Anda di halaman 1dari 19

Good Manufacturing Practices

adalah salah satu pengaplikasian kegiatan


pengendalian mutu agar menghasilkan produk
yang berkualitas dengan melakukan
pengendalian yang baik dan teratur
(Hermansyah dkk. 2013). Good
Manufacturing Practices merupakan salah
satu persyaratan dasar yang harus dipenuhi
pada suatu industri jika ingin menghasilkan
produk pangan yang berkualitas dan aman Gambar 1. Ilustrasi GMP
secara konsisten. Persyaratan dalam Good (Sumber : tricorbraunflex.com,
2018).
Manufacturing
Practices (GMP) mencangkup persyaratan produksi, persyaratan bangunan, lokasi,
dan fasilitas serta peralatan produksi dan karyawan. Aspek-aspek yang dinilai
dalam penerapapan Good Manufacturing Practices (GMP) diantaranya adalah
lokasi pabrik, bangunan, peralatan pengolahan, bahan yang digunakan dalam
proses produksi, pengendalian proses pengolahan, personal hygiene, fasilitas
sanitasi, label, keterangan produk, penyimpanan, produk akhir, pemeliharaan
sarana pengolahan dan kegiatan sanitasi, laboratorium, transportasi, dan kemasan.
Sesuai peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik
Indonesia Nomor 11 tahun 2004, hasil penilaian yang telah memenuhi persyaratan
akan mendapatkan sertifikat dengan masa aktif 3 tahun sepanjang sarana produksi
yang bersangkutan masih beroperasi dan memenuhi persyaratan sesuai ketentuan
peraturan perundang – undangan (Bimantara dan Triastuti, 2018). Good
Manufacturing Practices (GMP) erat kaitannya dengan keamanan pangan.
Keamanan pangan sendiri diartikan sebagai salah satu hal yang harus
diperhatikan demi memenuhi hak kepentingan fisik konsumen yang berkaitan
dengan kesehatan dan keselamatan jiwa yang jika apabila tidak terpenuhi maka
akan terjadi gejolak sosial di kalangan masyarakat. Pentingnya keamanan
pangan secara filosofis juga diatur dalam Undang – Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945 dalam pasal 28C ayat 1 yang menyatakan
bahwa “setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan
dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu
pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya
dan demi
kesejahteraan umat manusia”. Frasa “kebutuhan dasar” dapat diartikan sebagai
kebutuhan pangan yang mutlak yang diperlukan untuk mempertahankan hidup dan
kehidupan masyarakat (Zazili, 2019). Keamanan pangan sendiri dapat dinilai dari
beberapa aspek, diantaranya adalah teknologi pengolahan, kandungan bahan,
sanitasi pengolahan, jumlah kandungan mikroorganisme, pengemasan dan lain –
lain. Keamanan pangan akan terjamin apabila adanya standarisasi yang ditentukan
dan diterapkan dengan baik oleh industri di bidang pangan. Oleh karena itu, Good
Manufacturing Practices (GMP) dapat menjamin terciptanya keamanan pangan
dikarenakan adanya standarisasi dan penilaian secara berkala sehingga produk
pangan yang dihasilkan oleh setiap industri pangan terjamin kualitasnya dan aman
dikonsumsi oleh konsumen/masyarakat.

Ruang Lingkup GMP


1. Lingkungan dan Lokasi
Lingkungan dan lokasi pembuatan produk merupakan salah satu aspek yang
mempengaruhi mutu dan kualitas produk yang dihasilkan, sehingga diperlukan
perencanaan tempat produksi yang tepat. Lokasi yang ideal yaitu:
a. Terbebas dari banjir,
b. Tidak berdebu dan polusi asap,
c. Terbebas dari serangga di area produksi, dan
d. Memiliki sistem saluran pembuangan yang baik (Ristyanadi dan
Darimiyya, 2012).
2. Bangunan dan Fasilitas Unit Usaha
Bangunan adalah ruangan yang dibangun berdasarkan perencanaan yang
memenuhi persyaratan teknik dan higienis, yang digunakan untuk melakukan
produksi, mulai dari penerimaan bahan baku, proses pengolahan sampai produk
jadi (Ristyanadi dan Darimiyya, 2012). Bangunan pada sebuah tempat produksi
harus:
a. Memiliki desain dan konstruksi sesuai dengan alur produksi.
b. Memperhatikan tata letak mesin dan bahan.
c. Lantai serta dinding yang kedap air, kuat dan mudah dibersihkan.
d. Atap memiliki struktur rangka yang baik (bebas karat, jaring laba-laba, dan
mudah dibersihkan), tidak bocor/berlubang dan memiliki tinggi minimal 3
meter.
e. Alat/mesin yang mudah dibersihkan dan dibongkar pasang (Rini dkk., 2015).
Dalam sebuah fasilitas unit usaha juga harus memiliki kelengkapan yang
memadai, yaitu:
a. Memiliki penerangan yang cukup.
b. Ventilasi yang baik, sehingga sirkulasi udara dapat berjalan dengan baik.
c. Sarana pencucian tangan dan kaki, dilengkapi sabun dan pengering atau
disinfektan.
d. Gudang mudah dibersihkan, terjaga dari hama.
e. Suhu dan kelembaban ruang yang sesuai (Rini dkk., 2015).

