Anda di halaman 1dari 27

KOMPETENSI POLITIK KESEHATAN

OLEH :

FADHILAH RUFAIDAH (0011.10.16.2021)


SRI AYU HANDAYANI (0012.10.16.2021)
SRI ARNILASARI (0000.10.16.2021)

DOSEN PENGAMPU :
Dr. Hj. Wardiah Hamzah, SKM, M.Kes

PROGRAM STUDI MAGISTER KESEHATAN MASYARAKAT


PASCASARJANA UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2023

1
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Subhanahuwa Ta’ala atas segala rahmat dan

karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini sebagai salah satu tugas mata

kuliah Politik Kesehatan, Program Studi Magister Kesehatan Masyarakat Pascasarjana

Universitas Muslim Indonesia.

Dalam tugas ini penulis melakukan pembahasan mengenai “Kompetensi Politik

Kesehatan”. Kami sangat menyadari bahwa penulisan ini belum mencapai sebuah

kesempurnaan. Oleh karena itu, kami dengan penuh harap beberapa saran dan kritik saudara

saudari yang dapat memperbaiki penulisan studi-studi kasus selanjutnya. Baik yang kami tulis

sendiri atau orang lain.

Akhir kata, semoga penulisan ini dapat memberikan sumbangsih bagi keilmuan baik bagi

diri sendiri, institusi terkait, dan masyarakat umum.

Makassar, 30 Maret 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI
Halaman Sampul ..................................................................................................... 1
Kata Pengantar ........................................................................................................ 2
Daftar Isi .................................................................................................................. 3
Daftar Tabel ............................................................................................................. 4
Daftar Gambar ........................................................................................................ 5
Bab I Pendahuluan .................................................................................................. 6
Bab II Isi Tugas ....................................................................................................... 7
2.1 Pendahuluan Kompetensi Politik Kesehatan............................................. 7
2.2 Keterampilan dalam Bidang Politik Kesehatan......................................... 7
2.3 Jenis-jenis Keterampilan Sosial................................................................. 9
2.4 Dimensi Keterampilan Politik................................................................... 12
2.5 Kompetensi Politik dalam Organisasi....................................................... 10
2.6 Membangun Keterampilan Politik............................................................. 10
Bab III Penutup ....................................................................................................... 25
Daftar Pustaka ......................................................................................................... 26

3
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Keterampilan politik sebagai bagian dari keterampilan social …………………… 1
Tabel 2.2 Empat Dikotomi MBTI ………………………………………………………….. 18
Tabel 2.3 Perbedaan Manfaat Metode 16PF and the Myers-Briggs Type Indicator (MBTI).. 20

4
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Pengaruh Dimensi Keterampilan Sosial terhadap Keterampilan Politik ……. 1
Gambar 2.2 Proses penilaian umpan balik 360 derajat …………………………………… 2

5
BAB I
PENDAHULUAN

Politik kesehatan adalah interdisipliner bidang studi yang bersangkutan dengan analisis
kekuatan sosial dan politik di atas kesehatan status individu. Politik kesehatan, menggabungkan
perspektif yang luas dari sosiologi medis kehubungan Internasional, tertarik tidak hanya pada
pemahaman politik sebagai pemerintahan/pemerintahan, tetapi juga politik sebagai masyarakat
sipil dan sebagai proses kontestasi kekuasaan. Ini memandang pemahaman yang lebih luas
tentang politik ini berlangsung sepanjang waktu tingkat masyarakat dari individu ke global.
Dengan demikian, politik kesehatan tidak terbatas pada area masyarakat tertentu, seperti
pemerintahan negara bagian, melainkan merupakan proses sosial yang dinamis dan berkelanjutan
yang terjadi di mana-mana di seluruh lapisan masyarakat kita.
Politik kesehatan adalah kebijakan negara di bidang kesehatan. Yakni kebijakan publik
yang didasari oleh hak yang paling fundamental, yaitu sehat merupakan hak warga negara.
Sehingga dalam pengambilan keputusan politik khususnya kesehatan berpengaruh terhadap
kesehatan masyarakat sebaliknya politik juga dipengaruhi oleh kesehatan dimana jika derajat
kesehatan masyarakat meningkat maka akan berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat.

6
BAB II
ISI TUGAS

2.1 Pendahuluan Kompetensi Politik Kesehatan


Isu kesehatan sangat kompleks dan melibatkan banyak pihak. Untuk mewujudkan kondisi
kesehatan yang optimal, para professional kesehatan seharusnya memiliki kompetensi atau
keterampilan politik. Kompetensi politik sebagai bagian dari kompetensi sosial harus
dikembangkan dan diasah terus guna memperoleh dukungan politik pemerintah dalam
meningkatkan status kesehatan masyarakat dan faktor yang mempengaruhinya. Berbagai
jenis keterampilan sosial yang mempengaruhi keterampilan politik dan bagaimana
membangun keterampilan tersebut disajikan pada bagian ini.

2.2 Keterampilan dalam Bidang Politik Kesehatan


Meskipun politik kadang berkonotasi negatif tetapi ternyata keterampilam politik menjadi
sangat penting bagi karir manager seseorang termasuk didalam mengelola program
kesehatan. Keterampilan politik dimaknai sebagai gaya interpersonal yang merupakan
penggabungan antara kepedulian sosial (social awareness) dengan kemampuan
berkomunikasi. Orang-orang yang sering berlatih dan mempraktekkan keterampilan ini
secara baik, menawan dan menarik dapat menginspirasi percaya diri, kepercayaan, dan
ketulusan. Penggunaan keterampilan politik tidak dibatasi oleh interaksi tatap muka (face to
face interaction), tetapi justru keterampilan politik ini memberikan ruang kepada model
komunikasi yang lain misalnya melalui email dan sarana komunikasi lainnya.
Keterampilan politik sebagai salah satu dimensi dari keterampilan sosial merupakan
bagian dari salah satu kompetensi pemimpin kesehatan masyarakat, dibutuhkan hampir di
semua level organisasi baik organisasi pemerintah, swasta, partai politik, organisasi profesi,
dan organisasi atau lembaga kemasyarakatan (Non Government Organisation). Keterampilan
seperti ini pun menjadi sangat penting dalam bidang kesehatan karena :
a. Masalah kesehatan cukup kompleks baik dari sisi dampak maupun dari sisi determinan.
Dari sisi dampak masalah kesehatan berkaitan dengan angka kematian dan angka
kesakitan. Sementara dari sisi determinan dapat berupa lingkungan, kebijakan,
anggaran, sumber daya, perilaku, pelayanan kesehatan, pembiayaan kesehatan atau pun

