Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Dansa alias Daniel sawaki narapidana kasus pencurian berhasil kabur dari

lapas kelas IIB Kabupaten Manokwari. Narapidana ini berhasil kabur pada saat di

ijinkan keluar dari kamar karantina guna mengikuti pertandingan sepak bola

gawang mini yang di selenggarakan di dalam lapas, Pertandingan tersebut untuk

memperingati 17 Agustus hari kemerdekaan bangsa indonesia. Dengan adanya

pelarian tersebut merupakan satu kelalaian petugas dalam melaksanakan tugas.

Pola penegakan hukum merupakan bagian dari cara kerja sistem hukum,

namun proses sosial yang berlangsung, dinamika politik yang berlangsung, serta

pergeseran nilai dan norma masyarakat tidak dapat dipisahkan darinya. Selain

itu, penegakan hukum mencontohkan suatu dimensi fungsi hukum yang

orientasinya dapat berbeda-beda tergantung pada keadaan sosio-historis tertentu.

Keputusan Dirjen Bina Lingkungan tentang Tuna No. Sesuai Peraturan

Pemasyarakatan Pemasyarakatan (PPLP) DP.3.3/18/14 yang diterbitkan pada

tanggal 31 Desember 1974, berikut pembagian tugas masing-masing penjaga

berdasarkan tentang fungsi dan kegunaan tugas regu jaga:

a. Menjaga supaya jangan terjadi pelarian

b. Menjaga supaya tidak terjadi kericuhan

c. Menjaga tertibnya peri-kehidupan penghuni LP

d. Menjaga utuhnya gedung dan seisinya

Pasal 426 KUHP menjelaskan penerapan sanksi pidana bagi sipir

terhadap narapidana yang melarikan diri sesuai dengan asas yang terkandung
1
dalam hukum pidana, sudah sepantasnya bagi pelaku yang lalai atau dengan

sengaja menyebabkan narapidana melarikan diri, pelaku dipidana sesuai dengan

hukum yang berlaku. , terutama setelah ditutupnya kantor Lapas. Namun, artikel

tersebut tidak benar-benar digunakan. Ketertarikan penulis untuk memilih dipicu

oleh fakta-fakta tersebut di atas.

“PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PETUGAS

JAGA LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS IIB

MANOKWARI TERHADAP NARAPIDANA YANG

MELARIKAN DIRI”

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaminakah penerapan sanksi pidana terhadap petugas jaga lembaga

pemasyrakatan kelas IIB Manokwari terhadap narapidan yang melarikan

diri berdasarkan kitab undang undang hukum pidana pasal 426

bagaimanakah sanksi pidana terhadap petugas lembaga yang lalai dalam

tugas dan tanggung njawab jawab di saat melaksanakan tugas.

2. Apakah hambatan penerapan sanksi pidana bagi petugas

3. Faktor- faktor apa yang menghambat penerapan sanksi pidan bagi

petugas lapas

C. TUJUAN PENELITIAN

1. Untuk mengetahui penerapan sanksi bagi petugas jaga lembaga

pemasyarakatan kelas IIB Kabupaten Manokwari berdasarkan sanksi yang

berlaku

2. Untuk mengetahui apakah hambatan dalam penerapan sanksi pidana bagi

petugas

3.
2
D. MANFAAT

1. Manfaat Teoritik

Manfaat penelitian ini pada intinya adalah untuk mengetahui efektifitas

sarana dan prasarana hukum yang mengatur tentang napi dan tahanan

yang melarikan diri.

2. Manfaat Praktis

a) Bagi penulis

Sebagai sarana untuk menerapkan teori yang telah didapat dan

sebagai sarana untuk memenuhi syarat-syarat dalam mendapatkan

gelar kesarjanaan di bidang hukum.

Bagi STIH Manokwari

b) Bagi STIH Manokwari

Sebagai sumbangsih pemikiran dalam bidang imu hukum sekaligus

dapat dijadikan acuan untuk pembangunan penelitian selanjutnya bagi

lembaga perguruan tinggi dimana penulis menuntut ilmu

c) Bagi Masyarakat Umum

Dengan adanya penelitian ini diharapkan masyarakat umum akan

lebih kritis terhadap hukum yang ada serta lebih pro-aktif dalam

mewujudkan hukum-hukum yang akan ada maupun memperbaiki

hukum yang sudah ada pada umumnya, dan hukum pidana pada

khususnya.

3
E. KEASLIAN PENELITI

Dalam mencari atau mengungkapkan masalah yang diteliti penulis mencari

permasalah baru dengan maksud agar keaslian tetap termuat dalam penulisan

skripsi yang diibagi dengan teori – teori dan pendapat – pendapat yang

berkaitan dengan. “penerapan sanksi pidana terhadap petugas jaga lembaga

pemasyarakatan kelas II B Manokwari terhadap narapidana yang melarikan

diri yang mana peniliti mengambil dua judul sebagai keaslian peniliti

yaiu :

3. Judul: ” PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PETUGAS

JAGA LEMBAGA PEMASAYARAKATAN KELAS IIB

MANOKWARI TERHADAP NARAPIDANA YANG MELARIKAN

DIRI TAKENGON” 2017

Nama : WINDA PUTRA LESTARI

Asal Kampus : FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SYIAH

KUALA

4. Judul : ”PENEGAKAN HUKUM PIDANA

TERHADAP : TAHANAN YANG MELARIKAN DIRI DARI

LEMBAGA PEMASYARAKATAN

KELAS II : AJAMBI” 2021

Nama : EKO SABDANA PUTRA

Asal Kampus :FAKULTAS SYARIAH UNIVERSITASISLAM

NEGERI SULTHAN THAHASAIFUDDINJAM

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. TINDAK PIDANA HUKUM

Kata Belanda starf, yang berarti hukuman, adalah asal mula istilah

kejahatan. Namun, beberapa akademisi berpendapat bahwa istilah "starf" memiliki

arti yang berbeda dari "recht" yang mengacu pada hukum.

Kemudian menurut Sudarto, pemidanaan adalah penderitaan yang

dimaksudkan untuk ditimpakan kepada orang yang melakukan perbuatan dengan

cara mewajibkan mereka memenuhi syarat-syarat tertentu.

