net/publication/364813218
CITATIONS READS
0 1,621
2 authors, including:
Aris Buntoro
University of National Development "Veteran" Yogyakarta
23 PUBLICATIONS 27 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
Fracability Model of Brownshale Based on Correlation of Drill Cuttings and Well Log Analysis View project
All content following this page was uploaded by Aris Buntoro on 28 October 2022.
Disusun Oleh :
Aris Buntoro
KATA PENGANTAR
Aris Buntoro
iii
Kupersembahkan untuk
Tituk istriku, Ninggar dan Danan anakku
yang menjadi penyemangat hidupku
iv
BIODATA
Aris Buntoro adalah staf pengajar pada Jurusan Teknik
Perminyakan, Fakultas Teknologi Mineral, Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta. Lulus
Sarjana Teknik Perminyakan (S-1) dari Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta dan lulus
Program Pasca Sarjana (S-2) dalam bidang Teknik Perminyakan dari Institut
Teknologi Bandung.
Aris Buntoro adalah senior consultant dalam industri migas dan panasbumi,
antara lain untuk pekerjaan : Penyusunan SOP Drilling Migas & Panasbumi,
Studi Geomekanik & Analisa XRD untuk Stabilitas Lubang Bor, Studi Shale
Problem Pada Operasi Pemboran, Investigasi Problem Pemboran dan
Penyelesaiannnya, Plan of Development (POD) Lapangan Migas, Studi
Geophysics-Geology-Reservoir (GGR) Lapangan Migas, Studi Optimasi
Produksi Lapangan Migas, Studi Revitalisasi Data Sebagai Dasar Dalam
Rencana Kerja Reparasi, Reopening, Stimulasi, Fracturing Dan Optimasi
Lifting Lapangan Migas, Studi Jaringan Pipa Penyalur Dan Surface Facilities
Lapangan Migas, dan Inspeksi Terpadu Fasilitas Produksi Lapangan Migas.
Aris Buntoro juga menjadi instruktur baik public maupun in-house training,
antara lain : Introduction to Material Knowledge in Oil & Gas Industry, Basic
Production Operation, Introduction to Petroleum Engineering, Basic Drilling
Engineering, Directional & Horizontal Drilling Technology and Its Aplications,
Mud Design and Problem Solving, Optimasi Artificial Lift Sumur Minyak,
Well Completions - Workover and Well Stimulation, dan topik yang lainnya
sesuai dengan kebutuhan user.
Aris Buntoro adalah Ketua IATMI Komda DIY & Jateng untuk Periode 2004 –
2006, dan juga menjadi anggota asosiasi profesi IPA, INAGA, dan SPE.
v
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ii
BIODATA PENULIS iv
DAFTAR ISI v
3.1. CLAY 53
3.2. MEKANISME HIDRASI CLAY 55
3.3. PENGARUH VARIASI pH 58
REFERENSI 123
1
Bab 1
LUMPUR PEMBORAN
Serbuk bor yang dihasilkan pada waktu operasi pemboran harus segera
diangkat ke permukaan agar tidak terjadi penumpukan serbuk bor di dasar lubang.
Kapasitas pengangkatan serbuk bor tergantung dari beberapa faktor, antara lain :
kecepatan aliran di anulus, viskositas plastik, yield point lumpur pemboran dan
slip velocity dari serbuk bor yang dihasilkan.
Secara umum, resultan kecepatan (atau kecepatan pengangkatan) serbuk
bor adalah merupakan perbedaan antara kecepatan di anulus, Vr, dan slip velocity,
Vs. Dengan menggunakan power-law model, slip velocity serbuk bor dapat
dihitung dengan persamaan :
2
175D p ( p m ) 0,667
Vs ft / menit .......................................(1-1)
0m,333 0e ,333
dimana ;
Dp = diameter partikel, in
p = densitas partikel, lb/gal
m = densitas lumpur, lb/gal
e = viskositas lumpur efektif (lihat pada sub-bab rheologi)
15,2 Dp ( p m ) 0,667
Vs m / det ..........................................(1-2)
0m,333 0e ,333
V = V r - Vs ............................................(1-3)
Lumpur pemboran juga harus mampu menahan serbuk bor dalam suspensi
ketika sirkulasi dihentikan, sehingga dapat mencegah terakumulasinya serbuk bor
di dasar lubang bor yang dapat menyebabkan pipa terjepit (pipe stuck).
menyerap panas dan melepaskannya, melalui proses konveksi dan radiasi, pada
udara di sekitar mud pit. Lumpur pemboran juga dapat melumasi pahat dan
drillstring dengan menurunkan friksi drillstring dan pahat dengan formasi yang
ditembus. Untuk mendapatkan pelumasan yang lebih baik pada umumnya dapat
ditambahkan sedikit minyak kedalam lumpur.
Sifat fisik dan kimia lumpur pemboran berpengaruh terhadap program well
logging. Pada saat tertentu diperlukan informasi tentang kandungan hidrokarbon,
batas air-minyak, dan lainnya untuk korelasi, maka dilakukan well logging, yaitu
memasukkan sonde/alat kedalam sumur, misalnya log listrik, maka diperlukan
media penghantar, dalam hal ini lumpur merupakan penghantar listrik. Sebagai
contoh, lumpur dengan kadar garam yang tinggi akan menghambat pengukuran
spontaneous potensial (SP) karena konsentrasi garam dari lumpur dan formasi
hampir sama. Disamping itu, oil mud akan menghambat resistivitas karena minyak
akan bertindak sebagai insulator dan dapat mencegah terjadinya aliran listrik. Oleh
karena itu, pemilihan lumpur pemboran harus sesuai dengan program evaluasi
formasi.
Pada lubang bor sering dijumpai adanya problem stabilitas yang disebabkan
oleh fenomena geologi, seperti zona rekahan, formasi lepas, hidrasi clay, dan
tekanan tinggi. Lumpur pemboran harus mampu mengontrol problem-problem
tersebut, sehingga lubang bor tetap terbuka dan proses pemboran dapat terus
dilanjutkan. Perencanaan sistem lumpur untuk menjaga stabilitas lubang bor
sering digunakan sebagai basis untuk pemilihan jenis dan sifat lumpur.
Secara umum lumpur pemboran terdiri dari tiga komponen atau fasa
pembentuk sebagai berikut :
1. Fasa cair (air atau minyak)
2. Fasa padat ( reactive solids dan inert solids)
3. Bahan kimia (additive)
Secara umum komposisi lumpur pemboran dapat dilihat pada Tabel 1-1.
Tabel 1-1
Komposisi Lumpur Pemboran
Solids
Liquids Water Based Oil Based
Fresh water Low gravity - S.G. = 2.5 Low gravity
Salt water Non reactive solids : sand, Amine-treated clays, asphalt,
Oil chert, limestone, some shales gilsonite - S.G. = 1.1
Mixtures of these fluids
Reactive solids : clays High gravity
High gravity Barite
Barite - S.G. = 4.2 Iron ore
Iron ore - S.G. = 4.7 - 5.1
Fasa cair lumpur pemboran pada umumnya dapat berupa air, minyak, atau
campuran air dan minyak. Air dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu air tawar
dan air asin. Air asin juga dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu air asin tidak
jenuh dan air asin jenuh. Sekitar 75% lumpur pemboran menggunakan air, karena
mudah didapat, murah, mudah dikontrol jika terdapat padatan-padatan (solid
content) dan merupakan fluida yang paling baik sebagai media penilaian formasi.
Istilah oil-base muds digunakan jika kandungan minyaknya lebih besar dari 95%.
Sedangkan emulsion muds mempunyai komposisi minyak 50 -70% (sebagai fasa
kontinyu) dan air 30 - 50% (sebagai fasa diskontinyu).
5
Fasa padat dibagi dalam dua kelompok, yaitu padatan dengan berat jenis
rendah dan padatan dengan berat jenis tinggi. Padatan berat jenis rendah dibagi
menjadi dua, yaitu Reactive solid dan Non-reactive solid (inert solid).
.
1.2.2.1. Reactive Solid
Reactive solid adalah clay, merupakan padatan yang dapat bereaksi dengan
air, membentuk koloid. Clay dapat didefinisikan sebagai berikut :
o Padatan dengan diameter kurang dari 2
o Partikel yang bermuatan listrik dan mampu menyerap air
o Material yang dapat mengembang (swelling) jika menyerap air
Non-reactive solid (inert solid) merupakan zat padat yang tidak bereaksi.
Non-reactive solid meliputi padatan-padatan dengan berat jenis rendah (low-
gravity) dan berat jenis tinggi (high-gravity). Padatan low-gravity meliputi : pasir,
chert, limestone, dolomite, berbagai macam shale, dan campuran dari berbagai
macam mineral. Padatan-padatan ini dapat berasal dari formasi yang dibor dan
terbawa oleh lumpur, dan biasanya mempunyai ukuran lebih besar dari 15 mikron,
dan bersifat abrasif, sehingga dapat merusak peralatan sirkulasi lumpur, seperti
liner pompa, oleh karena itu padatan tersebut harus segera dibuang. Menurut
Klasifikasi API, pasir adalah setiap padatan yang berukuran lebih besar dari 74
mikron; meskipun demikian setiap padatan yang berukuran lebih kecil dari pasir
juga dapat merusak peralatan.
Padatan dengan berat jenis tinggi (high-gravity solid) ditambahkan ke
dalam lumpur untuk menaikkan densitas. Padatan tersebut biasanya disebut
sebagai material pemberat (weighting material), dan lumpur pemboran yang
mengandung padatan tersebut disebut sebagai “lumpur berat”. Ada beberapa jenis
high-gravity solid yang pada saat ini banyak digunakan, yaitu :
6
o Barite (atau barium sulfat, BaSO4) yang mempunyai spesific gravity 4,2 dan
digunakan untuk membuat lumpur dengan berat jenis sampai 10 ppg (1,19
kg/l). Barite lebih banyak digunakan dibanding dengan bahan pemberat yang
lain, karena harganya murah dan tingkat kemurniannya cukup baik.
o Lead sulphide, seperti galena yang digunakan sebagai material pemberat
karena specific gravity-nya tinggi, yaitu antara 6,5 sampai 7, dan dapat
menghasilkan densitas lumpur sampai 35 ppg (4,16 kg/l).
o Bijih besi, mempunyai specific gravity 5, tetapi lebih erosif dibanding dengan
bahan pemberat lainnya. Selain itu, bijih besi juga mengandung bahan-bahan
yang beracun.
