Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

KOMPLEKS HISTOKOMPABILITAS

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 4
1. FRISCA YEMIMA SIRAIT (2101126)
2. LARAS MAHARANI (2101131)
3. MELLA MERIZA PUTRI (2101137)
4. REVINA TASYA A (2101151)
5. VONNY AYU DESTI (2101161)

DOSEN PENGAMPU :
Dr. apt. Meiriza Djohari M.Kes

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI RIAU
YAYASAN UNIV RIAU
PEKANBARU 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini yang berjudul
“Komplek Histokompatibilitas”. Diharapkan Makalah ini nantinya dapat
memberikan informasi serta bahan pembelajaran kepada kita semua.

Akhir kata, penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal hingga selesai. Penulis
menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan Makalah ini, oleh karena
itu kritik dan saran dari semua pihak yang membangun selalu kami harapkan demi
kesempurnaan Makalah ini.

Pekanbaru, April 2023


DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR.........................................................................................i
DAFTAR ISI.......................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN...................................................................................1

Latar Belakang...............................................................................................................1

Rumusan Masalah..........................................................................................................2

Tujuan Penelitian..................................................................................................2

BAB II ISI...........................................................................................................3

Pengertian Komplek Histokompatibilitas......................................................................3

Molekul Komplek Histokompatibilitas..........................................................................4

Struktur Protein Komplek Histokompatibilitas.............................................................9

Gen MHC dan Polimerfisme..........................................................................................11

Hubungan dengan Penyakit Tertentu.............................................................................12

TCR (T-cell receptor) Sebagai Penentu Predisposisi Penyakit......................................13

Penyakit Ekspresi Molekul MHC Kelas II....................................................................13

Penyakit Autoimun........................................................................................................14

Respn Imun....................................................................................................................17

BAB III KESIMPULAN....................................................................................21

3.1 Kesimpulan....................................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................2
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan mendasar disamping pangan,


pendidikan dan pemukiman, karena dengan tubuh yang sehat manusia dapat
hidup, tumbuh dan melakukan aktifitas dengan baik. Menurut Undang – undang
kesehatan tahun 2009, kesehatan adalah kedaan sehat, baik secara fisik, mental,
spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif
secara sosial dan ekonomis.

Sistem kekebalan tubuh merupakan upaya perlindungan internal tubuhdari


serangan bakteri, virus, jamur, protozoa bersel satu, dan parasit. Sistem kekebalan
tubuh (sistem imun) adalah gabungan sel, jaringan, molekul yang memproduksi
sel-sel khusus yang dibedakan dengan sistem peredaran darah dari sel darah, yang
berkerja sama dalam melawan suatu infeksi penyakit ataupun masuknya benda
asing kedalam tubuh. Semua sel imun mempunyai bentuk dan jenis sangat
bervariasi dan bersirkulasi dalam sistem imun dan diproduksi oleh sumsum
tulang. Sedangkan kelenjar limfe adalah kelenjar yang dihubungkan satu sama
lain oleh saluran limfe yang merupakan titik pertemuan dari sel-sel sistem imun
yang mempertahankan diri dari benda asing yang masuk kedalam tubuh.

Sistem imun berdasarkan mekanisme kerjanya sistem imun terbagi atas


Sistem Imun Humoral atau sistem imun jaringan atau diluar sel, yang berperan
adalah Sel antibodi dan Sistem Imun Cellular (sistem imun yang bekerja pada sel
yang terinfeksi antigen, yang berperan adalah sel T (Th, Tc, Ts).Bila pertahanan
non spesifik belum dapat mengatasi invasi mikroorganisme maka imunitas
spesifik akan terangsang.Mekanisme pertahanan spesifik adalah mekanisme
pertahanan yang diperankan oleh sel limfosit, dengan atau tanpa bantuan
komponen sistem imun lainnya seperti sel makrofag dan
komplemen.Dilihat dari caranya diperoleh maka mekanisme pertahanan spesifik
disebut juga respons imun didapat.
Komplek histokompabilitas atau yang biasa disebut MHC (Major
histocompabillity complex) merupakan gen yang mempunyai peran sangat penting
dalam respon-respon imun terhadap protein antigen, yang mana MHC akan
bekerja sama dengan limfosit T dalam menjaga kekebalan tubuh.

Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan komplek histokompatibilitas?


2. Bagaimana pembagian dan struktur molekul komplek histokompatibilitas?
3. Apa saja kelainan-kelainan dasar imunologi dan kaitannya dengan
komplek histokompatibilitas?

Tujuan Penulisan

1. Mengetahui pengertian komplek histokompatibilitas.


2. Mengetahui bagaimana pembagian dan struktur molekul komplek
histokompatibilitas.
3. Mengetahui kelainan-kelainan dasar imunologi dan kaitannya dengan
komplek histokompatibilitas.

2
BAB II

ISI

Pengertian Komplek Histokompatibilitas

Kompleks histokompatibilitas atau yang biasa disebut dengan major


histocompatibility complex atau MHC) adalah sekumpulan gen yang ditemukan
pada semua jenis vertebrata. Gen tersebut terdiri dari ± 4 juta bp yang terdapat di
kromosom nomor 6 manusia dan lebih dikenal sebagai kompleks antigen leukosit
manusia (HLA). Protein MHC yang disandikan berperan dalam mengikat dan
mempresentasikan antigen peptida ke sel T. Molekul permukaan sel yang
bertanggung jawab terhadap rejeksi transplan dinamakan molekul
histokompatibilitas, dan gen yang mengkodenya disebut gen histokompatibilitas.
Nama ini kemudian disebut dengan histokompatibilitas mayor karena ternyata
MHC bukan satu-satunya penentu rejeksi. Terdapat pula molekul lain yang
walaupun lebih lemah juga ikut menentukan rejeksi, yang disebut molekul
histokompatibilitas minor. Pada saat ini telah diketahui bahwa molekul MHC
merupakan titik sentral inisiasi respons imun.

