Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENELITIAN KUALITATIF

TRADISI MASYARAKAT JAWA DALAM MELAKUKAN SUMPAH


POCONG

DOSEN PENGAMPU:
Drs. Sahat Saragih, M. Si.

DISUSUN OLEH:
1. ERVIA NUR M (1511900013)
2. DWI NUR RAHMA (1511900037)
3. LUTVIA FIRIANA (1511900152)
4. VIVI NIWANG SARI (1511900194)
5. NOVI RUSDIYANTI (1511900251)

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


FAKULTASI PSIKOLOGI
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SURABAYA
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu wa ta’ala yang
telah memberikan rahmat dan berkat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan Laporan
Penelitian Kualitatif dengan judul “Tradisi Masyarakat Jawa Dalam Melakukan Sumpah
Pocong”. Adapun tujuan dari penulisan Laporan Penelitian ini adalah sebagai syarat dalam
menyelesaikan tugas mata kuliah Metodologi Penelitian Dasar (Penelitian Kualitatif)
Dalam penyelesaian Laporan Penelitian dengan Judul “Tradisi Masyarakat Jawa
Dalam Melakukan Sumpah Pocong” . kami mendapat masukkan dari literatur-literatur yang
kami baca guna membuat Laporan Penelitian ini dengan baik. Tidak lupa kami juga
mendapatkan masukan dari berbagai pihak, terutama dosen pembimbing yang memberikan
masukan demi perbaikan Laporan Penelitian ini sehingga dapat menambah wawasan kami serta
untuk teman-teman yang telah ikut membantu dalam pembuatan Laporan Penelitian Kualitatif
ini.
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing atau
pengajar mata kuliah Metodologi Penelitihan Dasar (Penelitian Kualitatif) Bapak Drs. Sahat
Saragih., M.Si, serta teman-teman yang turut serta memberi masukan guna memperkaya isi
Laporan Penelitian Kualitatif ini.
Kami menyadari bahwa Laporan Penelitian Kualitatif ini masih jauh dari sempurna, baik
dalam susunan maupun isinya. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya
membangun demi perbaikan Laporan Penelitian ini.
Semoga Laporan Penelitian Kualitatif ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada
umumnya dan mahasiswa S1 Psikologi khususnya.

Surabaya, 18 Juni 2021

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.LATAR BELAKANG
Manusia adalah makhluk social yang tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain, dimana
setiap harinya penuh dengan akitivitas dan kegiatan yang tak terbatas waktu dan tempatnya.
Namun dalam hubungan dengan sesamanya, sering diwarnai dengan perselisihan diantara
manusia-manusia itu sendiri. Peselisihan ini adakalanya dapat diselesaikan secara
damai,upaya menyelesaikan perselisihan tersebut mereka senantiasa mencari cara dan
siapa-siapa yang dapat menyelesaikannya tanpa mengorbankan salahh satu dari mereka
yang berselisih. Yang dapat mengantisipasi hal tersebut sekaligus mencegah terjadinya
perbuatan yang sewenang-wenang di tengah kehidupan bermasyarkat, maka dibetuk suatu
lembaga peradilan yang merupakan wadah untuk penyelesaian perselihsihan atau
persengketaan dalam kehidupan bermasyarakat.
Era modern seperti ini seharusnya akan meningkatkan kesadaran seseorang untuk
menyelesaikan perselisihan melalaui jalur peradilan. Berharap agar perselisihan atau
persengketaan akan segera diproses dan ditindak lanjuti supaya cepat terselesaikan. Tetapi
agar dalam mempertahankan hak masing-masing pihak itu tidak melampaui batas-batas
dari norma yang telah ditentukan maka perbuatan sekehendaknya sendiri haruslah
dihindarkan. Oleh karena itu, para pihak yang merasa hak-hak nya diganggu dan merasa
dirugikan, maka orang yang merasa haknya terganggu dan dirugikan dapat mengajukan
gugatan kepada Pengadilan Agama. Namun tidak selamanya menyebabkan bahwa setiap
perselisihan atau persengketaan dapat diselesaikan melalui jalur peradilan, justru melalui
jalur di luar peradilan. Hal ini dapat dilihat dalam kehidupan masyarkaat Indonesia dimana
penyelesaian sengketa atau perselisihan melalui jalur di luar peradilan seperti sumpah
pocong yang telah menjadi budaya masyarakat Kabupaten Pacitan, Jawa Timur.
Sumpah berarti suatu pernyataan tentang keterangan atau janji, yang diucapkan
dihadapan kyai (tokoh agama) dengan mengingat sifat kemahakuasaan Tuhan. Sedangkan
pocong berarti mayat yang diselubngi dengan kain kafan. Sehingga sumpah pocong berarti
pernyataan tentang janjiyang dilakukan oleh penganut agama Islam, dengan cara dibalut
seluruh tubuhnya dengan kain kafan seperti orang meninggal, disumpah di bawah kitab
Suci Al-Qur’an. Persengketaan ini muncul karena adanya konflik antara seseorang sebagai
pengguat melawan orang lain sebagai tergugat dan masing-masing pihak yang bersengketa
kurangnya bukti-bukti dan saksi-saksi sehingga tidak mungkin untuk diselesaikan melalui
jalur peradilan. Oleh karena itu pihak yang bersengketa hanya bisa bicara, bersikukuh pada
dalil atau pendirian masing-masing dan tidak memunyai bukti yang lengkap untuk mencari
fakta yang benar, maka mereka menyelesaikan sengketa melalui sumpah pocong. Semua
kasus sumpah pocong diawali dengan sengketa, yang disebut Wiyata (2022:169) dengan
istilah konflik. Konflik menurut Gulliver (1973) memiliki arti yang sama yaitu ada dua
pihak yang berkepentingan, dinyatakan di muka umum dengan mengekspresikan atau
mengemukakan maksud sesuatu tentang keinginan tuntutannya.
Sedangkan dalam Pengadilan Agama, memiliki persyataran mengenai alat bukti yang
diakui peraturan perundang-undangan yang berlaku diatur dalam pasal 164 HIR, pasal 284
R.Bg dan pasal 1886 KUH Perdata, sebagai berikut :
a. Alat bukti surat (tulisan)
b. Alat bukti saksi
c. Pesangkaan (dugaan)
d. Pengakuan
e. Sumpah

Jika penggugat tidak memiliki persyaratan yang diakui oleh peraturan perundang-
undangan, maka perselisihan atau persengketaan tidak dapat diajukan ke Pengadilan
Agama karena kurangnya bukti-bukti yang kuat. Oleh karena itu, masyarakat Kabupaten
Pacitan menggunakan sumpah pocong sebagai alat keadilan yang mereka yakini dan
digunakan untuk meyelesaikan persengketaan.

