Anda di halaman 1dari 44

BAB II

LANDASAN TEORI

A. ANATOMI DAN FISIOLOGI

1. Gambar Anatomi dan Fisiologi Sistem Imun

Gambar 2.1 Anatomi Fisiologi Sistem Imun

2. Anatomi dan Fisiologi Sistem Imun


a. Anatomi dan Fisiologi dalam Respon Imun
1) Respon Imun Non-spesifik
Respons Imun non spesifik (Imunitas
Bawaan/innate immunity) yaitu respons
terhadap zat asing, dapat terjadi walaupun
tubuh sebelumnya tidak pernah terpapar pada
zat tersebut. Imunitas ini diturunkan
secara alami, dikatakan tidak spesifik
karena berlaku untuk semua organisme dan
memberikan perlindungan umum terhadap
berbagai jenis agent. (Syaifuddin, 2011)
Respons imun non spesifik berperan

10
11

dalam menyertakan beberapa agens pertahanan


tubuh, misalnya :
a) Pada peradangan menyertakan neutrofil
dan makrofag.
b) Interferon untuk menahan serangan
virus.
c) Natural killer cel, sejenis limfosit
menahan serangan virus dan sel tumor.
d) Sistem komplemen, suatu plasma protein.
(Syaifuddin, 2011)

Lapisan Respons Imun Non-spesifik


dibagi menjadi dua, yaitu (Roger, 2011) :

a) Lapisan Pertama
Pertahanan lapis pertama yang berfungsi
melawan infeksi terdapat pada permukaan
tubuh, meliputi :
(1) Kulit dan Membran Mukosa
Kulit merupakan bagian
pertahanan tubuh yang paling awal
terhadap agen infeksi karena kulit
langsung terpapar terhadap
lingkungan. Sebuah luka kecil dapat
menyebabkan bakteri atau virus
masuk kedalam tubuh. Akan tetapi,
kalenjar yang terdapat dikulit akan
mensekresikan asam lemak dan
keringat yang mengandung garam
sehingga menghambat laju bakteri.
Selama kulit tidak rusak, epitelium
yang berlapis keratin ini sulit
ditembus oleh mikroba. Apabila
12

mikroba dapat menembus kulit,


membran mukosa yang menghasilkan
lendir akan menjerat mikroba
tersebut. Saluran pernapasan yang
menyekresi lendir akan memerangkap
bakteri. Sebagian lendir yang
mengandung bakteri masuk kedalam
saluran pernapasan secara refleks
kita akan merespons dengan batuk
atau bersin.
Perlindungan yang dihasilkan
kulit dan membrane mukosa adalah
sebagai berikut :
(a) Hasil sekresi kulit cenderung
bersifat asam (pH 3-5),
sehingga menghambat
pertumbuhan bakteri. Minyak
(sebum) pada kulit mengandung
zat kimia yang beracun bagi
bakteri.
(b) Mukosa lambung mengandung
larutan HCL dan enzim untuk
membunuh mikroorganisme.
(c) Ludah dan airmata mengandung
lisozim yaitu enzim penghancur
bakteri.
(d) Lendir yang lengket akan
memerangkap mikroorganisme
yang masuk kesaluran
pencernaan dan saluran
pernapasan. (Marieb, 2004).
13

b) Lapisan kedua
(1) Peradangan
Peradangan adalah suatu
respons non-spesifik yang beraksi
terhadap cedera jaringan. Pada
keadaan ini spesialis fagosit
neutrofil dan makrofag dalam
memberi bantuan dari sel-sel imun
jenis lain. (Syaifuddin, 2011).
Fungsi inflamasi:
(a) Membunuh antigen yang masuk.
(b) Mencegah penyebaran infeksi.
(c) Mempercepat proses penyembuhan

Inflamasi merupakan reaksi


akibat timbulnya infeksi dan
terbukanya arteriol disekitar
daerah yang terluka sehingga suplai
darah kedaerah yang terluka
meningkat. Inflamasi dikontrol oleh
sejumlah enzim dan beberapa
komponen lainnya seperti serotonin,
platelet, dan basofil. Tujuan
respons inflamasi adalah untuk
melindungi, menonaktifkan, serta
menyingkirkan agen penyebab dan
jaringan yang rusak sehingga
berlangsung proses penyembuhan.
(Nurrachmah, 2010)

Serotonin dapat meningkatkan


pelebaran arteriol dan pelebaran
14

permeabilitas jaringan pembuluh


darah. Darah membawa fagosit
kedaerah tersebut. Fagosit juga
bergerak dari jaringan yang
terdekat. Dinding kapiler semakin
meningkat permeabilitasnya sehingga
fagosit dapat keluar dari pembuluh
kapiler kedaerah yang terluka.
Fagosit yang tiba lebih dulu akan
melepas senyawa kimia histamin
untuk memicu lebih banyak fagosit
bergerak kedaerah yang terinfeksi.
(Nurrachmah, 2010)

Ketika bakteri berhasil


dibunuh dan ditelan oleh fagosit,
materi yang berasal dari pembuluh
kapiler akan membentuk penebalan
atau pembengkakan disekeliling
daerah yang terinfeksi agar infeksi
tidak menyebar. Daerah yang
mengalami inflamasi kemungkinan
juga mengandung nanah (abses).
Nanah berasal dari sel darah putih
yang telah mati karena menelan
bakteri. Nanah dapat diserap lagi
oleh sel tubuh. Selanjutnya, proses
perbaikan jaringan dan tanda-tanda
inflamasi menghilang. (Nurrachmah,
2010)
15

(2) Interferon
Interferon adalah kelompok
protein yang secara non spesifik
tubuh terhadap infeksi, dihasilkan
sel tubuh yang diserang virus.
Interferon berfungsi memperingatkan
sel lain di sekitarnya akan bahaya
suatu antigen. Interferon mampu
menghambat jumlah sel yang
terinfeksi, karena mengubah sel di
sekitarnya menjadi tidak dikenali
antigen. (Roger, 2011)
Interferon adalah suatu
protein yang dihasilkan oleh sel
tubuh yang terinfeksi virus untuk
melindungi bagian sel lain
disekitarnya. Interferon mampu
menghambat perbanyakan sel-sel yang
terinfeksi, namun dapat meningkatkan
diferensiasi sel-sel. Interferon
dihasilkan dari limfosit T dan
fungsinya adalah mencegah replikasi
virus didalam sel yang terinfeksi
dan penyebaran virus kesel yang
sehat. (Nurrachmah, 2010)
(3) Sel Natural Kiler
Sel Natural killer adalah sel
jenis khusus mirip limfosit yang
secara spontan dan relatif non
spesifik menyebabkan ruptur dan
16

