Anda di halaman 1dari 31

REFLEKSI TOPP TAHAP II

SEMINARI MENENGAH SANTO PAULUS, PALEMBANG

Oleh :

Paulus Yosse Pratama, SCJ

FT. 3892

Tahun Ajaran 2021/2022


LEMBAR PENGESAHAN

Demikian laporan TOPP tahap II ini dibuat oleh

Fr. Paulus Yosse Pratama, SCJ

Setelah dibimbing dan dikoreksi oleh pembimbing TOPP

Rm. Petrus Sugiharto, SCJ

Menyetujui

Pembimbing TOPP TOPP-er

Rm. Petrus Sugiharto, SCJ Fr. Paulus Yosse Pratama, SCJ

2
FAKTA ADMINISTRATIF

Nama Lengkap : Paulus Yosse Pratama

Nomor Mahasiswa : 3892

Alamat Topper : Seminari Menengah St. Paulus Palembang, Jalan Bangau no 60

Nama Pendamping : Rm. Petrus Sugiharto, SCJ

Nama Koordinator : Rm. Christoforus Wahyu Tri Haryadi SCJ, Rm. Blasius Sukoto

SCJ

3
DAFTAR ISI

REFLEKSI TOPP TAHAP II SEMINARI MENENGAH SANTO PAULUS,


PALEMBANG..........................................................................................................................1
LEMBAR PENGESAHAN......................................................................................................2
FAKTA ADMINISTRATIF....................................................................................................3
DAFTAR ISI.............................................................................................................................4
REFLEKSI TOPP TAHAP II.................................................................................................5
1. Dimensi Pastoral..............................................................................................................5
1.1. Pengantar..................................................................................................................5
1.2. Pastoral Berdasarkan Konteks.................................................................................6
1.4. Spirit Pastoral: Pendidikan Suara Hati...................................................................13
1.5. Gagasan yang Mendasari Pendidikan Suara Hati..................................................13
1.6. Unsur-Unsur Pembinaan Suara Hati pada Seminaris............................................16
1.7. Dimensi-Dimensi Pendidikan Suara Hati..............................................................19
1.8. Kesimpulan............................................................................................................22
2. Dimensi Personal..............................................................................................................23
2.1. Hidup Rohani.........................................................................................................23
2.2. Terinspirasi Pater Dehon........................................................................................25
3. Ringkasan Bacaan Rohani.............................................................................................26
3.1. Introduction............................................................................................................26
3.2. Bagian Pertama......................................................................................................26
3.3. Bagian Dua: How to Have Virginity and Celibacy for the Sake of the Kingdom.29
4. The Virgin Mary...........................................................................................................30
3. Kesimpulan dan Refleksi..............................................................................................30

4
REFLEKSI TOPP TAHAP II

1. Dimensi Pastoral
“Yang menjadi fokus dalam tahap kedua ini adalah pengembangan jemaat. Para frater
dilibatkan dalam gerak langkah membangun jemaat menuju visi-misi yang sudah
ditentukan; sekaligus mencoba menghidupi spiritualitas dehonian di tengah-tengah
kesibukan pastoral.”

Fokus orientasi: A. Dimensi pastoral: kerasulan, intelektual dan manusiawi

“Dalam tahap kedua ini Topper melihat bagaimana reksa pastoral paroki/kategorial
dijalankan. Bagaimana kehidupan kelompok-kelompok atau komunitas basis; persoalan-
persoalan dan harapan mereka; sejauh mereka ikut ambil bagian dalam reksa pastoral
paroki; bagaimana perhatian untuk kaum muda. Selain itu, melihat bagaimana sinergi
para pelayan pastoral. Apakah pastor menjalankan tugas kegembalaannya dengan baik;
bagaimana kinerja Dewan Pastoral Paroki; bagaimana seksi-seksinya bekerja dan
bekerjasama, dll. Apakah ada kerjasama tim pastoral yang baik?”

1.1. Pengantar
Saya memandang Tahun Orientasi Pastoral (TOP) sebagai latihan pastoral sekaligus
mewujudkan keterlibatan yang mendukung dan menghasilkan buah dalam kegembiraan. Salah
satu perwujudan pastoral yang menghasilkan buah dan kegembiraan terlaksana melalui
penyesuaian terhadap situasi zaman. Menurut Evangeli Gaudium 27, Gereja perlu mengubah
kebiasaan lama sehubungan dengan evangelisasi melalui cara-cara yang kekinian. Maka,
Seminari sebagai lembaga pendidikan calon imam Gereja masa depan tampaknya perlu
menyesuaikan diri dengan situasi zaman dalam pelayanan pastoral kategorial.
Menurut anjuran Evangeli Gaudium, berpastoral dengan cara kekinian berarti bukan
hanya menggunakan sarana-sarana masa kini, tetapi juga melibatkan banyak orang dalam
berpastoral (EG 28). Oleh karena itu, penting bagi para pelayan pastoral di Seminari ini agar
5
terbuka terhadap konteks seminaris zaman sekarang dan memperkaya diri melalui masukan-
masukan orang lain ataupun literasi terkait pendidikan yang selaras dengan kebutuhan zaman.
Dengan demikian, “Pelayanan pastoral dari sudut pandang perutusan menuntut tindakan
meninggalkan sikap puas diri dengan tidak mengatakan, kami selalu melakukannya dengan cara
ini.” (EG 33).
Setelah saya menjalani masa TOP selama satu tahun di Seminari Menengah Santo Paulus
Palembang, saya hendak memfokuskan refleksi saya kali ini pada satu topik yakni; sinergi
para staf seminari dalam kebijakan pastoral terkait dinamika penggunaan gadget di
Seminari. Saya menempatkan diri dalam laporan ini sebagai pengamat sekaligus sebagai staf
Seminari yang berusaha untuk belajar dan mengambil sikap terhadap topik tersebut. Melalui para
formator, saya mengamati adanya mimpi-mimpi, kekhawatiran, sekaligus keterbatasan formator
dalam menciptakan formasio yang kondusif terkait dengan penggunaan gadget. Dari para
seminaris, saya belajar tentang adanya potensi, peluang, sekaligus ancaman yang bisa
mengganggu proses formasio apabila mereka dibiarkan begitu saja menggunakan gadget tanpa
adanya literasi dan kebijakan yang tepat. Maka melalui proses mengamati dan terlibat secara
langsung, saya pun memiliki mimpi serta usulan-usulan terkait pelayanan pastoral di Seminari
yang berhubungan dengan penggunaan gadget.

6
1.2. Pastoral Berdasarkan Konteks

Menurut saya, keterlibatan formator dalam pelayanan kategorial di Seminari terkait dengan
penggunaan gadget pada seminaris; hanya dapat berjalan dengan mangkus dan sangkil, apabila
para staf memahami karakteristik generasi seminaris saat ini. Bila dipandang melalui pemikiran
Don Tapscott, seminaris saat ini diklasifikasikan ke dalam Generasi Net. Generasi Net ini lahir
antara tahun 1982-2005 dan mereka tumbuh dan berkembang dalam lingkungan dunia digital dan
internet.1 Don Tapscott adalah orang yang pertama kali menciptakan istilah Generasi Net dalam
bukunya yang berjudul Grown Up Digital. Istilah ini digunakan olehnya untuk memberi
gambaran bahwa generasi ini dipengaruhi oleh suatu sistem jaringan internet yang dibangun
dalam kerangka komunikasi dan informasi digital. 2 Teknologi digital telah mengubah dunia dan
termasuk anak-anak. Ponsel cerdas memicu 'budaya kamar tidur' yang memampukan anak online
secara lebih pribadi dan kurang diawasi.3
Karakteristik dunia digital telah memberi peluang dan tantangan bagi seminaris (Generasi
Net) untuk dapat bersikap jujur dalam menggunakan gadget. Tantangan yang barangkali juga
bisa menggoyahkan panggilan seminaris ialah informasi negatif yang begitu mudah diperoleh
dan disebarkan. Setidaknya ada empat masalah moral yang perlu diberi perhatian secara intens
oleh staf Seminari sehubungan dengan dunia digital sebagai media informasi yang menyediakan
beragam pesan. Masalah-masalah itu dapat dilihat berdasarkan: pembuat pesan, sifat pesan, cara
pesan disebarkan, dan dampak pesan.

