“Pemahaman Tentang Manusia Dan Ciptaan Lainnya Dalam Agama Suku”
Manusia modern memandang alam sekelilingnya sebagai obyek, sebagai obyek perasaannya, pikirannya dan tindakannya. Dirinya sendiri dijadikan subyek, pokok. Kita tahu juga, bahwa di dunia ini ada kekuatan-kekuatan yang tak dapat kita kuasai, tetapi kita menempatkan diri di atas kekuatan- kekuatan itu juga dan membuatnya sebanyak mungkin menjadi bahan yang dapat kita pergunakan, meskipun hanya sebagai obyek pemikiran kita saja. Kita tak dapat menguasai letusan gunung berapi, tetapi kita dapat mempelajarinya, menerangkannya, meramalkannya berdasarkan petunjuk-petunjuk ilmiah dan kita dapat mengambil tindakan-tindakan seperlunya untuk memperkecil kerugian-kerugian yang ditimbulkan olehnya. Demikian juga lebih luas lagi tumbuh tumbuhan dan binatang menjadi obyek bagi kekuasaan manusia. Hanya manusia sendirilah, atau setidak-tidaknya pribadi kita sendiri, kita bedakan dengan jelas sekali sebagai sesuatu yang lain sekali, sebagai sesuatu yang berdiri sendiri. Manusia primitif sebaliknya melihat dunia bukan sebagai objek, sebagai bahan untuk perbuatannya, melainkan ia memandang dirinya sendiri sebagai salah satu dari subjek-subjek yang banyak jumlahnya itu, dari mana dunia itu terdiri. Menurut keinsyafannya ia hidup di antara makhluk- makhluk, bukan nya di antara benda-benda. Perbedaan teoretis antara manusia primitif menjadi jelas sekali, jika perbedaan itu kita tunjukkan dengan beberapa contoh. Pandai besi Batak memberi sajian berupa makanan kepada bengkelnya, palu, besi landasan dan puputan. Orang Jawa menyajikan bunga kepada balok jembatan, perahu dan keris. Benda-benda itu semua oleh manusia primitif dianggap mempunyai daya kekuatan; oleh karena itu ia menganggap sudah sepantasnya untuk menghadapinya dengan rasa takut, hikmat dan rasa berterimakasih. Jadi benda-benda yang oleh manusia modern disebut "barang" dan yang dapat digunakannya itu, bagi manusia primitif adalah sungguh-sungguh makhluk, yang seperti dia juga. Tak sukar menunjukkan, bahwa manusia modernpun masih cenderung kepada sikap seperti itu terhadap benda-benda. Ingatlah misalnya kepada seorang pengendara mobil, yang sehabis suatu perjalanan, karena selama perjalanan itu kendaraannya menunjukkan kesanggupan yang besar, menepuk-nepuk motornya dengan tangan sambil berkata: Baik, baik sekali pekerjaanmu". Jadi seolah-olah manusia primitif membuat barang-barang tak berjiwa menjadi sesuatu yang berpribadi. Tetapi sebaliknya patut diperhatikan, bahwa sebagaimana ia menganggap misalnya sebilah keris sebagai manusia, demikian pula sebaliknya ia memandang manusia sebagai barang atau alat. Maka umpamanya manusia diperlakukannya sebagai benda dengan menggunakan mantera. Jadi baginya jarak antara subyek dan obyek tak jauh. Sangat kurang jelas dibeda-bedakannya manusia yang berkesadaran dengan dunia dan benda benda sekelilingnya yang tak berkesadaran.