menghancurkan sel pejamu yang


terinfeksi virus dan sel
tumor/kanker.(Syaifuddin, 2011)
Sel NK berjaga disistem
peredaran darah dan limfatik. Sel NK
merupakan sel pertahanan yang mampu
melisis dan membunuh sel-sel kanker
serta sel-sel tubuh yang terinfeksi
virus sebelum diaktifkannya sistem
kekebalan adaptif. Sel NK tidak
bersifat fagositik. Sel-sel ini
membunuh dengan cara menyerang
membrane sel target dan
melepaskannya senyawa kimia yang
disebut perforin. (Nurrachmah, 2010)
(4) Sistem komplemen
Sistem komplemen yaitu
terdiri dari kelompok protein plasma
inaktif yang apabila diaktifkan
secara sekuensial, menghancurkan sel
asing dengan menyerang membran
plasma. (Syaifuddin, 2011)
Sedangkan protein komplemen
sekelompok plasma protein yang
bersirkulasi didarah dalam keadaan
tidak aktif. Protein komplemen dapat
diaktifkan oleh munculnya ikatan
antigen dan antibodi. Terdapat lebih
dari 20 jenis protein komplemen.
Protein in dibentuk dihati. Ketika
terjadi infeksi, antibodi terbentuk
17

dan memicu terbentuknya protein


komplemen akan memicu terbentuknya
protein komplemen lainnya sehingga
membentuk reaksi berantai.
(Nurrachmah, 2010)
Protein komplemen membantu
pertahanan lapis kedua dengan
beberapa cara, antara lain sebagai
berikut :
(a) Menempel pada mikroba sehingga
fagosit lebih mudah
mengenalinya
(b) Merangsang fagosit untuk lebih
aktif
(c) Memicu fagosit menuju lokasi
terjadinya infeksi
(d) Menghancurkan membran mikroba
yang menyerang
(e) Berperan dalam kekebalan yang
diperoleh.
2) Respons Imun Spesifik
Respons Imun Spesifik merupakan
respons imun yang didapat dari luar
organisme. Komponen sistem imun yang paling
utama dan berperan paling penting pada
bagian ini adalah leukosit, yaitu bagian
limfosit yang merupakan inti dalam proses
imun spesifik. (Syaifuddin, 2011)
Dikatakan spesifik karena hanya
terbatas pada satu mikroorganisme dan tidak
memberikan proteksi terhadap mikroorganisme
18

yang tidak berkaitan. Pertahanan ini di


dapat melalui pejanan terhadap agen infeksi
spesifik sehingga jaringan tubuh membentuk
system imun. Respons imun spesifik adalah
serangan selektif yang ditujukan untuk
membatasi atau menetralisasi serangan
tertentu yang oleh tubuh telah disiapkan
untuk dihadapi, karena tubuh sebelumnya
sudah pernah terpajan ke sasaran tersebut.
Terdapat dua kelas respons imun
spesifik :
a) Imunitas yang diperantarai oleh antibodi
atau imunitas humoral yang melibatkan
pembentukan antibodi oleh turunan
limfosit B.
b) Imunitas yang diperantarai oleh sel atau
imunitas seluler yang melibatkan
pembentukan limfosit T aktif yang secara
langsung menyerang sel-sel yang tidak
diinginkan.

Jika pertahanan lapis pertama dan


kedua tidak dapat membendung serangan
bakteri atau mikroba patogen, maka
kehadiran patogen tersebut akan memicu
pertahanan lapis ketiga untuk aktif.
Pertahanan itu melibatkan respons spesifik
oleh sistem imun terhadap infeksi khusus
sehingga memperoleh kekebalan (imunitas).
19

Sel-sel yang berperan dalam imunitas


spesifik, yaitu (Bratawidjaja, 2008) :

a) Limfosit B ( sel B )
Limfosit B tidak seperti limfosit
T, yang bebas beredar ditubuh, terbatas
berada dijaringan limfoid (misal : limpa
dan nodis limfe). Sekitar 20-40%
limfosit darah adalah sel B. dalam
perkembangannya sel B akan berubah
menjadi sel plasma yang akan
menghasilkan antibodi bila terangsang
karena invasi antigen. Sel B memiliki
immunoglobulin pada permukaannya.
Immunoglobulin adalah protein yang dapat
mengidentifikasi antigen. Terdapat
jutaan antigen yang setiap kali harus
direspons tubuh. Walaupun sel B dapat
mengenal antigen memiliki jumlah yang
terbatas untuk menahan serangan besar
dari bakteri.
Limfosit B memproduksi dua jenis
sel fungsional yang berbeda, yaitu :
(1) Sel plasma
Sel ini menyekresikan
antibodi kedarah. Antibodi dibawa
oleh jaringan, sementara sel B
sendiri tetap berada dijaringan
limfoid. Hidup sel plasma tidak
lama dari 1 hari dan menghasilkan
hanya satu jenis antibodi yang
20

bekerja untuk antigen tertentu saja


yang awalnya berikatan dengan
limfosit B. antibodi bekerja dengan
antigen, menamakan antigen sebagai
target untuk sel pertahanan
(seperti limfosit T sitotoksik dan
makrofag), berikatan dengan toksin
bakteri, menetralkannya, dan
mengaktifkan komplemen.
Terdapat lima jenis
antibodi, yaitu :
(a) IgA : Ditemukan pada sekret
tubuh seperti ASI dan saliva,
serta mencegah antigen
menembus membrane epithelium
serta menyerang jaringan yang
paling dalam.
(b) IgD : Dibuat oleh sel B dan
ditampilkan pada permukaannya
dan fungsinya mengakitfkan sel
B.
(c) IgE : Ditemukan pada membran
sel (misal : basofil dan sel
mast) dan jika berikatan
dengan antigen akan
mengaktifkan respons imun.
Antibodi ini sering ditemukan
saat alergi. Fungsinya
proteksi terhadap serangan
parasit.
(d) IgG : Merupakan jenis antibodi
21

yang paling banyak dan paling


besar. Antibodi ini menyerang
banyak patogen dan menembus
plasenta untuk melindungi
janin. Fungsinya mengaktifkan
protein komplemen dan
makrofag.
(e) IgM : Dihasilkan dalam jumlah
besar saat respons primer dan
merupakan aktivator komplemen
yang kuat. Fungsinya sebagai
aglutinasi (dalam pembuluh
darah) serta merangsang
fagositosis mikrob oleh
makrofag.