Jean-Baptiste-Gabriel-Joachim Dausset (lahir 19 Oktober 1916; umur 97


tahun) ialah seorang imunolog perancis. Ia menerima penghargaan nobel dalam
fisiologi atau kedokteran tahun 1980 bersama dengan Baruj
Benacerraf dan George Davis Snell untuk penemuan dan pencirian gen yang
menyusun kompleks histokompatibilitas.

3
Molekul Komplek Histokompatibilitas

Gen MHC berhubungan dengan gen imunoglobulin dan gen reseptor sel T
(TCR = T-cell receptors) yang tergabung dalam keluarga supergen
imunoglobulin, tetapi pada perkembangannya tidak mengalami penataan kembali
gen seperti halnya gen imunoglobulin dan TCR. Daerah MHC sangat luas, sekitar
3500 kb di lengan pendek kromosom 6, meliputi regio yang mengkode MHC
kelas I, II, III, dan protein lain, serta gen lain yang belum dikenal, yang
mempunyai peran penting pada fungsi sistem imun.

MHC juga memiliki peranan dalam proses komunikasi antarsel. Banyak


mekanisme sistem imun yang tergantung dari interaksi antara komponen selular
dari sistem imun. Interaksi tergantung dari 2 mekanisme yaitu kontak spesifik
antar sel dan tingkat kelarutan molekul yang dihasilkan dari respons terhadap
antigen. APC (Antigen Presenting Cell) akan mempresentasikan antigen dengan
bantuan MHC-II agar lebih mudah dikenali oleh T-cell receptor. Aktivasi sel T
akan menghasilkan berbagai molekul sitokin. Molekul sitokin berfungsi sebagai
media komunikasi antgar sel. Sinyal yang dihasilkan tersebut akan memicu kerja
dari sel T sitotoksik. Tingkat komunikasi antar sel yang terjadi bergantung dari
sinyal yang dihasilkan dari kontak antara reseptor sel T dan molekul MHC.
Peranan dari molekul MHC sangatlah krusial dalam proses aktivasi sel T. Sel T
yang telah teraktivasi akan berkembang menjadi sel T helper subtype Th1 atau
Th2. Sel T helper tersebut akan melepaskan spectrum sitokinin yang
mengaktifkan sel T lainnya pada sistem selular atau sitotoksik yang akan
membantu sel B untuk diferensiasi menjadi sel plasma yang berfungsi untuk
memproduksi antibodi. Molekul sitokinin yang dihasilkan akan ditransportasikan
melalui membrane sel.

4
Ekspresi gen MHC bersifat kodominan, artinya gen orang tua akan tampak
ekspresinya pada anak mereka. Selain itu jelas terlihat beberapa gen yang terkait
erat dengan gen MHC dan mengkode berbagai molekul MHC yang berbeda,
karena itu gen MHC disebut sebagai gen multigenik. Pada populasi terlihat bahwa
setiap gen tersebut mempunyai banyak macam alel sehingga MHC bersifat sangat
polimorfik. Untuk memudahkan maka semua alel pada gen MHC yang berada
pada satu kromosom disebut sebagai haplotip MHC. Setiap individu mempunyai
dua haplotip, masing-masing satu dari ayah dan ibu yang akan terlihat ekspresinya
pada individu tersebut.

Pada bagian gen terdapat 2 kelas MHC, yaitu MHC kelas I dan MHC kelas
II dimana MHC kelas I dan MHC kelas II digunakan untuk mengenali antigen.
Molekul MHC kelas I berfungsi membawa antigen kepada sel-sel limfosit T
pembunuh dan molekul MHC kelas II berfungsi membawa antigen ke sel-sel
limfosit T penolong.

A. Molekul MHC Kelas I

Pada manusia terdapat 3 macam molekul MHC kelas I polimorfik,


yaitu HLA-A, HLA-B, dan HLA-C. Molekul HLA kelas I terdiri dari
rantai berat α polimorfik yang berpasangan nonkovalen dengan rantai

5
nonpolimorfik β2-mikroglobulin yang bukan dikode oleh gen
MHC. Rantai α yang mengandung 338 asam amino terdiri dari 3 bagian,
yaitu regio hidrofilik ekstraselular, regio hidrofobik transmembran, dan
regio hidrofilik intraselular. Regio ekstraselular membentuk tiga domain
αl, α2, dan α3. Domain α3 dan β2-mikroglobulin membentuk struktur yang
mirip dengan imunoglobulin tetapi kemampuannya untuk mengikat
antigen sangat terbatas.

