Anda di halaman 1dari 15

TUGAS TERSTRUKTUR DOSEN PENGAMPU

MANAJEMEN DIKLAT MIRANTI, S.E.I, M.Pd

MAKALAH

MODEL PELATIHAN

Disusun Oleh :

Kelompok 1

1. Irfan (19010226)
2. Muhammad Ihsan (19010214)
3. Ridho Shaumahardi (19010219)
4. Supriadi (19010252)

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH SYEKH MUHAMMAD NAFIS

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

TABALONG

2021
BAB II

PEMBAHASAN

A. Makna Program Pelatihan

Pelatihan merupakan salah satu komponen penting dalam pengembangan sumber daya
manusia (SDM) pada sebuah institusi. Penyelenggaraan program pelatihan diharapkan dapat
meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap akibat pelaksanaan program pelatihan
diharapkan dapat meningkatkan kinerja institusi dalam menghadapi perubahan dan persaingan
eksternal.

Hasil penyelenggaraan program pelatihan adalah penguasaan kompetensi, keterampilan,


pengetahuan, dan sikap yang sebelumnya tidak dikuasai oleh peserta. Hal ini sesuai dengan
pandangan Walter Dick dan kawan-kawan (2009) yang mendefiisikan pelatihan sebagai :
“…A Prespecfied and planned experience that enable a person to do something that he or she
could not do before.”. Pelatihan merupakan pengalaman belajar yang sengaja dirancang agar
dapat membantu peserta dalam menguasai kompetensi yang tidak dapat dimiliki sebelumnya.

Definisi lain tentang pelatihan dikemukakan oleh Smith dan Ragan (2008) sebagai
berikut: “…those instructional experiences that they will normally apply almost
immediately.”. Program pelatihan dapat dimaknai sebagai pengalaman pembelajaran yang
memfokuskan pada upaya individu untuk memperoleh keterampilan spesifik yang dapat
segera digunakan.

Dari kedua definisi yang dikemukakan diatas dapat disimpulkan bahwa pelatihan pada
dasarnya bermakna sebagai upaya yang dilakukan untuk memperoleh pengetahuan,
keterampilan, dan sikap yang dapat digunakan segera untuk meningkatkan kinerja.

Banyak institusi dan perusahaan, dengan reputasi dunia, memiliki departemen atau unit
pendidikan dan pelatihan untuk menjamin dan mengembangkan kualitas sumber daya
manusia yang mereka miliki. Lembaga pemerintah dan juga swasta nasional di Indonesia
mayoritas memiliki pusat pendidikan dan pelatihan yang digunakan untuk mengembangkan
kualitas kemampuan karyawan mereka yang merupakan asset penting. Jumlah anggaran yang
tidak sedikit disediakan untuk mendesain, mengembangkan, menyelenggarakan sejumlah
program pendidikan dan pelatihan setiap tahunnya.

Beberapa perusahaan global yang beroperasi di sejumlah Negara memiliki program


pelatihan yang sangat bagus. Keluaran atau lulusan dari program pelatihan tersebut bahkan
memiliki kualifikasi dan kemampuan yang sangat tinggi yang tidak hanya diperlukan oleh
perusahhan tersebut, tapi juga diminati oleh perusahaan-perusahaan yang lain.

Pusat pendidikan dan pelatihan yang dimiliki oleh perusahaan harus mampu mendesain
dan mengembangkan program-program pelatihan yang sejalan dengan visi dan misi
perusahaan tersebut. Selain itu, desain, pengembangan, dan evaluasi program pelatihan perlu
didasarkan pada permasalahan kinerja dan tuntutan dinamika perubahan yang dihadapi oleh
perusahaan.1

B. Model ADDIE

Program pelatihan pada dasarnyaberisi aktivitas pembelajaran yang sengaja didesain dan
dikembangkan untuk menciptakan proses belajar dalam diri peserta. Melalui proses belajar
peserta program pelatihan akan memiliki kemampuan yang mencakup pengetahuan
(knowledge); keterampilan (skills); dan sikap (attitude) yang diperlukan untuk dapat
melaksanakan suatu tugas dan pekerjaan.

