Anda di halaman 1dari 14

GABUNGAN HUKUMAN

Makalah Ini Dibuat Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Semester Genap pada
Mata Kuliah Fiqh Jinayah Program Studi Hukum Keluarga Islam (HKI-2)
Fakultas Syariah dan Hukum Islam

Dosen Pengampuh: Yusdiarni HS, S.Sy., M.H

Oleh :

Kelompok V

NURDIANA
NIM. 742302020032
RAHMAT ALIF
NIM. 742302020041
ATMA ALWAQIAH ZANITRA
NIM. 742302020037

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM ISLAM ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BONE

TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah, kami ucapkan atas karunia dan nikmat Allah

Swt. Sehingga penulis bisa menyelesaikan tugas Makalah ini dengan judul

“Gabungan Hukuman” yang telah diberikan pada mata kuliah Hukum Pidana

Islam.

Kami menyadari makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata

sempurna. oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan

demi kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata, semoga tugas makalah ini dapat memberikan manfaat dan

menambah wawasan bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Bone, 01 Mei 2023

Kelompok V

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................... ii

DAFTAR ISI .................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ....................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ................................................................................. 1
C. Tujuan .................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian gabungan hukuman ............................................................... 2


B. Macam-macam gabungan hukum ........................................................... 3
C. Macam-macam gabungan hukuman islam .............................................. 8

BAB III PENUTUP

A. Simpulan ................................................................................................10
B. Saran ......................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................11

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum pidana atau fiqih jinayah merupakan bagian dari syari’at islam,
yang berlaku semenjak diutusnya Rasulullah, yang berdasarkan al-Qur’an dan
hadist atau lembaga yang mempunyai wewnang untuk menetakan hukuman. Oleh
karenanya pada zaman Rasulullah dan khullafaur Rosyidin, hukum hukum pidana
islam berlaku sebagai hukum publik. Yaitu hukum yang diatur dan diterapkan
oleh pemerintah selaku penguasa yang sah atau ulil amri.
Hukum pidana menurut syari’at islam merupakan bagian yang tak
terpisahkan dalam kehidupan setiap muslim dimanapun ia berada. Syari’at islam
merupakan hukum yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim, karena syari’at
islam merupakan bagian ibadah kepada Allah SWT.
Pada dasarnya dalam hukum islam dikenal bahwa setiap kejahatan atau
jarimah telah mempunyai ketetapan hukumnya masing-masing. Keberagaman
jenis hukuman yang terdapat dalam hukum islam seringkali menjadikan
permasalahan tatkala terdapat seseorang yang melakukan beberapa jarimah atau
jarimah ganda.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan gabungan hukuman ?
2. Bagaimana macam-macam gabungan hukuman ?
3. Bagaimana macam-macam gabungan hukuman dalam islam ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan gabungan hukuman.
2. Untuk mengetahui macam-macam gabungan hukuman.
3. Untuk mengetahui macam-macam gabungan hukuman dalam islam.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Gabungan Hukuman


Istilah gabungan hukuman tersusun dari dua kata, yaitu kata gabungan dan
hukuman. Istilah gabungan merupakan bentuk derivative dari kata gabung ikat
atau mengikat, berkas.1 Kata gabung kemudian membentuk beberapa bentukan
istilah lainnya seperti bergabung (menjadi satu, berkumpul menjadi satu),
menggabung (mengikat atau mengumpulkan menjadi satu, menyatukan diri),
menggabungkan (mengikat, atau mengumpulkan menjadi satu menyatukan),
tergabung (telah diikat sudah disatukan), dan gabungan (ikatan, himpunan,
perserikatan terjadi atas beberapa perkumpulan atau gabungan dua zat atau lebih
yang membentuk zat baru).2
Kata gabungan sebagaimana tersebut terakhir menunjukkan makna ikatan
atau himpunan, artinya himpunan dari sesuatu, baik dalam bentuk himpunan suatu
benda, kejadian ataupun peristiwa. Dengan begitu, kata gabungan ini memerlukan
istilah lain yang mengikutinya, seperti gabungan hukuman. Oleh sebab itu, yang
dimaksud gabungan disini ialah gabungan hukuman atau sanksi sebab melakukan
beberapa tindak kejahatan.
Istilah kedua adalah hukuman. Kata hukuman ini juga merupakan bentuk
derivatif, yaitu dari kata hukum. Secara bahasa, kata hukum diambil dari bahasa
Arab, yaitu dari kata dasar hakama, maknanya memimpin atau memrintah,
menetapkan, memerintahkan, memutuskan, mengadili, mencegah, atau melarang,
putusan atau ketetapan.3 Istilah “hukuman” yaitu sanksi atau beban hukum yang
ditimpakan kepada pelaku kejahatan (pelanggaran) hukum.

