Disaster Management
Disaster Management
Permukiman padat penduduk merupakan masalah yang dihadapi oleh hampir semua
wilayah di Indonesia, bahkan sudah tersebar di kawasan perkotaan maupun perdesaan. Telaah
tentang permukiman padat penduduk (slum). Lazimnya kondisi ini akan mengakibatkan
permasalahan mencakup dua segi, yaitu krisis air bersih dan pengelolaan sampah. Pertama,
krisis air bersih tercipta sebagai dampak dari kondisi bangunan yang sangat rapat dan tidak
teratur sehingga menyebabkan tidak berfungsinya kawasan serapan air serta pengelolaan
sampah tidak dapat dikelola dengan baik sebab meningkatnya jumlah populasi dan
pembangunan yang masif membuat volume sampah kian meningkat. Atas ulasan singkat
tersebut, kawasan permukiman kumuh selalu dianggap sebagai penyakit akut yang biasanya
selalu linear dengan laju pertumbuhan penduduk di suatu kawasan.
Berkenaan dengan penjelasan sebelumnya, permasalahan terhadap akses air bersih
hingga saat ini nampaknya tidak hanya dihadapi oleh masyarakat perkotaan saja, melainkan
telah menjadi masalah baru bagi kawasan perdesaan. Di kawasan pedesaan, hal ini biasanya
disebabkan oleh kondisi suatu wilayah dimana jumlah penduduknya tidak sebanding dengan
luas lahan pemukiman tersedia kemudian akan membentuk struktur antar bangunan yang
padat. Fenomena tersebut biasanya sering dihadapi oleh wilayah yang menjadi kawasan
penyangga perkotaan atau lokasinya strategis berada dekat dengan kawasan pusat industri,
pemerintahan, perdagangan maupun pusat keramaian. Kemudian selain permasalahan krisis
air bersih, kawasan padat penduduk memiliki penyakit rutinan yakni sampah rumah tangga
tak terkendali.
Kelurahan Talun merupakan salah satu kelurahan yang berada di Kabupaten
Sumedang dengan posisinya yang sangat strategis dihimpit oleh pusat pemerintahan serta
pusat kegiatan perdagangan utama di pusat kota Kabupaten Sumedang. Kelurahan Talun kini
merupakan kawasan padat penduduk di Kabupaten Sumedang akibat meningkatnya
perpindahan penduduk dari kawasan perdesaan di sekitaran Sumedang sebab terbukanya
kesempatan bekerja di kawasan perkotaan Sumedang. Memperkuat argument tersebut,
meminjam data dari (BPS, 2018), Kelurahan Talun memiliki jumlah penduduk 6116 jiwa dan
luas wilayah 55 Ha yang artinya tingkat kepadatan penduduknya mencapai 11120 jiwa per
Km2. Artinya, Kelurahan Talun menjadi kawasan yang over capacity dan menimbulkan
permasalahan krisis air bersih dan sampah muncul. Hal itu karena kebutuhan akan air bersih
semakin hari semakin besar hal ini sebab semakin sedikitnya ruang terbuka yang
menyebabkan semakin sedikitnya sumber air bersih dan rendahnya serapan air akibat
kawasan serapan tertutupi oleh bangunan-bangunan rumah, ditambah lagi saat ini tengah
masuk masa puncak kemarau panjang semakin membuat warga kesulitan mendapatkan air
bersih. Juga permasalahan sampah terjadi sebab
Sesuai dengan pernyataan sebelumnya bahwa permasalahan krisis air bersih ini
disebabkan oleh faktor perubahan iklim global yang kini kian drastis penurunanya.
Kemarau berkepenjangan yang tidak berkesudahan membuat rumah-rumah yang dialiri oleh
PDAM mengalami kelangkaan sebagai akibat keringnya sumber mata air di sekitar wilayah
Sumedang. Kebanyakan yang mengalami krisis air ini adalah rumah-rumah warga pendatang
yang berada di kawasan padat penduduk. Masalahnya di lingkungan Talun telah terjadi
degradasi lingkungan dan tata ruang dimana banyak sekali rumah yang didirikan dominan
berada di kawasan serapan air yang seharusnya dapat menyerap air ketika hujan turun, lalu
mendirikan rumah di sekitar kawasan sawah hal itu terjadi sebab tingginya laju demografis
pendatang yang hendak mengadu nasib di wilayah pusat kota. Faktor kependudukan
memiliki peran sentral dalam munculnya permasalahan krisis air bersih, ditambah adanya
faktor ini menyebabkan volume sampah semakin tinggi namun tidak diimbangi dengan
jumlah petugas keberihan yang hanya diampu oleh satu orang saja dari UPT Kebersihan.