Hal diatas sesuai dengan makna konsep pelatihan ya itu: upaya untuk memperoleh
pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dapat digunakan segera untuk memperbaiki
kinerja. (Smith dan Ragan, 2003).

Agar dapat menciptakan sebuah program pelatihan yang efektif dan efisien maka
program tersebut perlu di desain dan dikembangkan sebelumnya. Program pelatihan perlu
didesain dan dikembangkan secara sistematik dan sistematik agar dapat mencapai sasaran atau
tujuan yang diinginkan yaitu mampu memfasilitasi berlangsungnya proses belajar peserta.

1
Dr. Benny A. Pribadi, M.A., Desain dan Pengembangan Program Pelatihan Berbasis Kompetensi.
Jakarta : 2016, Hal 2-3
Program pelatihan dapat dikatakan efektif apabila mampu memfasilitasi peserta program
pelatihan dalam mencapai kompetensi yang diharapkan. Setelah mengikuti program pelatihan
peserta akan menguasai pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk melakukan
suatu tugas atau pekerjaan yang telah dilatihkan.

Program pelatihan pada dasarnya adalah program pembelajaran yang sengaja di desain
dan dikembangkan agar dapat memfasilitasi peserta untuk menguasai kemampuan yang
diperlukan. Program pelatihan dapat dikatakan efektif apabila mampu memfasilitasi peserta
dalam mempelajari isi atau materi pelatihan. Sebuah program pelatihan dapat dikatakan
efisien apabila menggunakan sumber daya yang sesuai dengan keperluan. Selain itu, program
pelatihan juga harus sejalan dengan visi dan misi yang diemban oleh institusi.

Ada beberapa model atau pendekatan desain system pembelajaran yang dapat digunakan
untuk mendesain dan mengembangkan program pembelajaran (Pribadi, 2009). Salah satu
model atau pendekatan desain system pembelajaran yang dapat diimplementasikan untuk
mendesain dan mengembangkan program pelatihan yang efektif dan efisien adalah model
ADDIE. Model desain system pembelajaran ADDIE bersifat sederhana dan dapat dilakukan
secara bertahap atau sistematik untuk mewujudkan program pelatihan yang komprehensif.

Istilah pendekatan yang digunakan dalam buku ini merujuk kepada model atau pola yang
didalamnya mencerminkan atau menggambarkan adanya sejumlah langkah dan prosedur yang
sistematik dan sistematik untuk digunakan dalam mencapai sasaran yang diinginkan. Model
ADDIE, sesuai dengan namanya, berisi beberapa tahap yang dapat digunakan untuk
mendesain dan mengembangkan sebuah program pelatihan yang efektif dan efisien. Tahap-
tahap kegiatan yang terdapat dalam model ADDIE terdiri dari :

1. Analysis (menganalisis)
2. Design (merancang)
3. Development (mengembangkan)
4. Implementation ( mengimplementasikan)
5. Evaluation (mengevaluasi)
C. Tahap- Tahap Implementasi Model ADDIE

Tahap- tahap kegiatan dalam model ADDIE pada dasarnya memiliki kaitan satu sama
lain. Oleh karenanya penggunaan model ini perlu dilakukan secara bertahap dan juga
menyeluruh. Implementasi model ADDIE secara sistematik dan sistemik akan menjamin
terciptanya sebuah program pelatihan yang efektif dan efisien.

Analysis merupakan tahap pertama dalam menerapkan model ADDIE untuk mendesain
dan mengembangkan sebuah program pelatihan. Pada tahap ini seorang perancang program
pelatihan atau traning designer perlu melakukan proses penilaian kebutuhan pelatihan yang
dikenal dengan istilah Traning Need Analysis atau TNA. Dalam melakukan proses TNA,
perancang program pelatihan harus mengumpulkan data dan informasi yang terkait dengan
masalah kinerja yang dihadapi oleh sebuah unit kerja dalam sebuah perusahaan.