7
dari aspek kependudukan. Dalam konteks politik semua aspek ini harus
dikomunikasikan kepada orang lain, kepada pemerintah dan pengambil kebijakan,
dikomunikasikan kepada kelompok atau pun masyarakat secara umum.
b. Terjadi perebutan kepentingan antar atau dalam bidang kesehatan sehingga perlu ada
kemampuan untuk mempengaruhi orang lain atau departemen lain. Secara internal
orang-orang yang bergerak dibidang kesehatan mempunyai kepentingan yang berbeda
antara mereka yang bergerak dibidang lingkungan, gizi dan promosi kesehatan.
Demikian pula antara satu departemen dengan departemen lainnya. Dinas Kesehatan,
Dinas Pendidikan, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Kebersihan dan Pertamanan masing-
masing mempunyai bisnis berbeda yang kesemuanya mencoba untuk mempengaruhi
pejabat tingkat di atasnya untuk diakomodasi sebagai sektor prioritas.
c. Karena determinan kesehatan sangat kompleks, maka perlu ada kemampuan koordinasi
dan bekerjasama dengan orang lain untuk menyelesaikan berbagai persoalan kesehatan
yang ada. Koordinasi dan kerjasama menjadi sangat penting karena banyak fakor
kesehatan yang berada di luar dari sektor kesehatan (beyond health). Angka kesakitan
dan kematian yang tinggi bukan karena terlambat mendapatkan pelayanan kesehatan di
rumah sakit atau puskesmas tetapi karena kurang gizi, angka kecelakaan, jalanan
berlubang atau banjir. Masalahnya tidak berada pada ranah sektor kesehatan tetapi
dampaknya ada pada sektor kesehatan.
d. Peningkatan kapasitas baik tenaga kesehatan maupun masyarakat secara keseluruhan
dan berkesinambungan. Oleh karena itu kemampuan melatih atau transfer pengetahuan
dari seseorang kepada orang lain menjadi sangat penting untuk menjaga keberlanjutan
tersebut dan demi efektifitas program.

Keterampilan politik yang harus dimiliki oleh mereka yang bergerak dibidang kesehatan
adalah keterampilan komunikasi, memfasilitasi, melatih, mempengaruhi, mengkoordinasi dan
kerjasama dengan orang lain. Meskipun demikian, kemampuan komunikasi tentang
bagaimana menyampaikan pesan secara efektif, bagaimana mempengaruhi orang lain dan
kerjasama dengan orang lain menjadi hal yang krusial dan tidak mudah untuk dilakukan.
Nampaknya mudah untuk diungkapkan tetapi relatif sulit untuk diimplementasikan. Orang
yang memiliki kemampuan politik yang tinggi mampu mengekspresikan diri secara alamiah

8
dan dapat memanfaatkan berbagai sarana komunikasi. Mereka yang memiliki kemampuan
dan skill politik yang tinggi memberi kesempatan kepada orang lain untuk menciptakan
sinergitas diantara berbagai praktek perilaku untuk menetapkan sebuah dinamika
interpersonal. Oleh karenanya, skill politik bukan merupakan sifat atau skill tunggal tetapi
merupakan gabungan dari berbagai skill lainnya.(Santoso Budi, 2014)
Keterampilan sosial (Social Skills):
Komunikasi (Communication)– Memfasilitasi (Facilitating)- Melatih (Coaching) –
Mempengaruhi (Influencing) – Mengkoordinasi (Coordinating) – Kerjasama dengan orang
lain (Partnership)
Tabel 2.1. Keterampilan politik sebagai bagian dari keterampilan sosial

2.3 Jenis-jenis Keterampilan Sosial


Beberapa jenis keterampilan sosial yang mempengaruhi keterampilan politik, yaitu
kecerdasan sosial (social intelligence), kecerdasan emosional (emotional intelligence),
ketahanan ego (ego-resiliancy), social self efficacy (self efficacy social), Pemantauan diri
sendiri (self monitoring).
a. Kecerdasan Sosial
Kecerdasan sosial mengacu pada kemampuan untuk memahami dan mengelola
orang. Konsep ini lahir dan mengingatkan pada upaya untuk memperluas pandangan
kita tentang kecerdasan diluar IQ. Dimana terdapat kecerdasan-kecerdasan lain yang
tidak kalah hebatnya daripada IQ tersebut. Terdapat gagasan bahwa ada lebih dari satu
cara selain IQ itu sendiri untuk keberhasilan dalam aspek kehidupan yang cenderung
melampaui konteks pembelajaran di kelas. Kami berpendapat bahwa kecerdasan sosial
memainkan peran yang sangat dominan dalam keterampilan politik. Banyak faktafakta
di masyarakat kita orang yang kelihatannya mempunyai kemampuan akademik yang
biasa-biasa saja tetapi mereka berhasil di tengah-tengah masyarakat memimpin partai
politik, organisasi daerah, bahkan posisi bupati/walikota, gubernur dan presiden.
Keterampilan politiknya lebih spesifik untuk lingkungan kerja dan berkaitan dengan
pemahaman dan mengelola orang dalam pekerjaan atau pengaturan organisasi. Orang
yang memiliki kecerdasan sosial yang tinggi memiliki kemampuan di dalam memahami
dan mengelola orang lain.