Makin buruknya lagi adalah rendahnya kesadaran dari warga untuk membuang sampah pada
tempatnya atau menyediakan tempat pembuangan sampah di sekitar lingkungan depan rumah
jarang pula dijumpai. Namun nampaknya faktor leadership dari unsur RT/RW/Kepemudaan
di lingkungan Talun sangatlah pasif dan cenderung tak acuh untuk melakukan kerja bakti saja
rasanya sulit dilakukan bahkan jarang terjadi di lingkungan Talun. Karena selama ini dalam
kehidupan sosial bermasyarakat di Kelurahan Talun, masyarakat lebih mendegar dan percaya
kepada tokoh masyarakat saja sehingga motor penggerak perubahan maupun aksi di wilayah
ini selalu dikendalikan oleh tokoh masyarakat. Degradasi nilai-nilai sosial tersebut
disebabkan pula oleh kurang aktifnya figur ketua RT/RW dalam berbaur dengan mayarakat
serta cukup tingginya ego setiap RT yang ada di RW 4, RW saya berada.
Masih berkaitan dengan itu, peran pemimpin dalam menegakkan peraturan bagi para
pelanggar yang membuang sampah semabarangan entah itu aturan tak tertulis seperti sanksi
sosial maupun aturan tertulis seperti pengenaan biaya denda belum juga hadir di tengah
kehidupan bermasyarakat di lingkungan ini. Jadi, bila dilirik secara mendalam akan muncul
beberapa penyebab dari timbulnya permasalahan krisis air bersih dan sampah di Talun bukan
hanya disebabkan oleh ketidakseimbangan alam dan faktor kependudukan saja, melainkan
lemahnya penegakan hukum dari pemimipin menjadi bumbu spesial yang tak kalah penting
dalam terciptanya sajian permasalahan krisis air dan sampah di Talun.
Nama : M. Rivaldy Rizky Alviansyah
NPM : 170110170038
Kelas/Jurusan : B / Administrasi Publik 2017
Mata Kuliah : Disaster Management
Dosen Pengampu : Dr. Drs. Slamet Usman Ismantp, M.Si.
Dr. Ramadhan Pancasilawan, S.Sos., M.Si.
Outline:
1) Pihak-pihak Terlibat
2) Peran Antar Pihak
3) Teknis Penanganan Bencana Berdasarkan Perda Sumedang No. 3 Tahun 2017
terhadap bencana:
a. Krisis Air Bersih
b. Sampah
- Tokoh Masyarakat, memiliki peran sebagai pihak yang berada langsung dan bersinggungan
dengan aktivitas masyarakat sehingga menjadi penjulur lidah antara masyarakat terkenda
dampak bencana kepada pihak ketua RT/RW, dan membantu peran ketua RT/RW berupa
arahan, instruksi, bimbingan, maupun ajakan dalam mengendalikan masyarakat terlibat aktif
ke dalam derajat perubahan yang diharapkan.
- Ketua RT/RW, memiliki peran sebagai pemimpin dan pengendalai terkecil di dalam sistem
tata kelola kehidupan sosial bermasyarakat, menjadi katalisator antara pemerintah daerah
dengan masyarakat, dan menjadi pihak yang paling tahu atas segala data atau kondisi di
wilayahnya.
- Kelurahan Talun, memiliki peran sebagai pihak penghubung antara pihak yang berada di
atasnya untuk disampaikan kepada pihak-pihak yang berada di bawah kelurahan. Pihak
kelurahan berperan juga dalam mengatur, mengurus, melayani kepentingan serta kebutuhan
administratif dan pelayanan masyarakat (public service) di tingkat Kelurahan Talun.
- Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kabupaten Sumedang, memiliki peran
melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah dan tugas pembantuan
dalam bidang lingkungan hidup dan kehutanan di Kabupaten Sumedang.
- Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kabupaten Sumedang, memiliki peran
melaksanakan kewenangan dalam rangka pelaksanaan tugas desentralisasi di bidang
pekerjaan umum, pengamanan dan pemantapan ketersediaan sumber-sumber air sesuai
dengan kebutuhan, dan pengaturan keseimbangan ekosistem sumber-sumber air di Kabupaten
Sumedang.
- PDAM Tirta Medal, memiliki peran mengelola, memproduksi, mendristribusikan air minum
atau air bersih untuk keperluan masyarakat pelanggan yang memenuhi standar kesehatan di
Kabupaten Sumedang.
Penjelasan: (penulis membaginya ke dalam dua analisis, nomor 1 adalah analisis alur
pengaduan bencana sedangkan nomor 2 adalah analisis penanganan bencana oleh instansi
pemerintah daerah)
REFERENSI
BPS. (2018). Kecamatan Sumedang Utara Dalam Angka Tahun 2019. Sumedang: bps.go.id.
Outline:
1. Faktor Bahaya: (Geologi dan Hidro-Meteorologi Beserta Statusnya);
2. Faktor Demografi: (Jumlah Penduduk, Jumlah Penduduk per Jenis Kelamin, Sebaran
Usia, Tingkat Kualitas Kesehatan, Kondisi Gizi);
3. Faktor Kerentanan: (Aspek Fisik, Perilaku Masyarakat Terhadap Ancaman Bencana,
Ekonomi, Lingkungan, dan Politik Lokal);
4. Faktor Kemampuan: (Kekuatan dan potensi yang dimiliki oleh perorangan, keluarga dan
masyarakat yang membuat mereka mampu mencegah, mengurangi, siap-siaga,
menanggapi dengan cepat atau segera pulih dari suatu kedaruratan dan bencana);
5. Faktor Kapasitas: (Kapasitas Kelembagaan, Sumberdaya, IPTEK Pendidikan, dan
Manajerial).
Kabupaten Sumedang merupakan salah satu Kabupaten yang berada di Provinsi Jawa
Barat yang tepat berada di tengah-tengah provinsi yang menghubungkan kota dan Kabupaten
yang akan menuju ke ibukota provinsi Jawa Barat yaitu Kota Bandung. Kabupaten Sumedang
secara Astronomis, terletak antara 6º 44’ – 70º 83’ Lintang Selatan dan 107º 21’ - 108º 21’
Bujur Timur.
Kabupaten Sumedang memiliki wilayah yang kondisi geografis, geologis, hidrologis
dan demografis yang memungkinkan terjadinya Bencana, baik disebabkan oleh faktor alam,
faktor non alam maupun faktor manusia yang menyebabkan timbulnya korban jiwa manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis yang dalam keadaan
tertentu dapat menghambat pembangunan Daerah.
Penyelenggaraan penanggulangan Bencana merupakan tanggung jawab Pemerintah
Daerah dan masyarakat, sehingga untuk memberikan arah, landasan dan kepastian hukum
pelaksanaan kewenangan Pemerintah Daerah dalam penanggulangan Bencana diperlukan
pengaturan mengenai Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. Namun faktanya hingga
saat ini, pada jejaring daring Kabupaten Sumedang masih belum memiliki laman resmi
BPBD sehingga akan memengaruhi pada ketersediaan sistem informasi kebencanaan yang
masih sangat minim diakses, padahal kehadiran data spasial maupun data atribut mengenai
sebaran daerah di Kabupaten Sumedang yang terkenal sebagai kawasan rawan bencana.
Maka dari itu, diperlukan adanya kajian/riset mitigasi bencana di Kabupaten Sumedang
sebagai upaya preventif dan penambahan pengetahuan penanggulangan bencana mandiri di
masyarakat. Menurut Twigg (2004) dalam (Ritohardoyo, 2014), kerangka pengkajian risiko
bencana terdapat empat elemen utama, yaitu bahaya, potensi bencana, kerentanan dan
kapasitas. Lalu terdapat penambahan faktor kependudukan/demografi sebab keterkaitan
aktivitas manusia sejalan kongruen dengan bencana hemat penulis.
