Anda di halaman 1dari 28

HUKUM ACARA

MAHK AMAH KONSTITUSI

TATA C A R A P E N G U J I A N U N D A N G - U N D A N G
T E R H A DA P U N DA N G - U N DA N G DA S A R
Judicial Rewiew
Judicial Review

 Pengujian peraturan perundang-undangan tertentu oleh hakim (yudikatif).
Hal ini berarti hak atau kewenangan menguji (toetsingsrecht) dimiliki oleh
hakim. Pengujian tersebut dilakukan atas suatu ketentuan peraturan
perundang-undangan terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi atau terhadap konstitusi sebagai hukum tertinggi

Toetsingrecht
 Hak uji. Istilah ini digunakan pada saat membicarakan hak atau kewenangan
untuk menguji peraturan perundang-undangan.

Constitutional Review
 Pengujian suatu ketentuan perundang-undangan terhadap konstitusi.
Parameter pengujian dalam hal ini adalah konstitusi sebagai hukum tertinggi.
 Hal ini berbeda dengan judicial review yang dari lingkup materinya lebih luas
karena menguji suatu peraturan perundang-undangan terhadap peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, jadi tidak terbatas pada konstitusi
sebagai parameter pengujian
Dasar Hukum

 Pasal 24, Pasal 24C ayat (1) UUD 1945

 Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang


Kekuasaan Kehakiman (Pasal 29 ayat (1) huruf a)

 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang


Mahkamah Konstitusi (Pasal 10 ayat (1) huruf a)

 Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik


Indonesia (PMK) No. 06/PMK /2005
Pengujian Formil dan Materil
Formil

 Menilai suatu produk legislatif seperti undang-undang, telah melalui
prosedur sebagaiman telah diatur dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku atau tidak.
 Pengujian formal biasanya terkait dengan soal-soal prosedural dan
berkenaan dengan legalitas kompetensi institusi yang membuatnya .

Materil
 Menilai isi apakah suatu peraturan perundang-undangan itu sesuai
atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya,
 Menilai apakah suatu kekuasaan tertentu berhak mengeluarkan suatu
peraturan tertentu.
 Pengujian material berkaitan dengan kemungkinan pertentangan
materi suatu peraturan dengan peraturan lain yang lebih tinggi
ataupun menyangkut kekhususan-kekhususan yang dimiliki suatu
aturan dibandingkan dengan norma-norma yang berlaku umum
Pengujian UU terhadap UUD

Pasal 50*
Undang-undang yang dapat dimohonkan untuk
diuji adalah undang-undang yang diundangkan
setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945

*Pasal ini dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat


berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 066/PUU-II/2004
mengenai Pengujian UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi & UU No. 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang & Industri
terhadap UUD 1945 tanggal 13 Desember 2004.
Legal Standing & Posita

Pasal 51
(1) Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.
(2) Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang hak
dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
(3) Dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemohon wajib
menguraikan dengan jelas bahwa:
a. pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan/atau
b. materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Hak Konstitusional

MK sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan
Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal 20 September 2007 serta putusan-
putusan selanjutnya telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau
kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK
harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:
a) adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang
diberikan oleh UUD 1945;
b) hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon
dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan
pengujian;
c) kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus
bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak- potensial yang menurut
penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d) adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian
dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
e) adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang
didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Pengajuan Permohonan

1. Ditulis dalam bahasa Indonesia.
2. Ditandatangani oleh pemohon/kuasanya.
3. Diajukan dalam 12 rangkap.
4. Jenis perkara.
5. Sistematika:
a. Identitas dan legal standing;
b. Posita;
c. Petitum.
6. Disertai bukti pendukung.

 Khusus untuk perkara Perselisihan Hasil Pemilu diajukan paling


 lambat 3 X 24 jam sejak KPU mengumumkan hasil pemilu.
Pendaftaran Permohonan

1. Pemeriksaan kelengkapan permohonan oleh panitera.
- Belum lengkap : diberitahukan
- 7 hari sejak diberitahu, wajib dilengkapi
- Lengkap
2. Registrasi sesuai perkara.
3. 7 hari kerja sejak registrasi untuk perkara.
a. Pengujian undang-undang:
- Salinan permohonan disampaikan kepada Presiden dan DPR.
- Permohonan diberitahukan kepada Mahkamah Agung.
b. Sengketa kewenangan lembaga negara:
- Salinan permohonan disampaikan kepada lembaga negara termohon.
c. Pembubaran partai politik:
- Salinan permohonan disampaikan kepada partai politik yang
bersangkutan.
d. Pendapat DPR:
- Salinan permohonan disampaikan kepada Presiden.