a. Pembuat Pesan

Perkembangan teknologi saat ini memungkinan setiap orang untuk membuat berbagai pesan
di media sosial.4 Video, opini, foto, disebarkan dengan bebas dan cepat melalui internet di
berbagai media sosial, bahkan tanpa ada kontrol atau sensor yang ketat. Para staf Seminari perlu
menyadari bahwa Generasi Net dapat menyumbangkan opininya juga di dunia digital ini, karena
mereka memiliki waktu dan akses dengan gawainya, namun juga dapat menyebar berita bohong
1
Bob Pletka, Educating The Net Generation, (USA: St. Monica Press LLC, 2017), 29.
2
Don Tapscott, Grown Up Digital (USA: McGraw-Hill, 2009), 17-18.
3
Unicef, The State of the World’s Children — Children in a Digital World, (USA: Samantha Wauchope, Head of
Publishing, 2017), 2.
4
Bob Pletka, Ed. D, Educating the Net Generation, 33.
7
(hoax). Adanya fenomena kesalahpahaman antara staf dan keluarga seminaris seringkali juga
bermula dari cepatnya informasi yang bisa disampaikan oleh seminaris kepada orangtuanya.
Kadangkala, informasi tersebut kurang tepat atau bahkan mengaburkan fakta yang sesungguhnya
seakan-akan staf Seminari keliru di mata orangtua.

b. Sifat Pesan

Media digital menyediakan beragam pesan dalam informasi dari berbagai belahan dunia.
Seminaris dapat menerima pesan yang disebarkan oleh pihak-pihak yang tidak
bertanggungjawab. Pesan itu dapat terjadi tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur menuju imamat,
sehingga norma-norma kebenaran, kesusilaan menjadi semakin kacau. Melihat sifat penyebaran
pesan dari suatu informasi tidak terbatas, maka para staf Seminari memang perlu membatasi
waktu penggunaan gadget di antara seminaris, tetapi yang kerap kali diabaikan adalah bagaimana
mengajarkan mereka untuk kritis (bdk. AL 274-275) dalam mengakses informasi sesuai tujuan
luhur mereka yakni menjadi imam. “Di internet, anak-anak harus mencari informasi bukan hanya
sekadar melihat. Ini mendesak mereka untuk mengembangkan pemikiran dan keterampilan-
keterampilan investigasi dan lain sebagainya. Mereka harus kritis. Situs web mana yang baik
untuk mereka?”5

c. Penyebaran Pesan

Ketika Generasi Net menggunakan secara gratis berbagai produk yang disediakan oleh
layanan media digital, mereka tidak sadar telah dimanfaatkan sebagai komoditas untuk mendapat
nilai ekonomi. Saluran di media sosial bisa merekomendasikan berbagai konten dan produk
tertentu berdasarkan prinsip kesenangan si pengguna. Hal itu dapat terjadi karena teknologi
digital saat ini dirancang dengan mekanisme khusus yang dapat ‘merekam’ jejak digital
pengguna, sehingga data mereka dapat dimanfaatkan dengan mudah untuk kepentingan kapitalis.

Idealnya, perusahaan penyedia layanan media sosial melindungi data privasi pengguna.
Namun, karena Generasi Net aktif sebagai pengguna media sosial, tanggungjawab untuk

5
On the Net, children have had to search for, rather than simply look at, informasion. This forces them to develop
thinking and investigative skills and much more. They must become critics. Which Web sites are good? Don
Tapscott, Grown Up Digital, 21.
8
melindungi data pribadi ini tidak hanya dibebankan pada perusahaan: tetapi juga setiap individu
mesti mengontrol informasi mereka yang tersebar di publik.6 Selain itu, pengguna media sosial
juga dapat secara mudah diarahkan untuk mengikuti suatu pendapat yang belum tentu teruji
kebenarannya, sehingga bisa menimbulkan dilema sosial maupun masalah moral tersendiri. Para
staf Seminari perlu membantu seminaris untuk memahami sifat penyebaran informasi ini.
Fenomena seminaris yang selintutan menyimpan uang digital dan seringkali membeli barang-
barang secara online, perlu mendapat perhatian dari staf Seminari. Staf Seminari perlu membuat
kebijakan yang jelas dengan narasi yang dapat dipahami oleh seminaris. Gereja tentu
menghendaki calon imam yang ugahari dan tidak menjadi konsumtif.

d. Dampak Pesan

Media digital dapat dimanfaatkan sebagai sumber pengetahuan. Di sisi lain, media digital
juga menyediakan beragam konten yang mengandung pesan-pesan yang negatif seperti: hoax,
kekerasan, pornografi, cyber-bullying, ujaran kebencian, dll. Para staf Seminari tampaknya perlu
membantu seminaris untuk memilah-milah konten yang berguna bagi pertumbuhan kepribadian
mereka dan yang mengarahkan mereka pada hidup imamat.

Penjelasan ini memberikan sedikit konteks umat (seminaris) yang memang sudah sejak lahir
mengenal dan menggunakan gadget. Para staf tampaknya sudah memahami konteks seminaris
ini. Namun, saya merasa bahwa masih ada ketegangan-ketegangan atau ketidaksepahaman
terkait kebijakan pastoral penggunaan gadget di kalangan seminaris. Meskipun masing-masing
staf memiliki pertimbangan yang tujuannya tentu saja untuk kebaikan seminaris, hanya sangat
disayangkan apabila kebijakan yang diberikan terkait penggunaan gadget ini hanya berupa
larangan. Saya merasa staf Seminari perlu mengembangkan diri (on going formation) di bidang
literasi digital yang fokusnya untuk pendidikan calon imam. Harapannya, pembekalan itu dapat
berdampak signifikan pada kebijakan pastoral staf Seminari untuk meningkatkan literasi digital
kepada seminaris secara lebih komprehensif.

6
Don Tapscott, Grown Up Digital, 68.
9
1.2.1. Konteks Pastoral dalam Tinjauan Intelektual: Filsafat

Saya mencoba untuk mendasarkan refleksi saya di bidang pastoral ini dalam tinjauan
filsafat, yakni dengan melihat hubungan fungsionaris antara formator dan formandi terkait
penggunaan gadget di kalangan seminaris. Menurut saya, pemikiran Martin Buber dapat menjadi
tali penghubung untuk menciptakan formasio yang harmonis di Seminari. Dari pemikiran Martin
Buber, saya hendak merumuskan pertanyaan: mengapa tindakan bermain game online menjadi
tidak menyenangkan di hati para staf Seminari? Mengapa para staf cenderung resisten terhadap
penggunaan gadget pada seminaris? Bagaimana relasi yang tidak ideal antara formator dan
formandi ini dimaknai dalam konteks pemikiran Martin Buber?

Menurut Martin Buber, sebuah relasi bisa terjalin dengan harmonis bila masing-masing
orang saling menyapa dan mencoba memahami sesamanya. Oleh karena itu, Martin Buber
memaknai sebuah hubungan yang ideal hanya terjadi melalui relasi timbal balik. Sebagai
manusia, keindahan eksistensi diperoleh melalui hubungan relasional, yakni perjumpaan dengan
sesamanya.7 Itu artinya, perjumpaan merupakan realitas yang tidak terelakan. Relasi perjumpaan
dalam pemikiran Martin Buber ini berbeda dengan Levinas yang hanya menekankan adanya
keinginan untuk berelasi dengan yang lain. Bagi Martin Buber, tekanannya adalah hubungan
timbal balik atau fusion atau relasi yang saling melebur.

Kalau boleh membahasakan pemikiran Martin Buber dalam konteks formasio: saya
merasa staf belum sepenuhnya meleburkan diri dalam realitas seminaris yang menggunakan
gadget. Meminjam perpektif Piere Bordue, saya merasa relasi antara formator dan formandi
cenderung diwarnai dengan hubungan antara yang menguasai dan dikuasai. Dominasi staf sangat
tampak melalui larangan-larangan yang diberikan pada seminaris dalam penggunaan gadget.
Meskipun di balik larangan itu, staf juga mempertimbangkan aspek rasional maupun teologis.
Aspek rasional yang saya tangkap dalam diskusi sehari-hari tentang gadget ialah bahwa: terlalu
lama bermain gadget dapat menggangu fokus belajar, kecanduan, dan menjadi tidak peka
terhadap lingkungan sekitar. Sedangkan aspek teologis yang terungkap yakni, bagaimana
seminaris diajak untuk menemukan kehendak Allah melalui aturan penggunaan gadget.
7
Martin Buber, I and Thou, (Edinburg: T&T Clark, 1970), 63.
10
Bila seminaris melakukan pelanggaran, maka sanksi yang dirasa memberi efek jera dan
membuat mereka menjadi ‘anak manis’ adalah tidak memakai gadget selama beberapa waktu.
Menurut saya, kebijakan ini bisa menyelesaikan masalah secara instan, tetapi belum mendalam
dan tidak menyelesaikan akar permasalahannya. Anggur baru mesti disiapkan dengan kantung
yang baru. Oleh karena itu, staf perlu menggali perjumpaan yang mendalam terhadap fenomena
penggunaan gadget ini di kalangan seminaris. Relasi yang terjadi harusnya timbal balik dan
bukan interaksi pemberi kebijakan (penguasa) terhadap yang dikuasai.

