PENAFSIRAN DI DALAMNYA
OLEH:
NIM.22203011049
DOSEN PENGAMPU:
2022
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur hanya untuk Allah ‘Azza wa Jalla
baik.
Dosen Pengampu Mata Kuliah Studi Al Qur’an dan Hadits, bapak Dr. Moh.
Tamtowi, M. Ag., yang dengan penuh rasa tulus memberikan ilmunya kepada
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh
karenanya besar harapan penulis para pembaca dapat memberikan kritik dan
Penulis
2
DAFTAR ISI
SAMPUL…….………………………………………………………….……… 1
KATA PENGANTAR………………………………………………….……….2
DAFTAR ISI………………………………………………………….…………3
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………4
A. Latar Belakang…………………………………………………………4
B. Rumusan Masalah……..………………………………………….……6
C. Tujuan Penulisan…….…………………………………………….…..6
BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………7
Qur’an………………………………………………………….………10
A. Kesimpulan……………………………………………………………...14
B. Saran…………………………………………………………………….14
DAFTAR PUSTAKA…………………………………...………………………16
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
yang terbebas dari campur tangan pemikiran manusia baik lafal maupun
SAW beserta umatnya yang berlangsung secara abadi yang juga dijamin
hanya dibaca melainkan perlu untuk lebih dikaji secara mendalam dengan
1
Yusuf Qardhawi, Kaifa Nata’al-malu Ma’a Al-Qur’an al-‘Azhîm, Diterjemahkan oleh
Abdul Hayyie al-Kattani (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), hlm. 3.
2
Ali al-Shabuni, Ikhtishar ‘Ulum al-Qur’an Praktis, Diterjemahkan oleh Qodirun Nur
(Jakarta: Pustaka Amani, 1988), hlm. 85.
4
Hakikat kebenaran di dalam Al Qur’an sejatinya hanya diketahui oleh
level kejelasan makna yang berbeda antara satu ayat dengan ayat yang
muhkam, di sisi lain terdapat juga yang memiliki pemaknaan yang bersifat
5
MAKNA AL QUR’AN DAN PROBLEMATIKA PENAFSIRAN DI
DALAMNYA”.
B. RUMUSAN MASALAH
dalam Al Qur’an ?
C. TUJUAN PENULISAN
dalam Al Qur’an.
6
BAB II
PEMBAHASAN
Quran diperlukan adanya keahlian kebahasaan yang dalam hal ini adalah
makna majaz dalam arti bukan makna yang sebenarnya. Sebab itu para ulama
ahli tafsir telah mengadakan penelitian secara seksama terhadap nash-nash Al-
makna Al-Qur’an ke dalam dua pembagian. Pertama, ialah muhkam dan yang
1. Muhkam
muhkam dapat diartikan sebagai suatu hal yang kokoh, jelas, dan
3
Syamsu Nahar, “Keberadaan Ayat Muhkam dan Mutasyabih dalam Al-Qur’an”,
Nizhamiyah, Vol. VI, No. 2 (Juli-Desember 2016), hlm. 1.
7
fasih dalam membedakan mana yang benar dan yang salah. 4
ٱَّلل أ َ َحد
ُ ؕقُ ْل ه َُو ه
Artinya: Katakanlah Dialah Allah yang maha Esa. (Al-Ikhlas ayat
1)
4
Muhammad Chirzin, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an (Yogyakata: PT Dana Bhakti Prima
Yasa, 1998), hlm. 70.
5
Ahmad Syadali dan H. Ahmad Ropi’i, Ulumul Qur’an (Bandung: CV. Pustaka Setia,
2000). Hlm. 202
6
Ramli Abdul Wahid, Ulum al-Qur’an (Jakarta: PT. Raja Granfindo Persada,1996), hlm.
83.
