 12)

Pyrazinamide (Z) Bakterisid 25 (20 – 30) 35 (30 – 40)


Streptomicin (S) Bakterisid 15 (12 – 18) 15 (12 – 18)

Ethambutol (E) Bakteriostatik 15 (15 – 20) 30 (20 – 35)

Panduan OAT dan kategorinya :7,9,10

1. Kategori 1 (2HRZE / 4H3R3)

Panduan OAT ini diberikan untuk pasien baru :

- Pasien baru TB paru BTA positif.

- Pasien TB paru BTA negatif foto thoraks positif.

- Pasien TB ekstra paru.

9
Tabel 2.2

9
Tabel 2.3

16
2. Kategori 2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)7,10

Panduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya :

- Pasien kambuh.

- Pengobatan pasien gagal.

- Pasien dengan pengobatan setalah putus berobat (default).

17
10
Tabel 2.4

3. OAT sisipan (HRZE)7,10

Paket sisipan KDT adalah sama seperti panduan paket untuk tahap intensif kategori 1
yang diberikan selama sebulan (28 hari).

Tabel 2.5. Dosis KDT untuk sisipan10

2.9. Evaluasi Pengobatan


2.9.1. Evaluasi Klinis

Pasien dievaluasi secara periodik terhadap respons pengobatan, ada tidaknya efek
samping obat, dan ada tidaknya komplikasi penyakit. Evaluasi klinis meliputi keluhan, berat
badan, dan pemeriksaan fisik.11
2.9.2. Evaluasi Bakteriologi

18
Evaluasi bakteriologik bertujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak.

Pemeriksaan dan evaluasi pemeriksaan mikroskopis yaitu pada :11

- Sebelum pengobatan dimulai.

- Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif).

- Pada akhir pengobatan.

19
Bila ada fasilitas biakan dilakukan pemeriksan biakan dan uji kepekaan.

2.9.3. Evaluasi radiologi

Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada :11

- Sebelum pengobatan.

- Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan kemungkinan
keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan).
- Pada akhir pengobatan.

2.9.4. Evaluasi pada pasien yang telah sembuh

Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh sebaiknya tetap dievaluasi minimal dalam 2
tahun pertama setelah sembuh. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kekambuhan. Hal
yang dievaluasi adalah mikroskopis BTA dahak dan foto toraks (sesuai indikasi/bila ada
gejala).11

Tabel 2.6. Tindak Lanjut Evaluasi Pemeriksaan Dahak11


13
2.10. Komplikasi
Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi baik sebelum pengobatan
atau dalam masa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan. Beberapa komplikasi yang
akan timbul adalah10
1. Batuk darah.

2. Pneumotoraks.

3. Gagal nafas.

4. Efusi pleura.

2.11. Konsep ketidakpatuhan minum OAT


Menurut (Bulechek, 2015) ketidakpatuhan adalah perilaku individu dan pemberi asuhan
yang tidak sesuai dengan rencana promosi kesehatan atau terapeutik yang ditetapkan
oleh individu (dan atau keluarga dan atau komunitas) serta professional pelayanan
kesehatan. Perilaku pemberian asuhan atau individu yang tidak mematuhi ketetapan,
rencana promosi kesehatan atau terapeutik secara keseluruhan atau sebagian tidak
efektif.
2.12. Penyebab ketidakpatuhan terhadap pengobatan pada pasien Tuberculosis
Menurut (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2016) penyebab ketidakpatuhan yaitu :
a. Disabilitas (misalnya penurunan daya ingat, deficit sensorik/motoric)
b. Efek samping program perawatan/pengobatan
c. Beban pembiayaan program perawatan/pengobatan
d. Lingkungan tidak terapeutik
e. Program terapi kompleks dan/atau lama
f. Hambatan mengakses pelayanan kesehatan (misalnya gangguan mobilisasi, asalah
transportasi, ketiadaan orang merawat anak di rumah, cuaca tidak menentu
g. Program terapi tidak ditanggung asuransi
h. Ketidakadekuatan pemahaman (sekunder akibat deficit kognitif, kecemasan,
gangguan penglihatan/pendengaran, kelelahan, kurang motivasi)Disabilitas (misalnya
penurunan daya ingat, deficit sensorik/motoric)
2.13. Ketidakpatuhan Program Pengobatan pada pasien Tuberkulosis
Tuberculosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh kuman tuberculosis
(Mycobacterium Tuberkulosis) yang menyerang paru-paru atau organ lain. Kuman ini
14
menyebar di udara melalui percikan droplet dari batuk dan bersinbersin. Penderita yang
sudah dinyatakan positif menderita tuberculosis dengan pemeriksaan BTA (+) maka
akan dilanjutkan dengan pengobatan lengkap dalam jangka waktu yang cukup lama.
Sering kali penderita merasakan bosan dalam menjalankan program pengobatan
tersebut. Selain itu penderita yang dengan keluhan atau gejala penyakit setelah
menjalani pengobatan 1-2 bukan atau lebih, keluhannya akan segera berkurang atau
hilang sehingga pasien akan merasa sudah sembuh dan malas untuk melanjutkan
pengobatan kembali. Dari hal tersebut dapat dinyatakan bahwa penderita tersebut tidak
patuh terhadap program pengobatan yang sudah direncanakan oleh tenaga kesehatan.
Akibat dari hal tersebut yaitu terjadi kegagalan dalam pengobatan atau drop out,
resistensi obat, mengikuti program pengobatan ulang dan peningkatan biaya untuk
pengobatan. Oleh karena itu sangat diperlukan seorang PMO yang bertugas untuk
mengawasi pasien tuberculosis agar menelan obat secara teratur sampai pengobatan
selesai, mengingatkan pasien untuk melakukan pemeriksaan dahak kembali pada waktu
yang sudah ditentukan.