Molekul HLA kelas I terdapat pada hampir semua permukaan sel


berinti mamalia, yang berfungsi untuk presentasi antigen pada sel T CD8
(pada umumnya Tc). Oleh karena itu perlu terdapat ekspresi MHC kelas I
di timus untuk maturasi CD8.
Dengan menganalisa sikuen asam amino dari MHC, diketahui
bahwa MHC Kelas I merupakan rangkaian glyvoprotein dengan perkiraan
berat molekul 45 KD. Rantai ini merupakan protein rantai berat yang
transmembran, dimana 80% dari rangkaian terletak dibagian luar
membrane dan sisanya terletak pada membrane dan didalam sel. Bagian
luar membrane terbagi menjadi 3 globus, alfa-1, alfa-2, alfa-3, masing-
masing globus mempunyai kurang lebih 90 asam amino. Tiga globus ini
berikatan nonkovalen dengan rantai glycoprotein yang lebih ringan (beta 2
microglobulin) dengan perkiraan berat molekul 12 KD.
Bagian membrane sel merupakan 25 residu tidak bermuatan
membentuk formasi helix yang menembus dinding sel, bagian yang
menembus ini adalah 5 kelompok asam amino serine dan lysine yang
bermuatan positif dan menempel pada bagian dalam membrane yang
bermuatan negative. Bagian ini hidrofobik, membentuk ikatan ion positif
dan negatif yang sangat kuat, diduga merupakan fondasi ikatan MHC
dengan sel.
Bagian intraseluler merupakan segmen yang hidrofolik terletak
didalam sel pada sitoplasma. Dua ujung rantai berat adalah NH2 dan
COOH2.
Globus alfa-1 dan alfa 2 membentuk suatu celah yang sangat
polimorfik, merupakan tempat menempelnya antigen, karena sifatnya
polimorfik, hal ini memungkinkan berbagai macam bentuk peptide dapat
6
terikad pada celah ini.
Karena sangat polimorfik dan mempunyai variasi yang besar,
diduga bagian ini merupakan bagian yang menentukan spesifisitas diantara
allele.
Rantai ringan mmerupakan bagian yang konstan dan mempunyai
sikuen yang homolog dengan sikuen bagian konstan (constant region) dari
immunoglobin. Berfungsi mempertahankan bentuk dan struktur molekul
sehingga bagian ini merupakan bagian yang homolog diantara allele.
Seperti halnya rantai berat, rantai ringan pada kedua ujungnya
diakhir dengan NH2 dan COOH. Dalam mempertahankan stabilitas bentuk
dan struktur molekul rantai ringan diperkirakan erat hubungannya dengan
globus alfa-3 dan berperan pada saat ekpresi antigen.
B. Molekul MHC Kelas II

Pada manusia terdapat 3 macam molekul MHC kelas II polimorfik,


yaitu HLA-DR, HLA-DQ, dan HLA-DP. Molekul HLA kelas II terdiri
dari 2 rantai polimorfik α dan β yang terikat secara nonkovalen, dan
masing- masing terdiri dari 229 dan 237 asam amino yang membentuk 2
domain. Seperti halnya rantai α HLA kelas I, maka rantai α dan β kelas II
terdiri dari regio hidrofilik ekstraselular, regio hidrofobik transmembran,
dan regio hidrofilik intraselular. Selain itu terdapat pula rantai
nonpolimorfik yang disebut rantai invarian, berfungsi untuk pembentukan
dan transport molekul MHC kelas II dengan antigen.

Molekul MHC kelas II terdapat pada sel makrofag dan monosit, sel
B, sel T aktif, sel dendrit, sel Langerhans kulit, dan sel epitel, yang
umumnya timbul setelah rangsangan sitokin. Fungsi molekul MHC kelas
II adalah untuk presentasi antigen pada sel CD4 (umumnya Th) yang
merupakan sentral respons imun, karena itu sel yang mempunyai molekul
MHC kelas II umumnya disebut sel APC (antigen presenting cells).
MHC kelas II terdiri dari 2 rrantai, rantai berat alfa (heavy alfa
chain), dengan perkiraan berat molekul 35 KD dan rantai ringan beta (light
beta chain) dengan perkiraan berat molekul 28 KD. Pada kedua ujungnya
diakhiri dengan NH2 dan COOH.
Tiap rantai terbagi 4 segmen, 2 globus ekstra seluler, alfa-1, alfa-2,
7
dan beta-1, beta-2 membentuk suatu celah yang polimorfik merupakan
tempat dimana antigen terikat, kemampuan celah ini lebih terbatas
dibandingkan MHC kelas I, mengindikasi bahwa spesifitas dari MHC II
didominasi oleh rantai beta.
Molekul MHC kelas II perlu terdapat dalam timus untuk
maturasi sel T CD4

Tabel 2.1 Perbedaan MHC Kelas I dan MHC Kelas II

MHC Kelas I MHC Kelas II

Tersusun dari 2 rantai yaitu: rantai Tersusun dari 2 rantai yaitu rantai α :
α: α1,α2,α3 dan rantai β2- α1,α2, dan rantai : β1 , β2
mikroglobulin.

Mempunyai 1 molekul Mempunyai 2 molekul transmembran


transmembran yang menembus yang menembus membran sel APC
membran sel APC
Pada proses sintesisnya, sisi Pada proses sintesisnya, sisi pengikatan
pengikatan Ag tidak ditempati Ag ditempati oleh molekul penghalang: Li
oleh molekul penghalang dan CLIP, diperlukan HLA-DM untuk
melepaskan CLIP dari ikatanya sehingga
dapat ditempati oleh fragmen peptide
antigen.

8
MHC I berikatan dengan sel T CD MHC II berikatan dengan sel T CD 4
8

Mempresentasikan Ag intraseluler, Mempresentasikan Ag ekstraseluler,


ukuran fragmen peptida 8-10 asam dengan ukuran fragmen peptida lebih dari
amino, sehingga fragmen antigen 13 asam amino sehingga fragmen bakteri
virus dipresentasikan oleh MHC akan dipresentasikan oleh MHC II
kelas I

Enzim yang berperan dalam Enzim yang berperan dalam pembentukan


pembentukan peptide adalah peptide adalah protease endosom dan
proteosom sitosolik. lisosom (misalnya katepsin).