Ada tiga sifat fisik lumpur terpenting yang dikontrol pada setiap operasi
pemboran sumur migas maupun panasbumi. Ketiga sifat fisik lumpur tersebut
adalah :
1) Densitas
2) Rheologi (sifat aliran)
3) Filtration loss
1.3.1. Densitas
dimana ;
Ph = Tekanan hidrostatik, psi.
= densitas, lb/gal
TVD = true vertical depth (kedalaman vertikal), ft.
Sistem lumpur dapat bertambah beratnya dari formasi yang dibor jika peralatan
pengontrol padatan tidak dapat berfungsi dengan baik. Padatan ini biasanya dapat
menyebabkan naiknya berat lumpur tanpa disengaja, sehingga menyebabkan
problem pemboran. Beberapa produk telah terbukti berhasil baik digunakan untuk
mengontrol densitas lumpur seperti ditunjukkan pada Tabel 1-2.
Tabel 1-2
Material-material pemberat
Viskositas adalah sifat fisik yang mengontrol besarnya shear stress akibat
adanya pergeseran antar lapisan fluida. Oleh karena itu, viskositas adalah
merupakan ukuran gesekan antara perlapisan-perlapisan fluida yang dapat
menggambarkan kekentalan dari suatu fluida.
Karena viskositas dipengaruhi oleh kecepatan dan pola aliran fluida, baik
laminar maupun turbulen, maka besarnya viskositas absolut atau efektif sukar
diukur. Dalam teknik pemboran hanya perubahan-perubahan kecepatan di anulus
yang diperhatikan, seperti perubahan arah mempengaruhi pengangkatan serbuk
bor dan kehilangan tekanan di anulus, yang pada gilirannya akan mempengaruhi
tekanan hidrostatik lumpur.
Dalam lumpur pemboran, persen volume padatan untuk suatu berat lumpur
tertentu tergantung dari specific gravity padatan. Padatan pada persen volume
tertentu, viskositas sangat berkebalikan dengan ukuran rata-rata partikel padatan
dalam lumpur yang berhubungan dengan bentuk partikel, viskositas lumpur akan
menjadi rendah jika partikelnya berbentuk bulat. Gaya tarik antara partikel-partikel
padatan ditunjukkan oleh clay. Clay juga menarik air (hydrate), atau dapat
ditreatment untuk menarik minyak. Gaya tarik terbesar dapat diperoleh dari
berbagai macam polimer yang merupakan pembangun viskositas.
Persamaan-persamaan telah dikembangkan untuk mengukur harga-harga
plastic viscosity, yield point dan gel strength untuk menghitung kehilangan
tekanan dalam drill pipe dan annulus, dan untuk memperkirakan slip velocity
cutting.
Viskositas fluida pemboran merupakan fungsi dari beberapa faktor, yaitu :
o Viskositas fasa cair
o Volume padatan dalam lumpur
o Volume fluida yang terdispersi (emulsi)
o Jumlah partikel per satuan volume lumpur
o Bentuk partikel padatan
o Gaya tarik (atau gaya tolak) antara partikel-partikel padatan, dan antara fasa
padat dengan fasa fluida.
Fasa fluida lumpur pemboran adalah air, minyak dan udara. Viskositas air
bervariasi terhadap temperatur, dan konsentrasi berbagai bahan yang terlarut di
dalam air, berbagai viskositas minyak yang digunakan dalam lumpur pemboran,
dan viskositas minyak bervariasi terhadap temperatur dan tekanan.
Viskositas menunjukkan kekentalan lumpur dalam aliran, dan gel strength
menunjukkan kekentalan lumpur dalam kondisi diam pada periode waktu tertentu.
Secara ilmiah, viskositas adalah suatu konstanta antara shear stress dan shear rate
untuk fluida Newtonian dalam aliran laminar. Maka, karena konstan, shear rate
tidak mempunyai pengaruh terhadap viskositas. Hal ini berlaku untuk fluida
9
Newtonian, seperti air, tetapi tidak berlaku untuk lumpur pemboran. Untuk fluida
pemboran perbandingan antara shear stress dan shear rate berkurang dengan
naiknya shear rate. Hal ini berarti bahwa viskositas telah berubah.
Metoda-metoda pegukuran viskositas lumpur adalah sebagai berikut :
o Marsh Funnel. Merupakan metoda pertama yang digunakan untuk
menentukan viskositas. Pengukuran dilakukan dengan membandingkan waktu
yang diperlukan untuk satu quart lumpur keluar dari funnel terhadap waktu
yang diperlukan untuk satu quart air. Satu quart air keluar dari funnel dalam
waktu 26.5 detik. Waktu relatif yang diperlukan oleh satu quart lumpur
menunjukkan viskositas lumpur.
o Rotating Viscometer. Ada beberapa model rotating viscometer. Model
lapangan biasanya merupakan tipe untuk temperatur normal, yang dioperasikan
hanya pada dua kecepatan, yaitu 300 dan 600 rpm. Kecepatan 300 rpm
merepresentasikan shear rate 511 detik-1, dan kecepatan 600 rpm
merepresentasikan shear rate 1.022 detik-1. Selain itu ada juga model rotating
viscometer dengan enam-kecepatan, yang dirancang untuk kecepatanan 3, 6,
100, 200, 300 dan 600 rpm. Disamping normal-temperature rotating
viscometer, ada juga jenis high-temperature rotating viscometer yang
digunakan di laboratorium. Model high-temperature dapat digunakan untuk
menguji lumpur pada temperatur tinggi. Banyak penelitian yang dilakukan oleh
Annis dengan menggunakan high-temperature rotating viscometer. Model
high-temperature ini merupakan metoda yang cepat untuk menguji sifat-sifat
lumpur pada kondisi lapangan. Temperatur maksimum 5000F dan tekanan
maksimum 3.000 psi dapat dikondisikan pada viscometer ini.
Newtonian s ....................................(1-5)
Power law k s ( s ) n
s
.......................................(1-7)
Gambar 1-1. Diagram shear stress vs shear rate untuk fluida Newtonian
12
Gambar 1-2. Diagram shear stress vs shear rate untuk fluida non-Newtonian
Filtration loss adalah kehilangan sebagaian dari fasa cair (filtrat) lumpur
masuk kedalam formasi permeabel. Pengukurannya dilakukan dengan standard
filter press, dimana lumpur ditempatkan pada selinder yang dasarnya dipasang
kertas saring, dan bagian atas tabung diberikan tekanan udara/gas. Selanjutnya
volume filtrat lumpur dan tebal mud cake dicatat. API filtration rate (statik) adalah
volume (cc) filtrat/30menit pada tekanan 100 psig. Ketebalan mud cake biasanya
diukur dalam satuan 1/32 inch.
Filtration loss yang terlalu besar berpengaruh jelek terhadap formasi
maupun lumpurnya sendiri, karena dapat menyebabkan terjadinya formation
damage (pengurangan permeabilitas efektif terhadap minyak/gas) dan lumpur akan
kehilangan banyak cairan. Mud cake sebaiknya tipis agar tidak memperkecil
lubang bor (pressure loss akan naik, pressure surges/swabbing akan membesar).
Fresh water muds adalah lumpur yang fasa cairnya berupa air tawar dengan
kadar gram yang kecil (kurang dari 10000 ppm = 1% berat garam).
Spud mud digunakan untuk membor formasi bagian atas yang selanjutnya
dipasang conductor casing. Fungsi utamanya adalah mengangkat cutting dan
membuka lubang bor di permukaan (formasi atas). Volume yang diperlukan
biasanya sedikit dan dapat dibuat dari air dan bentonit (yield 100 bbl/ton) atau clay
air tawar yang lain (yield 35 - 50 bbl/ton). Tambahan bentonit atau clay perlu
dilakukan untuk menaikkan viskositas dan gel strength jika membor zona-zona
loss. Kadang-kadang diperlukan loss circulation material dan densitasnya harus
kecil.
Meliputi sebagian besar dari tipe-tipe lumpur air tawar. Bentonit adalah
material yang paling umum digunakan untuk membuat koloid anorganik untuk
mengurangi flitrat loss dan mengurangi tebal mud cake> Bentonit juga dapat
menaikkan viskositas dan gel yang dikontrol dengan thinner.
Warna merah lumpur tersebut diperoleh dari treatment dengan caustic soda
dan quebracho (warna merah tua). Istilah ini tetap digunakan meskipun pada saat
ini koloid-koloid yang digunakan mungkin menyebabkan warna abu-abu
kehitaman. Umumnya istilah ini digunakan untuk lignin tertentu dan humic thinner
selain untuk tannin diatas. Salah satu jenis lain dari lumpur ini adalah alkaline
tannate treatment dengan penambahan polyphosphate untuk lumpur dengan pH
dibawah 10. Perbandingan alkaline, organic, dan polyphospahte diatur sesuai
dengan keperluan. Alkaline tannate treated mud pH-nya bervariasi antara 8 - 13.
Alkaline tannate dengan pH kurang dari 10 sangat sensitif terhadap flokulasi,
karena kontaminasi garam. Dengan naiknya pH, maka flokulasi lebih sukar terjadi.
Untuk pH lebih dari 11.5 pregelatized strach dapat digunakan tanpa resiko bahaya
fermentasi.
Lumpur ini ditreated dengan caustic soda atau organic thinner, hydrate lime
dan untuk mendapatkan filtrat loss yang rendah ditambahkan suatu koloid
organik. Treatment ini menghasilkan lumpur dengan pH 11.8 atau lebih.
Lumpur ini menghasilkan viskositas dan gel strength yang rendah,
memberikan suspensi yang baik bagi material-material pemberat, mudah
dikontrol pada densitas sampai 20 ppg, mempunyai toleransi yang baik
terhadap konsentrasi garam (penyebab flokulasi) yang relatif besar.