1.2.RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
A. Bagaimana tradisi masyarakat Jawa dalam melakukan sumpah pocong ?
B. Mengapa sumpah pocong masih digunakan sebagai alat kejujuran setiap sengketa
permasalahan ?
C. Bagaimana kekuatan sumpah pocong dalam hukum Islam ?

1.3.TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah :
A. Untuk mengetahui seperti apa tradisi masyarakat Jawa dalam melakukan sumpah
pocong
B. Untuk mengetahui mengapa sumpah pocong masih digunakan sebagai alat kejujuran
setiap sengketa permasalahan
C. Untuk mengetahui kekuatan sumpah pocong dalam hukum Islam

1.4. MANFAAT PENELITIAN


Berdasarkan tujuan penelitian yang ingin dicapai, maka hasil penelitian diharapkan
dapat memebri manfaat kepada berbagai pihak terkait
A. Manfaat bagi Peneliti
Untuk mengembangkan pola pikir dan melahirkan ide – ide baru sebagai bahan pijakan
guna untuk penelitian selanjutnya yang terkait dengan permasalahan ini serta dapat
memberikan masukan yang berarti untuk meningkatkan penelitian selanjutnya
B. Manfaat bagi Masyarakat
Penelitian ini dimaksudkan supaya masyarakat tetap menjaga budaya tersebut, apabila
memang cara menyelesaikan permasalahan itu sudah menjadi adat istiadat atau
kebiasaan masyarakat untuk menemukan titik akhir dari sebuah perselisihan. Namun,
masyarakat harus siap menanggung akibat atas perbuatan yang dilakukan
BAB II
KAJIAN TEORI

