Anda di halaman 1dari 22

Nama : M.

Rivaldy Rizky Alviansyah


NPM : 170110170038
Kelas/Jurusan : B / Administrasi Publik 2017
Mata Kuliah : Disaster Management
Dosen Pengampu : Dr. Drs. Slamet Usman Ismantp, M.Si.
Dr. Ramadhan Pancasilawan, S.Sos., M.Si.

ANALISIS KEBENCANAAN PADA SEKITAR LINGKUNGAN RUMAH


BERDASARKAN ACUAN FAKTOR ALAM-ANTROPOGENETIK

Lokasi : Kelurahan Talun, Kabupaten Sumedang


Jenis Bencana : Krisis Air Bersih & Sampah Yang Menumpuk Akibat Padatnya Penduduk

Permukiman padat penduduk merupakan masalah yang dihadapi oleh hampir semua
wilayah di Indonesia, bahkan sudah tersebar di kawasan perkotaan maupun perdesaan. Telaah
tentang permukiman padat penduduk (slum). Lazimnya kondisi ini akan mengakibatkan
permasalahan mencakup dua segi, yaitu krisis air bersih dan pengelolaan sampah. Pertama,
krisis air bersih tercipta sebagai dampak dari kondisi bangunan yang sangat rapat dan tidak
teratur sehingga menyebabkan tidak berfungsinya kawasan serapan air serta pengelolaan
sampah tidak dapat dikelola dengan baik sebab meningkatnya jumlah populasi dan
pembangunan yang masif membuat volume sampah kian meningkat. Atas ulasan singkat
tersebut, kawasan permukiman kumuh selalu dianggap sebagai penyakit akut yang biasanya
selalu linear dengan laju pertumbuhan penduduk di suatu kawasan.
Berkenaan dengan penjelasan sebelumnya, permasalahan terhadap akses air bersih
hingga saat ini nampaknya tidak hanya dihadapi oleh masyarakat perkotaan saja, melainkan
telah menjadi masalah baru bagi kawasan perdesaan. Di kawasan pedesaan, hal ini biasanya
disebabkan oleh kondisi suatu wilayah dimana jumlah penduduknya tidak sebanding dengan
luas lahan pemukiman tersedia kemudian akan membentuk struktur antar bangunan yang
padat. Fenomena tersebut biasanya sering dihadapi oleh wilayah yang menjadi kawasan
penyangga perkotaan atau lokasinya strategis berada dekat dengan kawasan pusat industri,
pemerintahan, perdagangan maupun pusat keramaian. Kemudian selain permasalahan krisis
air bersih, kawasan padat penduduk memiliki penyakit rutinan yakni sampah rumah tangga
tak terkendali.
Kelurahan Talun merupakan salah satu kelurahan yang berada di Kabupaten
Sumedang dengan posisinya yang sangat strategis dihimpit oleh pusat pemerintahan serta
pusat kegiatan perdagangan utama di pusat kota Kabupaten Sumedang. Kelurahan Talun kini
merupakan kawasan padat penduduk di Kabupaten Sumedang akibat meningkatnya
perpindahan penduduk dari kawasan perdesaan di sekitaran Sumedang sebab terbukanya
kesempatan bekerja di kawasan perkotaan Sumedang. Memperkuat argument tersebut,
meminjam data dari (BPS, 2018), Kelurahan Talun memiliki jumlah penduduk 6116 jiwa dan
luas wilayah 55 Ha yang artinya tingkat kepadatan penduduknya mencapai 11120 jiwa per
Km2. Artinya, Kelurahan Talun menjadi kawasan yang over capacity dan menimbulkan
permasalahan krisis air bersih dan sampah muncul. Hal itu karena kebutuhan akan air bersih
semakin hari semakin besar hal ini sebab semakin sedikitnya ruang terbuka yang
menyebabkan semakin sedikitnya sumber air bersih dan rendahnya serapan air akibat
kawasan serapan tertutupi oleh bangunan-bangunan rumah, ditambah lagi saat ini tengah
masuk masa puncak kemarau panjang semakin membuat warga kesulitan mendapatkan air
bersih. Juga permasalahan sampah terjadi sebab
Sesuai dengan pernyataan sebelumnya bahwa permasalahan krisis air bersih ini
disebabkan oleh faktor perubahan iklim global yang kini kian drastis penurunanya.
Kemarau berkepenjangan yang tidak berkesudahan membuat rumah-rumah yang dialiri oleh
PDAM mengalami kelangkaan sebagai akibat keringnya sumber mata air di sekitar wilayah
Sumedang. Kebanyakan yang mengalami krisis air ini adalah rumah-rumah warga pendatang
yang berada di kawasan padat penduduk. Masalahnya di lingkungan Talun telah terjadi
degradasi lingkungan dan tata ruang dimana banyak sekali rumah yang didirikan dominan
berada di kawasan serapan air yang seharusnya dapat menyerap air ketika hujan turun, lalu
mendirikan rumah di sekitar kawasan sawah hal itu terjadi sebab tingginya laju demografis
pendatang yang hendak mengadu nasib di wilayah pusat kota. Faktor kependudukan
memiliki peran sentral dalam munculnya permasalahan krisis air bersih, ditambah adanya
faktor ini menyebabkan volume sampah semakin tinggi namun tidak diimbangi dengan
jumlah petugas keberihan yang hanya diampu oleh satu orang saja dari UPT Kebersihan.
Makin buruknya lagi adalah rendahnya kesadaran dari warga untuk membuang sampah pada
tempatnya atau menyediakan tempat pembuangan sampah di sekitar lingkungan depan rumah
jarang pula dijumpai. Namun nampaknya faktor leadership dari unsur RT/RW/Kepemudaan
di lingkungan Talun sangatlah pasif dan cenderung tak acuh untuk melakukan kerja bakti saja
rasanya sulit dilakukan bahkan jarang terjadi di lingkungan Talun. Karena selama ini dalam
kehidupan sosial bermasyarakat di Kelurahan Talun, masyarakat lebih mendegar dan percaya
kepada tokoh masyarakat saja sehingga motor penggerak perubahan maupun aksi di wilayah
ini selalu dikendalikan oleh tokoh masyarakat. Degradasi nilai-nilai sosial tersebut
disebabkan pula oleh kurang aktifnya figur ketua RT/RW dalam berbaur dengan mayarakat
serta cukup tingginya ego setiap RT yang ada di RW 4, RW saya berada.
Masih berkaitan dengan itu, peran pemimpin dalam menegakkan peraturan bagi para
pelanggar yang membuang sampah semabarangan entah itu aturan tak tertulis seperti sanksi
sosial maupun aturan tertulis seperti pengenaan biaya denda belum juga hadir di tengah
kehidupan bermasyarakat di lingkungan ini. Jadi, bila dilirik secara mendalam akan muncul
beberapa penyebab dari timbulnya permasalahan krisis air bersih dan sampah di Talun bukan
hanya disebabkan oleh ketidakseimbangan alam dan faktor kependudukan saja, melainkan
lemahnya penegakan hukum dari pemimipin menjadi bumbu spesial yang tak kalah penting
dalam terciptanya sajian permasalahan krisis air dan sampah di Talun.
Nama : M. Rivaldy Rizky Alviansyah
NPM : 170110170038
Kelas/Jurusan : B / Administrasi Publik 2017
Mata Kuliah : Disaster Management
Dosen Pengampu : Dr. Drs. Slamet Usman Ismantp, M.Si.
Dr. Ramadhan Pancasilawan, S.Sos., M.Si.