 Khusus untuk perkara perselisihan hasil pemilu, paling lambat 3 hari kerja sejak
 registrasi Salinan Permohonan disampaikan kepada KPU.
Penjadwalan Sidang

 Dalam 14 hari kerja setelah registrasi ditetapkan Hari
Sidang Pertama
 (kecuali perkara Perselisihan Hasil Pemilu).

 Para pihak diberitahu/dipanggil.

 Diumumkan kepada masyarakat.


Pemeriksaan Pendahuluan

 Dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Panel
 Hakim yang sekurang-kurangnya terdiri atas 3 (tiga) orang Hakim
Konstitusi. (Pasal 10 ayat (1) PMK Nomor 06/PMK/2005)

 Dilakukan dalam Sidang Pleno yang dihadiri oleh sekurang-


kurangnya 7 (tujuh) orang Hakim Konstitusi. (Pasal 10 ayat (2)
PMK Nomor 06/PMK/2005)

 1. Sebelum pemeriksaan pokok perkara, memeriksa:


- Kelengkapan syarat-syarat Permohonan.
- Kejelasan materi Permohonan.
 2. Memberi nasehat
- Kelengkapan syarat-syarat Permohonan.
- Perbaikan materi Permohonan.
 3. 14 hari harus sudah dilengkapi dan diperbaiki.
Pemeriksaan Persidangan

 Terbuka untuk umum.
 Memeriksa permohonan dan alat bukti.
 Para pihak hadir menghadapi sidang guna memberikan
keterangan.
 Lembaga negara dapat diminta keterangan, Lembaga negara
dimaksud dalam jangka waktu 7 hari wajib memberi keterangan
yang diminta.
 Saksi dan/atau ahli memberi keterangan.
 Pihak-pihak dapat diwakili kuasa, didampingi kuasa dan orang
lain.

 Pemeriksaan permohonan pengujian UU terhadap UUD 1945


dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum, kecuali Rapat
Permusyawaratan Hakim. (Pasal 2 PMK Nomor 06/PMK/2005)
Pemeriksaan Persidangan

 Pemeriksaan pokok permohonan;
 Pemeriksaan alat-alat bukti tertulis;
 Mendengarkan keterangan Presiden/Pemerintah;
 Mendengarkan keterangan DPR dan/atau DPD;
 Mendengarkan keterangan saksi;
 Mendengarkan keterangan ahli;
 Mendengarkan keterangan Pihak Terkait;
 Pemeriksaan rangkaian data, keterangan, perbuatan, keadaan,
dan/atau peristiwa yang bersesuaian dengan alat-alat bukti
lain yang dapat dijadikan petunjuk;
 Pemeriksaan alat-alat bukti lain yang berupa informasi yang
diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara
elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.
Posisi Pembentuk Undang-Undang

 Pasal 54 UU Nomor 24 Tahun 2003:
Mahkamah Konstitusi dapat meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang
berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan/atau Presiden.

 MK tidak mengadili pembentuk UU.

 Kedudukan pembentuk UU sebagai Pihak Terkait untuk memberikan


keterangan (lisan maupun tertulis).
 Dapat diwakili oleh wakil atau pun kuasa dari lembaga negara tersebut.
 Presiden dapat memberikan kuasa subsitusi kepada Menteri Hukum dan
HAM beserta para menteri, dan/atau pejabat setingkat menteri yang
terkait dengan pokok perkara.
 DPR diwakili oleh Pimpinan DPR yang dapat memberi kuasa kepada
pimpinan dan/atau anggota komisi yang membidangi hukum, komisi
terkait dan/atau anggota DPR yang ditunjuk.
Rapat Permusyawaratan Hakim

a. RPH diikuti oleh seluruh hakim konstitusi dengan kuorum minimal
tujuh orang hakim, Panitera, PP, dan petugas lain yang dibutuhkan;
b. RPH dipimpin oleh Ketua, dalam hal Ketua berhalangan RPH
dipimpin oleh Wakil Ketua, dalam hal Ketua dan Wakil berhalangan,
RPH dipimpin oleh hakim yang tertua usianya;
c. RPH bersifat tertutup;
d. Agenda RPH:
 mendengar dan membahas laporan Panel;
 membahas perkembangan Sidang Panel/Pleno;
 membahas/mendiskusikan dan mengambil putusan;
 menunjuk drafter Putusan;
 membahas drafter Putusan yang disiapkan oleh Drafter;
 lain-lain agenda baik yang terkait perkara (justisial) maupun nonjustisial,
seperti laporan Panitera, laporan Sekjen, dsb.
e. Setiap RPH dibuat catatan oleh Panitera yang dibantu PP Perkara dalam
buku catatan rapat dan/atau Berita Acara Rapat.
Pihak Terkait

pokok permohonan.