3. Peralatan Pengolahan
Mesin dan peralatan yang digunakan dalam proses pengolahan harus terjamin
mutu dan keamanan produk yang dihasilkan. Persyaratan dalam penggunaan
mesin/alat yaitu harus sesuai dengan jenis produksi yaitu:
a. Tidak menimbulkan pencemaran terhadap produk,
b. Mudah dibersihkan,
c. Terbuat dari bahan yang tahan lama, dan
d. Mudah dibongkar pasang (Waluyo dan Bayu, 2017).
4. Fasilitas dan Kegiatan Sanitasi
Fasilitas dan kegiatan yang berhubungan dengan sanitasi dalam proses
produksi sangatlah penting dilakukan karena dapat berpengaruh pada kualitas dan
mutu produk yang akan dihasilkan. Fasilitas dan kegiatan sanitasi pada tempat
produksi meliputi:
a. Sarana penyediaan air bersih untuk produksi dan penggunaan langsung
dengan produk.
b. Pembuangan air dan limbah untuk menghindari adanya penampung pada
suatu tempat yang akan mengundang serangga.
c. Sarana pembersihan/pencucian untuk mendisinfeksi peralatan.
d. Sarana toilet harus selalu bersih dan tidak terbuka langsung ke area
produksi.
e. Sarana higiene karyawan yaitu fasilitas cuci tangan, ganti pakaian dan alas
kaki (Rini dkk., 2015).

5. Sistem Pengendalian Hama


Sistem Pengendalian Hama meliputi sistem dalam pengawasan terhadap
barang atau bahan yang masuk. Penerapan atau praktek higienis yang baik yaitu
seperti menutup lubang dan saluran yg memungkinkan masuknya hama, memasang
kawat kasa pada jendela dan ventilasi, mencegah hewan piaraan berkeliaran di
lokasi produksi, hygiene karyawan (Waluyo dan Bayu, 2017). Persyaratan dan
pemeriksaan rutin kesehatan karyawan yang harus diperhatikan yaitu:
a. Menjaga kebersihan badan
b. Menutup luka
c. Mengenakan pakaian kerja.
d. Selalu mencuci tangan dengan sabun sebelum bekerja.
e. Melatih kebiasaan karyawan (Rini dkk., 2015).

6. Hygiene Karyawan
Ruang lingkup hygiene karyawan merupakan salah satu aspek yang perlu
diperhatikan dalam penerapan Good Manufacturing Practices di suatu unit
usaha. Semua karyawan yang terlibat saat proses produksi dari awal masuk bahan
hingga menjadi produk memenuhi persyaratan sanitasi dan hygiene yang baik.
Beberapa persyaratan tersebut antara lain kebersihan individu, perilaku yang
baik, tidak menderita suatu penyakit, dan bukan
menjadi carrier dari suatu penyakit sehingga produk yang dihasilkan nantinya akan
memiliki mutu yang baik.

Gambar 2. Ilustrasi Penggunaan APD di Industri Pengolahan Makanan


(Sumber : mediaindonesia.com, 2018)

Menurut Rudiyanto (2016), menyebutkan bahwa karyawan yang bekerja di


bagian produksi pangan harus memenuhi persyaratan kesehatan dan harus dalam
keadaan yang sehat. Apabila karyawan tersebut sakit atau baru sembuh dari sakit,
dan diduga masih membawa penyakit, maka tidak dapat diperkenankan untuk
masuk ke ruang produksi. Jika karyawan menunjukkan gejala atau menderita
penyakit menular, misalnya sakit kuning (virus hepatitis A), diare, sakit perut,
muntah, demam, sakit tenggorokan, sakit kulit (kudis, gatal), keluarnya cairan dari
telinga (congek), sakit mata (belekan), dan atau pilek tidak diperkenankan masuk
ke dalam ruang produksi karena nanti dapat mempengaruhi mutu produk menjadi
tidak baik. Selain itu, disebutan pula menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor 8 Tahun 2010 tentang Alat Pelindung Diri (APD) karyawan
yang terlibat dalam proses pengolahan makanan hendaknya menggunakan APD
selain melindungi dari bahaya di tempat kerja penggunaan pelindung pada
karyawan dapat meningkatkan tingkat higienitas karyawan terhadap makanan