Selain itu, Roeslan Saleh berpendapat bahwa kejahatan adalah pembalasan

atas pelanggaran, yang terwujud dalam penderitaan yang disebabkan oleh negara

yang sengaja memberdayakan pelakunya.

Penafsiran yang berbeda juga diberikan oleh akademisi lainnya. Burton M.

Leiser, misalnya, berpendapat bahwa gagasan kejahatan adalah kejahatan yang

dilakukan oleh seseorang yang memiliki wewenang atas orang lain dan

dimaksudkan untuk diadili karena melanggar aturan atau hukum.

Salah satunya adalah Rupert Cross yang dikutip oleh Adami Chazawi

dalam bukunya “KUHP Indonesia” mengatakan bahwa kejahatan adalah ketika

negara menempatkan seseorang yang telah dihukum karena kejahatan melalui

penderitaan.

P.A.F. Lamintang mengutip tokoh hukum pidana lainnya, termasuk

Simons. Menurut P.A.F. Lamintang, kejahatan atau delik adalah penderitaan yang

menurut hukum pidana dikaitkan dengan pelanggaran suatu peraturan. putusan

yang dijatuhkan oleh hakim kepada pihak yang bersalah1

5
Secara umum kejahatan dapat dipahami sebagai suatu bentuk

penderitaan yang sengaja ditimpakan oleh negara kepada seseorang atau orang-

orang di bawah hukum (hukuman) karena perbuatannya melanggar larangan-

larangan hukum pidana. Secara khusus, larangan ini merupakan kejahatan

dalam hukum Belanda (strafbaar feit). Berikut isi dari tindak pidana tersebut,

berdasarkan perbedaan pendapat di atas:

1. Pengenaan penderitaan, rasa sakit, atau hasil yang tidak menyenangkan

lainnya adalah inti dari hukuman.

2. Seseorang atau otoritas (orang atau organisasi yang kompeten) dengan

sengaja memaksakan penilaian. Menurut hukum, orang yang melakukan

kejahatan menerima hukuman.

3. Menurut ketentuan undang-undang, orang yang bertanggung jawab

secara pidana dikenakan hukuman.2

Menurut Sudarto yang menyatakan bahwa “hukuman” berasal dari

kata dasar “hukum”, terpidana juga merupakan tindakan yang dilakukan oleh

hakim untuk menghukum terdakwa, sehingga dapat dipahami sebagai

penetapan putusan atau putusan. pemidanaan (pembenaran) Penjatuhan

pidana oleh hakim disebut sebagai “hukuman” dan merupakan “konkretisasi”

atau “realisasi” ketentuan pidana undang-undang sebagai sesuatu yang

abstrak.3

Produk hukum adalah jalan yang jelas bagi seseorang atau badan untuk

memperoleh semua hak-haknya yang sah. Akibatnya, setiap orang

mengharapkan produk hukum yang baik. Seseorang atau entitas memiliki

tujuan yang berbeda, tetapi mereka semua menginginkan hal yang sama: hak

yang sama dan perlindungan dari hukum. Ini termasuk berurusan dengan

6
tahanan yang melarikan diri. Ada banyak alasan mengapa orang mengikuti

hukum:

a. Karena orang percaya bahwa peraturan itu legal. Mereka sangat peduli

dengan aturan yang diberlakukan.

b. Karena dia perlu menerimanya agar merasa tenang. Peraturan baginya

adalah peraturan hukum rasional (rationeele aanvaarding). Penerimaan

logis ini sebagai akibat dari hukuman yang dikenakan oleh hukum. Orang

memilih untuk hanya mengikuti hukum untuk menghindari masalah,

karena melanggar hukum membawa konsekuensi.

c. Karena itu yang diinginkan orang. Nyatanya, banyak orang yang tidak

mau repot-repot menanyakan apakah sesuatu akan menjadi undang-

undang.

d. Akibat tekanan sosial. Ketika seseorang melanggar aturan sosial atau

hukum, mereka merasa malu atau khawatir disebut sebagai orang

asosial.4

Agar asas-asas hukum tersebut menjadi kenyataan berdasarkan

otoritas hukum, diperlukan kekuatan fisik untuk penegakan hukum yang

efektif. Efisiensi hukum dan efisiensi penegakan hukum terkait erat. Sanksi

harus ditegakkan oleh aparat penegak hukum agar hukum menjadi efektif.

Masyarakat dapat menerima sanksi berupa kepatuhan, yang menjadi bukti

bahwa hukum berjalan. Jhony Ibrahim mengutip pendapat Moch Koesnoe.5

Banyak ahli yang selalu mengaitkan tujuan hukum pidana dengan

tujuan pemidanaan ketika membahas tujuan hukum pidana karena tidak ada

perbedaan mendasar antara keduanya. Secara teori, ada tiga macam tujuan

dalam hukum pidana:


7
1. Jenis sekolah yang dikenal dengan pendidikan klasik ini hanya menitikberatkan

pada perbuatan para pelaku kejahatan, yang pelakunya kemudian dikenakan

tuntutan pidana. Itu tidak memperhitungkan konteks atau alasan kejahatan. Dengan

kata lain, tindakan, bukan orang yang melakukan kejahatan, yang penting. Teori

ketidakpastian tentang kebebasan kehendak manusia, atau daadstrafrecht,

menekankan bahwa tindak pidana dilakukan berdasarkan hukum pidana, yang

mempengaruhi konsep aliran pemikiran ini. Aliran kanonik ini mencerminkan

gagasan finalitas dalam hukum pidana, yaitu perlindungan kepentingan umum,

ketika sampai pada keputusan finalitas.