Lantas pemecahan persoalan yang ditawarkan seperti apa? Di satu sisi, seminaris perlu
memahami nilai di balik sebuah aturan penggunaan gadget dan menjadikan itu sebagai
keutamaan untuk menghadapi berbagai ancaman yang juga telah dianalisa oleh para staf
Seminari. Di sisi lain, staf perlu melihat potensi dan peluang yang bisa dikembangkan dari
penggunan gadget serta memfasilitasinya melalui sarana, narasi moralitas dan literasi digital.
Karena ada bahaya, para seminaris terlalu banyak didekte dengan pola sanksi-jera dan kurang
dikembangkan formasio apresiatif.

1.2.2. Konteks Pastoral dalam Perspektif Sosial-Psikologi

Saya juga mau melihat realitas penggunaan gadget di antara seminaris dalam perspektif teori
sosial Jean Baudrillard tentang masyarakat konsumtif. Dalam masyarakat konsumtif, seseorang
didorong untuk memenuhi hawa nafsu dan dirayu oleh sistem komunikasi yang tidak lagi
mengedepankan makna tetapi kepalsuan, ilusi, simulasi (proses penciptaan sesuatu tanpa ada
padanan realitas), dan hiperalitas.8 Jean Baudrillard memakai risalah hiperealitas untuk menunjuk
pada realitas-realitas buatan yang mencirikan zaman postmodern. Game online adalah salah satu
bentuk hiperealitas. Permainan yang menyita banyak waktu seminaris merupakan realitas-realitas
yang tidak ada padanannya dalam dunia nyata atau kehidupan sehari-hari.9 Menurut saya, jika
8
Jean Baudrillard, Seduction, (Montreal: Published by Ctheory Books in partnership with NWP, 2001), 76.

9
Medhy Aginta Hidayat, Menggugat Modernisme: Mengenali Rentang Pemikiran Postmodernisme Jean
Baudrillard, (Yogyakarta: Jalasutra, 2012), 95-96.

11
seminaris tidak didampingi dalam penggunaan gawai secara bijak melalui literasi digital, mereka
dapat menjadi korban fenomena hiperalitas dan menjadi seminaris yang konsumtif terhadap
media sosial, belanja online, dan tidak fokus karena terlalu sering bermain game online. Atau
sebaliknya, jika para staf tidak terbuka terhadap literasi digital, maka keterbatasan ini bisa
memunculkan ketidasepahaman literasi yang akan berdampak pada kebijakan yang kurang
formatif.

Seminaris yang mengkonsumsi game online secara berlebihan dan berbelanja melalui
platform digital secara tidak langsung dipengaruhi oleh sistem komunikasi bujuk-rayu
(seduction) yang dalam sudut pandang Piere Bordue sistem ini diciptakan oleh pemilik modal
sebagai Kapital Ekonomi yang berkuasa. Scott Galloway menyebutkan beberapa platform
kapitalis dan bagaimana sistem bujuk rayu itu mempengaruhi hasrat maupun nafsu seseorang
untuk menggunakan gadget. “Google: nafsu untuk tahu judul, Macintos: nafsu kelihatan
eksklusif, Amazone, tokopedia: Nafsu belanja, Facebook, Instagram: nafsu berjejaring, pamer
dan merasa penting.”10

Bila staf Seminari hanya merespon fenomena penggunaan gawai di antara seminaris dengan
memberikan aturan-aturan dan sanksi bagi mereka yang melanggar, maka dalam kerangka
pemikiran filsafat moral Lawrance Kholberg; seminaris hanya akan berkembang pada tahap yang
pertama dan kedua. Pada tahap pertama, seminaris berorientasi pada hukuman dan ganjaran.
Pada tahap kedua, dalam pertimbangan moral, gagasan mengenai timbal balik mulai berkembang
(“Jika kamu memberi, maka saya memberi.” “Jika saya (seminaris taat) maka saya tidak akan
dikeluarkan). Tahap pertama dan kedua disebut sebagai tahap pramoral, di mana keputusan dan
pertimbangan moral dibuat atas dasar kepentingan diri sendiri dan keuntungan yang diperoleh
melalui ketaatan. Maka, saya khawatir bila seminaris ini diberikan gadget yang dipikirkan hanya
game online lagi dan bukan untuk pengembangan diri atau komunitas karena mereka tidak
memperoleh literasi untuk itu.

Semestinya penggunaan gadget di antara seminaris dapat dijadikan sebagai sarana bagi staf
Seminari untuk menumbuhkan moralitas Seminaris hingga tingkat yang ketiga yakni: perilaku

10
Scott Galloway, The Four, (New York: Hudson Street, 2017), 8-14.
12
dan keputusan moral seminaris terhadap gadget berdasarkan pada pertimbangan suara hati. Oleh
karena itu, pastoral pendidikan suara hati sangat diperlukan untuk anak seminaris zaman
sekarang.
Akhirnya, Gereja dalam pastoralnya adalah mengenai daya Sabda. Injil bicara tentang
benih yang sekali ditabur dapat tumbuh sendiri, bahkan di saat petani tidur (Mrk 4:26-29). Itulah
kebebasan, Gereja perlu menyadari daya Injil ini. Hal itu sekaligus menjadi tantangan pastoral di
zaman yang serba konsumerisme dan menekankan unsur individualisme. Bagaimana Gereja
tetap percaya bahwa karya pastoralnya akan berbuah kendati dalam tantangan zaman yang tidak
mudah? Itulah pertanyaan pastoral saya berhadapan dengan seminaris saat ini.

1.4. Spirit Pastoral: Pendidikan Suara Hati


Laporan tahap dua ini mendorong saya sebagai frater untuk merefleksikan keterlibatan
saya dalam pengembangan jemaat. Dalam konteks ini, saya hendak melaporkan dan
merefleksikan bagaimana saya berdinamika dalam pengembangan seminaris sebagai jemaat
yang dilayani. Selama satu tahun di tempat ini, saya mencoba untuk membantu seminaris
berkembang dalam aspek pertimbangan suara hati moral.

Pendidikan suara hati menjadi landasan spiritual dan moral bagi saya untuk
mengaplikasikan tanggungjawab mengajar yang diberikan pada saya lewat; pendalaman iman,
pelajaran Agama, Kitab Suci, dan Sidang Akademi. Selain itu, saya juga mencoba menanamkan
refleksi mengenai suara hati melalui berbagai kegiatan yakni; Rekoleksi, Meditasi, Pelajaran
Krisma, Konfrensi Triduum Paskah, Kaderisasi Spiritualitas St. Faustina, dan dalam Wawan Hati
dengan seminaris yang kedapatan melakukan tindakan indisipliner.

Adapun latarbelakang mengapa saya ingin supaya seminaris berkembang dalam


pertimbangan suara hati adalah karena saya melihat adanya persoalan mendasar dari topik
pastoral yang sudah saya bahas di atas yakni; apa yang dihidupi oleh seminaris justru kadang
tidak mengarah pada yang mereka cita-citakan yaitu menjadi seorang imam. Seakan-akan ada
jurang pemisah antara apa yang ideal dengan yang dihidupi sehari-hari oleh seminaris. Contoh
konkritnya adalah: ketidakjujuran dalam penggunaan gadget, selintutan, dan ketidakdisiplinan
dalam studi.
13
1.5. Gagasan yang Mendasari Pendidikan Suara Hati
Arti kata suara hati secara etimologis dapat ditelusuri dari asal katanya dalam bahasa
Latin, yakni conscience: con (dengan) dan scire (tahu).11 Di Indonesia sendiri, ‘hati nurani’
berarti suatu hal yang terdapat dalam tubuh manusia sebagai pusat segala perasaan batin yang
mengandung pengertian-pengertian.12 Menurut Ensiklik Gaudium et Spes (GS), suara hati adalah
inti manusia yang paling rahasia; di mana Allah menyapa manusia di dalam batinnya. 13
Agustinus juga berbicara mengenai suara hati ‘sebagai tempat’ perjumpaan manusia dengan
Allah.14 Sedangkan Franz Magnis Suseno lebih melihat suara hati dari aspek manusiawinya
yakni: suara hati adalah kesadaran seseorang untuk selalu menghendaki kewajiban dan tanggung
jawabnya sebagai manusia dalam situasi konkret.15

