Anda di halaman 1dari 7

ESENSI PERSERTA DIDIK

DALAM FALSAFAH PENDIDIKAN ISLAM

Islam berpandangan bahwa hakikat manusia ialah perkaitan antara badan dan ruh. Badan
dan ruh masing-masing merupakan substansi yang berdiri sendiri, yang tidak tergantung
adanya oleh yang lain. Islam secara tegas mengatakan bahwa kedia substansi (unsure asal
sesuatu yang ada) dua-duanya adalah substansi alam, sedangkan alam adalah makhluk. Maka
keduanya adalah yang diciptakan oleh Allah SWT.[1]
Manusia diciptakan Allah dalam struktur yang paling baik diantara makhluk Allah yang
lain. Struktur manusia terdiri atas unsure jasmaniah (fisiologis) dan rohaniah (psikologis).
Pada struktur jasmaniah dan rohaniah itu, Allah memberikan seperangkat kemampuan dasar
yang memiliki kecenderungan berkembang yang mana pada perspektif psikologi disebut
potensialitas atau disposisi, dan menurut aliran psikologi behaviorisme disebut Prepotence
reflexes (kemampuan dasar yang secara otomatis dapat berkembang).[2]
Anak didik adalah makhluk yang sedang berada dalam proses perkembangan dan
pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing. Mereka memerlukan bimbingan dan
pengarahan yang konsisten menuju kearah titik optimal kemampuan fitrahnya. Pengertian
tersebut berbeda apabila anak didi sudah bukan lagi anak-anak, maka usaha untuk
menumbuhkembangkannya sesuai kebutuhan peserta didik, tentu saja hal ini tidak bisa
diperlakukan sebagaimana perlakuan pendidik kepada peserta didik (anak didik) yang masih
anak-anak. Maka dalam hal ini dibutuhkan pendidik yang benar-benar dewasa dalam sikap
maupun kemampuannya.[3]
Dengan demikian peserta didik adalah orang yang memerlukan pengetahuan, ilmu,
bimbingan dan oengarahan. Islam berpandangan bahwa hakikat ilmu berasal dari Allah,
sedangkan proses memperolehnya dilakukan melalui belajar kepada guru. Karena ilmu itu
berasal dari Allah, maka membawa konsekuensi perlunya seorang peserta didik mendekatkan
diri kepada Allah atau memnghiasi menghiasi diri dengan akhlak yang disukai Allah, dan
sedapat mungkin menjauhi perbuatan yang tidak disukai Allah.[4]