Tempat pepide berikatan dengan Tempat peptide berikatan dengan MHC di


MHC adalah di reticulum kompartemen khusus dalam vesikel
endoplasma

Dipresentasikan oleh semua sel Dipresentasikan oleh sel dendritik,


berinti. Sel menjadi tidak makrofage dan lymposit B.
terdeteksi oleh sel NK, sehingga
dapat menghentikan aktivitas sel
NK,
Diekspresikan pada sel Diekspresikan pada sel hematopoietik dan
hematopoietic sel stromal pada timus

Terdapat beberapa molekul lain yang dikode pula dan daerah MHC tetapi
mempunyai fungsi yang berbeda dengan molekul MHC kelas I dan II. Suatu
daerah dalam MHC yang dikenal sebagai regio MHC kelas III mengkode
sejumlah protein komplemen (C2, B, C4A, C4) dan enzim sitokrom p450 2l-
wafaahidroksilase. Selain itu terdapat pula gen sitokin TNF a dan b, atau gen lain
yang mengkode molekul yang berfungsi untuk pembentukan dan transport
molekul MHC dalam sel. βα

Gen respons imun (Ir) semula diterangkan pada hewan percobaan sebagai
gen yang menentukan respons imun individu terhadap antigen asing tertentu.
Dengan pemetaan genetika klasik terlihat bahwa gen Ir mirip dengan gen MHC
kelas II, sehingga diangap bahwa molekul MHC keIas II adalah produk gen Ir.

9
Studi tentang struktur molekul kelas I dan II, serta tempat ikatan antigen
pada molekul kelas II, memperkuat anggapan bahwa molekul kelas II merupakan
mediator gen Ir.

Keragaman tempat ikatan antigen dalam berbagai molekul kelas II, serta
perbedaan kemampuan molekul kelas II tertentu untuk mengikat antigen spesifik,
menimbulkan dugaan bahwa hanya molekul keIas II tertentu saja yang dapat
mempresentasikan suatu antigen tertentu pula. Hal ini terlihat pada pemetaan
bahwa hanya individu yang mempunyai gen kelas II tertentu saja yang dapat
bereaksi terhadap suatu antigen khusus.

Contoh tentang efek gen Ir pada manusia adalah respons antibodi IgE
terhadap antigenragweed Ra5 yang sangat berhubungan dengan HLA-DR2, serta
respons IgE terhadap antigen ragweed Ra6 yang sangat berhubungan dengan
HLA-DR5. Walaupun belum jelas terbukti, antigen ragweed dipercaya terikat
pada molekul MHC kelas II.

Struktur Protein Komplek Histokompatibilitas

Protein MHC pada manusia pertama kali ditemukan pada tahun 1950,
yaitu ketika dilakukan transfusi darah ditemukan antibodi yang bereaksi dengan
suatu glikoprotein baru pada permukaan sel leukosit dari orang lain dalam suatu
populasi. Protein pada membran leukosit ini disebut human leukocyte antigens
atau HLA. Istilah ini digunakan sebagai sinonim dari protein MHC. Kemudian
molekul HLA diketahui dapat menjadi target dari imunitas seluler. Apabila
leukosit dari dua individu yang berbeda dan tidak ada hubungan keturunan
diinkubasi bersama, maka sel T dari masing-masing individu akan bereaksi
melawan protein HLA yang diekspresikan oleh sel T yang lain (aktifasi dan
proliferasi). Hal ini juga terjadi apabila dilakukan transplantasi jaringan/organ dari
suatu individu kepada individu yang lain. Dalam hal ini protein HLA bertindak
sebagai penanda (marker) yang dapat membedakan masing-masing sel individu
dalam suatu populasi. Dalam hal ini protein MHC bertindak sebagai penghalang
(barier) untuk terjadinya histokompatabilitas, yaitu kemampuan jaringan dari satu

10
individu yang ditransplantasikan untuk dapat diterima oleh individu lain,
dari terjadinya penolakan secara imunologis. Disamping kepentingan klinis
tersebut, fungsi normal dari molekul MHC adalah untuk menyajikan antigen
kepada sel T.
Protein MHC terdiri dari dua kelas struktur, yaitu protein MHC kelas I dan
kelas II.

A. Protein MHC kelas I

Protein MHC kelas I ditemukan pada semua permukaan sel berinti. Protein
ini bertugas mempresentasikan antigen peptida ke sel T sitotoksik (Tc) yang
secara langsung akan menghancurkan sel yang mengandung antigen asing
tersebut. Protein MHC kelas I terdiri dari dua polipeptida, yaitu
rantai membrane integrated alfa (α) yang disandikan oleh gen MHC pada
kromosom nomor 6, dan non-covalently associated beta-2 mikroglobulin
(β2m). Rantai α akan melipat dan membentuk alur besar antara domain α1 dan
α2 yang menjadi tempat penempelan molekul MHC dengan antigen protein.
Alur tersebut tertutup pada pada kedua ujungnya dan peptida yang terikat
sekitar 8-10 asam amino. MHC kelas satu juga memiliki dua α heliks yang
menyebar di rantai beta sehingga dapat berikatan dan berinteraksi dengan
reseptor sel T.

B. Protein MHC kelas II

Protein MHC kelas I terdapat pada permukaan sel B, makrofag, sel


dendritik, dan beberapa sel penampil antigen (antigen presenting cell atau
APC) khusus. Melalui protein MHC kelas II inilah, APC dapat
mempresentasikan antigen ke sel-T penolong (Th) yang akan menstimulasi
reaksi inflamatori atau respon antibodi.MHC kelas II ini terdiri dari dua ikatan
non kovalen polipeptida integrated-membrane yang disebut α dan β. Biasanya,
protein ini akan berpasangan untuk memperkuat kemampuannnya untuk
berikatan dengan reseptor sel T. Domain α1 dan β1 akan membentuk tempat
untuk pengikatan MHC dan antigen.