7. Pengendalian Proses
Dalam ruang lingkup pengendalian proses, setiap proses perusahaan yang
dilakukan mulai dari awal bahan masuk hingga produk didistribusikan
harus terkendali dengan baik. Setiap proses yang ada mulai dari pra produksi,
proses produksi, hingga pasca produksi harus mengikuti prosedur agar dapat
menghasilkan produk yang memiliki kualitas dan mutu yang baik. Menurut
Anggraini dan Ririh (2014), dalam pengendalian pra produksi dapat dilakukan
dengan cara menetapkan syarat syarat dari bahan baku yang digunakan,
menetapkan jenis dan komposisi yang digunakan, dan menetapkan bagaimana
cara dalam mengolah bahan baku. Sedangkan dalam pengendalian proses
produksi adalah dengan mengikuti prosedur SOP yang telah ditetapkan dan
mengawasi jalannya produksi agar dapat berjalan efektif dan efisien. Selain itu,
dalam pengendalian pasca produksi diantaranya memastikan produk talah
memenuhi syarat syarat meliputi jenis dan jumlah bahan baku dari yang utama
hingga bahan tambahan makanan yang digunakan, diagram alir proses produksi
yang harus dilakukan dari awal bahan hingga menjadi suatu produk,
persyaratan kemasanan yang digunakan, jenis produk yang dihasilkan, dan
keterangan - keterangan mengenai produk seperti nama produk, tanggal
kadaluarsa hingga,
komposisi produk serta cara penyimpanan produk tersebut.

8. Manajemen Pengawasan
Ruang lingkup manajemen pengawasan dalam suatu unit usaha perlu
dilakukan dengan baik. Adanya manajemen pengawasan yang tepat, akan
mencegah terjadinya penyimpangan-penyimpangan yang terjadi selama proses
produksi berlangsung. Manajemen pengawasan yang baik dapat menjaga mutu dan
keamanan produk agar sesuai dengan standar baku yang telah ditetapkan. Kegiatan
pengawasan ini perlu dilakukan dengan rutin dan berkala serta dapat
dikembangkan terus menerus agar proses produksi memiliki tingkat efektivitas dan
efisiensi yang lebih baik lagi. Menurut Bimantara dan Juni (2018), dalam
penerapan manajemen pengawasan dapat di lakukan dengan melakukan monitoring
pada mutu kualitas bahan baku pada tiap bagian produksi mulai dari penerimaan
bahan baku, proses pengolahan, hingga produk akhir siap didistribusikan. Selain
itu, manajemen pengawan pada saat proses produksi adalah dengan adanya quality
control (QC) di setiap bagian produksi.

9. Pencatatan dan Dokumentasi


Ruang lingkup pencatatan dan dokumentasi di suatu unit usaha perlu dipenuhi
karena bertujuan dalam memudahkan penelusuran masalah yang berkaitan dengan
proses produksi dan distribusi serta dapat meningkatkan sistem pengawasan
pangan di unit usaha tersebut. Pencatatan dan dokumentasi ini harus terlaporkan
dengan baik dan dibukukan dengan rapi agar dapat memudahkan dalam
penelusuran hal terkait. Bentuk pencatatan dan dokumentasi yang dilakukan seperti
catatan yang berisi tentang proses pengolahan, tanggal produksi dan kadaluarsa,
distribusi dan penarikan produk karena kadaluarsa. Pelaksanaan pencatatan dan
dokumentasi yang baik nantinya dapat meningkatkan jaminan mutu dan keamanan
produk yang akan dihasilkan (Anggraini dan Ririh, 2014).

Tujuan & Manfaat GMP


Guna menghasilkan produk yang aman dan layak untuk dikonsumsi,
pemerintah telah mensyaratkan produsen makanan untuk menerapkan Good
Manufacturing Practices. Hal tersebut diterapkan untuk mendorong seluruh
pelaku usaha agar produk makanan yang akan dijual memiliki standar mutu yang
sama dan sesuai untuk semua jenis makanan. Berdasarkan pemaparan tersebut
maka tujuan dan manfaat penerapan GMP bagi konsumen dan produsen sebagai
berikut:
Tujuan dan manfaat bagi konsumen;
1. Keselamatan konsumen.
2. Meningkatkan wawasan dan pengetahuan mengenai produk. Misalkan
komposisi makanan, tanggal produksi, tanggal kadaluarsa, dan info lainnya.
Tujuan dan manfaatnya bagi produsen yaitu:
1. Melindungi pangsa pasar. GMP membantu perusahaan untuk meninggalkan
kesan baik bagi konsumen.
2. Membangun dan memelihara kepercayaan pelanggan.
3. Mengurangi biaya beban operasional. IRT dapat meminimalisir biaya- biaya
yang tidak ada dalam GMP.
4. Menjadi pendukung penerapan GMP yang baik. Menjadi contoh bagi
pengusaha lain untuk menerapkan GMP dalam proses produksinya