(2) Sel B memori


Sel B memori berada dalam
tubuh untuk waktu lama setelah
episode awal saat pertama kali
terpapar antigen dan dengan cepat
berespons terhadap pemaparan
antigen yang sama berikutnya dengan
stimulasi produksi sel plasma
penyekresi antibodi.

b) Limfosit T ( sel T )
Sel T yang telah diaktifkan
didalam kalenjar timus dilepaskan
kesirkulasi darah. Sel T normal sebanyak
70% dari limfosit darah. Saat sel T
22

terpapar antigennya untuk pertama kali,


sel T menjadi tersensitasi. Jika antigen
berasal dari luar tubuh, antigen perlu
ditampilkan pada permukaan sel penampil
antigen yaitu makrofag yang merupakan
bagian pertahanan non-spesifik karena
makrofag menelan dan mencerna antigen
tanpa membeda-bedakan, namun juga
berpartisipasi dalam respons imun.
Setelah makrofag mencerna antigen,
makrofag membawa sebagian sisa antigen
dimembran selnya. Sel T jumlahnya
terbatas dan sel T tidak membentuk
antibodi. Sel limfosit T akan membentuk
kekebalan diperantarai sel dengan
melisis sel tubuh yang diserang sehingga
mengalami apoptosis.
Ada tiga jenis limfosit T dengan
fungsi yang berbeda-beda, yaitu
(Syaifuddin, 2011) :
(1) Sel T sitotoksik
Sel ini berfungsi
menghasilkan racun menghancurkan
mikroba, sel kanker atau sel yang
terinfeksi virus. Sel ini
mengenali antigen, yaitu berupa
selubung protein virus yang
tertinggal diluar sel. Sel ini
membunuh sel dengan cara
menyekresikan suatu protein yang
mampu melubangi membran sel
23

sehingga sel tersebut bocor.


(2) Sel T penolong
Sel T penolong meningkatkan
sel B aktif menjadi sel plasma,
memperkuat aktivitas sel T toksik,
dan sel T penekan yang sesuai dan
mengaktikan makrofag. Sel ini
mengenali fagosit dan merangsang
sel B untuk bereplikasi. Sel B
tidak akan bereplikasi dan
membentuk sel plasma tanpa
rangsangan dari sel T helper untuk
membentuk antibodi. Sel ini juga
menghasilkan lymphokinase yang akan
menggerakkan sel-sel kekebalan agar
berpartisipasi dan aktif dalam
proses kekebalan.
(3) Sel T penekan
Sel ini untuk menghentikan
limfositT dan B yang aktif. Sel ini
membatasi efek yang kuat dan
berpotensi membahayakan respons
imun.Sel T penekan menekan produksi
antibodi se; B dan aktivitas sel T
sitotoksik dan penolong.

b. Fisiologi Sistem Imun


Imunitas atau kekebalan tubuh yang
didapat dibagi menjadi dua , yaitu :
1) Respons Imun Seluler
Pada respons ini kekebalan terjadi
24

karena adanya limfosit (sel limfosit) yang


aktif dibuat aleh sel limfosit T. Untuk
melawan mikroorganisme intraseluler
diperlukan respons imun seluler yang
merupakan fungsi limfosit T. (Syaifuddin,
2011)
Respons imun ini melibatkan sel-sel
sistem imun dalam melawan mikroba. Sel-sel
tersebut ada yang ditemukan pada sirkulasi
darah dan ada juga yang di jaringan.
Neutrofil, Basofil, Eusinofil, Monosit, dan
sel NK adalah sel sistem imun non-spesifik
yang biasa ditemukan pada sirkulasi darah.
Sedangkan sel yang biasa ditemukan pada
jaringan adalah sel Mast, Makrofag dan sel
NK. T limfosit kemudian akan menginduksi 2
hal: (1) fagositosis benda asing tersebut
oleh sel yang terinfeksi, (2) lisis sel
yang terinfeksi sehingga benda asing
tersebut terbebas ke luar sel dan dapat di
dilekati oleh antibodi. (Bratawidjaja,
2008)
2) Respons Imun Humoral
Imunitas humoral adalah imunitas
yang terjadi karena adanya pembentukan
antibodi, sel plasma (derivat limfosit B).
Imunitas humoral diperankan oleh sel
limfosit B dengan atau tanpa bantuan sel
imunokompeten lainnya. Tugas sel B akan
dilaksanakan oleh imunoglobulin yang
disekresi oleh sel plasma. Terdapat lima
25

kelas imunoglobulin yang kita kenal, yaitu


IgM, IgG, IgA, IgD, dan IgE. Pembentukan
kekebalan humoral dilakukan setelah respon
imun non-spesifik berhasil dilakukan
(Syaifuddin, 2011).
Mekanisme imunitas ini ditujukan
untuk benda asing yang berada di di luar
sel (berada di cairan atau jaringan tubuh).
B limfosit akan mengenali benda asing
tersebut, kemudian akan memproduksi
antibodi. Antibodi merupakan molekul yang
akan menempel di suatu molekul spesifik
(antigen) di permukaan benda asing
tersebut. Antibodi inilah yang akan
melindungi tubuh kita dari infeksi
ekstraselular, virus dan bakteri, serta
menetralkan toksinnya. Kemudian antibodi
akan menggumpalkan benda asing tersebut
sehingga menjadi tidak aktif, atau berperan
sebagai sinyal bagi sel-sel fagosit.
a) Fragmen antigen yang telah difagositosis
tidak dicerna oleh sel fagosit.
b) Fragmen tersebut kemudian ditampilkan
pada sel fagosit untuk diambil pesannya
oleh sel T helper melalui molekul MHC
kelas II.
c) Pesan mengenai fragmen antigen kemudian
dikirimkan oleh sel T helper kepada sel
B. Sel limfosit B akan membentuk
kekebalan humoral dengan membelah
diri(Agnes, 2010).
26

B. KONSEP LUPUS ERIMATOSUS SISTEMIK

1.Definisi Lupus Erimatosus Sistemik


Sistemik Lupus Eritematosus (SLE)
merupakan penyakit multisistem yang kronik,
penyakit autoimun dari jaringan ikat dan pembuluh
darah yang ditandai dengan adanya inflamasi pada
jaringan tubuh (Hockenberry & Wilson, 2009). SLE
juga dikatakan sebagai penyakit autoimun menahun
yang menyerang daya tahan tubuh dan peradangan
seperi pada kulit dan persendian (Puskom, 2011).
SLE adalah penyakit autoimun sistemik yang
ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap
autoantigen, pembentukan kompleks imun, dan
disregulasi sistem imun, menyebabkan kerusakan
pada beberapa organ tubuh. Perjalanan penyakitnya
bersifat episodik (berulang) yang diselingi
periode sembuh. Pada setiap penderita, peradangan
akan mengenai jaringan dan organ yang berbeda
(Mok & Lau, 2013).
Lupus Eritematosus Sistemik ( LES ) adalah
penyakit reumatik autoimun yang ditandai adanya
inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap
organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini
berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan
kompleks imun sehingga mengakibatkan kerusakan
jaringan (Isbagio, 2009).