A.    Pengertian Peserta Didik


Dalam paradigm pendidikan Islam, peserta didik merupakan orang yang belum dewasa
dan memiliki sejumlah potensi (kemampuan) dasar yang masih perlu dikembangkan.  Disini,
peserta didik merupakan makhluk Allah yang memiliki fitrah jasmani maupun rohani yang
belum mencapai taraf kematangan baik bentuk, ukuran, maupun perimbangan pada bagian-
bagian lainnya.dari segi ruhaniah, ia memiliki bakat, memiliki kehendak, perasaan, dan
pikiran yang dinamis dan perlu dikembangkan.
Berikut ini adalah pengertian peserta didik dari sudut pandang Pendidikan Islam, yaitu :
a.       Muta’allim 
Muta’allim adalah orang yang sedang diajar atau orang yang sedang belajar. Muta’allim
erat kaitannya dengan mua’allim karena mua’allim adalah orang yang mengajar, sedangkan
muta’allim adalah orang yang diajar.
b.      Mutarabbi
Mutarabbi adalah orang yang dididik dan orang yang diasuh dan orang yang dipelihara.
c.       Muta’addib
Muta’addib adalah orang yang diberi tata cara sopan santun atau orang yang dididik untuk
menjadi orang baik dan berbudi.[5]
Dalam bahasa Indonesia ada tiga sebutan untuk pelajar, yaitu murid, anak didik dan
peserta didik. Istilah murid dalam Islam mengandung arti orang yang sedang belajar,
menyucikan diri dan sedang berjalan menuju Tuhan. Sebutan anak didik mengandung arti
guru menyayangi murid seperti anaknya sendiri, faktor kasih sayang guru terhadap anak didik
adalah satu kunci keberhasilan pendidikan, sedangkan sebutan peserta didik adalah sebutan
yang paling mutakhir, istilah ini menekankan pentingnya murid berpartisipasi dalam proses
pembelajaran. Dengan demikian perubahan istilah dari murid ke anak didik kemudian
menjadi peserta didik, bermaksud memberikan perubahan pada peran pelajar dalam proses
pembelajaran.[6]
Pada banyak buku pendidikan Islam, kajian tentang objek / peserta pendidikan secara
umum menekankan pada persoalan yang berkaitan dengan anak sebagai peserta didik, artinya
kebanyakan penulis menjelaskan bahwa peserta didik adalah setiap orang yang menerima
pengaruh dari seseorang atau sekelompok  orang yang menjalankan kegiatan pendidikan,
peserta didik bukan binatang, tetapi ia adalah manusia yang mempunya akal.[7]
Sementara itu Abu Ahmadi menjelaskan bahwa peserta didik disebut juga anak didik atau
terdidik yang terdiri dari para individu dan membaginya berdasarkan tahap perkembangan dan
umur, menurut status dan tingkat kemampuan.[8]
Dalam Islam peserta didik adalah setiap manusia yang sepanjang hayatnya selalu berada
dalam perkembangan, jadi bukan hanya anak – anak yang sedang dalam pengasuhan dalam
pengasihan orang tuanya, bukan pula hanya anak – anak dalam usia sekolah[9], tetapi
mencakup seluruh manusia yang beragama Islam maupun tidak atau dengan kata lain manusia
secara keseluruhan.[10] Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS. Saba’ Ayat 28
tBur y7»oYù=y™ö‘r& žwÎ) Zp©ù!$Ÿ2 Ä¨$¨Y=Ïj9 #ZŽÏ±o0 #\ƒÉ‹tRur £`Å3»s9ur uŽsYò2r& Ä¨$¨Z9$# $!
  Ÿw šcqßJn=ôètƒ ÇËÑÈ