Sebagai tindak lanjut akan hal tersebut, penulis akan mencoba menjelaskan konsep
dasar kajian resiko bencana berdasarkan 5 faktor. Berikut paparan 5 faktor resiko bencana di
Kabupaten Sumedang:
1. Bahaya
A. Konsep
Bahaya merupakan potensi ancaman yang dapat menimbulkan kerugian, kehilangan dan
kerusakan (Rijanta, Hizbaron, Baiquni, & others, 2018). Besarnya ancaman ditentukan oleh
kemungkinan lamanya berlangsung, tempat (lokasi) dan sifat kejadian tersebut terjadi (Noor,
2014). Informasi potensi bahaya terdiri dari tiga bentuk, yaitu angka indeks, kurva maupun
peta bahaya. Peta bahaya memiliki informasi besaran, lokasi dan waktu kejadian. Selain itu
terdapat pula peta kerawanan, yaitu informasi bahaya yang berisi informasi besaran dan
lokasi kejadian tanpa disertai informasi waktu kejadian (Rijanta et al., 2018).
Bahaya dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu (Wesnawa & Christiawan, 2014):
1. Bahaya alami (natural hazard), merupakan akibat proses alam yang tidak dapat
dikendalikan oleh manusia. Manusia hanya dapat meminimalisisr dengan membuat
kebijakan yang sesuai seperti kebijakan penataan ruang. Bahaya alami terdiri dari
bahaya geologi, hidrometerorologi, biologi dan lingkungan.
2. Bahaya buatan maunusia (human made hazard), merupakan bahaya akibat
aktivitas manusia. Bahaya ini meliputi kegagalan teknologi, degradasi lingkungan
dan adanya konflik antar pemangku kepentingan
B. Fakta di Lapangan
Potensi bencana alam yang banyak dijumpai di Kabupaten Sumedang pada umumnya
berupa gerakan tanah, erosi, banjir, angin puting beliung, dan gempa bumi. Namun yang
sangat lazim dijumpai adalah kejadian gerakan tanah disamping akibat kegempaan, sering
terjadi akibat hujan yang terus menerus dan cukup besar sehingga mengakibatkan terjadinya
longosr di daerah pegunungan. Begitu pula bencana banjir yang sangat sering terjadi
disebabkan drainase yang kurang memadai dan banyaknya tutupan lahan, seperti di sekitar
Jalan Raya Rancaekek (sekitar Kecamatan Cimanggung) dan Kecamatan Jatinangor. Berikut
penjelasan rincinya:
a. Geologi (Gerakan Tanah-Longsor)
Gerakan tanah yang terjadi di daerah Kabupaten Sumedang pada umumnya banyak
dipengaruhi oleh sifat fisik batuan dasar dan tanah pelapukan pembentuk lereng
terutama pada daerah-daerah yang dibentuk oleh batuan dasar batu lempung ataupun
terdapatnya lapisan batu lempung dalam batuan dasar pembentuk lereng. Sifat fisik
batuan/tanah pelapukan merupakan salah satu faktor alam penyebab terjadinya gerakan
tanah disamping faktor-faktor alam lainnya seperti curah hujan, struktur geologi
(perlipatan, sesar dan kekar), stratigrafi (kedudukan bidang perlapisan terhadap
kemiringan lerengnya), tataguna lahan, morfologi, dan kegempaan. Untuk gerakan
tanah sering terjadi di bagian utara terutama di sekitar Kecamatan Surian, Kecamatan
Buahdua, Kecamatan Tanjungkerta, Kecamatan Cimalaka, Kecamatan Conggeang, dan
Kecamatan Rancakalong. Sedangkan di bagian timur terutama yang berada pada jalur
sesar, berada di Kecamatan Tomo, Kecamatan Jatigede, Kecamatan Darmaraja, dan
Kecamatan Jatinunggal. Penjelasan lebih rinci disampaikan pada tabel di bawah ini.
Gambar di atas merupakan peta prioritas penanganan bencana gerakan tanah yang
mengaikabtkan longsor di Provinsi Jawa Barat. Kabupaten Sumedang masuk
didalamnya mengingat dalam kurun waktu 11 tahun terakhir, Sumedang selalu
mendapat bencana longsor yang signifikan pada Kecamatan Sumedang Selatan,
Jatinangor, dan Pamulihan.
