Anda di halaman 1dari 67

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN GEJALA

KERACUNAN PESTISIDA PADA PETANI SAYUR


DI DESA MOROME KECAMATAN KONDA
KEBUPATEN KONAWE SELATAN
TAHUN 2021

PROPOSAL PENELITIAN

OLEH :

DINI INDRIANI
J1A1 17 196

JURUSAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTASKESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2021
HALAMAN PERSETUJUAN

Proposal

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN GEJALA KERACUNAN


PESTISIDA PADA PETANI SAYUR DIDESA MOROME
KECAMATAN KONDA KEBUPATEN
KONAWE SELATAN
TAHUN 2021

Disusun dan Diajuakn Oleh :

DINI INDRIANI
J1A1 17 196

Telah Disetujui oleh :


Pembimbing I, Pembimbing II,

Arum Dian Pratiwi, SKM.,M.Sc Lymbran Tina, S.KM., M. Kes


NIP.198703282015042003 Nip. 198611112015041002

Mengetahui,
Ketua Jurusan Kesehatan Masyarakat
Universitas Halu Oleo

Dr. Asnia Zainuddin, M.Kes


NIP. 19670601 200212 2 004
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan
rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal yang
berjudul “Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Keracunan Pestisida
Pada Petani Sayur Di Desa Morome Kecamatan Konda Kebupaten Konawe
Selatan Tahun 2021” dengan baik. Salawat dan salam tidak lupa kita curahkan
kepada baginda nabi besar Muhammad SAW, yang telah mengantarkan kita
semua dari alam kegelapan menuju alam yang terang menerang seperti apa
yang kita rasakan pada hari ini.

Penyusunan proposal ini sebagai salahsatu persyaratan untuk mencapai gelar


sarjana Kesehatan Masyarakat di Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Halu Oleo serta untuk
memberikan pengetahuan dan informasi kepada pembaca mengenai penelitian
yang dilaksanakan.

Dalam penyusunan proposal ini, peneliti tentunya membutuhkan kerja sama


dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu peneliti mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang terlibat
dalam penyusunan proposal ini. Peneliti sangat menyadari bahwa penyusunan
proposal ini masih jauh dari kata sempurna sehingga peneliti kritik dan saran
yang bersifat membangun demi kesempurnaan penelitian ini. Diharapkan
dapat bermanfaat dan menambah ilmu pengetahuan bagi pembaca khususnya
ilmu pengetahuan kesehatan masyarakat.
DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN.................................................................................2
KATA PENGANTAR...........................................................................................3
DAFTAR ISI..........................................................................................................4
DAFTAR GAMBAR.............................................................................................7
DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN............................................9
DAFTAR LAMPIRAN.......................................................................................12
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................13
1.1 Latar Belakang................................................................................................13
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................19
1.3 Tujuan Penelitian............................................................................................19
1.4 Manfaat Penelitian..........................................................................................20
1.5 Ruang Lingkup Penelitian..............................................................................21
1.6 Organisasi/Sistematika..................................................................................21
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................22
2.1 Tinjauhan Umum Tentang Pestisida.............................................................22
2.2 Klasifikasi Pestisida.......................................................................................23
2.3 Toksikologi Pestisida.....................................................................................25
2.4 Gejala Yang Ditimbulkan...............................................................................33
2.5 Faktor Risiko Keracunan Pestisida.................................................................34
2.6 Penanganan Keracunan Pestisida....................................................................39
2.7 Kerangka Teori...............................................................................................47
2.8 Kerangka Konsep...........................................................................................48
2.9 Hipotesis Sementara.......................................................................................48
BAB III METODE PENELITIAN...................................................................51
3.1 Jenis Penelitian...............................................................................................51
3.2 Lokasi Dan Waktu Penelitian.........................................................................51
3.3 Populasi Dan Sampel......................................................................................51
3.4 Variabel Penelitian.........................................................................................52
3.6 Definisi Operasional dan Kriteria Objektif....................................................53
3.7 Metode Pengumpulan Data............................................................................56
3.8 Analisis Dan Penyajian Data..........................................................................56
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................58
LAMPIRAN.........................................................................................................61
DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

1. Gambar 1.1 Kerangka Teori...........................................................35

2. Gambar 1.2 Kerangka Konsep ................................................…36


DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN

Lambang Dan Singkatan Arti Dan Keterangan

Km/jam :Kilometer Per Jam

km² : Kilometer Persegi

APD : Alat Pelindung Diri

CAIDS : Chemically Acquired Deficiensy Syndrom

DDT : Dichloro Diphenyl Trchloroethane

EC : Emulsible Concentrate

OPT : Organisme Pengganggu Tanaman

SP : Soluble Powder

SSP : System Saraf Pusat

WHO : World Health Organization

WP : Wettable Powder

ZPT : Zat Pengatur Tumbuh


DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Lampiran 1 Kuesioner............................................. …….


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pestisida merupakan suatu bahan kimia yang digunakan untuk

membunuh atau mengendalikan hama. Pestisida memegang peranan penting

dalam melindungi tanaman, ternak dan untuk mengontrol sumber – sumber

vektor penyakit. Secara umum pestisida dapat diartikan sebagai bahan yang

digunakan untuk mengendalikan yang dapat merugikan kepentingan manusia

(Suhartono, 2014). Pestisida merupakan zat, senyawa kimia (zat pengatur

tumbuh dan perangsang tumbuh), organisme renik, virus dan zat lain-lain

yang digunakan untuk melakukan perlindungan tanaman atau bagian

tanaman. Petani menggunakan pestisida untuk membasmi hama dan gulma

dengan harapan hasil produk pertanian meningkat. Disamping dapat

meningkatkan hasil produk pertanian, pestisida mempunyai dapat negatif

seperti berkurangnya keanekaragaman hayati, pestisida berspektrum luas

dapat membunuh hama sasaran, parasitoid, predator, hiperparasit serta

makhluk bukan sasaran seperti lebah, serangga penyerbuk, cacing dan

serangga bangkai (Yuantari et al., 2013).

Penggunaan pestisida di negara berkembang yaitu ¼ dari penggunaan

pestisida di seluruh dunia, namun dalam hal kematian sekitar 99% dialami

oleh negara tersebut (Nurillah, 2020). Indonesia merupakan negara agraris

dengan penduduk yang bekerja di sektor pertanian mencapai 28,23% dari


jumlah seluruh tenaga kerja. Badan Pusat Statistik (2019) pada Bulan

Agustus 2019 mencatat penduduk Indonesia paling banyak bekerja di sektor

pertanian yaitu sebanyak 34,58 juta jiwa. Berdasarkan data Statistik

Prasarana dan Sarana Pertanian Indonesia menyebutkan bahwa jumlah

pestisida yang terdaftar dari tahun 2010-2016 selalu mengalami peningkatan

tiap tahunnya. Pada tahun 2013 jumlah pestisida yang terdaftar adalah 3.335

merek dagang, tahun 2014 sebanyak 3.541 merek dagang, dan tahun 2015

sebanyak 3.759 merek dagang. Jumlah pestisida yang terdaftar pada tahun

2016 adalah 3.930 merek dagang. Hal tersebut menunjukkan bahwa

penggunaan pestisida di Indonesia semakin meningkat (Nurillah, 2020).

Penggunaan pestisida secara berlebihan dan tidak sesuai dengan aturan

akan membawa dampak negatif bagi kesehatan manusia. Salah satu dampak

negatif dari penggunaan pestisida bagi kesehatan manusia yaitu dapat

menimbulkan keracunan. Setiap tahunnya sebanyak 25 juta pekerja pertanian

di seluruh dunia mengalami keracunan pestisida yang diakibatkan oleh

pekerjaannya (Alavanja, 2017). Word Health Organisation (WHO)

menyatakan setiap tahun terjadi 1– 5 juta kasus keracunan pestisida pada

pekerja pertanian dengan tingkat kematian mencapai 220.000 korban jiwa,

sekitar 80% keracunan pestisida dilaporkan terjadi di negara-negara

berkembang (Samosir et al., 2017). Kasus keracunan pestisida yang terjadi di

Indonesia pada tahun 2016 sebanyak 771 kasus, jumlah tersebut meningkat

dibandingkan jumlah kasus keracunan pada tahun 2014 yaitu terdapat 710

kasus (Sentra Informasi Keracunan Nasional 2016).


Setiap hari ribuan petani dan para pekerja di bagian pertanian terpapar

oleh pestisida dan setiap tahun diperkirakan jutaan orang yang terlibat di

pertanian menderita keracunan akibat pestisida, dalam beberapa kasus

keracunan pestisida, petani dan para pekerja pertanian lainnya terpapar

pestisida pada saat mencampur dan menyemprot. Selain itu, masyarakat

sekitar lokasi pertanian juga sangat berisiko terpapar oleh pestisida (Samosir

et al., 2017).

Dampak bagi Keselamatan Pengguna Penggunaan pestisida bisa

mengkontaminasi pengguna secara langsung sehingga mengakibatkan

keracunan. Dalam hal ini, keracunan bisa dikelompokkan menjadi 3

kelompok yaitu, keracunan akut ringan, akut berat dan kronis. Keracunan akut

ringan menimbulkan pusing, sakit kepala, iritasi kulit ringan, badan terasa

sakit, dan diare. Keracunan akut berat menimbulkan gejala mual, menggigil,

kejang perut, sulit bernafas, keluar air liur, pupil mata mengecil, dan denyut

nadi meningkat. Keracunan yang sangat berat dapat mengakibatkan pingsan,

kejang-kejang, bahkan bisa mengakibatkan kematian. Keracunan kronis lebih

sulit dideteksi karena tidak segera terasa dan tidak menimbulkan gejala serta

tanda yang spesifik. Namun, keracunan kronis dalam jangka waktu lama bisa

menimbulkan gangguan kesehatan. Beberapa gangguan kesehatan yang sering

dihubungkan dengan penggunaan pestisida diantaranya iritasi mata dan kulit,

kanker, cacat pada bayi, serta gangguan saraf, hati, ginjal dan pernafasan

(Runia, 2008).
Faktor resiko yang mempengaruhi terjadinya keracunan pestisida

tersebut antara lain faktor dari luar tubuh yaitu, usia, jenis kelamin,

pengetahuan, pengalaman, keterampilan, pendidikan, pemakaian alat

pelindung diri, status gizi, praktik penanganan pestisida. Dan faktor dari

dalam tubuh yaitu, suhu lingkungan, Alat Pelindung Diri, cara penanganan

pestisida, dosisi pestisida, jumlah jenis pestisida,toksisitas pestisida, betuk dan

cara masuk pestisida, lama peyemprotan, frequensi, tindakan penyemprotan

pada arah angin (Sari, 2018).