9
b. Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional merujuk pada kemampuan untuk memonitor sendiri
perasaan dan emosi orang lain. Secara spesifik, kecerdasan emosional dapat dilihat
sebagai upaya melibatkan kemampuan dalam mengendalikan dorongan dan menunda
kepuasan, untuk mengatur suasana hati seseorang, dan mampu berempati. Mereka yang
memiliki kecerdasan emosional yang tinggi, memiliki kemampuan menunda kepuasaan
sendiri, mampu memberi rasa puas kepada orang lain, dan mampu mengontrol dirinya
sendiri. Orang yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi juga memiliki rasa
empathi kepada orang lain, mereka dengan cepat merespon bagaimana perasaan orang
lain dan bahkan ikut merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Ketika seseorang
menderita sakit berkepanjangan, mengalami musibah kemiskinan dan kelaparan, maka
mereka yang mempunyai kecerdasan emosional yang tinggi, ikut merasakan apa yang
dirasakan oleh orang lain. Bahkan dengan empati ini, mereka bisa memberikan bantuan
dan ikut memecahkan masalah terhadap apa yang dihadapi oleh orang lain. Oleh karena
itu, mengontrol dan mengatur emosi merupakan bagian penting dari keterampilan sosial
disamping aspek penting lainnya misalnya membangun dan memanfaatkan modal
sosial.
c. Ketahanan Ego
Ketahanan ego adalah bentuk keterampilan sosial yang secara fundamental
memberikan kontribusi untuk adaptasi lingkungan yang efektif melalui kemampuan
untuk mengatur perilaku sendiri terhadap tuntutan lingkungan yang berbeda dan terus
berubah. Konsep ini meliputi komponen emotional self regulation, adaptive impulse
control, social intelligence and sense of self-efficacy. Kemampuan untuk beradaptasi
dengan baik terhadap situasi sosial yang berbeda dipandang berkontribusi terhadap
keterampilan politik.
d. Self Efficacy Social
Tipe lain dari keterampilan sosial yaitu efikasi diri sosial, yang mengacu pada
penilaian kemampuan pribadi dalam konteks interaksi sosial. Orang yang mempunyai
self efficacy sosial yang tinggi percaya bahwa mereka dapat mengontrol hasil interaksi
sosial. Mereka yang mempunyai self efficacy sosial yang rendah pada konstruksi ini, di
sisi lain, percaya bahwa mereka tidak memiliki kemampuan untuk menguasai interaksi

10
sosial, terlepas dari level kompetensi sosial atau pengetahuan mereka. Dengan
demikian, self efficacy sosial adalah keyakinan dasar atau keyakinan pada kemampuan
seseorang untuk mengendalikan situasi sosial, yang memberikan kontribusi untuk
bersikap optimistis dan sikap yang positif, dan berkontribusi terhadap terhadap
efektivitas dalam situasi sosial. Keterampilan politik mencerminkan konsep efikasi diri
sosial, namun skill politik ini berkaitan dengan konteks yang unik dan interaksi dalam
organisasi.
e. Pemantauan Diri Sendiri (Self Monitoring)
Orang yang memiliki kemampuan pemantauan diri sendiri dapat menunjukkan
kemampuan untuk mengontrol ekspresi emosi mereka. Mereka mampu menggunakan
keterampilan ini secara efektif untuk menciptakan kesan yang diinginkan. Dengan
demikian, pemantauan diri merupakan jenis keterampilan sosial yang berfokus pada
demonstrasi efektif tentang situasi perilaku sosial. Selain itu, mereka yang memiliki
kemampuan ini mencerminkan keterampilan yang unik untuk bisa membaca,
menafsirkan, dan memahami situasi sosial yang ada. Gaya sosial pemantauan diri yang
tinggi adalah salah satu yang mencoba untuk menyajikan sesuatu yang sesuai orang
dalam setiap situasi. Orang dengan orientasi ini pula, mempunyai sensitivitas dan daya
respons yang kuat terhadap isyarat interpersonal. Meskipun demikian, keterampilan
politik berbeda dengan pemantauan diri. Keterampilan politik sering digunakan untuk
melakukan perubahan terhadap cara yang diinginkan, sedangkan pemantauan diri
menggambarkan upaya individu untuk berperilaku dengan cara yang tepat secara sosial
f. Tacit Knowledge and Practical Intelligence
Tacit knowledge and practical intelligence diartikan sebagai pengetahuan dipahami
tanpa dikatakan atau diam-diam atau tanpa diucapkan, dan kecerdasan praktis adalah
salah satu skill sosial dan politik yang harus dimiliki oleh politisi kesehatan atau yang
bergerak dibidang kesehatan. Tacit knowledge ini mengacu pada orientasi tindakan
yang relevan dengan pengetahuan yang memungkinkan orang untuk mencapai tujuan
mereka secara pribadi. Ini adalah pengetahuan yang diperoleh tanpa bantuan lembaga
lainnya dengan kata lain, belajar tentang diri sendiri. Hal ini berhubungan secara
alamiah dan secara langsung berkaitan dengan pencapaian tujuan. Pengetahuan tacit
berkaitan dengan kecerdasan praktis, atau akal sehat. Pengetahuan tacit dan kecerdasan

11
praktis berhubungan erat satu sama lain dalam keterampilan politik. Jika seseorang
memiliki pengetahuan ini, salah satu lebih mungkin untuk dapat menunjukkan
keterampilan politik. Dengan demikian, keterampilan politik sebagian besar didasarkan
pada pengetahuan tacit seseorang dan kecerdasan praktis.
Pengaruh dimensi keterampilan sosial terhadap keterampilan politik dapat
ditunjukkan pada Gambar 2.1

