Anda di halaman 1dari 16

LEVEL KEJELASAN MAKNA AL QUR’AN DAN PROBLEMATIKA

PENAFSIRAN DI DALAMNYA

DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS PADA MATA KULIAH STUDI

AL QUR’AN DAN HADITS

OLEH:

NURUL FIKRI ILHAM PRATAMA

NIM.22203011049

DOSEN PENGAMPU:

DR. MOH. TAMTOWI, M. AG.

NIP.19720903 199803 1 001

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA

2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur hanya untuk Allah ‘Azza wa Jalla

yang telah melimpahkan begitu banyak kenikmatan, bimbingan, petunjuk dan

hidayah-Nya sehingga makalah berjudul “Level Kejelasan Makna dalam Al

Qur’an dan Problematika Penafsiran di dalamnya” ini dapat terselesaikan dengan

baik.

Selanjutnya, ucapan rasa terimakasih penulis haturkan kepada Bapak

Dosen Pengampu Mata Kuliah Studi Al Qur’an dan Hadits, bapak Dr. Moh.

Tamtowi, M. Ag., yang dengan penuh rasa tulus memberikan ilmunya kepada

mahasiswanya, dan juga kepada teman-teman penulis yang telah berkenan

membaca makalah ini.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh

karenanya besar harapan penulis para pembaca dapat memberikan kritik dan

sarannya demi perbaikan dan inspirasi karya kepenulisan selanjutnya.

Yogyakarta, 04 Oktober 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI

SAMPUL…….………………………………………………………….……… 1

KATA PENGANTAR………………………………………………….……….2

DAFTAR ISI………………………………………………………….…………3

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………4

A. Latar Belakang…………………………………………………………4

B. Rumusan Masalah……..………………………………………….……6

C. Tujuan Penulisan…….…………………………………………….…..6

BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………7

A. Klasifikasi Level Kejelasan Makna dalam Al Qur’an........................7

B. Problematika Penafsiran Terhadap Level Kejelasan Makna dalam Al

Qur’an………………………………………………………….………10

BAB III PENUTUP…………………………………………………………….14

A. Kesimpulan……………………………………………………………...14

B. Saran…………………………………………………………………….14

DAFTAR PUSTAKA…………………………………...………………………16

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Al Qur’an merupakan kalam Ilahi yang mutlak akan kebenaran isinya

yang terbebas dari campur tangan pemikiran manusia baik lafal maupun

maknanya. Al Qur’an memiliki banyak keunggulan yang menjadikannya

istimewa. Al Qur’an adalah mukjizat yang diberikan kepada Nabi Muhammad

SAW beserta umatnya yang berlangsung secara abadi yang juga dijamin

pemeliharaan keasliannya. Makna-makna ayat Al Qur’an selalu terus digali

guna mendapatkan sebanyak-banyaknya pedoman hidup manusia.1

Keluasan makna Al Qur’an menjadikan Al Qur’an tidak cukup untuk

hanya dibaca melainkan perlu untuk lebih dikaji secara mendalam dengan

penghayatan yang memerlukan perangkat keilmuan khusus sebagaimana ilmu

tafsir, bahasa, mantiq dan fikih. Sehingga manusia diharapkan dapat

menemukan sebanyak-banyaknya makna yang terkandung di dalam Al Qur’an

guna mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Senada dengan

hal di atas, cendekiawan muslim Ali al-Shabuni menjelaskan bahwa tafsir

merupakan suatu kunci guna membuka lumbung simpanan makna yang

tersimpan di dalam Al Qur’an.2

1
Yusuf Qardhawi, Kaifa Nata’al-malu Ma’a Al-Qur’an al-‘Azhîm, Diterjemahkan oleh
Abdul Hayyie al-Kattani (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), hlm. 3.
2
Ali al-Shabuni, Ikhtishar ‘Ulum al-Qur’an Praktis, Diterjemahkan oleh Qodirun Nur
(Jakarta: Pustaka Amani, 1988), hlm. 85.