Keuntungan lumpur ini terutama adalah kemampuannya untuk membawa
16
konsentrasi padatan clay dalam jumlah besar pada viskositas rendah dibanding
dengan jenis-jenis lumpur lainnya. Meskipun lumpur ini memadat pada
temperatur tinggi, tetapi lumpur ini cocok digunakan pada pemboran dalam
dan untuk mendapatkan densitas yang tinggi. Uji laboratorium dapat dilakukan
untuk menentukan tendensi pemadatan, dan dengan penambahan aditif
tertentu, pemadatan dapat dihalangai untuk sementara waktu, sehingga
memberikan kesempatan pemboran terus berlangsung. Lumpur lime treated
mud yang bertendensi memadat tidak boleh tertinggal dalam casing, tubing
dan annulus pada saat well completion berlangsung. Dari hasil penelitian
lumpur lime treated ini dihasilkan variasi-variasi lumpur yang sukar memadat,
sehingga lumpur ini dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu : “lime mud” dan
“low lime mud”, yang dibedakan oleh jumlah excess lime-nya. “Lime mud”
umumnya mengandung konsentrasi caustic soda dengan lime yang tinggi,
dengan excess lime bervariasi antara 5 - 8 lb/bbl, sedangkan “low lime mud”
mengandung caustic soda dan lime lebih sedikit, dengan excess lime 2 - 4
lb/bbl.
Lumpur ini berguna untuk membor formasi anhydrite dan gypsum, terutama
jika formasinya interbedded (selang-seling) dengan garam dan shale.
Treatmentnya adalah dengan mencampur base mud (lumpur dasar) dengan
plaster (CaSO4 di pasaran) sebelum formasi anhydrite dan gypsum dibor.
Dengan penambahan plater tersebut pada rate yang terkontrol, maka viskositas
dan gel strength yang berhubungan dengan kontaminan tersebut dapat diatasi.
Setelah clay dalam lumpur bereaksi dengan ion Ca, maka tidak akan terjadi
pengentalan lebih lanjut dalam pemboran formasi gypsum atau garam.
Gypsum treated mud dapat dikontrol flitrat loss-nya dengan organic colloid
dan karena pH-nya rendah, maka harus ditambahkan bahan preservatif
(pengawet) untuk mencegah fermentasi. Preservasi ini boleh dihentikan
penambahannya jika garam yang dibor cukup untuk memberikan saturated
water mud.
Suatu modifikasi dari gypsum treated mud adalah dengan penggunaan chrome
lignosulfonate deflocculant yang memberikan kontrol terhadap karakteristik
plat-plat gel pada lumpur tersebut. Lumpur gypsum chrome lignosulfonate ini
mempunyai sifat yang sama dengan lime treated mud, karena lumpur ini juga
digunakan pada zona-zona yang sama seperti penggunaan lime treated mud.
Selain hydrate lime dan gypsum telah digunakan, tetapi tidak meluas. Maka
juga digunakan aditif-aditif yang memberikan suplai kation multivalent untuk
base exchange clay (pertukaran ion-ion pada clay) seperti Ba(OH)2.
Lumpur ini digunakan terutama untuk membor garam masif (salt dome)
atau salt stringer (lapisan formasi garam) dan kadang-kadang jika ada aliran air
garam yang menembus lubang bor. Lumpur ini filtrat loss-nya besar dan mud
cake-nya tebal jika tidak ditambahkan organic colloid. pH lumpur dibawah 8,
maka perlu preservatif untuk menahan fermentasi strach. Jika salt water mud
mempunyai pH yang tinggi, maka fermentasi terhalang oleh basa. Suspensi ini
dapat diperbaiki dengan menggunakan attapulgite sebagai pengganti bentonite.
Air laut sering digunakan untuk lumpur yang tidak jenuh salinitas
(kegaraman)nya. Salinitas lumpur ini ditandai oleh :
o Filtrate loss besar kecuali di-treatment dengan organic colloid.
o Gel strength medium sampai tinggi kecuali di-treatment dengan thinner.
o Suspensi yang tinggi kecuali di-treatment dengan attapulgite atau organic
colloid.
Fasa cair lumpur ini dijenuhkan dengan NaCl. Garam-garam yang lain juga
dapat berada pada lumpur tersebut dalam jumlah yang berlainan. Saturated salt
water mud dapat digunakan untuk membor formasi garam, dimana rongga-rongga
yang terjadi karena pelarutan garam dapat menyebabkan hilangnya lumpur, dan hal
ini dapat dicegah dengan penjenuhan garam pada lumpur tersebut.
18
Oil-base muds adalah merupakan emulsi air dalam minyak, dimana minyak
mentah (crude oil) atau minyak disel (diesel oil) sebagai fasa kontinyu dan air
sebagai fasa yang terdispersi. Oil-base mud kadang-kadang juga didiskripsikan
sebagai “invert emulsion”, karena tetes-tetes air teremulsi dalam minyak sebagai
fasa kontinyu.
Air digunakan terutama untuk menghasilkan emulsi yang diperlukan untuk
menghasilkan sifat gel strength yang diperlukan dan sebagai suspensi barite. Air
dan minyak membentuk emulsi dengan menggunakan bahan emulsifier, seperti
sabun dan dengan cara pengadukan. Sabun dibuat dari ion monovalen, seperti
sodium (Na+) atau ion divalen, seperti kalsium (Ca2+) yang digunakan sebagai
emulsifier. Molekul sodium soap (sabun sodium) mempunyai dua ujung, yaitu
ujung sodium yang larut dalam air, dan ujung lainnya membentuk kelompok
organik yang larut dalam minyak. Molekul sabun bergabung dengan permukaan
minyak dan air, yang dapat menghasilkan emulsi yang stabil. Calcium soap
mempunyai dua kelompok organik yang menempel pada pusat ion kalsium (Ca2-)
selanjutnya larut dalam air. Sabun divalen dapat menhasilkan “invert emulsion”
jika dicampurkan kedalam minyak dan air.
Proses agitasi (pengadukan) diperlukan untuk memecah air menjadi butir-
butir yang kecil, sehingga mudah terdispersi dalam fasa minyak. Rasio minyak/air
menentukan sifat fisik dan stabilitas emulsi yang dihasilkan. Secara umum, rasio
minyak/air yang tinggi akan menghasilkan ketahanan terhadap kontaminasi dan
juga menuingkatkan stabilitas terhadap kenaikan temperatur.
Oil-base mud digunakan untuk pemboran yang menembus zona shale yang
sangat berbahaya dan dapat mengurangi torsi dan drag pada pemboran sumur
miring. Oil-base mud cenderung lebih stabil pada temperatur tinggi dibanding
dengan water-base mud.
Dari segi komplesi sumur, minyak merupakan fluida pemboran yang sangat
bagus, karena tidak merusak lapisan hidrokarbon, dan dapat menjaga permeablitas
alamiah disekitar lubang bor. Air filtrat yang berasal dari water-base mud dapat
menembus formasi yang pada gilirannya dapat menurunkan permeabilitas formasi.
Kerugian utama dari penggunaan oil-base mud adalah :
a) Pencemaran lingkungan, terutama pada operasi pemboran di lepas pantai
b) Mudah terbakar
c) Serbuk bor lebih sukar diambil dibanding dengan water-base mud, karena
plastic viscosity dari emulsi sangat tinggi
d) Log listrik lebih sukar dioperasikan pada oil-base mud.
19
Emulsion mud (true emulsion) adalah air sebagai fasa kontinyu dan minyak
sebagai fasa yang terdispersi. Minyak ditambahkan untuk meningkatkan laju
penembusan, mengurangi filtrat loss, memperbaiki pelumasan, menurunkan drag
dan torsi pada pemboran sumur miring. Pada umumnya, oil-emulsion mud
mengandung minyak sebesar antara 5 - 10 % volume. Emulsi dapat diformulasikan
dengan menggunakan sodium soap sebagai emulsifeier seperti yang dijelaskan
diatas.
Pada sub-bab ini akan dijelaskan tentang ilmu dasar yang digunakan dalam
perhitungan lumpur yang dilakukan di lapangan. Persamaan-persamaan yang
digunakan disini menggunakan satuan Imperial (Brtish) dan satuan Metris.
Pada dasarnya perhitungan lumpur meliputi perhitungan untuk menaikkan
dan menurunkan densitas lumpur. Densitas lumpur dapat dinaikkan dengan
menambahkan padatan dan untuk menurunkan dapat dilakukan dengan cara
pengenceran dengan menambahkan air, minyak disel, atau dengan udara.
M3 = M 1 + M 2 ........................................................(1-9)
dan
V3 = V 1 + V 2 ........................................................(1-10)
20
Persamaan 1-10 hanya berlaku jika padatan tidak larut dalam air.
Sedangkan untuk padatan yang larut dalam air, Persamaan 1-10 tidak dapat
digunakan sampai fasa cair mencapai titik jenuh, dan setelah itu padatan yang
ditambahkan baru dapat menaikkan volume lumpur.
Dari definisi densitas dan Persamaan 1-9 dan 1-10 dapat diperoleh
hubungan :
M 3 M1 M 2
3 ......................................................(1-11)
V3 V1 V2
Jika suku M2 tidak dirubah, sedangkan suku lainnya disubstitusi, maka Persamaan
1-11 dapat dituliskan :
V1 1 M 2
3
M
V1 2
2
M2
1
V1
3
M 1 .....................................................(1-12)
V1 2
V1 2
Suku M2/V1 menunjukkan massa berat material, biasanya barite, per volume
lumpur lama. Dalam praktek, perhitungan berdasarkan massa barite dalam satuan
lbm (atau kg) per bbl (atau m3) lumpur lama, sehingga :
M2
X Lbm / bbl (kg / m3 ) ...............................................(1-13)
V1
1 X
3
X
1
2
Selanjutnya dapat disederhanakan menjadi :
( 1 ) 3 1
X 2 3 ..............................................(1-14)
2 3 3
1
2
dimana 2 adalah densitas padatan yang ditambahkan, misalnya barite atau clay.
21
M2 M2 M2
X
V1 1 bbl 42 gal
M 1
X 2 3
42
1 3
35,5
42 x 35,5 ( 3 1 ) 1
M2 1491 3
(35,5 - 3 ) 35,5 - 3
..................................(1-15)
dimana 1 dan 3 dalam ppg dan M2 dalam satuan pound (lb).
Karena setiap sack barite berisi 94 lbm, maka Persamaan 1-15 dapat
dituliskan menjadi :
15,9( 3 1 )
S ................................................(1-16)
(35,5 3 )
Jika volume lumpur lama sebesar 10 m3, maka Persamaan 1-13 dan 1-14
menjadi :
M2 M2
X .....................................................(1-13a)
V1 10
Sehingga,
M2 1
3 .....................................................(1-14a)
10
1 3
4250
atau
42500( 3 1 )
M2 .....................................................(1-17)
4250 - 3
dimana M2 adalah massa barite (dalam kg) yang diperlukan untuk menaikkan
densitas lumpur dari 1 menjadi 3 (kg/m3) dan 2 adalah densitas barite (4250
kg/m3).