Gambar 2.1 Pengaruh Dimensi Keterampilan Sosial terhadap Keterampilan Politik


2.4 Dimensi Keterampilan Politik
Pemeriksaan yang cermat dan teliti terhadap politik organisasi dan keterampilan politik
menunjukkan beberapa aspek penting yang harus dimasukkan dalam konseptualisasi
keterampilan politik. Pemeriksaan ini menunjukkan empat dimensi kritis keterampilan
politik: kecerdasan sosial, pengaruh interpersonal, kemampuan jaringan, dan ketulusan jelas.
Kecerdasan sosial. Individu yang memiliki keterampilan politik memahami interaksi
sosial dengan baik dan akurat dan mampu menafsirkan perilaku mereka, serta perilaku orang
lain. Mereka tajam dengan lingkungan sosial yang beragam dan memiliki kesadaran diri yang
tinggi. Pfeffer (1992) menyebutkan bahwa seseorang yang memiliki karakteristik seperti ini
sensitif terhadap orang lain, dan dia berpendapat bahwa kemampuan untuk mengidentifikasi
dengan orang lain sangat penting untuk mendapatkan hal-hal untuk diri sendiri. Individu
yang cerdik secara sosial sering dipandang sebagai orang cerdik, bahkan pintar, dalam
berhubungan dengan orang lain. (Ayuningtyas, 2008)

12
Pengaruh interpersonal. Secara politik, individu yang terampil memiliki gaya hidup
sederhana dan meyakinkan yang memberikan pengaruh kuat pada orang lain di sekitar
mereka. Pengaruh interpersonal memungkinkan orang untuk beradaptasi dan menyesuaikan
perilaku mereka untuk situasi yang berbeda untuk memperoleh tanggapan yang diinginkan
dari orang lain. Pengaruh dimensi interpersonal menangkap apa yang Pfeffer (1992) sebut
sebagai "fleksibilitas", yang melibatkan adaptasi perilaku seseorang untuk target pengaruh
yang berbeda dalam setting kontekstual yang berbeda untuk mencapai tujuan seseorang.
Kemampuan jaringan. Individu dengan keterampilan politik yang dimilikinya mahir
mengidentifikasi dan mengembangkan beragam kontak dan jaringan. Orang-orang dalam
jaringan ini cenderung untuk memegang aset sebagai sesuatu yang berharga dan diperlukan
untuk keuntungan pribadi dan organisasi yang sukses. Mereka biasanya mempunyai gaya
yang halus. Individu politik terampil dengan mudah mengembangkan persahabatan dan
membangun kuat, aliansi dan koalisi. Selain itu, individu yang tinggi dalam kemampuan
jaringan memastikan mereka memiliki posisi untuk membuat dan memanfaatkan peluang
(Pfeffer, 1992). Akhirnya, mereka sering menjadi negosiator terampil dan pembuat
kesepakatan, dan mahir terhadap manajemen konflik. (Ayuningtyas, 2008)
Ketulusan jelas. Individu yang memiliki keterampilan politik muncul di permukaan
sebagai seorang yang memiliki tingkat integritas yang tinggi dan menjadi otentik, dan tulus.
Mereka, atau tampak jujur dan terus terang. Dimensi keterampilan politik ini sangat penting
jika upaya pengaruh menjadi berhasil, karena berfokus pada niat yang dirasakan terhadap
perilaku yang ditampilkan. Sebagaimana dicatat oleh Jones (1990), upaya pengaruh akan
berhasil bila aktor yang dianggap tidak memiliki motif tersembunyi atau kepentingan lain
daripada kepentingan yang ada selama ini. Individu yang tinggi dalam ketulusan jelas
menginspirasi rasa percaya dan kepercayaan dari orang-orang di sekitar mereka karena
tindakan mereka tidak ditafsirkan sebagai tindakan manipulatif atau koersif.
Keempat dimensi keterampilan politik itu yaitu kecerdasan sosial, pengaruh
interpersonal, kemampuan jaringan, dan ketulusan jelas diasumsikan mempunyai hubungan
satu sama lain.(Santoso Budi, 2014)

13
2.5 Kompetensi Politik dalam Organisasi
Kompetensi politik adalah sebuah konstruk yang telah diperkenalkan lebih dari dua
dekade yang lalu untuk membangun sebuah organisasi yang efektif. Namun para ilmuan
organisasi banyak tertidur (dormant) dan lambat menyadari pentingnya keterampilan politik
tersebut. Di awal tahun 1980s, Pfeffer (1981) dan Mintzberg (1983) mengadvokasi perspektif
politik pada organisasi. Keduanya juga menyarankan bahwa untuk menjadi efektif dalam
lingkungan politik, individu seharusnya memiliki keterampilan politik. Penelitian-penelitian
tentang keterampilan politik banyak tidur hingga Ferris dan koleganya (Ferris et al., 1999;
Ferris, Treadway, et al., 2005) mengembangkan sebuah ukuran konstruk dan program
penelitian.
Keterampilan politik ditandai sebagai pola kompetensi sosial yang komprehensif dengan
manifestasi kognitif, afektif dan perilaku yang mempunyai dampak langsung terhadap
outcome atau dampak moderator terhadap hubungan predictor-outcome. Sebuah pandangan
baru yang dishare oleh banyak akademisi adalah bahwa organisasi sudah menjadi sifatnya
sebagai arena politik (Mintzberg, 1985). Dalam hal ini, diasumsikan bahwa meskipun
kinerja, efektivitas, dan kesuksesan karir ditentukan sebagian oleh kecerdasan dan kerja
keras, faktor lain seperti kecerdasan sosial, posisi, dan kecerdasan itu sendiri memainkan
peran penting (misalnya, Luthans, Hodgetts, & Bergen, 1988; Mintzberg, 1983). Pfeffer
(1981) adalah salah satu yang pertama menggunakan istilah "skill politik" dalam literatur
ilmiah. Dia menyarankan bahwa keterampilan politik dibutuhkan untuk menjadi sukses
dalam organisasi. Demikian pula, Mintzberg (1983) mengemukakan bahwa keterampilan
politik disebut sebagai latihan pengaruh melalui persuasi, manipulasi, dan negosiasi.