Dengan kata lain, suara hati adalah kemampuan manusia untuk menyadari tugas
moral dan untuk mengambil keputusan moral.16 Pertanyaannya, bagaimana staf Seminari
memberikan kepercayaan kepada seminaris sehingga kemampuan mereka dalam menyadari
tugas moral semakin berkembang dan dapat mengambil keputusan moral dengan
bertanggungjawab? Melalui pendidikan suara hati ini, diharapkan seminaris semakin mengasah
karakteristik-karakteristik suara hati yang mereka miliki. Berikut ini beberapa karakteristik suara
hati menurut Benhard Kieser; yang dalam pengamatan saya, para staf mencoba untuk
menanamkannya dalam diri seminaris:17

1.5.1. Suara hati mengenal dan memahami persoalan


Ketika seseorang menghadapi suatu persoalan baru, ia harus terbuka dan memahami
persoalan secara mendalam. Prespektif baru diperlukan untuk memperluas cakrawalanya dalam
memahami persoalan yang yang sedang terjadi. Menurut Amoris Laetitia, karakteristik ini dapat
tumbuh bila orangtua meluangkan waktu dan menciptakan pilihan sehat bagi anak-anak mereka
(bdk. AL 260) serta menerapkan suatu dialog yang edukatif dalam pembentukan moral (bdk. AL
11
Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 2000), 1043.
12
William Chang, Pengantar Teologi Moral, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), 130.
13
Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes, 16.
14
Bernhard Kieser, Moral Dasar Kaitan Iman dan Perbuatan (Yogyakarta: Kanisius, 1987), 112.
15
Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral (Yogyakarta: Kanisius,1991), 54.
16
Konferensi Waligereja Indonesia, Iman Katolik, 13.
17
Benhard Kieser, Moral Dasar – Kaitan Iman dan Perbuatan, 142-143.
14
264). Dalam hal ini, saya melihat para romo dan staf awam telah meluangkan waktunya untuk
berbincang-bincang kepada seminaris baik itu dalam bimbingan, instruksi, konfrensi, maupun
nasihat spontan yang diberikan ketika anak melakukan pelanggaran-pelanggaran.

1.5.2. Suara hati berani berkomitmen.


Orang tidak mudah untuk bertindak berdasarkan keputusan suara hati, karena tidak rela
meninggalkan pilihan lainnya. Dalam situasi itu, seseorang hendaknya memiliki daya juang
untuk setia pada komitmennya. Karakteristik suara hati yang berani berkomitmen ini
mengandung nilai pengendalian diri (bdk. AL 275, 280). Menurut John R. Sach, seseorang mesti
menggunakan kapasitas kebebasannya untuk berkomitmen “become somebody” secara
konsisten.18 Maka, dalam hal ini seminaris diajak untuk berani berkomitmen atas panggilan
hidupnya dengan bebas.

Sebuah pengalaman yang menarik terjadi ketika Rektor Seminari Menengah St. Paulus
Palembang harus mengambil sikap atas pelanggaran berat yang dilakukan oleh seminaris terkait
dengan gadget. Suatu ketika, saya mendapati seminaris kelas Rhetorica memiliki 2 gadget.
Konsekuensi atas pelanggaran ini cukup berat yakni; pertama semua gadget dikembalikan pada
seminaris tetapi dia harus keluar dari seminari atau kedua, semua gadget diserahkan pada
seminari dan anak tersebut boleh melanjutkan panggilannya. Melalui narasi kebijakan tersebut,
staf Seminari hendak mengukur seberapa besar komitmen dan kecintaan seminarisnya terhadap
panggilan. Apakah seminaris itu berani meninggalkan kelekatan dan melanjutkan panggilannya.
Melalui pengalaman ini, saya belajar bagaimana menantang seseorang untuk berani
berkomitmen berdasarkan keputusan suara hati demi panggilan yang luhur.

1.5.3. Suara hati berani bertanggungjawab.


Suara hati memutuskan sesuatu demi kepentingan pribadi dan kepentingan bersama,
maka pilihan tindakan itu mesti dipertanggungjawabkan. Sebelum mengambil suatu keputusan
seseorang mestinya memahami resiko dan konsekuensi yang akan ia tanggung (bdk. AL 268).

18
John R. Sachs, The Christian Vision of Humanity: Basic Christian Anthropology (USA: Liturgical Press, 1991), 31.
15
Ketika saya berjumpa dengan seminaris yang tampaknya ia tidak tahu atau dengan
sengaja justru mengabaikan tanggungjawabnya, pertama-tama saya akan mengajaknya
berdiskusi. Apa tangungjawab yang diberikan staf padamu saat ini? Apakah kamu tahu
konsekuensinya kalau kamu tidak menjalankan tugas dan tanggungjawabmu dengan baik? Saya
membiarkan ia untuk menemukan sendiri dan menyadari tugas moral yang mestinya ia
pertanggungjawabkan atas sikapnya. Kalau seminaris itu kemudian menyadari apa yang
dilakukannya itu keliru, maka saya meminta ia untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya
meminta pertimbangan romo perfect discipline atas kesalahannya.

1.6. Unsur-Unsur Pembinaan Suara Hati pada Seminaris


Unsur-unsur pembinaan suara hati meliputi dua aspek yakni, eksternal dan internal.
Aspek eksternal dan internal ini dapat dijadikan sebagai bahan atau sarana untuk mengambil
suatu keputusan berdasarkan suara hati. Aspek ‘eksternal’ menunjuk pada sarana dari luar yang
mendorong seseorang mengambil keputusan moral, sedangkan aspek ‘internal’ menunjuk pada
usaha dari dalam diri untuk bertindak secara moral. Aspek eksternal mencakup masyarakat
(orang lain), Kitab Suci, dan Gereja. Sadangkan, aspek internal meliputi doa dan refleksi, serta
latihan pribadi.

1.6.1. Aspek Eksternal


a. Pandangan Orang Lain19

Menurut Frans Magnis Suseno, sebelum anak mengambil keputusan moral, ia


memerlukan informasi sehingga dapat memberikan penilaian yang tepat terhadap suatu
persoalan. Pertanyaanya, apakah ketika para seminaris juga disiapkan secara literasi digital
dalam konteks formasio sebelum mereka diizinkan untuk menggunakan gadget? Dalam
pengamatan saya, para formator sudah bersinergi dengan memberikan masukan-masukan
terhadap penggunaan gadget pada seminaris sehingga menghasilkan suatu kebijakan yang harus
ditaati. Kendatipun tampak di antara para staf masih terdapat konflik pemahaman terkait
penggunaan gadget tersebut. Di satu sisi, ada staf Seminari yang sangat resisten terhadap gadget

19
Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, 69.
16
tetapi di sisi lain ada staf yang melonggarkan kebijakan penggunaan gadget dengan maksud
memberikan kepercayaan pada para seminaris untuk belajar dan mengembangkan diri. Untuk
menjembatani konflik literasi ini, pandangan orang lain yang berkompeten di bidang ini sangat
diperlukan dan diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan calon imam masa kini.

b. Kitab Suci

William Chang, dalam tulisannya tentang pembinaan suara hati, mengutip apa yang telah
diungkapkan oleh G. Grisez bahwa: 20 suara hati membutuhkan informasi yang memadai dan
faktual (bdk. AL 281). Kitab Suci sendiri menyediakan norma-norma dengan menjelaskan
masalah hukum kodrat, hukum yang tertulis dalam batin manusia (bdk. Rm. 2:15) yang dapat
dijadikan sebagai suara hati yang mengarahkan seseorang pada hidup yang baik.

Selain itu, Kitab Suci PB memberikan nasihat-nasihat tentang hidup baru (bdk. Rom
8:12; Gal. 5:16) dan berjaga-jaga, serta tahan terhadap godaan. Kitab Suci menawarkan norma-
norma hidup baru (2 Kor 5:17) yang ditandai dengan berpegang pada keutamaan-keutamaan
tertentu seperti: kemurnian dan kesederhanaan, kemurahan hati dan keramahan, kesabaran dalam
penderitaan dan siap sedia untuk mengampuni (bdk. Gal 5:19-23; Kol 3:5-17; lih juga. 1 Ptr. 4:3-
10). Tujuannya adalah untuk menanggapi panggilan menjadi murid Kristus dengan sikap iman
dan pertobatan demi mencapai kepenuhan hidup. Sebagai frater yang dipasrahi untuk mengajar
Kitab Suci, saya mencoba untuk mengaplikasikan pendidikan suara hati ini lewat pendalaman
tentang nasihat-nasihat moral St. Paulus.

c. Gereja

Gereja memiliki wewenang dalam mengambil keputusan moral berdasarkan suara hati.
Roh Kudus senantiasa membimbing dan menuntun Gereja untuk menyumbangkan keputusan
yang tidak dapat salah dalam ajaran iman dan moral melalui Magisterium.21 Magisterium Gereja
dijamin oleh Roh Allah sendiri yang mendampingi para rasul dan Gereja untuk menafsirkan
Kitab Suci (bdk. Yoh. 14:16-17; 14:26, dan LG 12).