1
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Lembaga Bahasa &
Budaya, 1945), h. 203.
2
Tim Redaksi, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 422.
3
Aw. Munawwir dan M.Fairuz, Kamus al-Munawiwir, (Surabaya: Pustaka progressif,
2007), h. 952.

2
3

Mengacu pada definisi diatas, maka istilah gabungan hukuman dimaknai


sebagai seseorang yang melakukan beberapa peristiwa tindak pidana. Gabungan
hukuman atau gabungan tindak pidana adalah bila sesorang melakukan beberapa
macam jarimah (tindak pidana), dimana masing-masing jarimah tersebut belum
mendapat keputusan terakhir. Jadi, gabungan hukuman sejumlah tindak pidana
yang dilakukan oleh seseorang, dimana tiap-tiap tindak pidana yang dia lakukan
belum satupun yang divonis.

Pada dasarnya dalam hukum Islam dikenal bahwa setiap kejahatan atau
jarimah telah mempunyai ketetapan hukumnya masing-masing. Keberagaman
jenis hukuman yang terdapat dalam hukum Islam seringkali menjadikan
permasalahan tatkala terdapat seseorang yang melakukan beberapa jarimah atau
jarimah ganda.

Gabungan melakukan tindak pidana dalam hukum Islam sebenarnya tidak


terdapat istilah khusus. Namun dalam pengertian ini terdapat dua hal yang perlu
diperhatikan yaitu tentang pengertian delik gabungan dan tentang rentetan
pelanggaran yang mana keduanya bagaikan dua sisi mata uang, artinya adanya
delik gabungan dikarenakan adanya rentetan pelanggaran.

Gabungan hukuman dapat terjadi manakala terdapat gabungan jarimah.


Gabungan terjadi apabila seseorang melakukan beberapa macam jarimah, dimana
pada masing-masing jarimah tersebut belum mendapat keputusan terakhir.
Gabungan jarimah adakalanya terjadi dalam lahir saja, dan adakalanya benar-
benar nyata. Gabungan dalam lahir terdapat apabila pelaku melakukan suatu
jarimah yang dapat terkena oleh bermacam-macam ketentuan.

B. Macam-macam Gabungan Hukuman


1. Gabungan anggapan (concurcus idealis)
Gabungan jarimah itu karena hanya bersifat anggapan, sedang
pelakunya hanya berbuat satu jarimah.
Contoh: Seorang memukul petugas, ia diaggap melakukan jarimah ganda,
walaupun pelakunya menganggap melakukan jarimah tunggal, hal ini
4