2. Aliran modern, disebut juga aliran positif, dimaksudkan untuk menjangkau dan

mempengaruhi secara langsung kejahatan dengan menyelidiki sebab-sebabnya

dengan menggunakan metode ilmiah alam. positif, asalkan dapat diperbaiki. yaitu,

karakter pribadi seseorang, faktor biologis, dan faktor sosial dan lingkungan

semuanya berdampak pada tindakan mereka. Aliran ini didasarkan pada

determinisme yang berpandangan bahwa orang tidak dapat disalahkan atau

dihukum karena dianggap tidak memiliki kehendak bebas tetapi dipengaruhi oleh

karakter dan lingkungannya. Akibatnya, para pelaku kejahatan mewujudkan esensi

aliran ini. Saat terjadi kejahatan, pelakunya tidak otomatis dihukum; jika ini

ditetapkan, langkah pertama adalah menetapkan motif kriminal penulis. bahwa

pencipta harus dihukum, maka ia dihukum secara pidana. tergantung pada keadaan

pelaku dan kejahatan yang dilakukannya. Kebutuhan untuk mengobati dan

membuktikan pelaku kesalahan merupakan cerminan dari bagaimana sekolah

modern telah menggunakan konsep kejahatan individualisasi untuk menangani

kejahatan. Dalam hal ini, ada tiga karakteristik: tanggung jawab pidana individu,

dan tidak ada pilihan lain. dikenakan kepada pelaku, dan kejahatan itu perlu

8
diperbaiki. Jika aliran ini dikaitkan dengan tujuan hukum pidana, maka dapat

dikatakan bahwa aliran ini merupakan konstruksi dari tujuan hukum pidana, yaitu

perlindungan kepentingan individu, berdasarkan sifat dan keadaan pencipta. karena

mazhab ini menegaskan bahwa hak-hak penjahat harus selalu dijaga dari

kemungkinan kesewenang-wenangan pihak penguasa ketika mereka dihukum.

3. Mazhab nonklasik merupakan pengembangan dari mazhab klasik yang dipengaruhi

oleh mazhab modern. Sifatnya sesuai dengan asas individualisasi kejahatan yang

merupakan modifikasi dari doktrin. Sekolah nonklasik adalah sekolah yang

dipengaruhi oleh sekolah modern. kebebasan berpikir dan ajaran tanggung jawab,

sehingga titik fokus dari penalaran mazhab ini adalah pada bagian perbuatan salah.

Penetapan suatu tindak pidana didasarkan atas pertimbangan yang cermat dan

keseimbangan antara keadaan jenis kejahatan yang dilakukan oleh seseorang

dengan keadaan subyektif pelaku. dan pelaku melakukan kejahatan secara

seimbang. kejahatan, apalagi jika dilakukan, harus dapat meyakinkan juri bahwa

orang yang melakukan kejahatan itu adalah benar-benar yang melakukannya, dan

untuk itu harus dihukum. hukuman berdasarkan pelanggarannya. Aliran ini sejalan

dengan tujuan hukum pidana, yaitu untuk melindungi kepentingan masyarakat dan

individu, jika dicermati.6

B. LEMBAGA PEMASYARAKATAN

1. Pengertian Lembaga Pemasyarakatan (Lapas)

Di Indonesia, istilah “lembaga pemasyarakatan” atau disebut juga “lapas”

mengacu pada tempat di mana para pemasyarakatan dan narapidana dapat

memperoleh pembinaan. Sebelum Indonesia memiliki istilah penjara, dikenal

sebagai Indonesia. Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Pemasyarakatan

9
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (dahulu Departemen

Kehakiman) mengawasi lembaga pemasyarakatan.7

2. Tujuan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas)

Menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang

Pemasyarakatan, sistem pemasyarakatan disusun agar Warga Binaan

Pemasyarakatan menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahannya,

memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat

diterima kembali oleh masyarakat. dan berperan aktif. dalam proses

pembangunan, dan mereka dapat hidup normal sebagai warga negara yang

bertanggung jawab. Selain itu, berikut adalah tujuan dari lembaga

pemasyarakatan: 18

a. Mengajarkan warga binaan pemasyarakatan bagaimana menjadi

manusia seutuhnya, belajar dari kesalahannya, memperbaiki diri, dan

menghindari pengulangan pelanggaran sehingga dapat diterima oleh

masyarakat, berkontribusi pada perkembangan dirinya sendiri, dan

hidup normal sebagai warga negara yang bertanggung jawab.

b. Membuat ketentuan untuk menjaga hak asasi narapidana yang ditahan

di Rutan Negara dan alasan-alasannya untuk memudahkan proses

penyidikan, penuntutan, dan persidangan. menghadapi pengadilan.

c. Melindungi hak asasi terpidana dan para pihak serta keselamatan dan

keamanan barang sitaan untuk digunakan sebagai barang bukti dalam

penyidikan, penuntutan, dan persidangan, serta barang yang

dinyatakan disita untuk negara oleh pengadilan.8

3. Fungsi Lembaga Pemasyarakatan (Lapas)

Menurut Pasal 3 UU Pemasyarakatan, tujuan lembaga pemasyarakatan


10
adalah mempersiapkan narapidana untuk integrasi yang sehat ke dalam

masyarakat sehingga mereka dapat kembali berperan sebagai anggota

masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab. Memulihkan kerukunan

dalam hubungan antara warga binaan pemasyarakatan dengan masyarakat

merupakan pengertian dari integrasi yang sehat. Narapidana dan siswa

pemasyarakatan dalam sistem pemasyarakatan memiliki hak pembinaan

rohani dan jasmani, serta hak untuk menjalankan agamanya, berinteraksi

dengan pihak luar, termasuk keluarga dan pihak lain, serta memperoleh

informasi yang dapat dipercaya. melalui media cetak dan elektronik,

pendidikan yang berkualitas, dan kegiatan lainnya.9

4. Pola Pembinaan Pemasyarakatan.

Tujuan sistem pemasyarakatan adalah menggunakan model pembinaan

narapidana untuk merawat narapidana sehingga mereka dapat kembali ke

masyarakat sebagai anggota masyarakat yang produktif dan bermanfaat

untuk diri mereka sendiri. negara dan masyarakat. Alhasil, bisa dikatakan

pembinaan narapidana juga berarti memperlakukan seseorang yang

statusnya sebagai narapidana dirancang untuk membantunya menjadi

orang baik. Oleh karena itu, agar narapidana mendapatkan kembali

kepercayaan dirinya dan mampu mengembangkan fungsi sosialnya dengan

rasa tanggung jawab untuk menyesuaikan diri dengan masyarakat, perlu

pembinaan karakter dan keberaniannya. Akibatnya, pembinaan mutlak

membutuhkan partisipasi dan dukungan masyarakat.