Karena setiap sack berisi 42,64 kg, maka :
M2 996,7( 3 1 )
Jumlah sack yang diperlukan = = ...................(1-18)
42,62 4250 3
1000l 3 1
M 2 (kg ) 10 m 3 x
m3
1 3
4,25
dimana 1 dan 3 dalam satuan kg/l dan 4,25 adalah densitas barite (kg/l), maka :
1
M 2 10000x 4,25 3
4,25 3
atau
( 3 1 )
M 2 42500 kg ....................................(1-19)
(4,25 3 )
Jika dinyatakan dalam sack, maka :
( 3 1 )
S 996,7 ........................................(1-20)
(4,25 3 )
23
massa
Karena volume =
densitas
maka kenaikan volume lumpur pada mud pit akibat penambahan barite = volume
padatan yang ditambahkan.
M2
V2 ......................................(1-21)
2
M2 1
X 3 ........................................(1-14)
V1
1 3
2
atau
V1 2 ( 3 1 )
M2 ........................................(1-22)
( 2 3 )
Kombinasi dari Persamaan 1-21 dan 1-22 menghasilkan :
V1 2 ( 3 1 )
V2 2
( 2 1 )
atau
V1 ( 3 1 )
V2 ........................................(1-23)
( 2 3 )
Dalam satuan Metris, untuk volume lumpur lama sebesar 10 m3, maka
Persamaan 1-23 menjadi :
10( 3 1 )
V2 .......................................(1-24)
(4250 3 )
Dalam satuan Imperial, untuk volume lumpur lama sebesar 1 barrel, maka
Persamaan 1-23 menjadi :
42( 3 1 )
V2 ........................................(1-25)
(35,5 3 )
Jika
massa air (atau minyak) yang diperlukan M 2 2V2
X
volume lumpur lama V1 V1
( 3 1 )
V2 V1 ....................................................(1-26)
( 2 3 )
Dengan catatan bahwa Persamaan 1-26 sama dengan 1-23 yang diturunkan dari
perhitungan kenaikan volume lumpur dalam mud pit.
Jika air ditambahkan, 2 = 1000 kg/m3, maka Persamaan 1-26 dalam satuan
Metrs menjadi :
( 3 1 )
Vw V1
(1000 3 )
dimana Vw adalah volume air yang diperlukan untuk menurunkan densitas lumpur.
Karena 1 > 3, maka persamaan ini dapat dituliskan :
( 3 1 )
Vw V1 ......................................................(1-27)
( 3 1000)
dimana V1 adalah volume lumpur lama.
Versi lain untuk Persamaan 1-27 yang sering dijumpai dalam buku-buku
literatur adalah :
25
1000Vw
1
V1
3 ......................................................(1-28)
V
1 w
V1
Dalam satuan Imperial, Persamaan 1-26 menjadi :
( 3 1)
Vw V1 (bbl ) ............................................................(1-29)
(2 3)
atau
( 3 1)
Vw V1 ............................................................(1-30)
(8,33 3 )
V2 ( 1 3 )
............................................................(1-31)
V1 ( 3 2 )
V2 ( 3)
1
V3 V2 ( 3 2 )
V2 ( 3 2 1 3 ) V3 ( 1 3 )
atau
V2 ( 1 3 )
............................................................(1-32)
V3 ( 1 2 )
V1 ( 3 2 )
............................................................(1-33)
V3 ( 1 2 )
Tabel 1-3
Persamaan-persamaan untuk perhitungan lumpur dalam sistem Imperial
(1) Untuk menaikkan densitas lumpur dari 1 menjadi 3 per 1 barrel volume lumpur lama.
Volume cairan (air atau minyak disel), V2 (dalam barrel) yang diperlukan adalah :
( 3 1 )
V2 V1
( 2 3 )
dimana V1 = volume lumpur lama; 1 = densitas lumpur lama; 3 = densitas cairan yang
ditambahkan dan 3 = densitas lumpur baru.
Tabel 1-4
Persamaan-persamaan untuk perhitungan lumpur dalam sistem Metris
(1) Untuk menaikkan densitas lumpur dari 1 menjadi 3 per 10 m3 volume lumpur lama.
42500( 3 1 )
M2 kg
(4250 3 )
996,7( 3 1 )
S
(4250 3 )
10( 3 1 ) 3
V2 m
(4250 3 )
Volume cairan (air atau minyak disel), V2 (dalam barrel) yang diperlukan adalah :
( 1 3 ) 3
V2 V3 m
( 1 2 )
( 1 3 )
V2 V1
(3 2 )
1.5.3. Latihan
1. Tentukan berapa sack barite yang diperlukan untuk merubah densitas lumpur
dari 1,5 kg/l (12,53 ppg) menjadi 2 kg/l (16,7 ppg). Selanjutnya hitung
kenaikan volume lumpur pada mud pit sebagai akibat penambahan barite
tersebut, jika diketahui volume lumpur lama sebesar 10 m3 (63 barrel).
Kunci Jawaban :
Dalam satuan Imperial : 222 sack; 14 bbl.
Dalam satuan Metris : 222 sack; 2,222 m3 (2222 liter).
Kunci Jawaban :
Dalam satuan Imperial : 8,59 lbm/gal.
Dalam satuan Metris : 1031 kg/m3
3. Jika berat (densitas) lumpur akan diturunkan dari 25,1 ppg (3 kg/l) menjadi
22,6 (2,7 kg/l) untuk mengatasi adanya problem hilang sirkulasi. Hitunglah
volume air dan minyak yang diperlukan untuk penurunan densitas lumpur
tersebut. Selanjutnya, jika digunakan minyak, berapa persen minyak dalam
lumpur dengan asumsi volume lumpur lama adalah sebesar 629 bbl (100 m3).
Densitan minyak = 6,87 ppg (823 kg/m3).
Kunci Jawaban :
Dalam satuan Metris :17,65 m3 air;15,98 m3 minyak; 13,8 % minyak dlm
lumpur.
Dalam satuan Imperial : 110 bbl air; 100 bbl; 13,7 % minyak dalam lumpur.
29
plastic viscosity, yield point, filtrate loss dan gel strength. Flokulasi adalah sebagai
hasil dari penggantian Na+ pada plat-plat clay oleh ion-ion calsium yang ikatannya
lebih kuat, sehingga dapat menurunkan tingkat pemisahan plat-plat clay. Pada
umumnya untuk membor formasi gypsum dan anhydrite, caustic soda dan chrome
lignosulfonate ditambahkan ke dalam lumpur agar dapat mengurangi efek
flokulasi.
Lumpur yang terkontaminasi anhydrite atau gypsum dapat diperbaiki
dengan penambahan sodium karbonat (Na2CO3). Bahan kimia ini dapat menarik
kelebihan ion-ion kalsium, seperti terlihat pada reaksi kimia berikut :
1.6.3. Semen
Semen dapat masuk ke dalam sistem lumpur dari akibat penyemenan yang
kurang baik atau dari penyemanan tekan (squeeze cementing). Pengaruh
penambahan semen ke dalam lumpur dapat menyebabkan kenaikan viskositas,
yield point, gel strength dan pH.
Lumpur yang terkontaminasi semen pada saat membor semen di dalam
casing atau pada saat membor float collar dan casing shoe, biasanya diperbaiki
dengan menambahkan sodium bikarbonat (NaHCO3), yang dapat menghasilkan
endapan kalsium karbonat sebagai bahan yang tidak dapat larut, seperti terlihat
pada reaksi kimia sebagai berikut :
Kandungan kalsium dalam lumpur harus selalu dijaga kurang dari 200 ppm,
agar sifat-sifat fisik lumpur dapat tetap dalam kondisi baik. Seperti telah dijelas
sebelumnya bahwa kation kalsium (Ca2+) dapat mencegah pemisahan plat-plat
clay, sehingga menyebabkan flokulasi dan mengakibatkan naiknya viskositas.
Kontaminan-kontaminan lainnya adalah meliputi gas-gas terlarut dan
padatan-padatan yang berasal dari serbuk bor.
terangkat, lumpur akan kehilangan sifat-sifat fisik yang ada dan dapat
menyebabkan problem pemboran seperti hilang lumpur (lost circulation).
Peralatan pengkondisian lumpur berfungsi untuk memproses lumpur yang
keluar dari dalam lubang bor dengan cara memisahkan padatan-padatan serbuk bor
yang terbawa oleh lumpur di permukaan, dan jika perlu dapat ditambahkan dengan
bahan-bahan kimia. Gambar 1-4 memperlihatkan skema peralatan pengkondisian
lumpur baik untuk non-weighted dan weighted (misalnya dengan barite) mud.
Komponen-komponen sistem pengkondisian lumpur dapat dibagi menjadi
tiga bagian, yaitu :
1) Suction tank, yang berisi lumpur yang sudah dikondisikan dan siap
dipompakan ke dalam lubang bor.
2) Peralatan untuk penambahan dan pengaduk.
3) Peralatan pemisah.
Lumpur yang keluar kembali dari lubang bor melalui shale shaker, dimana
serbuk bor dipisahkan dari lumpur. Shale shaker terdiri dari vibrating (or rotating)
sieve yang cukup untuk dilewati lumpur dan padatannya (seperti bentonite dan
barite) tetapi dapat menahan serbuk bor. Gambar 1-7 menunjukkan skema shale
shaker. Serbuk bor dikumpulkan dalam dump pit, untuk dibuang atau dapat
digunakan oleh geologist untuk analisa formasi (lihat Gambar 1-8).
Lumpur yang mengalir melalui shale shaker jatuh (Gambar 1-8) ke dalam
sloping pit (sand trap) yang tepat berada di bawah shale shaker, dimana serbuk
bor yang berukuran kecil yang tetap terbawa dipisahkan dengan pengendapan
32
gravitasi. Sand trap mempunyai dumping valve yang dapat dibuka secara periodik
untuk membersihkan padatan yang terperangkap di dalamnya.
Lumpur yang kembali dari shale shaker di kirim ke desander dan desilter
dengan menggunakan sebuah pompa sentrifugal kecil. Desander dan desilter
adalah merupakan hydrocyclone yang beroperasi dengan menggunakan prinsip
bahwa padatan akan terpisahkan dari cairan dengan menggunakan gaya
sentrifugal (lihat Gambar 1-9).