2.6 Membangun Keterampilan Politik


Orang mungkin dilahirkan dengan kapasitas dan mempunyai keterampilan politik, tetapi
mungkin tidak pernah terwujud sampai batas yang paling maksimal kecuali mereka
menemukan diri mereka sendiri. Mereka melatih diri sendiri. Semakin mengasah
keterampilan politik tersebut untuk mencapai kesempurnaan dan atau terlibat secara aktif
mengembangkan keterampilan, maka mereka akan memiliki keterampilan politik yang lebih
maksimal pula. Oleh karena itu, perlu ada proses seleksi dan implikasi pelatihan untuk
keterampilan politik. Ini menunjukkan bahwa keterampilan politik itu dapat diperoleh karena

14
dilahirkan dan juga dapat dikembangkan melalui proses belajar dan latihan secara terus
menerus. Orang yang memiliki keterampilan politik karena dilahirkan, berasal dari keluarga
dan keturunan yang memiliki keterampilan politik yang baik dan juga keterampilan tersebut
terus berlatih, maka orang tersebut akan semakin matang dengan keterampilan politik yang
dimilikinya(Sir, 2012).
Berbagai metode dapat dikembangkan untuk meningkatkan keterampilan politik
seseorang, yaitu :
a. Penilaian diri sendiri (self assessment) dan pemahaman
Penilaian diri sendiri atau kesadaran diri yang lebih baik dapat dilakukan dengan
memahami kepribadian seseorang dan bagaimana membuat keputusan. Kuesioner
penilaian kepribadian yang cukup baik adalah Five-Factor Model and the Sixteen
Personality Factor Questionnaire (16PF) (Cattell and Mead (2008); John & Srivastava,
1999; McCrae & John, 1991). Kedua instrumen ini mampu memberikan pandangan
terhadap kepribadian seseorang di dalam menentukan bagaimana seorang merespon
terhadap berbagai situasi organisasi. Five factor model biasa disebut Big 5 personality
traits dan masing-masing mempunyai deskripsi, yaitu: Extraversion, Agreeableness,
Conscientiousness, Neuroticism, and Openness to Experience.
1. Ekstraversi (Extraversion). Menilai kuantitas dan intensitas interaksi interpersonal,
level aktivitasnya, kebutuhan untuk didukung, kemampuan untuk berbahagia.
Dimensi ini menunjukkan tingkat kesenangan seseorang akan hubungan. Mereka
yang memiliki skor ekstraversi yang tinggi cenderung ramah dan terbuka serta
menghabiskan banyak waktu untuk mempertahankan dan menikmati sejumlah
hubungan. Sementara mereka yang memiliki skor yang rendah cenderung tidak
sepenuhnya terbuka dan memiliki hubungan yang lebih sedikit dan tidak seperti
kebanyakan orang lain, mereka lebih senang dengan kesendirian.
2. Keramahan (Agreeableness). Menilai kualitas orientasi individu dengan kontinum
nilai dari lemah lembut sampai antagonis didalam berpikir, perasaan dan perilaku.
Dimensi ini merujuk kepada kecenderungan seseorang untuk tunduk kepada orang
lain. Mereka yang memiliki skor A tinggi cenderung jauh lebih menghargai
harmoni daripada ucapan atau cara mereka. Mereka tergolong orang yang
kooperatif dan percaya pada orang lain. Mereka yang memiliki skor A rendah

15
cenderung memusatkan perhatian lebih pada kebutuhan mereka sendiri ketimbang
kebutuhan orang lain.
3. Kesadaran (Conscientiousness). Menilai kemampuan individu didalam organisasi,
baik mengenai ketekunan dan motivasi dalam mencapai tujuan sebagai perilaku
langsungnya. Sebagai lawannya menilai apakah individu tersebut tergantung, malas
dan tidak rapi. Dimensi ini merujuk pada jumlah tujuan yang menjadi pusat
perhatian seseorang. Orang yang mempunyai skor tinggi cenderung mendengarkan
kata hati dan mengejar sedikit tujuan dalam satu cara yang terarah dan cenderung
bertanggung jawab, kuat bertahan, tergantung, dan berorientasi pada prestasi.
Sementara yang skornya rendah, ia akan cenderung menjadi lebih kacau
pikirannya,mengejar banyak tujuan.
4. Neurotisme (Neuroticism). Trait ini menilai kestabilan dan ketidakstabilan emosi.
Mengidentifikasi kecenderungan individu apakah individu tersebut mudah
mengalami stres, mempunyai ide-ide yang tidak realistis, mempunyai coping
response yang mal-adaptif. Dimensi ini menampung kemampuan seseorang untuk
menahan stres. Mereka yang memiliki skor N yang tinggi cenderung berciri tenang,
bergairah dan aman. Sementara mereka yang memiliki skor N yang rendah
cenderung tertekan, gelisah dan tidak aman.
5. Keterbukaan (Openness). Menilai usahanya secara proaktif dan penghargaannya
terhadap pengalaman demi kepentingannya sendiri. Menilai bagaimana ia menggali
sesuatu yang baru dan tidak biasa. Dimensi ini mengarah tentang minat seseorang.
Mereka yang memiliki skor tinggi pada keterbukaan akan cenderung menjadi
imajinatif, benar-benar sensitif dan intelek. Sementara mereka yang memilik skor
rendah pada keterbukaan cenderung realistis, tidak kreatif, dan tidak penasaran
terhadap sesuatu.

Sixteen personality factors (16PF) adalah kuesioner kepribadian yang telah


dikembangkan berabad-abad lamanya oleh Raymond B. Cattell, Maurice Tatsuoka dan
Herbert Eber, sebuah alat ukur yang komprehensif dan efektif untuk menilai kepribadian
normal dalam berbagai pengaturan di mana penilaian yang mendalam dari seluruh orang
yang dibutuhkan (Cattell & Mead, 2008). 16PF ini dapat digunakan sebagai instrumen