Pada gambar tersebut dapat dililhat bahwa wilayah yang menjadi prioritasi tersebar
pada Kecamatan Tanjungsari, Jatinangor, dan Cimanggung yang secara kegiatan
manusianya dilakukan secara terpusat atau artinya pada ketiga wilayah tersebut menjadi
pusat kegiatan industri dan pendidikan di Provinsi Jawa Barat, sehingga kecenderungan
terjadinya banjir sangat tinggi selain karena 2 hal yang telah disampaikan sebelumnya
dipengaruhi juga oleh buruknya sistem drainase saluran pembuangan air di kawasan
padat penduduk.
Kemudian data Peta Risiko Bencana banjir sebelumnya diperkuat oleh lampiran data
yang disampaikan oleh BPS Kabupaten Sumedang dimana dalam kurun waktu 5 tahun
ke belakang, wilayah yang rentan terpapar bencana banjir adalah pada bagian barat dan
selatan Kabupaten Sumedang yang secara topografi memiliki perbedaan dengan
lazimnya kecamatan lain di Kabupaten Sumedang.
2. Demografi
A. Konsep
Faktor demografis akan memungkinkan terjadinya bencana sebagai dampak atas faktor
alam atau faktor non-alam serta sebagai penyebab terjadinya bencana oleh faktor manusia itu
sendiri yang menyebabkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian
harta benda, dan dampak psikologis yang dalam keadaan tertentu.
B. Fakta di Lapangan
Penduduk Kabupaten Sumedang berdasarkan proyeksi penduduk Tahun 2018 sebanyak
1.148.198 jiwa yang terdiri atas 579.337 jiwa penduduk laki- laki dan 568.861 jiwa penduduk
perempuan. Dibandingkan dengan jumlah penduduk Tahun 2017, penduduk Kabupaten
Sumedang mengalami pertumbuhan sebesar 2.049 jiwa. Sementara itu besarnya angka rasio
jenis kelamin penduduk laki-laki terhadap penduduk perempuan Tahun 2018 sebesar 99,29.
Hal ini berarti dapat dikatakan bahwa dalam 100 penduduk perempuan terdapat 99 penduduk
laki-laki. Kondisi tersebut dapat berimplikasi pada peningkatan angka fertilitas/kelahiran
akan meningkat.
Kepadatan penduduk di Kabupaten Sumedang Tahun 2018 mencapai 737 jiwa/km2.
Kepadatan Penduduk di 26 kecamatan cukup beragam dengan kepadatan penduduk tertinggi
terletak di Sumedang Utara dengan kepadatan sebesar 3.186 jiwa/km2 dan terendah di
Kecamatan Surian sebesar 162 jiwa/Km2.
a. Jumlah Penduduk Total
Representasi dari dimensi umur yang panjang adalah angka harapan hidup.
Angka tersebut menggambarkan seberapa lama peluang seseorang untuk bertahan
hidup. Semakin tinggi indikator harapan hidup mencerminkan semakin tingginya
derajat kesehatan di suatu daerah karena seseorang yang hidupnya panjang
cenderung didukung dengan kondisi kesehatan yang baik. Perkembangan angka
harapan hidup Kabupaten Sumedang dalam lima tahun terakhir menunjukkan
peningkatan yang pelan, tapi pasti. Dari angka 71,8 tahun pada Tahun 2010,
meningkat menjadi 72,07 pada Tahun 2018.
Selanjutnya persentase balita gizi buruk selama Tahun 2013-2018 berada
dibawah 1%, jika dibandingkan dengan target MDGs yakni 3,60% maka dengan
demikian pencapaian indikator balita gizi buruk selama lima tahun di Kabupaten
Sumedang tergolong berhasil.
Indikator desa siaga aktif, Kementerian Kesehatan menetapkan SPM desa siaga
aktif sebesar 80%. Dari tabel di atas terlihat bahwa persentase desa siaga aktif pada
Tahun 2018 telah terealisasi 100%, sehingga telah mencapai SPM yang ditetapkan.
Adapun Jumlah Kematian Bayi mengalami tren penurunan selama Tahun 2013-
2018. Pada Tahun 2013 tercatat 205 bayi yang mati, kemudian menurun di Tahun
2015 menjadi 181 bayi, kembali mengalami peningkatan di Tahun 2017 menjadi
146 bayi, dan di Tahun 2018 meningkat menjadi 155 bayi.