Pada prinsipnya sebuah hydrocyclone terdiri dari :
(a) Satu selinder berupa sebuah “tangensial feed tube”. Selinder ini dirangkaikan
dengan sebuah “vortex pipe” yang ujungnya berakhir dibawah tangensial feed
tube, dimana lumpur bersih mengalir keluar dari vortex finder pipe.
(b) Satu kerucut yang ujungnya berakhir pada sebuah “apex”, dimana padatan
jatuh dan keluar melalui apex tersebut.
Lumpur diinjeksikan secara tangensial ke dalam hydrocyclone, sehingga
menghasilkan gaya sentripetal yang dapat mendorong padatan jatuh pada dinding
hydrocyclone dan selanjutnya keluar melalui apex dengan sedikit tercampur
lumpur. Sedangkan cairan lumpur akan keluar melalui bagian atas cyclone sebagai
“overflow” dan langsung dialirkan menuju ke dalam mud pit untuk disirkulasikan
kembali.
Hydroclone yang digunakan untuk memisahkan partikel-partikel yang
berukuran besar (> 74 m) disebut desander. Dari desander, lumpur langsung
dialirkan menuju desilter untuk pemisahan pertikel-partikel yang berukuran kecil
(2 - 74 m). Karena barite berukuran kurang dari 74 m, maka desilter tidak dapat
digunakan untuk lumpur berat (weighted mud)
Range ukuran penggunaan hydrocyclone tergantung dari diameter dalam
kerucut. Gambar 1-10 menunjukkan ukuran ekivalen lumpur yang dipisahkan
untuk berbagai ukuran kerucut, dimana desander mempunyai ukuran 6 - 12 m
dan desilter berukuran 4 -5 m.
Jika digunakan lumpur berat (weighted mud), desander dan desilter harus
digantikan dengan peralatan lain, yaitu mud cleaner agar supaya barite tidak ikut
terpisahkan (lihat Gambar 1-4). Pada dasarnya mud cleaner terdiri dari sebuah
rangkaian hydrocyclone 4 in ID yang ditempatkan diatas high-energy vibrating
screen dengan ukuran 40 - 125 m (lihat Gambar 1-11). Pada rangkaian tersebut,
hydrocyclone berfungsi untuk memisahkan partikel-partikel antara pasir dan
barite, karena aliran bagian bawah langsung jatuh pada vibrating screen. Barite
akan keluar melalui screen dan dapat digunakan kembali, sedangkan butir-butir
pasirnya diendapkan.
Sistem ini mempunyai keuntungan, yaitu dapat menghemat bahan-bahan
yang berharga, seperti barite, KCl, minyak dan lumpur. Disamping itu juga
34
Gambar 1-7. Shale shaker : (a) screening machine; (b) tandem sreening
machine
Bab 2
DASAR PERENCANAAN
LUMPUR
Tabel 2-1
Data Pemboran dan Rig yang diperlukan dalam program optimasi
41
Tabel 2-1
(Lanjutan)
42
Tabel 2-1
(Lanjutan)
43
Salah satu tujuan pokok dari program optimasi lumpur pemboran adalah
mengontrol hadirnya padatan-padatan yang berasal dari serbuk bor dalam sistem
sirkulasi. Program solid control dapat dilakukan dengan membuat daftar urutan
prosedur kerja pada sumur yang dimonitor, dan jika mungkin keefektifan
peralatannya juga dapat dievaluasi.
Sebagai contoh :
o Bagaimana kondisi shale shaker yang digunakan ?
o Berapa ukuran screen pada shale shaker ?
o Apakah digunakan desander dan desilter ?
o Bahan kimia apa yang digunakan ?
Selain itu, dapat juga dilakukan pemeriksaan pada peralatan solid control dan
sistem sirkulasi yang digunakan.
dan total hardness. Bahan lumpur yang digunakan dalam suatu operasi pemboran
dapat ditabulasikan secara lengkap, yaitu meliputi bahan kimia (additive), baik
kimiawi maupun non-kimiawi. Biaya yang timbul juga harus dihitung dan dicatat.
Analisa dari masing-masing butir juga harus dibuat agar dapat diketahui kelebihan
atau penambahan yang tidak diperlukan dapat dikurangi atau dihilangkan.
Pada umumnya sistem lumpur yang digunakan adalah water base mud, dan
dari hasil uji pemboran menunjukkan bahwa bahan kimia (additive) yang
digunakan mempunyai pengaruh negatif terhadap laju pemboran. Pengaruh
padatan lumpur terhadap laju pemboran merupakan fenomena yang populer seperti
ditunjukkan pada Gambar 2-2, dimana clay mempunyai pengaruh yang berbeda
terhadap laju penembusan pada konsentrasi padatan tertentu. Meskipun demikian
46
pengaruh ini, tidak semuanya tergantung dari total kandungan padatan. Sebagai
contoh, berbagai jenis lumpur yang berbeda dapat diformulasikan dengan berbagai
macam clay dan bahan aditif, dan semuanya mempunyai kandungan padatan 5%
volume. Jika semua jenis lumpur tersebut digunakan dalam operasi pemboran akan
memberikan karakteristik yang juga berbeda. Perbedaan karakteristik tersebut
disebabkan karena sifat alami dari distribusi ukuran partikel padatan yang
membentuk lumpur pemboran. Secara grafis perbedaan karakteristik tersebut
diperlihatkan pada Gambar 2-3. Dari gambar tersebut terlihat bahwa partikel-
partikel koloid besarnya kurang dari 1 , mempunyai pengaruh 12 kali lebih besar
terhadap laju pemboran dibanding dengan partikel-partikel yang lebih kasar (> 1
).
garam, dan kandungan minyak. Jika sistem lumpur diperberat, maka total
kandungan padatan dapat ditentukan dengan menggunakan mud retort.
Problem yang lain adalah sifat alami distribusi ukuran partikel dan
penentuan jumlah partikel submicron. Methylene blue test (MBT) adalah
merupakan suatu uji lapangan untuk menentukan basis kapasitas pergantian bahan
clay dalam sistem lumpur secara kuantitatif. Distribusi ukuran partikel bentonite
dalam lumpur ditentukan dengan menggunakan supercentrifuge, dan hasilnya
dihubungkan dengan nilai MBT. Sekitar 13% partikel bentonite dalam lumpur
ukurannya kurang dari 1 . Jika lumpur bentonite yang sama terdispersi, biasanya
laju pemboran menjadi lebih lambat untuk solid content tertentu dibanding dengan
sistem water-bentonite nondispersed.
partikel-partikel dan secara efektif dapat menetralisir muatan listrik sehingga tetap
dalam kondisi terflokulasi. Meskipun demikian, clay yang mempunyai cation-
exchange tinggi, seperti bentonite, polimer tidak mampu menetralisir muatan-
muatan listriknya, sehingga partikel clay tetap tersuspensi.
Pengetahuan tentang mekanisme ini jika digabungkan dengan data dari uji
MBT dan distribusi ukuran butir dapat digunakan untuk membuat model
matematis untuk memprediksi pengaruh lumpur terhadap laju penembusan.
Pecahan batuan (chip) tidak dapat terlepas dari permukaan batuan, kecuali
jika perbedaan tekanan yang menahan pecahan batuan tersebut dihilangkan. Spurt
loss lumpur dan kadar padatan koloid menentukan besarnya gaya tahan pecahan
batuan agar dapat terlepas. Spurt loss didefinisikan sebagai kehilangan cairan
(filtrate) sebelum terbentuk filter cake. Jika fluida pemboran mempunyai spurt
loss, maka tekanan disekitar pecahan akan ternetralisir. Meskipun demikian, jika
lumpur mempunyai kadar padatan koloid yang lebih tinggi, pembentukan filter
cake pada rekahan yang dihasilkan oleh penembusan pahat dapat mencegah
terlepasnya pecahan batuan, sehingga pecahan (chip) tersebut tetap berada di dasar
lubang dan akibatnya akan terjadi penggerusan ulang. Secara grafis teori chip
hold-down ini diperlihatkan pada Gambar 2-7.
Gambar 2-8. Pengaruh shear rate terhadap viskositas dari berbagai jenis
lumpur
53
Bab 3
KARAKTERISTIK CLAY
(LEMPUNG)
Gambar 3-1. Skema susunan atom dalam sebuah unit sel mineral lempung
Dari berbagai jenis clay, perlapisan yang dapat digantikan ikatannya relatif
kuat, dan memerlukan periode waktu yang lama untuk menggantikan secara
kimiawi. Pada kelompok clay yang lain, seperti bentonite dan attapulgite,
perlapisan yang dapat digantikan dapat diambil atau ditambahkan pada struktur
secara sederhana dengan menempatkan clay dalam suatu larutan. Ukuran yang
menunjukkan tingkat perubahan penggantian disebut cation exchange capacity
(CEC). Berat clay tertentu yang terdispersi dalam larutan magnesium chloride,
menggantikan sebanyak mungkin exchangable layer dengan magnesium.
Kemudian dipindahkan kedalam larutan potassium atau calcium chloride, dan
banyaknya potassium atau calcium yang diserap oleh clay diukur.
Jumlah kation yang diserap tersebut dinyatakan dalam milliequivalent per
100 gram bentonite kering adalah merupakan cation exchange capacity (CEC).
Besarnya nilai CEC untuk bentonite adalah 70 - 130 dan untuk attapulgite 5 - 99.
Karena CEC berkaitan dengan kemudahan masuknya molekul air ke dalam
struktur clay, maka CEC dapat digunakan sebagai dasar penentuan kualitas clay.
55
Clay dengan nilai CEC tinggi mampu menggantikan sejumlah besar air
dalam exchangeable layer, dan juga menyerap air pada permukaan luar dari
masing-masing plat clay. Hal ini menunjukkan pengaruh clay yang dapat
menghasilkan viskositas dan yield point yang tinggi.
Penyerapan air dalam exchangeable layer menyebabkan terjadinya
pengembangan struktur clay, karena molekul air akan mendorong perlapisan
terpisah sampai empat atau lima lapisan molekul air dalam ruang yang semula
hanya terdiri dari satu lapisan atom sodium atau kalsium. Untuk sodium bentonite,
jarak antar perlapisan (basal spacing) dapat bertambah besar dari 9,8 Angstrom
sebelum hidrasi sampai 40 Angstram setelah hidrasi (1 Angstrom = 10-7mm).
Sedangkan untuk calcium bentonite peningkatan basal spacing adalah 12,1 A0
menjadi 17 A0.