16
klinik untuk membantu melakukan diagnosa gangguan mental demikian juga secara luas
telah digunakan dalam bidang psikologi.
Walaupun 16 PF hanya mengukur kepribadian normal (bukan psikopatologi), tes
tersebut juga sering digunakan dalam bidang konseling dan klinis karena kemampuannya
dalam memberikan gambaran utuh dan mendalam pada seseorang, termasuk kelebihan dan
kelemahannya. Selain hal tersebut, 16 PF memfasilitasi dialog antara psikolog dan klien,
hal ini karena 16 PF merepresentasikan aspek umum dalam keseharian sehingga dapat
disharingkan dengan klien, selanjutnya memudahkan untuk berdiskusi, meningkatkan
kesadaran diri dan membuat klien merasa aman dan nyaman sebagai partner dalam proses
asesment dan terapi. 16 PF dapat mengetahui keadaan klien seperti cara berpikir, self-
esteem, keterbukaan, toleransi, coping stres dan empati. Kesemua itu dapat digunakan
dalam mengembangkan kerja sama dengan klien, memilih metode terapi yang sesuai dan
merencanakan proses terapi yag efektif. Selain itu 16 PF telah digunakan pula dalam
berbagai bidang, dari industri seperti rekrutmen, promosi dan training hingga penelitian
tentang sosial, proses penuaan dan militer.
Test 16 PF terdiri dari 16 faktor diungkap secara mandiri (Cattell & Mead, 2008;
Hertinjung, Susilowati, & Wardhani, 2012), yaitu :
1. Warmth (Kehangatan)
2. Reasoning (Pemikiran/Penalaran)
3. Emotional stability (Stabilitas emosional)
4. Dominance (Dominasi)
5. Liveliness (Keaktifan)
6. Rule-Consciousness (Kesadaran peraturan)
7. Social Boldness (Keberanian sosial)
8. Sensitive (Sensitif)
9. Vigilance (Kewaspadaan)
10. Abstractedness (Imajinasi)
11. Privateness (Privasi)
12. Apprehension (Penangkapan)
13. Opennes to Change (Keterbukaan untuk berubah)
14. Self-Reliance (Kemandirian)

17
15. Perfectionism (Perfeksionisme)
16. Tension (Ketegangan)

Pengukuran penilaian diri sendiri adalah dengan melalui The Myers-Briggs Type
Indicator (MBTI). Instrumen ini menyiapkan informasi mengenai bagaimana individu
menyelesaikan masalah, membuat keputusan dan gaya interaksi yang lebih cocok. Psikiater
Swiss, Carl Jung, mengembangkan teori awal abad 20 untuk menggambarkan preferensi
dasar individu dan menjelaskan persamaan dan perbedaan antara orang Prem (n.d).
Postulat utama dari teori ini adalah bahwa orang memiliki kecenderungan perilaku bawaan
dan preferensi. Jung teori penting tetapi tidak dapat diakses oleh masyarakat umum. Isabel
Myers dan Katherine Briggs (tim ibu-anak) memperluas kerja Jung dengan
mengembangkan instrumen untuk membantu orang mengidentifikasi alat preferensi. MBTI
merupakan indikator dari tipe kepribadian (yaitu preferensi bawaan) yang telah terbukti
sangat handal dan valid.
Perbedaan dari alat berbasis karir psikologis atau lainnya, yaitu :
1. Tidak menilai kesehatan psikologis
2. Tidak "memberitahu" klien apa yang harus dilakukan
3. Melibatkan umpan balik klien dan "kesepakatan"
4. Melibatkan ada skala atau nilai
5. Kekuatan dan kelemahan inherent yang terkait dengan setiap jenis profil
Terdapat empat dimensi indikator tipe Myers-Briggs yaitu extraversion-introversion,
sensing-intuition, thinking-feeling dan judging-perceiving (MBTI, 2013) (lihat Tabel 2.2).
Extraversion – Introversion E - I Dichotomy Di mana Anda lebih memilih untuk
memfokuskan perhatian Anda - dan
mendapatkan energi Anda?
Sensing – Intuition S - N Dichotomy Bagaimana Anda memilih untuk mengambil
informasi?
Thinking – Feeling T - F Dichotomy Bagaimana Anda membuat keputusan?
Judging – Perceiving J - P Dichotomy Bagaimana Anda berurusan dengan dunia
luar?
Tabel 2.2 Empat Dikotomi MBTI

18
Extraversion – Introversion
Fokus pada tindakan dunia luar, benda dan orang-orang, dan menarik energi dari
kontak orang. Sementara tipe orang yang introversi adalah fokus pada dunia internal,
lebih memilih untuk mencerminkan dan perlu waktu untuk membangun kembali energi
"tenang-pengisian".
Sensing – Intuition
Sensing (penginderaan) adalah percaya pada informasi yang ada, melihat secara detil
dan fakta, bersandar terhadap yang dapat dilihat (tangible) dan dapat meminimalkan
pentingnya yang tak berwujud (intangible). Intuition (intuisi) adalah percaya informasi
yang abstrak/teoritis, mencari pola/keterkaitan, melihat bagaimana data berhubungan
dengan teori dan tidak mengabaikan indera tetapi juga dapat memperhatikan "firasat".
Thinking – Feeling
Thingking (berpikir) yaitu upaya untuk melihat hal-hal dengan menggunakan logika
atau prinsip; mengatur, meringkas atau mengkategorikan informasi; bersandar terhadap
yang terukur atau sasaran; dan dapat meminimalkan pentingnya nilai-nilai dan perasaan
manusia. Feeling (perasaan) yaitu mencoba untuk melihat sesuatu dari perspektif lain;
terdorong untuk mencari hubungan harmoni, fokus pada keterampilan-orang, kehangatan
dan keramahan; dan meminimalkan pentingnya "fakta".
Judging – Perceiving
Senang terhadap masalah untuk diputuskan, mulai mengerjakan tugas tepat waktu;
memiliki rencana yang jelas dan mungkin tampak tidak fleksibel. Perceiving adalah
lebih memilih untuk meninggalkan hal-hal terbuka untuk input lebih lanjut; ingin tetap
mendengarkan; menunda tugas sampai dekat dengan batas waktu; dan mungkin tampak
terlalu fleksibel.