8
2. Mutasyabihat
dari dua hal yang serupa dengan yang lain. 7 Sedangkan secara
jenis makna yang kedua ini dimaksudkan bagi ayat yang mujmal
َر َ َّۤل ا ِٰلهَ ا اَِّل ه َُو ۚ كُ ُّل ش َۡىءٍ هَا ِلك ا اَِّل َو ۡج َهه لَـهُ ۡال ُح ۡك ُم َواِلَ ۡي ِه
ۘ َ ّٰللا ا ِٰل ًها ٰاخ
ِ َو ََّل ت َ ۡدعُ َم َع ه
َت ُ ۡر َج ُع ۡون
Artinya: Dan jangan (pula) engkau sembah tuhan yang lain selain
Allah. Tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Segala
9
sesuatu pasti binasa, kecuali wajah Allah. Segala keputusan
Qur’an
sebagaimana berikut:
ۖ ش ِب ٰ َهت ِ َ ب ِم ْنهُ َءا ٰيَت ُّمحْ َك ٰ َمت ه اُن أ ُ ُّم ْٱل ِك ٰت
َ ٰ َ ب َوأُخ َُر ُمت َ َ علَيْكَ ْٱل ِك ٰت ٓ ه َُو ٱلاذ
َ ِى أَنزَ َل
شبَهَ ِم ْنهُ ٱ ْبتِغَا ٓ َء ْٱل ِفتْنَ ِة َوٱ ْبتِغَا ٓ َء ت َأ ْ ِوي ِلِۦه ۗ َو َما
َ ٰ َ فَأ َ اما ٱلاذِينَ فِى قُلُو ِب ِه ْم زَ يْغ فَيَت ا ِبعُونَ َما ت
10
ٱلر ِس ُخونَ فِى ْٱل ِع ْل ِم يَقُولُونَ َءا َمناا بِ ِهۦ كُ ٌّل ِم ْن ِعن ِد َربِنَا ۗ َو َما يَ ْعلَ ُم ت َأ ْ ِويلَ ۥٓهُ إِ اَّل ا
ٱَّللُ ۗ َو ٰ ا
beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan
Berasaskan ayat di atas, para ulama ahli tafsir berbeda pendapat terhadap
penafsiran ayat tersebut. Sebagian dari mereka terdapat yang secara terang-
Di antara yang melarang ialah istri Nabi SAW, ‘Aisyah, di mana Aisyah
yang mengetahuinya, sehingga tidak ada seorang pun yang bias menafsirkan
dan menakwilnya.11
Abdullah Abu al-Su’ud Badr, Tafsil Umm al-Mukminîn ‘Âisyah ra, Diterjemahkan oleh
11
11
Larangan penafsiran sebagaimana yang dikemukakan ‘Aisyah dilandasi
atas bukanlah huruf yang befungsi sebagai ‘athaf melainkan huruf wau yang
merupakan awalan kalimat guna memulai pembahasan yang baru dan telah
pemahaman manusia yang dapat mengurangi esensi dari kandungan ayat itu
sendiri.
dalam ayat tersebut bukanlah huruf wau yang memiliki faidah isti’nafiyah
12
rasikhuna adalah ma’thuf terakhir sehingga pembahasan ayat tersebut
berhenti pada kata al-rasikhuna bukan berhenti di kata sebelumnya yaitu illa
Allah. Pendapat ini diperkuat oleh Abu Ishaq al-Syirazi yang beranggapan
tersebut justru diturunkan sebagai bentuk pujian bagi para ulama’ yang konsen
Qur’an haruslah dilakukan tafsir dan takwil demi mendapatkan makna yang
merendahkan kedudukan Allah SWT yang harus dijauhkan dari sifat maupun
bentuk yang menyerupai makhluk. Hal ini menurut golongan tersebut sangat
mendudukkan Allah SWT dengan kedudukan yang tinggi tanpa sedikit pun
12
Didin Saefudin Buchori, Pedoman Memahami Kandungan al-Qur`an (Bogor: Granada
Sarana Pustaka, 2005), hlm. 76.
13
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
dua bagian. Pertama, makna ayat muhkam,yaitu suatu ayat yang berdiri
Kedua, makna ayat mutasyabihat, yaitu suatu ayat yang tidak berdiri
B. SARAN
14
golongan ulama yang melarang maupun yang memperbolehkan adanya
15
DAFTAR PUSTAKA
Shabuni, Ali al-, Ikhtishar ‘Ulum al-Qur’an Praktis, Diterjemahkan oleh Qodirun
Nur (Jakarta: Pustaka Amani, 1988).
Syadali, Ahmad dan H. Ahmad Ropi’i, Ulumul Qur’an (Bandung: CV. Pustaka
Setia, 2000).
16