Angka Kematian Ibu (per 100.000 ibu melahirkan) menurut SPM Kementerian
Kesehatan ditetapkan 0 kasus, namun demikian di Kabupaten Sumedang kelahiran
belum mencapai 100.000 sehingga indikator yang digunakan adalah Jumlah
Kematian Ibu (Jiwa). Jika mengacu pada SPM kematian ibu ditargetkan 0 kasus,
sehingga Jumlah Kematian Ibu di Kabupaten Sumedang belum mencapai SPM
(RPJMD, 2018).
3. Kerentanan
A. Konsep
Kerentanan adalah kondisi ketidakmampuan suatu individu atau kelompok penduduk
maupun kondisi geografi dalam mengurangi dampak dari ancaman bahaya (Adiyoso, 2018;
Noor, 2014; Rijanta dkk, 2018). Kerentanan bersifat dinamis, yaitu selalu mengalami
perubahan seiring dengan perubahan kondisi manusia dan lingkungannya (Rijanta dkk,
2018).
Berkenaan dengan tajuk penulisan tugas ini, menurut ADVC (2006) dalam Nurjanah dkk
(2012), kerentanan dibagi menjadi lima kategori, yaitu kerentanan fisik (physical
vulnerability), kerentanan sosial (social vulnerability), kerentanan ekonomi (economic
vulnerability), kerentanan lingkungan (environment vulnerability) serta kerentanan
kelembagaan (institutional vulnerability). Parameter-parameter tersebut digabungkan
(overlay) menggunakan GIS sehingga dapat meggambarkan potensi dampak dari bahaya
yang akan timbul. Penilaian kerentanan diberikan berdasarkan pertimbangan logis, semakin
tinggi skor maka semakin besar pengaruh terhadap kerentanan, begiu pula sebaliknya. Data
awal yang digunakan dalam analisis berasal dari buku produk Badan Pusat dan informasi peta
dasar dari Bakosurtanal berupa data penggunaan lahan, jaringan jalan dan lokasi fasum, serta
BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah).
B. Fakta di Lapangan
a. Aspek Fisik
Curah hujan yang terjadi di Kabupaten Sumedang dalam kurun waktu 1 tahun pada
tahun 2019 menggambarkan kondisi yang fluktuatif. Biasanya curah hujan akan
meninggi pada masa awal dan akhir tahun, sedangkan akan sangat sedikit pada
pertengahan tahun. Kondisi tersebut akan berubah setiap tahunnya disesuaikan dengan
faktor alamiah.
c. Ekonomi
Dalam kurun waktu Tahun 2011 hingga Tahun 2018, persentase penduduk miskin di
Kabupaten Sumedang terus mengalami tren penurunan meskipun tidak signifikan
(hanya menurun 2,72%). Pada Tahun 2011 tercatat 12,48% penduduk miskin,
kemudian menurun menjadi 9,76% di Tahun 2018, sebagaimana tercantum pada tabel
di bawah ini:
e. Politik Lokal
Penetapan anggaran untuk pengendalian bencana di Kabupaten Sumedang selalu
masuk menjadi agenda prioritas pembangunan daerah Sumedang sebagai wilayah
dengan kerawanan bencana yang cukup tinggi di Provinsi Jawa Barat. Serta atas dasar
itu, Pemerintah Provinsi dan Pusat melalui BNPB secara serius membantu pendanaan
penanggulangan bencana berbentuk dana hibah Rp.29.844.960.000 untuk rehabilitasi
dan rekontruksi (BPS, 2020).