Hasil dari proses TNA menggambarkan masalah-masalah kinerja yang perlu dicari
solusinya dan juga alternative solusi yang diperlukan untuk mengatasi masalah yang telah
diindentifikasi. Dalam hal ini perancang program pelatihan perlu melakukan klarifikasi
terhadap masalah kinerja dan mengusulkan solusi-solusi yang akan digunakan dalam
mengatasi masalah kinerja yang dihadapi. Pada dasarnya masalah kinerja dapat diatasi baik
melalui pelaksanaan program pelatihan (training) maupun bukan program pelatihan (non-
training).

Setelah memastikan bahwa masalah kinerja dapat di atasi melalui program pelatihan,
maka perancang program pelatihan perlu merumuskan tujuan atau kompetensi umum program
pelatihan. Kompetensi umum sebuah program pelatihan menggambarkan kemampuan yang
terdiri dari pengetahuan, keterampilan dan sikap yang perlu dimiliki oleh peserta setelah
selesai mengikuti sebuah program pelatihan. Upaya dalam menentukan tujuan atau
kompetensi umum program pelatihan dapat dilakukan melalui proses analisis terhadap
kesenjangan atau gap analysis anatara kemampuan yang seharusnya di miliki oleh karyawan.

Design adalah tahap kedua yang dilakukan dalam menerapkan model ADDIE untuk
merancang dan mengembangkan sebuah program pelatihan. Tahap design dilakukan dengan
mengidentifikasi sub-sub kemampuan yang perlu dimiliki oleh peserta agar dapat menguasai
kompetensi umum program pelatihan. Sub-sub kemampuan tersebut bersifat spesifik dan
disebut sebagai kompetensi khusus program pelatihan. Sub-sub kemampuan atau kompetensi
ini diperoleh melalui analisis terhadap kemampuan atau tujuan program pelatihan.

Kompetensi khusus program pelatihan diperoleh melalui proses analisis terhadap


kompetensi umum program pelatihan sehingga menjadi sub-sub kompetensi yang perlu
dikuasai oleh peserta program pelatihan. Hasil analisis terhadap kompetensi umum akan
menghasilkan struktur kompetensi yang disebut dengan istilah peta kompetensi. Proses
analisis kompetensi umum program pelatihan menjadi rangkaian atau struktur kompetensi
khusus disebut dengan istilah analisis instruksional.

Selain melakukan proses analisis instruksional, dalam tahap design juga ditetapkan
rencana penggunaan strategi pembelajaran dan instrument atau alat evaluasi untuk digunakan
dalam menilai hasil belajar yang dicapai oleh peserta setelah mengikuti program pelatihan.
Hasil dari tahap design adalah blue print berupa garis besar program pelatihan atau GBPP.
GBPP menggambarkan rencana keseluruhan kegiatan pembelajaran dalam sebuah program
pelatihan.

Development atau pengembangan merupakan tahap ketiga yang dilakukan dalam


menerapkan model ADDIE untuk menciptakan program pelatihan yang efektif dan efisien.
Pada tahap ini bahan pelatihan untuk training materials di produksi atau diadaptasi agar dapat
digunakan dalam menyampaikan isi atau materi program pelatihan keada peserta.

Bahan pelatihan dalam hal ini dapat dimaknai sebagai sarana atau media yang dapat
digunakan dalam menyampaikan informasi dan pengetahuan dari instruktur kepada peserta
program. Bahan pelatihan yang telah dikembangkan sesuai dengan teori dan prinsip-prinsip
pembelajaran akan dapat memfasilitasi peserta program pelatihan dalam mencapai tujuan atau
kompetensi umum program pelatihan. Ada beragam bahan atau media pembelajaran yang
dapat digunakan untuk menyampaikan isi atau materi program pelatihan kepada peserta.