Pihak terkait adalah pihak yang berkepentingan langsung atau tidak langsung dengan

 Pihak Terkait yang berkepentingan langsung adalah pihak yang hak dan/atau
kewenangannya terpengaruh oleh pokok permohonan.
 Dapat diberikan hak-hak yang sama dengan Pemohon dalam persidangan dalam hal
keterangan dan alat bukti yang diajukannya belum cukup terwakili dalam keterangan dan
alat bukti yang diajukan oleh Presiden/Pemerintah, DPR, dan/atau DPD.
 Harus mengajukan permohonan kepada Mahkamah melalui Panitera.
 Apabila disetujui ditetapkan dengan Ketetapan Ketua Mahkamah. Apabila tidak disetujui,
pemberitahuan tertulis disampaikan kepada yang bersangkutan oleh Panitera atas
perintah Ketua Mahkamah Konstitusi. Salinan Ketetapan disampaikan kepada Pihak
Terkait.
 Pemeriksaan dilakukan dengan mendengar keterangan yang berkaitan dengan pokok
permohonan. [Pasal 23 ayat (1) PMK Nomor 06/PMK/2005]
 Diberikan kesempatan untuk:
a. memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis;
b. mengajukan pertanyaan kepada ahli dan/atau saksi;
c. mengajukan ahli dan/atau saksi sepanjang berkaitan dengan hal-hal yang dinilai
belum terwajili dalam keterangan ahli dan/atau saksi yang telah didengar
keterangannya dalam persidangan;
d. menyampaikan kesimpulan akhir secara lisan dan/atau tertulis.
Pihak Terkait

 Pihak Terkait yang berkepentingan tidak langsung:
 Pihak yang karena kedudukan, tugas pokok, dan
fungsinya perlu didengar keterangan; atau
 Pihak yang perlu didengar keterangannya sebagai
ad informandum, yaitu pihak yang hak dan/atau
kewenangannya tidak secara langsung terpengaruh
oleh pokok permohonan tetapi karena
kepeduliannya yang tinggi terhadap permohonan
dimaksud.
 [Pasal 14 ayat (4) PMK Nomor 06/PMK/2005]
Pembuktian

 Pembuktian dibebankan kepada Pemohon. (Pasal 18 ayat
(1) PMK Nomor 06/PMK/2005)

 Alat bukti ialah:


a. Surat atau tulisan;
b. Keterangan saksi;
c. Keterangan ahli;
d. Keterangan para pihak;
e. Petunjuk; dan
f. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan,
dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik
dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.
Pengambilan Putusan

 Secara musyawarah untuk mufakat dalam sidang pleno
hakim konstitusi yang dipimpin oleh ketua sidang.
 Setiap hakim konstitusi wajib menyampaikan
pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap
permohonan.
 Dalam hal musyawarah sidang pleno hakim konstitusi
tidak menghasilkan putusan, musyawarah ditunda
sampai musyawarah sidang pleno hakim konstitusi
berikutnya.
 Dalam hal musyawarah tidak dapat dicapai mufakat
bulat, putusan diambil dengan suara terbanyak.
 Bila tidak dapat dicapai suara terbanyak, suara terakhir
ketua sidang pleno hakim konstitusi menentukan.
Isi Putusan

Putusan harus memuat sekurang-kurangnya :
a. kepala putusan yang berbunyi “DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”;
b. identitas pemohon;
c. ringkasan permohonon yang telah diperbaiki;
d. Pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam
persidangan;
e. Pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan;
f. Amar putusan;
g. pendapat berbeda dari Hakim Konstitusi; dan
i. hari dan tanggal putusan, nama dan tanda tangan Hakim
Konstitusi, serta Panitera.