4. Kemampuan
A. Konsep
Jika kerentanan lebih menekankan pada aspek manusia di tingkat komunitas yang
langsung berhadapan dengan ancaman (bahaya) sehingga kerentanan menjadi faktor utama
dalam suatu tatanan sosial yang memiliki risiko bencana lebih tinggi apabila tidak di dukung
oleh kemampuan (capacity) seperti kurangnya pendidikan dan pengetahuan, kemiskinan,
kondisi sosial, dan kelompok rentan yang meliputi lansia, balita, ibu hamil dan cacat fisik
atau mental. Kapasitas (capacity) adalah suatu kombinasi semua kekuatan dan sumberdaya
yang tersedia di dalam sebuah komunitas, masyarakat atau lembaga yang dapat mengurangi
tingkat risiko atau dampak suatu bencana
Bencana (disaster) adalah suatu gangguan serius terhadap keberfungsian suatu komunitas
atau masyarakat yang mengakibatkan kerugian manusia, materi, ekonomi, atau lingkungan
yang meluas yang melampaui kemampuan komunitas atau masyarakat yang terkena dampak
untuk mengatasi dengan menggunakan sumberdaya mereka sendiri
Besarnya resiko dapat dikurangi oleh adanya kemampuan (capacity) adalah kondisi
masyarakat yang memiliki kekuatan dan kemampuan dalam mengkaji dan menilai ancaman
serta bagaimana masyarakat dapat mengelola lingkungan dan sumberdaya yang ada, dimana
dalam kondisi ini masyarakat sebagai penerima manfaat dan penerima risiko bencana
menjadi bagian penting dan sebagai aktor kunci dalam pengelolaan lingkungan untuk
mengurangi risiko bencana dan ini menjadi suatu kajian dalam melakukan manajemen
bencana berbasis masyarakat (Comunity Base Disaster Risk Management).
Kemampuan penyesuaian (coping capabilities) adalah cara orang-orang atau lembaga-
lembaga baik lokal maupun luar untuk menggunakan sumberdaya dan kemampuan yang ada
untuk menghadapi akibat-akibat yang merugikan yang dapat mengarah kepada suatu bencana
(Petrasawacana, 2011).
B. Fakta di Lapangan
Pada masyarakat yang berada di kawasan rawan bencana gerakan tanah dan banjir
sejatinya sudah dapat memahami bagaimana menyikapi saat terjadinya bencana tidak
seluruhnya atas intervensi pemerintah dalam hal ini BPBD kabupaten, maka responsivitas
yang dibangun di dalam masyarakat adalah secara kolektif dan imitatif atas kejadian-kejadian
yang telah terjadi sebelumnya. Lesson diambil kebanyakan atas kejadian yang dihadapi dan
dilihat secara langsung oleh masyarakat diperkuat dengan adanya sistem nilai sosial yang
masih kuat lazimnya pada masyarakat pedesaan membuat daya tanggap saat pasca bencana
dapat terbangun secara solid, serta lesson yang diambil pada saat pasca bencana lainnya
adalah bagaimana adanya antisipasi yang dilakukan pada saat melakukan pengendalian serta
pengelolaan pemanfaatan hasil alam.
5. Kapasitas
A. Konsep
Kapasitas adalah kemampuan penguasaan sumberdaya, cara dan kekuatan yang dimiliki
oleh masyarakat dalam upaya pertahanan dan persiapan diri dalam mencegah, menanggulangi
dan memulihkan diri dari akibat bencana dengan cepat (Adiyoso, 2018; Bakornas 2017)
dalam (Hamida, 2019).
Menurut Khambali (2017) dalam (Hamida, 2019), kemampuan dalam lingkup mitigasi
bencana adalah tindakan mencegah, mengurangi dampak, kesiapsiagaan dan keterampilan
mempertahankan hidup dalam situasi bencana. Jenis-jenis kapasitas menurut Adiyoso (2018)
dalam (Hamida, 2019), antara lain:
1. Kapasitas fisik, yaitu kemampuan memperoleh barang atau benda apabila terjadi
bencana
2. Kapasitas sosial, yaitu adanya tenaga yang terorganisir
3. Kapasitas kelembagaan, yaitu kemampuan masyarakat dalam bentuk formal ataupun
nonformal dalam sistem yang terorganisir dalam pengambilan keputusan pada
sebuah pencegahan, tindakan dan perbaikan saat terjadi bencana
4. Kapasitas ekonomi, yaitu kemampuan masyarakat dalam menggunakan dan
memanfaatkan sumber daya ekonomi
B. Fakta di Lapangan
a. Kapasitas Kelembagaan
1. Peningkatan sarana dan prasarana;
2. Konservasi lahan secara nasional;
3. Pengembangan sistem, strategi, dan sumber daya;
4. Peningkatan kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap upaya-upaya
manajemen bencana;
5. Peningkatan pengetahuan dan kemampuan para petugas;
6. Pelatihan dan simulasi manajemen bencana;
7. Penyiapan kader-kader/relawan siaga bencana;
8. Pengenbangan sistem peringatan dini;
9. Evaluasi kebijakan dan strategi.
b. Kapasitas Sumberdaya
1. Dalam hal bencana tingkat kabupaten, Kepala BPBD
Kabupaten yang terkena bencana, mengerahkan
sumberdaya manusia, peralatan dan logistik sesuai kebutuhan.
ke lokasi bencana.