11
Pada manusia, gen yang mengkodekan MHC terletak pada kromosom
nomor 6 dan terbagi menjadi dua kelas gen, yaitu kelas I untuk MHC I dan kelas
II untuk MHC II[4]. Kelompok gen yang termasuk kelas I terdiri dari tiga lokus
mayor yang disebut B, C, dan A, serta beberapa lokus minor yang belum
diketahui. Setiap lokus mayor menyandikan satu polipeptida tertentu. Pada gen
pengkode rantai alfa, terdapat banyak alel atau dengan kata lain bersifat
polimorfik. Rantai beta-2-mikroglobulin dikodekan oleh gen yang terletak di luar
kompleks gen MHC, namun apabila terjadi kecacatan pada gen tersebut maka
antigen kelas I tidak bisa dihasilkan dan dapat terjadi defisiensi sel T sitotoksik.
Kompleks gen kelas II terdiri dari tiga lokus yaitu DP, DQ, dan DR yang masing-
masing mengkodekan satu rantai alfa atau beta. Rantai polipetida yang dihasilkan
akan saling berikatan dan membentuk antigen kelas II. Seperti halnya antigen
kelas II, antigen kelas II juga bersifat polimorfik (unik) karena lokus DR dapat
terdiri atas lebih dari satu macam gen penyandi rantai beta.

Hubungan dengan penyakit tertentu

Penilaian hubungan suatu penyakit dengan HLA dinyatakan dalam RR


(Relative Risk). Yaitu nilai yang menyataka peluang seseorang yang memiliki
HLA tertentu untuk mengidap suatu penyakit tertentu dibandingkan dengan orang
lain yang tidak memiliki HLA tersebut. Rumusnya adalah sebagai berikut:

RR=P+× C− ¿ ¿
P−×C+ ¿ ¿

P+ = Jumlah penderita yang memiliki HLA tertentu

C- = jumlah Kelola yang tidak memiliki HLA tertentu

P- = Jumlah penderita yang tidak memiliki HLA tertentu

C+ = Jumlah Kelola yang memiliki HLA tertentu

Semakin tinggi nilai RR, makin sering HLA tertentu ditemukan dan makin
nyata asosiasi antara HLA tersebut dengan kejadian suatu penyakit. Di bawah ini
adalah daftar penyakit yang dapat disosiasikan dengan HLA.

12
Selain peran dalam rejeksi transplan, beberapa alel spesifik mempunyai
hubungan dengan penyakit tertentu yang umumnya mempunyai kelainan dasar
imunologik. Mayoritas penyakit tersebut berhubungan dengan HLA kelas II, dan
ini menunjukkan peran penting molekul kelas II untuk presentasi antigen pada sel
T CD4. Hubungan itu dinyatakan dengan nilai risiko relatif. Semakin besar nilai
tersebut untuk alel HLA tertentu maka semakin meningkat pula risiko seseorang
untuk mendapat penyakit tersebut.
Terdapat beberapa hipotesis untuk menerangkan asosiasi penyakit dengan
HLA ini, yaitu:
a. Molekul HLA berperan sebagai reseptor etiologi penyakit (misalnya
virus dan toksin), seperti molekul CD4 yang berperan sebagai reseptor
HIV.

b. HLA bersifat selektif terhadap antigen, yaitu hanya pada lekukan tertentu
saja yang mengikat antigen tertentu dan menyebabkan individu yang
memilikinya menderita sakit.

c. HLA memiliki kemiripan molekul dengan agen penyebab penyakit, ada


dua alternatif: (a) agen penyebab dianggap sebagai antigen diri (self)
maka tidak ada respon imun atau (b) agen penyebab dianggap antigen
asing (non self) sehingga menimbulkan respon imun yang menyerang
HLA sehingga terjadi kerusakan jaringan seperti pada kasus autoimun.

d. Terjadi penyimpangan ekspresi molekul HLA kelas II pada sel yang


tidak biasa; saat terjadi proses rutin degradasi molekul spesifik pada
permukaan sel akan menyebabkan fragmen peptida terikat pada tempat
ikatan antigen molekul kelas II sehingga terbentuk kompleks imun yang
merangsang respon imun terhadap molekul spesifik tersebut.
Molekul HLA dapat berlaku sebagai reseptor untuk etiologi penyakit seperti
virus atau toksin. Dugaan ini berdasarkan bukti bahwa molekul lain pada
permukaan sel dapat berlaku sebagai reseptor etiologi, misalnya molekul CD4
selaku reseptor HIV.

Hanya tempat ikatan antigen pada lekukan molekul HLA tertentu saja yang
dapat mengikat suatu antigen penyebab penyakit. Jadi hanya individu yang
mempunyai molekul HLA seperti itu saja yang dapat menderita penyakit tersebut.

13
TCR (T-cell receptors) sebagai penentu predisposisi penyakit

TCR bertanggung jawab terhadap predisposisi untuk suatu penyakit, tetapi


karena pengenalan antigen oleh sel T ditentukan oleh molekul HLA maka
sebetulnya asosiasi dengan penyakit tersebut adalah dengan HLA. Agen penyebab
menyerupai molekul HLA.
Hipotesis ini memiliki dua alternatif. Pertama, karena kemiripan agen
penyebab dengan molekul HLA maka akan dianggap sebagai antigen diri
sehingga dapat menimbulkan kerusakan tubuh tanpa perlawanan sistem imun.
Kedua, agen penyebab dikenal sebagai antigen asing sehingga mendapat
perlawanan respons imun, dan karena mirip dengan molekul HLA maka sistem
imun tubuh akan menyerang molekul HLA pula sehingga terjadi kerusakan
jaringan seperti pada penyakit autoimun.