2. Etiologi Lupus Erimatosus Sistemik


27

Penyebab atau etiologi dari SLE tidak


diketahui secara pasti, namun ada beberapa faktor
predisposisi yang dapat menimbulkan penyakit SLE,
yaitu faktor jenis kelamin, hormonal, dan faktor
faktor genetik dapat menjadi predisposisi
terjadinya SLE, hal ini dibuktikan konkordansi
penyakit SLE pada kembar identik adalah sekitar
20-25% dan bahwa dalam kembar dizigot adalah
sekitar 5% (Mok & Lau, 2013).
Selain faktor diatas, faktor lingkungan
yang dapat menjadi relevan dengan kejadian SLE
diantaranya faktor kimia seperti pewarna rambut,
sinar ultraviolet, rokok, obat-obatan
(procainamide, hydralazine, chlorpomazine,
isoniazid, phenytoin, penicillamine), faktor
makanan (L-canavanine/alfalfa sprouts, dan intake
lemak jenuh yang berlebihan, faktor agen
infeksius seperti retrovirus dan endotoksin atau
bakterial DNA, faktor hormon (hormonal
replacement therapy, kontrasepsi oral, dan
prenatal yang terekspose dengan estrogen) (Mok &
Lau, 2013).

3. Epidemiologi Lupus Erimatosus Sistemik


Prevalensi LES diberbagai Negara sangat
bervariasi antara 2.9/100.000-400/100.000. dalam
30 tahun terakhir, LES telah menjadi salah satu
penyakit reumatik utama di dunia. LES lebih
sering ditemukan pada ras tertentu seperti bangsa
Negro, Cina dan mungkin juga Filipina. Faktor
ekonomi dan geografi tidak mempengaruhi
28

distribusi penyakit. LES dapat ditemukan pada


semua usia, namun paling banyak pada usia 15-40
tahun (masa reproduksi). Frekuensi pada wanita
dibandingkan dengan pria yaitu berkisar (5,5-9) :
1. Pada LES yang disebabkan obat, rasio ini lebih
rendah, yaitu 3:2 (Isbagio, 2009).
Penyakit ini menyerang wanita muda dengan
insiden puncak usia 15-40 tahun selama masa
reproduktif dengan ratio wanita dan pria 5:1.
Dalam 30 tahun terakhir, LES telah menjadi salah
satu penyakit penyakit reumatik utama di dunia.
Prevalensi LES di berbagai negara sangat
bervariasi antara 2,9/100.000-400/100.000. LES
lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti
bangsa negro, Cina, dan mungkin saja Filipina
(Bartels, 2011).

C. PATHOFISIOLOGI

1. Narasi Pathofisiologi Lupus Erimatosus Sistemik

Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya


regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan
autoantibodi yang berlebihan. Gangguan
imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi
antara faktor-faktor genetik, hormonal
(sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang
biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan
lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal).
Obat-obat tertentu seperti hidralazin,
prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa
preparat antikonvulsan di samping makanan seperti
kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit
29

SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan. Pada


SLE, peningkatan produksi autoantibodi
diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor
yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks
imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan
menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang
antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang
kembali. Temuan patologis SLE terjadi di seluruh
tubuh dan diwujudkan oleh peradangan, kelainan
pembuluh darah yang mencakup baik vasculopathy
dan vaskulitis, dan deposisi kompleks imun. Hasil
SLE dari reaksi abnormal terhadap resiko tubuh
itu sendiri jaringan, sel, dan protein serum.
Dengan kata lain, sebagai penyakit autoimun, SLE
ditandai dengan penurunan toleransi tubuh
terhadap penyakit (Black & Hawks, 2009).
30
31

2. Skema Patofisiologi Hipertensi

Genetik, Kuman, Virus, Lingkungan, Obat-obatan tertentu

Gangguan Immunoregulerasi

Produksi antibodi yang berlebihan

Antibodi menyerang organ-organ tubuh

Menimbulkan sel T supresor dan produksi sel B yang abnormal

Penurunan kompleks imun dan kerusakan jaringan

Sistemik Lupus Erimatosus

Produksi Antibodi terus menerus

Mencetus Penyakit inflamasi pada organ

Kulit Sendi Darah Paru- Ginjal Hati Otak


paru
Terdapat Artritis Protein Terjadi Suplai O2
lesi pada Efusi urinari kerusakan ke otak
kulit HB (-)
Pleura zat – zat menurun
Suplai Tubuh yang
Gangguan
O2 (-) Kehilangan dibutuhkan
Integritas Gangguan
Protein tubuh
Kulit Perfusi
ATP (-) Anemia Jaringan
Resiko Otak
BB (-) Infeksi

Sesak Nafas
Nyeri Hambatan Perubahan
Akut Pola Nafas
Mobilitas Status
Kecemasan tidak efektif
Fisik Kesehatan

Gambar 2.2 Skema Patofisiologi Lupus Erimatosus


Sistemik
32

D. TANDA DAN GEJALA, TES DIAGNOSTIK DAN PENGOBATAN


LUPUS ERIMATOSUS SISTEMIK

1. Tanda dan Gejala

Pasien dengan SLE dapat memiliki


manifestasi klinis dari ringan sampai mengancam
jiwa. Diagnosis mendirikan SLE ketika 4 dari 11
kriteria diagnostik terpenuhi menurut American
College Of Rheumatology (Hockenberry & Wilson,
2009), kriteria diagnosis tersebut diantaranya:
a. Eritema malar (butterfly rash) – tetap
b. Ruam diskoid – lesi eritema sebagian
c. Fotosensitivitas – kemerahan saat terpapar
dengan sinar matahari
d. Ulserasi mukokutaneous oral dan nasal – rasa
sakit pada mulut dan hidung
e. Artritis non erosif– bengkak, kemerahan pada
sendi
f. Seroritis – pleuritis, perikarditis
g. Gangguan renal/ nefritis – proteinuria >0,5
g/ 24 jam dan sel silinder +
h. Gangguan neurologik – psikosis, kejang
i. Gangguan hematologi – anemia hemolitik,
trombositopenia, leukopenia, limpopenia
j. Gangguan Imunologi - Antibodi antidouble
stranded DNA, Antibodi antinuklear Sm
k. Antibodi antinuklear (ANA)
33

2. Tes Diagnostik
Menurut Wicaksono (2012), pemeriksaan
penunjang lupus erimatosus sistemik yaitu :
a. Pemeriksaan Darah Rutin dan Pemeriksaan Urin.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan
pada penyakit Lupus Eritematosus Sistemik
( LES ) adalah pemeriksaan darah rutin dan
pemeriksaan urin. Hasil pemeriksaan darah
pada penderita LES menunjukkan adanya anemia
hemolitik, trombositopenia, limfopenia, atau
leukopenia; erytrocytesedimentation rate
(ESR) meningkat selama penyakit aktif, Coombs
test mungkin positif, level IgG mungkin
tinggi, ratio albumin-globulin terbalik, dan
serum globulin meningkat. Selain itu, hasil
pemeriksaan urin pada penderita LES
menunjukkan adanya proteinuria, hematuria,
peningkatan kreatinin, dan ditemukannya Cast,
heme granular atau sel darah merah pada urin.
b. Pemeriksaan Autoantibodi
Proses patogenik setiap penyakit tidak
terlepas kaitannya dengan berbagai proses
imunologik, baik yang non spesifik atau
spesifik. Kaitan tersebut tentunya terlihat
lebih nyata pada penyakit-penyakit autoimun
termasuk di dalamnya LES, Arthritis
Reumatoid, sindroma Sjogren dan sebagainya.
Adanya antibodi termasuk autoantibodi sering
dipakai dalam upaya membantu penegakkan
diagnosis maupun evaluasi perkembangan
penyakit dan terapi yang diberikan.
34