2.14. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan terhadap pengobatan pada


pasien Tuberculosis
Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan dalam pengobatan digolongkan
menjadi 4 bagian menurut (Niven, 2012) antara lain :
a. Pemahaman tentang instruksi Seseorang bisa berperilaku tidak patuh terhadap istruksi
jika terjadi salah paham terhadap instruksi yang diberikan. Ditemukan sekitar 60%
responden yang diwawancara setelah bertemu dengan dokter salah mengerti tentang
instruksi yang diberikan padanya. Hal ini diakibatkan oleh kegagalan professional
kesehatan dalam memberikan informasi yang lengkap, penggunaan istilah-istilah medis
dan memberikan banyak instruksi yang harus diingat penderita.
b. Kualitas interaksi Kualitas interaksi antara professional kesehatan dan pasien
merupakan bagian yang penting dalam menentukan derajat kepatuhan.
c. Isolasi social dan keluarga Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh
dalam menentukan nilai keyakinan dan nilai kesehatan individu serta dapat juga
menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta dapat juga menentukan
tentang program pengobatan yang dapat mereka terima.
d. Keyakinan, sikap, dan kepribadian Becker dalam (Niven, 2012) telah membuat suatu
usulan bahwa model keyakinan kesehatan berguna untuk memperkirakan adanya

15
ketidakpatuhan. mereka menggunakan model ini dalam sebuah penelitian untuk
memperkirakan ketidakpatuhan terhadap ketentuan pasien hemodialisa kronis, 50 orang
gagal ginjal kronis tahap akhir yang harus mematuhi pengobatan yang kompleks,
meliputi diet, pembatasan cairan, pengobatan dan analisa. Mereka diwawancarai tentang
keyakinan kesehatan mereka menggunakan suatu model dan menemukan bahwa
pengukuran dari tiap-tiap model tersebut sangat berguna sebagai peramal dari
kepatuhan terhadap pengobatan
2.15. Dampak dari Ketidakpatuhan terhadap Program Pengobatan pada Tuberkulosis
Dampak dari ketidakpatuhan terhadap pengobatan pada penyakit tuberculosis yaitu
sangat berpengaruh pada program pengobatan OAT (Obat Anti Tuberkulosis),
kesembuhan menjadi terhambat, peningkatan biaya karena putus obat, Drop Out atau
kegagalan dalam pengobatan yang sering terjadi karena lamanya proses pengobatan
untuk penyakit Tuberkulosis yang menyebabkan penderita harus mengikuti ulang
program pengobatan dan Resistensi Obat.

16
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan mengambil data rekam medis dan hasil
kuisioner pasien TB paru yang sedang menjalani pengobatan di Puskesmas Gunung Sari
periode tahun 2021.

3.2. Waktu dan Lokasi Penelitian

Waktu penelitian dilaksanakan dari bulan Oktober 2021. Pengambilan data


dilaksanakan pada bulan Oktober di Poli Umum Puskesmas Gunung Sari.