Penyimpangan ekspresi molekul MHC kelas II

Diduga bahwa induksi ekspresi kelas II pada permukaan sel yang tidak biasa
mengekspresikan molekul tersebut dapat menimbulkan penyakit. Dalam keadaan
normal, molekul spesifik pada permukaan sel selalu mengalami pergantian dan
degradasi. Bila sel tersebut tidak mempunyai ekspresi molekul kelas II maka
degradasi molekul spesifik itu tidak membawa akibat bila terpajan antigen. Tetapi
bila pada sel tersebut timbul ekspresi molekul kelas II, maka degradasi molekul
spesifik tersebut akan memulai pemrosesan antigen. Fragmen peptida molekul
spesifik yang mengalami degradasi tadi akan terikat pada tempat ikatan antigen
molekul kelas II, sehingga terbentuk kompleks imun yang merangsang respons
imun terhadap molekul spesifik tersebut. Bila hanya molekul kelas II tertentu saja
(misalnya HLA-DR3) yang dapat mengikat fragmen molekul spesifik, barulah
terlihat asosiasi antara HLA dengan penyakit tertentu.

Penyakit Autoimun

Penyakit Auto Imun (PAI) adalah suatu keadaan dengan ciri-ciri


‘ketidakmampuan’ sistim imun untuk membedakan sel atau jaringan sendiri (self)
dari sel atau jaringan asing (nonself), jaringan tubuh dianggap antigen asing dan
timbul respon imun humoral (RIH)/ seluler (RIS) dengan merusak jaringan oleh
limfosit T/ makrofag dan membentuk antibody. Penyakit autoimun dapat
14
disebabkan oleh beberapa hal diantaranya:

15
A. Pemaparan sequestered antigen
Pembentukan Ag dalam organ tertutup kemudian Ag terisolasi sehingga
tidak kontak dengan jaringan limforetikuler dan tidak terjadi respon
imun. Tetapi jika Ag keluar dari organ dan terpapar Limforetikuler (Sistim
imun) pembentukan Antibodi (misalnya terhadap sperma, terhadap lensa
mata). Pemaparan saja tidak cukup, tapi harus melalui ekspresi antigen
melalui APC dan berbagai mediator yang terlibat dalam respons imun.

B. Gangguan mekanisme homeostatik

Dalam keadaan normal sel T dan sel B autoreaktif selalu ada; Tubuh
mempunyai mekanisme homeostatik yang melindunginya terhadap
rangsangan dari jaringan tubuh yang tidak dikendaki, melalui :

1. Menyingkirkan sel autoreaktif saat perkembangan.

2. Penekanan respons yang tidak dikehendaki di kemudian hari .

3. Menyingkirkan klon sel-sel autoreaktif . Kunci mekanisme ini adalah


pengendalian sel T (Th/Ts) baik di timus atau perifer .

B. Reaksi silang dan molekuler mimicry

Autoantigen mengalami modifikasi/perubahan struktur autoantigen


(gangguan sintesis/perubahan epitop baru) sehingga sel T terkecoh dan terpacu
membentuk autoreaktifitas perubahan autoantigen :

1. Penggabungan autoantigen dengan substansi dari luar (virus) .

2. Masuknya Ag yang punya struktur molekul mirip autoantigen


(molekuler mimicry) sehingga terjadi reaksi silang (Ag streptokokus
pada demam rematik mirip dengan sel-sel jaringan jantung)

3. Penggabungan autoantigen dengan substansi dari luar (virus) .

4. Masuknya Ag yang punya struktur molekul mirip autoantigen


(molekuler mimicry) sehingga terjadi reaksi silang (Ag streptokokus
pada demam rematik mirip dengan sel-sel jaringan jantung)

16
5. Penggabungan autoantigen dengan substansi dari luar (virus) .

6. Masuknya Ag yang punya struktur molekul mirip autoantigen


(molekuler mimicry) sehingga terjadi reaksi silang (Ag streptokokus
pada demam rematik mirip dengan sel-sel jaringan jantung)

C. Gangguan mekanisme pengaturan oleh jaringan idiotip – antiidiotip

Mekanisme pengaturan dapat terganggu jika ada virus. Reaksi autoimun


dapat terjadi : jika epitop pada virus menunjukkan struktur yang sama dengan
idiotip pada reseptor T atau B autoreaktif, jika idotip pada Ab yang
pembentukannya dirangsang oleh virus, menunjukkan struktur yang dengan
idiotip pada sel T dan sel B autoreaktif, atau merupakan anti idiotip bagi
reseptor T & B. Virus yang menginfeksi sel memproduksi hormon sehingga
terjadi pembentukan antihormon yang dapat merusak sel yang bersangkutan,
juga menyulut pembentukan antiidiotip yang merangsang reaksi sitotoksik
terhadap sel yang memiliki reseptor hormon tersebut.

D. Kesalahan ekspresi MHC kelas II

Autoantigen terpapar dengan limfosit T, disertai penampilan antigen


melalui MHC kelas II. Secara normal autoreaktifitas yang potensial terbatas
pada beberapa sel, mis. Makrofag, sel B, sel T. Dimana ekspresi Ag MHC II
dapat diinduksi oleh berbagai faktor, diantaranya virus. Jika MHC kelas II
diekspresikan di permukaan maka auto Ag menjadi potensial untuk
merangsang autoimunitas.

E. Stimulasi non imunologik

Stimulasi sel B secara non selektif sebagai aktivator poliklonal. Produk


dari mikroba (lipopolisakarida, enzim proteolitik), beberapa jenis virus
Ebstein Baa (EBV) dapat juga merangsang limfosit B membentuk antibodi
poliklonal langsung tanpa memerlukan bantuan sel T penolong. Stimulasi
terjadi akibat interaksi langsung dengan sel B, atau dengan cara menginduksi

17
sel T atau mekrofag untuk mensekresi faktor non spesifik, sehingga sel B
terangsang untuk membentuk autoantibodi.

F. Genetik

Faktor genetik utama yang berkaitan dengan penyakit autoimun adalah


MHC kelas II:

1. Korelasi positif beberapa PAI dengan spesifisitas HLA

2. HLA DR3 dengan penyakit Addison’s

3. HLA DR4 dengan artritis rheumatoid

Spektrum penyakit autoimun meliputi:

1. Penyakit autoimun yang spesifik organ (Hashimoto, myxedema primer,


anemia pernisiosa).