Prinsip Dasar GMP


1. Desain fasilitas yang tepat dari awal
Setiap pelaku usaha baik makanan atau lainnya bertujuan untuk menjalankan
bisnis dapat menyesuaikan dengan prinsip Good Manufacturing Practice atau
GMP. Akan jauh lebih mudah untuk menyesuaikan pembangunan dan pada saat
menjalankan produksi. GMP berfungsi untuk mendorong setiap keputusan yang
dibuat dan penting dalam mewujudkan prinsip-prinsip GMP tersebut.

2. Proses Validasi
Proses validasi bertujuan untuk membuktikan dan suatu proses yang secara
konsisten melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan, pengujian dan
dokumentasi yang diperlukan. Kinerja yang konsisten adalah kunci untuk menjaga
keamanan dan efektivitas dari setiap produk dan meningkatkan reputasi perusahaan
untuk kualitas dan kehandalan.

3. Mengimplementasikan prosedur GMP


Prosedur GMP merupakan acuan dalam membangun produksi makanan
ataupun lainnya. Sehingga proses produksi dan kinerja karyawan akan terkontrol
dan konsisten bertujuan untuk hasil yang optimal.

4. Mengidentifikasi siapa melakukan apa


Semua karyawan harus dengan jelas memahami apa yang harus mereka
lakukan setiap hari. Ini menghindari kesalahpahaman dan meminimalkan risiko
terhadap kualitas produk. Anda harus membuat pekerjaan keterangan untuk setiap
peran untuk mendefinisikan: job title, tujuan pekerjaan, tugas dan tanggung jawab,
ketrampilan persyaratan. Seharusnya tidak ada kesenjangan atau tumpang tindih
dalam tanggung jawab, sehingga terciptalah bagan organisasi untuk mengetahui
job title dan job deskripsinya masing - masing.

5. Menyimpan catatan yang baik


Catatan yang baik memungkinkan Anda untuk bisa menelusuri semua
kegiatan yang dilakukan selama penerimaan bahan baku, untuk rilis produk akhir.
Ini adalah bagian penting dari GMP untuk menyimpan catatan yang akurat, dan
selama audit, itu membantu menyampaikan bahwa Anda
mengikuti prosedur. Hal ini juga menunjukkan bahwa proses yang dilakukan
dikendalikan dan dikontrol.

6. Pelatihan dan Pemahaman GMP


Good Manufacturing Practice (GMP) merupakan standar teknik produksi
yang benar di mana produk yang dihasilkan dapat memenuhi persyaratan mutu dan
keamanan. Mutu dan keamanan pangan ini merupakan kewajiban bagi seluruh
pelaku usaha yang diatur dalam Peraturan Menteri Perindustrian RI No. 75/M-
IND/PER/7/2010 tentang Pedoman Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik.
Untuk dapat mengikuti aturan GMP, maka diperlukan partisipasi dari berbagai
pihak khususnya karyawan. GMP dapat dicapai apabila karyawan memiliki
kebiasaan yang higienis, dilengkapi alat – alat produksi yang tepat, dan mengetahui
budaya GMP melalui penyuluhan dan pelatihan.

7. Higienitas yang baik


Higienis merupakan salah satu prinsip penting pada GMP yang biasa
berkesinambungan dengan sanitasi. Sanitasi dan hygiene bertujuan untuk
mencapai kebersihan optimal pada tempat produksi, persiapan penyimpanan,
penyajian makanan, dan air sanitasi. Program sanitasi dijalankan untuk
menghilangkan kontaminan dari makanan dan mesin pengolahan serta mencegah
terjadinya kontaminasi silang, bukan semata – mata untuk mengatasi lingkungan
dan kotornya pemrosesan bahan. Pelaku usaha juga perlu untuk menerapkan
personal hygene kepada karyawan untuk menjaga dan mempertinggi derajat
kesehatan individu dari ujung rambut sampai ujung kaki. Kebersihan individu
dapat dimulai dari menjaga kebersihan rambut dan kulit kepala, kebersihan mata,
telinga, dan hidung, kebersihan gigi dan mulut, kebersihan badan, kebersihan kuku,
tangan, dan kaki, dan kebersihan pakaian.

