Anda di halaman 1dari 4

4 Sampai 5 tahun yang lalu, semua ASD hanya dapat ditangani dengan operasi bedah jantung terbuka.

Operasi
penutupan ASD baik dengan jahitan langsung ataupun menggunakan patch sudah dilakukan lebih dari 40
tahun, pertama kali dilakukan tahun 1953 oleh dr. Gibbson di Amerika Serikat, menyusul ditemukannya mesin
bantu pompa jantung-paru (cardio-pulmonary bypass) setahun sebelumnya.7
Tindakan operasi ini sendiri, bila dilakukan pada saat yang tepat (tidak terlambat) memberikan hasil yang
memuaskan, dengan risiko minimal (angka kematian operasi 0-1%, angka kesakitan rendah). Murphy JG, et.al
melaporkan survival (ketahanan hidup) paska opearsi mencapai 98% dalam follow up 27 tahun setelah
tindakan bedah, pada penderita yang menjalani operasi di usia kurang dari 11 tahun. Semakin tua usia saat
dioperasi maka survival akan semakin menurun, berkaitan dengan sudah terjadinya komplikasi seperti
peningkatan tekanan pada pembuluh darah paru. 8-11 Namun demikian, tindakan operasi tetap memerlukan
masa pemulihan dan perawatan di rumah sakit yang cukup lama, dengan trauma bedah (luka operasi) dan
trauma psikis serta relatif kurang nyaman bagi penderita maupun keluarganya. Hal ini memacu para ilmuwan
untuk menemukan alternatif baru penutupan ASD dengan tindakan intervensi non bedah (tanpa bedah jantung
terbuka), yaitu dengan pemasangan alat Amplatzer Septal Occluder (ASO).
Alat ini pertama kali diteliti pada hewan coba sejak tahun 1997, kemudian pada manusia melalui berbagai
studi multisenter sampai didapatkan kesimpulan bahwa tindakan ini sangat efektif, aman dan menunjukkan
hasil yang sangat baik
Penutupan ASD secara intervensi non bedah ini menunjukkan hasil yang baik, angka kesakitan periprosedural
yang minimal, dapat mengurangi kejadian aritmia atrium dan dapat digunakan pada ASD berdiameter sampai
dengan 34 mm. Keuntungan lain adalah risiko infeksi pasca tindakan yang minimal dan masa pemulihan-
perawatan di rumah sakit yang lebih singkat, trauma bedah minimal serta secara subyektif dirasakan lebih
nyaman bagi penderita dan keluarga karena tidak memerlukan tindakan bedah jantung terbuka.Adapun
indikasi dari intervensi ASO sama dengan indikasi operasi, namun harus memenuhi beberapa kriteria khusus
Tindakan pemasangan ASO telah mendapat persetujuan dari American Food and Drug Administration (FDA)
pada bulan Desember 2001. Di Indonesia, tindakan ASO mulai dilakukan pada tahun 2002. Data di Pusat
Jantung Nasional Harapan Kita menunjukkan selama periode September 2002-Mei 2004 telah dilakukan
pemasangan ASO pada 46 penderita ASD, terdiri dari 14 pasien laki-laki dan 32 perempuan, usia antara 4-58
tahun (rerata 25,5 tahun), 16 di antaranya pasien anak dan 30 pasien dewasa. Angka kematian dilaporkan nol
persen. Tindakan ini juga sudah dilakukan di beberapa rumah sakit rujukan seperti RS dr. Cipto
Mangunkusumo (Jakarta), RS dr. Sardjito (Yogyakarta), RS dr. Soetomo (Surabaya) dan RS dr. Karyadi
(Semarang).