Sistem pembinaan narapidana dilaksanakan sesuai dengan asas-asas

sebagai berikut, sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 UU No. 12 Tahun

1995: 20

11
a) Pengayoman, yaitu perilaku terhadap warga binaan pemasyarakatan

dalam rangka melindungi masyarakat dari kemungkinan diulanginya

tindak pidana oleh warga binaan pemasyarakatan, juga memberikan

bekal hidupnya kepada warga binaan pemasyarakatan, agar menjadi

warga yang berguna di masyarakat.

b) Persamaan Perlakuan dan Pelayanan, yaitu pemberian perlakuan dan

pelayanan yang sama kepada warga binaan pemasyarakatan tanpa

membeda-bedakan orang.

c) Pendidikan dan Pembimbingan yaitu bahwa penyelenggara pendidikan

dan bimbingan dilaksanakan berdasarkan Pancasila, antara lain

penanaman jiwa kekeluargaan, keterampilan, pendidikan kerohanian,

dan kesempatan untuk menunaikan ibadah.

d) Penghormatan Harkat dan Martabat Manusia, yaitu bahwa sebagai

orang yang tersesat warga binaan pemasyarakatan harus tetap

diperlukan sebagai manusia.

e) Kehilangan Kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan adalah

warga binaan pemasyarakatan harus berada di dalam Lembaga

Pemasyarakatan untuk jangka waktu tertentu, sehingga mempunyai

kesempatan penuh untuk memperbaikinya. Selama di Lembaga

Pemasyarakatan (warga binaan tetap memperoleh hak- haknya yang

lain seperti layaknya manusia, dengan kata lain hak perdatanya

tetap dilindungi seperti hak memperoleh perawatan, kesehatan, makan,

minum, pakaian, tempat tidur, latihan, olah raga, atau rekreasi).

f) Terjaminnya Hak Untuk Tetap Berhubungan Dengan

Keluarga atau Orang tertentu, yaitu bahwa warga binaan

12
pemasyarakatan berada di Lembaga Pemasyarakatan, tetapi harus tetap

didekatkan dan dikenalkan kepada masyarakat dan tidak boleh

diasingkan oleh masyarakat, antara lain berhubungan dengan

masyarakat dalam bentuk kunjungan, hiburan ke dalam Lembaga

Pemasyarakatn dari anggota masyarakat yang bebas, dalam

kesempatan berkumpul bersama sahabat dan keluarga seperti program

cuti mengunjungi keluarga.10

C. TINJAUAN TENTANG NARAPIDAN

1. Pengertian Tahanan

Secara umum dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan yang dimaksud dengan Tahanan adalah bagian dari

Warga Binaan Pemasyarakatan, hal ini terdapat pada Pasal 1 angka 5

yang menyatakan bahwa: “Warga binaan pemasyarakatan adalah

tahanan, anak didik pemasyarakatan dan klien pemasyarakatan.”

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan dapat disimpulkan bahwa tahanan adalah seseorang

yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap yang menjalani pidana hilang

kemerdekaan dimana dalam proses pembinaannya dilaksanakan di

Lembaga Pemasyarakatan sebagai tempat untuk menahan mereka

berinteraksi dengan dunia luar. Berdasarkan hukum Islam tindak

pidana sering disebut dengan istilah jarimah. Pendapat H.A Djazuli

yang dikutip Lysa Anggrayni (2015: 50)15.11

2. Narapidana

Menurut kamus induk istilah ilmiah menyatakan bahwa narapidana

13
adalah orang hukuman atau orang buian12. Dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tercantum pada Pasal 1

angka 32, terpidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkan

putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Menurut Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995

tentang Pemasyarakatan menjelaskan bahwa narapidana adalah

terpidana yang sedang menjalani pidana hilang kemerdekaan di

Lembaga Pemasyarakatan, menurut Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, terpidana adalah

seseorang yang di pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap. Pernyataan diatas dapat

disimpulkan bahwa narapidana adalah seseorang atau terpidana yang

sebagian kemerdekaannya hilang sementara dan sedang menjalani

suatu hukuman di Lembaga Pemasyarakatan.

Sebelum istilah narapidana digunakan, yang lazim dipakai adalah

orang penjara atau orang hukuman. Dalam Pasal 4 ayat (1)

Gestichtenreglement (Reglemen Penjara) Stbl. 1917 No. 708

disebutkan bahwa orang terpenjara adalah:

a) Orang hukuman yang menjalani hukuman penjara (Gevengenis

Straff)

b) atau suatu status/keadaan dimana orang yang bersangkutan

berada :

1. dalam keadaan Gevangen atau tertangkap;

2. Orang yang ditahan buat sementara;

14
3. Orang di sel;

c) Sekalian orang-orang yang tidak menjalani hukuman orang-

orang hilang

1. kemerdekaan (Vrijheidsstraaf) akan tetapi dimasukkan ke

penjara

2. dengan sah

3. Hak-hak Narapidana.13

Narapidana adalah mereka yang sedang menjalani pidana

kehilangan kemerdekaannya di Rumah Tahanan atau Lapas

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Menurut undang-

undang dan peraturan, orang yang berada di penjara atau di bawah

sanksi lain dianggap sebagai narapidana. Menurut kamus bahasa

Indonesia, istilah “terpidana” berarti “orang yang menjalani hukuman

karena suatu tindak pidana”.14

Oleh karena itu, seseorang yang telah melakukan kejahatan,

diadili, dijatuhi hukuman pidana, dan dipenjarakan dalam suatu

fasilitas yang disebut penjara disebut sebagai terpidana. Secara umum,

orang-orang yang berada di dalam penjara kurang mendapatkan

perhatian dari masyarakat dan keluarganya. Akibatnya, staf di penjara

perlu memberikan perhatian yang cukup agar dia mendapatkan

kembali kepercayaan dirinya.15

Selain itu, pengertian “narapidana” dalam Pasal 1 angka 7

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan

15
adalah “Terpidana yang melakukan tindak pidana kehilangan

kemerdekaan di dalam penjara”.

sehingga dapat dikatakan bahwa terpidana sesungguhnya

hanyalah orang biasa yang untuk sementara kehilangan hak

kemerdekaannya karena telah melakukan tindak pidana, sehingga

haknya tidak dapat diabaikan.