2. Apabila kebutuhan tersebut tidak tersedia/tidak memadai, maka
pemerintah kabupaten Sumedang dapat meminta
bantuan kepada pemerintah kabupaten/kota terdekat baik dalam
satu wilayah provinsi maupun provinsi lain.
3. Apabila pemerintah kabupaten/kota yang dimintai bantuan tidak
memiliki ketersediaan sumberdaya/tidak memadai, maka
pemerintah kabupaten Sumedang dapat
meminta bantuan kepada pemerintah provinsi Jawa Barat.
4. Biaya yang timbul akibat pengerahan bantuan ini ditanggung
oleh pemerintah kabupaten Sumedang.
5. Pelaksanaan pengerahan sumber daya dari asal sampai dengan
lokasi bencana dilaksanakan dibawah kendali Kepala BPBD
Kabupaten Sumedang.
6. Apabila terdapat keterbatasan sumberdaya manusia, peralatan
dan logistik yang dikerahkan oleh Kepala BPBD Kabupaten/Kota terdekat
dengan Kabupaten Sumedang,
maka BNPB dapat membantu melalui pola pendampingan.
7. Pola pendampingan oleh BNPB dapat berupa dukungan biaya
pengepakan, biaya pengiriman, jasa tenaga pengangkutan dan
dukungan peralatan tanggap darurat bencana.
d. Kapasitas Manajerial
1. Melaksanakan koordinasi dan kerja sama dengan dinas teknis dan instasi
terkait lainnya untuk mengembangkan program-program pencegahan bencana
dan peringatan dini;
2. Melakukan mitigasi dan pemetaan (mapping) daerah rawan bencana di seluruh
wilayah kabupaten sumedang ;
3. Menyiapkan perangkat lunak dan produk-produk hukum yang diperlukan
untuk manajemen bencana;
4. Menyiapkan buku-buku petunjuk tentang manajemen bencana, serta
mensosialisasikannya kepada lembaga pemerintah, swasta, dan masyarakat;
5. Melakukan kerja sama dengan lembaga lain, baik nasional maupun
internasional.
6. Mengembangkan metode manajemen bencana, terutama ”sistem peringatan
dini” (early warning system);
7. Merencanakan program dan kegiatan manajemen bencana berikut rencana
pengurangan resiko , contingency plan dan kebutuhan anggaran;
8. Membangun kesiapsiagaan berbasiskan masyarakat dalam menghadapi
bencana dan kedaruratan melalui pelatihan dan simulasi;
9. Melaksanakan pengkajian (lessons learned) mekanisme manajemen yang
efektif dan efisien;
10. Melaksanakan supervisi ke daerah untuk kesiapsiagaan;
11. Membangun jejaring dan kerjasama tingkat lokal, regional, nasional dan
internasional;
12. Melaksanakan monitoring dan evaluasi program dan kegiatan;
13. Melaksanakan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
terutama mengenai sistem peringatan dini, kesiapsiagaan, dan pengembangan
sistem komunikasi;
14. Mengkaji faktor sosial budaya masyarakat yang dapat mempengaruhi
efektivitas manajemen bencana;
15. Melaksanakan penyuluhan dan sosialisasi kepada masyarakat mengenai
program manajemen bencana;
16. Mengendalikan penggunaan dana dari apbd/apbn untuk mendukung seluruh
kegiatan manajemen bencana.
REFERENSI
BPS. (2018). Kecamatan Sumedang Utara Dalam Angka Tahun 2019. Sumedang: bps.go.id.
Laporan Akhir Identifikasi dan Analisis Lokasi Rawan Bencana Provinsi Jawa Barat
Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Daerah Kabupaten Sumedang Tahun
2017
Patonah, A. (2016). INVESTIGASI SERTA EDUKASI POTENSI KERENTANAN
LONGSOR KECAMATAN. Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat , 167-170.