Masing-masing plat clay juga dapat menyerap air pada permukaan luar,
dimana hal ini dipertahankan dengan menggunakan gaya tarik elektrostatik dari
ikatan atom yang terputus.
Secara keseluruhan proses hidrasi clay menunjukkan perpindahan clay dari
bubuk kering menjadi lumpur dengan kenaikan volume sampai ratusan persen.
Keefektifan proses ini diukur dengan menggunakan “clay yield” yang oleh API
didefinisikan sebagai jumlah barrel lumpur dengan viskositas 15 CP yang dapat
diperoleh dari 1 ton (2000 lb) clay kering (lihat Tabel 3-1).
Secara umum besarnya clay yield tergantung dari :
a) kemurnian clay
b) kandungan atom pada exchangable layer
c) salinitas air yang digunakan.
Tabel 3-1
Spesifikasi API untuk bentonit
Pada dasarnya ada dua jenis clay yang digunakan dalam pembuatan water-
base mud, yaitu :
a) Bentonitic clay (gel) ; adalah merupakan anggota dari kelompok clay
montmorillonite (smectite), dan hanya dapat digunakan dengan air tawar,
karena baik viskositas maupun yield point tidak dapat terbentuk pada air asin.
Bentonit yang ada di pasaran bukan merupakan sodium montmorillonite murni,
tetapi mempunyai kandungan sodium montmorillonite sekitar 60 -70%.
Sodium montmorillonte adalah merupakan material yang berbentuk plat-plat
seperti lembaran-lembaran buku. Plat-plat tersebut sangat tipis dengan ukuran
partikel kurang dari 0.1 . Bentonit menyerap air tawar pada permukaan
partikel-partikelnya, sehingga dapat menaikkan volumenya sampai 10 kali atau
lebih, yang disebut “swelling” atau “hidrasi”. Besarnya swelling yang terjadi
dapat dilihat dengan meningkatnya kekentalan atau viskositas lumpur, yang
tergantung dari luas permukaan dan total jumlah air yang diserap oleh clay.
b) Attapulgite (salt gel) ; adalah merupakan anggota dari kelompok clay
palygorskite, dan hanya dapat mengasilkan viskositas dan yield point yang
tinggi baik pada air tawar maupun air asin. Salt water clay (attapulgite), akan
terjadi swelling jika dimasukkan dalam air asin.
pH = -log H+
Selanjutnya yang penting adalah bahwa konsentrasi ion hidrogen dan konsentrasi
ion hidroksil adalah merupakan suatu konstanta. Hal ini dapat ditunjukkan sebagai
berikut :
H+ x OH- = 1 x 10-14
H+ = OH- = 1 x 10-7
H+ OH- pH
100 10-14 0
10-4 10-10 4
10-7 10-7 7
10-9 105 9
10-11 10-3 11
10-14 100 14
range pH-nya antara 9 sampai 10. Disini ion hidrogen digantikan seluruhnya oleh
sodium, dan sekarang bukan lagi hidrogen bentonite tetapi sudah berubah menjadi
sodium bentonite.
Jika struktur dasar clay tidak mengandung sodium, sebagai kation yang
diserap, seperti ditunjukkan pada Gambar 3-3. Beberapa kation lainnya yang
dapat diserap, adalah aluminium, kalsium, barium, potassium, hidrogen, dan
magnesium. Kation-kation tersebut dapat diserap, karena mereka dapat digantikan
dengan merubah lingkungan clay-clay tersebut .
Clay dengan penyerapan kation yang berbeda-beda kelihatannya sama,
tetapi sebenarnya berbeda, dan cara membedakannya adalah hanya dengan
menggunakan uji standar yang baku. Oleh karena itu, bentonit harus memenuhi
Spesifikasi API seperti ditunjukkan pada Tabel 3-1.
Clay yield pada Tabel 3-1 didefinisikan sebagai jumlah barrel 15-cp
lumpur yang dapat diperoleh dengan menggunakan satu ton (2.000 lb) clay kering.
Dalam kasus ini viskositas 15-cp ditentukan dari pembacaan 600 rpm dibagi 2
yang diambil dari rotating viscometer standar. Dengan catatan bahwa spesifikasi
bentonit memerlukan yield clay 91.8 bbl/ton. Uji laboratorium standar untuk
mensimulasikan satuan lapangan dengan menggunakan 22.5 gram bentonit dalam
350 cc air suling, yang dapat dinyatakan sebagai 22.5 lb clay/bbl air (ppb).
Uji plastic viscosity adalah suatu spesifikasi kehalusan; yield point adalah
merupakan ukuran aktivitas clay, yang dihasilkan dari muatan permukaan.
Bentonit harus mempunyai karakteristik filtration control yang baik. Spesifikasi ini
harus diuji dengan menggunakan air suling (destilled water), karena bentonit
61
sangat reaktif, dan kualitas hidrasi sangat dipengaruhi oleh perubahan komposisi
air. Yield bentonit berkurang dengan naiknya kandungan garam, sodium chloride
(NaCl).
Yield bentonit juga berkurang dengan hadirnya kation-kation yang lain
dalam air, seperti kalsium, magnesium, dan potassium. Kalsium sering digunakan
dalam lumpur untuk mencegah pengembangan formasi clay. Lumpur jenis ini
diklasifikasikan sebagai sistem lumpur lime, gyp, dan calsium chloride.
62
Bab 4
BAHAN KIMIA (ADDITIVE)
LUMPUR PEMBORAN
Dalam memilih bahan kimia (additive) lumpur pemboran untuk
menentukan komposisi dan perawatan sistem lumpur, maka seorang drilling
engineer harus mampu menjawab permasalahan-permasalan sebagai berikut :
Apakah fungsi utama dari aditif yang digunakan dalam lumpur, seperti
viscosifier, fluid loss reducer ?
Apakah aditif tersebut mempunyai sifat koloid, seperti viskositas dan gel ?
Berapa batas maksimum temperatur terhadap stabilitas bahan tersebut ?
Dimana jenis lumpur tersebut diaplikasikan ?
Bagaimana pengaruh akumulasi low-density solid terhadap keefektifan bahan
kimia yang digunakan ?
Bagaimana toleransi aditif terhadap garam dan kalsium ?
Berapakah range penambahan aditif yang direkomendasikan ?
Berapakah harga bahan kimia yang digunakan ? apakah cukup ekonomis ?
Bagaimana cara menjaga kualitas dalam memproduksikan aditif ?
Apakah sudah dilakukan uji laboratorium maupun uji lapangan terhadap aditif
yang akan digunakan ?
Apakah bahan kimia tersebut dapat menyebabkan kerusakan formasi ?
(freshwater mud), dan jika dimodifikasi fungsinya juga sama jika digunakan dalam
air asin maupun oil-base mud. Bentonite termasuk dalam anggota kelompok
montmorillonite, yang meliputi montmorillonite, beidellite, nontronite, hectorite
dan saponite. Biasanya bentonite yang digunakan dalam lumpur pemboran berasal
dari Wyoming, South Dakota dan jenis-jenis montmorillonite lainnya. Rumus
kimia bentonite adalah 0,33 Na (Al1,07 Mg0,33 O3) 0,4 SiO2 H2O. Rumus kimia
tersebut menunjukkan bahwa ada sejumlah kation sodium dan magnesium
digantikan oleh atom aluminium dalam strukturnya. Berbagai macam anggota
kelompok montmorillonite struktur geometris kristalnya satu dengan yang lain
hampir sama, tetapi komposisi kimianya berbeda yang disebabkan karena
substitusi kimia.
Tabel 4-1
Basis bahan kimia lumpur
VISCOSIFIER EMULSIFIER
Bentonite Oil in water
Attapulgite Water in oil
Asbestos
Polymer LOSS-CIRCULATION MATERIAL
Lime or cement Granular
Fibrous
WEIGHTING MATERIAL Flaked
Barite Slurry
Iron oxides
Galena ADITIF KHUSUS
Calcium carbonate Flocculant
Dissolved salt Corrosion control
Defoamer
VISCOSITY-REDUCING CHEMICAL pH control
Phosphate Mud lubricant
Tannate Antidefferential sticking material
Lignite
Lignosulfonate
Sodium polyacrylate
4.1.2. Attapulgite
4.1.3. Asbestos
Merupakan bahan viscosifier yang sangat efektif baik untuk lumpur air
tawar (freshwater mud) maupun lumpur air asin (saltwater mud). Penggunaan
mineral asbestos ini harus ekstra hati-hati, karena bersifat carcinogen yang sangat
berbahaya bagi kesehatan. Viskositas yang dihasilkan oleh asbestos diperoleh
secara mekanis dari gaya geser (shear) yang dihasilkan oleh struktur tumpukan
serat-serat halus. Secara kimiawi, asbestos adalah merupakan calcium magnesium
silicate.
4.1.4. Polimer
CMC adalah polimer anionik yang dihasilkan dari cellulose yang ditreatment
dengan menggunakan caustic soda dan kemudian dengan monochloro acetate.
Berat molekulnya bervariasi antara 50.000 sampai 400.000.
HEC dibuat dengan proses yang sama seperti pembuatan CMC, tetapi dengan
menggunakan ethylene oxide setelah caustic soda. Kelebihan dari HEC adalah
mampu menghidrat air garam.
Starch pada dasarnya dihasilkan dari jagung atau kentang dan buat seperti agar-
agar dengan proses pemanasan dan hydrochloric acid dan akhirnya
dikeringkan. Berat molekul starch dapat mencapai 100.000. Starch digunakan
untuk menaikkan viskositas dan berfungsi sebagai bahan pengontrol air tapisan
(filtration loss). Kelemahan dari starch adalah bahwa starch sangat mudah
terserang bakteri pada nilai pH yang rendah.
c) Polimer rantai panjang (long chain polymer), meliputi xanthan gum polymer.
Xanthan gum polymer adalah larutan biopolymer yang dihasilkan dengan
proses bakteri pada karbohidrat dan mempunyai berat molekul 5.000.000.
Xanthan gum polymer sangat mudah terserang bakteri pada temperatur diatas
3000F. Keuntungan dari xanthan gum polymer adalah karena mampu
menaikkan viskositas pada air tawar, air laut maupun air garam tanpa
menggunakan bahan kimia lainnya. Xanthan gum polymer ini juga tahan
terhadap kontaminasi anhidrit, gypsum dan garam.