ANALISIS MANAJEMEN PENANGANAN BENCANA ATAS MASALAH KRISIS


AIR BERSIH DAN SAMPAH DI KELURAHAN TALUN KABUPATEN SUMEDANG

Outline:
1) Pihak-pihak Terlibat
2) Peran Antar Pihak
3) Teknis Penanganan Bencana Berdasarkan Perda Sumedang No. 3 Tahun 2017
terhadap bencana:
a. Krisis Air Bersih
b. Sampah

1) Entitas Yang Terlibat:

a. Krisis Air Bersih


Pihak-pihak yang terlibat di dalam aksi penanganan permasalahan krisis air bersih di
Kelurahan Talun adalah:
Tokoh masyarakat, ketua RT/RW, Kelurahan Talun, Dinas Pekerjaan Umum dan
Penataan Ruang Kabupaten Sumedang, dan PDAM Tirta Medal.
b. Sampah
Pihak-pihak yang terlibat di dalam aksi penanganan permasalahan sampah di Kelurahan
Talun adalah:
Tokoh masyarakat, ketua RT/RW, Kelurahan Talun, dan Dinas Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Kabupaten Sumedang.

2) Peran Entitas Terkait Bencana:

- Tokoh Masyarakat, memiliki peran sebagai pihak yang berada langsung dan bersinggungan
dengan aktivitas masyarakat sehingga menjadi penjulur lidah antara masyarakat terkenda
dampak bencana kepada pihak ketua RT/RW, dan membantu peran ketua RT/RW berupa
arahan, instruksi, bimbingan, maupun ajakan dalam mengendalikan masyarakat terlibat aktif
ke dalam derajat perubahan yang diharapkan.
- Ketua RT/RW, memiliki peran sebagai pemimpin dan pengendalai terkecil di dalam sistem
tata kelola kehidupan sosial bermasyarakat, menjadi katalisator antara pemerintah daerah
dengan masyarakat, dan menjadi pihak yang paling tahu atas segala data atau kondisi di
wilayahnya.
- Kelurahan Talun, memiliki peran sebagai pihak penghubung antara pihak yang berada di
atasnya untuk disampaikan kepada pihak-pihak yang berada di bawah kelurahan. Pihak
kelurahan berperan juga dalam mengatur, mengurus, melayani kepentingan serta kebutuhan
administratif dan pelayanan masyarakat (public service) di tingkat Kelurahan Talun.
- Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kabupaten Sumedang, memiliki peran
melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah dan tugas pembantuan
dalam bidang lingkungan hidup dan kehutanan di Kabupaten Sumedang.
- Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kabupaten Sumedang, memiliki peran
melaksanakan kewenangan dalam rangka pelaksanaan tugas desentralisasi di bidang
pekerjaan umum, pengamanan dan pemantapan ketersediaan sumber-sumber air sesuai
dengan kebutuhan, dan pengaturan keseimbangan ekosistem sumber-sumber air di Kabupaten
Sumedang.
- PDAM Tirta Medal, memiliki peran mengelola, memproduksi, mendristribusikan air minum
atau air bersih untuk keperluan masyarakat pelanggan yang memenuhi standar kesehatan di
Kabupaten Sumedang.

3) Praktek Model Aduan dan Penanganan Bencana:

Seluruh permasalahan dilakukan melalui pendekatan bottom-up dengan mengacu kepada


peraturan daerah mengenai penanggulangan kebencanaan yakni Peraturan Daerah Sumedang
No. 3 Tahun 2017. Adapun skema penyelesaian masalah krisis air bersih dan sampah di
Kelurahan Talun disusul oleh penjelasan rinci tahapan penanganan yuridisnya, antara lain:

Masyarakat Tokoh Masyarakat Ketua RT/RW Kelurahan Talun


1

Bencana Krisis Air Bersih Dinas PUPR


PDAM
2
Bencana Sampah
Dinas LHK

Penjelasan: (penulis membaginya ke dalam dua analisis, nomor 1 adalah analisis alur
pengaduan bencana sedangkan nomor 2 adalah analisis penanganan bencana oleh instansi
pemerintah daerah)

Begitulah kurang lebih skema/alur/skenario pelaporan/pengaduan kejadian bencana krisis air


1 bersih dan sampah di Kelurahan Talun. Dimana dalam kedua bencana ini tokoh, mulamua
masyarakat yang terkena dampak bencana melakukan pelaporan atau pengaduan kepada
tokoh masyarakat untuk diserap dan kemudian akan disampaikan kepada ketua RT/RW.
Setelah disampaikan, ketua RT akan melakukan koordinasi kepada pengurus RT untuk
melakukan pendataan dan tindak lanjut ke lapangan, jika memang terbukti aduan akan
disampaikan kepada ketua RW. Lalu, ketua RW akan melakukan koordinasi dan komunikasi
dengan pihak Kelurahan Talun untuk meminta saran serta bantuan pemecahan masalah
sembari memberikan laporan data masyarakat terkena dampak di bawah naungan RW-nya,
namun pihak kelurahan akan terlebih dahulu melakukan verifikasi ulang kepada setiap RW
yang berada di bawah naungannya agar dipastikan kembali bahwa pendataan menganai
masyarakat terkena dampak dapat terkumpul secara tepat. Sebagai bentuk tindak lanjutnya,
pihak kelurahan melakukan komunikasi dengan pihak Dinas PUPR (bencana krisis air bersih)
dan Dinas LHK (bencana sampah) untuk meminta pengecakan dan penyediaan fasilitasi
peralatan penanganan bencana sembari melampirkan laporan jumlah masyarakat terdampak.
Setelah itu, dilakukan proses pemberitahuan dan pengajuan penyediaan alat kepada unit
pelaksana terkait untuk segera ditindaklanjuti. Selanjutnya, melakukan koordinasi dan
berkolaborasi dengan lembaga-lembaga terkait untuk dapat ikut membantu menyelesaikan
permasalahan secara responsif, misalnya dalam bencana krisis air bersih Dinas PUPR akan
meminta bantuan kepada PDAM untuk penyediaan dan mobilisasi truk air bersih.
Tentunya dalam melakukan proses penanganan bencana oleh lembaga-lembaga yang telah
2 disebutkan sebelumnya, pasti mengacu kepada Peraturan Daerah Sumedang No. 3 Tahun
2017 Tentang Penyelenggaraan Penanganan Kebencanaan di Kabupaten Sumedang,
terutama pada BAB III Aspek dan Tahapan Penyelenggaraan Penanggulangan
Bencana Pasal 6 yang berbunyi:

Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana dilaksanakan berdasarkan empat (4) aspek,


meliputi:
1. Sosial-ekonomi dan budaya masyarakat; menjawab faktor kependudukan.
2. Kelestarian lingkungan hidup; menjawab faktor degradasi lingkungan dan tata
ruang.
3. Kemanfaatan dan Efektivitas; menjawab faktor lemahnya penegakan hukum dan
leadership.
4. Lingkup dan luas wilayah; menjawab faktor perubahan iklim global.
Dalam praktiknya, penanganan bencana krisis air bersih dan sampah yang terjadi di
Kelurahan Talun pertama kali akan melihat dan mengkaji pada aspek kondisi sosial-ekonomi
dan budaya masyarakat pra-bencana serta pasca bencana. Sebab, kajian pada tahap pra-
bencana akan sangat dibutuhkan dalam melihat faktor penentu dan pemicu terjadinya
bencana yang sudah pasti ada intervensi manusia serta aktivitasnya yang kompleks di dalam
lingkungan bencana itu terjadi. Lalu kajian pada tahap pasca-bencana dibutuhkan untuk
menilai sejauh mana keberhasilan penetapan metode/cara penanganan yang dilakukan oleh
instansi terkait. Dalam bencana krisis air bersih, tentunya BAPPEDA, BPS, Dinas PUPR, dan
PDAM Kabupaten Sumedang melakukan elaborasi mengenai data wilayah dengan tingkat
resiko tinggi di Sumedang serta dalam bencana sampah tentunya Dinas LHK memiliki
catatan tersendiri di wilayah manakah yang menjadi rentan akan permasalahan sampah
terjadi. Sebab utama bencana krisis air bersih dan sampah muncul di Kelurahan Talun karena
adanya faktor kependudukan yang masif dan terus bertambah di Kelurahan Talun utamanya
di RW 3,4,5, dan 6 serta masyarakat asli setempat yang mengeluh lahannya tergerus benteng-
benteng kontrakan, maka pihak Dinas PUPR Sumedang bekerjasama dengan Kelurahan
Talun akan mengkaji lebih lanjut mengenai prosedur IMB yang akan lebih diketatkan pada
rumah-rumah kontrakan yang berdiri ilegal di atas wilayah hijau dan resapan air di Kelurahan
Talun. Sedangkan dalam bencana sampah, bonus demografi di Kelurahan Talun
dimanfaatkan oleh tokoh masyarakat asli setempat untuk menyeru dan melakukan aksi
gotong-royong membersihkan lingkungan per RT-nya masing-masing.
Lalu, penanggulangan bencana mutlak hukumnya berprinsip pada aspek menjaga
kelestarian lingkungan hidup sebagai buah respon atas adanya fakta adanya degradasi
lingkungan akibat alih fungsi lahan yang serakah dan inkalkulatis. Bentuk penanggulangan
bencana krisis air bersih semakin menyadarkan diri bahwa wilayah resapan air yang semakin
menipis menjadi prakarsa awal dalam melakukan gerakan pembuatan bipori di wilayah-
wilayah padat penduduk sehingga tanah dapat menampung air ketika hujan turun. Dalam
bencana sampah, bentuk pengjewantahan menjaga kelestarian lingkungan adalah dengan
adanya penyediaan tempat sampah oleh masing-masing penghuni rumah di depan bagian
rumah agar sampah tidak berserakan di jalan serta untuk menjaga keindahan lingkungan agar
tetap indah kala dipandang.
Kemudian, adanya permasalahan di masyarakat sudah pasti akan sulit jika dipaksakan
diatasi sepihak karena tentunya akan membutuhkan intervensi pemerintah untuk memberikan
kemanfaatan dan efektivitas lebih luas kepada masyarakat. Sebabnya bisa banyak hal,
namun yang paling kentara adalah kurang mampunya pemimpin dalam penegakkan hukum
dan leadership yang tak berefek pada perubahan permasalahan. Dalam kasus krisis air
bersih, adanya penanganan berupa bantuan air bersih rutin akan meningkatkan kesadaran
masyarakat dalam membantu peran pemimpin di lingkungannya untuk lebih peka dan aktif
untuk bersama-sama mencoba melakukan langkah antisipasi agar tidak terus-menerus
kejadian terulang serupa nantinya. Bahwa dengan adanya penanggulangan bencana krisis air
bersih maupun sampah ini secara partisipastif dan mandiri ternyata akan memberikan efek
dan dampak nyata nan luas kepada lingkungan. Adanya upaya bersama secara sederhana
dengan menerapkan nilai-nilai kolektif yang telah diterapkan walaupun jarang terjadi,
sebenarnya merupakan solusi akhir memutus bencana ini agar tidak terus terjadi secara
kontinyu.
Terakhir, dalam menangani bencana krisis air bersih dilakukan dengan memerhatikan
pasokan air agar tetap bisa melayani masyarakat terkena dampak di lingkup atau luas
wilayah yang membutuhkan, tentu ini menjadi prinsipil karena pemerintah berkewajiban
memberikan keadilan bagi seluruh masyarakat tanpa terkecuali. Sebagimana yang diketahui,
bahwa kondisi krisis air bersih tentu tidak akan tiba-tiba terjadi, ia hadir salah satunya
disebabkan oleh faktor perubahan iklim global yang mengkhawatirkan. Maka bentuk
penanganan dilakukan secara rutin dan areal, artinya kebutuhan akan air bersih selama
kemarau akan terus berlanjut serta akan terus bertambah jika keadaan wilayahnya padat dan
minim resapan air. Sebagai solusi konkrit, Dinas PUPR bekerja sama dengan PDAM
membagikan truk tangki air bersih kepada masyarakat kurang mampu terlebih dahulu dan
diperbolehkan mengambil air bersih tersebut sesuai kebutuhan. Setiap RW entah itu RW 3,4,
5 dan 6 diberikan jatah gratis setiap minggu agar dapat dipastikan kebutuha air bersih dapat
tercukupi tanpa menghadirkan masalah baru akibat penggunaan air tak layak pakai.
Partisipasi masyarakat juga dibutuhkan dalam masalah ini dengan memberikan air bagi
masyarakat yang memiliki sumur bor pada masyarakat yang biasa menggantungkan diri pada
air PAM atau sungai, nampaknya hal tersebut masih dijumpai pada seluruh RW di Kelurahan
Talun. Dalam bencana sampah, penanganan dilakukan dengan melakukan penggunaan
kendaraan bermotor sebagai alat pengangkut sampah dan adanya peningkatan tarif kebersihan
oleh UPT Kebersihan Sumedang. Kasus terparah terdapat di RW 4 dengan kepadatan
penduduk cukup parah namun tidak diimbangi dengan personel kebersihan memadai dan alat
yang masih konvensional. Penangananya adalah tokoh masyarakat mengusulkan kepada
Dinas LHK untuk disediakan alat kebersihan bermotor karena di RW 3 dan 5 sudah
menggunakan alat tersebut.

REFERENSI

BPS. (2018). Kecamatan Sumedang Utara Dalam Angka Tahun 2019. Sumedang: bps.go.id.

Peraturan Daerah Kabupaten Sumedang No. 3 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan


Penanganan Kebencanaan di Kabupaten Sumedang.
Nama : M. Rivaldy Rizky Alviansyah
NPM : 170110170038
Kelas/Jurusan : B / Administrasi Publik 2017
Mata Kuliah : Disaster Management
Dosen Pengampu : Dr. Drs. Slamet Usman Ismantp, M.Si.
Dr. Ramadhan Pancasilawan, S.Sos., M.Si.