2. Penyakit autoimun yang tidak spesifik organ/sistemik (SLE, Skleroderma,


dermatomyositis, Artritis reumatoid juvenil)

3. Penyakit autoimun yang kerusakannya cenderung spesifik organ tertentu,


tetapi autoantibodi yang dibentuk tidak spesifik organ tersebut (anemia
hemolitik autoimun, ITP, sirosis bilier primer).

Sebagian besar penyakit yang berhubungan dengan HLA adalah kelompok


penyakit autoimun, dan prototip asosiasi ini adalah hubungan antara HLA-B27
dan spondilitis angkilosis. Dengan risiko relatif 91, maka individu ras Kaukasia
HLA-B27 (+) mempunyai risiko 91 kali lebih besar untuk mendapat spondilitis
angkilosis dibandingkan dengan individu HLA-B27 (-). Ekspresi molekul MHC
pada berbagai ras dapat berbeda bermakna sehingga harus selalu dibandingkan
dengan kontrol. Contohnya, HLA-B27 terdapat pada 48% ras hitam penderita
spondilitis angkilosis di USA dibandingkan dengan 2% pada kelompok kontrol ras
yang sama sehingga risiko relatif ras hitam di USA adalah 31.

18
Karena daerah MHC sangat luas maka dapat saja terjadi rekombinasi genetik
pada berbagai lokus individu. Rekombinasi ini tidak seluruhnya terjadi secara
acak karena terbukti bahwa beberapa alel memperlihatkan kecenderungan tinggi
untuk merangkai dengan alel lain, yang disebut sebagai rangkaian yang tidak
seimbang (linkage disequilibrium). Jadi dapat saja suatu penyakit yang selama ini
kita kenal sebagai berhubungan dengan alel MHC tertentu, sebetulnya
dipengaruhi alel lain yang terangkai dengan alel terdahulu. Contohnya adalah
sindrom Sjogren yang dikenal berhungan dengan HLA-B8, sebetulnya
dipengaruhi oleh HLA-DR3 yang terangkai dengan HLA-B8. Yang sangat
menarik adalah bahwa ternyata hubungan antara penyakit autoimun dengan HLA-
DR3 cukup sering terlihat.

Respons imun

Keadaan lain yang dihubungkan dengan MHC adalah respons imun.


Kemampuan individu untuk membuat respons imun adekuat berhubungan dengan
regio MHC kelas II, yang menentukan kemampuan presentasi antigen kepada sel
T yang harus berkaitan dengan molekul HLA. Selain itu antigen tertentu lebih
suka bergabung dengan molekul HLA tertentu pula. Jadi suatu molekul HLA
kelas II dapat lebih baik mengikat antigen dibanding molekul HLA kelas II
lainnya, sehingga presentasi antigen pun akan lebih efektif. Karena itu jenis HLA
seseorang akan menentukan baik-buruknya respons imun yang berhubungan
dengan produk MHC miliknya.

Terjadinya respon imun spesifik dimulai saat reseptor pada limfosit


mengenali antigen. Reseptor limfosit B berupa antibodi yang terikat di membran
dapat mengenali bermacam makromolekul serta bahan kimia kecil yang terlarut
pada permukaan sel, sedangkan limfosit T hanya dapat mengenali fragmen
peptida dari antigen protein setelah peptida tersebut dipresentasikan oleh MHC
pada sel pejamu.

Antibodi di permukaan membran limfosit B berperan dalam pengenalan


antigen berupa protein, polisakarida, lipid dan zat kimia kecil. Sel B akan

19
berdiferensiasi menjadi sel yang mensekresi antibodi yang akan masuk ke
dalam sirkulasi dan cairan mukosa, berikatan dengan antigen, kemudian
menetralisasi dan mengeliminasinya. Reseptor pengenal antigen di sel B dan
antibodi umumnya bisa mengenali antigen dalam bentuk aslinya. Folikel limfoid
di kelenjar getah bening dan limfa banyak mengandung follicular dendritic cells
(FDC) yang berfungsi mempresentasikan antigen kepada sel B yang teraktivasi.
Sel FDC berikatan dengan antibodi yang menyelubungi antigen dengan
mempergunakan reseptor Fc. Reseptor terhadap komplemen C3d dipergunakan
untuk berikatan dengan komplek komplemen antigen. Pada respon imun humoral
antigen tersebut dikenali limfosit B spesifik dan berfungsi menyeleksi sel B yang
afinitasnya tinggi.

Sebagian besar limfosit T mengenali antigen peptida yang terikat pada


molekul MHC pada sel APC. Pada setiap individu berbagai klon sel T dapat
mengenali peptida tersebut, dan disebut restriksi MHC. Setiap sel T punya
spesifitas ganda, T cell receptor (TCR) mengenali peptida antigen dan sekaligus
mengenali molekul MHC yang membawanya. Limfosit T naif memerlukan APC
agar dapat memulai respon imun.

Antigen protein yang masuk ke tubuh akan ditangkap oleh APC,


dikumpulkan di organ limfoid perifer dan memicu respon imun. Pada epitel yang
merupakan pertahanan fisik terhadap infeksi, terkandung sekumpulan APC
golongan sel dendrit yang masih imatur dan belum efisien dalam menstimulasi sel
T. Sel dendrit menangkap antigen mikroba yang masuk ke epitel dengan cara (1)
fagositosis apabila antigen berwujud partikel, dan (2) pinositosis untuk antigen
terlarut. Reseptor pada sel dendrit akan mengenali residu manosa terminal pada
glikoprotein mikroba. Saat makrofag dan sel epitel bertemu mikroba maka epitel
akan mengeluarkan sitokin tumor necrosis factor (TNF) dan interleukin I (IL-I).
Sitokin menyebabkan sel dendrit yang telah menangkap antigen terlepas dari
epitel.