4
Hakikat kebenaran di dalam Al Qur’an sejatinya hanya diketahui oleh

Allah SWT sedangkan manusia hanyalah sejauh mana

menginterpretasikan pemahamannya terhadap ayat Al Qur’an tanpa

adanya kebenaran yang bersifat absolut, sehingga sering kali manusia

berbeda pandangan dalam mengungkapkan makna suatu ayat Al Qur’an.

Persepsi yang berbeda dalam penafsiran Al Qur’an seringkali

menimbulkan kontroversi pemahaman yang tidak sedikit menimbulkan

polarisasi di kalangan umat Islam. Meskipun perbedaan pendapat tersebut

telah terjadi di sepanjang jaman sebagaimana suatu kewajaran yang

sepatutnya antar umat Islam dapat saling memahami dan bertoleransi

sehingga perbedaan ini hendaklah dipandang sebagai rahmah.

Perbedaan persepsi dalam menafsirkan Al Qur’an salah satunya

dipengaruhi oleh ayat-ayat Al Qur’an yang mempunyai penafsiran

bermakna ganda. Hal ini dikarenakan masing-masing ayat mempunyai

level kejelasan makna yang berbeda antara satu ayat dengan ayat yang

lain. Terdapat ayat Al Qur’an yang memiliki karakteristik pemaknaan

muhkam, di sisi lain terdapat juga yang memiliki pemaknaan yang bersifat

mutasyabihat. Muhkam dan mutasyabihat dalam ilmu studi Al Qur’an

mempunyai dampak yang signifikan dalam menentukan makna Al Qur’an

secara luas. Oleh karenanya melalui makalah ini, penulis berusaha

menghadirkan pembahasan yang mengulas lebih jauh tentang keluasan

makna Al Qur’an dalam makalah yang berjudul “LEVEL KEJELASAN

5
MAKNA AL QUR’AN DAN PROBLEMATIKA PENAFSIRAN DI

DALAMNYA”.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa saja klasifikasi level kejelasan makna dalam Al Qur’an?

2. Bagaimana problematika penafsiran terhadap level kejelasan makna

dalam Al Qur’an ?

C. TUJUAN PENULISAN

1. Mengetahui klasifikasi level kejelasan makna dalam Al Qur’an.

2. Mencermati problematika penafsiran terhadap level kejelasan makna

dalam Al Qur’an.

6
BAB II

PEMBAHASAN

A. Klasifikasi Level Kejelasan Makna dalam Al Qur’an

Maklum adanya bahwa Al Qur’an diturunkan dalam bahasa arab. Oleh

karenanya demi mendapatkan pemahaman hukum yang terkandung dalam Al

Quran diperlukan adanya keahlian kebahasaan yang dalam hal ini adalah

bahasa arab. Bahasa arab dalam peranannya banyak mengandung makna-

makna majaz dalam arti bukan makna yang sebenarnya. Sebab itu para ulama

ahli tafsir telah mengadakan penelitian secara seksama terhadap nash-nash Al-

Qur’an sehingga kemudian diperoleh kaidah-kaidah yang menjadi pedoman

umat Islam dalam membantu memahami ayat-ayat Al quran.3

Kaidah-kaidah sebagaimana di atas juga berlaku dalam ranah

bagaimana para ulama’ menentukan kejelasan pemaknaan terhadap suatu ayat

Al Quran, sehingga dalam hal ini para ulama menglasifikasikan kejelasan

makna Al-Qur’an ke dalam dua pembagian. Pertama, ialah muhkam dan yang

kedua ialah mutasyabihat, yang akan diuraikan sebagaimana berikut:

1. Muhkam

Istilah muhkam secara bahasa diambil dari kata hakama

yang mempunyai arti memutus dua perkara atau lebih. Sedangkan

muhkam dapat diartikan sebagai suatu hal yang kokoh, jelas, dan

3
Syamsu Nahar, “Keberadaan Ayat Muhkam dan Mutasyabih dalam Al-Qur’an”,
Nizhamiyah, Vol. VI, No. 2 (Juli-Desember 2016), hlm. 1.