Kendala yang masih muncul adalah besarnya biaya yang diperlukan karena harga alat ASO yang relatif mahal,
dan belum adanya jaminan pembiayaan kesehatan yang memadai di negara kita. Vida VL, et.al melaporkan
bahwa biaya pemasangan ASO di negara berkembang masih lebih tinggi dibandingkan dengan biaya
penutupan ASD dengan tindakan bedah konvesional. Gangguan hemodinamik
Tekanan di Atrium kiri lebih tinggi daripada tekanan di Atrium Kanan sehingga memungkinkan aliran darah
dari Atrium Kiri ke Atrium Kanan. Komplikasi
Gagal Jantung
Penyakit pembuluh darah paru
Endokarditis
Aritmia
Terapi medis/pemeriksaan penunjang
Pembedahan penutupan defek dianjurkan pada saat anak berusia 5-10 tahun. Prognosis sangat ditentukan oleh
resistensi kapiler paru, dan bila terjadi sindrome Eisenmenger, umumnya menunjukkan prognosis buruk.
Amplazer Septal Ocluder
Sadap jantung (bila diperlukan).
Gagal jantung kongestif :
Takikardi, khususnya selama istirahat dan aktivitas ringan.
Takipnea, Keringat banyak di kulit kepala, khususnya pada bayi.
Keletihan, Penambahan berat badan yang tiba-tiba
Distress pernapasan, Toksisitas digoksin
Muntah (tanda paling dini), Mual, Anoreksia
Bradikardi, Disritmia
Peningkatan upaya pernapasan – retraksi, mengorok, batuk, sianosis, Hipoksemia – sianosis,
gelisah., Kolaps kardiovaskular – pucat, sianosis, hipotonia
Ajari keluarga untuk melakukan intervensi selama serangan hipersianotik
- Tempatkan anak pada posisi lutut-dada dengan kepala dan dada ditinggikan.
- Tetap tenang.
- Beri oksigen 100% dengan masker wajah bila ada.
- Hubungi praktisi
) Adanya lubang pada sekat pembatas antar ruang jantung (septum),sehingga terjadi aliran pirau (shunt) dari
satu sisi ruang jantung ke ruang sisi lainnya. Karena tekanan darah di ruang jantung sisi kiri
lebih tinggi dibanding sisi kanan, maka aliran pirau yang terjadi adalah dari kiri ke kanan. Akibatnya, aliran
darah paru berlebihan/banjir (contoh: ASD = Atrial Septal Defect/ lubang di sekat serambi , VSD =
Ventricular Septal Defect/ lubang di sekat bilik). Aliran pirau ini juga bisa terjadi bila pembuluh darah yang
menghubungkan aorta dan pembuluh pulmonal tetap terbuka (PDA = Patent Ductus Arteriosus).
Karena darah yang mengalir dari sirkulasi darah bersih ke sirkulasidarah kotor, maka penampilan pasien tidak
biru (asianosis). Namun, beban yang berlebihan pada jantung akibat aliran pirau yang besar dapat
menimbulkan gagal jantung kiri maupun kanan. Tanda-tanda aliran darah paru yang berlebih adalah: debaran
jantung kencang, cepat lelah, sesak nafas, pada bayi sulit menyusu, pertumbuhan terganggu, sering batuk
panas (infeksi saluran nafas bagian bawah). Dalam kondisi seperti tersebut diatas, perlu diberikan obat-obatan
yang bermanfaat untuk mengurangi beban jantung, yakni obat diuretic (memperlancar kencing) dan obat
vasodilator (pelebar pembuluh darah).
Bisa karena jamu Penyakit jantung bawaan pada anak memang bukan penyakit langka. Di antara 1.000 anak
lahir hidup di Indonesia, menurut data rumah-rumah sakit di Indonesia, sembilan di antaranya mengidap
penyakit jantung bawaan. "Hasil survai di luar negeri prevalensinya kurang lebih sama," kata dr. Ganesja M.
Harimurti, spesialis jantung dan pembuluh darah dari Sub Bagian Jantung Anak, RS Jantung Harapan Kita,
Jakarta. "Jadi, kelainan ini bukan hanya diderita oleh anak di negara-negara berkembang atau miskin,"
tambahnya.
Lebih dikenal dengan istilah jantung bocor atau penyakit jantung biru, kelainan itu antara lain karena sekat
pemisah bilik atau serambi jantung kiri dan kanan belum atau tidak tertutup sempurna. Akibatnya, jantung
tidak berfungsi dengan baik.