Pembentukan autoantibodi cukup


kompleks dan belum ada satu kajian yang mampu
menjelaskan secara utuh mekanisme
patofisiologiknya. Demikian pula halnya
dengan masalah otoimunitas. Pada masalah yang
terakhir, dikatakan terdapat kekacauan dalam
sistim toleransi imun dengan sentralnya pada
T-helper dan melahirkan banyak hipotesis,
antara lain modifikasi autoantigen, kemiripan
atau mimikri molekuler antigenik terhadap
epitop sel-T, cross reactive peptide terhadap
epitop sel-B, mekanisme bypass idiotipik,
aktivasi poliklonal dan sebaginya. Mekanisme
lain juga dapat dilihat dari sudut adanya
gangguan mekanisme regulasi sel baik dari
tingkat thymus sampai ke peripher. Kekacauan
ini semakin besar kesempatan terjadinya
sejalan dengan semakin bertambahnya usia
seseorang.
Umumnya, autoantibodi itu sendiri
tidak segera menyebabkan penyakit. Oleh
karenanya, lebih baik autoantibodi dipandang
sebagai petanda (markers) proses patologik
daripada sebagai agen patologik. Kadarnya
yang dapat naik atau turun dapat berkaitan
dengan aktivitas penyakit atau sebagai hasil
intervensi terapi. Kompleks autoantigen dan
autoantibodilah yang akan memulai rangkaian
penyakit autotoimun. Hingga saat ini
hipotesis yang dianut adalah autoantibodi
baru dikatakan memiliki peran dalam
35

perkembangan suatu penyakit reumatik autoimun


apabila ia berperan dalam proses
patologiknya.
1) Antibodi Antinuklear.
Antinuklear antibodi (ANA)
merupakan suatu kelompok autoantibodi yang
spesifik terhadap asam nukleat dan
nukleoprotein, ditemukan pada connective
tissue disease seperti SLE, sklerosis
sistemik, Mixed Connective Tissue Disease
(MCTD) dan sindrom sjogren’s primer. ANA
pertama kali ditemukan oleh Hargreaves
pada tahun 1948 pada sumsum tulang
penderita LES. Dengan perkembangan
pemeriksaan imunodifusi dapat ditemukan
spesifisitas ANA yang baru seperti Sm,
nuclear ribocleoprotein (nRNP), Ro/SS-A
dan La/SS-B.
ANA dapat diperiksa dengan
menggunakan metode imunofluoresensi. ANA
digunakan sebagai pemeriksaan penyaring
pada connective tissue disease. Dengan
pemeriksaan yang baik, 99% penderita LES
menunjukkan pemeriksaan yang positif, 68%
pada penderita sindrom Sjogrens dan 40%
pada penderita skleroderma.ANA juga pada
10% populasi normal yang berusia > 70
tahun.
36

2) Antibodi terhadap DNA.


Antibodi terhadap DNA (Anti ds-DNA)
dapat digolongkan dalam antibodi yang
reaktif terhadap DNA natif ( double
stranded-DNA). Anti ds-DNA positif dengan
kadar yang tinggi dijumpai pada 73% SLE
dan mempunyai arti diagnostik dan
prognostik. Kadar anti ds-DNA yang rendah
ditemukan pada sindrom Sjogrens, arthritis
reumatoid. Peningkatan kadar anti ds-DNA
menunjukkan peningkatan aktifitas
penyakit. Pada LES,anti ds-DNA mempunyai
korelasi yang kuat dengan nefritis lupus
dan aktifitas penyakit SLE. Pemeriksaan
anti ds-DNA dilakukan dengan metode
radioimmunoassay, ELISA dan C.luciliae
immunofluoresens.
c. Pemeriksaan Komplemen
Komplemen adalah suatu molekul dari
sistem imun yang tidak spesifik. Komplemen
terdapat dalam sirkulasi dalam keadaan tidak
aktif. Bila terjadi aktivasi oleh antigen,
kompleks imun dan lain lain, akan
menghasilkan berbagai mediator yang aktif
untuk menghancurkan antigen tersebut.
Komplemen merupakan salah satu sistem enzim
yang terdiri dari 20 protein plasma dan
bekerja secara berantai (self amplifying)
seperti model kaskade pembekuan darah dan
fibrinolisis.
37

Pada LES, kadar C1,C4,C2 dan C3


biasanya rendah, tetapi pada lupus kutaneus
normal. Penurunan kadar kompemen berhubungan
dengan derajat beratnya SLE terutama adanya
komplikasi ginjal. Observasi serial pada
penderita dengan eksaserbasi, penurunan kadar
komplemen terlihat lebih dahulu dibanding
gejala klinis.
3. Pengobatan/Therapy Lupus Erimatosus Sistemik
Lupus adalah penyakit seumur hidup,
karenanya pemantauan harus dilakukan selamanya.
Tujuan pengobatan SLE adalah mengontrol
manifestasi penyakit, sehingga anak dapat
memiliki kualitas hidup yang baik tanpa
eksaserbasi berat, sekaligus mencegah kerusakan
organ serius yang dapat menyebabkan kematian
(Hockenberry & Wilson, 2009).
Terapi SLE sebaiknya dilakukan secara
bersamaan dan berkesinambungan agar tujuan
terapi dapat tercapai (Perhimpunan Reumatologi
Indonesia, 2011). Berikut pilar terapi SLE :
a. Edukasi dan Konseling
Informasi yang benar dan dukungan dari
orang sekitar sangat dibutuhkan oleh pasien
SLE dengan tujuan agar para pasien dapat
hidup mandiri. Beberapa hal perlu diketahui
oleh pasien SLE, antara lain perubahan fisik
yang akan dialami, perjalanan penyakit, cara
mencegah dan mengurangi kekambuhan seperti
melindungi kulit dari paparan sinar matahari
secara langsung, memperhatikan jika terjadi
38