Artinya :
“Dan kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai
pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada
mengetahui”.  
Peserta didik adalah manusia yang memiliki potensi (fithrah) yang dapat dikembangkan
dan berkembang secara dinamis. Di sini tugas pendidik adalah membantu mengembangkan
dan mengarahkan perkembangan tersebut sesuai dengan tujuan pendidikan yang diinginkan,
tanpa melepaskan tugas kemanusiaannya; baik secara vertikal maupun horizontal. Ibarat
sebidah sawah, peserta didik adalah orang yang berhak bercocok tanam dan memanfaatkan
sawahnya (potensi). Sementara pendidik (termasuk orang tua) hanya bertugas menyirami dan
mengontrol tanaman agar tumbuh subur sebagaimana mestinya, sesuai dengan nilai-nilai yang
berlaku.[11]
Menurut Pemakalah peserta didik adalah manusia yang menjadi mitra dari kegiatan
pendidikan. Pemahaman tentang peserta didik seperti ini, di dasarkan pada tujuan pendidikan
Islam yaitu mewujudkan manusia sempurna serta utuh (insan kamil), yang untuk
mencapainya manusia harus berusaha terus menerus melalui berbagai kegiatan pendidikan
hingga akhir hayatnya, baik itu melalui pendidikan yang diselenggarakan secara formal
maupun non formal. Seluruh pendekatan peserta didik sebelumnya perlu dipahami secara
mendalam oleh setiap pendidik atau komponen yang terlibat dalam proses kependidikan
Islam. Wacana ini dimaksudkan untuk memformat tugas-tugas kependidikan yang dinamis
bagi tercapainya tujuan yang diinginkan.
B.     Sifat Peserta Didik
Dalam tinjauan Psikologi disebutkan bahwa setiap individu memiliki sifat  bawaan
(heredity) dan sifat yang diperoleh dari pengaruh lingkungan. Sifat bawaan merupakan sifat
yang dimiliki sejak lahir, baik yang menyangkut faktor biologis maupun faktor sosial
psikologis. Pada masa lalu ada keyakinan, kepribadian terbawa pembawaan dan lingkungan,
merupakan dua faktor yang terbentuk karena faktor terpisah, masing-masing memperngaruhi
kepribadian dan kemampuan individu bawaan dan lingkungan dengan caranya sendiri-sendiri.
[12]
Untuk terwujudnya kegiatan pembelajaran yang baik, serta terjalin kerjasama antara guru
sebagai pendidik dan murid sebagai peserta didik sekaligus sebagai mitra didik, setiap peserta
didik dituntut mengerti, memahami, memiliki dan dapat merealisasikan sifat – sifat berikut ini
:
1.      Bersikap tawadhu’ atau rendah hati[13]. Hendaklah pelajar tidak takabur atas ilmu dan tidak
menguasai orang yang mengajar, melainkan menyerahkan kepada pengajar kendali urusannya
secara keseluruhan dalam setiap perincian. Juga pelajar harus menurut nasehat pengajar dan
seyogyanya pelajar merendahkan diri kepada pengajarnya, mencari pahala dan kemuliaan
dengan melayaninya[14]
2.      Peserta didik hendaknya berhias dengan moral yang baik seperti berkata benar, ikhlas, taqwa,
rendah hati, zuhud menerima apa yang ditentukan Tuhan serta menjauhi sifat – sifat tercela.
3.      Bersungguh – sungguh dan tekun belajar
4.      Sifat saling mencintai dan persaudaraan haruslah menyinari pergaulan antara siswa sehingga
merupakan anak – anak yang sebapak[15]
5.      Peserta didik harus penuh semangat dan kegiatan, serta menghadapi tugasnya dengan penuh
kegaerahan dan minat.
6.      Senantiasa memiliki ketabahan dalam mencari ilmu pengetahuan[16]
7.      Bersifat wara’ dan menjaga agar setiap kebutuhan dan keluarga, makan, minum, pakaian
tempat tinggal dan lain-lain, selalu dari bahan dan diperoleh lewat cara yang halal[17]
Berkenaan dengan sifat, Imam Al-Ghazali merumuskan sifat-sifat yang patut dan harus
dimiliki peserta didik :
a.       Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub ila Allah
b.      Mengurangi kecenderungan pada kehidupan duniawi dibanding ukhrawi sebaliknya
c.       Menjadi pikiran dari berbagai pertentangan yang timbul dari berbagai aliran
d.      Mempelajari ilmu-ilmu yang perpuji baik ilmu umum maupun agama
e.       Memprioritaskan ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi[18]