Namun demikian, Peraturan Pemerintah ini mengalami dua kali

perubahan dalam perkembangannya, yang pertama dengan adanya

Peraturan Pemerintah No. Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan

Pemasyarakatan sebagaimana telah diubah dengan PP No. 28 Tahun

2006 99 Tahun 2012. Namun, satu-satunya perubahan yang terjadi di

luar angkasa adalah perubahan yang memberikan remisi, asimilasi,

dan pembebasan bersyarat bagi terpidana tindak pidana terorisme,

narkotika, psikotropika, korupsi serta kejahatan terhadap negara,

kejahatan HAM berat dan kejahatan transnasional yang terorganisir

lainnya yang merupakan kejahatan luar biasa.16

D. METODE PENILITIAN

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat yuridis empiris, yaitu jenis penelitian hukum

sosiologis dan dapat juga disebut penelitian lapangan. Ini melihat

hukum yang berlaku dan apa yang sebenarnya terjadi di masyarakat.

Artinya, dengan kata lain penelitian yang dilakukan terhadap

keadaan sebenarnya atau keadaan nyata yang terjadi di masyarakat

dengan maksud untuk memperoleh fakta dan data yang diperlukan.

Setelah data yang diperlukan dikumpulkan, masalah diidentifikasi,

16
yang pada akhirnya mengarah pada pemecahan masalah.

2. Sumber data

Data primer adalah informasi tentang suatu masalah yang datang langsung dari

sumber pertama. Wawancara langsung dengan petugas dan narapidana di Lapas

Kelas II B Manokwari memberikan data primer.

3. Teknik Pengumpulan Data

Wawancara adalah situasi interpersonal tatap muka di mana

pewawancara mengajukan pertanyaan kepada informan yang

bertujuan untuk mendapatkan tanggapan yang berkaitan dengan

masalah penelitian. Metode wawancara semi-terstruktur lebih cocok

untuk penelitian kualitatif daripada jenis penelitian lainnya.

Pertanyaan terbuka yang membatasi topik dan alur pembicaraan,

kecepatan wawancara yang dapat diprediksi, fleksibel, tetapi

terkontrol, pedoman wawancara yang berfungsi sebagai tolok ukur

alur, urutan, dan penggunaan kata-kata, dan tujuan wawancara untuk

memahami suatu fenomena adalah semua karakteristik wawancara

semi-terstruktur.

4. Analisis Data

Bekerja dengan data, mengaturnya menjadi unit-unit yang dapat

dikelola, mensintesisnya, mengidentifikasi pola, menentukan apa

yang penting dan apa yang dapat dipelajari, dan menentukan apa yang

dapat dikatakan kepada orang-orang adalah semua aspek analisis data

kualitatif. lainnya.

5. Sumber Data

Bekerja dengan data, mengaturnya menjadi unit-unit yang dapat

17
dikelola, mensintesisnya, mengidentifikasi pola, menentukan apa yang

penting dan apa yang dapat dipelajari, dan menentukan apa yang dapat

dikatakan kepada orang-orang adalah semua aspek analisis data

kualitatif. lainnya.8

E. SISTEM PENULISAN

1. Bab I

merupakan bab pendahuluan yang didalamnya dijelaskan mengenai

latar belakang masalah, rumusan maslah, tujuan penelitian, manfaat

penelitian, keaslian penelitian, metode penilitian dan sistimatis

penulisan.

2. Bab II

dalam bab ini diuraikan tentang tinjauan pustaka

3. Bab III

merupakan bab yang berisikan hasil penilitian dan pembahasan

tentang “penerapan sanksi pidana terhadap petugas jaga lembaga

pemasyarakatan kelas II B Manokwari terhadap narapidana yang

melarikan diri”.

4. Bab IV

merupakan bab penutup dalam penulisan ini yang terbai menjadi dua sup yaitu

kesimpulan dan saran.

F. DAFTAR PUSTAKA

Buku

Eddy O.S Hiariej, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Erlangga,

2009,
18
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, 2005

R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2019),

P. A. F. Lamintang,1984, Dasar – Dasar Hukum Pidana Indonesia

Dwidja Priyatno ,2006, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di

Indonesia, Refika Aditama

R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2019),

Mahrus Ali, 2012, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta

Timur

Jhony Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif,

(Surabaya : Bayu Media Publishing, 2007)

Marini Mansyur,2011, Peranan Rumah Tahanan Negara Dalam

Pembinaan Narapidana,

Barda Nawawi Arief, 2011, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,

Kencana PrenadaMedia Group, Jakarta,

Junal/Artikel/Makalah/Majalah/Sumber-Sumber Lain

1. Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, 2005

hlm 1

2. Penny Naluria Utami, „‟Keadilan Bagi Narapidana Di Lembaga

Pemasyarakatan ( Justice For Convicts At The Correctionl

Institutions)‟‟, Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, Kementrian

Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Volume 17,

Nomor 3 September 2017: 381- 394, hlm. 385.

3. Eddy O.S Hiariej, Pengantar Hukum Pidana Internasional,

Erlangga, 2009, hlm.10

19
4. Bambang Poernomo, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem

Pemasyarakatan, Yogyakarta : Liberty, 1982, hlm.190

5. Harsono HS,Sistem Baru Pembinaan Narapidana,

Jakarta:Djambatan, 1995, hal.5.

6. Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1981,

hlm.73.

7. Sudarto, loc.cit

8. Rady Aryan Putra “Implementasi Hukuman Disiplin Bagi

Narapidana (Studi Kasus Di Lapas Kelas Ii A Padang)2022” Hal-1

9. https://m.mediaindonesia.com/nusantara/157118/satu-napi-

lapas- manokwari-yang-kabur-menyerahkan-diri.