Heinich dan kawan-kawan (2005) mengemukakan bahwa bahan atau media pembelajaran
yang digunakan sebagai bahan pelatihan pada dasarnya tersebut dapat diklasifikasikan
menjadi : bahan cetak; model dan simulator; program audio; program video; program
multimedia; web dan internet.

Semua bahan dan media pembelajaran tersebut memiliki keunggulan dan juga
keterbatasan untuk digunakan dalam mendukung penyelenggaraan sebuah program pelatihan.
Ada dua cara yang dapat dilakukan oleh training manager untuk mengembangan bahan
pelatihan yaitu : memproduksi sendiri sesuai dengan kebutuhan program pelatihan dan
menggunakan atau memodifikasi bahan pelatihan yang sudah ada untuk keperluan program
pelatihan.

Implementasi merupakan langkah keempat dalam menerapkan model ADDIE untuk


mendesign dan mengembangkan sebuah program pelatihan. Pada tahap ini program pelatihan
dilaksanakan sesuai dengan design yang telah dikembangkan sebelumnya. Instruktur
menyampaiakan isi atau materi pelatihan kepada peserta berdasarkan rancangan atau design
program yang telah dibuat sebelumnya.

Strategi pembelajaran perlu diaplikasikan oleh instruktur dalam menyampaikan isi atau
materi program pelatihan. Strategi pembelajaran dalam konteks ini dapat dimaknai sebagai :
“…Serangkaian kegiatan dalam pembelajaran yang dilakukan untuk memfasilitasi siswa
dalam mencapai kompetensi umum program pelatihan yang telah ditetapkan.” Strategi
pembelajaran menggambarkan adanya urutan kegiatan yang diakukan oleh instruktur untuk
memfasilitasi peserta dalam mempelajari pengetahuan, keterampilan dan sikap yang
dilatihkan.

Pada saat menerapkan strategi pembelajaran, instruktur dapat mengelompokkan peserta


sesuai dengan karakteristiknya, memanfaatkan metode dan bahan pelatihan yang telah
dikembangkan pada tahap sebelumnya. Dalam menerapkan strategi pembelajaran, urutan
kegiatan belajar yang perlu diterapkan oleh instruktur adalah sebagai berikut : (1) kegiatan
pra-pembelajaran; (2) penyajian isi atau materi pelatihan; (3) partisipasi siswa; (4) penilaian
hasil belajar; dan (5) aktivitas tindak lanjut.

Evaluation atau evaluasi merupakan tahap kelima atau tahap akhir dalam menerapkan
model ADDIE untuk mendesain dan mengembangkan sebuah program pelatihan yang efektif
dan efisien. Evaluasi dapat dimaknai sebagai proses yang dilakukan untuk menentukan nilai,
harga, dan manfaat dari suatu objek. (Stufflebeam, 2011). Dalam hal ini objek yang dinilai
dapat berupa sebuah produk atau program pembelajaran. Berdasarkan tujuan penggunaannya,
evaluasi dapat diklasifikasikan menjadi evaluasi formatif dan evaluasi sumatif.

Evaluasi formatif merupakan bentuk evaluasi yang diaplikasikan dengan tujuan untuk
memperbaiki kuatitas proses atau produk. Pendekatan evaluasi ini dilakukan dengan cara
mengumpulkan data dan informasi yang diperlukan untuk mengetahui kelebihan dan
keterbatasan dari program yang dievaluasi.

Hasil analisis dan interpretasi data yang diperoleh dari proses evaluasi formatif dapat
digunakan untuk memperbaiki kualitas program sehingga program tersebut memiliki tingkat
efektivitas dan efisiensi yang tinggi. Penerapan evaluasi formatif dapat menghindari
terjadinya kesalahan apabila program tersebut digunakan dalam situasi pembelajaran yang
sesungguhnya. Esensi dari evaluasi formatif adalah uji coba dan revisi terhadap program
sampai program tersebut dianggap relative sempurna untuk digunakan dalam situasi yang
sesungguhnya.