20
William Chang, Pengantar Teologi Moral, 137-138.
21
Charles M. Shelton S.J, Moralitas Kaum Muda (Yogyakarta: Kanisius, 1988), 20.
17
Wewenang mengajar mencakup perkara-perkara iman dan kesusilaan yang berarti terkait
dengan moral. Dalam konteks pelayanan Sabda, tugas mengajar dimiliki dan dilaksanakan oleh
para pengganti rasul-rasul Kristus dalam kolegialitas antara para uskup dan kesatuan dengan
paus.22 “Kaum beriman kristiani dalam membentuk suara hati mereka wajib mengindahkan
dengan seksama ajaran Gereja yang suci dan pasti. Sebab atas kehendak Kristus Gereja Katolik
adalah guru kebenaran.”23

Saya melihat para staf di Seminari ini sangat semangat dalam mengemban tugas mereka
sebagai nabi yang mewartakan ajaran iman kepada para Seminaris. Tugas dan tanggungjawab
mengajar dijalankan dengan penuh dedikasi sehingga hal itu menginspirasi saya untuk juga
berkontribusi secara optimal dalam pendidikan di Seminari ini. Namun demikian, yang perlu
menjadi catatan bagi para staf pengajar Rhetorica adalah supaya mereka tidak mengajarkan hal-
hal yang sama persis seperti yang akan diajarkan di Seminari Tinggi. Beberapa mata kuliah yang
sama seperti yang diajarkan di Seminari Tinggi contohnya: Liturgi, Kitab Suci, Logika, Etika,
semestinya diisi dengan materi yang kreatif dan sesuai konteks sehingga tidak sama dengan apa
yang akan seminaris terima di Seminari Tinggi.

1.6.2. Aspek Internal


a. Berdoa dan Berefleksi

Aspek internal pembinaan hati nurani pada seminaris tidak bisa dipisahkan dari usaha
untuk memaknai hidup. Bagi orang kristiani, kedalaman makna hidup ditemukan dalam doa dan
hidup rohani.24 Melalui hidup doa, seminaris diajak untuk terbuka akan kehadiran Roh Kudus
yang akan menuntunnya pada kebaikan. Sedangkan dengan berefleksi, seminaris dipanggil untuk
menemukan sendiri nilai-nilai, prinsip-prinsip dan norma-norma tertentu dengan anugerah
kebebasan yang mereka terima dari Allah (bdk. AL 264, 262). Inilah pilar sanctitas (kesucian)
yang sudah menjadi sistem yang baik di Seminari ini dan tampaknya para formator juga dengan
setia membaca dan mengomentari refleksi para seminaris.

22
William Chang, Pengantar Teologi Moral, 120.
23
Konsili Vatikan II, Dignitatis Humanae, 14.
24
William Chang, Pengantar Teologi, 139.
18
b. Latihan Mendidik Suara Hati

Seminaris perlu melatih suara hati dengan latihan-latihan kebiasaan hidup baik; karena
tanpa adanya prinsip pengulangan dalam berperilaku baik secara sadar, bebas dan berharga,
pendidikan menuju perilaku moral tidak akan tercapai (bdk. AL 266). Suara hati dididik dengan
latihan-latihan untuk mempertimbangkan nilai-nilai dengan bebas (bdk. AL 264). Dalam hal ini,
saya terlibat untuk melatih seminaris bagaimana membaca secara efektif, yakni: membaca
dengan prespektif untuk bekal saya sebagai calon imam Gereja. Saya membuat program bagi
mereka untuk membaca satu buku dan menulisnya dalam book report. Setelah itu, saya meminta
seminaris untuk mendiskusikan hasil bacaannya kepada kelompok mereka. Saya melihat para
seminaris tampak antusias mengikuti kegiatan ini meskipun acara ini dilaksanakan di hari libur
sekolah setiap jam belajar malam. Menurut saya, latihan membiasakan diri untuk hidup baik
akan semakin efektif bila dilaksanakan melalui gerakan bersama.

1.7. Dimensi-Dimensi Pendidikan Suara Hati

Pendidikan atau pembinaan suara hati bertujuan supaya seminaris memiliki pemahaman,
penilaian, dan perilaku moral yang dewasa, serta dapat mempertanggungjawabkan pilihan
tindakannya. Menurut J. Sudarminta, pembinaan suara hati mencakup empat dimensi yakni:
dimensi kognitif (pengetahuan), afektif (kepekaan hati), konatif (kehendak), dan habitus
(pembiasaan perilaku baik).25

1.7.1. Dimensi Kognitif

Suara hati seminaris dididik secara bertahap dengan belajar terus-menerus untuk
meningkatkan pengetahuan dan pemahaman untuk hidup baik. Dimensi kognitif ini termasuk ke
dalam salah satu pilar Pendidikan Seminari yaitu, Scientia (pengetahuan). Seminaris diharapkan
memiliki sikap terbuka terhadap berbagai prespektif dan rendah hati untuk bertanya. Itu dapat
menjadi akses yang baik untuk mengembangkan pemahaman moral mereka. Para seminaris
tampak dituntut untuk berkembang dari aspek kognitif ini. Hal itu teramati ketika pada saat staf

25
J. Sudarminta, Etika Umum – Kajian tentang Beberapa Masalah Pokok dan Teori Etika Normatif, 72-74.
19
mengevaluasi satu persatu seminaris, aspek kognitif ini juga menjadi salah satu bahan
pertimbangan.

Peran saya dalam pendidikan kognitif bagi seminaris terimplementasi melalui kegiatan
Kaderisasi dengan Menimba Semangat Santa Faustina. Sumber buku yang digunakan ialah
Inspirasi St. Faustina (Jalan Kerahiman Sehari-Hari). Pesertanya merupakan seminaris kelas
Grammatica dan Syntaxis. Kegiatan ini juga sekaligus menjawab keprihatinan staf terkait
pemanfaatan buku sumbangan yang selama ini dinilai memprihatinkan. Seminaris tidak
membacanya dengan serius dan buku malah ditinggalkan di mana-mana.

1.7.2. Dimensi Afektif

Dalam dimensi afektif, suara hati seminaris dididik sedemikian rupa sehingga memiliki
kepekaan terhadap hal yang baik dan buruk, bernilai dan tidak bernilai, serta apa yang benar-
benar dibutuhkan atau perlu dihindari. Seminaris menunjukkan minat, rasa senang dan bahagia
bila melakukan kebaikan. Dimensi afektif dari suara hati ini akan bertumbuh secara lebih baik,
bila seminaris memiliki pengalaman pribadi dengan figur-figur teladan yang menerapkan nilai-
nilai moral di dalam sikap hidupnya, maupun mendapat perhatian dalam bentuk kepercayaan dan
tanggungjawab. Keteladanan dari para formator mengandaikan adanya relasi kasih yang terjadi
selama proses formasio.

Cara staf Seminari menghadirkan diri bisa jadi akan dilihat, dinilai, dan diikuti oleh para
seminaris. Kendati ini menjadi suatu tanggungjawab yang besar bagi para staf dan formator,
tetapi saya meyakini bahwa mereka dapat diteladani oleh para seminarisnya. Ada formator yang
sangat kuat dalam prinsip hidup sehingga menginspirasi seminaris. Ada formator yang sangat
menekankan kedisiplinan dalam bekerja sehingga menggugah hati para seminaris juga untuk
memiliki kebiasaan ‘kerja tangan’. Ada formator yang menampilkan sosok keibuan (suster)
sehingga bisa menjadi pendengar yang baik bagi seminaris. Ada pula formator yang
menghadirkan diri melalui teladan kesuciannya. Saya pribadi berusaha untuk menjadi sahabat
bagi para seminaris dengan banyak menghadirkan diri dan terlibat di tengah-tengah mereka.