(Pasal 48 ayat (2) UU MK dan Pasal 33 PMK Nomor


06/PMK/2005)
Amar Putusan

Pasal 56
(1) Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pemohon dan/atau
permohonannya tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50
dan Pasal 51, amar putusan menyatakan permohonan tidak dapat diterima.
(2) Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan beralasan, amar
putusan menyatakan permohonan dikabulkan.
(3) Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal,
dan/atau bagian dari undang-undang yang bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(4) Dalam hal pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan
pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, amar putusan menyatakan permohonan
dikabulkan.
(5) Dalam hal undang-undang dimaksud tidak bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, baik mengenai
pembentukan maupun materinya sebagian atau keseluruhan, amar putusan
menyatakan permohonan ditolak.
21
Amar Putusan

Pasal 57
(1) Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya
menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau
bagian undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, materi muatan
ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang tersebut tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
(2) Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya
menyatakan bahwa pembentukan undang-undang dimaksud
tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang
berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, undang-undang tersebut tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
(3) Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan
permohonan wajib dimuat dalam Berita Negara dalam jangka
waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan
diucapkan.

22
Putusan MK

 Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 disampaikan kepada
DPR, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden, dan
Mahkamah Agung.

 Putusan mempunyai kekuatan hukum tetap sejak selesai


diucapkan dalam Sidang Pleno yang terbuka untuk
umum.

 Masyarakat mempunyai akses untuk mendapatkan


putusan Mahkamah Konstitusi.

23
GAMBARAN UMUM PROSES BERACARA DI
MAHKAMAH KONSTITUSI
Ps. 29 ayat (2), Ps. 31 ayat (2) 
Ps. 32 ayat (1) Ps. 32 ayat (2)

PENGAJUAN PERKARA PEMERIKSAAN BELUM LENGKAP


•DIBERITAHUKAN
•12 RANGKAP SYARAT •DILENGKAPI DLM 7
•DISERTAI BUKTI ADMINISTRASI HARI KERJA

Ps. 32 ayat (3)

REGISTRASI PEMENUHAN Ps. 32


TELAH LENGKAP KELENGKAPAN ayat (2)
BRPK DALAM 7 HARI KERJA

Ps. 34 ayat (2)

Ps. 34 PENJADWALAN
ayat (1) 14 HARI KERJA PEMBERITAHUAN KEPADA PEMOHON
SETELAH REGISTRASI
Ps. 34 ayat (2), Ps. 34 ayat (3)

PENGUMUMAN KEPADA
MASYARAKAT

Ps. 35 ayat (1)

PERMOHONAN DAPAT DI TARIK


KEMBALI SELAMA PROSES

Ps. 39 ayat (1) Ps. 39 ayat (2)

TIDAK LENGKAP/JELAS
•DIBERITAHUKAN PEMOHON MELENGKAPI
PEMERIKSAAN PENDAHULUAN
•DILENGKAPI 14 HARI ATAU MEMPERBAIKI
•KELENGKAPAN
•KEJELASAN PERMOHONAN DALAM 14 HARI
TELAH LENGKAP DAN JELAS
PEMERIKSAAN PERBAIKAN
DAN KELENGKAPAN PERMOHONAN

RAPAT PLENO
TERTUTUP
LAPORAN DAN PEMBAHASAN
TINDAK LANJUT

PEMERIKSAAN PERSIDANGAN
PLENO TERBUKA UMUM Ps. 13 ayat (1)
•KEWENANGAN MK PMK No. 06/PMK/2005
•KEDUDUKAN HUKUM
•POKOK PERMOHONAN
•PEMBUKTIAN
Ps. 45 ayat (5)

RAPAT PLENO
TERTUTUP
Ps. 49
PENGAMBILAN PUTUSAN

SIDANG TERBUKA UMUM PENYAMPAIAN


PENGUCAPAN SALINAN PUTUSAN
PUTUSAN KEPADA PIHAK

Ps. 28 ayat (5), Ps. 47


Permohonan Pengujian Kembali

 Pasal 60 UU No. 24 Tahun 2003
Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam
undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan
pengujian kembali.

 Pasal 42 PMK No. 06/PMK/2005


(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam
UU yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian
kembali.
(2) Terlepas dari ketentuan ayat (1) di atas, permohonan
pengujian UU terhadap muatan ayat, pasal, dan/atau bagian
yang sama dengan perkara yang pernah diputus oleh
Mahkamah dapat dimohonkan pengujian kembali dengan
syarat-syarat konstitusionalitas yang menjadi alasan
permohonan yang bersangkutan berbeda.
27

Undang-undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi


tetap berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan
bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.

28

Anda mungkin juga menyukai