10. Baharudin Suryobroto, Bunga Rampai Pemasyarakatan, Jakarta,

Dirjen Pemasyarakatan, 2000, hlm.10

11. Data Kasus Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas Ii B Manokwari

12. Muladi Dan Barda Nawawi Arief,2005, Teori – Teori Dan

Kebijakkan Pidana,Alumni, Bandung,Hlm.4.

13. Lembaga Permasyarakatan, 2019, Pengertian

Lembaga Permasyarakatan,

https//id.m.wikipedia.org/wiki/Lembaga_Pemasyarakatan

Diakses pada tanggal 15 September 2021

14. Wordpress, 2016, Tujuan

Lapas, https://lpkedungpane.wordpress.com/profil/tujuan- sasaran/,

diakses pada tanggal 20 Oktober 2021, Pukul 23.00 WIB.

15. Dwidja Priyatno, 2006, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di

Indonesia, Refika Aditama,Bandung, hlm. 104

20
16. Rady Aryan Putra Implementasi Hukuman Disiplin Bagi Narapidana

Skripsi Padang 2021 Hlm.15

17. Lysa Anggrayni. Hukum Pidana Dalam Perspeksif Islam dan

Perbandingannya Dengan Hukum Pidana di Indonesia. Jurnal Karya

Ilmiah. Vol XV. 2015, hlm. 50

18. Dahlan, M.Y. Al-Barry, 2003. Kamus Induk Istilah Ilmiah Seri

Intelectual, Target Press, Surabaya,hlm 53.

19. Wahdanigsi, 2015. Implementasi Hak Narapidana Untuk

Mendapatkan Pendidikan dan Pengajaran Di Rumah Tahanan

Negara Klas IIB Kabupaten Sinjai. Hasil Penelitian Mahasiswa

Universitas Hasanuddin. Makasar.

21
BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Penerapan sanksi pidana terhadap petugas jaga Lembaga Pemasyarakatan

Kelas II B Kabupaten Manokwari terhadap narapidana yang melarikan

diri berdasarkan Kitab Undang ± Undang Hukum Pidana

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan petugas pengamanan pintu utama

yaitu bapak Kevin Suruan mengenai tugas- tugasnya yaitu:

1) Membuka / menutup pintu gerbang.

2) Mengenali lebih dahulu setiap orang baik tamu, pegawai maupun penghuni

yang akan masuk LAPAS

3) Menjaga jangan ada penghuni LAPAS keluar dari LAPAS dengan tidak

syah.

4) Menerima penghuni LAPAS yang masuk dan menyerahkan kepada

komandan jaga

5) Menjaga agar jumlah penghuni LAPAS yang diterima diruang portir / pintu

utama seimbang dengan kekuatan penjagaan portir.

6) Menerima tamu baik pegawai maupun bagi penghuni LAPAS dan

melaporkan kepada komandan jaga melarang tamu masuk membawa senjata

supaya dititipkan kepada komandan jaga.

7) Memeriksa barang ± barang bawaaan tamu untuk penghuni dan menitipkan

handphone kepada petugas pengamanan pintu utama.

Dari uraian tugas-tugas petugas pengamanan pintu utama masih terdapat

kelemahan-kelemahan petugas jaga saat bertugas dalam pengamanan pintu utama

adalah tidak diperlengkapi dengan senjata.

Senjata setiap petugas diletakkan di Portir yang dijaga oleh komandan jaga.
22
Meningkatkan profesionalisme aparat penegak hukum perlu

ditumbuhkembangkan untuk mengantisipasi perkembangan zaman yang

semakin modern dan semakin tumbuhnya teknologi canggih.

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan petugas pengamanan

komandan regu jaga yaitu bapak Kevin Suruan tugas-tugasnya yaitu:

a) Meneliti dan mengamati setiap pengunjung yang akan/telah selesai

berkunjung.

b) Mengarahkan pengunjung ke ruang kunjungan.

c) Menerima dan meneliti keabsahan surat pengunjung.

d) Mencatat warga binaan yang dikunjungi.

e) Menjaga/menyimpan senjata api setiap petugas pengamanan di ruangan

Portir. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan petugas

pengamanan blok hunian

yaitu:

1) Bapak Soleman Kaviar yang bertugas pengamanan blok kamar yaitu blok A

2) Bapak Ridwan Hairudin yang bertugas pengamanan blok kamar hunian yaitu

blokC.

3) Bapak Wiliam Merabano yang bertugas pengamanan blok kamar hunian yaitu

blok B.

Mengenai tugas-tugasnya yaitu:

a. Menjaga warga binaan/narapidana agar tidak keluar tanpa izin dari petugas

blok kamar yang telah ditetapkan

b. Menjaga ketertiban setiap blok kamar hunian yang dijaga

c. Memeriksa setiap warga binaan/narapidana yang akan keluar dari blok kamar

hunian.

23
d. Memeriksa setiap warga binaan/narapidana yang memasuki blok kamar

hunian.

Berdasarkan uraian di atas, tanggung jawab petugas penanggung jawab

blok kamar penghuni sangat menantang karena jumlah petugas tidak sesuai

dengan jumlah penghuni di LAPAS dan mereka tidak dipersenjatai saat bertugas.

bertugas menjaga blok.

Menurut temuan penelitian penulis di Lapas Kelas II B Kabupaten

Manokwari, petugas sipir di Lapas Kelas II A Kabupaten Manokwari hanya

dikenakan sanksi administratif, atau hukuman disiplin, dalam hal penjatuhan

pidana. sanksi.

Namun jika mencermati kejadian pada 22 Juli 2019, satu napi kabur karena

kecerobohan satpam, dan dua napi lainnya berhasil kabur dengan memanfaatkan

kecerobohan satpam.