3.3. Populasi Penelitian

Populasi penelitian adalah semua pasien TB paru yang menjalani pengobatan OAT di
Poli Umum Pukesmas Gunung Sari periode 2021.

3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

3.4.1. Kriteria Inklusi

Semua Pasien TB paru kategori 1, yaitu pasien dengan BTA positif, pasien TB paru
BTA negatif foto thoraks positif, dan pasien TB ekstra paru yang berobat ke Puskesmas
Gunung Sari periode 2021.
3.4.2. Kriteria Eksklusi

1. Pasien TB paru dengan pengobatan OAT kategori 2, yaitu kasus kambuh, gagal
pengobatan, atau putus obat.
2. Pasien dengan diagnosis bukan TB paru.

3. Pasien TB paru yang pindah berobat ke PKM lain.

4. Pasien dengan profilaksis TB paru.

17
3.5. Definisi Operasional

Variabel penelitian dibuat berdasarkan definisi operasional, yaitu dari cara mengukur
setiap variabel, alat ukur yang digunakan pada setiap variabel, hasil ukur pada setiap variabel,
dan juga skala yang digunakan pada setiap variabel.

Variabel Definisi Operasional Cara ukur Alat Ukur Hasil Skala


Variabel dependen
Pasien TB paru dengan 1. Pemeriksaan Buku 0. Kategori 1 Ordinal
Pasien TB BTA posiif, TB paru register
mikroskopis 1. Bukan
paru kategori BTA negatif foto toraks pasien TB
2. Foto roentgen kategori 1
1 positif, dan TB ekstra
toraks
paru. (Depkes RI,
2006)

Variabel independen

Kepatuhan Kepatuhan pasien Wawancara Kuesioner 0. Tidak patuh Ordinal


1. Patuh
minum OAT dalam mengonsumsi
OAT selama minimal 6

bulan yang terbagi


dalam fase intensif dan
fase lanjutan. (Depkes
RI, 2006)

3.6. Pengumpulan Data

Data diambil dari data pasien TB paru puskesmas Gunung Sari, pencatatan dilakukan
berdasarkan umur, jenis kelamin, alamat, gejala klinis, hasil pemeriksaan laboratorium yang
dapat didukung dengan hasil foto rontgen, serta lama pengobatan OAT.

3.7. Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan data dilakukan secara manual, disusun dalam bentuk tabel, dan dianalisis secara deskriptif
untuk menarik kesimpulan.

18
BAB IV
HASIL PENELITIAN

Semua subjek penelitian menyetujui untuk berpartisipasi dalam penelitian dan telah
menandatangani informed consent. Proses pengumpulan data dilakukan pada bulan Oktober
2021 dengan melakukan survey melalui kuesioner yang kami berikan kepada setiap pasien
TB paru di Puskesmas Gunung Sari yang berobat pada triwulan 4 sebanyak 13 orang. Dari 13
subjek penelitian didapatkan gambaran kepatuhan minum obat, meliputi kepatuhan pasien
terhadap konsumsi OAT, jadwal pengambilan OAT di puskesmas, serta tingkat keberhasilan
fase intensif dan fase lanjutan. Sebanyak 3 pasien menjalani pengobatan fase intensif dan 10
pasien menjalani fase lanjutan.
Terdapat delapan pertanyaan yang diberikan dalam kuesioner terstruktur untuk
mengetahui luaran kepatuhan minum obat pada subjek penelitian yang dibagi dalam dua
kelompok, yaitu kelompok pada fase intensif dan kelompok pada fase lanjutan.
Tabel 4.1. Gambaran Kepatuhan Minum OAT Fase Intensif

Jumlah Persentase
Kategori Ya Jumlah
KategoriPersentase
Tidak
No Poin Pertanyaan aturan 3 100% - -

1 Apakah pasien mengetahui


minum OAT
2 Apakah pasien mengetahui jumlah 3 100% - -
OAT yang dikonsumsi
3 Apakah pasien pernah mengurangi - - 3 100%
atau berhenti mengonsumsi OAT jika
telah merasa sembuh
4 Apakah pasien pernah lupa membawa - - 3 100%
OAT jika sedang bepergian jauh dan
lama
5 Apakah pasien rutin mengambil OAT 3 100% - -
di puskesmas jika obat telah habis