Gejala keracunan akibat pestisida pada petani dapat dipengaruhi

oleh banyak faktor baik oleh faktor dalam tubuh maupun faktor luar tubuh

petani itu sendiri dalam setiap kontak dengan pestisida. Masa kerja adalah

Lama waktu sejak responden aktif sebagai petani penyemprot hingga saat

penelitian dilakukan dalam satuan tahun. Semakin lama petani menjadi

penyemprot, maka semakin lama pula kontak dengan pestisida sehingga risiko

keracunan terhadap pestisida semakin tinggi (Amalia, 2019).

Pada umumnya jenis kelamin wanita lebih tahan terhadap racun

pestisida atau racun lainnya dibandingkan jenis kelamin laki-laki. Hal ini

dikarenakan pada wanita cenderung memiliki lemak yang lebih banyak,

sehingga zat racun dapat terikat dalam lemak (Amalia, 2019).

Penyemprotan pestisida yang tidak sesuai dengan arah angin akan

menyebabkan pencemaran lahan pertanian akibat bahan aktif pestisida yang

terbawa angin. Apabila bahan tersebut memasuki rantai makanan sifat


beracun bahan pestisida dapat menimbulkan berbagai penyakit seperti kanker,

mutasi, bayi lahir cacat (Osang et al., 2016).

Frekuensi yaitu semakin sering menyemprot maka semakin tinggi

pula resiko keracunan. Semakin sering seseorang melakukan penyemprotan,

maka semakin tinggi pula resiko keracunannya. Waktu yang dianjurkan untuk

melakukan kontak dengan pestisida maksimal 2 kali dalam seminggu

(Okvitasari & Anwar, 2016).

Menurut penelitian Budiyono (2004) bahwa semakin lama para petani

melakukan penyemprotan maka akan semakin banyak pestisida yang

menempel dalam tubuh sehingga terjadi pengikatan cholinesterase darah oleh

pestisida tersebut dan semakin besar pula kemungkinan terjadinya keracunan,

disebabkan karena lama kontak dengan pestisida tersebut (Merah, 2013).

Alat Pelindung Diri selanjutnya disingkat APD adalah suatu alat yang

mempunyai kemampuan untuk melindungi seseorang yang fungsinya

mengisolasi sebagian atau seluruh tubuh dari potensi bahaya di tempat kerja

(Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia,

2010). Penggunaan alat pelindung diri (APD) yang tepat dapat mengurangi

paparan pestisida terhadap petani. Oleh karena itu, penggunaan alat pelindung

diri (APD) akan menurunkan resiko terjadinya keracunan pestisida (Nurillah,

2020). penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Budiawan

tahun 2013 yang menyatakan ada hubungan antara tingkat pemakaian APD

dengan kholinesterase petani bawang merah di Desa Ngurensiti Kecamatan

Wedarijaksa Kabupaten Pati (Rihardin 2016).


Petani merupakan profesi yang memiliki potensi bahaya yang tinggi

karena penerapan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) masih rendah.

Fenomena ini menjadi faktor utama pemicu timbulnya kecelakaan dan

penyakit pada petani yang berdampak pada penurunan kinerja petani sehingga

dapat menimbulkan kerugian bagi petani baik secara sosial maupun ekonomi.

Ini disebabkan karena penerapan dan keselamatan kerja (K3) oleh petani

umumnya masih rendah karena dianggap masih tabu, tidak bermanfaat,kurang

nyaman,tidak praktis dan cenderung mengganggu proses kegiatan usaha

taninya. Kurangnya pemahaman akan resiko yang di hadapi berdampak pada

kesehatan dan keselamatan dirinya, seperti cidera, kecelakaan, kecacatan

hingga berdampak pada kematian. Hal ini mengakibatkan petani mengabaikan

pentingnya penerapan kesehatan dan keselamatan kerja (K3) dalam kegiatan

usaha taninya (Farid et al., 2019).

Kecamatan Konda adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Konawe

Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara yang memiliki luasan 132,84 km2 atau

2,94% dari luas wilayah Konawe Selatan. Jumlah penduduk 20.239 jiwa yang

terdiri atas 10.228 laki laki dan 10.011 perempuan. Tujuh puluh persen

penduduk Kecamatan Konda berprofesi sebagai petani dan sebagian besar

masyarakat mengenyam pendidikan tingkat menengah (Badan Pusat Statistik,

2016)

Kecamatan Konda adalah salah satu kecamatan penyangga kebutuhan

pangan Kabupaten Konawe Selatan dan Kota Kendari, sebagian besar


kebutuhan sayuran segar dan buah buahan lokal di produksi di Kecamatan

Konda. Masyarakat di Kecamatan Konda berprofesi sebagai petani ladang dan

juga sebagai peternak. Morome merupakan desa yang berada di Kecamatan

Konda Kabupaten Konawe Selatan, Desa Morome memiliki populasi

sebayank 370 kk dengan jumlah petani sayur sebanyak 190 yang mayoritas

bermata pencaharian sebagai petani sayur. Jenis tanaman yang diusahakan

adalah tanaman semusim Seperti sayuran, jagung, ubi serta tanaman jangka

menengah seperti buah-buahan

Berdasarkan hasil survei yang dilakukan pada bulan lalu, masih

banyak ditemukan petani sayur yang menggunakan pestisida, Serta

melakukan penyemprotan pestisida tidak menggunakan APD, dan

berdasarkan wawancara yang di lakukan terhadap 10 orang petani terdapat 7

orang petani yang mengalami gejala seperti pusing, gatal-gatal ( iritasi kulit

ringan), mata perih / berair, setelah melakukan penyemprotan menggunakan

pestisida, akan tetapi sebagian petani mengatasi hal tersebut dengan

mengkonsumsi air kelapa sebagai pengobatan alami. Oleh karena itu, penulis

tertarik untuk melakukan penelitian tentang Faktor Yang Berhubungan

Dengan Gejala Keracunan Pestisida Pada Petani Sayur Di Desa Morome

Kecamatan Konda Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2021.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas maka rumusan masalah dalam penelitian ini

adalah “Bagaiman Faktor Yang Berhubungan Dengan Gejala Keracunan


Pestisida Pada Petani Sayur Di Desa Morome Kecamatan Konda Kabupaten

Konawe Selatan Tahun 2021?”

1.3 Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui Faktor Yang Berhubungan Dengan Gejala

Keracunan Pestisida Pada Petani Sayur Di Desa Morome Kecamatan

Konda Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2021

2. Tujuan khusus

a. Untuk mengetahui hubungan antara Masa kerja terhadap gejala

keracunan pestisida pada petani sayur di desa morome kecamatan

konda kebupaten konawe selatan tahun 2021.

b. Untuk mengetahui hubungan antara jenis kelamin terhadap gejala

keracunan pestisida pada petani sayur di desa morome kecamatan

konda kebupaten konawe selatan tahun 2021.

c. Untuk mengetahui hubungan antara arah penyemprotan terhadap gejala

keracunan pestisida pada petani sayur di desa morome kecamatan

konda kebupaten konawe selatan tahun 2021.

d. Untuk mengetahui hubungan antara frekuensi pestisida terhadap gejala

keracunan pestisida pada petani sayur di desa morome kecamatan

konda kebupaten konawe selatan tahun 2021.


e. Untuk mengetahui hubungan antara lama kontak terhadap gejala

keracunan pestisida pada petani sayur di desa morome kecamatan

konda kebupaten konawe selatan tahun 2021.

f. Untuk mengetahui hubungan antara Alat Pelindung Diri (APD)

pestisida terhadap gejala keracunan pestisida pada petani sayur di desa

morome kecamatan konda kebupaten konawe selatan tahun 2021.

g. Untuk mengetahui hubungan antara personal higiene pestisida

terhadap gejala keracunan pestisida pada petani sayur di desa morome

kecamatan konda kebupaten konawe selatan tahun 2021.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut

a. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan, pengetahuan dan

informasi tentang dampak dan gejala keracunan pestisida pada petani sayur.

b. Manfaat Praktis

Berdasarkan tujuan penelitian yang hendak dicapai peneliti, manfaat

penelitian yang diharapkan:

a. Bagi Peneliti

Dapat menambah wawasan dan pengetahuan dalam rangka penerapan

ilmu pengetahuan yang telah diterima selama kuliah.

b. Bagi petani

Dengan adanya penelitian ini diharapkan petani dapat mengetahui

dampak paparan pestisida yang dapat membahayakan bagi kesehatan.


1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor yang berhubungan

dengan gejala keracunan pestisida pada petani sayur di desa Morome

Kecamatan Konda Kebupaten Konawe Selatan Tahun 2021. Faktor yang

akan di teliti adalah masa kerja, jenis kelamin,arah penyemprotan, lama

kontak, frekuensi, Alat Pelindung Diri, Personal hygiene.