8. Memelihara fasilitas dan peralatan


Pemeliharaan fasilitas dan peralatan secara teratur dan sesuai jadwal akan
mengurangi terjadinya kerusakan alat produksi. Hal ini juga dapat meminimalkan
risiko kontaminasi pada produk, seperti adanya karatan pada mesin. Pelaku usaha
hendaknya memiliki prosedur tertulis untuk semua jadwal dan pemeliharaan
darurat. Detail prosedur dapat meliputi seluruh langkah dalam menyalakan,
menggunakan, dan mematikan mesin, menentukan jadwal pelumasan,
pemelihaaran pendingin, pembersihan alat,
dan lain – lain. Frekuensi pemeliharaan menurut kekritisan peralatan menjadi salah
satu syarat GMP.

9. Menjaga Kualitas
Setiap langkah dalam siklus hidup produk membutuhkan kontrol yang efektif.
Kualitas produk dapat dilihat dari berbagai aspek seperti kemasan, kebersihan
pangan, kualitas rasa dan bahan baku, aspek gizi, kesesuaian dengan harga.
Kualitas produk pangan dijaga dengan menjaga kebersihan, memperhatikan stok
makanan, menyimpan makanan sesuai standar, pengaturan suhu penyimpan
makanan.

10. Audit Rutin


Audit dalam arti luas merupakan evaluasi terhadap suatu organisasi, sistem,
proses, atau produk. Audit dilaksanakan oleh seseorang yang disebut sebagai
auditor. Tujuan diadakannya audit adalah untuk melakukan verifikasi bahwa
subjek dari audit telah beroperasi sesuai dengan standar yang disetujui atau
diterima. Audit dalam GMP dilakukan untuk menilai apakah standar yang
ditetapkan masih berjalan atau tidak. Badan Sertifikasi Eksternal seperti Food and
Drug Administration (FDA) atau Terapi Barang Asosiasi (TGA) yang akan
melakukan audit ini. Selain audit eksternal, pelaku usaha juga harus melakukan
audit internal untuk memastikan kepatuhan terhadap aturan GMP.
Standar GMP
1. CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik)
CPOB adalah bagian dari pemastian mutu yang memastikan bahwa obat
dibuat dan dikendalikan secara konsisten untuk mencapai standar mutu yang sesuai
dengan tujuan pengguanaan dan dipersyaratkan dalam izin edar dan spesifikasi
produk Persyaratan dasar dari CPOB adalah semua proses pembuatan obat
dijabarkan dengan jelas dan sistematis dan terbukti mampu secara konsisten
menghasilkan obat yang memenuhi persyaratan mutu dan spesifikasi yang telah
ditetapkan. Tahap proses yang kritis dalam pembuatan, pengawasan proses dan
sarana penunjang serta perubahannya yang signifikan di validasi. Tersedia semua
sarana yang di perlukan dalam CPOB (Inggriani dan Patrihul, 2018).

2. CPPOB (Cara Pembuatan Pangan Olahan yang Baik)


Cara Pembuatan Pangan Olahan yang Baik (CPPOB) adalah suatu pedoman
cara berproduksi makanan yang bertujuan agar produsen memenuhi persyaratan–
persyaratan yang telah ditentukan untuk menghasilkan produk makanan bermutu
dan sesuai dengan tuntutan konsumen. Dengan menerapkan CPPOB diharapkan
produsen pangan dapat menghasilkan produk makanan yang bermutu, aman
dikonsumsi dan sesuai dengan tuntutan konsumen, bukan hanya konsumen lokal
tetapi juga konsumen global (Damarasri dkk., 2017).

3. CPKB (Cara Pembuatan Kosmetik yang Baik)


Cara Pembuatan Kosmetik yang Baik (CPKB) merupakan salah satu standar
GMP untuk dapat menghasilkan produk kosmetik yang memenuhi standar mutu
dan keamanan. Penerapan CPKB merupakan persyaratan kelayakan dasar untuk
menerapkan sistem jaminan mutu dan keamanan yang diakui dunia internasional.
Beberapa aspek dari CPKB yaitu system management mutu, personalia, bangunan,
peralatan, sanitasi & hygiene, produksi, pengawasan mutu, dokumentasi, audit
internal, penyimpanan, kontrak produksi dan pengujian, penanganan keseluruhan,
dan penarikan produk (Rahmawanty dan Sari, 2019).

4. CPOTB (Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik)


Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB) adalah seluruh aspek
kegiatan pembuatan obat tradisional yang bertujuan untuk menjamin agar produk
yang dihasilkan senantiasa memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan sesuai
dengan tujuan penggunaannya. Terdapat beberapa aspek dasar dari CPOTB yang
meliputi proses pembuatan, tahap proses yang kritis dalam pembuatan tervalidasi,
tersedianya semua sarana yang diperlukan (personil, bangunan, peralatan, bahan,
prosedur, tempat penyimpanan), instruksi dan prosedur ditulis secara mendetail dan
jelas, operator dapat menjalankan prosedur secara benar, adanya pencatatan, dan
penyimpanan yang sesuai. Aspek yang menyangkut pasca pembelian obat meliputi
tersedianya penarikan kembali obat tradisional mana pun dari peredaran dan
pengkajian keluhan pelanggan (Sutrisna, 2016).