20
1.7.3. Dimensi Konatif

Pembinaan suara hati ditujukan supaya seminaris memiliki komitmen dan kehendak
moral yang kuat. Pemahaman moral yang baik tanpa diimbangi dengan kehendak yang kuat
untuk bersikap moral akan memudahkan anak jatuh pada godaan-godaan. Aspek inilah yang
tampaknya masih lemah di antara para seminaris, karena mereka mewarisi ‘dosa sosial’ atau
tindakan indisipliner yang dibuat oleh kakak-kakak kelas sebelumnya. Para formator perlu ber-
discerment untuk memikirkan cara-cara yang tepat supaya menumbuhkan komitmen dalam diri
seminaris.

Para formator diharapkan menunjukkan kepada mereka perilaku yang diinginkan untuk
dipelajari dan kecenderungan baik yang penting untuk dikembangkan (bdk. AL 264). Kehendak
itu perlu diteguhkan dengan mengulang-ulang perilaku hidup baik (bdk. AL 267) dan disiplin
(bdk. AL 268) sehingga anak memiliki habitus yang secara spontan melaksanakan kebaikan.

Supaya seminaris memiliki kehendak moral yang kuat, mereka dapat melakukan latihan-
latihan seperti bersikap ugahari atau menunda sesuatu (bdk. AL 275) misalnya: tidak
menggunakan gadget untuk bermain game online. Rasa kecewa barangkali mewarnai proses
pembinaan kehendak. Tetapi dengan belajar mengorbankan kesenangan demi nilai yang lebih
baik di masa depan, seminaris akan menyadarinya bahwa apa yang awalnya tidak disukai
ternyata merupakan sikap moral yang baik. Dalam hal inilah, nilai moral pengendalian diri
ditumbuhkan (bdk. AL 275, 280). Di samping mendesak mereka untuk berkomitmen dalam
penggunaan gadget, staf juga perlu mendorong seminaris untuk memiliki kehendak yang baik
dalam penggunaan gadget. Salah satu usaha saya untuk hal ini adalah dengan menyemangati para
seminaris dalam membuat konten dan berdinamika bersama mereka secara praktis.

1.7.4. Dimensi Habitus

Dimensi habitus atau pembiasaan hidup baik melengkapi dimensi-dimensi yang lain.
Dengan kata lain, dimensi lainnya disatukan lewat kebiasaan-kebiasaan untuk memiliki
pemahaman moral, kepekaan moral, dan kehendak moral yang baik. Suara hati akan semakin
tajam bila disertai dengan membiasakan diri melakukan nilai-nilai dan keutamaan-keutamaan

21
moral, serta meningkatkan sikap kritis. Semuanya itu mesti dijalankan tanpa adanya unsur
paksaan dari pihak luar (bdk. AL 271), kendati membutuhkan dorongan, motivasi dan nasihat-
nasihat dari yang lain (bdk, AL 267).

Menurut saya, para staf dan formator Seminari harus bekerja keras lagi dalam
menciptakan ruang-ruang bagi para seminaris untuk berkembang melalui habitus hidup baik
sehingga menjadi memori yang indah sebagai bekal imamat. Faktanya, saya melihat bahwa
dimensi habitus hidup baik yang sebenarnya sudah berjalan di Seminari melalui keempat pilar
tampaknya kalah oleh narasi-narasi indispliner yang dilakukan oleh para seminaris. Hal ini saya
rasakan ketika acara pelepasan siswa Rhetorica angkatan 2021/2022 yang mana secara umum
menampilkan memori-memori kenakalan dan ketidakseriusan mereka dalam berproses di tempat
ini tanpa menekankan adanya nilai positif di balik proses formasio itu.

1.8. Kesimpulan
Saya bersyukur boleh belajar berpastoral di Seminari Menengah St. Paulus Palembang.
Banyak hal baik yang telah saya dapatkan di tempat ini sehingga saya semakin berkembang
dalam pastoral. Dari seluruh proses yang saya jalani dan dari topik pastoral yang saya
refleksikan, akhirnya saya hendak berbagi mimpi tentang formasio bagi generasi saat ini. Saya
bermimpi bahwa Staf Seminari semakin diperkaya melalui literas digital dalam konteks formasio
di Seminari.

Saya juga bermimpi agar para seminaris memperoleh pembelajaran khusus mengenai
literasi digital ini. Setiap kelas memiliki tekanannya masing-masing dalam pembelajaran
tersebut. Misalnya: kelas Grammatica mempelajari aspek etika digital supaya mereka memiliki
kesadaran yang baik dalam menggunakan gadget. Kelas Syntaxis mempelajari bagaimana cara
membuat konten atau menjadi konten kreator dengan mengenal dan menggunakan secara aktif
fitur-fitur untuk mengedit video, membuat undangan, dll. Ketrampilan khusus ini memang
diharapkan telah terintegrasi melalui pelajaran Komputer di sekolah. Sedangkan untuk kelas
Poesis, mereka perlu diajari untuk mencari sumber artikel, buku, atau tulisan-tulisan yang
memuat ajaran-ajaran Gereja melalui internet. Tampaknya hal itu penting untuk dipelajari supaya
mereka memiliki ketrampilan untuk mencari ke sumber asli dan tidak copy paste tulisan hanya
22
dari blog saja. Akhirnya di kelas Rhetorica, mereka dituntut untuk dapat mengintegrasikan hal-
hal yang telah mereka peroleh dan semakin produktif dalam penggunaan gadget.

Apa yang saya impikan itu semata-mata ialah untuk pengembangan seminaris. Gadget
dan media sosial telah menjadi dunia semua orang tak terkecuali para seminaris. Alih-alih
formator melarang seminaris menggunakan gadget, alangkah baiknya kalau formator
‘berinvestasi’ lewat literasi digital dalam mengembangkan seminaris. Harapannya seminaris
akan menjadi imam yang bijak dalam penggunaan gadget dan nantinya bisa berkontribusi dalam
pewartaan digital. Efek domino yang diharapkan dari literasi digital ini tidak lain adalah
kesaksian dan promosi panggilan.

2. Dimensi Personal
“Dalam kesibukan pelayanan pastoral para frater dilatih untuk menghidupi dan
menghayati kehidupan religiusnya sebagai dehonian. Frater harus menjaga keseimbangan
antara hidup rohani dan pelayanan pastoral sebagai dua hal yang saling mengisi dan tidak
saling berbenturan [cf. pengungkapan iman dan perwujudan iman]. Hidup rohani
menyemangati dan menjadi dasar karya pastoral, dan karya pastoral memberi isi pada
hidup rohani. Dalam perjumpaan dengan umat para frater dilatih untuk menjadi peka
terhadap “tanda-tanda zaman”, dengan mencoba menemukan kehendak Allah dalam
setiap peristiwa yang dialami atau djumpainya. Sembari menghidupi spiritualitas
dehonian, para frater ditantang untuk mencoba merealisasikan spiritualitas itu dalam
kehidupan yang nyata sehingga spiritualitas dehonian akan memberi warna yang dapat
memperkaya kehidupan rohani umat.”

2.1. Hidup Rohani


“To Follow Christ as a disciple does not mean that we merely imitate Him, but that we
participate in His very life and mission. Christian Discipleship means mission and ministry.”
John R. Sach SJ

Hidup rohani menjadi penggerak bagi karya pastoral yang saya jalankan di Seminari ini.
Saya mencoba untuk menghayati 6 bulan kedua saya di Seminari ini dalam semangat inkarnasi.
Spiritualitas inkarnasi ini mendorong saya untuk semakin terlibat dalam karya pastoral dan
23
mengikuti teladan Kristus. Melalui Spiritualitas inkarnasi, saya memahami bahwa manusia
memiliki bagian kalau dia berpartisipasi. Allah telah ambil bagian dalam sejarah keselamatan
umat manusia dan turut terlibat dalam hidup saya. Maka, saya pun harus ambil bagian dalam
keilahian itu dengan cara berpartisipasi dalam hidup dan pelayanan seturut teladan Yesus
Kristus. “Supaya kamu juga berbuat sama seperti yang Kuperbuat bagimu.” (Yoh 13:15).
Sebagai seorang murid Kristus, saya dituntun untuk mengasihi seperti Yesus telah mengasihi
saya. Inilah identitas murid-murid Kristus yakni, mengasihi sampai mati (Yoh 13:35).

Salah satu bentuk partisipasi dalam hidup rohani adalah dengan menaati kesepakatan
bersama yang telah dibuat oleh komunitas. Ketika pandemi Covid-19 masih belum terkendali,
doa pribadi diatur masing-masing dan tidak ada ibadat bersama komunitas. Pada waktu itu, saya
berpartisipasi dalam kesepakatan ini dengan mengambil sikap untuk ibadat pagi pribadi setelah
perayaan Ekaristi. Sedangkan untuk kegiatan rohani harian, saya lebih banyak mengikuti ritme
berdoa para seminaris supaya menjadi dekat dengan mereka; sekaligus saya tetap berdevosi pada
Kerahiman Ilahi. Namun, sikap saya ini tampaknya kurang disukai oleh salah satu anggota
komunitas di Seminari ini yang menuntut saya untuk berdoa bersamanya sesuai dengan jadwal
komunitas seperti sebelum pandemi. Sesekali saya pun ikut berdoa bersama beliau.