1.6 Organisasi/Sistematika

penelitian ini berjudul faktor yang berhubungan dengan gejala

keracunan pestisida pada petani sayur di desa morome kecamatan konda

kebupaten konawe selatan tahun 2020. yang dibimbing oleh Arum Dian

Pratiwi, SKM.,M.Sc (Pembimbing I) dan Lymbran Tina, SKM., M.Kes

(Pembimbing II).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauhan Umum Tentang Pestisida

2.1.1 Definisi Pestisida

Secara umum pestisida merupakan bahan yang digunakan untuk

mengendalikan populasi jasad yang dianggap sebagai hama yang dapat

merugikan manusia baik secara langsung maupun tidak langsung (Kaligis et

al., 2015). Pengertian pestisida menurut Peraturan Menteri Pertanian

Republik Indonesia Nomor 39/Permentan/SR.330/7/2015, pestisida adalah

semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus yang dipergunakan

untuk:

a. Memberantas atau mencegah hama-hama dan penyakit yang merusak

tanaman, bagian-bagian tanaman atau hasil-hasil pertanian;

b. Memberantas rerumputan;

c. Mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan;

d. Mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian-bagia tanaman

tidak termasuk pupuk;

e. Memberantas atau mencegah hama-hama luar pada hewan-hewan piaraan dan

ternak;

f. Memberantas atau mencegah hama-hama air;

g. Memberantas atau mencegah binatang-binatang dan jasad-jasad renik dalam

rumah tangga, bangunan dan dalam alat-alat pengangkutan dan/atau


h. Memberantas atau mencegah binatang-binatang yang dapat menyebabka

penyakit pada manusia atau binatang yang perlu dilindungi dengan

penggunaan pada tanaman, tanah atau air.

2.2 Klasifikasi Pestisida

2.2.1 Berdasarkan Organisme Pengganggu Tanaman

Berdasarkan organisme pengganggu tanaman (OPT) sasarannya pestisida

dapat digolongkan sebagai berikut (Sari, 2018).

a. Insektisida, digunakan untuk menggendalikan hama berupa serangga.

Kelompok insektisida dibagi menjadi dua, yaitu ovisida (mengendalikan

telur serangga) dan larvasida (mengendalikan larva serangga);

b. Akarisida, digunakan untuk mengendalikan akarina (tungau atau mites);

c. Moluskisida, digunakan untuk mengendalikan hama dari bangsa siput

(moluska);

d. Rodentisida, digunakan untuk mengendalikan binatang pengerat (tikus);

e. Nematisida, digunakan untuk mengendalikan nematoda (cacing);

f. Fungisida, digunakan untuk mengendalikan penyakit tanaman yang

disebabkan oleh cendawan (jamur atau fungi);

g. Bakterisida, digunakan untuk mengendalikan penyakit tanaman yang

disebabkan oleh bakteri;

h. Herbisida, digunakan untuk mengendalikan gulma (tumbuhan

pengganggu);

i. Algisida, digunakan untuk mengendalikan ganggang (algae);

j. Piskisida, digunakan untuk mengendalikan ikan buas;


k. Avisida, digunakan untuk meracuni burung perusak hasil pertanian;

l. Repelen, pestisida yang tidak bersifat membunuh, hanya mengusir hama;

m. Atraktan, digunakan untuk menarik atau mengumpulkan serangga;

n. ZPT, digunakan untuk mengatur pertumbuhan tanaman yang efeknya bisa

memacu pertumbuhan atau menekan pertumbuhan;

o. Plant activator, digunakan untuk merangsang timbulnya kekebalan

2.2.2 Berdasarkan Bahan Kimia yang Terkandung

Berdasarkan bahan kimia yang terkandung di dalamnya, pestisida

digolongkan menjadi 3 bagian yaitu:

a. Organochlorine, contohnya: DDT, lindane, dieldrin, aldrin Sifat golongan

ini antara lain mempunyai racun yang universal, degradasinya di alam

berlangsung lambat, dan larut dalam lemak.

b. Organophospate, contohnya: diazinon, malathion, abate, dursban

Golongan ini kurang tahan di dalam alam sehingga memiliki kemungkinan

kecil untuk menyebar melalui rantai makanan. Namun pestisida ini kurang

selektif dalam membunuh hama sehingga dapat membunuh organisme

bukan sasaran.

c. Carbamat, contohnya: propoxur (baygon), bux, carbaryl (sevin)

mexacarbamate (zectran) Karbamat memiliki sifat mudah larut dakam air

sehingga disarankan untuk digunakan. Jenis propoxur sering digunakan

dalam rumah tangga sehingga memiliki risiko terjadinya penggunaan yang

kurang tepat.
d. Pyrethrins dan Pyrethroids Pyrethrins cepat dirusak oleh cahaya dan air

jadi tidak ditemukan di lingkungan dan tidak ada bioakumulasi.

Pyrethroids adalah derivate sintetik dari pyrethrins alamiah, yang dibuat

dan dikembangkan untuk menghasilkan substansi yang stabil di

lingkungan.

2.3 Toksikologi Pestisida

Toksisitas atau daya racun adalah sifat bawaan pestisida yang

menggambarkan potensi pestisida untuk menimbulkan kematian langsung

atau bahaya lainnya pada hewan tingkat tinggi, termasuk manusia. Toksisitas

dibedakan menjadi toksisitas akut, kronik, dan subkronik. Toksisitas akut

m3rupakan pengaruh merugikan yang timbul segera setelah pemaparan

dengan dosis tunggal suatu bahan kimia atau pemberian dosis ganda dalam

waktu kurang lebih 24 jam. Toksisitas akut dinyatakan dalam angka LD 50,

yaitu dosis yang bisa mematikan (lethal dose) 50% dari binatang uji

(umumnya tikus) yang dihitung dalam mg/kg berat badan. Dibedakan antara

LD50 oral (lewat mulut) dan LD50 dermal (lewat kulit). Parameter lain untuk

menilai daya racun pestisida adalah LC50 inhalasi, yaitu konsentrasi (mg/l

udara) pestisida yang mematikan 50% dari binatang uji. Toksisitas kronik

adalah pengaruh merugikan yang timbul akibat pemberian takaran harian

berulang dari pestisida, bahan kimia, atau bahan lainnya, atau pemaparan

bahan-bahan tersebut yang berlangsung cukup lama (biasanya lebih dari 50%

rentang hidup). Pada hewan percobaan, ini berarti periode pemaparan selama

2 tahun. Sementara toksisitas subkronik hampir sama dengan toksisitas


kronik, tetapi untuk rentang waktu yang lebih pendek, sekitar 10% dari

rentang hidupnya, atau untuk hewan percobaan adalah pemaparan selama 3

bulan (Sari, 2018).

2.3.1 Toksikokinetik

Pestisida masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara antara lain

(Sudoyo et al 2014):

a. Self poisoning

` Keracunan jenis ini sering karena ketidaktahuan dan kekurang

hatihatian dalam penggunaan. Penderita biasanya menggunakaninsektisida

organofosfat dengan dosis yang berlebihan tanpa mengetahui berapa dosis

yang sebenarnya.

c. Attempted poisoning

Pada kondisi ini umumnya didapatkan pada pasien dengan

tentamen suicide/sengaja ingin mengakhiri hidupnya dengan menenggak

insektisida organofosfat.

d. Accidental poisoning

Keracunan pada keadaan ini biasanya murni karena akibat

kecelakaan tanpa adanya unsure kesengajaan sama sekali. Pada umumnya

banyak ditemukan keracunan ini pada anak usia dibawah 5 tahun karena

kebiasaan memasukkan segala benda ke dalam mulut dan kebetulan benda

tersebut sudah tercemar pestisida.


e. Homicidal poisoning

Digolongkan sebagai tindak kejahatan karena seseorang dengan sengaja

ingin menyebabkan orang lain celaka/meninggal karena keracunan.

2.3.1.1 Organofosfat

Komposisi organofosfat organik diabsorpsi sangat baik melalui

paru-paru, saluran cerna, kulit, membran mukosa, dan konjungtiva melalui

kontak inhalasi, tertelan, atau kontak topikal. Kulit yang luka, dermatitis, dan

temperatur lingkungan yang tinggi akan meningkatkan absorpsi melalui kulit.

Sebagian besar organofosfat bersifat lipofilik. Penelitian pada tikus yang

disuntikkan parathion radioaktif didapatkan distribusi yang cepat pada zat

tersebut pada lemak coklat servikal dan kelenjar saliva, juga kadarnya sangat

tinggi pada hati, ginjal, dan jaringan adiposa (Sudoyo et al., 2014 dalam Sari,

2018).

Konsentrasi tertinggi organofosfat pada manusia terdeteksi 6 jam

setelah zat ini tertelan. Meskipun waktu paruhnya beberapa menit hingga

beberapa jam, absorpsi yang lebih lama dan redistribusi dari cadangan lemak

menyebabkan kadar ini masih dapat terdeteksi hingga 48 hari. Organofosfat

mengalami metabolisme oksidasi di hati dan mukosa usus, namun jalur

aslinya masih belum diketahui. Kemampuan fosforilasi organofosat akan

berkurang jika sebagian rantainya mengalami hidrolisis. Hasil metabolisme

yang inaktif ini akan diekskresikan melalui urin (Sudoyo et al 2014).


2.3.1.2 Organoklor

Pestisida organoklor dibagi menjadi empat kelompok berdasarkan

struktur kimia dan kesamaan toksisitasnya, yaitu: 1) DDT dan analognya; 2)

cyclodienes (berhubungan dengan isomer aldrin, dieldrin, dan endrin seperti

heptachlor, endosulfan)dan komponennya (toxaphene, dienochlor); 3)

hexachlorocyclohexane (isomerlindase, misnomer benzene hexachloride); dan

4) mirex dan chlordecone. Kelompok pestisida ini secara substansi berbeda

dalam hal dosis toksik, absorpsi pada kulit, cadangan pada lemak,

metabolisme, dan eliminasinya. Tanda dan gejala keracunan pada manusia

dari masing-masing kelompok tersebut sama (Sudoyo et al 2014).

1. Absorpsi

Pestisida golongan ini diabsorpsi dengan baik melalui oral dan

inhalasi. Absorpsi transdermal bervariasi tergantung komposisi zat kimianya.

DDT dan analognya sangat sedikit diserap melalui transdermal kecuali jika

dilarutkan dengan pelarut hidrokarbon. Konsentrasi DDT di udara umumnya

rendah sehingga toksisitas melalui jalur respirasi sangat jarang. Semua

golongan cyclodienes mampu diabsorpsi dengan baik secara transdermal.

Toxaphene kurang diabsorpsi melalui kulit baik pada paparan akut maupun

paparan kronik. Lindane sangat baik diabsorpsi melalui kulit yang terbuka.