2.1 TRADISI MASYARAKAT JAWA DALAM MELAKUKAN SUMPAH POCONG


2.1.1 PENGERTIAN SUMPAH
Sumpah pada umumnya adalah merupakan suatu pernyataan yang amat
khidmat yang diucapkan ataupun diberikan pada waktu memberi janji atau keterangan
dengan mengingat akan sifat mahakuasa daripada Tuhan, dan percaya bahwa siapa
saja yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum olehNya.
Jadi pada hakekatnya sumpah merupakan tindakan yang bersifat religius yang
digunakan dalam peradilan (Sudikno, 2002).
Sumpah berarti suatu pernyataan tentang keterangan atau janji, yang diucapkan
dihadapan kyai (tokoh agama) dengan mengingat sifat kemahakuasaan Tuhan.
Sedangkan pocong berati mayat yang diselubungi dengan kain kafan. Jadi sumpah
pocong berarti pernyataan tentang janji yang dilakukan oleh penganut agama Islam,
dengan cara dibalut seluruh tubuh dengan kain kafan seperti orang meninggal,
disumpah di bawah kitab suci Al Qur’an. Sumpah pocong memiliki konsekuensi, bila
keterangan atau janjinya tidak benar, orang yang disumpah diyakini dapat hukuman
Tuhan (Intisari, Desember 1996 ; Surya, 30 April 2002).
Istilah sumpah pocong dipakai karena dalam prosesinya memang menggunakan
atribut si mayit bungkus itu. Mulai dari kain kafan sampai katanya juga dimandikan
seperti layaknya mayit sungguhan. Sumpah pocong sendiri sampai hari ini digunakan
walaupun tidak sering. Pasalnya, sumpah ini hanya akan terjadi jika muncul masalah
yang nggak bisa diselesaikan dengan cara biasa.
Dalam sejarah, tidak ada satu pun literatur yang membahas secara khusus tentang
sumpah pocong. Tetapi, menurut orang tua sumpah ini sudah ada sejak zaman dulu dan
jadi semacam ritual kepercayaan sehingga sudah menjadi tradisi untuk menyelesaikan
suatu permasalahan sengketa di Pacitan. Dipercaya sumpah ini berasal dari kebiasaan
orang-orang jawa. Sumpah pocong hanya dilakukan oleh orang muslim. Meskipun begitu,
tidakada aturan di dalam Islam soal sumpah pocong ini.
Sumpah pocong pada masyarakat Pacitan dalam menyelesaikan sengketa
memiliki makna, sehingga hal ini sangat mempengaruhi pelaksanaannya. Dalam
memaknai suatu peristiwa seperti sumpah pocong, maka pengertian makna itu sendiri
adalah nilai yang digunakan sebagai pedoman oleh seseorang atau masyarakat untuk
berperilaku. Hal ini biasanya diikuti dengan tuntutan emosional. Secara emosional
seseorang atau masyarakat merasa perilaku tertentu adalah benar dan perilaku yang lain
salah. Dalam setiap peristiwa, makna ditempatkan dan disimpan dalam simbol - simbol
seperti dalam sumpah pocong adalah kain kafan warna putih dan kitab suci Al Qur’an.
Simbol itu sendiri adalah sesuatu yang dianggap sebagai gambaran atas suatu pemikiran
atau realita.
Simbol tidak menunjuk langsung pada apa yang digambarkan, namun
membimbing pemahaman subyek terhadap obyek. Arti dari suatu simbol merupakan
hasil dari kesepakatan antara orang-orang yang menerimanya sebagai simbol.
Demikian pula dengan sumpah pocong yang dilakukan masyarakat Pacitan. Masyarakat
Pacitan masih melakukan sumpah pocong untuk menentukan perilaku mana yang benar
dan yang salah. Sumpah pocong tersebut dilaksanakan berkaitan erat dengan pola
penghayatan dalam memaknai peristiwa.
2.1.2 MAKNA SUMPAH POCONG
Untuk mencari makna yang terkandung didalam sumpah pocong pada
masyarakat Pacitan harus mengacu pada pengertian sumpah (sompa) yang berarti suatu
per-nyataan tentang keterangan atau janji, yang diucapkan dihadapan kyai
Makna sumpah pocong pada masyarakat Pacitan selain berkaitan dengan harkat
dan martabat juga mempunyai makna untuk membawa keharmonisan kehidupan sosial
masyarakat. Karena sengketa-sengketa yang ada itu merusak tatanan yang ada arosak
atoran (merusak aturan). Jika tindakan ini dibiarkan berlarut-larut maka tatanan sosial
secara keseluruhan akan rusak. Oleh karena itu, demi menjaga agar tatanan sosial yang
terlanjur dirusak itu menjadi normal kembali sebagaimana semula pelakunya harus
segera di sumpah pocong. Dengan demikian sumpah pocong yang berakibat kematian
merupakan resiko yang harus diterima sebagai “bentuk pertanggung jawaban” atas
tindakannya tersebut.
Kenyataan bahwa sumpah pocong merupakan suatu pola yang harus dilakukan
secara kronologis dan sakral. Masyarakat Pacitan menganggap bahwa sumpah pocong
mempunyai nilai sakral dan berbagai makna karena di-laksanakan di dalam masjid,
adanya sim-bol ayam putih dan kain kafan, serta orang yang di-sumpah harus minum
air putih dan mengelilingi pohon sawo. Sedangkan model “bagi” (pattern for)
kenyataan ada-nya konsep pemikiran, pedoman, nilai-nilai dan norma-norma
masyarakat Pacitan mengenai tutunan berperilaku. Apabila manusia dalam berperilaku
melanggar nilai-nilai dan norma - norma masyarakat, akan mendapat sanksi Tuhan
(seperti kematian).
Pasca dari sumpah pocong mempunyai dampak baik secara pribadi maupun
sosial yang bersifat positif dan negatif. Secara positif, masyarakat menjadi lebih
tentram, tatanan sosial menjadi harmonis karena tidak ada permusuhan lagi dan
dianggap keadilan sudah terwujud. Meskipun sumpah pocong mendapat dukungan
sosial namun tetap menimbulkan akibat sosial tertentu. Misalnya, orang yang telah
bersumpah dikenal sebagai keluarga penyumpah. Konsekuensi yang mereka terima
adalah pengucilan dari masyarakat, masyarakat membatasi diri untuk berkomunikasi
dengan keluarga penyumpah tersebut.
2.1.3 PROSES PELAKSANAAN SUMPAH POCONG
Gagasan untuk melakukan sumpah pocong sebagai penyelesaian sengketa
(disputing process), diajukan penggugat yang merasa sangat yakin berada di pihak yang
paling benar. Tertuduh juga mempunyai keyakinan pada pihak yang benar. Pada
umumnya penggugat-tergugat tidak ingin permasalahan diselesaikan melalui jalur
peradilan, dikarenakan tidak mempunyai bukti-bukti yang lengkap dan saksi-saksi yang
kuat. Mereka memilih sumpah pocong supaya persoalan tidak berlarut-larut dan segera
diselesaikan untuk memastikan siapa yang salah dan siapa yang benar.
Selain itu, penyelesaian sengketa melalui sumpah pocong dianggap oleh
masyarakat tidak akan menghabiskan uang, tenaga, dan waktu yang banyak.
Penggugat-tergugat dalam pelaksanaan sumpah pocong selalu didukung oleh kerabat
dan temannya, yang lebih dikenal dengan sebutan bala, kanca. Bala, kanca merupakan
relasi sosial dengan tingkat keakraban dan semangat keakraban (friendship) paling
tinggi.
Menurut pengertian orang Pacitan, bala selain menunjuk pada pengertian
teman, juga menunjuk pada orang-orang yang mempunyai hubungan kekerabatan,
sehingga bala sering kali diartikan identik dengan taretan. Dengan demikian, taretan
dalem (kerabat inti atau core kin) seringkali disebut juga sebagai bala dalem, taretan
semma’ (kerabat dekat atau close kin), sebagai bala semma’ dan taretan jau (kerabat
jauh atau peripheral kin) sebagai bala jau.
Sebelum diadakan pelaksanaan sumpah pocong, penggugat-tergugat datang
bersama-sama dengan didukung bala, kanca-nya ke kepala desa. Kepala desa setempat
menanyakan persoalan apa yang terjadi kepada penggugat-tergugat. Setelah
mengetahui persoalannya, kepala desa biasanya menasehati mereka lebih baik
diselesaikan dengan jalan damai atau musyawarah.
Pada umumnya penggugat-tergugat bersikukuh bahwa dirinya benar dan
memaksa kepala desa setempat untuk segera membuat surat pernyataan mengenai
pelaksanaan sumpah pocong. Akhirnya kepala desa setempat membuat surat
pernyataan pelaksanaan sumpah pocong untuk diajukkan kepada kepala desa Bungur,
Kecamatan Tulakan, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Surat pernyataan tersebut juga
harus diketahui Kapolsek setempat. Biasanya Kapolsek langsung menandatangani.
Menurut Kapolsek kalau surat pernyataan tidak segera ditanggapi dan dilaksanakan
sumpah pocong, dikhawatirkan ada carok.
Setelah surat pernyataan ditanda tangani Kapolsek, penggugat-tergugat
langsung pergi untuk menemui kepala desa Bungur. Kepala desa Bungur memberikan
beberapa ketentuan dan syarat-syarat pada saat pelaksanaan sumpah pocong. Ketentuan
dan syarat-syarat untuk saat pelaksanaan sumpah pocong adalah biaya Rp 2.000.000,-,
satu ekor ayam putih dan kain kafan 9 meter. Perincian biaya Rp 2.000.000,- digunakan
untuk Rp 500.000 untuk kas kepala desa, masingmasing Rp 25.000,- untuk enam santri
yang membantu untuk pelaksanaan sumpah pocong, Rp. 100.000,- untuk kyai, masing-
masing Rp 50.000,- untuk dua orang dari Kapolsek setempat dan dua orang dari
Kapolsek Sampang, sisanya sekitar Rp 1.050.000 untuk kas masjid desa Bungur.
Umumnya biaya ini ditanggung penggugat. Sedangkan satu ekor ayam putih dan kain
kafan 9 meter digunakan saat prosesi sumpah pocong.
Setelah penggugat-tergugat menyetujui dan sepakat untuk tetap melaksanakan
sumpah pocong, kepala desa Bungur membuat surat pemberitahuan kepada Kapolsek
Bungur untuk hadir dalam pelaksanaan sumpah pocong. Hal ini dimaksudkan Kapolsek
Bungur selain sebagai saksi, juga mengamankan jalannya sumpah pocong untuk
menghindari terjadinya pertarungan antar kerabat dari pihak penggugat-tergugat.
Pada saat pelaksanaan sumpah pocong, dihadiri dua orang dari Kapolsek
setempat dan dua orang dari Kapolsek Bungur, penggugat-tergugat beserta bala,
kancanya masing-masing paling sedikit 20 orang. Penggugat-tergugat diminta kyai
dipersilahkan untuk berwudlu. Berwudlu mempunyai makna mensucikan tubuh
manusia secara lahir maupun batin. Setelah berwudlu, pihak tergugat terlebih dahulu
untuk mengenakan kain kafan. Seluruh tubuhnya dibungkus dengan kain kafan, kecuali
muka. Bagian tubuh yaitu kaki, lutut, perut diikat dan dibaringkan dengan kepala di
sebelah utara, kaki di selatan menghadap ke barat. Kyai duduk di depan orang yang
akan disumpah dengan membawa pengeras suara dan dibantu empat santri membawa
Al Qur’an Ajimat. Kyai menuntun tergugat membaca: Syahadat, seperti Asyhadu Alla
Illaha Illallah Wa Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullah yang artinya Tiada Tuhan
Selain Allah, dan Muhammad Adalah Utusannya. Makna dari membaca Syahadat ini
adalah Tuhan itu satu, tidak ada pembandingnya dan mengetahui atas segala perbuatan
manusia yang baik dan yang tercela. Setelah membaca Syahadat, tertuduh
mengucapkan sumpah yaitu:

“Demi Allah, saya melakukan sumpah pocong karena


saya tertuduh oleh …………. (nama penggugat) berbuat
…………….(misalnya tuduhan santet, masalah bisnis,
utang piutang, perselingkuhan, pencurian dan masalah aib
seperti hamil diluar nikah). Manakala tuduhan itu benar,
saya tertuduh akan mendapatkan laknat dari Allah. Se-
baliknya kalau tuduhan tersebut salah, maka laknat
tersebut akan kembali kepada yang menuduh”.

Setelah tergugat membaca syahadat dan pengucapan sumpah, penggugat juga


me-lakukan proses yang sama. Penggugat membaca Syahadat dan dilanjutkan
pengucapan sumpah. Pengucapan sumpahnya seperti :

“Demi Allah, saya melakukan sumpah pocong karena


saya menuduh …………. (nama tergugat) berbuat ...........
(misal-nya tuduhan santet, masalah bisnis, utang piutang,
perselingkuhan, pencu-rian dan masalah aib seperti hamil
di luar nikah). Manakala dalam menuduh itu salah, saya
sebagai pihak penuduh akan mendapatkan laknat dari
Allah. Sebaliknya kalau penuduh tersebut benar, maka
laknat tersebut akan kembali kepada yang tertuduh”.

Setelah pengucapan sumpah, tergugat-penggugat minum air putih yang telah di-
celupkan dengan tongkat ajimat. Makna dari minum air putih adalah sumpah yang
diucapkan tergugat - penggugat bukan hanya sebatas ucapan saja, akan tetapi ha-kikat
dari sumpah itu adalah seluruh tu-buh baik jiwa dan raga juga ikut terkena sumpah.
Kemudian tergugat-penggugat keluar masjid, setelah itu Kyai memotong ayam yang
berwarna putih. Ayam yang telah disembelih dan mati tersebut diletakkan di tanah.
Prosesi dilanjutkan dengan tergugat-penggugat yang secara bergiliran melangkahi
(Jawa: nglangkahi) bangkai ayam. Ayam putih dipilih sebagai media prosesi sumpah
pocong karena ayam putih secara filosofis diartikan sebagai perwujudan hal yang suci.
Tujuan pelibatan media ayam putih adalah jika salah satu dari tergugat-
penggugat menemui ajalnya maka diharapkan dalam keadaan suci. Prosesi berjalan di
atas bangkai ayam putih dilakukan sebanyak tujuh kali. Langkah pertama dimulai
dengan menghadap ke barat. Setelah itu tergugat - penggugat diminta Kyai untuk
berjalan mengelilingi pohon sawo yang berada di belakang Masjid Madegan sebanyak
tujuh kali. Langkah ini diartikan sebagai upaya untuk mencari kebenaran dari kedua
pihak tergugat-penggugat dan siapapun yang bersalah diharapkan akan mendapat
hukuman dari Tuhan.
Sumpah pocong yang dikatakan sebagai disputing proces melalui jalur di luar
peradilan; ternyata sebelum dan saat prosesi sumpah pocong diperlukan adanya
pelegalan dari aparat negara (legal structure). Dalam hal ini menurut Hooker (1987:26)
disebut percampuran struktur (Coumpounding Struction), yaitu adanya penyelesaian
sengketa melalui jalur di luar peradilan dipengaruhi oleh adat yang terikat oleh
kebijakan negara.
Bagi pihak-pihak yang bersengketa menyelesaikan perkara di luar pengadilan
merupakan jalur yang efektif karena secara tenaga dan waktu lebih cepat prosesnya
dibanding dengan jalur hukum konstitusional. Selain itu dilihat dari rasa keadilan belum
tentu penyelesaian yang dilakukan melalui pengadilan legal (pengadilan konstitusional)
dengan keputusan berdasarkan kepastian hukum memberi kepuasan bagi yang
bersengketa. Penyelesaian sengketa di bawah bimbingan pemuka agama (kyai) lebih
dirasakan sebagai keadilan yang membawa kondisi sosial kembali stabil (harmonis).