Menjelang memasuki semester ke dua, pandemi mulai membaik. Maka, komunitas


menyepakati kembali untuk mengadakan kegiatan doa bersama komunitas. Saya juga mencoba
mengikuti ritme kegiatan rohani komunitas ini dengan sungguh, kendatipun sesekali saya merasa
ada ketegangan sebab saya perlu mendampingi para seminaris (latihan koor, doa completorium
bersama Rhetorica) atau perlu menyelesaikan tugas pribadi. Lagi-lagi ketegangan ini tampaknya
menjadi catatan serius bagi salah seorang imam senior di komunitas ini, karena saya dianggap
kurang setia dalam hidup doa. Sehingga, beliau menegur saya atas nama superior. Ketika saya
mendapat teguran itu, saya memang merasa sedih dan bertanya mengapa sampai sebegitunya
beliau menuntut saya. Tetapi yang terpenting bagi saya adalah kejujuran saya dengan apa yang
saya lakukan berkaitan dengan hidup doa. Saya perlu tetap mengambil sikap atas keterbatasan
saya untuk tidak bisa berada di dua tempat sekaligus secara bersamaan. Namun, saya tidak lantas

24
menjadi pribadi yang resisten terhadap masukan itu, tetapi terus memperbaiki diri karena inilah
bentuk partisipasi saya dalam hidup panggilan di komunitas Seminari.

Bagi saya, mendengarkan masukan adalah salah satu bentuk partisipasi untuk hidup
berkomunitas. Namun, menjadi pribadi yang kreatif dan memilki pertimbangan juga diperlukan
dalam hidup berkomunitas. Perjumpaan dengan salah seorang imam senior di Seminari ini justru
membuka pikiran saya, supaya saya tidak mudah untuk membanggakan diri dan menghakimi
orang lain. Saya harus menjadi pribadi yang kehadirannya itu dinantikan di komunitas, to be a
gift for community. Maka, saya tidak mau menjadi pribadi yang ketika diajak Yesus pergi ke
ladang gandum, justru malah melihat banyak ilalang di sektarnya. Kendatipun hidup rohani
komunitas di Seminari ini dirasa masih perlu ditingkatkan oleh anggota komunitas, tetapi saya
yakin bukannya mereka tidak berdoa; melainkan mereka membutuhkan dedikasi yang tinggi juga
untuk karya mereka, baik di Seminari atau di UKMC.

Akhirnya lewat pengalaman-pengalaman yang saya alami di masa Top ini, saya
mengajukan sebuah pertanyaan rohani bagi hidup saya sendiri. Dapatkah saya merefleksikan
partisipasi ini sebagai panggilan? Apa artinya partisipasi sebagai panggilan? Bagi saya,
panggilan adalah rahmat untuk menemukan bentuk partisipasi apa yang paling khas dari saya
untuk mengikuti Kristus. Melalui pilihan hidup sebagai religius, saya berpartisipasi dalam hidup
Ilahi. Saya meyakini bahwa panggilan inilah bentuk partisipasi terbaik dari diri saya untuk
mengikuti Kristus, meskipun saya harus berjuang menghadapi tantangan yang ada. Sebuah
slogan yang juga menyemangati panggilan saya di Seminari ini adalah tema 75 tahun Seminari,
“Per Aspera ad Astra”; melalui kesulitan menuju bintang.

2.2. Terinspirasi Pater Dehon


Menurut saya, Pater Dehon adalah pendengar yang baik. Mendengarkan adalah jalan
baginya untuk menyambut Tuhan yang hadir. Gaya spiritualitas Dehonian selalu didasarkan pada
keheningan dan mendengarkan untuk kemudian dikontemplasikan melalui Adorasi-Ekaristi.
Itulah cara seorang Dehonian dalam menyambut Tuhan yang hadir yakni lewat mendengarkan:
Sabda Tuhan, orang lain, bacaan rohani, dan masukan pembimbing. Secara tidak langsung, saya
merasa telah dirasuki oleh gaya spiritualitas Dehonian yang seperti ini.
25
Ketika saya berusaha untuk terlebih dahulu mendengarkan dan tidak responsif atau
bahkan agresif terhadap suatu peristiwa di Seminari ini, saya diajak untuk semakin ‘bertolak ke
tempat yang dalam’. Saya diajak untuk keluar menghadapi lautan dan gelombang-gelombang
kehidupan, namun bersama Kristus saya membuat mukjizat dan menangkap ikan. “Pergilah ke
tempat yang dalam… di dalamnya kehendak religius akan menemukan rahmat kekudusan…
lebih mengasihi Tuhan kita pada saat datangnya hari.” (OSP, IV, 201). Berhadapan dengan
karakter para staf Seminari yang berbeda-beda dalam mendidik seminaris, rasanya memang
sikap mendengarkan ini sangat diperlukan. Tujuannya tidak lain adalah supaya saya semakin
peka terhadap apa yang Roh Kudus kehendaki atas hidup para formandi dan saya sendiri di
Seminari ini.

3. Ringkasan Bacaan Rohani


Jenis Buku : Bacaan Rohani Teologi
Judul : Virginity: A Positive Approach to Celibacy for the Sakes of the Kingdom
of Heaven
Karya : Raniero Cantalamessa

3.1. Introduction
Selibat merupakan tugas dan anjuran Injil bagi semua orang, secara khusus religius dan
semua yang dibaptis. Selibat dan hidup murni secara nyata memampukan kita untuk
menghadirkan Kerajaan Allah bagi mereka yang miskin. Dunia seakan menentang orang-orang
yang hidup demikian. Namun, sebuah kepastian bahwa tidak akan ada yang dapat mengambil
apa yang Tuhan tanam sendiri dengan tangan-Nya. Sebab, kemurnian itu merupakan sesuatu
yang baik yang datang dari kelimpahan cinta Tuhan “Chasisty is a wealth that comes from
abundance of love, not from the lack of it.”

3.2. Bagian Pertama

3.2.1. Kemurnian dan Selibat demi Kerajaan Allah


Ada beberapa orang yang memilih untuk tidak menikah demi Kerajaan Surga. Injil
memperuntukkannya bagi laki-laki dan perempuan. Namun, budaya Yahudi menganggap bahwa
menikah merupakan ajaran moral. Rabbi Eleazar berkata, “Seorang laki-laki tanpa istri bukanlah
26
seorang lelaki.” Injil menjelaskan kemurnian melalui 3 motivasi yakni: pertama, lahir demikian
dari rahim ibu. Kedua, seseorang dijadikan demikian oleh orang lain. Ketiga, hidup murni karena
kemauannya sendiri. Kaum Essen Qumran berbuat demikian demi askese dan ritual kemurnian
tidak ada kaitannya dengan eskatologis.

3.2.2. Dimensi Kenabian dari Kemurnian dan Selibat


Untuk dapat memahami kebenaran yang sejati dari hidup selibat dan murni, kita harus
mulai dari motivasi Yesus sendiri. Yesus berkata, ada orang yang selibat untuk Kerajaan Allah.
Itu artinya, kita dipanggil untuk hidup dalam keadaan final; Kerajaan Allah. Kemurnian
bukannya lebih sempurna dibandingkan dengan pernikahan, tetapi lebih maju secara eskatologis.
Menikah juga suci, indah, karena ditebus oleh Kristus seperti pasangan Kristus dan Gereja. Bagi
orang-orang yang menikah, kemurnian itu sebagai pengingat akan keunggulan Roh Tuhan.
Setiap orang tidak pernah puas, maka kemurnian akan membantu mereka yang menikah untuk
setia pada pasangan hidupnya.

Kemurnian sendiri akan sulit dijelaskan kepada orang-orang yang tidak percaya Tuhan
dan kehidupan setelah kematian, tetapi mudah bagi mereka yang percaya. Secara konkrit
kemurnian bermakna karena eksistensi kehidupan kekal dan kebangkitan. Maka suatu kebodohan
apabila kita memberi kesaksian pada mereka yang tidak percaya, kecuali Roh Kudus bekerja.