19
20
6 Apakah pasien pernah dinyatakan - - 3 100%
putus minum OAT dan harus
mengulangi pengobatan dari awal
7 Apakah pasien tetap melanjutkan 3 100% - -
konsumsi OAT jika pasien merasakan
efek samping dari pengobatan
8 Apakah pasien merasa kesulitan untuk - - 3 100%
mengonsumsi OAT

Pada kelompok fase intensif, pertanyaan pertama sebanyak 3 pasien yang mengetahui
aturan minum OAT. Pada pertanyaan kedua sebanyak 3 pasien yang mengetahui jumlah OAT
yang dikonsumsi dan. Pada pertanyaan ketiga sebanyak 3 pasien yang tidak pernah
mengurangi atau mengonsumsi OAT ketika merasa telah sembuh. Pada pertanyaan keempat
sebanyak 3 pasien tidak pernah lupa membawa OAT ketika sedang bepergian jauh dan lama.
Pada pertanyaan kelima 3 pasien rutin mengambil OAT ke puskesmas jika obat telah habis.
Pada pertanyaan keenam 3 pasien dinyatakan tidak putus minum OAT. Pada pertanyaan
ketujuh 3 pasien tetap melanjutkan mengonsumsi OAT walaupun merasakan efek samping
dari pengobatan. Pada pertanyaan kedelapan 3 pasien tidak merasakan kesulitan
mengonsumsi OAT.
Berdasarkan data tersebut dapat dinilai jumlah kedua pasien TB fase intensif
dinyatakan patuh mengonsumsi OAT dengan persentase 100 %
Tabel 4.2. Gambaran Kepatuhan Minum OAT Fase Lanjutan

Jumlah Persentase
Kategori Ya Jumlah
KategoriPersentase
Tidak
No Poin Pertanyaan aturan

1 Apakah pasien mengetahui 10 100% - -


minum OAT
2 Apakah pasien mengetahui jumlah 10 100% - -
OAT yang dikonsumsi
3 Apakah pasien pernah mengurangi - - 10 100%
atau berhenti mengonsumsi OAT jika
telah merasa sembuh
4 Apakah pasien pernah lupa membawa - - 10 100%
OAT jika sedang bepergian jauh dan
lama
5 Apakah pasien rutin mengambil OAT 10 100% - -
di puskesmas jika obat telah habis
6 Apakah pasien pernah dinyatakan - - 10 100%
putus minum OAT dan harus
mengulangi pengobatan dari awal
7 Apakah pasien tetap melanjutkan 10 100% - -
konsumsi OAT jika pasien merasakan 21
efek samping dari pengobatan
Pada kelompok fase lanjutan, pertanyaan pertama sebanyak 10 pasien yang
mengetahui aturan minum OAT. Pada pertanyaan kedua sebanyak 10 pasien yang mengetahui
jumlah OAT yang dikonsumsi. Pada pertanyaan ketiga sebanyak 10 pasien yang tidak pernah
mengurangi atau mengonsumsi OAT ketika merasa telah sembuh. Pada pertanyaan keempat
sebanyak 10 pasien tidak pernah lupa membawa OAT ketika sedang bepergian jauh dan lama.
Pada pertanyaan kelima 10 pasien rutin mengambil OAT ke puskesmas jika obat telah habis.
Pada pertanyaan keenam 10 pasien dinyatakan tidak putus minum OAT. Pada pertanyaan
ketujuh 10 pasien tetap melanjutkan mengonsumsi OAT walaupun merasakan efek samping
dari pengobatan. Pada pertanyaan kedelapan 10 pasien tidak merasakan kesulitan
mengonsumsi OAT.
Berdasarkan data tersebut dapat dinilai jumlah sepuluh pasien TB fase lanjutan
dinyatakan patuh mengonsumsi OAT dengan persentase 100 %.