ANALISIS PENJABARAN 5 FAKTOR RESIKO BENCANA (FAKTOR BAHAYA,


DEMOGRAFI, KERENTANAN, KEMAMPUAN, DAN KAPASITAS)
KEBENCANAAN DI KABUPATEN SUMEDANG

Outline:
1. Faktor Bahaya: (Geologi dan Hidro-Meteorologi Beserta Statusnya);
2. Faktor Demografi: (Jumlah Penduduk, Jumlah Penduduk per Jenis Kelamin, Sebaran
Usia, Tingkat Kualitas Kesehatan, Kondisi Gizi);
3. Faktor Kerentanan: (Aspek Fisik, Perilaku Masyarakat Terhadap Ancaman Bencana,
Ekonomi, Lingkungan, dan Politik Lokal);
4. Faktor Kemampuan: (Kekuatan dan potensi yang dimiliki oleh perorangan, keluarga dan
masyarakat yang membuat mereka mampu mencegah, mengurangi, siap-siaga,
menanggapi dengan cepat atau segera pulih dari suatu kedaruratan dan bencana);
5. Faktor Kapasitas: (Kapasitas Kelembagaan, Sumberdaya, IPTEK Pendidikan, dan
Manajerial).

Kabupaten Sumedang merupakan salah satu Kabupaten yang berada di Provinsi Jawa
Barat yang tepat berada di tengah-tengah provinsi yang menghubungkan kota dan Kabupaten
yang akan menuju ke ibukota provinsi Jawa Barat yaitu Kota Bandung. Kabupaten Sumedang
secara Astronomis, terletak antara 6º 44’ – 70º 83’ Lintang Selatan dan 107º 21’ - 108º 21’
Bujur Timur.
Kabupaten Sumedang memiliki wilayah yang kondisi geografis, geologis, hidrologis
dan demografis yang memungkinkan terjadinya Bencana, baik disebabkan oleh faktor alam,
faktor non alam maupun faktor manusia yang menyebabkan timbulnya korban jiwa manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis yang dalam keadaan
tertentu dapat menghambat pembangunan Daerah.
Penyelenggaraan penanggulangan Bencana merupakan tanggung jawab Pemerintah
Daerah dan masyarakat, sehingga untuk memberikan arah, landasan dan kepastian hukum
pelaksanaan kewenangan Pemerintah Daerah dalam penanggulangan Bencana diperlukan
pengaturan mengenai Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. Namun faktanya hingga
saat ini, pada jejaring daring Kabupaten Sumedang masih belum memiliki laman resmi
BPBD sehingga akan memengaruhi pada ketersediaan sistem informasi kebencanaan yang
masih sangat minim diakses, padahal kehadiran data spasial maupun data atribut mengenai
sebaran daerah di Kabupaten Sumedang yang terkenal sebagai kawasan rawan bencana.
Maka dari itu, diperlukan adanya kajian/riset mitigasi bencana di Kabupaten Sumedang
sebagai upaya preventif dan penambahan pengetahuan penanggulangan bencana mandiri di
masyarakat. Menurut Twigg (2004) dalam (Ritohardoyo, 2014), kerangka pengkajian risiko
bencana terdapat empat elemen utama, yaitu bahaya, potensi bencana, kerentanan dan
kapasitas. Lalu terdapat penambahan faktor kependudukan/demografi sebab keterkaitan
aktivitas manusia sejalan kongruen dengan bencana hemat penulis.
Sebagai tindak lanjut akan hal tersebut, penulis akan mencoba menjelaskan konsep
dasar kajian resiko bencana berdasarkan 5 faktor. Berikut paparan 5 faktor resiko bencana di
Kabupaten Sumedang:

ANALISIS RISIKO BENCANA

BAHAYA DEMOGRAFI KERENTANAN KEMAMPUAN KAPASITAS

Jumlah Aspek Fisik, Potensi yang


Geologi dan Penduduk, Perilaku dimiliki oleh Kapasitas
Hidro- Jumlah Penduduk Masyarakat perorangan, Kelembagaan,
Meteorologi per Jenis Terhadap Ancaman keluarga dan Sumberdaya,
Beserta Kelamin, Sebaran Bencana, Ekonomi, masyarakat yang IPTEK
Statusnya Usia, Tingkat Lingkungan, dan membuat mereka Pendidikan, dan
Kualitas Politik Lokal mampu Manajerial
Kesehatan, mencegah,
Kondisi Gizi mengurangi, siap-
siaga, menanggapi
dengan cepat atau
segera pulih dari
suatu kedaruratan
dan bencana

1. Bahaya
A. Konsep
Bahaya merupakan potensi ancaman yang dapat menimbulkan kerugian, kehilangan dan
kerusakan (Rijanta, Hizbaron, Baiquni, & others, 2018). Besarnya ancaman ditentukan oleh
kemungkinan lamanya berlangsung, tempat (lokasi) dan sifat kejadian tersebut terjadi (Noor,
2014). Informasi potensi bahaya terdiri dari tiga bentuk, yaitu angka indeks, kurva maupun
peta bahaya. Peta bahaya memiliki informasi besaran, lokasi dan waktu kejadian. Selain itu
terdapat pula peta kerawanan, yaitu informasi bahaya yang berisi informasi besaran dan
lokasi kejadian tanpa disertai informasi waktu kejadian (Rijanta et al., 2018).
Bahaya dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu (Wesnawa & Christiawan, 2014):
1. Bahaya alami (natural hazard), merupakan akibat proses alam yang tidak dapat
dikendalikan oleh manusia. Manusia hanya dapat meminimalisisr dengan membuat
kebijakan yang sesuai seperti kebijakan penataan ruang. Bahaya alami terdiri dari
bahaya geologi, hidrometerorologi, biologi dan lingkungan.
2. Bahaya buatan maunusia (human made hazard), merupakan bahaya akibat
aktivitas manusia. Bahaya ini meliputi kegagalan teknologi, degradasi lingkungan
dan adanya konflik antar pemangku kepentingan
B. Fakta di Lapangan

Potensi bencana alam yang banyak dijumpai di Kabupaten Sumedang pada umumnya
berupa gerakan tanah, erosi, banjir, angin puting beliung, dan gempa bumi. Namun yang
sangat lazim dijumpai adalah kejadian gerakan tanah disamping akibat kegempaan, sering
terjadi akibat hujan yang terus menerus dan cukup besar sehingga mengakibatkan terjadinya
longosr di daerah pegunungan. Begitu pula bencana banjir yang sangat sering terjadi
disebabkan drainase yang kurang memadai dan banyaknya tutupan lahan, seperti di sekitar
Jalan Raya Rancaekek (sekitar Kecamatan Cimanggung) dan Kecamatan Jatinangor. Berikut
penjelasan rincinya:
a. Geologi (Gerakan Tanah-Longsor)
Gerakan tanah yang terjadi di daerah Kabupaten Sumedang pada umumnya banyak
dipengaruhi oleh sifat fisik batuan dasar dan tanah pelapukan pembentuk lereng
terutama pada daerah-daerah yang dibentuk oleh batuan dasar batu lempung ataupun
terdapatnya lapisan batu lempung dalam batuan dasar pembentuk lereng. Sifat fisik
batuan/tanah pelapukan merupakan salah satu faktor alam penyebab terjadinya gerakan
tanah disamping faktor-faktor alam lainnya seperti curah hujan, struktur geologi
(perlipatan, sesar dan kekar), stratigrafi (kedudukan bidang perlapisan terhadap
kemiringan lerengnya), tataguna lahan, morfologi, dan kegempaan. Untuk gerakan
tanah sering terjadi di bagian utara terutama di sekitar Kecamatan Surian, Kecamatan
Buahdua, Kecamatan Tanjungkerta, Kecamatan Cimalaka, Kecamatan Conggeang, dan
Kecamatan Rancakalong. Sedangkan di bagian timur terutama yang berada pada jalur
sesar, berada di Kecamatan Tomo, Kecamatan Jatigede, Kecamatan Darmaraja, dan
Kecamatan Jatinunggal. Penjelasan lebih rinci disampaikan pada tabel di bawah ini.
Gambar di atas merupakan peta prioritas penanganan bencana gerakan tanah yang
mengaikabtkan longsor di Provinsi Jawa Barat. Kabupaten Sumedang masuk
didalamnya mengingat dalam kurun waktu 11 tahun terakhir, Sumedang selalu
mendapat bencana longsor yang signifikan pada Kecamatan Sumedang Selatan,
Jatinangor, dan Pamulihan.