dikarenakan yang dipukul adalah petugas sehingga oleh hukum dianggap


berbuat jarimah ganda yaitu memukul orang dan melawan petugas.
2. Gabungan nyata (concurcus realis)
Yaitu seorang melakukan perbuatan jarimah ganda secara jelas, baik
berkenaan dengan jelas atau berbeda.
Contoh: Sulaiman lakukan pemerkosaan terhadap habibah sebelulm
dijatuhi hukuman sulaiman melakukan pembunuhan terhadap ali sobri
(contoh jarimah ganda berbeda). Adapun jarimah sejenis adalah sulaiman
melakukan pembunuhan terhadap Syaikhun Adim sebelum dihukum dia
melakukan pembunuhan lagi terhadap Azmi.
Gabungan memiliki beberapa bentuk, yaitu:
1. Gabungan dalam satu perbuatan (Eendaadse Samenloop/Concursus
Idealis)
Eendaadse Samenloop terjadi apabila seseorang melakukan satu
perbuatan, tetapi dengan satu perbuatan itu ia melanggar beberapa
peraturan pidana yang berarti ia telah melakukan beberapa tindak pidana.
Hal ini diatur dalam pasal 63 KUHP yang bunyinya sebagai berikut:
Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana,
maka yang dikenakan hanya salah satu di antara aturan-aturan itu, jika
berbeda-beda yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang
paling berat.
Jika suatu perbuatan, yang masuk dalam suatu aturan pidana yang
umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang
khusus itulah yang dikenakan.
Di antara para sarjana terdapat perbedaan pendapat mengenai apa
yang dimaksud dengan satu tindakan. Sebelum tahun 1932, Hoge Raad
barpendirian yang ternyata dalam putusannya, bahwa yang dimaksud
dengan satu tindakan dalam pasal 63 ayat (1) KUHP 4 adalah tindakan
nyata atau tindakan materiil.

4
R. soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Serta Komentar-
Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: politeia, 1987), h. 50.
5

Taverne bertolak pangkal dari pandangan hukum pidana bahwa


tindakan itu terdiri dari dua/lebih tindakan yang terdiri sendiri yang
mempunyai sifat yang berbeda yang tak ada kaitannya satu sama lain dapat
dibayangkan keterpisahan masing-masing. Akibat dari pendirian Hoge
Raad ini, makna dari pasal 63 ayat (1) menjadi sempit. Hanya dalam hal-
hal terbatas masih apat dibayangkan kemanfaatan dari ketentuan pasal
tersebut.
Pendirian Hoge Raad bersandar kepada sifat atau ciri yang terdapat
pada tindakan tersebut, namun belum secara tegas dapat diketahui apa
yang dimaksud dengan satu tindakan dan beberapa perbuatan. Maka dapat
disimpulkan bahwa dalam prakterknya Hoge Raad menyelesaikan perkara
secara kasuistis.
Modderman mengatakan bahwa dilihat dari sudut badaniah tindakan
itu hanyalah satu saja akan tetapi dari sudut rohani ia merupakan pluralitas
(ganda).Sedangkan Pompe mengutarakan bahwa apabila seseorang
melakukan satu tindakan pada suatu tempat dan saat, namun harus
dipandang merupakan beberapa tindakan apabila tindakan itu mempunyai
lebih dari satu tujuan atau cakupan.
Ketentuan dalam pasal 63 ayat (2) sesuai dengan asas lex spesialis
derogat lex general, yang artinya ketentuan khusus mengenyampingkan
ketentuan yang umum. Yang dimaksud dengan ketentuan pidana khusus
adalah jika pada tindak pidana khusus itu termuat atau tercakup semua
unsur-unsur yang ada pada tindak pidana umum, akan tetapi padanya
masih ada unsur lainnya atau suatu kekhususan. Pemidanaan dalam
halconcursus idealis menggunakan stelsel absorpsi murni yaitu dengan
salah satu pidana yang terberat.
2. Gabungan dalam beberapa perbuatan (Meerdaadse Samenloop/concursus
realis)
Meerdaadse Samenloop terjadi apabila seseorang melakukan
beberapa perbuatan, dan tiap-tiap perbuatan tindak pidana sendiri-sendiri
dan terhadap perbuatan-perbuatan tadi diadili sekaligus. Hal ini diatur
6