infeksi, dan perlunya pengaturan diet agar


tidak kelebihan berat badan, displidemia atau
terjadinya osteoporosis (Perhimpunan
Reumatologi Indonesia, 2011)
b. Program Rehabilitasi
Secara garis besar pelaksanaan program
rehabilitasi yang dilakukan oleh pasien SLE,
antara lain: istirahat yang cukup, sering
melakukan terapi fisik, terapi dengan
modalitas, kemudian melakukan latihan
ortotik, dan lain-lain (Perhimpunan
Reumatologi Indonesia, 2011)
c. Terapi Medikasi
Jenis obat-obatan yang digunakan untuk
terapi SLE terdiri dari NSAID ( Non Steroid
Anti-Inflamation Drugs), antimalaria,
steroid, imunosupresan dan obat terapi lain
sesuai manifestasi klinis yang dialami
(Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011)
1) NSAID ( Non Steroid Anti-Inflamation
Drugs)
NSAID dapat digunakan untuk
mengendalikan gejala SLE pada tingkatan
yang ringan, seperti menurunkan inflamasi
dan rasa sakit pada otot, sendi dan
jaringan lain. Contoh obat : aspirin,
ibuprofen, baproxen dan sulindac. Obat-
obatan tersebut dapat menimbulkan efek
samping, yaitu pada saluran pencernaan
seperti mual, muntah, diare dan perdarahan
39

lambung (Perhimpunan Reumatologi


Indonesia, 2011).
2) Kortikosteroid
Penggunaan dosis steroid yang tepat
merupakan kunci utama dalam pengendalian
lupus. Dosis yang diberikan dapat terlalu
rendah atau tinggi sesuai tingkat
keparahan penyakit untuk pengendalian
penyakit. Penggunaan kortikosteroid dapat
dilakukan secara oral, injeksi pada sendi,
dan intravena. Contoh : Metilprednisolon.
Kesalahan yang sering terjadi adalah
pemberian dosis yang tinggi, namun tidak
disertai kontrol dan dalam waktu yang
lama. Beberapa efek samping dari
mengonsumsi kortikosteroid terdiri dari
meningkatkan berat badan, penipisan kulit,
osteoporosis, meningkatnya resiko infeksi
virus dan jamur, perdarahan
gastrointestinal, memperberat hipertensi
dan moon face (Perhimpunan Reumatologi
Indonesia, 2011).
3) Antimalaria
Antimalaria yang dapat digunakan
untuk terapi SLE terdiri dari
hydroxychloroquinon dan kloroquin.
Hydroxychloroquinon lebih sering digunakan
dibanding kloroquin karena resiko efek
samping pada mata lebih rendah. Obat
antimalaria efektif untuk SLE dengan
gejala fatique, kulit, dan sendi. Baik
40

untuk mengurangi ruam tanpa meningkatkan


penipisan pembuluh darah. Toksisitas pada
mata berhubungan dengan dosis harian dan
kumulatif, sehingga selama dosis tidak
melebihi, resiko tersebut sangat kecil.
Pasien dianjurkan untuk memeriksakan
ketajaman visual setiap enam bulan untuk
identifikasi dini kelainan mata selama
pengobatan (Perhimpunan Reumatologi
Indonesia, 2011).
4) Immunosupresan
Obat Immunosupresan merupakan obat yang
berfungsi untuk menekan sistem imun tubuh.
Ada beberapa jenis obat immunosupresan
yang biasa dikonsumsi pasien SLE seperti
azathioprine (imuran), mycophenolate
mofetil (MMF), methotrexate, cyclosporine,
cyclophosphamide, dan Rituximab
(Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011).

E. ASUHAN KEPERAWATAN
1.Pengkajian Anamnesis
Identitas, riwayat kesehatan sekarang dan
pemeriksaan fisik difokuskan pada gejala sekarang
dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan
mudah lelah, lemah, nyeri, kaku, demam/panas,
anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya
hidup serta citra diri pasien.
41

a. Identitas
Pengkajian berupa tanggal masuk RS,
tanggal pengkajian, jam, ruangan, nomor RM, dan
diagnosa medis. Kemudian ditambah pengkajian
berupa nama, umur, pendidikan, pekerjaan, suku,
agama, alamat, jenis kelamin, ststus
perkawinan, dan penanggung biaya.
b. Riwayat Kesehatan Sekarang
Pengkajian ditujukan sesuai dengan
predisposisi etiologi penyakit lupus. Kelelahan
merupakan keluhan yang umum dijumpai pada
penderita LES dan biasanya mendahului berbagai
manifestasi klinis lainnya. Kelelahan ini agak
sulit dinilai karena banyak kondisi lain yang
dapat menyebabkan kelelahan seperti anemia,
meningkatnya beban kerja, konflik kejiwaan,
serta pemakaian obat seperti prednison. Apabila
kelelahan disebabkan oleh aktivitas penyakit
LES, diperlukan pemeriksaan penunjang lain
yaitu kadar C3 serum yang rendah. Kelelahan
akibat penyakit ini memberikan respons terhadap
pemberian steroid atau latihan.
Penurunan berat badan dijumpai pada
sebagian penderita LES dan terjadi dalam
beberapa bulan sebelum diagnosis ditegakkan.
Penurunan berat badan ini dapat disebabkan oleh
menurunnya nafsu makan atau diakibatkan gejala
gastrointestinal.
Demam sebagai salah satu gejala
konstitusional LES sulit dibedakan dari sebab
lain seperti infeksi karena suhu tubuh lebih
42

dari 400 C tanpa adanya bukti infeksi lain


seperti leukositosis. Demam akibat LES biasanya
tidak disertai menggigil (Wicaksono, 2012).
c. Riwayat Kesehatan Dahulu
Kaji apakah gejala berhubungan dengan
ansietas, stress, alergi, makan atau minum,
atau karena mengkonsumsi obat-obatan tertentu.
Kaji adakah riwayat penyakit tersebut
sebelumnya.
d. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan Umum dan TTV
Keadaan umum klien lemah. Pada TTV
sering didapatkan adanya perubahan, yaitu
pada saat nyeri sendi, frekuensi denyut nadi
mengalami peningkatan. Tekanan darah terjadi
perubahan dari hipertensi ringan sampai
berat. Kelelahan, penurunan berat badan, dan
demam adalah gejala lupus yang paling banyak
terjadi (Wicaksono, 2012)
2) B1 (Breathing)
Kelainan paru-paru pada LES seringkali
bersifat subklinik pada pasien LES dengan
batuk, sesak nafas atau kelainan respirasi
lainnya. Pleuritis dan nyeri pleuritik dapat
ditemukan pada 60% kasus. Efusi pleura dapat
ditemukan pada 30% kasus, tetapi biasanya
ringan dan secara klinik tidak bermakna.
Fibrosis interstitial, vaskulitis paru dan
pneumonitis dapat ditemukan pada 20% kasus,
tetapi secara klinis seringkali sulit
43