Penerapan GMP
Menurut Hanidah dkk. (2018), GMP (Good Manufacturing Practices)
merupakan salah satu metode mitigasi risiko dalam proses produksi pangan
berisiko tinggi. GMP dapat diterapkan diberbagai produk pangan, salah satunya
produk pangan berbasis ikan. Produk pangan berbasis ikan banyak ditemui di
daerah pesisir, salah satunya di Desa Eretan Kulon, Kabupaten Indramayu, Jawa
Barat. Salah satu olahan ikan di Desa Eretan Kulon adalah sistik ebi. Sistik ebi
merupakan salah satu IRT (Industri Rumah Tangga) yang menggunakan bahan
baku utama ebi kering dan tepung terigu. Sistik ebi memiliki kelemahan
diantaranya umur simpan yang relatif singkat karena terjadinya perubahan kualitas
selama penyimpanan yang diakibatkan oleh metode pengolahan dan pengemasan
yang kurang baik. Alat pengolahan yang konvensional menyebabkan produktivitas
produk rendah sedangkan biaya operasional tinggi. Hal inilah yang menyebabkan
keuntungan yang diperoleh kecil karena tingginya biaya operasional selama
produksi dan pemasaran. Untuk mengatasi hal ini, dapat dilakukan peningkatan
kapasitas produksi sesuai kebutuhan disertai perbaikan proses produksi dengan
penerapan GMP sehingga dihasilkan produk dengan umur simpan lebih panjang
dan aman dikonsumsi. Melalui teknologi pengolahan yang tepat dan penerapan
GMP selama proses pengolahan, maka sumber daya perikanan hasil nelayan pesisir
dapat diolah menjadi produk unggulan yang beragam dengan mempertahankan
komponen gizi ikan sehingga dapat
memperpanjang umur simpan produk dan meningkatkan perekonomian keluarga
nelayan.
Kualitas menjadi value yang penting dalam mempertahankan kepercayaan
konsumen terhadap brand produk yang dijual. Oleh sebab itu, penerapan GMP
dalam suatu industri sangat penting diterapkan untuk menghasilkan produk yang
bermutu dan aman dikonsumsi. Sebelum melakukan pendampingan penerapan
GMP, observasi awal dilakukan dengan mewawancarai pemilik IRT Sistik Ebi dan
survei langsung ke tempat produksi untuk melengkapi pengisian formulir penilaian
GMP dengan format Cara Produksi Pangan yang Baik (CPPB) untuk IRT. Hasil
wawancara merupakan data primer yang selanjutnya akan dianalisa untuk
menentukan tahap pendampingan penerapan GMP. Hasil observasi awal
menunjukkan bahwa terdapat ketidaksesuaian penyimpangan terhadap persyaratan
CPPB-IRT dengan jumlah ketidaksesuaian mayor (MA) 5 elemen dan minor (MI)
21 elemen dari total keseluruhan 37 elemen pemeriksaan. Ketidaksesuaian mayor
terdapat pada elemen lokasi, bangunan, dan sanitasi pekerja. Sedangkan
ketidaksesuaian minor terdapat pada elemen peralatan produksi, sanitasi peralatan
dan ruangan produksi, penyimpanan, pengendalian proses, pelabelan, serta
dokumentasi dokumen. Ketidaksesuaian dari elemen pemeriksaan CPPB-IRT yang
mencapai 70,27% akan menyebabkan produk Sistik Ebi sulit untuk mendapatkan
legalitas usaha PIRT. Pendampingan dengan penerapan GMP merupakan salah
satu solusi untuk memperbaiki semua proses mulai dari penerimaan bahan baku
hingga proses akhir yakni pendistribusian sehingga dapat dihasilkan produk yang
bermutu dan aman dikonsumsi
Pendampingan dimulai dari perbaikan layout ruang produksi mulai dari
penyimpanan bahan baku sampai pengemasan produk dengan memanfaatkan lahan
produksi yang ada serta melengkapi fasilitas produksi. Menurut BPOM Republik
Indonesia, desain bangunan dan fasilitas ruang produksi harus dibuat sedemikian
rupa untuk memperkecil terjadinya risiko kekeliruan, kontaminasi silang,
memudahkan pembersihan ruang produksi dan perawatan sehingga dapat
menghindari penumpukan debu atau kotoran dan dampak lain yang dapat
menurunkan mutu produk. Ruang produksi bukan berarti harus luas dengan
peralatan modern, tetapi bagaimana kita memanfaatkan ruang produksi yang ada
dengan menerapkan GMP mulai dari tata letak setiap bagian sampai dengan SOP.
Gambar 3. Layout Ruang Produksi
(Sumber : Pertiwi, 2015)