Padahal, jantunglah yang memompa darah ke seluruh tubuh. Darah yang mengandung 96% zat asam (darah
bersih yang berwarna merah segar) dari bilik kiri jantung dialirkan ke seluruh tubuh melalui pembuluh darah
nadi. Saat kembali ke bilik kanan, darah tidak lagi bersih dan warna berubah menjadi lebih tua. Pada saat itu
kadar zat asamnya tinggal sekitar 60%. Namun, selanjutnya darah kotor ini dipompa kembali dari bilik kanan,
dialirkan ke paru-paru untuk menghirup zat asam sehingga menjadi bersih kembali. Begitulah aliran darah
pada tubuh, yang berlangsung tanpa henti sepanjang hidup kita.
Bila sekat pemisah tidak tertutup sempurna, tentu saja darah kotor akan bercampur dengan darah bersih. Ini
berakibat kerja jantung akan terganggu, sehingga sering mengeluarkan tanda-tanda biru, khususnya pada kuku
jari tangan dan bibir penderita. "Namun, bila kadar zat asam dalam darah masih berkisar 80%, umumnya tidak
sampai memunculkan tanda biru," jelas dr. Ganesja.
Pertumbuhan anak yang menderita kebocoran sekat jantung juga terhambat. Nafsu makan berkurang dan
umumnya bayi dengan penyakit ini tidak kuat menyedot ASI. Anak tampak lesu dan mudah capai. Bila
dirontgen, jantung tampak membesar dan dengan pemeriksaan stetoskop terdengar suara bising (murmur).
Selain itu, anak tak henti-hentinya mengalami batuk dan demam.
Disebut penyakit bawaan karena kebocoran terjadi sejak dalam kandungan. Semestinya, jantung bayi sudah
terbentuk sempurna pada usia kehamilan tiga bulan. Tapi, karena beberapa hal seperti si ibu terserang penyakit
campak jerman atau rubela, terjadilah ketidaksempurnaan itu.
Menurut dr. Ganesja, ibu yang melahirkan pada usia 35 tahun ke atas, atau suaminya sudah berusia lanjut (di
atas 55 tahun) pun cukup berisiko melahirkan bayi dengan cacat bawaan ini.
Obat penenang, obat penghilang rasa mual atau jamu-jamuan tertentu yang diberikan selama usia kehamilan
muda, terkena sinar radiasi, kurang vitamin, rokok (perokok aktif dan pasif) juga bisa merupakan biang
keladinya. Ditambah lagi faktor genetik lain yang tidak atau belum diketahui penyebabnya.
"Kebocoran sekat jantung antara satu penderita dengan yang lain tidak sama. Namun, banyak pula yang
beruntung karena sekat tertutup dengan sendirinya sebelum anak berusia dua tahun," tambah dr. Ganesja.
Kapan sekat bisa atau perlu dikoreksi, kapan tidak perlu atau tidak bisa lagi dikoreksi, menurut spesialis
jantung ini, tergantung pada cepat tidaknya si penderita diperiksakan ke dokter. Adakalanya, sedemikian kecil
kebocorannya sehingga tidak perlu dikoreksi karena tidak akan mengganggu kesehatannya sepanjang
hidupnya. Penderitaan akan menjadi parah bila kebocoran yang cukup besar didiamkan selama bertahun-
tahun, misalnya sampai usia anak mencapai 9 - 10 tahun. Kalau darah bersih bercampur darah kotor
didiamkan sedemikian lama, akan terjadi perubahan pada paru-parunya. Pasalnya, paru-paru akan terus
menampung darah kotor secara berlebihan yang lama-kelamaan akan menumpuk, sehingga dapat
mengakibatkan kenaikan tekanan darah di paru-paru.