dibedakan dengan pneumonia dan gagal jantung


kongestif. (D’Cruz, 2010)
3) B2 (Blood)
Pada LES, terjadi peningkatan Laju
Endap Darah (LED) yang disertai dengan anemia
normositik normokrom yang terjadi akibat
anemia akibat penyakit kronik, penyakit
ginjal kronik, gastritis erosif dengan
perdarahan dan anemia hemolitik autoimun.
Selain itu, ditemukan juga lekopenia
dan limfopenia pada 50-80% kasus. Adanya
leukositosis harus dicurigai kemungkinan
infeksi. Trombositopenia pada LES ditemukan
pada 20% kasus. Pasien yang mula-mula
menunjukkan gambaran trombositopenia
idiopatik (ITP), seringkali kemudian
berkembang menjadi LES setelah ditemukan
gambaran LES yang lain (Wicaksono,2012).
4) B3 (Brain)
Keterlibatan Neuropsikiatri LES sangat
bervariasi, dapat berupa migrain, neuropati
perifer, sampai kejang dan psikosis. Kelainan
tromboembolik dengan antibodi anti-fosfolipid
dapat merupakan penyebab terbanyak kelainan
serebrovaskular pada LES. Neuropati perifer,
terutama tipe sensorik ditemukan pada 10%
kasus.
Ketelibatan saraf otak, jarang
ditemukan. Kelainan psikiatrik sering
ditemukan, mulai dari anxietas, depresi
sampai psikosis. Kelainan psikiatrik juga
44

dapat dipicu oleh terapi steroid. Analisis


cairan serebrospinal seringkali tidak
memberikan gambaran yang spesifik, kecuali
untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi.
Elektroensefalografi (EEG) juga tidak
memberikan gambaran yang spesifik. CT scan
otak kadang-kadang diperlukan untuk
membedakan adanya infark atau perdarahan
(D’Cruz, 2010).
5) B4 (Bladder)
Penilainan keterlibatan ginjal pada
pasien LES harus dilakukan dengan menilai
ada/tidaknya hipertensi, urinalisis untuk
melihat proteinuria dan silinderuria, ureum
dan kreatinin, proteinuria kuantitatif, dan
klirens kreatinin. Secara histologik, WHO
membagi nefritis lupus atas 5 kelas. Pasien
SLE dengan hematuria mikroskopik dan/atau
proteinuria dengan penurunan GFR harus
dipertimbangkan untuk biopsi ginjal
(Wicasono, 2012).
6) B5 (Bowel)
Berupa keluhan nafsu makan menurun,
mual, dan mulut berbau. Dapat berupa
hepatomegali, nyeri perut yang tidak
spesifik, splenomegali, peritonitis aseptik,
vaskulitis mesenterial, pankreatitis. Selain
itu, ditemukan juga peningkatan SGOT dan SGPT
harus dievaluasi terhadap kemungkinan
hepatitis autoimun (Wicaksono, 2012).
45

7) B6 (Bone)
Pada penderita LES bagian
muskuloskeletal ditemukan poliartritis,
biasanya simetris dengan episode artralgia
pada 90% kasus. Pada 50% kasus dapat
ditemukan kaku pagi, tendonitis juga sering
terjadi dengan akibat subluksasi sendi tanpa
erosi sendi. Gejala lain yang dapat ditemukan
berupa osteonekrosis yang didapatkan pada 5-
10% kasus dan biasanya berhubungan dengan
terapi steroid.
Selain itu, ditemukan juga mialgia
yang terjadi pada 60% kasus, tetapi miositis
timbul pada penderita LES < 5% kasus. Miopati
juga dapat ditemukan, biasanya berhubungan
dengan terapi steroid dan kloroquin.
Osteoporosis sering didapatkan dan
berhubungan dengan aktifitas penyakit dan
penggunaan steroid.

2. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan Gambar 2.2 Skema Patofisiologi
Lupus Erimatosus Sistemik, maka diagnosa
keperawatan menurut NANDA (2013) yaitu :
a. Perfusi jaringan cerebral tidak efektif
berhubungan dengan gangguan transport O2
b. Pola Nafas Tidak Efektif berhubungan dengan
hipoventilasi akibat efusi pleura
c. Nyeri akut berhubungan dengan agen injury :
biologis
46

d. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan


faktor internal : defisit imunologi
e. Hambatan Mobilitas Fisik berhubungan dengan
penurunan kekuatan otot akibat artritis
f. Resiko Infeksi dengan faktor resiko pertahanan
tubuh sekunder tidak adekuat
g. Kecemasan berhubungan dengan perubahan status
kesehatan

3.Intervensi Keperawatan dan Rasionalisasi


Intervensi Keperawatan menurut Dongoes
(1999) dalam Gusti Pandi Liputo (2012) yaitu:
a. Perfusi jaringan cerebral tidak efektif
berhubungan dengan gangguan transport O2
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 1 x 24 jam, perfusi jaringan
cerebral efektif dengan kriteria hasil : Tidak
ada penurunan kesadaran dan tidak menunjukan
tanda-tanda apnoe.
Intervensi :
1) Pantau keluhan, observasi TTV tiap 2-4 jam
dan kesadaran klien
Rasional : Untuk mengetahui keadaan umum
pasien sebagai standar dalam menentukan
intervensi yang tepat
2) Pantau karakteristik nyeri (intensitas,
lokasi, frekuensi dan faktor yang
mempengaruhi).
Rasional :Penurunan tanda dan gejala
neurologis atau kegagalan dalam pemulihannya
merupakan awal pemulihan dalam memantau TIK.
47

3) Pantau capillary refill, GCS, warna dalam


kelembapan kulit.
Rasional : Untuk mengetahui tingkat
kesadaran dan potensial peningkatan TIK
4) Observasi tanda peningkatan TIK ( kaku
kuduk, muntah proyektil dan penurunan
kesadaran.
Rasional : Untuk mengetahui potensial
peningkatan TIK.
5) Berikan klien posisi semifowler, kepala
ditinggikan 30 derajat.
Rasional : Memberi rasa nyaman bagi klien
6) Anjurkan orang terdekat ( keluarga ) untuk
bicara dengan klien walaupun hanya lewat
sentuhan.
Rasional : Ungkapan keluarga yang
menyenangkan memberikan efek menurunkan TIK
dan efek relaksasi bagi klien.

b. Pola Nafas Tidak Efektif berhubungan dengan


hipoventilasi akibat efusi pleura
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 1 x 24 jam, pola napas
efektif dengan kriteria hasil : mempertahankan
pola pernapasan efektif.
Intervensi :
1) Auskultasi bunyi napas, tandai daerah paru
yang mengalami penurunan ventilasi
Rasional : memperkirakan adanya perkembangan
komplikasi pernapasan
2) Catat kedalaman pernapasan, sianosis, dan
48

penggunaan otot bantu pernapasan


Rasional : Takipnea, sianosis, dan
peningkatan napas menunjukkan kesulitan
pernapasan adanya kebutuhan untuk
meningkatkan intervensi.
3) Tinggikan kepala tempat tidur
Rasional : meningkatkan fungsi pernapasan
yang optimal
4) Berikan tambahan o2 melalui kanul atau masker
Rasional : mempertahankan oksigenasi efektif
untuk memperbaiki krisis pernapasan
5) Berikan obat-obatan bronkodilator bila
diperlukan
Rasional : meningkatkan jalan napas atau
membersihkan sekret.

c. Nyeri akut berhubungan dengan agen injury :


biologis
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 1 x 24 jam, nyeri hilang
atau terkontrol dengan kriteria hasil :
menunjukkan nyeri hilang atau terkontrol,
terlihat rileks, dapat tidur atau beristirahat
dan berpartisipasi dalam aktivitas sesuai
kemampuan.
Intervensi :
1) Selidiki keluhan nyeri, catat lokasi dan
intensitas
Rasional : membantu dalam menentukan
kebutuhan manajemen nyeri
2) Berikan kasur empuk, bantal kecil. Tinggikan
49

linen tempat tidur sesuai kebutuhan.