Karena semua jenis polimer tersebut dibuat secara kimiawi, maka harganya
lebih mahal jika dibandingkan dengan bentonite dan bahan-bahan pengental
lainnya. Akan tetapi, polimer tidak menaikkan kadar padatan dalam lumpur dan
juga tidak menaikkan densitas lumpur. Secara umum, lumpur polimer
menghasilkan densitas sampai 13 ppg.
Lime atau semen dapat juga dapat digunakan untuk mengentalkan lumpur
atau menaikkan viskositas. Naiknya viskositas terutama disebabkan oleh adanya
proses flokulasi dari plat-plat clay, yang dihasilkan dari penggantian kation Na+
oleh kation Ca+2.
Oksida besi mempunyai specific gravity bervariasi antara 4,9 sampai 5,3,
dengan indeks kekerasan 7, berwarna coklat sampai hitam. Pada awal sejarah
lumpur pemboran, oksida besi banyak digunakan sebagai material pemberat
lumpur. Pada perkembangan selanjutnya diketahui bahwa ternyata bahan ini
cenderung dapat menaikkan filtration loss dan ketebalan mud cake. Selain itu,
oksida besi ini dapat merusak kulit dan pakaian. Kondisi ini menyebabkan oksida
besi sampai saat tidak banyak digunakan. Kerugian yang lain dari penggunaan
oksida besi adalah kemungkinan efek abrasi terhadap pahat, drillstring, dan liner
pompa lumpur.
4.2.3. Galena
Galena atau lead sulfide (PbS) mempunyai specific gravity yang bervariasi
antara 6,8 sampai 6,9, dengan indeks kekerasan 2,5, berwarna abu-abu sampai
hitam. Bahan ini jarang digunakan, kecuali dalam kondisi darurat jika diperlukan
densitas lumpur yang tinggi sampai 32 lb/gal. Pada umumnya galena tidak cocok
dalam operasi pemboran karena adanya problem suspensi.
67
GARAM DENSITAS
MAKSIMUM (ppg)
Sodium Chloride (NaCl) 10.8
Calcium Chloride (CaCl2) 11.7
Zinc Chloride & Calsium Chloride (ZnCl2 dan CaCl2) 14.0
Zinc Chloride (ZnCl2) 17.0
b) Tetrasodium pyrophosphate
c) Sodium tetraphosphate
d) Sodium hexametaphosphate
4.3.2.Lignosulfonate
4.3.2. Lignite
Lignite yang digunakan sebagai bahan pengencer berasal dari alam atau
dari produk tambang. Produk Lignin dapat diperoleh dari humic acid extract, tetapi
biasanya berbentuk kepingan lignite coal. Dalam pengkondisian lumpur, lignite
digunakan dengan menambahkan Na(OH) pada ratio 5 : 1 sebagai pengencer, oil
emulsifier, dan fluid loss reducer. Complexed lignite digunakan dengan modified
lignosulfonate dapat memperbaiki filtration control pada temperatur tinggi. Lignite
dapat digunakan dalam water-base mud pada temperatur sampai 4000F. Lignite
merupakan thinner dan fluid loss control agent yang efektif.
Keuntugan dari penggunaan lignite sebagai aditif adalah :
o Lignite stabil pada temperatur 4000F, dan bahkan dapat stabil pada temperatur
sampai 4500F dengan menggunakan aditif-aditif khusus.
o Lignites (lignins) berfungsi sebagai dispersant dengan memenuhi valensi tepi
yang terputus dan sebagai fluid loss control agent karena struktur koloidalnya.
o Walaupun lignins mempunyai pH asam, produk pre-causticized dapat diperoleh
yang mempunyai 1 - 6, caustic-lignin ratio, yang dapat digunakan tanpa pH
adjuster.
Sedangkan kerugiannya adalah bahwa lignite tidak cocok untuk fluida
dengan kandungan garam yang tinggi karena lignite tidak larut dalam garam.
71
4.3.4. Tannate
4.3.5. Surfactant
4.3.6. Air
4.4.1. Bentonite
Strarch dapat berfungsi dengan baik sebagai fluid loss control agent dengan
hadirnya ion kalsium atau sodium. Oleh karena itu, aditif ini cocok digunakan
untuk lumpur saltwater atau lumpur lime. Jika digunakan pre-treated non-
fermenting starch, maka tidak perlu digunakan bactericide.
73
CMC paling terkenal, adalah merupakan produk dari tumbuhan gum yang
digunakan sebagai fluid loss control dan sebagai viscosifier. CMC sangat aktif
meskipun terkontaminasi oleh konsentrasi ion tinggi, yang membuat CMC ini
sangat cocok digunakan pada inhibited muds. Technical grade dan high viscosity
grade dapat digunakan tergantung dari besarnya kenaikan viskositas yang
diingikan. Technical grade biasanya lebih banyak digunakan karena pengaruh
kenaikan viskositasnya lebih rendah. Aditif ini stabil sampai temperatur diatas
3500F.
Kelemahan dari CMC adalah harus menggunakan thinner untuk mengatasi
pengaruh viskositas aditif.
4.4.5. Ben-Ex
Telah sering digunakan untuk mengurangi API filter loss lumpur pemboran.
Akan tetapi, diesel oil ini telah terbukti bahwa meskipun prinsipnya dapat
mengurangi water loss, tetapi pada temperatur dan tekanan tinggi water loss tidak
terpengaruh oleh minyak.
4.5. EMULSIFIER
Secara umum, tidak ada aditif lumpur yang dapat diaplikasikan dalam
rongga-rongga yang besar seperti gua-gua dibawah tanah. “Blind drilling”
(pemboran “buta”) dan setting casing string sering digunakan untuk
menyelesaikan masalah tersebut. Akan tetapi, dalam rongga-rongga yang kecil,
material penyumbat dapat secara efektif menutup zona-zona tersebut.
Lost-circulation material dapat diperoleh dalam berbagai ukuran dan bentuk
untuk digunakan dalam penyumbatan rekahan dan mencegah hilangnya lumpur ke
dalam formasi. Dari hasil pengamatan selama beberapa tahun yang lalu, telah di
temukan sekitar 450 macam lost-circulation material, dengan nama produk yang
berbeda-beda. Pengidentifikasian dan pengelompokannya dibuat menurut ukuran
dan bentuk, sehingga dapat mempermudah dalam pemilihan untuk kondisi-kondisi
khusus.
Lost-circulation material berbentuk butiran kecil (granular), serpih (flakes),
atau serat (fibrous), dan diklasifikasikan mulai dari kasar, sedang dan halus..
Campuran dari bahan-bahan granular, flake dan fibrous dirancang untuk menutup
rekahan-rekahan kecil, lapisan gravel, zona yang permeabilitasnya tinggi.
76
Granular material meliputi walnut shell dan ground mica dapat diperoleh
dalam ukuran yang kasar, sedang atau halus, atau 4 sampai 100 mesh menurut U.S.
Standar sieve. Bahan ini biasanya cocok untuk menutup zona porous.
4.7.1. Flocculant
4.7.3. Defoamer
Lumpur juga digunakan sebagai pelumas bagi pahat dan drillstring akibat
adanya gesekan dengan batuan. Sebagai contoh adalah emulsified-oil, surfactant
(surface-active agent), graphite, fine nut shell, dan synthetic plasticized material.
Bab 5
LUMPUR INHIBITIF
(INHIBITIVE MUD)
Formulasi Lapangan
1) Tentukan volume dengan air laut
2) Prehydrate bentonite sebagai berikut : (a) Test perbaikan air untuk total hardness
(Ca++ dan Mg++). Pada umumnya hardness akan berasal dari magnesium.
Treatment dengan caustic soda untuk menekan kelarutan. (b) Tambahkan 20
sampai 30 lb/bbl bentonit untuk memperbaiki air; campurkan semuanya, dan jika
mungkin aduk slurry tersebut selama 16 jam. (c) Tambahkan 1 - 2 lb/bbl
lignosulfonate, campur semuanya, dan pH diatur sikitar 9,5.
3) Tambahkan prehydrated bentonite slurry untuk memperbaiki air dengan
menggunakan volume ratio dari 1 : 3 sampai 1 : 2 prehydrated slurry sampai 2 : 3
sampai 1 : 2 air yang diperbaiki (Ratio tergantung pada kualitas bentonit dan
waktu hidrasi)
4) Tambahkan dari 0,25 - 0,5 lb/bbl polyanionic cellulose pada sistem untuk
mengurangi fluid loss dan untuk membungkus cutting dan formasi yang terbuka.
Perawatan
1) Jika viskositas terlalu rendah, tambahkan prehydrated bentonite, polyanionic
cellulose, atau CMC.
2) Jika viskositas naik diatas range yang diinginkan, encerkan dengan air laut dan
tambahkan lignosulfonate
81
3) Menjaga kadar padatan tetap rendah (total low-density solids content, lb/bbl
bentonite-eqivalent content, MBT) dengan pemrosesan lumpur melalui peralatan
pemisahan padatan
4) Menjaga total hardness level (Ca++ dan Mg++) dibawah 200 ppm
5) Menaikkan densitas lumpur dengan barite jika diperlukan.
Formulasi Lapangan
1) Siapkan volume yang diinginkan dengan air laut
2) Tambahkan 1 lb/bbl xanthan gum melalui hopper
3) Setelah semuanya tercampur, harus mempunyai sifat-sifat dengan range :
o Yield point 6 - 10 lb/100sqft
o 10-det gel strength 2 - 5 lb/100sqft
o 10-mnt gel strength 3 - 6 lb/100sqft
o API fluid loss 20 - 30 ml
o pH 7-9
4) Jika diperlukan, harga yield point dan gel strength dapat dinaikkan dengan
menambahkan xanthan gum dengan kenaikan 0,25 lb/bbl sampai diperoleh harga
yang diinginkan
82
5) Fluid loss xanthan gum dapat diperbaiki dengan menambahkan bentonit kering
dari 2 - 5 lb/bbl melalui hopper atau dengan menambahkan prehydrated bentonite
slurry
6) Mengatur pH antara 7 dan 9 dengan caustic soda
7) Menambahakan 0,25 sampai 0,50 lb/bbl paraformaldehyde untuk menghambat
fermentasi xanthan gum.
Perawatan
1) Tambahkan air laut kedalam sistem untuk menjaga volume
2) Gunakan high-speed shaker dengan ukuran saringan yang halus, desander, dan
desilter untuk membersihkan sistem lumpur dari padatan yang terikut.