Mirex dan chlordecodene efisien diabsorpsi melalui kulit, inhalasi, dan oral.
2. Distribusi

Semua organoklor bersifat lipofilik sehingga memiliki kemampuan

penetrasi pada target aksinya. Rasio pada lemak dan serum sangat tinggi dan

ditemukan 660 : 1 untuk chlordane; 220 : 1 untuk lindane; dan 150 : 1 untuk

dieldrin.

3. Metabolisme

Golongan klorin yang memiliki kelarutan dalam lemak tinggi dan

metabolismenya lambat adalah DDT DDE (dichlorodiphenyldichloroethylene,

metabolit dari DDT), dieldrin, heptachlor, chlordane, mirex, dan chlordecone

menyebabkan cadangan cukup banyak pada jaringan adiposa dan

meningkatkan beban tubuh terhadap paparan kronik. Golongan klorin yang

cepat dimetabolisme dan dieliminasi adalah endrin (isomer dari dieldrin),

endosulfan, lindane, methoxychlor, dienochlor, chlorobenzilate, dicofol, dan

toxaphene sehingga kadarnya sangat kurang dalam tubuh dibanding yang

larut dalam lemak. Sebagian besar organoklor dimetabolisme di sistim enzim

mikrosomal hepatik melalui deklorinasi, oksidasi, dan konjugasi. Pada hewan,

sebagian besar organoklor menginduksi sistim enzim mikrosomal hepatik.

Bagaimanapun gambaran induksi ini tidak ditemukan pada manusia kecuali

pada kasus yang jarang dari paparan masif dengan disertai gejala neurologis.

4. Eliminasi

Waktu paruh dalam cadangan lemak dan metabolisme yang buruk

menyebabkan organoklor seperti DDT dan chlordecone dapat menetap dalam

beberapa bulan hingga tahunan. Waktu paruh eliminasi dari lindane pada
orang dewasa adalah 21 jam. Ekskresi organoklor terutama melalui empedu,

tetapi dapat juga dideteksi di urin sebagai metabolitnya.

2.3.1.3 karbamat

Insektisida jenis karbamat diabsorpsi dengan baik melalui kulit dan

membran mukosa setalah terhirup atau tertelan. Konsentrasi puncak zat ini

dapat dideteksi setelah 30-40menit setelah tertelan. Sebagian besar zat ini

akan mengalami hidrolisis, hidroksilasi, dan konjugasi dalam hati dan

dinding usus. Sekitar 90% akan diekskresikan melalui urin dalam 3 hari. Ada

dua sifat farmakokinetik yang khas dari karbamat yang membedakan dari

organofosat. Pertama yaitu tidak mudah mencapai sistim saraf pusat (SSP).

Meskipun efeknya pada SSP jarang terjadi, namun disfungsi SSP masih dapat

terjadi jika keracunan masif atau terjadi hipoksia sekunder akibat toksisitas

dan paralisis pada paru. Kedua yaitu ikatan karbamat dan kolinesterase tidak

seperti ikatan pada keracunan organofosfat, ikatan karbamat bersiat reversible

dan dapat terjadi hidrolisis spontan dalam beberapa jam (Sudoyo et al 2014).

2.3.1.4 Pyrethrins dan Pyrethroids

Pyrethroid tipe I memiliki ikatan ester sederhana pada rantai

sentralnya tanpa gugus siano. Tipe II memiliki gugus siano pada rantai karbon

dari ikatan ester. Gugus siano meningkatkan efek neurotoksik dari pyrethroid

tipe II sehingga golongan ini lebih poten dan toksik dibanding tipe I (Sudoyo

et al., 2014).
1. Absorbsi

Absorpsi pyrethrin pada mamalia secara oral sangat rendah karena zat

ini sangat cepat dihidrolisis menjadi komponen inaktif. Toksisitas dermal

juga rendah karena penetrasinya lambat dan metabolismenya cepat.

Pyrethroid lebih stabil dibanding pyrethrin alamiah. Toksisitas sistemik

terjadi setelah zat ini tertelan. Absorpsi langsung pyrethroid melalui kulit

dapat mengganggu saraf sensoris perifer. Pyrethroid juga dapat diabsorpsi

melalui inhalasi tetapi tidak ada gejala klinis signifikan yang terjadi.

2. Distribusi

Distribusi pyrethroid dan pyrethrin bersifat lipofilik sehingga cepat

terdistribusi hingga ke SSP.

3. Metabolisme

Pada hewan dan manusia pyrethroids akan dimetabolisme melalui

jalur hidrolisis dan sitokrom P450 pada sistem mikrosomal. Metabolit yang

dihasilkan mempunyai toksisitas yang rendah dibanding komponen asalnya.

Piperonyl butoxide sebagai inhibitor P450 akan meningkatkan potensi dari

pyrethroid dan zat ini sering ditambahkan pada preparat insektisida untuk

meningkatkan efek letal, meskipun terkadang efek knock down dari

pyrethroid sendiri tidak selalu letal terhadap serangga.

4. Eliminasi

Apakah pyrethroid mengalami resirkulasi enterohepatik belum

diketahui secara lengkap karena belum ada data yang pasti namun komponen

utama dan hasil metabolit pyrethroid ditemukan di urin.


2.3.2 Taksikodinamik

Berikut ini mekanisme toksisitas pestisida berdasarkan bahan aktif

yang terkandung:

2.3.2.1 Organofosfat

Organofosfat menghambat kerja enzim kolinesterase, enzim ini secara

normal menghidrolisis asetilkolin menjadi asetat dan kholin. Pada saat enzim

dihambat, mengakibatkan jumlah asetilkolin meningkat dan berikatan dengan

reseptor muskarinik dan nikotinik pada sistem saraf yang menyebabkan

gejalakeracunan dan berpengaruh pada seluruh bagian tubuh. Kelebihan

asetilkolin ini dapat menyebabkan perangsangan pada otot berlangsung terus-

menerus. Gejala peningkatan tekan darah terjadi apabila terjadi penumpukan

asetilkolin pada reseptor nikotinik-asetilkolin saraf simpatis dapat

merangsang medula adrenalis kemudian dilepaskan norepinefrin yang akan

berpengaruh terhadap peningkatan tekanan darah (Sudoyo et al 2014).

2.3.2.2 Organoklor

Pada penggunaan organoklor efek yang timbul pada SSP terutama

pada membran neuronal akan mengalami gangguan hambatan repolarisasi

sehingga depolarisasi memanjang, atau gangguan mempertahankan polarisasi

neuron. Hal ini menyebabkan hipereksitabilitas dari SSP. Bila seseorang

menelan DDT sekitar 10mg/Kg akan dapat menyebabkan keracunan, hal

tersebut terjadi dalam waktu beberapa jam Perkiraan LD50 untuk manusia

adalah 300-500 mg/Kg (Sudoyo et al 2014).


2.3.2.3. Karbamat

Mekanisme toksisitas dari karbamat adalah sama dengan organofosfat,

dimana enzim kolinesterase dihambat dan mengalami karbamilasi. Pestisida

golongan karbamat ini menyebabkan karbamilasi dari enzim kolinesterase

jaringan dan menimbulkan akumulasi asetilkolin pada sambungan kolinergik

neuroefektor (Sudoyo et al 2014).

2.4 Gejala yang ditimbulkan

Masing-masing golongan pestisida akan menimbulkan gejala

keracunan yang berbeda-beda akibat berbedanya bahan aktif yang dikandung

oleh setiap golongan. Namun kadang kala gejala yang ditimbulkan mirip.

2.4.1 Organofosfat

Gejala keracunannya adalah timbul sakit kepala, pusing, bradikardi,

kelemahan, anxietas, keringat berlebih, fasikulasi, muntah, kram perut, diare,

dispnea, miosis, paralisis, salivasi. Golongan ini dapat pula menyebabkan

anemia. Kejadian anemia dapat terjadi pada penderita keracunan organofosfat

dan karbamat karena terbentuknya sulfhemoglobin dan methemoglobin di

dalam sel darah merah (Sudoyo et al., 2014). Menurut Djojosumarto (2008),

gejala kecarunan organofosfat antara lain:

1. Keracunan ringan: gejala nonspesifik seperti rasa lelah/lesu, badan rasa

sakit, sakit kepala, sesak dada, gelisah limbung ringan, mau muntah,

keringat berlebihan, diare, dan pupil agak mengecil

2. Keracunan sedang: diperparah dengan mengecilnya pupil, gemetar, sulit

berjalan, pandangan kabur, denyut jantung melambat


3. Keracunan berat: melemahnya kesadaran, hilangnya reaksi terhadap

cahaya, kejang, paru membengkak, tekanan darah meningkat, dan

hilangnya tenaga.

2.4.2 Organoklor

Menurut (Djojosumarto 2008 dalam Sari, 2018), gejala kecarunan

organoklor antara lain:

1. Keracunan ringan: rasa capek/lesu, kelemahan, sakit kepala, kepala terasa

berat, mual muntah

2. Keracunan sedang: salah tingkah berlebihan, otot lokal bergetar, hilang

rasa (lidah bibir, muka)

3. Keracunan berat: tidak sadar, kejang, gangguan ginjal dan liver,pernapasan

berat/tertekan, muntah.

2.4.3 Karbamat

Gejalanya sama dengan gejala yang ditimbulkan golongan

organofosfat, hanya saja berlangsung lebih singkat karena lebih cepat terurai

dalam tubuh atau karena efek terhadap enzim kolinesterase tidak persisten.

2.5 Faktor Risiko Keracunan Pestisida

Faktor yang mempengaruhi terjadinya keracunan pestisida pada petani

antara lain:

2.5.1 Masa Kerja

Masa kerja adalah Lama waktu sejak responden aktif sebagai petani

penyemprot hingga saat penelitian dilakukan dalam satuan tahun. Semakin


lama petani menjadi penyemprot, maka semakin lama pula kontak dengan

pestisida sehingga risiko keracunan terhadap pestisida semakin tinggi

(Amalia, 2019).

2.5.2 Jenis Kelamin

Jenis kelamin berkaitan dengan kekebalan tubuh dalam mengatasi

tingkat toksisitas suatu zat. Jenis kelamin seseorng menggambarkan

efektifitas sistem kekebalan didalam tubuh antara laki-laki daan perempuan,

dikarenakan kulit perempuan lebih rentan dibandingkan dengan laki-laki.