19
No 16PF MBTI
.
1. Berdasarkan analisis statistik dan Berdasarkan Jung tentang teori
pengamatan perilaku manusia kepribadian
2. Menyediakan pendekatan dari luar-ke Menyediakan pendekatan dari dalam- ke
dalam luar
3. Menggambarkan pengaruh yang Membantu orang meningkatkan
mendasari pada gaya perilaku individu kesadaran diri mereka, dan memperluas
dan dampaknya terhadap situasi pemahaman mereka tentang orang lain
kehidupan nyata
4. Memberikan gambaran yang lebih rinci Menyediakan cara mudah bagi individu
tentang bagaimana berbeda atau seberapa untuk memahami esensi dari kepribadian
mirip orang tersebut dengan orang lain, mereka sendiri dan mengapa orang lain
pada sejumlah besar dimensi kepribadian melihat dunia dan melakukan sesuatu
yang berbeda
5. Memberikan gambaran rinci dan spesifik Memberikan gambaran utuh dari
pada individu tersebut keseluruhan kepribadian
6. Memberikan wawasan tertentu ke dalam Memberikan wawasan tertentu ke dalam
perasaan dan emosi individu bagaimana individu mengambil informasi
dan membuat keputusan
7. Bagi individu yang sebelumnya Bagi individu yang sebelumnya
menyelesaikan tipe kuesioner melengkapi instrumen berbasis sifat
berdasarkan MBTI, umpan balik 16PF seperti kuesioner 16PF, menerima umpan
menyediakan cara untuk menindaklanjuti balik MBTI memberikan alternatif yang
interpretasi MBTI dengan cara yang baru berguna sebagai acuan
& rinci
Tabel 2.3. Perbedaan Manfaat Metode 16PF and the Myers-Briggs Type Indicator (MBTI)

Model penilaian diri sendiri yang tak kalah populernya yaitu dengan instrumen umpan
balik 360 derajat (360-degree feedbacks). Cara ini dilakukan yaitu mengumpulkan persepsi
orang lain tentang bagaimana pribadi atau perilaku manajer diterima dalam sebuah konteks

20
organisasi. Ini adalah sejumlah instrumen, tetapi meskipun demikian instrumen ini tidak
mengukur secara langsung keterampilan politik seseorang. Setiap individu atau tenaga
kerja dalam konsep penilaian umpan balik 360 derajat menilai diri mereka sendiri dan
menerima feedback dari rekan lainnya, atau atasan atau konsumen. Misalnya tenaga
kesehatan menilai dirinya atas kualitas dan jaminan pelayanan kesehatan yang diberikan
kepada pasien atau keluarga pasien. Namun pada sisi yang lain konsumen/pasien/keluarga
pasien, rekan sekerja dan atasan akan memberikan penilaian terhadap kualitas pelayanan
kesehatan tersebut. Apakah pasien merasa puas atas pelayanan kesehatan yang diberikan
dalam hal keramahan, komunikasi, kecepatan dan ketepatan pelayanan. Rekan sekerja dan
atasan akan memberikan penilaian bagaimana petugas kesehatan tersebut memberikan
pelayanan kepada pasien misalnya dalam hal kebersihan ruangan, toilet, ketersediaan air,
pencahayaan dan kualitas udara dalam ruangan/gedung. Oleh karena itu, kualitas
pelayanan kesehatan pasien dapat berdimensi luas, juga termasuk dalam hal ketanggapan
petugas.
Antonioni (1996) dalam Widya (2004) mengemukakan sebuah perusahaan akan
memperoleh manfaat dari diaplikasikannya penilaian kinerja umpan balik 360 derajat
berupa:
1. Kesadaran individu terhadap apa yang diharapkan oleh penilaian
2. Meningkatnya management learning
3. Mengurangi penilaian buruk atau prasangka terhadap penilai
4. Meningkatkan kinerja
Selain itu penilaian kinerja umpan balik 360 derajat dapat digunakan untuk
memperkirakan kebutuhan training, yaitu training apa yang dibutuhkan oleh seorang
petugas kesehatan dalam rangka peningkatan keterampilan mereka misalnya pelatihan
komunikasi interpersonal, pelatihan advokasi, pelatihan peningkatan kualitas pelayanan
kesehatan. Bagi seorang manajer program mungkin pelatihan yang dibutuhkan adalah
menghitung unit cost Puskesmas atau Rumah Sakit, pelatihan perencanaan dan
penganggaran kesehatan, pelatihan healthy cities.
Penilaian kinerja umpan balik 360 derajat juga dapat menemukan produk atau layanan
baru dan layanan yang dibutuhkan oleh konsumen. Bisnis rumah sakit tidak hanya
berkaitan dengan dokter, tempat tidur dan obat tetapi semua komponen yang memberikan

21
keamanan dan kenyamanan pasien dan keluarga pasien. Produk baru dapat berupa layanan
parkir untuk mengatur lalu lintas kendaraan dengan menggunakan sistem elektronik seperti
layanan kendaraan di mal-mal atau di jalan tol; layanan kebutuhan yang berkaitan dengan
fasilitas handphone, layanan rumah makan atau membangun layanan rujukan yang lebih
cepat. Penilaian kinerja umpan balik 360 derajat tersebut dapat pula mengukur reaksi
anggota tim dan dapat memprediksi permasalahan yang akan dapat terjadi dari sebuah
organisasi karena pada penilaian ini selain konsumen menilai dirinya sendiri, konsumen
dinilai oleh orang lain atau teman sekerjanya. Oleh karena itu, mereka dapat membangun
interkasi dan komunikasi yang lebih terbuka serta dapat mengantisipasi dan mencari solusi
terhadap potensi permasalahan yang akan muncul.
Untuk mencapaian kinerja maksimal, maka organisasi harus menetapkan tujuan, standar
minimal bahkan tugas dan fungsi dari setiap orang dan jabatan. Dengan instrumen ini,
maka kinerja seseorang lebih mudah untuk diukur, juga mereka yang dinilai mengetahui
apa yang menjadi tugas dan tanggung jawab mereka.