22
BAB V
PEMBAHASAN

Masalah putus obat merupakan salah satu masalah yang penting dalam manajemen
TB. Rendahnya kepatuhan minum obat dapat berakibat pada resistensi bakteri
Mycobacterium tuberculosa terhadap obat anti tuberculosis. Pasien yang tidak teratur minum
obat akan mengakibatkan peningkatan angka kegagalan pengobatan TB bahkan dapat
menimbulkan drug resistance-tuberculosis (DR-TB).5,8
Instrumen yang paling penting dalam mendiagnosis TB adalah pemeriksaan
mikroskopis langsung terhadap apusan dahak/sputum. Pemeriksaan mikroskopis terhadap
apusan dahak dilakukan secara teratur untuk mencari bacilli tahan asam (BTA) pada interval
yang ditentukan selama periode pengobatan. Puskesmas Gunung Sari menjadwalkan
pengambilan dahak pada minggu terakhir bulan ke 2, bulan ke 5 dan bulan ke 6. Pada
penelitian ini, 2 pasien berada dalam fase intensif pengobatan OAT kategori 1 dan 10 pasien
berada dalam fase lanjutan pengobatan OAT kategori 1 telah mengalami konversi sputum ke
BTA negatif pada minggu terakhir bulan ke-2 (akhir fase intensif). Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian terhadap kepatuhan minum obat yang menyatakan bahwa 100% responden
Puskesmas Gunung Sari patuh minum obat dalam fase intensif OAT. Penelitian oleh Bello
dan Itiolla yang dilakukan di Iliorin, Nigeria juga mendapatkan hasil yang serupa. Didapatkan
tingkat kepatuhan minum obat yang tinggi, yaitu sebesar 94.6% pada populasi yang diteliti.10
Responden yang sedang dalam pengobatan OAT fase lanjut juga menunjukkan tingkat
kepatuhan minum obat yang tinggi yaitu sebesar 100%. Selain itu, tingkat kepatuhan terhadap
jadwal pemeriksaan dahak dan pengambilan obat didapatkan sebesar 100%. Namun, hal ini
berbeda dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Adene et al pada pasien TB di Etiopia yang
mana tingkat kepatuhan minum obat pada fase lanjut lebih rendah yaitu 86.67

23
dibandingkan dengan kepatuhan minum obat pada fase intensif yang sebesar 94.44%.
Berdasarkan hasil penelitian ini mereka menyimpulkan bahwa ketidakpatuhan minum obat
akan lebih tinggi apabila pasien berada pada fase lanjut OAT.9,10 Tingginya tingkat kepatuhan
pengobatan pada responden dapat disebabkan oleh beberapa faktor pendukung, yaitu obat-
obatan dan layanan kesehatan diberikan secara gratis, regimen dosis satu kali sehari selama
fase intensif, efek samping yang ringan dan dapat dikoreksi, instruksi tertulis yang telah jelas
tentang aturan minum obat, pusat pelayanan kesehatan yang mudah diakses oleh masyarakat 8.
Data mengenai perilaku pasien dan kepatuhan minum obat hanya didapatkan melalui
wawancara sehingga memungkinkan terjadinya bias. Seharusnya dilakukan observasi terhadap
perilaku subjek penelitian di lingkungan tempat tinggal responden. Selama proses
pengumpulan data atau wawancara, kehadiran pihak ketiga tidak dapat dihindarkan sehingga
kemungkinan dapat mempengaruhi jawaban yang diberikan responden

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional penanggulangan


Tuberkulosis, Jakarta: 2017.

2. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Edisi VI Jilid II. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Peyakit Dalam Fakultas
Kedoktern UI, Jakarta: .

3. Tuberkulosis causes, symptoms, treatment and prevention.


www.emedicinehealth.com/tuberkulosis/page3_em.htm. Diakses 19 November 2021

4. University of Maryland Medical Center. Pulmonary Tuberkulosis.


www.umm.edu/ency/artcle/000077.htm. Diakses 19 November 2021

5. World Health Organization. Tuberkulosis 2020. Diakses 19 November 2021.

6. Depkes RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Edisi II. Jakarta:


Departemen Kesehatan RI, 2017.

7. Bello SI, Itiola OA. (2010). DrugAdherence amongst tuberculosis patients in the
University of Ilorin Teaching Hospital, Ilorin, Nigeria. African Journal of Pharmacy and
Pharmacology: 4(3),p 109-114.

8. Adane AA, Alene KA, Koye DN, Zeleke BM. (2013). Nonadherence to Anti-
Tuberculosis Treatments and Determinant Factors among patients with Tuberculosis in
Northwest Ethiopia. PLoS ONE 8(11): e78791.

9. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian


Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. (2011). Strategi Nasional Pengendalian TB di
Indonesia 2010-2014. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2011.

25
10. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis: pedoman diagnosis dan
penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2011.

26
27

Anda mungkin juga menyukai