2.5.3 Arah Penyemprotan

Penyemprotan yang baik searah dengan arah angin dan penyemprot

hendaklah mengubah posisi penyemprotan bila arah angin berubah. Menurut

WHO disyaratkan bagi pekerja penyemprot, bekerja pada kecepatan angin

tidak lebih dari 4 – 12 km/jam. Penyemprotan pestisida yang tidak sesuai

dengan arah angin akan menyebabkan pencemaran lahan pertanian akibat

bahan aktif pestisida yang terbawa angin. Apabila bahan tersebut memasuki

rantai makanan sifat beracun bahan pestisida dapat menimbulkan berbagai

penyakit seperti kanker, mutasi, bayi lahir cacat, CAIDS (Chemically

Acquired Deficiency Syndrom) dan sebagainya (Osang et al., 2016).

2.5.4 Frekuensi

Semakin sering menyemprot maka semakin tinggi pula resiko

keracunan. Oleh karena itu penyemprotan sebaiknya dilakukan sesuai dengan

ketentuan. Semakin sering seseorang melakukan penyemprotan, maka


semakin tinggi pula resiko keracunannya. Waktu yang dianjurkan untuk

melakukan kontak dengan pestisida maksimal 2 kali dalam seminggu

(Okvitasari & Anwar, 2016).

2.5.5 Lama Kontak

Semakin lama waktu bekerja seseorang di lingkungan yang

mengandung pestisida semakin besar kemungkinan untuk terjadinya pajanan

oleh pestisida dan semakin besar pula kemungkinan terjadinya keracunan,

disebabkan karena lama kontak dengan pestisida tersebut (Kando et al.,

2017). Permenaker No.Per-03/Men/1996 pasal 2 ayat 21 menyebutkan bahwa

untuk menjaga efek yang tidak diinginkan, maka dianjurkan tenaga kerja yang

mengelola pestisida tidak boleh mengalami pemaparan >5 jam sehari dan 30

jam dalam seminggu (Okvitasari & Anwar, 2016).

2.5.6 Alat Pelindung Diri (APD)

Alat Pelindung Diri selanjutnya disingkat APD adalah suatu alat yang

mempunyai kemampuan untuk melindungi seseorang yang fungsinya

mengisolasi sebagian atau seluruh tubuh dari potensi bahaya di tempat kerja

(Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia,

2010). Perlengkapan yang perlu digunakan oleh tenaga penjamah pestisida

antara lain pelindung kepala, pelindung pernafasan dan mulut, pelindung

badan (baju dan celana panjang), pelindung tangan, dan pelindung kaki.

APD yang seharusnya dipakai oleh petani antara lain:


a. Pakaian kerja

Alat ini digunakan untuk melindungi tubuh dari percikan atau siraman

bahan-bahan berbahaya. Bentuknya dapat berupa apron, celemek, atau

pakaian terusan dengan celana dan lengan panjang (Faris Khamdani,

2009). Penyemprotan selama satu jam dengan tidak memakai alat

pelindung diri saat menyemprot dan tidak mengganti pakaian setelah

menyemprot akan terjadi penurunan kolinesterase sebesar 939,049 U/L

dibandingkan kadar normal kolinesterase (3500 U/L) maka telah terjadi

penurunan lebih dari 25% (Merah, 2013).

b. Penutup kepala

Untuk melindungi kepala dari bahan berbahaya dan kondisi iklim yang

buruk. Harus terbuat dari bahan-bahan yang memiliki celah seperti wol,

asbes, kulit, atau katun yang dicampur dengan alumunium (Faris

Khamdani, 2009).

c. Respirator separuh masker

Alat ini akan menarik udara yang dihirup melalui sebuah mediator yang

akan membuang bahan-bahan kontaminan. Alat ini cocok digunakan untuk

debu, gas, dan uap (Kurniawan, 2009 dalam Sari, 2018).

d. Sarung tangan

Sarung tangan dapat membantu pergerakan tangan dan melindungi dari

bahan-bahan yang berbahaya. Sarung tangan kedap harus cukup panjang

sehingga dapat sampai ke lengan dan mencegah bahan tersebut masuk ke

sela-sela lengan (Kurniawan, 2009 dalam Sari, 2018).


e. Sepatu kerja

Sepatu ini sangat bermanfaat bagi pengguna pestisida untuk melindungi

kaki dari larutan tersebut. Sepatu yang digunakan dapat terbuat dari kulit,

karet, atau sintetik (Faris Khamdani, 2009).

2.5.7 Personal Higiene

Personal Hygiene sebagai aktifitas yang memiliki tujuan kebersihan

dan penampilan tubuh. Aktifitas meliputi mencuci, mandi, bercukur,

perawatan mata dan alat bantu penglihatan, perawatan telinga, kuku, gigi, gusi

dan sebagainya. (Brooker 2014 dalam Prahayuni, 2018).

2.5.7.1 Personal Hygiene Pada Petani

(Menurut Wartonah 2013 dalam Prahayuni, 2018), Personal hygiene

Pada Petani meliputi :

a. Kebersihan Tangan, Kaki dan Kuku Tangan, kaki, dan kuku

merupakan sarana kontak langsung dalam kehidupan petani dalam hal

ini sangat berpengaruh besar seperti halnya tangan mereka wajin

membersihkan tangan mereka dengan mencuci tangan sebelum dan

sesudah beraktifitasdi sawah tangan yang kotor dan tertempel bahan

kimia sangat berpengaruh buruk bagi kesehatan hendaknya para petani

perlu memperhatikan halini dengan mencuci tangan dengan sabun,

menggunakan air mengalirsaat mencuci tangan, dan memotong kuku,

serta mencucikaki dengan air mengalir dan bersih dengan benar dan

teratur agar tidak berdampak buruk bagi kesehatan.


b. Kebersihan BadanKebersihan badan yang perlu diperhatikan pada

seorang petani adalah dengan mandi sepulang dari sawah setelah

beraktifitas seharian tubuh mengeluarkan keringat dan menimbulkan

bau badan sehingga sangat mudah tubuh untuk ditumbuhi jamur

sehingga menyebabkan gatal-gatal. Para petani hendaknya menjaga

kebersihan diri mereka agar kuman dan jamur tidak tumbuh di badan

mandi menggunakan sabun sangat disarankan karena mampu

menghilangkan kotoran,debu,bau badan sehingga terhindar dari

berbagai penyakit.

c. Kebersihan Rambut Saat beraktifitas di sawah dibawah sinar matahari

kulit mengeluarkan keringat saat itu rambut yang bercampur debu dan

kotoran menjadi satu menggumpal pada rambut sehingga

menyebabkan gatal berlebih sehingga petani perlu mencuci rambut

minimal 3x dalam seminggu agar debu dan kotoran yang bersarang

pada rambut tidak menyebabkan bersarangnya penyakit.

d. Kebersihan PakaianKebersihan pakaian yang digunakan petani

merupakan hal yang penting dalam menjaga kesehatan dalam halini

para petani perlu memperhatikannya dengan mencuci pakaian yang

telah digunakan petani kotoran, debu, keringat yang menempel

menyebabkan perkembang biakan kuman yang menyebabkan jamur

sehingga sangat rawan para petani terkena penyakit kulit seperti

dermatitis,panu,kurapdan penyakit kulit lainnya.


2.6 Penanganan Keracunan Pestisida

Setiap orang yang pekerjaannya sering berhubungan dengan pestisida

seperti petani, buruh penyemprot dan lain-lain harus mengenali gejala dan

tanda keracunan pestisida dengan baik. Tindakan pencegahan lebih baik

dilakukan untuk menghindari keracunan. Setiap orang yang berhubungan

dengan pestisida harus memperhatikan hal-hal berikut (Raini, 2007):

a. kenali gejala dan tanda keracunan pestisida dan pestisida yang sering

digunakan

b. jika diduga keracunan, korban segera dibawa ke rumah sakit atau dokter

terdekat

c. identifikasi pestisida yang memapari korban, berikan informasi ini pada

rumah sakit atau dokter yang merawat

d. bawa label kemasan pestisida tersebut. Pada label tertulis informasi

pertolongan pertama penanganan korban

e. tindakan darurat dapat dilakukan sampai pertolongan datang atau korban

dibawa ke rumah sakit.

2.7. Pencegahan Keracunan Pestisida

2.7.1. Pencegahan Tingkat Pertama (Primary Prevention)

Menurut (Depkes 1992 dalam ALI, 2015), Setiap petugas yang dalam

pekerjaannya sering berhubungan dengan pestisida harus mengenali dengan

baik gejala dan tanda keracunan pestisida. sebagai upaya pencegahan

terjadinya keracunan pestisida sampai ke tingkat yang membahayakan


kesehatan, orang yang berhubungan dengan pestisida harus memperhatikan

hal-hal sebagai berikut :

1. Memilih Pestisida

Memilih bentuk atau formulasi pestisida juga sangat penting dalam

penggunaan pestisida. Pestisida yang berbentuk aerosol jauh lebih

berbahaya jika terhirup atau terkena kontak kulit, hal ini bisa

digantikan dengan penggunaan pestisida berbentuk tablet atau butiran

yang mempunya kemungkinan kecil untuk melayang. Begitu juga

dengan pestisida yang berbentuk cairan bahaya pelayangannya lebih

kecil jika dibandingkan dengan pestisida berbentuk tepung. Selain itu

yang menjadi pertimbangan dalam formulasi pestisida adalah alat

penyemprot, bila menggunakan alat penyemprot pestisida berbentuk

cairan lah yang lebih tepat untuk digunakan seperti, Emulsible

Concentrate (EC), Wettable Powder (WP), atau Soluble Powder (SP)

2. Alat yang digunakan dalam aplikasi pestisida

Menurut (Wudianto 2007 dalam ALI, 2015) alat yang digunakan

dalam aplikasi pestisida tergantung dari jenis formulasi yang

digunakan.Pestisida yang berbentuk granula (butiran) tidak

memerlukan alat khusus untuk penyebarannya, cukup menggunakan

ember atau alat lainnya yang bisa menampung pestisida tersebut.