Tahap selanjutnya adalah pendampingan perbaikan fasilitas produksi yang


meliputi sarana produksi, peralatan produksi, penyediaan air, pembuangan limbah,
penyuluhan sanitasi pekerja dan peralatan produksi, pengendalian proses, serta
jenis kemasan produk. Pendampingan dilakukan secara berkala selama 4 bulan,
kemudian dilakukan analisa penilaian CPPB-IRT setiap tahap. Tahap pertama
dilakukan wawancara dan observasi lapangan; tahap kedua pendampingan fasilitas
sarana dan prasarana produksi; tahap ketiga pendampingan penyuluhan dan
pelatihan sanitasi pekerja, peralatan dan ruang pengolahan; tahap keempat
pendampingan pengendalian proses, jenis kemasa, desain kemasan dan pelabelan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendampingan secara berkala
melalui pendekatan persuasif mampu memperbaiki sistem proses produksi dan
perilaku hidup sehat pemiliki IRT. Penilaian akhir CPPB-IRT pada bulan ke-4
ditemukan ketidaksesuaian MI 1 elemen atau sebesar 2,70% dari keseluruhan
elemen pemeriksaan. Pendampingan dengan penerapan GMP terbukti mampu
mereduksi ketidaksesuaian dari elemen pemeriksaan CPPB-IRT sebesaar 296,16%.
Gambar 4. Hasil Penilaian CPPB-IRT Masa Pendampingan GMP
(Sumber : Pertiwi, 2015)

Sistik Ebi merupakan produk berbahan baku ikan (rebon) melalui proses
diversifikasi pangan dan penggorengan. Berdasarkan hasil pengujian laboratorium,
Sistik Ebi produk IRT memiliki komposisi gizi: kadar air 2,99%, kadar abu 2,05%,
kadar lemak 32,86%, AKG protein 16,25% dan AKB karbohidrat 17,45%.
Kandungan protein dan lemak yang cukup tinggi maka harus dipilih jenis kemasan
yang mampu melindungi produk dari kontak udara dan sinar matahari agar produk
Sistik Ebi tidak mudah teroksidasi yang akan menyebabkan mudah tengik dan
tekstur cepat melempem sehingga umur simpan menjadi lebih pendek. Sebelum
proses pendampingan GMP, Sistik Ebi dikemas dengan menggunakan plastik PP
(Polyprophylene) dengan umur simpan tidak lebih dari 1 minggu. Keunggulan
dari penggunaan plastik PP yaitu mudah ditemukan di pasaran, tahan asam, basa,
lemak, minyak dan pelarut organik serta harganya murah. Kekurangan dari plastik
PP yaitu masih memiliki permeabilitas yang cukup tinggi terhadap gas-gas organik
sehingga produk yang dikemas dapat teroksidasi apabila disimpan dalam jangka
waktu yang terlalu lama. Menurut Pertiwi (2015), kemasan alumunium foil
memiliki permeabilitas yang cukup rendah terhadap gas-gas organik sehingga
bersifat barriers terhadap oksigen, air, udara, kelembapan dan tahan panas.
Kemasan jenis ini sangat cocok digunakan untuk Sistik Ebi yang memiliki
kandungan lemak dan protein tinggi, sehingga selama proses penyimpanan dapat
mencegah produk menjadi tengik dan melindungi isi kemasan dengan baik.
Gambar 5. Kemasan sebelum pendampingan GMP (kiri) dan kemasan
setelah pendampingan GMP (kanan)
(Sumber : Pertiwi, 2015)