Karena pengaturan rinci tentang penerapan sanksi pidana terhadap petugas

lapas, baik lalai maupun kesengajaan, maka terdapat pasal-pasal yang menjelaskan

tentang penerapan sanksi pidana terhadap petugas lapas. Dari gambaran

kronologis kaburnya terpidana, sudah sepantasnya petugas jaga yang bersangkutan

dikenai sanksi pidana. Koreksi terhadap buronan, khususnya Pasal 426 KUHP

yang berbunyi:

1. Pegawai negeri yang diwajibkan menjaga orang yang ditahan menurut

perintah kekuasaan umum atau keputusan atau perintah hakim dengan sengaja

membiarkan orang itu melarikan dirinya atau dengan sengaja melepaskan

orang itu, atau dengan sengaja menolong orang itu dilepaskan atau

melepaskan dirinya dihukum penjara selama-lamany empat tahun.

2. Jika orang itu lari, terlepas atau melepaskan dirinya karena kelalaian pegawai

24
negeri itu, maka pegawai negeri itu dihukum kurungan selama lamnya dua

bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,_

Dari uraian pasal diatas jelas mengenai penerapan sanksi pidana terhadap petugas

sudah diatur sebelumnya. KUHP telah mengatur dengan rinci tentang perbuatan

tersebut, sesuai dengan asas legalitas Pasal 1 ayat 1 KUHP yang dihukum,

melainkan atas kekuatan pidana dalam undang-undang, yang ada terdahulu(Nullum

Delictum Nulla Poena Sine Praveia Lege Poenale). Adapun penyebab tidak

digunakannya pasal yang terdapat dalam KUHP terhadap petugas jaga yang

bersangkutan, berdasarkan wawancara penulis kepada Kepala Lembaga

Pemasyarakatan, Bapak Yulius paat penyebabnya adalah:

a) Kurangnya jumlah petugas jaga pada saat terjadinya pelarian tersebut

b) Tidak terbuktinya para petugas yang bersangkutan membantu pelarian

c) Kasus-kasus yang terjadi sangat wajar karena fasilitas penjagaan yang sangat

terbatas, sehingga tidak mampu mencegah apabila terjadi pemberontakan dari

pihak terpidana

d) Tidak sesuai jumlah personil dengan narapidana

e) Keterbatasan daya tampung Lembaga Pemasyarakatan

f) Jumlah senjata yang terbatas

Selain alasan - alasan tersebut diatas yang menyebabkan tidak dikenakannya pasal

dalam KUHP kepada petugas yang bersangkutan ialah Peraturan Pemerintah Nomor 52

Tahun 2010 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil Pasal 7 yang berbunyi:

1. Tingkat hukuman disiplin terdiri dari:

a. Hukuman disiplin ringan

b. Hukuman disiplin sedang dan

c. Hukuman disiplin berat

25
(1) Jenis hukuman disiplin ringan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) huruf a terdiri dari:

a. Teguran lisan

b. Teguran tertulis, dan

c. Pernyataan tidak puas secara tertulis

(2) Jenis hukuman disiplin sedang sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) huruf b terdiri dari:

a. Penundaan kenaikan gaji berkala selama 1 (satu) tahun

b. Penundaan kenaikan pangkat selama1 (satu) tahun dan

c. Penundaan pangkat setingkat lebih rendah selama 1 (satu) tahun.

(4)Jenis hukuan disiplin berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

huruf c terdiri dari:

a. Penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 3 (tiga) tahun

b. Pemindahan dalam rangka penuruan jabatan setingkat lebih rendah

c. Pembebasan dari jabatan

d. Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri

sebagai PNS, dan

e. Pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS.

Dari uraian pasal diatas sangat jelas tidak ada memberi efek jera kepada

petugas jaga yang telah lalai bertugas. Pasal tersebut hanya memberi sanksi

tindakan. Perbedaan prinsip antara sanksi pidana dengan sanski tindakan

terletak pada ada tidaknya unsur pencelaan, bukan pada ada tidaknya unsur

penderitaan.

Sedangkan sanksi tindakan tujuannya lebih bersifat mendidik.

26
A. Hambatan dalam penerapan sanksi pidana terhadap petugas jaga

Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Kabupaten Manokwari

terhadap narapidana yang melarikan diri

Dalam melaksanakan sistem pemasyarakatan di lembaga pemasyarakatan

dalam hal pengawasan narapidana adalah petugas jaga. Berdasarkan hasil

wawancara penulis dengan Kevin Suruan mengenai hambatan dalam penerapan

sanksi pidana terhadap petugas jaga Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B

Kabupaten Manokwari terhadap narapidana yang melarikan diri yaitu:

1. Kurangnya jumlah petugas penjagaan

Salah satu kelemahan dalam pelaksanaan penerapan sanksi pidana

terhadap petugas jaga adalah Jumlah petugas penjagaan di Lembaga

Pemasyarakatan Kelas II B Kabupaten Manokwari tidak sebanding dengan

narapidana yang dijaga. Selain bertugas membina narapidana, menjaga

keamanan Lembaga Pemasyarakatan agar narapidana tidak melarikan diri dari

lingkungan Lembaga Pemasyarakatan.

Adapun yang menjadi tugas dan tanggungjawab dari petugas jaga

Lembaga Pemasyarakatan adalah sebagai berikut, yang menjadi tugas regu

penjaga adalah:

a. Menjaga supaya jangan terjadi pelarian

b. Menjaga supaya tidak terjadi kericuhan

c. Menjaga tertibnya peri-kehidupan penghuni LP

d. Menjaga utuhnya gedung dan seisinya, terutama setelah tutup kantor

Untuk mencapai tujuan yang diharapkan tersebut, maka petugas jaga

harus memadai, disamping harus sesuai dengan formasi yang dibutuhkan

serta didasari dengan bekal pengetahuan yang sesuai dengan yang

27
dibutuhkan dalam tugas pembinaan sehingga mencegah kemungkinan

narapidana melarikan diri. Sedangkan untuk meningkatkan profesionalitas profesi

dapat ditempuh melalui pendidikan khusus, diskusi, mengikuti seminar,

membaca buku-buku ilmah yang menyangkut bidang tugasnya dan pengalaman

praktik dalam bidang penegakan hukum.\

Tabel IV.1

Jumlah staf atau Pegawai Kepala

Pengaman Lembaga Pemasyarakatan

Kelas II B Kabupaten Manokwari tahun

2019

Pegawai KPLP Laki laki Perempuan Jumlah

Staf KPLP 2 Tidak ada 2

Pengamanan Pintu Tidak ada

Utama 4 4

Regu Jaga Tidak ada

I 5 5

Regu Jaga Tidak ada

II 5 5

Regu Jaga Tidak ada

III 5 5

Regu Jaga Tidak ada

IV 5 5

Total 26

Sumber : Registrasi LAPAS Kelas II

B Kabupaten Manokwari Tahun 2019

28
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa jumlah Pegawai Kepala

Pengaman Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Kabupaten Manokwariada

sebanyak 26 orang. Untuk petugas jaga sebanyak 24 orang yang terdiri dari 4

regu penjagaan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Kabupaten Manokwari