2.2 SUMPAH POCONG SEBAGAI ALAT KEJUJURAN SETIAP SENGKETA


PERMASALAHAN
Sering kita lihat dan dengar bahwa masyarakat daerah Jawa masih melakukan sebuah ritual
yang dilakukan apabila terjadi sengketa. Persengketaan akan muncul karena adanya konflik
antar seseorang sebagai penggugat melawan orang lain sebagai tergugat dan masing –
masing pihak yang bersengket. Akan tetapi, kurangnya bukti – bukti dan saksi – saksi
sehingga tidak mungkin untuk diselesaikan ke jalur peradilan. Sebab itu, pihak yang
bersengketa hanya bicara, bersikukuh pada dalil masing - masing dan tidak mempunyai
bukti yang lengkap untuk mencari fakta yang benar, maka mereka menyelesaikan sengketa
melalui sumpah pocong. Namun, dalam ketentuan hukum yang berlaku, sumpah pocong
tanpa adanya surat - surat dan saksi - saksi tidak termasuk dalam salah satu alat bukti dalam
persidangan. Dengan melalui tahap pembuktian, hakim akan memperoleh dasar - dasar
untuk menjatuhkan putusan dalam menyelesaikan suatu persengketaan. Di dalam
pengadilan juga terdapat sumpah sebagai salah satu alat bukti di persidangan. Namun,
sumpah yang dimaksud adalah bukan sumpah pocong yang tidak memiliki bukti – bukti
dan saksi – saksi pembantu, melaiankan pernyataan yang diucapkan dalam rangka
memberikan keterangan dalam suasana yang yang khidmat dan religius mengingat
kemahakuasaan Tuhan yang berjanji di hadapan hakim. Jika seseorang memberi
keterangan yang tidak benar atau palsu akan mendapatkan hukuman dari Tuhan.
Sumpah yang dimaksud ini sebagai salah satu alat bukti selain surat – surat, persangkaan,
dan sumpah, bukan sumpah pocong yang tidak memiliki bukti dan saksi pendukung.
Tujuanna adalah mewujudkan kejujuran di persidangan. Karena sumpah pada persidangan
akan memberikan sugesti dan rasa takut kepada pihak yang melakukan kemudian mau
memberikan keterangan yang jujur. Oleh karena itu, sumpah pocong tidak dapat diajukan
melalui jalur peradilan karena tidak memiliki bukti – bukti dan saksi – saksi yang kuat.
Sehingga, masyarakat Kabupaten Pacitan menggunakan Sumpah pocong untuk dijadikan
alat kejujuran dan dijadikan sebagai media penyelesaian perkara atau sengketa
permasalahan, dimana masyarakat Pacitan meyakini sumpah pocong tersebut sebagai
hukum adat atau kebiasaan masyarakat yang menjadi budaya masyarakat Kabupaten
Pacitan.. Melalui sumpah pocong, berharap dapat mengetahui dan membuktikan siapa yang
salah dan siapa yang benar dan selanjutnya akan menjalani konsekuensinya. Karena
masyarakat Kabupaten Pacitan meyakini sumpah pocong membawa dampak langsung
terhadap para pihak yang mengucapkannya.
Sumpah pocong yang dilakukan masyarakat Kabupaten Pacitan untuk menyelesaikan
sengketa memiliki makna, sehingga hal ini sangat mempengaruhi pelaksanaannya, karena
pelaku meminta kepada Allah SWT agar menimpakan adzab atau laknat atas dirinya jika
pernyataan tersebut adalah dusta. Dengan demikian masyarakat yang melakukan sumpah
pocong sebagai alat kejujuran guna menentukan perilaku mana yang benar dan yang salah.
Sebenarnya antara penggugat dan tergugat juga tidak ingin persengketaan ini diselesaikan
melalui jalur peradilan, karena mereka tahu bahwasannya untuk pergi ke pengadilan harus
memiliki bukti – bukti dan saksi – saksi yang kuat dan mendukung. Sedangkan sengketa
permasalahan yang mereka alami tidak mempunyai bukti - bukti yang lengkap dan saksi -
saksi yang kuat. Akhirnya sampai sekarang sumpah pocong selalu digunakan masyarakat
Kabupaten Pacitan untuk menyelesaikan sengketa permasalahan apabila tidak dimiliki
bukti dan saksi yang mendukung supaya persoalan tidak berlarut - larut dan segera
diselesaikan untuk memastikan siapa yang salah dan siapa yang benar dengan campur
tangan Allah Swt. Ukuran validitas sumpah ini adalah keyakinan pada diri pelaku terhadap
campur tangan Allah SWT dalam persoalan yang dihadapinya. Sumpah pocong
dilaksanakannya karena adanya fitnah atas diri para pihak atau sengketa yang tidak ada
bukti pendukung.
Pada hakekatnya kalau kita melihat dan mengkaji konsekuensinnya dari ritual sumpah
pocong ini, akan berhadapan dan berurusan langsung dengan kekuatan yang Maha Pencipta
maka, tujuan dilakukannya sumpah pocong ini adalah sebagai alat kejujuran untuk
membuktikan kebenaran suatu peristiwa hukum yang di persengketakan oleh para pihak
yang berperkara. Apabila keterangan atau janjinya tidak benar, orang yang disumpah
diyakini mendapat hukuman dari Tuhan. Hukuman dalam hal ini yang diterima biasanya
adalah dalam bentuk sanksi Tuhan seperti kematian. Karena dalam sumpah pocong,
sumpah berarti suatu ungkapan pernyataan tentang keterangan atau janji yang diucapkan
dihadapan kyai atau tokoh agama dengan mengingat sifat kemahakuasaan Tuhan.
Sedangkan pocong berarti mayat yang diselubungi dengan kain kafan. Jadi sumpah pocong
berarti pernyataan tentang janji yang dilakukan oleh penganut agama Islam, dengan cara
dibalut seluruh tubuhnya dengan kain kafan seperti orang meninggal, serta disumpah di
bawah kitab suci Al Qur’an. Sehingga, apabila keterangan atau janjinya tidak benar, orang
yang disumpah diyakini mendapat hukuman dalam bentuk kematian. Dengan demikian
sumpah pocong yang berakibat pada kematian merupakan resiko yang harus diterima
sebagai bentuk pertanggung jawaban atas tindakan yang tidak jujur tersebut.