Signifikansi peta data sebelumnya dihasilkan kedalam sajian kuantitatif yang


menerangkan bahwa ketiga lokasi tersebut memiliki tingkat bahaya yang sangat tinggi
sehingga skala prioritas menjadi kategori tinggi. Hal itu diperkuat dengan adanya rilis
data dari Pemerintah Kabupaten Sumedang, yakni:
Menurut data yang disajikan oleh BPS Kabupaten Sumedang, bahwa bencana tanah
longsor umumnya terjadi secara merata pada seluruh kecamatan di Kabupaten
Sumedang mengingat banyaknya sebaran wilayah dengan ketinggian wilayah diatas
500 mdpl serta kontur tanah lembek menjadikan Kabupaten Sumedang sebagai wilayah
yang akan sangat rawan terjadi longsor baik yang terjadi secara alamiah maupun akibat
ulah manusia.
b. Hidro-Meteorologi (Banjir)
Bencana banjir yang terjadi di Kabupaten Sumedang didominasi wilayah dataran
rendah seperti di sebelah barat dan selatan Sumedang. Kawasan industri dan padat
penduduk seperti di Kecamatan Cimanggung dan kawasan tutupan lahan akibat
meningkatnya aktivitas penduduk seperti di Kecamatan Tanjungsari dan Jatinangor
merupakan langganan banjir yang kerap melanda tiap musim penghujan tiba. Maka,
pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Sumedang menetapkan kawasan
tersebut menjadi prioritas penanganan bencana banjir, seperti yang terlampir pada data
di bawah ini:

Data di atas merupakan penetapan wilayah dengan penerapan kebijakan penanganan


bencana banjir kategori prioritas di Provinsi Jawa Barat, dimana lagi-lagi Kabupaten
Sumedang kembali menjadi kabupaten prioritasi penanganan bencana banjir secara
serius. Bencana banjir di Sumedang didominasi terjadi pada kawasan perkotaan yang
cenderung diakibatkan oleh aktivitas manusia seperti tutupan lahan dan perilaku
membuang sampah sembarangan. Berikut adalah peta risiko bencana banjir yang
difasilitasi oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat RI.

Pada gambar tersebut dapat dililhat bahwa wilayah yang menjadi prioritasi tersebar
pada Kecamatan Tanjungsari, Jatinangor, dan Cimanggung yang secara kegiatan
manusianya dilakukan secara terpusat atau artinya pada ketiga wilayah tersebut menjadi
pusat kegiatan industri dan pendidikan di Provinsi Jawa Barat, sehingga kecenderungan
terjadinya banjir sangat tinggi selain karena 2 hal yang telah disampaikan sebelumnya
dipengaruhi juga oleh buruknya sistem drainase saluran pembuangan air di kawasan
padat penduduk.
Kemudian data Peta Risiko Bencana banjir sebelumnya diperkuat oleh lampiran data
yang disampaikan oleh BPS Kabupaten Sumedang dimana dalam kurun waktu 5 tahun
ke belakang, wilayah yang rentan terpapar bencana banjir adalah pada bagian barat dan
selatan Kabupaten Sumedang yang secara topografi memiliki perbedaan dengan
lazimnya kecamatan lain di Kabupaten Sumedang.

2. Demografi
A. Konsep
Faktor demografis akan memungkinkan terjadinya bencana sebagai dampak atas faktor
alam atau faktor non-alam serta sebagai penyebab terjadinya bencana oleh faktor manusia itu
sendiri yang menyebabkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian
harta benda, dan dampak psikologis yang dalam keadaan tertentu.

B. Fakta di Lapangan
Penduduk Kabupaten Sumedang berdasarkan proyeksi penduduk Tahun 2018 sebanyak
1.148.198 jiwa yang terdiri atas 579.337 jiwa penduduk laki- laki dan 568.861 jiwa penduduk
perempuan. Dibandingkan dengan jumlah penduduk Tahun 2017, penduduk Kabupaten
Sumedang mengalami pertumbuhan sebesar 2.049 jiwa. Sementara itu besarnya angka rasio
jenis kelamin penduduk laki-laki terhadap penduduk perempuan Tahun 2018 sebesar 99,29.
Hal ini berarti dapat dikatakan bahwa dalam 100 penduduk perempuan terdapat 99 penduduk
laki-laki. Kondisi tersebut dapat berimplikasi pada peningkatan angka fertilitas/kelahiran
akan meningkat.
Kepadatan penduduk di Kabupaten Sumedang Tahun 2018 mencapai 737 jiwa/km2.
Kepadatan Penduduk di 26 kecamatan cukup beragam dengan kepadatan penduduk tertinggi
terletak di Sumedang Utara dengan kepadatan sebesar 3.186 jiwa/km2 dan terendah di
Kecamatan Surian sebesar 162 jiwa/Km2.
a. Jumlah Penduduk Total

b. Jumlah Penduduk per Usia dan Jenis Kelamin


Selanjutnya penduduk menurut usia dan jenis kelamin di Kabupaten Sumedang
dapat dianalisis berdasarkan struktur umurnya sebagaimana digambarkan dalam
gambar di bawah ini:

Bentuk piramida penduduk yang menyerupai segitiga menunjukkan penduduk


Kabupaten Sumedang berstruktur umur muda. Jumlah penduduk di Kabupaten
Sumedang pada Tahun 2018 adalah sebesar 1.148.198 jiwa terdiri dari penduduk
laki-laki sebesar 579.337 jiwa dan penduduk perempuan sebesar 568.861 jiwa.
Dari 579.337 jiwa penduduk laki-laki, proporsi jumlah penduduk laki-laki usia
0-14 tahun adalah sebesar 23,83 %, usia 15-64 tahun sebesar 67,52 % dan usia di
atas 65 tahun sebesar 8,65 %. Sedangkan dari 568.861 jiwa penduduk perempuan,
proporsi jumlah penduduk perempuan usia 0-14 tahun adalah sebesar 22,69 %, usia
15-64 tahun sebesar 68,43 % dan usia di atas 65 tahun sebesar 8,87 %. Berdasarkan
komposisi dimaksud, penduduk usia produktif (15-64 tahun) merupakan bonus
demografi bagi Kabupaten Sumedang, karena proporsi usia tersebut jauh lebih
besar dibandingkan kelompok usia non produktif.
Bonus demografi ini memberikan implikasi bahwa potensi kelompok usia
produktif perlu mendapatkan perhatian dan pengembangan sehingga mampu
menghasilkan tenaga-tenaga muda yang terampil, mandiri, dan cekatan untuk
mengisi dan menciptakan peluang-peluang ekonomi yang tersedia. Struktur umur
penduduk juga digunakan untuk melihat angka beban tanggungan (ABT). Pada
Tahun 2018, ABT di Kabupaten Sumedang sebesar 47 %. Angka ini dapat
menyimpulkan bahwa terdapat 47 orang usia tidak produktif yang ditanggung oleh
100 orang penduduk usia produktif di Kabupaten Sumedang. ABT tersebut akan
memacu penduduk usia produktif untuk meningkatkan kualitas dirinya, yang pada
gilirannya akan menjadi modal yang cukup baik mendorong proses pembangunan
yang dilaksanakan oleh pemerintah Kabupaten Sumedang.
c. Tingkat Kualitas Kesehatan dan Gizi