Salah satu model evaluasi formatif yang sangat dikenal dapat untuk digunakan dalam
menciptakan program atau bahan pembelajaran yang berkualitas adalah The Three Stages of
Forative Evaluation Model atau model evaluasi tiga tahap yang dikemukakan oleh Walter
Dick, Lou Carey, dan James O. Carey (2011).

Ketiga tahap dalam model evaluasi formatif ini yaitu : (1) evaluasi satu-satu dengan calon
pengguna program atau one-to-one evaluation ; (2) evaluasi dengan kelompok kecil calon
peserta atau small group evaluation; (3) dan evaluasi lapangan dengan menggunakan
kelompok responden yang lebih besar atau flied trial.

Program pelatihan yang telah digunakan dalam kurun waktu tertentu dapat dinilai
efektivitasnya dengan menggunakan pendekatan evaluasi sumatif. Tujuan utama dari evaluasi
sumatif adalah untuk memperoleh data dan informasi tentang nilai dan manfaat program yang
dapat digunakan untuk pengambilan keputusan tentang keberlanjutan sebuah program
pelatihan.
Hasil evaluasi sumatif pada dasarnya akan digunakan oleh yang berwenang sebagai
bahan pertimbangan dan rekomendasi bagi pengambilan keputusan untuk membuat keputusan
dalam melanjutkan atau menghentikan penggunaan sebuah program pelatihan. Data dan
informasi dalam evaluasi sumatif dapat diperoleh dari pendapat dan penilaian ahli atau expert
judgment tentang kualitas program berdasarkan hasil uji coba lapangan. Evaluasi sumatif pada
hakikatnya harus dilakukan oleh agen yang berasal dari institusi eksternal dan bersifat
independen.2

D. Model- Model Training Yang Berdasar Kepada Kebutuhan Pelatihan (Training


Need Assessment)
1. Model Induktif

Pendekatan yang digunakan dalam model induktif menekankan pada usaha yang
dilakukan dari pihak yang terdekat, langsung, dan bagian-bagian kea rah pihak yang luas, dan
menyeluruh. Oleh karena itu, melalui pendekatan ini diusahakan secara langsung pada
kemampuan yang telah dimiliki setiap sasaran didik (pelatihan), kemudian
membandingkannya dengan kemampuan yang diharapkan atau harus dimiliki sesuai dengan
tuntutan yang datang kepada dirinya. Model ini digunakan untuk mengidentifikasi jenis
kebutuhan belajar yang bersifat kebutuhan terasa (felt needs) atau kebutuhan belajar dalam
pelatihan yang dirasakan langsung oleh peserta pelatihan. Pelaksanaan identifikasinya pun
harus dilakukan secara langsung kepada peserta pelatihan itu sendiri. Untuk itu model
pendekatan ini digunakan bagi peserta pelatihan yang sudah ada (hadir menjadi peserta
pelatihan).

Keuntungan model induktif adalah dapat diperoleh informasi yang langsung, dan tepat
mengenai jenis kebutuhan peserta pelatihan, sehinhgga memudahkan kepada tutor (pelatih)
untuk memilih materi pelatihan (belajar) yang sesuai dengan kebutuhan tersebut. Namun
kerugiannya, dalam menetapkan materi pendidikan yang bersifat menyeluruh, dan umum
untuk peserta pelatihan yang banyak dan luas akan membutuhkan waktu, dana, dan tenaga

2
Dr. Benny A. Pribadi, M.A., Desain dan Pengembangan Program Pelatihan Berbasis Kompetensi. Jakarta : 2016,
Hal 20-32
yang banyak. Karena setiap peserta pelatihan yang mempunyai kecenderungan ingin atau
harus belajar dimintai informasinya mengenai kebutuhan pelatihan (belajar) yang diinginkan.