Sedangkan untuk pestisida berwujud cairan seperti Emulsible

Concentrate (EC) dan bentuk tepung Wettable Powder (WP), atau

Soluble Powder (SP) memerlukan alat penyemprot khusus untuk


menyebarkannya. Alat penyemprot yang biasa digunakan yaitu

penyemprot yaitu penyemprot gendong, pengabut bermotor (Power

Mist Blower and Duster), mesin penyemprot tekanan tinggi (High

Pressure Power Sprayer), dan jenis penyemprot lainnya.Penggunaan

alat penyemprot disesuaikan dengan kebutuhan agar pemakaian

pestisida menjadi lebih efektif.

3. Teknik dan Cara Aplikasi

Teknik dan aplikasi ini sangat penting untuk diketahui oleh pengguna

pestisida terutama untuk menghindari bahaya pemaparan pestisida

terhadap tubuhnya, orang lain, dan lingkungan. Ada beberapa

petunjuk dan teknik serta cara aplikasi pestisida yang diberikan oleh

pemerintah, yaitu :

a. Gunakan pestisida yang sudah terdaftar dan sudah memiliki izin

dari Pemerintah RI.

b. Pilih pestisida yang sesuai dengan hama serta jasad sasaran

lainnya yang akan dikendalikan, dan jangan lupa membaca

keterangan kegunaan pestisida yang terdapat pada label wadah

pestisida.

c. Baca semua petunjuk penggunaan pestisida yang tercantum

dikemasan pestisida sebelum bekerja.

d. Lakukan penakaran, pengenceran atau pencampuran pestisida

ditempat terbuka atau dalam ruangan dengan ventilasi dan

sirkulasi udara yang baik.


e. Gunakan sarung tangan dan wadah, alat pengaduk, serta alat

penakar khusus untuk pestisida.

f. Gunakan pestisida sesuai dengan takaran yang dianjurkan. Jangan

menggunakan pestisida dengan takaran yang berlebihan atau

kurang dari takaram seharusnya karena dapat mengurangi

keefektifannya.

g. Pastikan alat penyemprot dalam keadaan baik, bersih dan tidak

bocor.

h. Hindarkan pestisida terhirup melalui pernapasan atau terkena kulit,

mata, mulut dan pakaian

i. Jika terdapat luka di kulit, lebih baik luka tersebut ditutup terlebih

dahulu untuk menghindari resiko terkena pestisida.

j. Selama menyemprot gunakanlah alat pengaman berupa masker,

sarung tangan,sepatu boot, jaket atau baju berlengan panjang.

k. Setelah selesai menyemprot, penyemprot diharuskan mandi

menggunakan sabun dan pakaian yang telah digunakan segera

dicuci.

l. Jangan makan dan minum atau merokok pada saat melakukan

penyemprotan.

m. Alat penyemprot segera dibersihkan setelah selesai digunakan.

n. Air bekas cucian sebaiknya dibuang ke lokasi khusus pestisida

atau lokasi yang jauh dari sumber air dan sungai.


4. Tempat menyimpan pestisida

Pestisida harus selalu tersimpan dalam wadah atau bungkus aslinya

yang memuat label dan keterangan mengenai panggunaanya. Wadah

yang digunakan tidak bocor dan harus tertutup rapat, penggunaan

wadah yang tidak semestinya eperti bekas botol plastik air minum dan

wadah lainnya yang tidak diberi label pestisida dapat membahayakan

orang lain jika tidak sengaja terminum atau tumpah. Wadah pestisida

yang sudah tidak digunakan dirusak agar tidak dimanfaatkan untuk

keperluan lain dengan cara mengubur wadah tersebut jauh dari sumber

air.

2.7.2. Pencegahan Tingkat Kedua (Secondary Prevention)

Dalam penanganan keracunan pestisida penting dilakukan

untuk kasus keracunan akut dengan tujuan menyelamatkan penderita

dari kematian yang disebabkan oleh keracunan akut. Berikut dapat

dijelaskan cara penanggulangan keracunan pestisida :

1. Bila penderita tak bernafas segera beri nafas buatan.

2. Bila racun tertelan segera lakukan proses pencucian lambung

dengan air dan jika ada berikan penawar racun sesehgera mungkin.

3. Bila racun kontak dengan kulit, cuci dengan sabun dan air selama

15 menit.

4. Segera bawa penderita ke rumah sakit terdekat untuk dapat

diberikan perawatan secara medis dan segala aktivitas yang


berhubungan harus dihentikan terlebih dahulu minimal selama 2

minggu sampai penderita berangsur membaik.

2.7.3. Pencegahan Tingkat Ketiga (Tertiary Prevention)

Upaya yang dilakukan dalam pencegahan keracunan pestisida

adalah :

1. Jauhkan korban dari sumber paparan, lepaskan pakaian korban dan cuci

atau mandikan korban.

2. Jika terjadi kesulitan bernapas maka korban harus diberikan pernapasan

buatan. Korban di instruksikan agar tetap tenang, dampak serius tidak

terjadi segera dan masih ada waktu untuk menolong korban.

3. Korban segera dibawa kerumah sakit atau dokter terdekat. Berikan

informasi tentang pestisida apa yang telah memapari korban sehingga

bisa diberikan anti racun yang sesuai dengan jenis keracunan

pestisidanya.

4. Keluarga, rekan kerja, saudara atau orang lain yang berkaitan dengan

korban seharusnya diberi pengetahuan atau penyuluhan tentang pestisida

sehingga jika terjadi keracunan dapat segera diberikan pertolongan

pertama.

2.8. Tinjauan Penelitian Sebelumnya

penelitian yang dilakukan oleh Muhamad Febriansyah Akbar Ali

dalam skripsinya Faktor –Faktor Yang Berhubungan Dengan Tingkat

Keracunan Pestisida Berdasarkan Toleransi Tingkat Kolinesterase Pada

Teknisi Perusahaan Pest Control Di Jakarta Tahun 2014. Hasil penelitan ini
menunukan bahwa Kadar kholinesterase yang tidak normal dengan batasan

nilai<4600U/l pada teknisi Perusahaan Pest Control di Jakarta Tahun 2014

sebanyak1 orang dengan persentase sebesar3,1%. Gambaran petugas teknisi

pest control adalah median umur petugas 38,50 tahun dan terbanyak petugas

mempunyai pendidikan tinggi sebanyak 21orang (65,6%), pengetahuan

baik sebanyak 18 orang (56,1%),statusgizi normal sebanyak 27 orang

(84,4%),tata cara pencampuran pestisida yangbaik sebanyak 22 orang

(68,8%), frekuensi penyemprotan setiap hari sebanyak 22 orang (68,8%),

pemakaian jumlah jenis pestisidakurangdari 2 jenis sebanyak 30 orang

(93,8%) dan pemakaian alat pelindung diri yang tidak sesuai sebanyak 17

orang (53,1%). Pada variabel umur dan penggunaan Alat Pelindung Diri

(APD) didapatkan ada hubungan yang signifikan dengan kadar kolinesterase

pada petugas teknisi pest control, tetapi pada variabel lainnya didapatkan

tidak ada hubungan dengan kadar kolinesterase pada petugas teknisi

Perusahaanpestcontroldijakartatahun2014.

penelitian yang dilakukan oleh Riska Permata Sari dalam skripsinya

Gambaran Penggunaan Alat Pelindung Diri, Jumlah Jenis Pestisida Dan

Kejadian Keracunan PestisidaPada Petani Hortikultura Di Pekon Srikaton

Kecamatan Adiluwih Kabupaten Pringsewu hasil penelitian ini menunjukan

bahwa. Dari 86 jumlah sampel yang dilakukan penelitian, sebanyak 79

responden (91,9%) yang mengalami kejadian keracunan pestisida dengan

kadar kolinesterase < 75%. Dari 86 jumlah sampel yang dilakukan

penelitian, sebanyak 83 responden (96,5%) yang menggunakan APD tidak


lengkap (jumlah APD yang digunakan < 6 jenis). Dari 86 jumlah sampel

yang dilakukan penelitian, sebanyak 78 responden (90,7%) tidak

menggunakan sarung tangan dan 65 responden (75,6%) tidak menggunakan

sepatu. Dari 86 jumlah sampel yang dilakukan penelitian, sebanyak 80

responden (93 %) yang menggunakan > 1 jenis pestisida. Sebanyak 92,8%

petani yang menggunakan APD tidak lengkap dan mengalami keracunan.

Sebanyak 92,5% petani yang menggunakan > 1 jenis pestisida dan

mengalami keracunan.
2.7 Kerangka Teori

Berdasarkan penelusuran kepustakaan, dirangkum suatu kerangka teori

yang merupakan modifikasi dalam menejemen pencegahan keracunan.

Keracunan yang diukur berdasarkan keluhan subjektif yang dirasakan oleh

petani akibat pajanan pestisida di pengaruhi oleh berbagai faktor resiko baik

itu yang berasal dari luar maupun dari dalam tubuh. Kerangka teori dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut :

Penggunaan pestisida

Faktor dari luar tubuh:


1. Suhu lingkungan
2. Cara penanganan pestisida
3. Dosis pestisida
Faktor dari dalam tubuh:
4. Penggunaan APD
1. Usia 5. Jumlah jenis
2. Jenis kelamin 6. Toksisitas senyawa pestisida
3. Status gizi 7. Bentuk dan cara masuk pestisida
4. Pengetahuan, sikap, dan 8. Lama penyemprotan
praktik (tindakan) 9. Frekuensi penyemprotan
5. Tingkat pendidikan 10. Tindakan penyemprotan
pada arah angin
11. Masa kerja

Masuk melalui kulit,


pernapasan (inhalasi),
tertelan (ingesti)

Pestisida berikatan dengan enzim


kolinesterase

Penurunan aktivitas enzim kolinesterase

Kejadian keracunan pestisida

Gambar 1. Kerangka Teori


Sumber : (Sari, 2018)
2.8 Kerangka Konsep

Berdasarkan teori teori yang telah di jelaskan fiatas, maka penulis

merangkum Kerangka konsep yang diambil dari beberapa teori dengan

variable tertentu. Penelitian merupakan suatu kaitan antara konsep-konsep

atau variabel-variabel yang akan diamati atau diukur melalui penelitian.