Keadaan itu disebut hipertensi paru-paru. Gejalanya, penderita merasakan sering sesak napas, sangat lesu, dan
lemah. Wajah anak juga tampak kebiru-biruan. Kondisi demikian sudah dikatakan parah dan sulit direparasi
lagi. Kejadian terlambat ini, menurut dr. Ganesja, sekitar 2% dari jumlah seluruh penderita.
Kelerlambatan itu biasanya karena ketidakpahaman atau kealpaaan para orang tua penderita soal kelainan itu,
biaya, kurangnya informasi, atau kelengahan para dokter yang memeriksanya.
Bisa sembuh total
"Bayi usia satu hari pun, kalau dalam keadaan mendesak, bisa 'direparasi'," tutur dr. Ganesja. "Walaupun tentu
saja semakin besar usia sang bayi akan semakin mudah karena organ jantungnya akan lebih besar". Tingkat
kesulitan pembedahan penyakit jantung bawaan, menurut dr. Jusuf Rachmat, spesialis bedah jantung dari
rumah sakit yang sama, sangat tergantung pada letak dan parah tidaknya kelainan itu. Ada yang cukup
dilakukan satu kali koreksi, ada yang secara bertahap sampai beberapa kali. Selama dilakukan pembedahan
jantung terbuka ini diperlukan mesin jantung-paru yang menggantikan fungsi jantung dan paru-paru untuk
sementara.
Kebocoran pada sekat bilik jantung, seperti dikatakan dr. Jusuf, lebih mudah direparasi dibandingkan dengan
sekat serambi jantung. Pasalnya, pada serambi dindingnya tipis dan tekanan tidak tinggi, sedangkan pada bilik
tekanan lebih tinggi dan ototnya tebal. "Kebocoran bilik yang kecil cukup 'dijahit' saja. Pada kebocoran yang
lebih besar perlu 'ditambal' dengan selaput pembungkus jantung," katanya. Sedangkan kebocoran pada bilik
'ditambal' dengan semacam kain sintetis dari bahan dekron atau gortex, yang seumur hidup tidak akan ditolak
atau dapat menyatu dengan tubuh.
Angka keberhasilan pembedahan jantung bawaan, menurut spesialis bedah jantung ini, semakin baik. "Kini
keberhasilan bisa di atas 95% dan anak akan tetap sehat sampai dewasa nanti," katanya. "Kegagalan umumnya
karena terdapat faktor kelainan lain di luar penyakit bawaan itu," tambah dr. Jusuf.
Katup jantung rusak
Selain penyakit kebocoran sekat jantung, ada lagi satu penyakit jantung pada anak yang sering diderita, yakni
penyakit jantung rematik. Karena itu, janganlah dianggap sepele bila anak Anda tiba-tiba terserang demam
tinggi (39 - 40oC) ditambah tenggorokan merah dengan bercak-bercak putih. Siapa tahu ia terserang kuman
streptokokus. Kalau kuman ini tidak dibasmi tuntas dengan antibiotik atau penisilin, dikhawatirkan akan
meninggalkan toksin yang mencetuskan penyakit demam rematik 1 - 2 bulan kemudian. Menurut dr. Ganesja,
jumlah penderita demam rematik yang datang ke RS Jantung Harapan Kita dalam satu tahun sekitar 10 - 20
anak usia 5 - 6 tahun. Rata-rata penderita jantung rematik anak dari kalangan masyarakat sosio-ekonomi
rendah di negara dengan penduduk padat, seperti Indonesia, India, dan RRC. Pasalnya, keadaan rumah mereka
banyak yang kumuh, kurang higienis ditambah lagi jarak antartetangga sangat berdekatan sehingga kuman ini
mudah menular ke anak lain. Perlu diwaspadai, setiap radang tenggorokan yang tanpa pengobatan antibiotik
tampak sembuh, jangan dianggap sudah aman. Hati-hati pula bila timbul gejala lain seperti sakit pada
persendian yang berpindah-pindah, sesak napas, jantung berdebar-debar, timbul bercak-bercak merah atau
benjolan-benjolan kecil pada kulit. Ditambah lagi anak melakukan gerakan-gerakan yang tidak biasa dan tidak
terkontrol seperti menggerak-gerakkan kepala atau tangan. Sebab, tanda-tanda demikian itu mungkin
merupakan gejala demam rematik yang kalau tidak segera diatasi, anak bisa mengalami kerusakan atau
pengerutan katup jantung atau kelemahan otot jantung.