Representasi dari dimensi umur yang panjang adalah angka harapan hidup.
Angka tersebut menggambarkan seberapa lama peluang seseorang untuk bertahan
hidup. Semakin tinggi indikator harapan hidup mencerminkan semakin tingginya
derajat kesehatan di suatu daerah karena seseorang yang hidupnya panjang
cenderung didukung dengan kondisi kesehatan yang baik. Perkembangan angka
harapan hidup Kabupaten Sumedang dalam lima tahun terakhir menunjukkan
peningkatan yang pelan, tapi pasti. Dari angka 71,8 tahun pada Tahun 2010,
meningkat menjadi 72,07 pada Tahun 2018.
Selanjutnya persentase balita gizi buruk selama Tahun 2013-2018 berada
dibawah 1%, jika dibandingkan dengan target MDGs yakni 3,60% maka dengan
demikian pencapaian indikator balita gizi buruk selama lima tahun di Kabupaten
Sumedang tergolong berhasil.
Indikator desa siaga aktif, Kementerian Kesehatan menetapkan SPM desa siaga
aktif sebesar 80%. Dari tabel di atas terlihat bahwa persentase desa siaga aktif pada
Tahun 2018 telah terealisasi 100%, sehingga telah mencapai SPM yang ditetapkan.
Adapun Jumlah Kematian Bayi mengalami tren penurunan selama Tahun 2013-
2018. Pada Tahun 2013 tercatat 205 bayi yang mati, kemudian menurun di Tahun
2015 menjadi 181 bayi, kembali mengalami peningkatan di Tahun 2017 menjadi
146 bayi, dan di Tahun 2018 meningkat menjadi 155 bayi.
Angka Kematian Ibu (per 100.000 ibu melahirkan) menurut SPM Kementerian
Kesehatan ditetapkan 0 kasus, namun demikian di Kabupaten Sumedang kelahiran
belum mencapai 100.000 sehingga indikator yang digunakan adalah Jumlah
Kematian Ibu (Jiwa). Jika mengacu pada SPM kematian ibu ditargetkan 0 kasus,
sehingga Jumlah Kematian Ibu di Kabupaten Sumedang belum mencapai SPM
(RPJMD, 2018).

3. Kerentanan
A. Konsep
Kerentanan adalah kondisi ketidakmampuan suatu individu atau kelompok penduduk
maupun kondisi geografi dalam mengurangi dampak dari ancaman bahaya (Adiyoso, 2018;
Noor, 2014; Rijanta dkk, 2018). Kerentanan bersifat dinamis, yaitu selalu mengalami
perubahan seiring dengan perubahan kondisi manusia dan lingkungannya (Rijanta dkk,
2018).
Berkenaan dengan tajuk penulisan tugas ini, menurut ADVC (2006) dalam Nurjanah dkk
(2012), kerentanan dibagi menjadi lima kategori, yaitu kerentanan fisik (physical
vulnerability), kerentanan sosial (social vulnerability), kerentanan ekonomi (economic
vulnerability), kerentanan lingkungan (environment vulnerability) serta kerentanan
kelembagaan (institutional vulnerability). Parameter-parameter tersebut digabungkan
(overlay) menggunakan GIS sehingga dapat meggambarkan potensi dampak dari bahaya
yang akan timbul. Penilaian kerentanan diberikan berdasarkan pertimbangan logis, semakin
tinggi skor maka semakin besar pengaruh terhadap kerentanan, begiu pula sebaliknya. Data
awal yang digunakan dalam analisis berasal dari buku produk Badan Pusat dan informasi peta
dasar dari Bakosurtanal berupa data penggunaan lahan, jaringan jalan dan lokasi fasum, serta
BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah).
B. Fakta di Lapangan
a. Aspek Fisik

Berdasarkan gambar yang dicetuskan oleh Kemenetrian ESDM RI, sebaran


kerentanan terjadinya bencana gerakan tanah di Kabupaten Sumedang sangatlah tinggis
sehingga diberikan simbol warna ungu yang artinya sangat rentan. Secara tersurat dapat
terlihat bahwa sebaran warna ungu pada peta lebih dikuasi oleh daerah dengan
ketinggian wilayah diatas 600 mdpl. Gerakan tanah yang terjadi pada daerah-daerah
tersebut murni disebabkan oleh keadaan alam yang mengakibatkan adanya retakan-
retakan tanah di sekitar pemukiman maupun retakan yang terjadi di lereng gunung
sehingga menyebabkan bencana longsor.
Gambar di atas merupakan peta kerentanan bencana longsor di Kecamatan
Jatinangor, Sukasari, Pamulihan, Sumedang Selatan, Cibugel, dan Tanjungsari yang
memiliki tingkat kerentanan yang beragam. Karena pada wilayah tersebut, memiliki
ketinggian wilayah berbeda, tingkat kemiringan tanah berbeda serta kondisi eksisting
penggunaan lahan. Berikut terdapat penjelasan faktor-faktor yang menjadi pemicu
kondisi kerentanan terjadinya bencana gerakan tanah dan longsor di suatu wilayah yang
dalam hal ini kondisi riil disesuaikan dengan apa yang terjadi di Kabupaten Sumedang
(Patonah, 2016).
Topografi dan Kemiringan Lahan
Kondisi topografi kemiringan lahan wilayah Kabupaten Sumedang dapat
diklasifikasikan menjadi 5 kelas, yaitu:
1. 0–8 %, merupakan daerah datar hingga berombak dengan luas area sekitar 12,24
%. Kemiringan wilayah dominan di bagian timur laut, barat laut, barat daya
serta kawasan perkabupatenan;
2. 8–15 %, merupakan daerah berombak sampai bergelombang dengan area sekitar
5,37 %. Kemiringan wilayah dominan di bagian tengah ke utara, barat laut dan
bagian barat daya;
3. 15–25 %, merupakan daerah bergelombang sampai berbukit dengan komposisi
area mencakup 51,68 %. Kemiringan lereng tipe ini paling dominan di wilayah
Kabupaten Sumedang. Persebarannya berada di bagian tengah sampai ke
tenggara, bagian selatan sampai barat daya dan bagian barat;
4. 25–40 %, merupakan daerah berbukit sampai bergunung dengan luas area
sekitar 31,58 %. Kemiringan lereng tipe ini dominan di wilayah Kabupaten
Sumedang bagian tengah, bagian selatan dan bagian timur;
5. Lebih dari kemiringan 40 %, merupakan daerah bergunung dengan luas area
mencakup sekitar 11,36 %. Kemiringan lereng tipe ini dominan di wilayah
Kabupaten Sumedang bagian selatan, bagian timur dan bagian barat daya.
Curah hujan

Curah hujan yang terjadi di Kabupaten Sumedang dalam kurun waktu 1 tahun pada
tahun 2019 menggambarkan kondisi yang fluktuatif. Biasanya curah hujan akan
meninggi pada masa awal dan akhir tahun, sedangkan akan sangat sedikit pada
pertengahan tahun. Kondisi tersebut akan berubah setiap tahunnya disesuaikan dengan
faktor alamiah.