2. Model Deduktif

Pendekatan pada model ini dilakukan secara deduktif, dalam, pengertian bahwa
identifikasi kebutuhan pelatihan dilakukan secara umum, dengan sasaran yang luas. Apabila
akan menetapkan kebutuhan pelatihan (belajar) untuk peserta pelatihan yang memiliki
karakteristik yang sama, maka pelaksanaan identifikasinya dilakukan pengajuan pertimbangan
kepada semua peserta pelatihan (sasaran). Hasil identifikasi diduga dibutuhkan umtuk
keseluruhan peserta pelatihan (sasaran) yang mempunyai ciri-ciri yang sama. Hasil
identifikasi macam ini digunakan dalam menyusun materi pelatihan (belajar) yang bersifat
massal dan menyeluruh. Hal ini sebagaimana telah dilakukan dalam menetapkan kebutuhan
pelatihan minimal untuk peserta pelatihan dengan sasaran tertentu seperti melihat latar
belakang pendidikan, usia, atau jabatan dll. Kemudian dikembangkan ke proses pembelajaran
dalam pelatihan yang lebih khusus.

Keuntungan dari tipe ini adalah bahwa hasil identifikasi dapat diperoleh dari sasaran yang
luas, sehingga ada kecenderungan penyelesaiannya menggunakan harga yang murah, dan
relative lebih efisien dibanding dengan tipe induktif karena informasi kebutuhan belajar yang
diperoleh dapat digunakan untuk penyelenggaraan proses belajar dalam pelatihan secara
umum. Namun demikian, model ini mempunyai kelemahan dari segi efektifitasnya, karena
belum tentu semua peserta pelatihan (sasaran) diduga memiliki karakteristik yang sama akan
memanfaatkan, dan membutuhkan hasil identifikasi tersebut. Hal ini didasarkan atas
kenyataan bahwa keanekaragaman peserta pelatihan (sasaran) cenderung memiliki minat dan
kebutuhan belajar yang berbeda.

Kebutuhan belajar hasil identifikasi model deduktif termasuk jenis kebutuhan terduga
(expected needs), dalam pengertian bahwa peserta pelatihan (sasaran) pada umumnya diduga
membutuhkan jenis kebutuhan belajar tersebut. Hal ini menarik bahwa, pernyataan jenis
kebutuhan bisa tidak diungkapkan oleh peserta pelatihan (sasaran) secara langsung, akan
tetapi oleh pihak lain yang diduga memahami tentang kondisi peserta pelatihan (sasaran).
Oleh karena itu, mengapa banyak terjadi “Drop out” dalam pelatihan, atau kebosanan belajar,
tidak adanya motivasi, malas, karena ada kecenderungan bahan belajar yang dipelajarinya
dalam pelatihan kurang sesuai dengan kebutuhan belajar yang dirasakannya.

3. Model Klasik

Model klasik ini ditujukan untuk menyesuaikan bahan belajar yang telah ditetapkan
dalam kurikulum atau program belajar dengan kebutuhan belajar yang dirasakan peserta
pelatihan (sasaran). Berbeda dengan model yang pertama, pada model ini pelatih (tutor) telah
memiliki pedoman yang berupa kurikulum, umpamanya kurikulum pelatihan prajabatan,
kurikulum pelatihan kepemimpinan, satuan pelajaran dalam pelatihan, modul, hand-out dll.
Identifikasi kebutuhan belajar pelatihan dilakukan secara terbuka dan langsung kepada peserta
pelatihan (sasaran) yang sudah ada di kelas. Pelatih (tutor) mengidentifikasi kesenjangan
diantara kemampuan yang telah dimiliki peserta pelatihan (sasaran) dengan bahan belajar
yang akan dipelajari.