C.    Tugas dan Tanggung Jawab Peserta Didik


Agar pelaksanaan proses Pendidikan Islam dapat mencapai tujuan yang diinginkan, maka
setiap peserta didik hendaknya senantiasa menyadari tugas dan kewajibannya.
Peserta didik adalah salah satu komponen manusiawi yang menempati posisi sentral
dalam proses belajar mengajar. Dalam proses belajar mengajar, peserta didik adalah pihak
yang ingin meraih cita-cita dan memiliki tujuan dan kemudian ingin mencapainya secara
optimal. Jadi, dalam proses belajar-mengajar yang perlu diperhatikan pertama kali adalah
perserta didik, bagaimana keadaan dan kemampuannya, baru setelah itu menentukan
komponen-komponen yang lain.
Menurut Imam al-Ghazali peserta didik memiliki sepuluh poin kewaiban:
a.       Peserta didik memprioritaskan penyucian diri dari akhlak tercela dan sifat buruk, sebab ilmu
itu bentuk peribadatan hati, shalat ruhani dan pendekatan batin kepada Allah.
b.      Peserta didik menjaga diri dari kesibukan-kesibukan duniawi dan segoyiyanya berkelanan
jauh dari tempat tinggalnya
c.       Peserta didik tidak membusungkan dada terhadap orang alim (guru), melainkan bersedia
patuh dalam segala urusan dan bersedia mendengarkan nasihatnya
d.      Peserta didik hendaknya menghindarkan diri dari mengkaji variasi pemikiran dan tokoh, baik
menyangkut ilmu-ilmu duniawi maupun ilmu-ilmu ukhrawi
e.       Peserta didik tidak mengabaikan suatu disiplin ilmu apapun yang terpuji, melainkan bersedia
mempelajarinya hingga tahu akan orientasi dari disiplinilmu tersebut
f.       Peserta didik dalam  usahanya mendalami suatu disiplin ilmu tidak dilakukan secara
sekaligus, akan tetapi perlu bertahap dan memprioritaskan yang terpenting
g.      Peserta didik tidak melangkah mendalami tahap ilmu berikutnya hingga ia benar-benar
menguasai tahap ilmu sebelumnya
h.      Peserta didik hendaknya mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan dapat memperoleh
ilmu yang paling mulia
i.        Tujuan peserta didik dalam menuntut ilmu adalah pembersihan batin dan menghiasinya
dengan keutamaan serta pendekatan diri kepada Allah serta meningkatkan maqam
spiritualnya
j.        Peserta didik mengetahui relasi ilmu-ilmu yang dikajinya dengan orientasi yang dituju,
sehingga dapat memilah dan memilih ilmu mana yang harus diprioritaskan.[19]
Menurut M. Athiyah al-Abrasyi, setiap peserta didik  setidaknya memiliki tugas dan
tanggung jawab seperti berikut ini :
1.      Sebelum mulai belajar, siswa itu harus terlebih dahulu membersihkan hatinya dari segala sifat
buruk, karena belajar dan mengajar itu dianggap sebagai ibadah. Sebab menyemarakkan hati
dengan ilmu tidak sah keuali setelah hati itu suci dari kotoran akhlak. Intinya ialah peserta
didik jiwanya harus suci. Indikatornya terlihat dari akhlaknya[20]
2.      Bersedia mencari ilmu termasuk meninggalkan keluarga dan tanah air, dengan tidak ragu –
ragu bepergian ke tempat – tempat yang jauh sekalipun bila di kehendaki demi untuk
mendatangi guru.
3.      Bertekhad untuk belajar hingga akhir umur, jangan meremehkan suatu cabang ilmu, tetapi
hendaklah menganggapnya bahwa setiap ilmu ada  faedahnya, jangan meniru – niru apa yang
didengarnya dari orang – orang yang terdahulu yang mengkritik  dan merendahkan sebagian
ilmu mantic dan filsafat[21]
4.      Menjaga pikiran dari berbagai pertentangan yang timbul dari berbagai aliran.
5.      Mempelajari ilmu – ilmu terpuji, baik ilmu umum atau ilmu agama.
6.      Mempelajari suatu ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih pada ilmu yang lainnya.
7.      Memahami nilai – nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari
8.      Mengenal nilai – nilai prakmatis bagi suatu ilmu pengetahuan, yaitu ilmu pengetahuan yang
dapat bermanfaat, membahagiakan, mensejahterakan, serta memberi keselamatan hidup dunia
dan akhirat, baik itu untuk dirinya maupun manusia pada umumnya[22]

D.    Etika Peserta Didik


Sebagaimana dijelaskan oleh Asmah Hasan Fahmi, bahwa setiap peserta didik harus
memiliki dan berlaku dengan etika yang sesuai dengan ajaran Islam, seperti sebagai berikut :
1.          Setiap peserta didik harus membersihkan hatinya dari kotoran sebelum menuntut ilmu
2.          Hendaklah tujuan belajar itu ditujukan untuk menghiasi ruh dengan sifat keutamaan,
mendekatkan diri dengan tuhan dan bukan untuk bermegah – megahan dan mencari
kedudukan[23]. Belajar dengan niat ibadah kepada Allah. Konsekuensi dari sikap ini, peserta
didik akan senantiasa mensucikan diri dengan akhlakul karimah dalam kehidupan sehari –
hari, serta berupaya meninggalkan watak dan akhlah yang rendah sebagai manifestasi dari
firman Allah SWT dalam QS. Al-An’aam : 162:
ö@è% ¨bÎ) ’ÎAŸx|¹ ’Å5Ý¡èSur y“$u‹øtxCur †ÎA$yJtBur ¬! Éb>u‘ tûüÏHs>»yèø9$# ÇÊÏËÈ
Artinya :
“Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah
untuk Allah, Tuhan semesta alam.”
 dan  QS. Adz-Dzariyat ayat 56
tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbr߉ç7÷èu‹Ï9 ÇÎÏÈ$
Artinya :
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku.”
3.          Peserta didik tidak menganggap rendah sedikitpun pengetahuan-pengetahuan apa saja dengan
sebab ia tidak mengetahuinya, tetapi ia harus mengambil bagian dari tiap – tiap ilmu yang
pantas baginya dan tingkatan yang wajib baginya
4.          Janganlah peserta didik mengikuti teman – temannya yang bodoh dalam mengecam sebagian
ilmu, tanpa mengetahui apa yang patut dicela dan dipuji tentangnnya[24]
5.          Murid terlebih dahulu memberi salam kepada gurunya[25]
6.          Apabila peserta didik telah memilih guru yang tepat, maka ia harus belajar dengan sabar dan
konsekuwen[26]
7.          Ikutilah perintahnya selama tidak menyuruh kemaksiatan
8.          Mengupayakan agar tiba terlebih dahulu di majlis dari guru[27]
9.      Hendaknya memilih teman yang berhati mulia
10.  Menjahui teman yang bersifat malas dan jangan membangga – banggakan suatu
kemuliaan yang dimilikinya[28]