Penutup
GMP merupakan salah satu aspek penting dalam standar keamanan pangan.
Dengan adanya sertifikasi GMP, maka kualitas produk pangan akan terjamin dan
dipercaya oleh khalayak luas. Modul pelatihan GMP ini diharapkan dapat
membantu berbagai pihak dalam memahami dan menambah wawasan mengenai
GMP (Good Manufacturing Practices) atau CPPB (Cara Produksi Pangan yang
Baik), khususnya mitra kami Kelompok Wanita Tani (KWT) “Sri Tanjung” di
Desa Sukosari, Kecamatan Kasembon, Kabupaten Malang. Tim penulis juga ingin
mengucapkan terimakasih kepada berbagai pihak yang telah terlibat, khususnya
pihak Dosen Pembimbing yang telah membantu dalam penulisan modul ini. Tak
lupa dalam kesempatan ini, penulis mohon saran dan kritik yang membangun demi
sempurnanya penyusunan modul dimasa-masa yang akan datang. Semoga modul
ini memberikan manfaat bagi penulis dan pembacanya.
Daftar Pustaka
Anggraini, T., dan Ririh, Y. 2014. Penerapan Good Manufactoring
Practices Pada Industri rumah Tangga Kerupuk Teripang Di
Sukolilo Surabaya. Jurnal Kesehatan Lingkungan Vol. 7(2): 148–158
Bimantara, A. dan Juni, T. 2018. Penerapan Good Manufacturing
Practices (GMP) pada Pabrik Pembekuan Cumi-Cumi (Loligo
vulgaris) di PT. Starfood Lamongan, Jawa Timur. Journal of Marine
and Coastal Science. Vol.7(3): 111-119.
Darmarasri, D., Sri G., dan Janti G. 2017. Penerapan Good Manufacturing
Practice dan Work Improvement In Small Enterprise pada Usaha
Kecil dan Menengah Untuk Pemenuhan Standar Kesehatan (Studi
Kasus: UKM Tempe Tenggilis Mejoyo Surabaya). Jurnal Teknik
Industri. 1(1): 1-6
Inggriani, A S., Patihul H. 2018. Artikel Tinjauan: Product Quality Review
Sebagai Evaluasi Mutu Produk. Farmaka. 16(1): 113-118
Hanidah, I. I., Agung, T. M., Robi, A., Efri, M. dan Samsul, H. 2018. Penerapan
Good Manufacturing Practices Sebagai Upaya Peningkatan
Kualitas Produk Olahan Pesisir Eretan Indramayu. Jurnal Agribisnis
dan Sosial Ekonomi Pertanian. 3(1): 359-426
Hermansyah, M., Pratikno., Soenoko, R., dan Setyanto, N.W., 2013. Hazard
Analysis And Critical Control Point (HACCP) Produksi Maltosa
Dengan Pendekata Good Manufacturing Practice (GMP). Jemis.
Vol.1(1): 14-20
Mediaindonesia.com. 2018. Nippon Indosari Bangun 2 Pabrik Roti.
https://mediaindonesia.com/read/detail/160325-nippon-indosari-
bangun-2-pabrik-roti.html (diakses tanggal 30 September 2020)
Oyeneho and Hedberg. 2013. An Assessment of Food Safety Needs of
Restaurants in Owerri, Imo State, Nigeria. International Journal of
Environmental Research and Public Health, 10(8): 3296–3309.
Pertiwi, I. M. 2015. Perancangan Kemasan Keripik Pisang Sambal
Kampung UKM Pelangi Rasa Menggunakan Metode Quality
Function Deployment. E-Proceeding of Engineering: Vol. 02, 4901
Rini, F. A., Putiri B. K., dan Nurul U. 2015. Penerapan Good Manufacturing
Practices Untuk Pemenuhan Manajemen Mutu pada Produksi Air
Minum dalam Kemasan (Studi Kasus di PT. XYZ). Jurnal Teknik
Industri. 3(2): 1-6
Ristyanadi, B. dan Darimiyya H. 2012. Kajian Penerapan Good
Manufacturing Practice (GMP) di Industri Rajungan PT. Kelola
Mina Laut Madura. Agrointek. 6(1): 55-64.
Rudiyanto, H. 2016. Kajian Good Manufacturing Practices (GMP) dan
Kualitas Mutu pada Wingko Berdasarkan SNI-01-4311-1996. Jurnal
Kesehatan Lingkungan Vol. 8(2): 148–157
Sutrisna, EM. 2016. Herbal Medicine : Suatu Tinjauan Farmakologis.
Muhammadiyah University Press. Jawa Tengah
Tricorbraunflex.com/resources/quality-certifications (diakses tanggal 30
September 2020)
Rahmawanty, D. dan Destri I. S. 2019. Buku Ajar Teknologi Kosmetik. CV
IRDH. Malang
Varzaka, T.H., dan Ioannis, S.A. 2011. Application of ISO22000 and
Comparison to HACCP for Processing of Ready to Eat
Vegetables. International Journal Food Sci and Technol, 43(10): 1729–
1741
Waluyo, E. dan Bayu K. 2017. Keamanan Pangan Produk Perikanan. UB
Press. Malang
Zazili, A. 2019. Urgensi Pengawasan Keamanan Pangan Berbasis
Sistem Manajemen Risiko Bagi Perlindungan Konsumen.
Supremasi Hukum: Jurnal Penelitian Hukum. Vol.28(1): 57-70

Anda mungkin juga menyukai