Tujuan dari model klasik ini adalah untuk mendekatkan kemampuan yang telah dimiliki
dengan kemampuan yang akan dipelajari, sehingga peserta pelatihan (sasaran) tidak akan
memperoleh kesenjangan dan kesulitan dalam mempelajari bahan belajar yang baru.
Keuntungan dari model ini adalah untuk memudahkan peserta pelatihan (sasaran) dalam
mempelajari bahan belajar, disamping kemampuan yang telah dimiliki akan menjadi modal
untuk memahami bahan belajar yang baru. Kelemahannya adalah bagi peserta pelatihan
(sasaran) yang terlalu jauh kemampuan dasarnya dengan bahan belajar yang akan dipelajari
menuntut untuk mempelajari terlebih dahulu kesenjangan kemampuan tersebut, sehingga
dalam mempelajari kebutuhan belajar yang diharapkannya membutuhkan waktu yang lama.3

E. Model- model pelatihan berdasar pada proses dan materi latihan

Ada beberapa model latihan yang dikembangkan para ahli yang disesuaikan dengan
pendekatan, strategi serta materi latihan, model-model pelatihan tersebut sebenarnya sudah
lama dikembangkan, namun sampai saat ini model-model tersebut masih tetap dipergunakan
namun demikian proses dan langkah-langkahnya disesuaikan dengan perkembangan

3
Dugan, Laird. (1985). Approaches To Training and Development. Second Edition. Addison-Wesley
Publishing Company, diakses pada 16 Oktober 2021. Pukul 12.04
kemampuan sasaran pelatihan, masalah-masalah yang perlu dipecahkan, kebutuhan kurikulum
dan metodelogi pelatihan itu sendiri. Pelatihan-pelatihan tersebut diantaranya adalah :

Model latihan keterampilan kerja (skill training fot the job) model latihan ini
dikembangkan oleh Louis Genci (1966). Model ini mencakup empat langkah yang harus
ditempuh dalam penyelenggaraan pelatihan. Langkah pertama, mengkaji alas an dan
menetapkan program latihan.

Kegiatan lainnya mencakup identifikasi kebutuhan, penentuan tujuan latihan, analisis isi
latihan, dan pengorganisasian program latihan. Kedua, merancang tahapan pelaksanaan
latihan. Kegiatannya mencakup penentuan pertemuan-pertemuan formal dan informal selama
latihan (training sessions), dan pemahaman terhadap masalah-masalah pada peserta latihan.
Ketiga, memilih sajian yang efektif. Kegiatannya mencakup pemilihan dan penentuan jenis-
jenis sajian, pengkondisian lingkungan termasuk di dalamnya penggunaan sarana belajar dan
alat bantu, dan penentuan media komunikasi. Keempat, melaksanakan dan menilai hasil
latihan. Kegiatannya meliputi transformasi pengetahuan dan keterampilan dan nilai
berdasarkan program latihan, serta evaluasi tentang perubahan tingkah laku peserta setelah
mengikuti program latihan.

Otto dan Glaser (1970) dalam bukunya yang berjudal “The Management of Training : A
Handbook for Training and Development Personnel”, mengemukakan model pengembangan
strategi latihan. Model ini terdiri atas lima langkah. Pertama, menganalisis masalah latihan.
Kedua, merumuskan dan mengembangkan tujuan-tujuan latihan. Ketiga, memilih bahan
latihan, media belajar, metode dan teknik latihan. Keempat, menyusun kurikulum dan unit,
mata latihan, dan topic latihan. Keima, menilai hasil latihan.

Parker mengembangkan Model Rancang Bangubab Latihan Dan Evaluasi (Training


Design and Evaluation Model) sebagaimana dimuat Craig dalam buku “Training and
Development Handbook : A Guide to Human Resource Development” (1976: 19-2). Model ini
terdiri atas tujuh tahapan kegiatan. Ketujuh tahapan kegiatan itu adalah menganalisis
kebutuhan-kebutuhan latihan, mengembangkan tujuan-tujuan latihan, merancang kurikulum
latihan, merancang dan memilih latihan, merancang pendekatan evaluasi latihan,
melaksanakan program latihan, dan mengukur hasil latihan. Tahapan-tahapan tersebut
merupakan kegiatan berangkai dan berurutan.