PENUTUP

Peserta didik merupakan unsur terpenting bagi terlaksanya kegiatan pendidikan. Sebab ia
merupakan obyek dan sekaligus subyek dan mitra pendidikan, sehingga sehebat dan
selengkap apapun unsur – unsur lainnya, jika peserta didik tidak ada atau tidak dipedulikan,
maka dapat dipastikan kegiatan pendidikan tidak dapat terlaksana dan berjalan dengan baik.
 Diantara sifat – sifat yang harus dimiliki bagi peserta didik adalah  bersikap tawadhu’

atau rendah hati, berhias dengan moral dan akhlaq yang baik, bersungguh – sungguh dan
tekun belajar, saling mempererat tali persaudaraan, memiliki sifat tabah, dan wira’.
Tugas dan tanggung jawab peserta didik diantaranya sebelum belajar hendaknya
membersihkan hati dari sifat tercela, bersedia mencari ilmu walaupun meninggalkan keluarga,
tempat jauh, bertekhad mencari ilmu sepanjang hayat, menjaga pikiran dari pertentangan
aliran, mempelajari ilmu terpuji dan mendalam,
Peserta didik dalam mencari ilmu harus memiliki etika yang baik diantaranya niat karena
Allah, sopan – santun pada guru, ber akhlaq yang baik terhadap guru maupun temannya

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi Abu. Ilmu Pendidikan. 1991. Rineka Cipta. Jakarta


Al-Ghozali Imam. Ihya’ Ulumuddin (terjemahan Misbah Zainul Mustofa). Bintang Pelajar. Yogyakarta
Al-Rasyidin & Nizar Samsul. Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis Filsafat Pendidikan Islam.
2005.Ciputat Press. Jakarta
Arifin. Ilmu Pendidikan Islam (Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan
Interdisipliner). 2003. Bumi Aksara. Jakarta
Asari Hasan. Etika Akademis Dalam Islam Studi tentang Kitab Tazkirat al-Sami wa al-Mutakallim Karya Ibn
Jama’ah. 2008. Tiara Wacana. Yogyakarta
Bahri Syaiful Djamarah. Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif. 2000. Rineka Cipta. Jakarta
Hasan Asma Fahmi. Mabadiut Tarbiyatil Islamiyah (terjemahan Ibrahim Husein) Sejarah dan Filsafat
Pendidikan Islam. 1979. Bulan Bintang. Jakarta
M. Al-Abrasyi Athiyah. Attarbiyah al-Islamiyah (terjemahan Bustami A.Gani), Dasar – Dasar Pokok
Pendidikan Islam. 1993. Bulan Bintang. Jakarta
Moh. Aziz Ali. Ilmu Dakwah. 2004. Kencana. Jakarta
Nizar Samsul. Filsafat Pendidikan Islam. (Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis). 2002. Ciputat Pers.
Jakarta
Noer Hery Aly. Ilmu Pendidikan Islam. 1999. Logos. Jakarta
Salminawati. Filsafat Pendidikan Islam (Membangun Konsep Pendidikan Yang Islami). 2012. Citapustaka
Media Perintis. Bandung
Sjalaby  Ahmad. Tarikhut Tarbiyah Islamiyah, terjemahan Mukhtar Yahya dan M. Sanusi Latief. 1973.
Bulan Bintang. Jakarta
Sunarto dan Hartono Agung. Perkembangan Peserta Didik. 2008. Rineka Cipta. Jakarta
Tafsir  Ahmad. Filsafat Pendidikan Islami (Integrasi Jasmani, Rohani dan Kalbu, Memanusiakan Manusia).
2006. Remadja Rosdyakarya. Bandung
Zuhairini, dkk. Filsafat Pendidikan Islam. 1995. Bumi Aksara. Jakarta