7
fasih dalam membedakan mana yang benar dan yang salah. 4

Sedangkan muhkam secara istilah mempunyai arti yaitu ayat yang

berdiri dengan sendirinya dan tidak memerlukan keterangan

tambahan. 5 Dalam literasi yang lain, muhkam berarti suatu ayat

yang telah jelas maknanya lagi nyata dan tidak terdapat

kemungkinan nasakh dalam penafsirannya. 6 Ayat-ayat muhkam

dalam pemaknaanya memang langsung memiliki makna

sebagaimana yang secara lahir ada dalam ayat tersebut sehingga

maknanya sudah jelas dan tidak lagi samar.

Ayat-ayat muhkam jumlahnya lebih banyak dibandingkan

dengan ayat-ayat mutasyabihat, yang penulis contohkan di

antaranya sebagaimana berikut:

‫ٱَّلل أ َ َحد‬
ُ ‫ؕقُ ْل ه َُو ه‬
Artinya: Katakanlah Dialah Allah yang maha Esa. (Al-Ikhlas ayat

1)

‫َوأ َ َحل ٱّلله ٱ ْلبَ ْي َع َو َحر َم ٱ ِّلربَ ٰوا‬

Artinya: Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan

mengharamkan riba. (Al Baqarah ayat 275).

4
Muhammad Chirzin, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an (Yogyakata: PT Dana Bhakti Prima
Yasa, 1998), hlm. 70.
5
Ahmad Syadali dan H. Ahmad Ropi’i, Ulumul Qur’an (Bandung: CV. Pustaka Setia,
2000). Hlm. 202
6
Ramli Abdul Wahid, Ulum al-Qur’an (Jakarta: PT. Raja Granfindo Persada,1996), hlm.
83.

8
2. Mutasyabihat

Mutasyabihat diambil dari kata Syabaha yang secara

bahasa memiliki arti keserupaan, yakni apabila terdapat salah satu

dari dua hal yang serupa dengan yang lain. 7 Sedangkan secara

istilah mutasyabih berarti suatu ayat yang tidak berdiri sendiri,

akan tetapi membutuhkan keterangan maupun penjelasan tertentu

karena adanya perbedaan dalam menakwilnya. 8 Mutasyabihat juga

dapat diartikan sebagai ayat yang memiliki makna lain yang

tersembunyi yang tidak bisa diketahui maknanya dengan aqli

maupun naqli secara pasti. 9 Dalam arti lain, ayat-ayat mutasyabihat

ialah ayat yang memang mempunyai makna yang samar, dalam

jenis makna yang kedua ini dimaksudkan bagi ayat yang mujmal

(bersifat global), mu’awwal (harus ditakwil), ambigius serta

musykil (sukar dipahami).10

Berikut di antara contoh ayat-ayat mutasyabihat:

‫َر َ َّۤل ا ِٰلهَ ا اَِّل ه َُو ۚ كُ ُّل ش َۡىءٍ هَا ِلك ا اَِّل َو ۡج َهه لَـهُ ۡال ُح ۡك ُم َواِلَ ۡي ِه‬
ۘ َ ‫ّٰللا ا ِٰل ًها ٰاخ‬
ِ ‫َو ََّل ت َ ۡدعُ َم َع ه‬
َ‫ت ُ ۡر َج ُع ۡون‬
Artinya: Dan jangan (pula) engkau sembah tuhan yang lain selain

Allah. Tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Segala

Muhammad Zulkarnain Mubhar, “Ayat-ayat Muhkam dan Mutasyabih dalam Al


7

Quran”, Jurnal Al-Mubarak, Vol. III, No. 2 (2018), hlm. 44.


8
Ahmad Syadali dan H. Ahmad Ropi’i, Ulum al-Qur’an…., hlm. 202.
9
Ramli Abdul Wahid, Ulum al-Qur’an…, hlm. 83.

Muhammad Chirzin, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, (Yogyakata: PT Dana Bhakti


10

Prima Yasa, 1998), hlm. 72.