2. Over capacity

Tabel IV.2

Jumlah penghuni Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Kabupaten Manokwari

berdasarkan status di Tahun 2019

KETERANGAN JUMLAH

Jumlah narapidan 292

Jumlah tahanan 80

Daya tampung 120

Kelebihan daya tampung 252

Berdasarkan data dari tabel

diatas, di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Kabupaten Manokwari terjadi over

capacity sebanyak 252 orang. Kondisi tersebut membuat petugas jaga kesulitan

dalam hal penjagaan dan membuat narapidana tidak merasa nyaman karena

berdesak-desakan dengan penghuni lainnya.

29
.

BAB IV

PENUTUP

1. Kesimpulan

1. Hambatan yang sering di alami oleh petugas jaga lapas kelas II B manokwari

dalam pelaksanaan tugas, Dengan adanya kekurangan jumlah personil atau petugas

sehingga ini merupakan salah satu faktor terjadinya hambatan- hambatan dalam

pelaksanaan tugas

2. Over Kapasitas ini merupakan salah satu hambatan petugas dalam

melaksanakan tugas dengan lajunya petumbuhan penghuni lapas yang semakin

bertambah dan tidak sebanding dengan sarana hunian lapas sehingga petugas sulit

untuk menjaga dan mengawasi narapidana

3. Sarana dan prasarana penunjang petugas dalam melaksanakan tugas yang

kurang sehingga ini merupakan salah satu faktor hambatan bagi petugas untuk
30
melaksanakan tugas dan tanggung jawab

2. Saran

1. Seharusnya kepala lembaga lapas memberikan sanksi kepada setiap petugas yang

lalai dalam melaksanakan tugas , Sehingga tidak terjadi pelarian berulang kali karena

hukum selalu menjajah setiap narapidana yang akan melarikan diri dari lembaga

pemasyarakatan kelas IIB Manokwari

2. Seharusnya kemenkumham dalam hal ini kalapas keas IIB Manokwari

melaksanakan atau penambahan jumlah personil petugas lapas untuk melakukan

penjagaan dan peningkatan sumberdaya manusia dan petugas lapas yang lebih

profesional sehingga tidak terjadinya pengeluaran narapidana dari lapas yang tidak

sesuai dengan prosedur sebagaimana yang telah di atur dalam undang- udang yang

telah ada

31
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Adji, Seno, Indriyanto dan Eva Achjani Zulfa, 2011, Pergeseran Paradigma

Pemidanaan, Lubuk Agung, Bandung

Ali, Mahrus, 2011, Dasar-dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta.

. Ali, H. Zainuddin, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.

Anggriani, Jum, 2012, Hukum Administrasi Negara, Graha Ilmu, Yogyakarta.

Arif, Nawawi, Barda, 2010, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan

Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Kharisma Putra Utama,

Jakarta.

Ashofa, Burhan, 2010, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta.

Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Konstitusi Press, Jakarta.

Atmasasmita, Romli, 2010, Sistem Pidana Kontemporer, Kencana Prenada

Media Group, Jakarta.

Effendi, Erdianto, 2012, Hukum Pidana Dalam Dinamika, UR Press,

Pekanbaru.

Effendi, Tolib, 2013, Sistem Peradilan Pidana, Yustisia, Yogyakarta.

Farid, Abidin, Zainal, Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta

Harsono, 1995, 2007, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, Djambatan,

Jakarta

Huda, Nurul, Muhammad, 2012, Hukum Pidana, UIR Press, Pekanbaru.

Lamintang dan Theo Lamintang, 2012, Hukum Penintensier Indonesia, Sinar

Grafika, Jakarta.

Mahfud, Moh danSF, Marbun, 2006, Pokok- Pokok Hukum Administrasi

32
Negara, Liberty, Yogyakarta.

Marpaung, Leden, 2005, Azas Teori Praktik

Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta

Muhammad, Abdulkadir, 2010, Hukum Perdata Indonesia, PT Citra Aditya

Bakti, Bandung.

Moeljatno, 2009, Asas-asas Hukum Pidana, PT Rineka Cipta, Jakarta.

Prasetyo, Teguh, Hukum Pidana, 2010, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Priyatno, Dwidja, 2006, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, PT

Refika Aditama, Bandung.

Sholehuddin, M,Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, PT RajaGrafindo

Perdasa, Jakarta.

Simon R, A. Josias dan Thomas Sunaryo, 2011, Studi Kebudayaan Lembaga

Pemasyarakatan di Indonesia, Lubuk Agung, Bandung.

Soekanto, Soerjono, 1982, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta.

Waluyo, Bambang, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta,.

B. Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nomor 1 Tahun 1946. Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun1958 Nomor 127. Tambahan

Lembaran Negara Nomor 1660. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

(BurgelijkWetboek). Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995

Tentang Pemasyarakatan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

1995 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 3614. Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010

Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil,Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2010 Nomor 74. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi

Manusia Republik Indonesia Nomor 6 tahun 2013 Tentang Tata Tertib

33
Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara, Berita Negara

Republik Indonesia Nomor 356 Tahun 2013.

Peraturan Menteri hukum dan hak asasi manusia Republik Indonesia Nomor

21 tahun 2013 Tentang syarat dan tata cara pemberian remisi, asimilasi

cuti mengunjungi keluarga, pembebabasan bersyarat, cuti

menjelang bebas, dan cuti bersyarat, Berita Negara Republik Indonesia

Tahun 2013 Nomor 832.

34

Anda mungkin juga menyukai