Anda di halaman 1dari 6

AKHLAK TERPUJI SYAJA’AH DAN ‘ADALAH

3. Mengembangkan Sikap Syaja’ah

Keberanian (syaja’ah) itu dibutuhkan dalam kehidupan. Untuk menegakkan kebenaran dibutuhkan
syaja’ah, dan untuk mencegah kemungkaran sangat dibutuhkan sifat syaja’ah. Oleh karena itu, sifat
syaja’ah harus selalu diasah agar selalu siap ketika dibutuhkan.

a. Pengertian Syaja’ah
Secara bahasa, syaja’ah berarti berani atau gagah. Menurut istilah, syaja’ah adalah keteguhan hati,
kekuatan pendirian untuk membela dan mempertahankan kebenaran secara berani dan terpuji. Jadi,
syaja’ah adalah keberanian yang berlandaskan kebenaran dan dilakukan dengan penuh
pertimbangan.

Secara etimologi kata al-syaja’ah berarti `berani antonimnya dari kata al-jabn yang berarti pengecut. Kata
ini digunakan untuk menggambarkan kesabaran di medan perang. Sisi positif dari sikap berani yaitu
mendorong seorang muslim untuk melakukan pekerjaan berat dan mengandung resiko dalam rangka
membela kehormatannya. Tetapi sikap ini bila tidak digunakan sebagaimana mestinya menjerumuskan
seorang muslim kepada kehinaan. Selain itu syajaah (berani) bukanlah semata-mata berani berkelahi
dimedan laga, melainkan suatu sikap mental seseorang, dapat menguasai jiwanya dan berbuat menurut
semestinya. Berdasarkan pengertian di atas, dipahami bahwa berani terhadap sesuatu bukan berarti
hilangnya rasa takut menghadapinya. Keberanian dinilai dari tindakan yang berorientasi kepada aspek
maslahat dan tanggungjawab dan berdasarkan pertimbanngan maslahat.

Jadi berani adalah: ”sikap dewasa dalam menghadapi kesulitan atau bahaya ketika mengancam. Orang
yang melihat kejahatan, dan khawatir terkena dampaknya, kemudian menentang maka itulah pemberani.
Orang yang berbuat maksimal sesuai statusnya itulah pemberani (al-syaji’), al-syaja’ah (berani) bukan
sinonim ’adam al-khauf (tidak takut sama sekali)

b. Menelaah Dalil Naqli tentang Syaja’ah


Allah Swt berfirman tentang syaja’ah dalam surah Ali Imran ayat 139 : ”Janganlah kamu bersikap lemah,
dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, Padahal kamulah orang-orang yang paling Tinggi (derajatnya),
jika kamu orang-orang yang beriman” .

Ayat tersebut menegaskan bahwa syaja’ah itu mengarahkan pada kita agar tidak merasa minder atau
merasa lemah dalam membela kebenaran karena manusia yang paling mulia di sisi Allah itu adalah orang-
orang yang paling beriman dan bertakwa kepada Allah Swt.

c. Macam-macam Bentuk Syaja’ah


Syaja’ah dapat dibagi menjadi dua macam :
1) Syaja’ah harbiyah, yaitu keberanian yang kelihatan atau tampak, misalnya keberanian dalam
medan tempur di waktu perang.
2) Syaja’ah nafsiyah, yaitu keberanian menghadapi bahaya atau penderitaan dan menegakkan
kebenaran. Yang termasuk syaja’ah nafsiyah adalah sebagai berikut:
a) As-Sarahah fi al-haq (terus terang dalam kebenaran), tidak plin-plan (sesekali mengatakan
begini dan pada waktu lainnya mengatakan begitu)

b) Kitman al-sirr (menyembunyikan rahasia, tidak membukanya apalagi menyebarluaskan).


Apapun yang dia hadapi dalam menyimpan rahasia itu, ia tetap mempertahankannya, sepatahpun
tidak mengatakannya

c) Al-I’tiraf bi al-khata’ (mengakui kesalahan), tidak lempar batu sembunyi tangan, menutupi
kesalahan apalagi mengemasnya dengan kemasan-kemasan kebenaran

d) Al-Insaf min al-nafs (objektif terhadap diri sendiri), hati boleh panas, telinga boleh merah, tetapi
akal pikiran tetap jernih, dan memilih cara mengekspresikan kemarahannya dalam bentuk yang
paling tepat

Dari dua macam syaja’ah (keberanian) tersebut diatas, maka syaja’ah dapat dituangkan dalam beberapa
bentuk, yakni:
1) Memiliki daya tahan yang besar untuk menghadapi kesulitan, penderitaan dan mungkin saja bahaya dan
penyiksaan karena ia berada di jalan Allah.

2) Berterus terang dalam kebenaran

3) Mampu menyimpan rahasia, bekerja dengan baik, cermat dan penuh perhitungan

4) Berani mengakui kesalahan. Salah satu orang yang memiliki sifat pengecut adalah tidak mau mengakui
kesalahan, mencari kambing hitam dan bersikap "lempar batu, sembunyi tangan."

5) Bersikap objektif terhadap diri sendiri. Ada orang yang cenderung bersikap over estimasi terhadap
dirinya, menganggap dirinya baik, hebat, mumpuni dan tidak memiliki kelemahan serta kekurangan.
Sebaliknya ada yang bersikap under estimasi terhadap dirinya yakni menganggap dirinya bodoh, tidak
mampu berbuat apa-apa dan tidak memiliki kelebihan apapun. Kedua sikap tersebut jelas tidak
proporsional dan tidak objektif. Orang yang berani akan bersikap objektif, dalam mengenali dirinya yang
memiliki sisi baik dan buruk.