9
sesuatu pasti binasa, kecuali wajah Allah. Segala keputusan

menjadi wewenang-Nya, dan hanya kepada-Nya kamu

dikembalikan. (Al Qashah ayat 88).

َ ‫ّٰللا فَ ْوقَ ا َ ْي ِد ْي ِه ْم ۚ فَ َم ْن ناك‬


‫َث‬ َ ‫ا اِن اال ِذيْنَ يُ َبا ِي ُع ْونَكَ اِ ان َما يُ َبا ِي ُع ْونَ ه‬
ِ ‫ّٰللا ۗ َيدُ ه‬
َ ‫سيُؤْ تِ ْي ِه اَجْ ًرا‬
‫ع ِظ ْي ًما‬ َ ‫علَ ْيهُ ه‬
َ َ‫ّٰللا ف‬ َ َ‫ع ٰلى نَ ْفس ِۚه َو َم ْن ا َ ْو ٰفى بِ َما عٰ َهد‬ َ ‫ث‬ ُ ُ‫فَ ِانا َما يَ ْنك‬
Artinya: Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepadamu

(Muhammad), sesungguhnya mereka hanya berjanji setia kepada

Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa

melanggar janji, maka sesungguhnya dia melanggar atas (janji)

sendiri; dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Dia

akan memberinya pahala yang besar. (Al Fath ayat 10).

‫علَى ْٱلعَ ْر ِش ٱ ْست ََو ٰى‬


َ ‫ٱلرحْ ٰ َم ُن‬
‫ا‬
Artinya: (Yaitu) Yang Maha Pengasih, Yang bersemayam di atas

Arasy. (Thaha ayat 5).

B. Problematika Penafsiran Terhadap Level Kejelasan Makna dalam Al

Qur’an

Problem pokok dalam pembahasan penafsiran terhadap ayat muhkam dan

mutasyabihat sebenarnya dilatarbelakangi oleh Surat Ali Imran ayat 7

sebagaimana berikut:

ۖ ‫ش ِب ٰ َهت‬ ِ َ ‫ب ِم ْنهُ َءا ٰيَت ُّمحْ َك ٰ َمت ه اُن أ ُ ُّم ْٱل ِك ٰت‬
َ ٰ َ ‫ب َوأُخ َُر ُمت‬ َ َ ‫علَيْكَ ْٱل ِك ٰت‬ ٓ ‫ه َُو ٱلاذ‬
َ ‫ِى أَنزَ َل‬

‫شبَهَ ِم ْنهُ ٱ ْبتِغَا ٓ َء ْٱل ِفتْنَ ِة َوٱ ْبتِغَا ٓ َء ت َأ ْ ِوي ِلِۦه ۗ َو َما‬
َ ٰ َ ‫فَأ َ اما ٱلاذِينَ فِى قُلُو ِب ِه ْم زَ يْغ فَيَت ا ِبعُونَ َما ت‬

10
‫ٱلر ِس ُخونَ فِى ْٱل ِع ْل ِم يَقُولُونَ َءا َمناا بِ ِهۦ كُ ٌّل ِم ْن ِعن ِد َربِنَا ۗ َو َما‬ ‫يَ ْعلَ ُم ت َأ ْ ِويلَ ۥٓهُ إِ اَّل ا‬
‫ٱَّللُ ۗ َو ٰ ا‬

‫ب‬ ۟ ُ‫َّل أ ُ ۟ول‬


ِ َ‫وا ْٱْل َ ْل ٰب‬ ٓ ‫يَذا اك ُر إِ ا‬

Artinya: Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di

antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al

qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang

dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian

ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk

mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya

melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami

beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan

kami". Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-

orang yang berakal.

Berasaskan ayat di atas, para ulama ahli tafsir berbeda pendapat terhadap

penafsiran ayat tersebut. Sebagian dari mereka terdapat yang secara terang-

terangan melarang menafsirkan serta menakwilnya, dan sebagian yang lain

tetap membolehkan penafsiran ayat terkhusus kepada ayat-ayat mutasyabihat.