dalam pasal 65, 66, 70 dan 70 bis KUHP. Menurut ketentuan yang termuat
dalam KUHP, concursus realis dibedakan antara jenis tindak pidana yang
dilakukan. Tindak pidana kejahatan termuat dalam pasal 65 dan 66 KUHP.
Sedangkan tindak pidana pelanggaran termuat dalam pasal 70 .
Pasal 65 KUHP mengatur gabungan dalam beberapa perbuatan yang
diancam dengan pidana pokok sejenis dan sistem pemidanaan
menggunakan sistem absorpsi diperberat. Pasal 66 KUHP mengatur
gabungan dalam beberapa perbuatan yang diancam dengan pidana pokok
yang tidak sejenis dan sistem pemidanaanya juga menggunakan absorpsi
diperberat.
Perbedaan antara pasal 65 dan 66 KUHP terletak pada pidana pokok
yang diancamkan terhadap kejahatan-kejahatan yang timbul karena
perbuatan-perbuatannya itu yaitu apakah pidana pokok yang
diancamkannya itu sejenis atau tidak. Sedangkan pasal 70 KUHP
mengatur apabila seseorang melakukan beberapa pelanggaran atau apabila
seseorang melakukan beberapa perbuatan yang merupakan kejahatan dan
pelanggaran.
Jika pasal 65 dan 66 menyebutkan tentang gabungan kejahatan
dengan kejahatan, pasal 70 memberi ketentuan tentang gabungan
kejahatan dengan pelanggaran atau pelanggaran dengan pelanggaran.
Dalam hal ini maka kejahatannya dijatuhkan hukumannya sendiri,
sedangkan bagi masing-masing pelanggarannya pun dikenakan hukuman
sendiri-sendiri dengan pengertian bahwa jumlah semuanya dari hukuman
kurungan yang dijatuhkan bagi pelanggaran-pelanggaran itu tidak boleh
lebih dari satu tahun empat bulan dan mengenai hukuman kurungan
pengganti denda tidak lebih dari delapan bulan. Pasal 70 bisa menentukan
kejahatan-kajahatan ringan dianggap sebagai pelanggaran. Bagi masing-
masing kejahatan ringan tersebut harus dijatuhkan hukuman sendiri-
sendiri dengan ketentuan bahwa jika dijatuhkan hukuman penjara maka
jumlah semua hukuman tidak boleh lebih dari delapan bulan.
7

3. Perbuatan berlanjut (Voorgezette Handeling)


Apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan dan beberapa
perbuatan itu merupakan tindak pidana sendriri. Tetapi di antara perbuatan
itu ada yang hubungan sedemikian eratnya satu sama lain sehingga beberapa
perbuatan itu harus dianggap sebagai satu peruatan lanjutan. Hal ini diatur
dalam pasal 64 KUHP dan pemidanaannya menggunakan sistem absorpsi.
Apa yang dimaksud dengan perbuatan berlanjut? Terdapat beberapa
pendapat mengenai perbuatan berlanjut tersebut. Ada sarjana yang
memberikan pengertian bahwa perbuatan berlanjut adalah apabila seseorang
melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing merupakan delik, tetapi
beberapa perbuatan yang masing-masing delik itu seolah-olah digabungkan
menjadi satu delik.
Sedangkan Simons mengatakan bahwa KUHP yang berlaku
sekarang tidak mengenal vorgezette handeling sebagaimana diatur dalam
pasal 64 KUHP yang merupakan bentuk gabungan dalam concursus
realis. Hanya tentang pemidanaan pasal 64 KUHP menyimpang dari
ketentuan pasal 65 KUHP dan 66 KUHP. Menurut pasal 65 KUHP dan 66
KUHP yang dijatuhkan adalah satu pidana yang terberat ditambah dengan
sepetiganya. Sedangkan menurut pasal 64 KUHP yang dijatuhkan hanya
satu pidana yang diperberat. Oleh karena itu, Simons menganggap pasal 64
KUHP sebagai pengecualian terhadap concursus realis/ meerdaadse
samenloop.
Adapun ciri-ciri dari perbuatan berlanjut adalah:
a. Tindakan-tindakan yang terjadi adalah sebagai perwujudan dari satu
kehendak jahat;
b. Delik-delik yang terjadi itu sejenis; dan
c. Tenggang waktu antara terjdinya tindakan-tindakan tersebut tidak
terlampau lama.
8

C. Gabungan hukuman dalam islam

Adapun pertimbangan fuqaha tentang eksistensi gabungan hukuman


yang berdasarkan atas dua teori :