20
Reseptor kemokin yang dihasilkan kelenjar getah bening yang penuh sel T
akan mengarahkan sel dendrit menuju pembuluh limfe, kemudian bergerak ke
kelenjar getah bening regional, dan selama migrasi tersebut sel dendrit akan
mengalami maturasi dari semula sel yang menangkap antigen menjadi sel APC
yang menstimulasi limfosit T. Pada proses maturasi terjadi sintesis molekul MHC
dan kostimulatornya, selanjutnya diekspresikan di permukaan APC.

Mikroba yang berhasil menembus epitel dan memasuki jaringan parenkim


akan ditangkap oleh sel dendrit imatur dan dibawa ke kelenjar getah bening;
sedangkan antigen terlarut di saluran limfe akan diambil sel dendrit di kelenjar
getah bening; dan antigen dalam darah diambil oleh sel dendrit dalam limfa.
Antigen protein dikumpulkan dalam kelenjar getah bening sehingga bertemu sel T
naif yang rutin bersirkulasi melewati getah bening minimal sehari sekali. Respon
sel T naif terhadap antigen terhitung efisien, dimulai di kelenjar getah bening
dalam waktu 12-18 jam setelah masuknya antigen ke dalam tubuh.

Pada respon imun tergantung sel T (T cell dependent immune response)


interdigitating dendritic cells merupakan sel yang paling potensial mengaktifasi
sel T naif. Sel dendrit juga mempengaruhi sifat respon imun, misalnya terdapat sel
dendrit yang mengarahkan diferensiasi sel T CD4 naif untuk melawan satu jenis
mikroba. Jenis sel APC yang lain adalah makrofag yang tersebar di semua
jaringan, yang pada respon imun selular berfungsi memfagosit mikroba dan
mempresentasikan pada sel T efektor. Selanjutnya sel T efektor mangaktivasi
makrofag agar membunuh mikroba. Limfosit B yang teraktivasi akan berperan
penting dalam respon imun humoral, yaitu mencerna antigen protein dan
mempresentasikan pada sel T helper.

Sel APC dapat memulai respon sel T CD8 terhadap antigen mikroba seluler
dengan cara memakan sel yang terinfeksi dan mempresentasikan antigen kepada
limfosit T CD8. Selanjutnya sel T naif akan teraktivasi menjadi spesifik terhadap
antigen tersebut. Presentasi oleh sel T yang memakan sel terinfeksi bisa juga
dilakukan terhadap sel T CD4.

21
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Komplek Histokompatibilitas merupakan satu set gen yang sangat


polimorfik, produknya dipaparkan pada permukaan beberapa sel. Gen-gen MHC
mempunyai peran yang sangat penting dalam respon-respon imun terhadap
protein antigen. Hal ini karena limfosit T dengan antigen spsifik tidak dapat
mengenali antigen dalam bentuk bebas atau terlarut, tetapi hanya mengenali
antigen dalam bentuk peptida yang terikat secara kovalen dengan molekul MHC.
Dengan kata lain, MHC membantu memaparkan peptida-peptida antigen kepada
limfosit T.

Pada bagian gen terdapat 2 kelas MHC, yaitu MHC kelas I dan MHC kelas
II dimana MHC kelas I dan MHC kelas II digunakan untuk mengenali antigen.
Molekul MHC kelas I berfungsi membawa antigen kepada sel-sel limfosit T
pembunuh dan molekul MHC kelas II berfungsi membawa antigen ke sel-sel
limfosit T penolong.

Alel spesifik mempunyai hubungan dengan penyakit tertentu yang


umumnya mempunyai kelainan dasar imunologik. Mayoritas penyakit tersebut
berhubungan dengan HLA kelas II, dan ini menunjukkan peran penting molekul
kelas II untuk presentasi antigen pada sel T CD4. Hubungan itu dinyatakan
dengan nilai risiko relatif. Semakin besar nilai tersebut untuk alel HLA tertentu
maka semakin meningkat pula risiko seseorang untuk mendapat penyakit tersebut.

22
DAFTAR PUSTAKA

David S. Wilkes, William J. Burlingham (2004). Immunobiology of organ


transplantation. Springer. (Inggris) ISBN 978-0-306-48328-8.

Pandjassarame Kangueane (2009). Bioinformation Discovery: Data


to Knowledge in Biology. Springer. (Inggris) ISBN 978-1-4419-
0518- 5.

Anthony L. DeFranco, Richard M. Locksley, Miranda Robertson


(2007). Immunity: the immune response in infectious and
inflammatory disease. Oxford University Press. ISBN 978-0-
19- 920614-8.

Abdul Ghaffar, Prakash Nagarkatti (2009). "MHC: GENETICS AND


ROLE IN TRANSPLANTATION". Microbiology and
Immunology Online.

Nobuaki Ishii, Mitsuro Chiba, Masahiro Iizuka, Hiroyuki Watanabe,


Tomonori Ishioka, Osamu Masamune (1992). "Expression of MHC
class II antigens (HLA-DR, -DP, and -DQ) on human gastric
epithelium". Journal of Gastroenterology (Inggris) 27 (1): 23–
28. doi:10.1007/BF02775060.

Arwin AP Akib, 2010, Komplek Histokompatibilitas Major, dalam


Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak edisi kedua, Ikatan Dokter Anak
Indonesia, Jakarta.

Zakiudin Munasir dan Nia Kurniati, 2010, Penangkapan dan Presnetasi


Antigen, dalam Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak edisi kedua,
Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta.

23

Anda mungkin juga menyukai