Di antara yang melarang ialah istri Nabi SAW, ‘Aisyah, di mana Aisyah

beranggapan bahwa ayat-ayat mutasyabihat di dalam Al Quran hanyalah SWT

yang mengetahuinya, sehingga tidak ada seorang pun yang bias menafsirkan

dan menakwilnya.11

Abdullah Abu al-Su’ud Badr, Tafsil Umm al-Mukminîn ‘Âisyah ra, Diterjemahkan oleh
11

Gazi Saloom, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2000), hlm 154-155.

11
Larangan penafsiran sebagaimana yang dikemukakan ‘Aisyah dilandasi

dengan ketentuan huruf wau sebelum kata al-rasikhuna sebagaimana ayat di

atas bukanlah huruf yang befungsi sebagai ‘athaf melainkan huruf wau yang

memilik faidah isti’naf yang menandakan bahwa kalimat sebelumnya

merupakan awalan kalimat guna memulai pembahasan yang baru dan telah

memiliki pembahasan yang berbeda dari kalimat sebelumnya. Sehingga lafal

rasikhuna dalam ayat tersebut ber-i’rab-kan rafa’ yang mempunyai tarkib

sebagai mubtada’ yang memperkuat bahwa kalimat sebelumnya tidak ada

hubungan dengan kalimat setelahnya.

Menurut golongan ini ayat-ayat mutasyabihat karena tidak dilakukan

penakwilan maupun penafsiran lebih lanjut maka makna yang terkandung di

dalamnya akan tetap dibiarkan sebagaimana makna tekstualnya dan

menyerahkan sepenuhnya arti maknanya kepada Allah SWT sebagai bentuk

penghormatan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang harus dibebaskan dari

pemahaman manusia yang dapat mengurangi esensi dari kandungan ayat itu

sendiri.

Berbeda dengan Aisyah, di sisi lain terdapat ulama’ yang membolehkan

adanya penafsiran maupun penakwilan terhadap ayat-ayat mutasyabihat, yakni

Abu Hasan al-Asy’ari. Menurutnya huruf wau sebelum kata al-rasikhuna

dalam ayat tersebut bukanlah huruf wau yang memiliki faidah isti’nafiyah

melainkan berfaidah huruf ‘athaf, konsekuensinya kata al-rasikhuna bukanlah

merupakan pembahasan baru melainkan masih memiliki hubungan dengan

kalimat sebelumnya. Abu Hasan al-Asy’ari beranggapan bahwa kata al-

12
rasikhuna adalah ma’thuf terakhir sehingga pembahasan ayat tersebut

berhenti pada kata al-rasikhuna bukan berhenti di kata sebelumnya yaitu illa

Allah. Pendapat ini diperkuat oleh Abu Ishaq al-Syirazi yang beranggapan

bahwa ilmu Allah tentang takwil terhadap ayat-ayat mutasyabihat tersebut

juga diberikan kepada para ulama’ yang mendalaminya. Menurutnya firman

tersebut justru diturunkan sebagai bentuk pujian bagi para ulama’ yang konsen

terhadap penafsiran Al-Qur’an.12

Menurut golongan yang kedua ini, ayat-ayat mutasyabihat di dalam Al-

Qur’an haruslah dilakukan tafsir dan takwil demi mendapatkan makna yang

lebih mudah diterima dan guna menjauhi makna-makna yang berpotensi

merendahkan kedudukan Allah SWT yang harus dijauhkan dari sifat maupun

bentuk yang menyerupai makhluk. Hal ini menurut golongan tersebut sangat

penting dilakukan sebab dapat mempengaruhi aqidah seorang muslim dalam

mendudukkan Allah SWT dengan kedudukan yang tinggi tanpa sedikit pun

menyerupakan dengan bentuk maupun sifat yang dimilkik makhluk.