[1] Zuhairini, dkk. Filsafat Pendidikan Islam. 1995. Bumi Aksara. Jakarta. Hlm. 75

[2] Arifin. Ilmu Pendidikan Islam (Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan


Interdisipliner). 2003. Bumi Aksara. Jakarta. Hlm. 42

[3] Salminawati. Filsafat Pendidikan Islam (Membangun Konsep Pendidikan Yang Islami). 2012.


Citapustaka Media Perintis. Bandung. Hlm. 138

[4] Salminawati. Op. Cit. Hlm. 139

[5] Salminawati. Op. Cit. Hlm. 140

[6] Ahmad Tafsir. Filsafat Pendidikan Islami (Integrasi Jasmani, Rohani dan Kalbu, Memanusiakan
Manusia). 2006. Remadja Rosdyakarya. Bandung. Hlm.165

[7] Syaiful Bahri Djamarah. Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif. 2000. Rineka Cipta. Jakarta.
Hlm. 51

[8] Abu Ahmadi. Ilmu Pendidikan. 1991. Rineka Cipta. Jakarta. Hlm. 41-42

[9] Hery Noer Aly. Ilmu Pendidikan Islam. 1999. Logos. Jakarta. Hlm. 113

[10] Moh. Ali Aziz. Ilmu Dakwah. 2004. Kencana. Jakarta. Hlm. 90

[11] Samsul Nizar. Filsafat Pendidikan Islam. (Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis). 2002. Ciputat


Pers. Jakarta. Hlm. 48-50

[12] Sunarto dan Agung Hartono. Perkembangan Peserta Didik. 2008. Rineka Cipta. Jakarta. Hlm. 4


[13]Al-Rasyidin & Samsul Nizar. Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis Filsafat Pendidikan Islam.
2005.Ciputat Press. Jakarta. Hlm. 52
[14]Imam Al-Ghozali. Ihya’ Ulumuddin (terjemahan Misbah Zainul Mustofa). Bintang Pelajar.
Yogyakarta. Hlm. 161
[15]M. Athiyah al-Abrasyi. Attarbiyah al-Islamiyah (terjemahan Bustami A.Gani), Dasar – Dasar Pokok
Pendidikan Islam. 1993. Bulan Bintang. Jakarta. Hlm. 147-148
[16]Asma Hasan Fahmi. Mabadiut Tarbiyatil Islamiyah (terjemahan Ibrahim Husein) Sejarah dan Filsafat
Pendidikan Islam. 1979. Bulan Bintang. Jakarta. Hlm. 174
[17]Hasan Asari. Etika Akademis Dalam Islam Studi tentang Kitab Tazkirat al-Sami wa al-Mutakallim
Karya Ibn Jama’ah. 2008. Tiara Wacana. Yogyakarta. Hlm. 72
[18] Salminawati. Op. Cit. Hlm. 141

[19] Salminawati Op. Cit. Hlm. 141

[20]Ahmad Tafsir. Op. Cit. Hlm. 166


[21]M. Athiyah al-Abrasyi. Op. Cit. Hlm. 147-148
[22]Al-Rasyidin & Samsul Nizar. Op. Cit. Hlm. 53
[23]Asma Hasan Fahmi. Op. Cit. Hlm. 176
[24]Ibid. Hlm. 176
[25]M.Athiyah al-Abrasyi. Op. Cit. Hlm. 148
[26]Ahmad Sjalaby. Tarikhut Tarbiyah Islamiyah, terjemahan Mukhtar Yahya dan M. Sanusi Latief. 1973.
Bulan Bintang. Jakarta. Hlm. 312
[27]Hasan Asari. Op. Cit. Hlm. 104
[28]Ahmad Sjalaby. Op.Cit. Hlm. 315

Anda mungkin juga menyukai