6) Menahan nafsu di saat marah, seseorang dikatakan berani bila ia tetap mampu bermujahadah li al-nafsi,
melawan nafsu dan amarah. Kemudian ia tetap dapat mengendalikan diri dan menahan tangannya
padahal ia punya kemampuan dan peluang untuk melampiaskan amarahnya.

Agar bisa menerapkan sifat syaja’ah, maka harus memiliki sumber keberanian pada dirinya sebagai
berikut:

1) Berani membenarkan yang benar dan berani mengingatkan yang salah.

2) Berani membela hak milik, jiwa dan raga.

“Berkatalah yang benar sekalipun ia pahit (HR. Imam Ibnu Hibban RH)

3) Berani membela kesucian agama dan kehormatan bangsa.

d. Mengupas keutamaan sifat syaja’ah

Syaja’ah dalam ajaran agama Islam sangat dianjurkan untuk dimiliki setiap muslim, sebab selain
merupakan sifat terpuji juga dapat mendatangkan berbagai kebaikan bagi kehidupan beragama berbangsa
dan bernegara.
Dari syaja’ah (perwira) maka akan menimbulkan hikmah dalam bentuk sifat mulia, cepat tanggap, perkasa,
memecah nafsu memaafkan, tangguh, menahan amarah, tenang, mencintai. Akan tetapi apabila seorang
terlalu dominan keberaniannya, apabila tidak dikontrol dengan kecerdasan dan keikhlasan akan dapat
memunculkan sifat: ceroboh , meremehkan orang lain, unggul-unggulan, takabbur dan ujub. Sebaliknya
jika seorang mukmin kurang syajaah, maka akan dapat memunculkan sifat rendah diri, cemas, kecewa,
kecil hati, dsb.

4. Menegakkan Sikap ’Adalah

a. Pengertian ’Adalah

Kata ’adalah berasal dari kata adil yang artinya tidak berat sebelah, tidak memihak, atau menyamakan
yang satu dengan yang lain, setelah berpihak pada yang benar, berpegang pada kebenaran sepatutnya,
dan tidak sewenang-wenang.

Adil artinya sama, seimbang, atau menempatkan sesuatu pada tempatnya (proporsional). Menurut istilah,
adil adalah menetapkan suatu kebenaran terhadap dua masalah atau beberapa masalah untuk dipecahkan
sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh agama. Dengan demikian keadilan berarti
bertindak atas dasar kebenaran, bukan mengikuti kehendak hawa nafsu.

Berlaku adil adalah memperlakukan hak dan kewajiban secara seimbang, tidak memihak, dan tidak
merugikan pihak mana pun. Adil dapat berarti tidak berat sebelah serta berarti sepatutnya, tidak sewenang-
wenang.

b. Dalil naqli tentang ‘adalah

Orang yang beriman hendaknya dapat menyampaikan amanat dengan baik. Apabila menetapkan hukum,
hendaknya dapat menetapkan hukum dengan adil.

Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS. An-Nisa [4]: 58)
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran
kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran” (QS. An-Nahl [16]: 90)

c. Bentuk-bentuk ‘adalah

1) Adil terhadap Allah, artinya menempatkan Allah pada tempatnya yang benar, yakni sebagai makhluk
Allah dengan teguh melaksanakan apa yang diwajibkan kepada kita, sehigga benar-benar Allah sebagai
Tuhan kita.

2) Adil terhadap diri sendiri, yaitu menempatkan diri pribadi pada tempat yang baik dan benar. Untuk itu
kita harus teguh, kukuh menempatkan diri kita agar tetap terjaga dan terpelihara dalam kebaikan dan
keselamatan. Untuk mewujudkan hal tersebut kita harus memenuhi kebutuhan jasmani dan ruhani serta
menghindari segala perbuatan yang dapat mencelakakan diri

3) Adil terhadap orang lain, yakni menempatkan orang lain pada tempatnya yang sesuai, layak, dan benar.
Kita harus memberikan hak orang lain dengan jujur dan benar tidak mengurangi sedikitpun hak yang harus
diterimanya.

4) Adil terhadap makhluk lain, artinya dapat menempatkan makhluk lain pada tempatnya yang sesuai,
misalnya adil kepada binatang, harus menempatkannya pada tempat yang layak menurut kebiasaan
binatang tersebut.

d. Kedudukan dan Keutamaan ‘adalah

Apakah manfaat dan keutamaan dari orang yang berlaku adil, jawabannya adalah sebagai berikut :

1) Terciptanya rasa aman dan tentram karena semua telah merasa diperlakukan dengan adil.

2) Membentuk pribadi yang melaksanakan kewajiban dengan baik

3) Menciptakan kerukunan dan kedamaian


4) Keadilan adalah dambaan setiap orang. Alangkah bahagianya apabila keadilan bisa ditegakkan demi
masyarakat, bangsa dan negara, agar masyarakat merasa tentram dan damai lahir dan batin.

5) Begitu mulianya orang yang berbuat adil sehingga Allah tidak akan menolak doanya. Demikian pula
Allah sangat mengasihi orang yang dizalimi (tidak diperlakukan secara adil) sehingga Allah tidak akan
menolak doanya.

6) Mendapat pahala di akhirat

7) Meningkatkan semangat kerja

“Tiga orang yang tidak tertolak doanya, yaitu orang yang sedang berpuasa hingga berbuka, pemimpin yang
adil dan orang yang teraniaya” (HR. Ahmad)

Anda mungkin juga menyukai