Adapun variable variable yang digunakan dalam penelitian ini adalah gekala

keracunan pestistisida, masa kerja, jenis kelamin,arah penyemprotan, lama

kontak, frekuensi, Alat Pelindung Diri, Personal hygiene. berikut kerangka

konsep dalam penelitian ini:

1. Masa kerja
2. Jenis Kelamin
3. Arah penyemprotan Gejala keracunan pestisida
4. Frekuensi
5. Lama kontak
6. Alat pelindung diri
7. Personal hygiene

Ket ;

; Variabel Bebas

; Variabel Terikat

2.9 Hipotesis Sementara

1. H0 : ρ=0 Tidak ada hubungan antara Masa Kerja dengan Gejala

Keracunan Pestisida Pada Petani Sayur Desa Morome Kecamatan Konda

Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2021


Ha : ρ≠ 0 Ada hubungan antara Masa Kerja dengan Gejala Keracunan

Pestisida Pada Petani Sayur Desa Morome Kecamatan Konda Kabupaten

Konawe Selatan Tahun 2021

2. H0 : ρ=0 Tidak ada hubungan antara Jenis Kelamin dengan Gejala

Keracunan Pestisida Pada Petani Sayur Desa Morome Kecamatan Konda

Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2021

Ha : ρ≠0 Ada hubungan Jenis Kelamin dengan Gejala Keracunan

Pestisida Pada Petani Sayur Desa Morome Kecamatan Konda Kabupaten

Konawe Selatan Tahun 2021

3. H0 : ρ= 0 Tidak ada hubungan antara frekuensi dengan Gejala Keracunan

Pestisida Pada Petani Sayur Desa Morome Kecamatan Konda Kabupaten

Konawe Selatan Tahun 2021

Ha : ρ≠ 0 Ada hubungan antara frekuensi dengan Gejala Keracunan

Pestisida Pada Petani Sayur Desa Morome Kecamatan Konda Kabupaten

Konawe Selatan Tahun 2021

4. H0 : ρ= 0 Tidak ada hubungan antara arah penyemprotan dengan Gejala

Keracunan Pestisida Pada Petani Sayur Desa Morome Kecamatan Konda

Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2021

Ha : ρ≠ 0 Ada hubungan antara arah penyemprotan dengan Gejala

Keracunan Pestisida Pada Petani Sayur Desa Morome Kecamatan Konda

Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2021


5. H0 : ρ= 0 Tidak ada hubungan antara lama kontak dengan Gejala

Keracunan Pestisida Pada Petani Sayur Desa Morome Kecamatan Konda

Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2021

Ha : ρ≠ 0 Ada hubungan antara lama kontak dengan Gejala Keracunan

Pestisida Pada Petani Sayur Desa Morome Kecamatan Konda Kabupaten

Konawe Selatan Tahun 2021

6. H0 : ρ= 0 Tidak ada hubungan antara Alat Pelindung Diri dengan Gejala

Keracunan Pestisida Pada Petani Sayur Desa Morome Kecamatan Konda

Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2021

Ha : ρ≠ 0 Ada hubungan antara Alat Pelindung Diri dengan Gejala

Keracunan Pestisida Pada Petani Sayur Desa Morome Kecamatan Konda

Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2021

7. H0 : ρ= 0 Tidak ada hubungan antara Personal hygiene dengan Gejala

Keracunan Pestisida Pada Petani Sayur Desa Morome Kecamatan Konda

Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2021

Ha : ρ≠ 0 Ada hubungan antara Personal hygiene dengan Gejala

Keracunan Pestisida Pada Petani Sayur Desa Morome Kecamatan Konda

Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2021


BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan

desain cross sectional. Desain cross sectional merupakan penelitian yang

bertujuan untuk mengetahui hubungan atau pengaruh variabel bebas, dimana

data yang menyangkut kedua variabel akan dikumpulkan dalam waktu yang

bersamaan.

3.2 Lokasi Dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Morome Kecamatan Konda

Kabupaten Konawe Selatan pada bulan Juni 2021 sampai selesai.

3.3 Populasi Dan Sampel

3.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh petani sayur yang berada

di Desa Morome Kecamatan Konda Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2021

yang berjumlah 190 petani.

3.3.2 Sampel

Jumlah petani adalah 190 petani. Maka peneliti menggunakan rumus

slovin agar penelitian dapat lebih mudah. Untuk lebih jelasnya rumus slovin

yang dikemukakan oleh Husein Umar (2013) yaitu :

N
n=
1 + N (e) ²
Dimana :

n = Besar Sampel yang di butuhkan

N = Besar Populasi

e = Tingkat ketepatan (0,05)

190
n=
1 + 190 (0,05)²

190
n=
1,475

n=128 , 81dibulatkan menjadi 129

Jadi, jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 129 petani dari

jumlah populasi sebanyak 190 petani. Dalam menentukan sampel populasi

disini peneliti menggunakan tekhnik simple random sampling. Simple random

sampling adalah pengambilan anggota sampel dari populasi yang dilakukan

secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam populasi itu.

3.4 Variabel Penelitian

3.4.1 Variabel Bebas

Variabel bebas (Independent Variabel) dalam penelitian ini adalah

masa kerja, jenis kelamin, arah penyemprotan, frekuensi, lama kontak, alat

pelindung diri, Personal Hygiene Pada Petani Sayur Desa Morome

Kecamatan Konda Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2021.

3.4.2 Variabel Terikat

Variabel terikat (dependent variabel) dalam penelitian ini adalah

gejala keracunan pestisida pada petani sayur Desa Morome Kecamatan Konda

Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2021.


3.5 Instrumen Penelitian

1. Adapun instrumen pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini

adalah: Kuisioner yang berisi tentang pertanyaan karakteristik responden,

2. Kamera atau handphone berkamera untuk mendokumentasikan proses

penelitian.

3. Alat ulis dan komputer yaitu alat yang digunakan untuk mengolah data

yang diperoleh serta yang digunakan dalam penyusunan laporan

penelitian.

3.6 Definisi Operasional dan Kriteria Objektif

3.6.1 Gejala Keracunan Pestisida

Gejala keracunan pestisida adalah masuknya atau kontak yang berlebihan

dengan pestisidandan di tandai dengan tanda tanda yang khas pada petani selama

menggunakan pestisida. (Ginting 2010.

Kriteria objektifnya yaitu :

a. Mengalami : jika terdapat gejala keracunan Pestisida (kulit gatal-gatal,

mual/muntah, sakit kepala/ pusing, mata berair/perih, dan keluar banyak

keringat/ keringat berlebih) pada saat mencampur, menyemprot dan setelah

menyemprot menggunsakan pestisida.

b. tidak mengalami : jika tidak terdapat salah satu gejala keracunan peastisida

di atas.

3.6.2 Masa Kerja

Masa kerja adalah suatu kurun waktu atau lamanya tenaga kerja itu bekerja

di suatu tempat.
Kriteria objektifnya :

a. Masa kerja lama : ≥ 5 tahun

b. Masa kerja baru : < 5 Tahun

(Nurillah, 2020).

3.6.3 Jenis Kelamin

Identitas yang dibedakan secara fisik berdasarkan organ genitlia eksternal.

Kriteria objektifnya :

a. Laki - laki

b. Perempuan

3.6.4 Arah Penyemprotan

Posisi yang dilakukan pada saat penyemprotan pestisida

Kriteria objektifnya ;

a. Tidak baik : penyemprotan yang dilakukan tidak searah dengan arah

angin

b. Baik : penyemprotan yang dilakukan searah dengan arah angin.

3.6.5 Frekuensi

Seberapa sering petani melakukan penyemprotan pestisida dalam

seminggu.

Kriteria objektifnya ;

a. Tidak Baik : > 2 kali/seminggu

b. Baik : ≤ 2 kali/seminggu

(Setiadi, 2015)
3.6.6 Lama Kontak

Lamanya petani kontak dengan pestisida sewaktu menyemprot sayuran

dalam satu hari.

Kriteria objektifnya ;

a. Buruk : > 5 jam/hari

b. Baik : ≤ 5 jam/hari

(Setiadi, 2015)

3.6.7 APD (Alat Pelindung Diri)

Seluruh alat yang dapat di gunakan oleh petani saat melakukan

penyemprotan pestisida seperti penutup kepala, masker, kaca mata, baju/celana

lengan panjang, sarung tangan, dan juga sepatu boot sehingga dapat melindungi

atau mencegah tubuhnya dari kontak pestisida secara langsung.

Kriteria objektifnya ;

a. Tidak lengkap : jika petani tidak menggunakan salah satu atau lebih dari

6 APD yang di sebutkan di atas

b. lengkap : jika petani mengguakan APD seperti penutup kepala, masker,

baju lengan panjang, sarung tangan, celana panjang dan juga sepatu boot

dalam bekerja.

(Setiadi, 2015)

3.6.8 Personal Higiene

Upaya yang dilakukan oleh individu untuk menjaga kebersihan pribadi

serta alat- alat untuk pestisida agar terhindar dari paparan dan juga penyakit

akibat kerja.
Kriteria objektifnya ;

a. Buruk : jika skor responden mencapai 1 sampai 4 atau ≤ 50 %

b. Baik : jika skor responden mencapai 5 sampai 8 atau > 50%.

(Setiadi, 2015)

3.7 Metode Pengumpulan Data

3.7.1 Data Primer

Data primer yaitu data yang diperoleh dari hasil penelitian berupa data

hasil kuisioner dan lembar observasi.

3.7.2 Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari data yang didapat dari

kepala desa dan data yang bersumber dari hasil penelitian orang lain, buku,

laporan, jurnal dan referensi lain yang berkaitan dengan tempat penelitian dan

karakteristik responden.

3.8 Analisis Dan Penyajian Data

3.8.1 Analisis Data

a. Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan untuk mengetahui distribusi dan frekuensi

dari masing-masing variabel yang diteliti baik independent variabel

maupun dependent variable

b. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara dependent

variabel menggunakan uji Chi-square.

3.8 Penyajian Data

Setelah dilakukan penginputan dan pengolahan data, selanjutnya

dilakukan analisis data kemudian disajikan dalam bentuk tabel dan narasi.
DAFTAR PUSTAKA

Alavanja, M. C. R. (2017). United Nations Environment Programme, 2017.