1. Teori saling memasuki atau melengkapi


Dalam teori ini yang dimaksudkan adalah, bahwa pelaku jarimah dikenakan
suatu hukuman, walaupun melakukan tindakan kejahatan ganda, karena
perbuatan satu dengan yang lainnya dianggap saling melengkapi atau saling
memasuki. Teori ini ada dua pertimbangan.
a. Bila pelaku hanya melakukan tindakan kejahatan sejenis sebelum
diputuskan oleh hakim, maka hukumannya dapat dijatuhkan satu macam
saja, jika satu hukuman dianggap cukup. Akan tetapi jika ia belum insaf
atau jera dan mengulangi lagi, maka ia dapat dikenakan hukuman lagi.
Contoh: Hamim mencuri sebelum mencuri ia dikenakan hukuman dan ia
mencuri lagi.
b. Bila jarimah yang dilakukan oleh seorang secara berulang-ulang dan
terdiri dari bermacam-macam jarimah, maka pelakupun bisa dikenakan
satu hukuman, dengan syarat bahwa penjatuhan hukuman itu melindungi
kepentingan bersama dan untuk mewujudkan tujuan yang sama.
Contoh: Ali sobri memakan daging babi, kemudian meminum khomer
serta makan bangkai.

2. Teori penyerapan

Yang dimaksud dari teori ini adalah penjatuhan hukuman dengan


menghilangkan hukuman yang lain karena telah diserap oleh hukuman yang
lebih berat.

Contoh : Syaikhon adim dijatuhkan hukuman mati yang lain diaggap tidak,
karena telah diserap oleh hukuman mati.

Teori penyerapan ini dipegang oleh abu hanifah, imam malik, dan imam ahmad.
Sedangkan imam syafi`k menolak, beliau perpendapat bahwa semua hukuman
harus dijatuhkan satu persatu adapun taktik pelaksanaannya ialah mendahulukan
hak adami daripada hak Allah.

Contoh : Hak adami seperti diyat (jarimah yang dilakukan tanpa disengaja seperti
peluru nyasar atau semi sengaja melempar orang dengan batu kemudian dia mati)
9

· Hak Allah seperti (mencuri, berzina, membunuh), yang sifatnya sengaja.

Sekalipun dalam islam sendiri mengakui adanya jarimah qisas, diat, tetapi tidak
selalu yang dibayangkan. Islam justru dalam menerapkan hukuman sangat
memperhatikan kepentingan individu dan masyarakat. Ditegakkannya hukuman
dalam islam pada prinsipnya ialah demi kemaslahatan manusia.
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan pada uraian di atas maka dapat ditarik bebrapa kesimpula


yakni sebagai berikut:

1. Gabungan hukuman atau gabungan tindak pidana adalah bila sesorang


melakukan beberapa macam jarimah (tindak pidana), dimana masing-
masing jarimah tersebut belum mendapat keputusan terakhir. Jadi,
gabungan hukuman sejumlah tindak pidana yang dilakukan oleh
seseorang, dimana tiap-tiap tindak pidana yang dia lakukan belum satupun
yang divonis.
2. Adapun Macam-macam gabungan hukuman yakni:
a. Gabungan anggapan (concurcus idealis)
b. Gabungan nyata (concurcus realis)
c. Perbuatan berlanjut (Voorgezette Handeling)
B. Saran

Makalah ini jauh dari pembuatan yang sempurna, maka dari itu besar
harapan kami selaku penyusun makalah ini agar kiranya mampu bermanfaat bagi
pembacanya dan mampu dijadikan sebagai bahan acuan dalam memperdalam
ilmu pengetahuan sehari- hari. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun
sangat diharapkan agar makalah ini dapat disusun menjadi lebih baik lagi di masa
yang akan datang.

10
DAFTAR PUSTAKA

Aw. Munawwir dan M.Fairuz, Kamus al-Munawiwir, Surabaya: Pustaka

progressif, 2007.

R. soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Serta Komentar-Komentarnya

Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: politeia, 1987.

Tim Redaksi, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Lembaga

Bahasa & Budaya, 1945.

11

Anda mungkin juga menyukai