b. Perilaku Masyarakat Terhadap Ancaman Bencana


Masyarakat yang sudah mengenali karakteristik bencana, memiliki kemampuan
dalam penanganan atau mitigasi bencana, maka kerentanan masyarakat terebut kecil,
karena masyarakat tersebut mempunyai kemampuan dalam menghadapi
bencana.Terjadinya bencana juga diperngaruhi oleh faktor pemicu (trigger). Misalnya
saat terjadi hujan dengan curah hujan yang tinggi dan terus menerus, lereng akan
mudah longsor, sehingga dapat mengakibatkan hilangnya nyawa maupun harta benda
masyarakat yang tinggal pada daerah tersebut. Pemicu pada kejadian ini yaitu curah
hujan yang deras dan berlangsung terus menerus.

c. Ekonomi
Dalam kurun waktu Tahun 2011 hingga Tahun 2018, persentase penduduk miskin di
Kabupaten Sumedang terus mengalami tren penurunan meskipun tidak signifikan
(hanya menurun 2,72%). Pada Tahun 2011 tercatat 12,48% penduduk miskin,
kemudian menurun menjadi 9,76% di Tahun 2018, sebagaimana tercantum pada tabel
di bawah ini:

Masih terdapatnya ketimpangan pendapatan serta kekayaan yang terdapat di


kawasan perdesaan dengan perkotaan yang cukup tinggi menyebabkan masyarakat
pedesaan cukup sulit untuk menyediakan sarana prasarana yang dapat melindungi
mereka dari ancaman bencana, serta cenderung memanfaatkan peralatan konvensional
sebagai upaya preventif awal sebelum pemerintah turun tangan.
d. Lingkungan
Akses Terhadap Kebutuhan Dasar
Ketersediaan air bersih merupakan kebutuhan mendasar untuk meningkatkan derajat
kesehatan penduduk dalam mencapai kriteria hidup sehat. Hidup sehat sangat terkait
dengan pola hidup yang bersih, baik bersih lingkungan maupun bersih sumber air.
Ketersediaan sumber air bersih di Kabupaten Sumedang telah sebanding dengan jumlah
penduduk yang ada. Berdasarkan grafik di bawah ini, rumah tangga pengguna air bersih
Tahun 2017 di Kabupaten Sumedang tercatat 70%. Kondisi tersebut masih jauh di
bawah target nasional yakni 100% penduduk berakses air bersih (BPS, 2020).

Rumah Tangga Bersanitasi Layak


Target RPJMN Tahun 2015-2019 menetapkan target pada akhir Tahun 2019 rumah
tangga yang memiliki sanitasi mencapai 100%. Berdasarkan grafik di bawah ini, dapat kita
ketahui bahwa rumah tangga yang memiliki sanitasi di Kabupaten Sumedang selama
periode Tahun 2014-2017 belum mencapai target (BPS, 2020).

e. Politik Lokal
Penetapan anggaran untuk pengendalian bencana di Kabupaten Sumedang selalu
masuk menjadi agenda prioritas pembangunan daerah Sumedang sebagai wilayah
dengan kerawanan bencana yang cukup tinggi di Provinsi Jawa Barat. Serta atas dasar
itu, Pemerintah Provinsi dan Pusat melalui BNPB secara serius membantu pendanaan
penanggulangan bencana berbentuk dana hibah Rp.29.844.960.000 untuk rehabilitasi
dan rekontruksi (BPS, 2020).

4. Kemampuan
A. Konsep
Jika kerentanan lebih menekankan pada aspek manusia di tingkat komunitas yang
langsung berhadapan dengan ancaman (bahaya) sehingga kerentanan menjadi faktor utama
dalam suatu tatanan sosial yang memiliki risiko bencana lebih tinggi apabila tidak di dukung
oleh kemampuan (capacity) seperti kurangnya pendidikan dan pengetahuan, kemiskinan,
kondisi sosial, dan kelompok rentan yang meliputi lansia, balita, ibu hamil dan cacat fisik
atau mental. Kapasitas (capacity) adalah suatu kombinasi semua kekuatan dan sumberdaya
yang tersedia di dalam sebuah komunitas, masyarakat atau lembaga yang dapat mengurangi
tingkat risiko atau dampak suatu bencana
Bencana (disaster) adalah suatu gangguan serius terhadap keberfungsian suatu komunitas
atau masyarakat yang mengakibatkan kerugian manusia, materi, ekonomi, atau lingkungan
yang meluas yang melampaui kemampuan komunitas atau masyarakat yang terkena dampak
untuk mengatasi dengan menggunakan sumberdaya mereka sendiri
Besarnya resiko dapat dikurangi oleh adanya kemampuan (capacity) adalah kondisi
masyarakat yang memiliki kekuatan dan kemampuan dalam mengkaji dan menilai ancaman
serta bagaimana masyarakat dapat mengelola lingkungan dan sumberdaya yang ada, dimana
dalam kondisi ini masyarakat sebagai penerima manfaat dan penerima risiko bencana
menjadi bagian penting dan sebagai aktor kunci dalam pengelolaan lingkungan untuk
mengurangi risiko bencana dan ini menjadi suatu kajian dalam melakukan manajemen
bencana berbasis masyarakat (Comunity Base Disaster Risk Management).
Kemampuan penyesuaian (coping capabilities) adalah cara orang-orang atau lembaga-
lembaga baik lokal maupun luar untuk menggunakan sumberdaya dan kemampuan yang ada
untuk menghadapi akibat-akibat yang merugikan yang dapat mengarah kepada suatu bencana
(Petrasawacana, 2011).
B. Fakta di Lapangan
Pada masyarakat yang berada di kawasan rawan bencana gerakan tanah dan banjir
sejatinya sudah dapat memahami bagaimana menyikapi saat terjadinya bencana tidak
seluruhnya atas intervensi pemerintah dalam hal ini BPBD kabupaten, maka responsivitas
yang dibangun di dalam masyarakat adalah secara kolektif dan imitatif atas kejadian-kejadian
yang telah terjadi sebelumnya. Lesson diambil kebanyakan atas kejadian yang dihadapi dan
dilihat secara langsung oleh masyarakat diperkuat dengan adanya sistem nilai sosial yang
masih kuat lazimnya pada masyarakat pedesaan membuat daya tanggap saat pasca bencana
dapat terbangun secara solid, serta lesson yang diambil pada saat pasca bencana lainnya
adalah bagaimana adanya antisipasi yang dilakukan pada saat melakukan pengendalian serta
pengelolaan pemanfaatan hasil alam.