Rasional : meninggikan linen dapat membantu
menurunkan tekanan pada sendi yang nyeri
3) Biarkan pasien mengambil posisi yang nyaman
saat tidur
Rasional : pada penyakit berat, tirah baring
diperlukan untuk membatasi nyeri atau cedera
sendi
4) Anjurkan pasien untuk mandi air hangat
Rasional : Panas meningkatkan relaksasi otot
dan mobilitas
5) Dorong penggunaan teknik manajemen stress
sepertt relaksasi otot progresif, distraksi,
dan pengendalian napas.
Rasional : meningkatkan relaksasi,
memberikan rasa kontrol, meningkatkan
kemampuan koping
6) Berikan obat-obatan sesuai indikasi
Rasional : obat-obatan jenis aspirin dan
NSAID sebagai anti inflamasi. Dapat
meninggikan mobilitas dan mengurangi
kekakuan.

d. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan


faktor internal : defisit imunologi
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 1 x 24 jam, kerusakan
integritas kulit teratasi dengan kriteria hasil
: menunjukkan kemajuan pada penyembuhan lesi.
Intervensi :
1) Pantau kulit setiap hari. Catat warna,
50

turgor, sirkulasi, dan sensasi.


Rasional : menentukan garis dasar dimana
perubahan pada status dapat dibandingkan dan
melakukan intervensi yang tepat.
2) Pertahankan hygiene kulit
Rasional : mempertahankan kebersihan karena
kulit yang kering dapat menjadi barier
infeksi.
3) Pertahankan seprei bersih, kering, dan tidak
berkerut.
Rasional : Friksi kulit disebabkan oleh kain
yang berkerut dan basah yang menyebabkan
iritasi dan potensial terhadap infeksi
4) Gunting kuku secara teratur
Rasional : kuku yang panjang meningkatkan
resiko kerusakan dernmal
5) Tutupi balut luka koreng yang terbuka dengan
pembalut yang steril.
Rasional : dapat mengurangi kontaminasi
bakteri dan meningkatkan proses penyembuhan.

e. Hambatan Mobilitas Fisik berhubungan dengan


penurunan kekuatan otot akibat artritis
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 1 x 24 jam, hambatan
mobilitas fisik teratasi dengan kriteria
hasil : mempertahankan fungsi posisi dengan
tidak hadirnya kontraktur.
Intervensi :
1) Pantau tingkat inflamasi atau rasa sakit
pada sendi
51

Rasional : Tingkat aktivitas tergantung dari


perkembangan resolusi dariproses inflamasi.
2) Bantu dengan gerak aktif atau pasif
Rasional : mempertahankan fungsi sendi,
kekuatan otot, dan stamina umum.
3) Pertahankan tirah baring jika diperlukan.
Rasional : pada penyakit berat, tirah baring
diperlukan untuk membatasi cedera sendi
4) Berikan lingkungan yang aman
Rasional : menghindari cedera akibat jatuh
5) Berikan matras busa atau pengubah tekanan
Rasional : Menurunkan tekanan pada jaringan
yang mudah pecah.

f. Resiko Infeksi dengan faktor resiko pertahanan


tubuh sekunder tidak adekuat
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 1 x 24 jam, infeksi tidak
terjadi dengan kriteria hasil : Pasien bebas
dari tanda dan gejala infeksi dan menunjukkan
kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi
Intervensi :
1) Pantau vital sign
Rasional : Peningkatan suhu dapat
mengidentifikasikan adanya infeksi
2) Observasi daerah resiko infeksi
Rasional: Menentukan adakah tanda peradangan
di daerah resiko infeksi
3) Anjurkan pasien sering mencuci tangan
Rasional: Meminimalkan terjadinya infeksi
4) Lakukan perawatan hygiene
52

Rasional: Mencegah terjadinya infeksi dan


memberikan rasa nyaman bagi pasien
5) Rawat luka setiap hari
Rasional : meminimalisasikan resiko infeksi.

g. Kecemasan berhubungan dengan perubahan status


kesehatan
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 1 x 24 jam, kecemasan
teratasi dengan kriteria hasil : menunjukkan
kecemasan hilang dan koping pasien baik
terhadap perubahan status kesehatan.
Intervensi :
1) Jamin pasien tentang kerahasiaan dalam
batasan situasi tertentu.
Rasional : memberikan penentraman hati lebih
lanjut dan kesempatan bagi pasien untuk
memecahkan masalah pada situasi yang
diantisipasi.
2) Pertahankan hubungan yang sering dengan
pasien
Rasional : menjamin bahwa pasien tidak akan
sendiri atau ditelantarkan dan menunjukkan
rasa menghargai
3) Berikan lingkungan terbuka dimana pasien
akan merasa aman untuk mendiskusikan
perasaan
Rasional : membantu pasien untuk merasa
diterima pada kondisi sekarang dan
meningkatkan perasaan harga diri dan kontrol
53

4) Izinkan pasien untuk mengekspresikan rasa


marah, takut, putus asa tanpa konfrontasi.
Rasional : Penerimaan perasaan akan membuat
pasien dapat menerima situasi
5) Libatkan orang terdekat pada pengambilan
keputusan bersifat mayor.
Rasional : menjamin adanya sistem pendukung
bagi pasien dan memberikan kesempatan bagi
orang terdekat untuk berpartisipasi dalam
kehidupan pasien.
4.Evaluasi Keperawatan
Dari Intervensi Keperawatan menurut dongoes
(1999) dalam Gusti Pandi Liputo (2012), maka
evaluasi keperawatan dari lupus erimatosus
sistemik yaitu :
a. Tidak ada penurunan kesadaran dan tidak
menunjukan tanda-tanda apnoe
b. Mempertahankan pola pernapasan efektif
c. Menunjukkan nyeri hilang atau terkontrol,
terlihat rileks, dapat tidur atau beristirahat
dan berpartisipasi dalam aktivitas sesuai
kemampuan
d. Menunjukkan kemajuan pada penyembuhan lesi
e. Mempertahankan fungsi posisi dengan tidak
hadirnya kontraktur
f. Pasien bebas dari tanda dan gejala infeksi dan
menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya
infeksi
g. Menunjukkan kecemasan hilang dan koping pasien
baik terhadap perubahan status kesehatan

Anda mungkin juga menyukai