2.3 KEKUATAN SUMPAH POCONG DALAM HUKUM ISLAM


Bersumpah dinilai sebagai upaya seseorang untuk meyakinkan bahwa apa yang
dikatakan atau dilakukan benar dan tidak ada kebohongan. Salah satu cara bersumpah yang
meyakinkan adalah sumpah dengan membawa nama Tuhan. penjelasan tersebut
dipaparkan dalam firman Allah yang berbunyi “Dan janganlah kamu jadikan sumpah-
sumpahmu sebagai alat penipu di antaramu, yang menyebabkan tergelincir kaki(mu)
sesudah kokoh tegaknya, dan kamu rasakan kemelaratan (di dunia) karena kamu
menghalangi (manusia) dari jalan Allah , dan bagimu adzab yang besar”.
Salah satu sumpah yang lazim ditemui dalam masyarakat adalah sumpah pocong.
Sumpah pocong sendiri sering dikaitkan dengan mengikat janji dengan Tuhan. Sumpah
pocong yang biasa ditemui dalam masyarakat termasuk melaknat orang lain dan meminta
Allah SWT untuk menjatuhkan laknat pada mereka yang berdusta. Orang yang bersumpah
dibawa ke mimbar rumah ibadah agama yang dipeluk dan diupacarakan seperti orang
meninggal.

Terkait hal tersebut, para ulama NU menyatakan fenomena sumpah pocong


merupakan fenomena ajaran Islam yang menyesatkan karena sumpah pocong tidak ada
dalam Al-Quran. Dalam Al-Quran hanya ada sumpah hak dan sumpah palsu yang
dilakukan di bawah Al-Quran dan mengucapkan sumpahnya. Rasulullah SAW bersabda,
“Barang siapa bersumpah dengan selain Allah, maka dia telah berbuat kekafiran atau
kemusyikan.” (HR. Tirmidzi).

Sumpah pocong dalam Islam dipandang sebagai suatu kemusyikan karena dianggap
menyekutukan Allah dengan bersumpah pada selain Allah dan tidak diampuni Allah. Allah
SWT berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia
mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.
Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang
besar.”(QS An Nisa : 48).

Ada pendapat yang menyatakan bahwa sumpah pocong di Indonesia hanya istilah
saja. Mereka bersumpah tetap dengan nama Allah hanya saja dengan mengikuti tradisi
tersebut dengan harapan tidak ada tuduhan di masyarakat maka hal itu diperbolehkan.
Tetapi sebagai pencegahan dari syirik, ada baiknya bersumpah dengan nama Allah saja
tanpa embel-embel (pocong, kitab, orang tua, nenek moyang). Pada hakikatnya tradisi
sumpah pocong sudah sangat kental di lingkungan masyarakat sehingga cukup sulit untuk
mengubahnya selama masih berpegang pada fakta bahwa sumpah pocong merupakan jalan
terakhir dalam menghadapi kasus tanpa bukti yang valid secara hukum.
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 TAHAPAN KEGIATAN


Penelitian ini merupakan penelitian untuk menganalisa “Tradisi Masyarakat Jawa
Dalam Melakukan Sumpah Pocong” Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui
gambaran dan permasalahan tentang sumpah pocong. Selengkapnya dapat dilihat pada:

TAHAP KEGIATAN HASIL

Tahap 1 1. Menentukan
rumusan masalah
Perencanaan 2. Menentukan ruang Proposal Penelitian
lingkup dan tujuan
3. Menentukan judul

1. Data primer
Tahap 2 1. Observasi
2. Data sekunder
Pengumpulan 2. Wawancara
Data 3. Literatur

1. Wawancara reduksi 1. Hasil wawancara,


Tahap 3 data, analisis, reduksi data,
interpretasi data dan analisis, interpretasi
Analisis dan
Pembahasan triangulasi data dan triangulasi
2. Menarik kesimpulan 2. Hasil menarik
kesimpulan