Reviews on Environmental Health, 24(4), 303–309.
https://doi.org/10.1515/REVEH.2009.24.4.303

ALI, M. F. A. (2015). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Tingkat


Keracunan Pestisida Berdasarkan Toleransi Tingkat Kolinesterase Teknisi
Perusaan Pest Control Di Jakarta Tahun 2014.

Amalia, M. E. (2019). Faktor Risiko Yang Berhubungan Dengan Kejadian


Keracunan Pestisida Pada Petani Di Kabupaten Semarang (Studi Kasus di
Desa Kadirejo Kecamatan Pabelan Dan Desa Pakis Kecamatan Bringin).

Badan Pusat Statistik. (2016). Kabupaten KONAWE SELATAN.

Farid, A., Pratiwi, A., & Fitri, A. D. A. (2019). Hubungan Karakteristik Petani
Terhadap Persepsi Penerapan K3 (Keselamatan Dan Kesehatan Kerja) Pada
Petani Kecamatan Wonosalam Kabupaten Jombang Provinsi Jawa Timur.
Sosiologi Pedesaan, 3, 152---158.

Faris Khamdani. (2009). Hubungan Antara Pengetahuan dan Sikap dengan


Pemakaian Alat Pelindung Diri Pestisida Semprot Pada Petani Di Desa
Angkatan Kidul Pati Tahun 2009. In Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kesehatan
Masyarakat Unsyiah (Vol. 2, Issue 6).

Kaligis, J., Pinontoan, O., & Kawatu, P. A. T. (2015). Hubungan Pengetahuan,


Sikap, Dan Masa Kerja Dengan Penggunaan Alat Pelindung Diri Petani Saat
Penyemprotan Pestisida Di Kelurahan Rurukan Kecamatan Tomohon Timur.
KESMAS - Jurnal Kesehatan Masyarakat, 2(1), 119–127.

Kando, B., Farizal, J., & Susiwati. (2017). Gambaran Kadar Enzim Cholinesterase
pada Wanita Usia Subur (WUS) yang Aktif Membantu Aktivitas Pertanian di
Kecamatan Sukaraja Kabupaten Seluma Tahun 2017. Nursing and Pubic
Health, 5(1), 22–26.

Merah, P. B. (2013). Faktor Risiko Cholinesterase Rendah Pada Petani Bawang


Merah. KESMAS - Jurnal Kesehatan Masyarakat, 8(2), 198–206.
https://doi.org/10.15294/kemas.v8i2.2822

Nurillah, G. K. (2020). Hubungan Kadar Kolinesterase Terhadap Kadar


Hemoglobin Pada Petani Terpapar Pestisida Organofosfat Dan Karbamat
Di Kabupaten Jember.
Okvitasari, R., & Anwar, C. (2016). Anemia Pada Petani Kentang Di Gabungan
Kelompok Tani Al-Farruq Desa Patak Banteng Kecamatan Kejajar. 299–
310.

Osang, A. R., Lampus, B. S., & Wuntu, A. D. (2016). Hubungan Antara Masa
Kerja Dan Arah Angin Dengan Kadar Kolinesterase Darah Pada Petani Padi
Pengguna Pestisida Di Desa Pangian Tengah Kecamatan Passi Timur
Kabupaten Bolaang Mongondow. Pharmacon, 5(2), 151–157.
https://doi.org/10.35799/pha.5.2016.12183

Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia. (2010).


Nomor PER.16/MEN/XI/2010 Tentang Tenaga Kerja Makro.

Prahayuni, arika putri. (2018). hubungan personal higiene dan penggunaan APD
dengan kejadian dermatitis pada petani padi didesa kebon sari kecamatan
kebon sari kebupaten madiun tahun 2018. https://doi.org/10.1063/1.4914609

Raini, M. (2007). Toksikologi Pestisida Dan Penanganan Akibat Keracunan


Pestisida. Media of Health Research and Development, 17(3), 1–9.
https://doi.org/10.22435/mpk.v17i3Sept.815.

Runia, yodenca assti. (2008). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan


Keracunan Pestisida Organofosfat, Karbamat Dan Kejadian Anemia Pada
Petani Hortikultura Di Desa Tejosari Kecamatan Ngablak Kabupaten
Magelang.

Samosir, K., Setiani, O., & Nurjazuli, N. (2017). Hubungan Pajanan Pestisida
dengan Gangguan Keseimbangan Tubuh Petani Hortikultura di Kecamatan
Ngablak Kabupaten Magelang. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia,
16(2), 63–69. https://doi.org/10.14710/jkli.16.2.63-69

Sari, R. P. (2018). Gambaran Penggunaan Alat Pelindung Diri, Jumlah Jenis


Pestisida Dan Kejadian Keracunan Pestisida Pada Petani Hortikultura Di
Pekon Srikaton Kecamatan Adiluwih Kabupaten Pringsewu (Vol. 53, Issue
9).

Sentra Informasi Keracunan Nasional 2016. (2016). 1, 2016.

Setiadi, D. (2015). Dedi Setiadi.pdf.

Suhartono. (2014). Dampak Pestisida terhadap Kesehatan. Prosiding Seminar


Nasional Pertanian Organik, 15–23.

Suparti, S., Anies, & Setiani, O. (2016). Beberapa Faktor Risiko Yang
Berpengaruh Terhadap Kejadian Keracunan Pestisida Pada Petani. Jurnal
Kesehatan Pena Medika, 6(2), 125–138.
https://jurnal.unikal.ac.id/index.php/medika/article/download/397/355

Yuantari, M. G. C., Widiarnako, B., & Sunoko, H. R. (2013). Tingkat


Pengetahuan Petani dalam Menggunakan Pestisida ( Studi Kasus di Desa
Curut Kecamatan Penawangan Kabupaten Grobogan ). Seminar Nasional
Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan 2013, 142–148.
LAMPIRAN 1

SURAT PERNYATAAN BERSEDIA MENJADI RESPONDEN

(INFORMED CONSENT)

Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama :

Umur :

Alamat :

No.telepon/HP :

Bersedia secara sukarela untuk menjadi responden dalam penelitian yang

berjudul “Faktor Yang Berhubungan Dengan Gejala Keracunan Pestisida Pada

Petani Sayur Di Desa Morome Kecamatan Konda Kebupaten Konawe Selatan

Tahun 2021” dan saya bersedia untuk ikut aktif membantu demi kelancaran

penelitian ini sampai selesai.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan tanpa

adanya paksaan dari pihak manapun.

Morome, Maret 2022

Responden
LAMPIRAN

KUESIONER PENELITIAN

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN GEJAA KERACUNAN


PESTISIDA PADA PETANI SAYUR DIDESA MOROM KECAMATAN
KONDA KEBUPATEN KONAWE SEATAN
TAHUN 2021

A. Identitas Responden
1. Nama :
2. Umur :
3. Pendidikan :
a. SD
b. SLTP/SMP
c. SLTA/SMA
d. Akademi/Perguruan tinggi

B. Keracunan Pestisida
1) Apakah anda mengunakan pestisida untuk tanaman?
A. Ya B. Tidak
2) Apakah and mengalamai gejala seperti dibaah ini selama
melakukan kontak dengan pestisida ?
A. Ya B. Tidak

Jika Ya, sebutkan :


1. Kulit gatal-gatal (iritasi kulit ringan)
2. Mual/ muntah
3. Sakit kepala
4. Pusing
5. Mudah lelah
6. Sakit dada atau badan sakit
7. Mata perih/ berair
8. Keluar banyak keringat

3) Jika anda mengalami gejala seperti diatas apakah anda


mengkonsumsi air kelapa?
A. Ya B. Tidak

Jika Ya, berapa kali seminggu anda mengkonsumsi air kelapa ?

C. Masa Kerja

1). Masa Kerja lama : ≥ 5 Tahun


2). Masa Kerja Baru : ≤ 5 Tahun

D. Arah Penyemprotan

Pertanyaan tentang arah penyemprotan berdasarkan arah angin (dilakukan


dengan observasi).
Posisi penyemprotan :
A. Sesuai dengan arah angin
B. Berlawanan dengan arah angin

E. Frequensi
Apakah bapak sering melaukan penyemprotan pestisida dengan frekuensi
lebih dari 2 kali seminggu?
A. Ya B. Tidak

F. Jenis kelamin
1) Laki-laki
2) Perempuan

G. Lama Kontak
Apakah bapak sering melakukan penyemrotan pestisida dengan lama kerja
lebih dari 5 jam ?
A. Ya B. Tidak
H. Alat Pelindung Diri (APD)
Lembar observasi penggunaan alat pelindung diri (APD) pada
petani sayur didesa morome kecamatan konda kebupaten konae
selatan tahun 2021.

No. Alat Pelindung Diri(APD) yang di Ya Tidak


gunakan petani
1. Masker
2. Pelindung kepala
3. Kaca mata
4. Baju lengan panjang
5. Celana panjang
6. Sarung tangan
7. Sepatu boot

I. Personal Higiene
1) Apakah di rumah bapak mempunyai tempat khusus untuk menyimpan
pestisida dan alat semprot ?
A. Ya B.Tidak
2) Apakah saat mencampur pestisida bapak menggunakan peralatan khusus ?
A.Ya B. Tidak
3) Apakah setelah melakukan penyemprotan bapak langsung membersihkan
diri?
A. Ya B.Tidak
4) Apakah setiap selesai menyemprot pestisida bapak selalu mencuci tangan
dengan sabun?
A.Ya B.Tidak
5) Bila pakaian bapak terkena tumbahan pestisida , apakah tetap digunakan?
A.Ya B.Tidak
6) Apakah pakaian yang bapak gunakana setelah menyemprot dicuci disumur
(bukan pada air mengalir) ?
A.Ya B.Tidak
7) Setiap kali selesai menyemprot apakah bappak selalu membersihkan
peralatan bukan pada air mengalir?
A.Ya B.Tidak
8) Apakah baak membuang sisa kemasan pestisid di sekitar rumah atau
kebun ?
A.Ya B.Tidak

Anda mungkin juga menyukai