5. Kapasitas
A. Konsep
Kapasitas adalah kemampuan penguasaan sumberdaya, cara dan kekuatan yang dimiliki
oleh masyarakat dalam upaya pertahanan dan persiapan diri dalam mencegah, menanggulangi
dan memulihkan diri dari akibat bencana dengan cepat (Adiyoso, 2018; Bakornas 2017)
dalam (Hamida, 2019).
Menurut Khambali (2017) dalam (Hamida, 2019), kemampuan dalam lingkup mitigasi
bencana adalah tindakan mencegah, mengurangi dampak, kesiapsiagaan dan keterampilan
mempertahankan hidup dalam situasi bencana. Jenis-jenis kapasitas menurut Adiyoso (2018)
dalam (Hamida, 2019), antara lain:
1. Kapasitas fisik, yaitu kemampuan memperoleh barang atau benda apabila terjadi
bencana
2. Kapasitas sosial, yaitu adanya tenaga yang terorganisir
3. Kapasitas kelembagaan, yaitu kemampuan masyarakat dalam bentuk formal ataupun
nonformal dalam sistem yang terorganisir dalam pengambilan keputusan pada
sebuah pencegahan, tindakan dan perbaikan saat terjadi bencana
4. Kapasitas ekonomi, yaitu kemampuan masyarakat dalam menggunakan dan
memanfaatkan sumber daya ekonomi
B. Fakta di Lapangan
a. Kapasitas Kelembagaan
1. Peningkatan sarana dan prasarana;
2. Konservasi lahan secara nasional;
3. Pengembangan sistem, strategi, dan sumber daya;
4. Peningkatan kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap upaya-upaya
manajemen bencana;
5. Peningkatan pengetahuan dan kemampuan para petugas;
6. Pelatihan dan simulasi manajemen bencana;
7. Penyiapan kader-kader/relawan siaga bencana;
8. Pengenbangan sistem peringatan dini;
9. Evaluasi kebijakan dan strategi.

b. Kapasitas Sumberdaya
1. Dalam hal bencana tingkat kabupaten, Kepala BPBD
Kabupaten yang terkena bencana, mengerahkan
sumberdaya manusia, peralatan dan logistik sesuai kebutuhan.
ke lokasi bencana.
2. Apabila kebutuhan tersebut tidak tersedia/tidak memadai, maka
pemerintah kabupaten Sumedang dapat meminta
bantuan kepada pemerintah kabupaten/kota terdekat baik dalam
satu wilayah provinsi maupun provinsi lain.
3. Apabila pemerintah kabupaten/kota yang dimintai bantuan tidak
memiliki ketersediaan sumberdaya/tidak memadai, maka
pemerintah kabupaten Sumedang dapat
meminta bantuan kepada pemerintah provinsi Jawa Barat.
4. Biaya yang timbul akibat pengerahan bantuan ini ditanggung
oleh pemerintah kabupaten Sumedang.
5. Pelaksanaan pengerahan sumber daya dari asal sampai dengan
lokasi bencana dilaksanakan dibawah kendali Kepala BPBD
Kabupaten Sumedang.
6. Apabila terdapat keterbatasan sumberdaya manusia, peralatan
dan logistik yang dikerahkan oleh Kepala BPBD Kabupaten/Kota terdekat
dengan Kabupaten Sumedang,
maka BNPB dapat membantu melalui pola pendampingan.
7. Pola pendampingan oleh BNPB dapat berupa dukungan biaya
pengepakan, biaya pengiriman, jasa tenaga pengangkutan dan
dukungan peralatan tanggap darurat bencana.

c. Kapasitas IPTEK dan Pendidikan


1. Mengkaji seluruh aspek manajemen bencana untuk dijadikan bahan acuan
penyempurnaan konsep di masa mendatang;
2. Melaksanakan penelitian dan pengembangan untuk penyempurnaan manajemen
bencana.
3. Melaksanakan koordinasi dan kerja sama dengan dinas teknis dan instasi terkait
lainnya untuk mengembangkan program-program pencegahan bencana dan
peringatan dini;
4. Melakukan mitigasi dan pemetaan (mapping) daerah rawan bencana di seluruh
wilayah kabupaten sumedang ;
5. Menyiapkan perangkat lunak dan produk-produk hukum yang diperlukan untuk
manajemen bencana;
6. Menyiapkan buku-buku petunjuk tentang manajemen bencana, serta
mensosialisasikannya kepada lembaga pemerintah, swasta, dan masyarakat;
7. Melakukan kerja sama dengan lembaga lain, baik nasional maupun
internasional.
8. Mengembangkan metode manajemen bencana, terutama ”sistem peringatan
dini” (early warning system);
9. Merencanakan program dan kegiatan manajemen bencana berikut rencana
pengurangan resiko , contingency plan dan kebutuhan anggaran;
10. Membangun kesiapsiagaan berbasiskan masyarakat dalam menghadapi bencana
dan kedaruratan melalui pelatihan dan simulasi;
11. Melaksanakan pengkajian (lessons learned) mekanisme manajemen yang efektif
dan efisien;

d. Kapasitas Manajerial
1. Melaksanakan koordinasi dan kerja sama dengan dinas teknis dan instasi
terkait lainnya untuk mengembangkan program-program pencegahan bencana
dan peringatan dini;
2. Melakukan mitigasi dan pemetaan (mapping) daerah rawan bencana di seluruh
wilayah kabupaten sumedang ;
3. Menyiapkan perangkat lunak dan produk-produk hukum yang diperlukan
untuk manajemen bencana;
4. Menyiapkan buku-buku petunjuk tentang manajemen bencana, serta
mensosialisasikannya kepada lembaga pemerintah, swasta, dan masyarakat;
5. Melakukan kerja sama dengan lembaga lain, baik nasional maupun
internasional.
6. Mengembangkan metode manajemen bencana, terutama ”sistem peringatan
dini” (early warning system);
7. Merencanakan program dan kegiatan manajemen bencana berikut rencana
pengurangan resiko , contingency plan dan kebutuhan anggaran;
8. Membangun kesiapsiagaan berbasiskan masyarakat dalam menghadapi
bencana dan kedaruratan melalui pelatihan dan simulasi;
9. Melaksanakan pengkajian (lessons learned) mekanisme manajemen yang
efektif dan efisien;
10. Melaksanakan supervisi ke daerah untuk kesiapsiagaan;
11. Membangun jejaring dan kerjasama tingkat lokal, regional, nasional dan
internasional;
12. Melaksanakan monitoring dan evaluasi program dan kegiatan;
13. Melaksanakan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
terutama mengenai sistem peringatan dini, kesiapsiagaan, dan pengembangan
sistem komunikasi;
14. Mengkaji faktor sosial budaya masyarakat yang dapat mempengaruhi
efektivitas manajemen bencana;
15. Melaksanakan penyuluhan dan sosialisasi kepada masyarakat mengenai
program manajemen bencana;
16. Mengendalikan penggunaan dana dari apbd/apbn untuk mendukung seluruh
kegiatan manajemen bencana.

REFERENSI

BPS. (2020). Sumedang: BPS Kabupaten Sumedang.

BPS. (2018). Kecamatan Sumedang Utara Dalam Angka Tahun 2019. Sumedang: bps.go.id.

Hamida, F. N. (2019). RISIKO KAWASAN LONGSOR DALAM UPAYA MITIGASI.


Jurnal PONDASI , 67-89.

Laporan Akhir Identifikasi dan Analisis Lokasi Rawan Bencana Provinsi Jawa Barat
Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Daerah Kabupaten Sumedang Tahun
2017
Patonah, A. (2016). INVESTIGASI SERTA EDUKASI POTENSI KERENTANAN
LONGSOR KECAMATAN. Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat , 167-170.

Petrasawacana. (2011). Bencana dan Risiko Bencana.

Peraturan Daerah Kabupaten Sumedang No. 3 Tahun 2017 Tentang Penyelenggaran


Penanggulangan Bencana
Peraturan Kepala BNPB No 2 Tahun 2012 Tentang Pedoman Kajian Resiko Bencana
RPJMD. (2018). RPJMD Kabupaten Sumedang Tahun 2018-2023. Sumedang: BAPPEDA.

Anda mungkin juga menyukai