12
Didin Saefudin Buchori, Pedoman Memahami Kandungan al-Qur`an (Bogor: Granada
Sarana Pustaka, 2005), hlm. 76.

13
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan makalah yang telah penulis susun, maka penulis dapat

menyimpulkan sebagai berikut:

1. Level kejelasan makna dalam ayat Al-Qur’an dikategorikan menjadi

dua bagian. Pertama, makna ayat muhkam,yaitu suatu ayat yang berdiri

dengan sendirinya dan tidak memerlukan keterangan tambahan yang

dengan dirinya sendiri ayat tersebut memamg mudah untuk dipahami.

Kedua, makna ayat mutasyabihat, yaitu suatu ayat yang tidak berdiri

sendiri, bersifat samar sehingga untuk memperoleh kejelasan makna

membutuhkan keterangan maupun penjelasan tambahan.

2. Pembagian antara muhkam dan mutasyabihat terlepas dari tujuan

utama yaitu untuk lebih memudahkan pemahaman Al-Qur’an masih

menyisakan problematika yang saling berlawanan. Terdapat golongan

ulama yang melarang keras adanya penafsiran dan penakwilan

terhadap ayat-ayat mutasyabihat sebagaimana ‘Aisyah, dan terdapat

pula golongan ulama yang memperbolehkan dilakukannya penafsiran

maupun penakwilan terhadap ayat mutasyabihat sebagaimana Abu

Hasan al-Asy’ari dan Abu Ishaq al-Syirazi.

B. SARAN

1. Pembagian ayat muhkam dan mutasyabihat sebaiknya dikaji dengan

memperhatikan masa dan tempat asal terjadinya pemahaman baik

14
golongan ulama yang melarang maupun yang memperbolehkan adanya

penafsiran dan penakwilan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an.

2. Pembagian ayat muhkam dan mutasyabihat harus menjadikan sebuah

refeksi bahwa sebagai generasi penerus harus lebih giat dalam

memahami ayat-ayat Al-Qur’an, sehingga perbedaan pemahaman

sebagaimana yang dijelaskan di atas tidak hanya berhenti semata-mata

perbedaan namun harus menjadi bentuk keluasan ilmu Al-Qur’an yang

semuanya baik untuk dipahami tanpa harus menjadi suatu polarisasi

umat Islam yang saling menjatuhkan.

3. Pembahasan makalah ini juga relevan jika diteruskan ke dalam

pembahasan firqah-firqah manhaji yang perbedaanya masih mengakar

dan diteruskan oleh masing-masing goleongannya dalam lintas

ideologi atau manhaj di dalam Islam.

15
DAFTAR PUSTAKA

Qardhawi, Yusuf, Kaifa Nata’al-malu Ma’a Al-Qur’an al-‘Azhîm, Diterjemahkan


oleh Abdul Hayyie al-Kattani (Jakarta: Gema Insani Press, 1999).

Shabuni, Ali al-, Ikhtishar ‘Ulum al-Qur’an Praktis, Diterjemahkan oleh Qodirun
Nur (Jakarta: Pustaka Amani, 1988).

Nahar, Syamsu, “Keberadaan Ayat Muhkam dan Mutasyabih dalam Al-Qur’an”,


Nizhamiyah, Vol. VI, No. 2 (Juli-Desember 2016).

Chirzin, Muhammad, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an (Yogyakata: PT Dana Bhakti


Prima Yasa, 1998).

Syadali, Ahmad dan H. Ahmad Ropi’i, Ulumul Qur’an (Bandung: CV. Pustaka
Setia, 2000).

Abdul Wahid, Ramli , Ulum al-Qur’an (Jakarta: PT. Raja Granfindo


Persada,1996).

Zulkarnain Mubhar, Muhammad “Ayat-ayat Muhkam dan Mutasyabih dalam Al


Quran”, Jurnal Al-Mubarak, Vol. III, No. 2 (2018).

Abu al-Su’ud Badr, Abdullah, Tafsil Umm al-Mukminîn ‘Âisyah ra,


Diterjemahkan oleh Gazi Saloom, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2000).

Saefudin Buchori, Didin, Pedoman Memahami Kandungan al-Qur`an (Bogor:


Granada Sarana Pustaka, 2005).

16

Anda mungkin juga menyukai