Crone dan Hunter (1980), dalam buku “From the Field-Tested Participatory Activites for
Trainers”, memaparkan model pelaksanaan latihan yang terdiri atas empat langkah (Model
empat langkah). Langkah pertama adalah mempersiapkan kelompok belajar. Ke dalam
langkah ini termasuk upaya menggali harapan warga belajar terhadap program latihan,
pembinaan keakraban dan kerjasama diantara mereka, pembagian sub-sub kelompok.
Langkah kedua ialah mengidentifikasi kebutuhan belajar dan analisis tujuan latihan.
Kegiatannya mencakup pengumpulan informasi tentang kebutuhan belajar para warga belajar
dari para warga belajar, dan dari masyarakat dan lembaga terkait dengan tugas atau aktivitas
warga belajar. Analisis tujuan latihan didasarkan atas kebutuhan belajar tersebut. Langkah
ketiga adalah memilih dan mengembangkan metode serta bahan belajar. Kegiatan ini
mencakup analisis model tingkah laku yang sedang dan akan ditampilkan oleh warga belajar,
menentukan bahan belajar dan tahapan pembelajaran, serta memilih teknik-teknik
pembelajaran. Langkah keempat yaitu menilai pelaksanaan dan hasil latihan. Termasuk ke
dalam kegiatan ini adalah menentukan strategi evaluasi terhadap proses dan perolehan latihan.
Langkah-langkah tersebut saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya.

Parker (1976) mengembangkan model latihan yang dapat dinamai Model Tujuh Langkah
(The Seven-step Model). Model ini mencakup langkah-langkah sebagai berikut. Pertama
adalah melaksanakan identifikasi dan analisis kebutuhan latihan. Kedua ialah merumuskan
dan mengembangkan tujuan-tujuan latihan. Ketiga, merancang kurikulum latihan. Keempat,
memilih dan mengembangkan metode latihan. Kelima, menentukan pendekatan evaluasi
latihan. Keenam, melaksanakan program latihan. Ketujuh, melakukan pengukuran hasil
latihan. Langkah-langkah hendaknya dilakukan secara berurutan. Namun, hasil langkah
ketujuh, yaitu pengukuran hasil latihan, dapat digunakan sebagai masukan bagi langkah
kedua, yaitu untuk mengembangkan tujuan-tujuan latihan atau langkah pertama, yaitu untuk
mengidentifikasi dan menganalisis kebutuhan-kebutuhan latihan.4

4
Rossett, Allison and W. arwady. Joseph. (1987). Training Needs Assesment. Educational Technology
Publications Englewood Cliffs, diakses pada 16 Oktober 2021. Pukul 12.04
BAB III

PENUTUP

Simpulan

Pelatihan sebagai sebuah konsep program yang bertujuan meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan seseorang (sasaran didik), berkembang sangat pesat dan modern.
Perkembangan model pelatihan (capacity building, empowering, training dll) saat ini tidak
hanya terjadi pada dunia usaha, akan tetapi pada lembaga-lembaga professional tertentu
model pelatihan berkembang pesat sesuai dengan kebutuhan belajar, proses belajar (proses
edukatif), assessment, sasaran, dan tantangan lainnya (dunia global dll).
DAFTAR PUSTAKA

Laird, Dugan. (1985). Approaches To Training and Development. Second Edition. Addison-
Wesley Publishing Company

Rossett, Allison and W. arwady. Joseph. (1987). Training Needs Assesment. Educational
Technology Publications Englewood Cliffs, New Jersey 07632

Pribadi. Beby A. 2016. Desain dan Pengembangan Program Pelatihan Berbasis Kompetensi.
Jakarta : Perdana Media Group

Anda mungkin juga menyukai