Tahap 4 1. Dokumentasi
laporan penelitian Laporan penelitian
Dokumentasi 2. Presentasi hasil
penlitian
3.1.1 TAHAP-TAHAP PENELITIAN
Adapun tahap-tahap yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
A. Tahap Perencanaan
Tahap perencanaan merupakan tahap awal dalam penelitian. Ada beberapa hal yang
ditentukan dalam tahap perencanaan ini, yaitu:
1. Menentukan masalah
Permasalahan merupakan kunci utama kenapa tugas akhir ini dibuat. Laporan
Penelitian ini dibuat untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Dalam proses
perumusan masalah, peneliti melakukan observasi untuk melihat keadaan secara
langsung di Kabupaten Pacitan
2. Menentukan ruang lingkup dan tujuan
Penentuan ruang lingkup ini dilakukan agar penelitian lebih terarah, sedangkan
tujuan merupakan sasaran yang akan dicapai dalam penyusunan Laporan Penelitian.
3. Menentukan Judul
Judul akan menggambarkan isi dari laporan. Berdasarkan permasalahan yang ada,
maka dapat disimpulkan judul untuk penelitian ini adalah “Tradisi Masyarakat Jawa
Dalam Melakukan Sumpah Pocong”
B. Tahap Pengumpulan Data
Tahap yang selanjutnya adalah tahap pengumpulan data. Data diperlukan untuk
mempermudah peneliti melakukan penelitian. Dalam proses pengumpulan data, ada
beberapa teknik yang dilakukan, yaitu sebagai berikut:
1. Observasi atau Pengamatan
Peneliti mendatangi tempat penelitian untuk mengamati tradisi Sumpah Pocong
yang dilakukan di Kabupaten Pacitan
2. Wawancara
Melakukan wawancara atau menanyakan kepada objek yang akan diteliti tentang
penelitian yang dilakukan. Sumber yang akan diwawancarai adalah bagian :
a. Tradisi masyarakat Jawa dalam melakukan sumpah pocong
b. Sumpah pocong digunakan sebagai alat kejujuran setiap sengketa
permasalahan
c. Kekuatan sumpah pocong dalam hukum islam
3. Literature
Peneliti mengumpulkan data dari buku-buku, jurnal, dan internet
C. Analisis Dan Pengolahan Data
Analisis data kualitatif dilakukan apabila data empiris yang diperoleh adalah
data kualitatif berupa kumpulan berwujud kata-kata dan bukan rangkaian angka serta
tidak dapat disusun dalam kategori-kategori/struktur klasifikasi. Data bisa saja
dikumpulkan dalam aneka macam cara (observasi, wawancara, intisari dokumen, pita
rekaman) dan biasanya diproses terlebih dahulu sebelum siap digunakan (melalui
pencatatan, pengetikan, penyuntingan, atau alih-tulis), tetapi analisis kualitatif tetap
menggunakan kata-kata yang biasanya disusun ke dalam teks yang diperluas, dan tidak
menggunakan perhitungan matematis atau statistika sebagai alat bantu analisis.
Menurut miles dan Huberman, kegiatan analisis terdiri dari tiga alur kegiatan yang
terjadi secara bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan
kesimpulan/verivikasi. Terjadi secara bersamaan berarti reduksi data , penyajian data,
dan penarikan kesimpulan/verivikasi sebagai sesuatu yang saling jalin menjalin
merupakan proses siklus dan interaksi pada saat sebelum, selama, dan sesudah
pengumpulan data dalam bentuk sejajar yang membangun wawasan umum yang
disebut “analisis” (Ulber Silalahi, 2009: 339). Teknik analisis data yang digunakan
dalam penelitian kualitatif mencakup transkip hasil wawancara, reduksi data, analisis,
interpretasi data dan triangulasi. Dari hasil analisis data yang kemudian dapat ditarik
kesimpulan. berikut ini adalah teknik analisis data yang digunakan oleh peneliti:
1. Reduksi Data
Reduksi data bukanlah suatu hal yang terpisah dari analisis. Reduksi data diartikan
sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan,
pengabstraksian, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan
tertulis di lapangan. Kegiatan reduksi data berlangsung terus-menerus, terutama
selama proyek yang berorientasi kualitatif berlangsung atau selama pengumpulan
data. Selama pengumpulan data berlangsung, terjadi tahapan reduksi, yaitu
membuat ringkasan, mengkode, menelusuri tema, membuat gugus-gugus, membuat
partisi, dan menulis memo.
Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan,
mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data sedemikian
rupa sehingga kesimpulan-kesimpulan akhirnya dapat ditarik dan diverivikasi.
Reduksi data atau proses transformasi ini berlanjut terus sesudah penelitian
lapangan, sampai laporan akhir lengkap tersusun. Jadi dalam penelitian kualitatif
dapat disederhanakan dan ditransformasikan dalam aneka macam cara: melalui
seleksi ketat, melalui ringkasan atau uraian sigkat, menggolongkan dalam suatu
pola yang lebih luas, dan sebagainya.
2. Triangulasi
Selain menggunakan reduksi data peneliti juga menggunakan teknik Triangulasi
sebagai teknik untuk mengecek keabsahan data. Dimana dalam pengertiannya
triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu
yang lain dalam membandingkan hasil wawancara terhadap objek penelitian
(Moloeng, 2004:330) Triangulasi dapat dilakukan dengan menggunakan teknik
yang berbeda (Nasution, 2003:115) yaitu wawancara, observasi dan dokumen.
Triangulasi ini selain digunakan untuk mengecek kebenaran data juga dilakukan
untuk memperkaya data. Menurut Nasution, selain itu triangulasi juga dapat
berguna untuk menyelidiki validitas tafsiran peneliti terhadap data, karena itu
triangulasi bersifat reflektif.
Murti B., 2006 menyatakan bahwa tujuan umum dilakukan triangulasi adalah untuk
meningkatkan kekuatan teoritis, metodologis, maupun interpretatif dari sebuah
riset. Dengan demikian triangulasi memiliki arti penting dalam menjembatani
dikotomi riset kualitatif dan kuantitatif, sedangkan menurut Yin R.K, 2003
menyatakan bahwa pengumpulan data triangulasi (triangulation) melibatkan
observasi, wawancara dan dokumentasi.
Penyajian data merupakan kegiatan terpenting yang kedua dalam penelitian
kualitatif. Penyajian data yaitu sebagai sekumpulan informasi yang tersusun
member kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan
(Ulber Silalahi, 2009: 340).
Penyajian data dalam kualitatif sekarang ini juga dapat dilakukan dalam berbagai
jenis matriks, grafik, jaringan, dan bagan. Semuanya dirancang untuk
menggabungkan informasi yang tersusun dalam suatu bentuk yang padu padan dan
mudah diraih. Jadi, penyajian data merupakan bagian dari analisis.
3. Menarik Kesimpulan
Kegiatan analisis ketiga adalah menarik kesimpulan dan verivikasi. Ketika kegiatan
pengumpullan data dilakukan, seorang penganalisis kualitatif mulai mencari arti
benda-benda, mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi-konfigurasi
yang mungkin, alur sebab akibat, dan proposisi. Kesimpulan yang mula-mulanya
belum jelas akan meningkat menjadi lebih terperinci. Kesimpulan-kesimpulan
“final” akan muncul bergantung pada besarnya kumpulan-kumpulan catatan
lapangan, pengkodeannya, penyimpanan, dan metode pencarian ulang yang
digunakan, kecakapan peneliti, dan tuntutan pemberi dana, tetapi sering kali
kesimpulan itu telah sering dirumuskan sebelumnya sejak awal.
D. Tahap Dokumentasi
Pada tahap ini yang dilakukan adalah Melakukan proses dokumentasi secara tertulis
dalam bentuk sebuah laporan penelitian untuk lebih memperjelas hasil dari penelitian
tentang Tradisi Masyarakat Jawa Dalam Melakukan Sumpah Pocong
3.2 IDENTIFIKASI OPERASIONAL VARIABEL
Berdasarkan judul penelitian, variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah variabel
independen dan variabel dependen, adapun penjelasannya sebagai berikut:
1. Variabel Independen (Bebas)
Variabel independen sering juga disebut variabel bebas. Variabel independen
merupakan variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi perubahannya atau
timbulnya variabel dependen menutut Sugiyono (2016: 37). Pada penelitian ini
variabel-variabel independennya adalah:
a. Tradisi Masyarakat
Tradisi adalah adat kebiasaan turun-temurun yang masih dijalankan di dalam
masyarakat. Sebelum datangnya Islam, masyarakat Nusantara telah mengenal
berbagai kepercayaan. Hal ini lah yang menjadikan proses dakwah Islam ketika itu
tidak terlepas dari adat yang telah berlaku. Kepercayaan masyarakat yang sangat
kuat ini, tidak dapat diberantas secara langsung, namun perlu waktu proses yang
cukup lama. Tradisi Islam di Nusantara merupakan hasil akulturasi (percampuran
budaya) antara ajaran Islam dengan adat yang ada di Nusantara.
b. Alat kejujuran
Secara emosional seseorang atau masyarakat merasa perilaku tertentu adalah benar
dan perilaku yang lain salah. Dengan demikian masyarakat yang melakukan
sumpah pocong sebagai alat kejujuran guna menentukan perilaku mana yang benar
dan yang salah.
2. Variabel Dependen (Terikat)
Variabel dependen sering juga disebut variabel terikat. Variabel terikat
merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena adanya variabel
bebas (Sugiyono, 2016: 37). Pada penelitian ini variabel dependennya adalah Tradisi
sumpah dalam masyarakat Jawa. Sumpah pada umumnya adalah merupakan suatu
pernyataan yang amat khidmat yang diucapkan ataupun diberikan pada waktu
memberi janji atau keterangan dengan mengingat akan sifat mahakuasa daripada
Tuhan, dan percaya bahwa siapa saja yang memberi keterangan atau janji yang
tidak benar akan dihukum olehNya. Jadi pada hakekatnya sumpah merupakan tindakan
yang bersifat religius yang digunakan dalam peradilan (Sudikno, 2002).
Sumpah berarti suatu pernyataan tentang keterangan atau janji, yang diucapkan
dihadapan kyai (tokoh agama) dengan mengingat sifat kemahakuasaan Tuhan.
Sedangkan pocong berati mayat yang diselubungi dengan kain kafan. Jadi sumpah
pocong berarti pernyataan tentang janji yang dilakukan oleh penganut agama Islam,
dengan cara dibalut seluruh tubuh dengan kain kafan seperti orang meninggal,
disumpah di bawah kitab suci Al Qur’an. Sumpah pocong memiliki konsekuensi, bila
keterangan atau janjinya tidak benar, orang yang disumpah diyakini dapat hukuman
Tuhan (Intisari, Desember 1996 ; Surya, 30 April 2002).
3.3 KERANGKA KONSEPTUAL
Kerangka konsep merupakan model konseptual yang berkaitan dengan bagaimana seorang
peneliti menghubungkan secara logis faktor yang dianggap penting untuk masalah.
Kerangka konsep membahas tentang variabel yang dianggap perlu untuk melengkapi hal
yang sedang atau akan diteliti. Kerangka konsep dari penelitian ini yaitu:

Tradisi Masyarakat Jawa Dalam Melakukan Sumpah Pocong


Sub variabel Tradisi Masyarakat Jawa Dalam Melakukan Sumpah Pocong yaitu:
a. Tradisi masyarakat jawa melakukan sumpah pocong
b. Tata cara masyarakat dalam melakukan sumpah pocong
c. Sumpah pocong sebagai alat kejujuran
d. Sumpah pocong sebagai penyelesaian sengketa permasalahan
e. Sumpah pocong dalam hokum islam

Ket:

= variabel yang diteliti


3.4 LOKASI PENELITIAN
Penelitian ini berlokasi di Dusun Jatigunung, Desa Bungur, Kecamatan Tulakan,
Kabupaten Pacitan, Jawa Timur
3.5 JENIS DATA
Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Data kualitatif, yaitu
data yang disajikan dalam bentuk kata verbal bukan dalam bentuk angka, yang termasuk
data kualitatif dalam penelitian ini yaitu gambaran umum obyek penelitian. Data tersebut
mungkin berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, fotho, videotape, dokumen
pribadi, catatan atau memo, dan dokumen resmi lainnya.
3.6 METODE PENGUMPULAN DATA
Untuk memperoleh data yang dikehendaki sesuai dengan permasalahan dalam
skripsi ini, maka penulis menggunakan metode-metode sebagai berikut :
1. Metode Observasi
Observasi disebut juga pengamatan, yang meliputi kegiatan pemantaun perhatian
terhadap sesuatu objek dengan menggunakan seluruh alat indera
2. Metode Wawancara
Dalam penelitian ini metode wawancara digunakan untuk menggali data tentang sejarah
atau latar belakang terjadinya sumpah pocong, letak geografis obyek penelitian,
efektifitas dalam pembelajaran, Adapun instrumen pengumpulan datanya berupa
pedoman wawancara yang terstruktur sebelumnya, dengan mewawancarai Sesepuh
yang ada di Desa Bungur Kecamatan Tulakan Kabupaten Pacitan.
3. Metode Dokumentasi
Di dalam melaksanakan metode dokumentasi, peneliti mendapatkan data-data tertulis.
Termasuk metodologi pendekatan fenomenologi karena salah satu ilmu tentang
fenomena atau yang nampak, untuk menggali esensi makna yang terkandung di
dalamnya. Fenomenologi merupakan salah satu dari gerakan pembaharuan yang
dimaksud, yang mana metode fenomenologi itu sendiri merupakan alat untuk
memverivikasi atau mengungkapkan hakikat fenomena yang tersembunyi. Tujuan
utama penelitian fenomenologi adalah menghasilkan sebuah gambaran yang jelas, tepat
dan sistematis serta menjelaskan makna dari hal yang diteliti melalui data deskriptif.
Termasuk kasus emik karena Sumpah Pocong berangkat dari budaya masyarakat orang
jawa.
3.7 ANALISIS DATA
Dalam penelitian ini dilakukan analisis data open coding, Strauss & Corbin
(1990, p.61) mendefinisikan open coding sebagai proses untuk mem-break-down data,
mempelajari satu demi satu, membandingkan, dan mengkonseptualisasikan data. Jadi
tujuan pada tahap ini adalah untuk penamaan dan pengkategorian fenomena melalui
pencermatan data. Termasuk dalam tahap ini adalah mengenali konsep-konsep yang
merepresentasikan fenomena yang sejenis, hal ini disebut dengan pengkategorian
(categorizing). Fenomena yang merepresentasikan sebuah kategori diberikan nama
konseptual yang lebih abstrak dibandingkan dengan nama yang diberikan kepada
konsep awal.
Dalam penelitian ini, open coding dilakukan dalam berbagai makna yang
ditemui dalam data yang berupa transkrip wawancara, catatan lapangan, dokumentasi
foto, serta dokumen-dokumen pendukung.

Anda mungkin juga menyukai