Pengobatan yang segera dilakukan adalah pemberian suntikan penisilin setiap empat minggu sekali selama
lima tahun. Biaya sekali suntik sekitar Rp 25.000,-. Bagi yang lebih berat keadaannya pengobatan bisa sampai
25 tahun! "Mau tidak mau ini harus dilakukan secara teratur sampai tuntas supaya tidak kambuh kembali.
Sebab bila alpa, bisa terjadi kekambuhan yang lebih parah," tegas dr. Ganesja. "Dan ini sering terjadi pada
masyarakat kita," tambah dr. Jusuf.
Biaya ini masih lebih murah dibandingkan kalau harus dibedah untuk memperbaiki atau mengganti katup yang
rusak. Menurut dr. Jusuf, penggantian katup adakalanya bisa dari jaringan tubuh penderita sendiri, atau harus
dari bahan sintetis. Acap kali kerusakan atau penciutan bisa terjadi pada dua katup.Pada kasus kelemahan otot
jantung, penyembuhan secara tuntas acap kali sulit dicapai, kecuali paling-paling dengan bantuan obat-obatan
sepanjang hidupnya.
Diakui dr Ganesja, masalah biaya merupakan hambatan utama pada pengobatan ataupun pembedahan. "Mana
mungkin mereka membiayai operasi yang nilainya sampai Rp 35 juta?" tutur dr. Ganesja. "Apalagi kalau
harus mengganti katup dari bahan semacam logam yang harganya selangit dan daya tahannya hanya sekitar 10
tahun". Harga sebuah katup sekitar Rp 12 juta - Rp 20 juta.
Pada penyakit jantung bawaan pun rata-rata orang tua penderita masih relatif muda, dengan penghasilan yang
rata-rata pas-pasan. Padahal, biayanya mulai Rp 10 - 15 juta (bagi mereka yang hanya memerlukan sekali
pembedahan) sampai Rp 24 - 35 juta!
Karena itu bantuan dana dari pihak ketiga seperti Yayasan Jantung Indonesia, sumbangan para pemirsa dan
pencinta sebuah acara favorit di sebuah stasiun televisi swasta, dll. tentunya merupakan tindakan mulia dan
menjadi salah satu jalan keluar untuk mengatasi persoalan biaya pada mereka yang kurang mampu. Pihak
rumah sakit dalam hal ini juga telah menyediakan dana khusus bagi mereka yang kurang mampu, namun
masih belum mencukupi.
Mereka, anak-anak balita penderita kelainan jantung bawaan dan lainnya yang berasal dari keluarga tak
mampu, masih membutuhkan uluran tangan kita agar mereka bisa menyongsong masa depan yang lebih baik.
Misalnya kelainan yang disebut sindrom Rubella, yaitu cacat bawaan berupa kelainan jantung, tuli, dan buta
karena katarak pada saat lahir (kongenital). Sindrom Rubella diakibatkan oleh infeksi Rubella (campak
jerman) yang dialami ibu saat hamil. Kelainan jantung yang biasanya diderita adalah VSD atau PDA (patent
ductus arteriosus).
Pada keadaan normal, aliran darah kotor dari pembuluh darah balik (vena), masuk ke serambi kanan
jantung.Kemudian akan diteruskan ke bilik kanan jantung dan dipompakan ke paru-paru melalui arteri
pulmonalis untuk ditukar dengan darah yang bersih yang banyak oksigennya. Dari paru-paru, darah kembali
ke jantung melalui vena pulmonalis, masuk ke serambi kiri, lalu ke bilik kiri. Dari bilik kiri, darah yang bersih
ini akan dipompakan ke seluruh tubuh melalui aorta.

Anda mungkin juga menyukai