Paul Claudel pernah berkata: “We are still living with the old romantic illusion that the
highest happiness, the great significance, the only romance in life, consist in our relationship
with woman and in the sensual satisfactions.” Memang benar apa yang dikatakannya, karena
kemurnian tidak menghilangkan sifat dasar manusia, melainkan memberikan kepenuhan pada
level yang lebih dalam. Sebab, laki-laki dan perempuan bukan hanya siapa mereka secara kodrat,
melainkan siapa mereka ketika dipanggil Tuhan untuk bebas dalam ketaatan pada Sabda Tuhan.
Menurut Raniero, kehidupan selibat demi Kerajaan Allah tidaklah menegasi panggilan hidup
yang lain (menikah), melainkan membuatnya menjadi relatif. Kemurnian menjadi berarti karena
kebangkitan Tuhan.

27
3.3.3. The Unmarried Give Their Minds to the Lord’s Affairs
Paulus berbicara tentang selibat pada jemaat di Korintus (1 Kor 7:31-35). Nampaknya
sekilas ajaran Paulus itu berbeda dengan yang diajarkan oleh Yesus, tetapi tujuannya mau
menyatakan hal yang sama. Motif Paulus menyatakan itu yakni, Kerajaan Allah sudah tiba,
bertobatlah!

Menurut Rasul Paulus, kemurnian akan membuat orang fokus pada Tuhan. Paulus
menyatakan kepada murid-muridnya supaya mereka bebas dari rasa khawatir dan memusatkan
perhatian pada perkara Tuhan. Jadi, seseorang yang hidup murni bukan berarti tanpa perasaan
khawatir, melainkan hidup bahagia karena perkara-perkara Tuhan. Apa perkara Tuhan yang
mesti menjadi pusatnya? Pekerjaan atau kebaikan Tuhan itu adalah kematian jiwa-Nya bagi
Kerajaan Allah. Di sanalah manusia harus mengarahkan seluruh pusat hidupnya.

Maka, cinta seorang yang selibat itu bukanlah cinta yang abstrak tetapi nyata. Cinta
seorang yang selibat terpusat pada Roh Allah sedangkan yang tidak selibat terpusat pada daging.
Cinta yang berpusat pada Roh itu berarti fokus pada Yesus yang bukan hanya hadir di masa lalu,
atau masa depan; tetapi dalam Roh Kudus, kehadiran-Nya nyata dari waktu ke waktu.
Kemurnian berarti terbuka akan relasi dengan Kristus dan Tuhan. Kemurnian itu bukan untuk
suatu waktu saja, tetapi demi kekekalan.

3.3.4. Cinta yang Tidak Terbagi


Kemurnian memungkinkan seseorang untuk membaktikan hidupnya pada Tuhan tanpa
selingan. Kemurnian merupakan sebuah kekuatan yang membantu seseorang untuk melangkah
dalam persatuan dengan Tuhan. Kemurnian berarti sepikir dan sekehendak dengan Tuhan. “Hati
yang tak terbagi merupakan sesuatu yang berharga bila kamu mencintai seseorang, tetapi hati
yang tak terbagi berarti egois ketika kamu tidak mencintai siapapun.”

3.3.5. Virginity and the Paschal Mystery


Dipasangkan dengan Kristus berarti disalibkan bersama Dia. Salib merupakan kamar
pengantin dimana jiwa bersatu dengan sang kekasih. Simbol baru perjanjian nikah antara Tuhan
dan umat-Nya adalah di kayu salib. Persatuan secara penuh terungkap dalam penderitaan.
28
Salibkanlah kehendak dan hasartmu bersama Kristus. Maka, segi asketik dari kemurnian adalah
penyangkalan diri yang berdasar pada misteri paskah. Sumber kekuatan menghadapi godaan
adalah perjumpaan dengan Tuhan Yesus yang tersalib.

Mengapa Kerajaan Allah memanggil manusia untuk selibat? Jawabannya ada dalam 1
Korintus 1:21, dari “kebodohan” salib, kebenaran ketiga kaul ditampilkan. Karena untuk
menerima Tuhan yang rendah hati, menderita karena salib, kita harus menyangkal diri sebelum
bisa mengasihi-Nya. Pengorbanan itulah kunci setiap kaul. Namun, kemurnian tetaplah harus
dipandang sebagai rahmat Allah yang luar biasa yang secara spesial membebaskan hati manusia,
sehingga lebih baik dalam mencintai Tuhan dan sesama.

3.3. Bagian Dua: How to Have Virginity and Celibacy for the Sake of the Kingdom
Pekerjaan Roh Kudus: “He does not do new things, but makes things new. He renews
persons and institutions, even including celibacy for the sake of the kingdom.” Maka, bila
kemurnian pada dasarnya adalah karisma Roh Kudus: “You do not choose celibacy and virginity
in order to enter into the kingdom, but because the kindom, has entered into you.” Oleh karena
itu, hidup selibat dalam kharisma Roh Kudus berarti menghidupinya selalu dalam rahmat,
kerendahan hati, kedamaian dan kebahagiaan, serta kebebasan.

3.3.1. How to Cultivate the Charism of Celibacy and Virginity


Kita harus melawan godaan dan berharap dalam Kristus atas kelemahan kita. Kristus
tidak menghilangkan hasrat kedaginan kita, tapi Dia memberi arti bagi kita untuk tidak
menyerah. Intinya, menyangkal diri sendiri adalah kebutuhan untuk mencintai Tuhan. St.
Agustinus mengajarkan kepada kita supaya jangan berhenti pada keindahan ciptaan, tetapi yang
menciptakan. Kita harus menjaga mata dan badan dalam cahaya. Caranya? Kita harus jujur dan
selalu mohon rahmat Roh Kudus untuk mencintai setiap orang dengan bebas tanpa harus
memiliki.

3.3.2. Healthy Knowladge and Accaptance of Sexuality


Pengetahuan yang baik dan penerimaan atas seksualitas merupakan jalan yang bernilai
untuk menghidupi kharisma dengan penuh kedamaian. Kita harus menyublimasikan dorongan
29
seksual tanpa menghancurkan diri sendiri. Apabila seorang yang selibat jatuh cinta yang perlu ia
ketahui ialah bahwa itu adalah karunia. Tuhan mengaruniakan pengalaman jatuh cinta untuk
membuat religius menjadi seorang yang rendah hati dan bijaksana atas pengalaman itu. Menurut
Bapa padang gurun, pencobaan itu baik saat kita tahu bahwa; “Along with temptation, God will
also provide a way out, so you will be able to endure it….Virginity is something that can be
acquired day by day.”

4. The Virgin Mary


Ide kaul kemurnian diambil dari Maria. Maria terlibat dalam inisiatif Tuhan untuk
menyelamatkan manusia. Maria perawan karena dia menemukan pertolongan Tuhan dan dia
memilih dari sejak semula Kerajaan Allah supaya dunia tidak tercemar. Kita dipanggil seperti
Maria untuk menjadi “virgin-fathers”. Tidak ada gambaran seorang wanita yang memberikan
seseorang anak laki-laki begitu murni selain seperti Bunda Maria. Maria memiliki dua kharisma
yakni sebagai ibu dan perawan. Berdevosi kepadanya adalah cara paling efektif untuk hidup
murni.

3. Kesimpulan dan Refleksi


Karena kemurnian adalah rahmat, maka integritas merupakan jalan untuk menghidupinya
secara indah dalam kesatuan Tritunggal dan dalam terang Bunda Gereja. Ada dua bagian
panggilan untuk hidup murni yakni;

1. Initial Stage of Vocation: Dengan penuh kebahagiaan dan kobaran cinta berkata; “Yes, Lord
here I am!”

2. Ready to Suffer: Dalam kesendirian, kelemahan, dan krisis hingga kematian.

Pesan penting dari buku ini adalah: “Don’t you lost your first love (God’s Love)”.

Buku ini sangat mengisnpirasi saya untuk semakin memahami kemurnian bagi Kerajaan
Allah. Beberapa kalimat sengaja saya kutip dalam bahasa Inggris karena lebih terasa di hati bila
demikian adanya. Buku ini juga membuat saya semakin bebas dalam membaktikan diri. Saya
tidak boleh menomorduakan mereka yang menikah, tetapi semakin menemukan makna terindah

30
dalam hidup selibat. Pertanyaan refleksi untuk saya sendiri ialah, “Bagaimana saya harus
menjalani selibat sebagai ‘the gift’ from God? Saya sudah dan akan terus menerima lalu aktif
untuk memberi cinta setiap hari. Penulis memberi insight bahwa, panggilan adalah gift. Allah
memilihku untuk mengerti hal ini, karena tidak semua orang bisa memahaminya (Mat 19:10-12).

31

Anda mungkin juga menyukai