Gambar 2.2 Proses penilaian umpan balik 360 derajat

22
23
b. Metode untuk belajar dan mengembangkan keterampilan politik
Keterampilan politik dapat dipelajari atau dikembangkan dalam berbagai cara.
Latihan pengalaman peserta melalui bermain peran dan simulasi merupakan salah satu
cara untuk mengembangkan keterampilan politik. Misalnya, peserta mungkin akan
diminta untuk memainkan peran di dalam memecahkan masalah kebijakan pelayanan
pasien BPJS yang demikian menimbulkan berbagai masalah sejak program Jaminan
Kesehatan Nasional dilaunching oleh pemerintah 1 Januari 2014. Diantara mereka ada
yang bertindak sebagai pasien BPJS, petugas BPJS, Kasir, Security dan Pemberi
Pelayanan Kesehatan (Dokter).
1. Pasien BPJS ini adalah seorang perempuan bernama A, umur 39 tahun, tinggal di
salah satu kecamatan di Makassar dalam wilayah kerja Puskesmas ”KK”. Menurut
dokter yang memeriksanya yang bersangkutan akan mengalami operasi karena
diduga mengalami usus buntu. Karena yang bersangkutan adalah tinggal di wilayah
kerja Puskesmas “KK”, maka yang bersangkutan harus mendapat surat rujukan dari
puskesmas tersebut, dan ditujukan kepada salah satu rumah sakit (Misalnya RS
AB).
2. Petugas BPJS, petugas ini yang bertindak sebagai petugas untuk memastikan bahwa
yang bersangkutan adalah benar-benar dan memenuhi syarat sebagai pasien BPJS.
3. Petugas kasir, adalah mereka yang bertanggung jawab dalam hal pembayaran biaya
pengobatan dan rawat inap serta pelayanan kesehatan secara keseluruhan
4. Security, adalah petugas yang selain bertugas menjaga keamanan rumah sakit, juga
diberi tugas untuk mengatur pengambilan kartu atau nomor antrian pasien BPJS.
5. Pemberi Pelayanan Kesehatan, adalah dokter yang akan memberikan pelayanan
kesehatan kepada pasien tersebut.
Amati keterampilan komunikasi, fasilitasi, mempengaruhi dan upaya koordinasi
dan kerjasama satu dengan yang lain diantara mereka atas peran yang dimainkan oleh
masing-masing pihak. Latihan ini akan menjadi sarana belajar untuk meningkatkan
keterampilan politik terutama yang berkaitan dengan masalah kesehatan dalam konteks
pasien BPJS seperti yang dialami oleh pasien tersebut di atas.

24
c. Evaluasi dan umpan balik
Dari waktu ke waktu, individu perlu memiliki evaluasi pada perbaikan dan
kemajuan mereka tentang keterampilan politik yang dimilikinya. Evaluasi yang
dilakukan melalui oleh orang lain seperti pengawas individu, klien, kolega, dan bahkan
pasangan akan memberikan umpan balik dan dapat meningkatkan kualitas dan
keterampilan politik. Tentu saja, berdasarkan evaluasi ini, penyesuaian dan kesempatan
belajar dapat dilakukan sebagai koreksi dan perbaikan atas berbagai masukan yang
diperolehnya. Koreksi yang diberikan oleh orang lain memilki keunggulan karena
koreksi tersebut cenderung lebih objektif daripada menilai diri sendiri dan dapat
menghindari perasaan subjektif.

25
BAB III
PENUTUP
Keterampilan politik sebagai salah satu dimensi dari keterampilan sosial dibutuhkan
hampir di semua level organisasi baik organisasi pemerintah, swasta, partai politik, organisasi
profesi, dan organisasi atau lembaga kemasyarakatan (Non Government Organisation).
Keterampilan politik sebagai bagian dari Keterampilan sosial (Social Skills) meliputi:
Komunikasi (Communication)-Memfasilitasi (Facilitating)-Melatih (Coaching)-Mempengaruhi
(Influencing)-Mengkoordinasi (Coordinating)-Kerjasama dengan orang lain (Partnership).
Dimensi keterampilan politik : Kecerdasan sosial, Pengaruh interpersonal, Kemampuan
jaringan, Ketulusan jelas. Keempat dimensi keterampilan politik itu diasumsikan mempunyai
hubungan satu sama lain.
Berbagai metode dapat dikembangkan untuk meningkatkan keterampilan politik
seseorang, dengan penilaian diri sendiri (self assessment) dan pemahaman melalui kuesioner
penilaian kepribadian Five-Factor Model and the Sixteen Personality Factor Questionnaire
(16PF), The Myers-Briggs Type Indicator (MBTI) dan penilaian umpan balik 360 derajat.
Instrumen tersebut dapat digunakan dalam mengukur keterampilan politik yang berkaitan dengan
kesehatan meskipun instrumen ini memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.

26
DAFTAR PUSTAKA
1. Ayuningtyas, D. (2008). Politik Pembangunan dan Kebijakan Privatisasi Pelayanan
Kesehatan. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, 11(02), 72–79.
2. Brinkmann, M. (2019). The Concept Of Political Competence. A journal of politics and
Society; Taylor & Francis Online. Pages: 163-193
3. Ferris GR, Ellen BP III, McAllister CP, Maher LP. (2019). Reorganizing organizational
politics research: a review of the literature and identification of future research directions.
Ann Rev Organ Psychol Organ Behav. 6(1):299–323. 
4. Jenelle, M., Justin, W., Simon, B., Jean, H., Mark, W., Naomi, J., Angus, R., & Bridget,
R. (2021). The contribution of political skill to the implementation of health services
change: a systematic review and narrative synthesis. BMC Health Service Research 21,
Article number : 260
5. Palutturi, Sukri (2019). Politik Kesehatan di Indonesia. Percetakan Pustaka Belajar:
Jogjakarta
6. Santoso Budi. (2014). Kebijakan Alternatif Politik Kesehatan Nasional Prof. Dr. Ir. Budi
Santoso., M.Sc., APU. 1. 4241–4253.
7. Sir, T. M. W. (2012). Jurnal Teknik Sipil Vol 1. No. 4 September 2012. 1(4), 2012.
8. Waring J, Crompton A. (2020). The struggles for (and of) network management: an
ethnographic study of non-dominant policy actors in the English healthcare system. Pub
Manage Rev. 22(2):297–315.

27

Anda mungkin juga menyukai