3) Menjaga total hardness (Ca++ dan Mg++) kurang dari 100 ppm dengan soda ash
dan caustic soda
4) Jika sifat aliran tidak dapat dikontrol dengan pengenceran, flokulasi, atau secara
mekanis, tambahkan 2 sampai 4 lb/bbl lignosulfonate
5) Untuk menaikkan densitas, tambahkan barite
Lumpur jenuh garam digunakan untuk membor formasi garam atau stringer,
shale inhibition, dan sebagai fluida workover. Lumpur ini disiapkan dengan
menambahkan garam kedalam air tawar atau air asin atau dari saturated brine yang
diperoleh dari lokasi setempat. Tabel 5-1 menunjukkan banyaknya garam dalam
pound per barrel (lb/bbl) yang diperlukan untuk densitas sampai 9,97 lb/gal. Air
tawar memerlukan 123 lb.bbl garam untuk mencapai saturasi, yang setara dengan
311.300 ppm garam. Ada beberapa kerancauan dalam laporan kadar garam terlarut
dibandingkan dengan larutan jenuh. Pada konsentrasi rendah - 10.000 ppm sebagai
contoh, dengan 1 wt%, tetapi larutan jenuh garam dilaporkan sebagai 311.300 ppm
bukan 31,13 wt%, yang kenyataannya 31,13 1,1972 (sp gr) atau 26 wt%.
Ada banyak jenis lumpur jenuh garam yang digunakan secara rutin. Dalam
pembahasan ini hanya dibatasi untuk jenis sistem lumpur paling baru yang
ditekankan pada konsep low-solid. Lumpur lama, yaitu lumpur attapulgite-strach
saturated-salt telah digunakan lebih dari 50 tahun. Formulasi dan perawatannya telah
banyak ditulis dalam berbagai literatur tidak akan diulang disini.
Formulasi Lapangan
1) Siapkan volume yang diinginkan dengan air yang dijenuhi garam atau saturated
brine
2) Prehydrate bentonite menggunakan prosedur seperti yang dijelaskan pada bagian
seawater
83
Tabel 5-1
Data umum kelarutan garam
Perawatan
1) Untuk menaikkan viskositas, tambahkan prehydrated bentonite
2) Tambahkan hanya dengan saturated brine kedalam sistem untuk menjaga volume
3) Menjaga total hardness kurang dari 100 ppm dengan menggunakan caustic soda
dan soda ash
4) Gunakan selective flocculant, desander, dan desilter untuk menjaga kadar padatan
minimum
5) Menjaga fluid loss dalam range yang diinginkan dengan menambahkan
prehydrated bentonite dan polyanionic cellulose
84
6) Jika viskositas naik sampai diatas batas yang ditentukan akibat terakumulasinya
padatan, maka tambahkan lignosulfonate
7) Jika perlu tambahkan barite untuk menaikkan densitas.
Xanthan gum dan campuran xanthan gum dengan hydroxypropyl guar (HPG)
gum digunakan untuk menyiapkan lumpur jenuh garam dimasukkan sebagai salah
satu jenis lumpur karena formulasi dan prosedur perawatannya sama.
Formulasi Lapangan
1) Siapkan volume yang diinginkan dengan air laut
2) Tambahkan 1 lb/bbl xanthan gum atau dari 1 sampai 1,5 lb/bbl xanthan gum HPG
saturated salt water melalui hopper
3) Setelah semuanya tercampur, harus mempunyai sifat-sifat dengan range :
o Yield point 6 - 10 lb/100sqft
o 10-det gel strength 2 - 4 lb/100sqft
o 10-mnt gel strength 3 - 6 lb/100sqft
o API fluid loss 20 - 40 ml
o pH 7 - 9 (diatur dengan caustic soda)
4) Untuk menaikkan viskositas dan mengurangi fluid loss, tambahkan xanthan gum
atau xanthan gum-HPG dengan kenaikan 25 lb/bbl sampai diperoleh sifat-sifat
yang diinginkan
5) Untuk menurunkan fluid loss yang diperoleh dari polimer, maka tambahkan
bentonit kering dari 2 - 5 lb/bbl untuk memberikan range ukuran partikel koloid
yang lebih besar.
Perawatan
1) Air jenuh garam digunakan untuk menjaga volume sistem lumpur
2) Karena kunci keefektifan kinerja lumpur ini adalah solids control, maka rig harus
dilengkapi dengan high-speed shale shaker, desander, dan desilter. Tambahkan
selective flocculant dalam flowline untuk mempermudah pemisahan padatan yang
terikut dalam lumpur
3) Jika viskositas yang dihasilkan dari akumulasi padatan tidak dapat dirawat dalam
range yang diinginkan dengan peralatan pemisah padatan dan bahan kimia
flokulan, maka tambahkan lignosulfonate antara 2 sampai 4 lb/bbl
4) Menjaga total hardness (Ca++ dan Mg++) kurang dari 100 ppm dengan soda ash
dan caustic soda
5) Untuk menaikkan densitas, tambahkan barite.
85
Menaikkan Densitas
Perawatan
Ada 2 kelompok dasar lumpur calcium-treated system, yaitu lime mud dan gyp
mud. Penamaan tersebut menunjukkan sumber dari ion kalsium yang terlarut.
Lumpur kalsium berguna pada daerah yang mengalami problem sloughing dan aliran
air garam yang ditandai dengan berat lumpur yang tinggi. Lumpur kalsium tidak
dapat mencapai harga viskositas dan gel strength yang memadai ketika
terkontaminasi dengan garam yang konsentrasinya sampai 50.000 ppm. Cutting
kurang berpengaruh karena tidak mudah terdispersi dalam lumpur kalsium seperti
pada lumpur sodium-base.
Lime-treated mud semula adalah merupakan lumpur kalsium, dan telah
digunakan dalam sumur-sumur dalam di Gulf Coast. Lumpur lime dapat terjadi
ketika membor semen, yang ditandai adanya sejumlah lime yang dapat menghambat
kenaikan viskositas dan gel strength. Dengan menjaga pH 11,5 atau lebih besar
sebelum membor semen, maka kelarutan ion kalsium dapat ditekan, sehingga sifat-
sifat lumpur tetap relatif baik. Aditif yang digunakan pembuatan lumpur lime-treated
adalah caustic soda, organic dispersant, lime dan fluid loss control agent.
Ada tiga jenis lumpur lime yang dikembangkan selama 30 tahun terakhir,
yaitu :
1) low-lime/low-alkalinity mud
2) conventional atau medium-lime mud
87
Bab 6
STABILITAS SHALE
Tabel 6-1
Ringkasan hasil uji laboratorium
Lembar kerja yang digunakan dalam studi problem shale secara detail
ditunjukkan pada Tabel 6-2. Langkah pertama adalah mendapatkan drilling record
dari sumur-sumur dimana terjadi problem shale. Untuk itu, diperlukan pencatatan
yang meliputi laporan pemboran, laporan harian lumpur pemboran, geolograph, log,
laporan problem pemboran, dan engineering memoranda yang mencatat lumpur
khusus secara detail atau teknik yang digunakan untuk mengurangi problem shale.
Pertanyaan timbul dari drilling records, “Berapa lama lubang terbuka ?” dan
“Berapa lama formasi shale berhubungan dengan lumpur pemboran atau fluida
yang digunakan ?” Dari pengalaman driller dan toolpusher, biasanya mempunyai
jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaan tersebut diatas. Mereka mungkin
menjawab “ “Lubang terbuka selama 30 hari” atau “Anda tidak akan mengalami hole
problem, jika setelah 30 hari lubang bor tersebut dipasang casing”. Komentar lain
mungkin ; “Formasi shale akan cepat longsor secepat anda membornya”, atau “Jika
anda menjaga dengan berat tertentu, formasi akan tetap aman, dan jika berat lumpur
turun, anda akan mengalami problem”.
Driller dan toolpusher menyatakan pendapatnya berdasarkan pengalaman
selama bertahun-tahun, dan hasil pengamatan mereka ditindak lanjuti dengan
melakukan analisis dari drilling record. Studi dari beberapa sumur yang dibor pada
daerah-daerah tertentu mungkin bervariasi dan dipengaruhi oleh faktor waktu, yaitu
satu sumur yang dibor dalam waktu tertentu tidak mengalami problem yang serius,
sementara pemboran sumur yang lain mengalami problem yang serius.
91
Tabel 6-2
Pendekatan untuk mendiagnosa problem shale
Drilling Record
Berapa lama lubang bor terbuka ?
Apakah perbedaan jenis-jenis lumpur yang digunakan : sifat fisik lumpur, jenis sodium
atau calsium ?
Kecepatan anulus untuk berbagai jenis lumpur ; apakah ada korelasi antara kecepatan alir
yang tinggi dengan sloughing shale ?
Tripping practice ?
Bottom hole assembly; rotary speed, dsb.
Plot informasi ; apakah ada korelasinya ?
Prosedur yang digunakan untuk menangani problem pemboran
Diagnosing Problem
Tentukan jenis shale-drilling problem yang terjadi :
Shloughing
Heaving
Tigh hole
Hole enlargement
Caving
Untuk menentukan jenis problem, klasifikasikan shale :
Lakukan sampling.
Lakukan MBT, analisa difraksi Sinar-X.
Diskripsikan sifat-sifat fisik shale, yaitu : lunak, elastik, keras, sensitivitas
terhadap air, dsb.
Lakukan pengujian terhadap sampel shale, yaitu ; swell meter, capillary filtration,
atau shale rolling test, dsb.
Pemilihan sistem lumpur yang sesuai :
Berdasarkan hasil-hasil analisa tersebut diatas.
Mekanis :
Jika problem shale tersebut berhubungan dengan hidrolika, maka harus dibuat
perencanaan program hidrolika yang baru.
Lakukan surge program untuk mengoreksi kecepatan penurunan pipa.
Tigh hole, fill-up, dsb. yang mungkin disebabkan oleh pembersihan dasar lubang
bor yang kurang baik.
Rotary speed (RPM) yang tinggi dapat menyebabkan efek pengkocokan dan pada
gilirannya mengakibatkan kerusakan lubang.
sistem tertutup. Dengan naiknya tekanan overburden, maka tekanan formasi juga naik
dan dapat melampaui tekanan statik yang diberikan oleh tekanan kolom lumpur di
anulus. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya kick atau blowout. Prosedur umum
untuk menangani masalah tersebut adalah menaikkan densitas lumpur. Jika berat
lumpur terlalu tinggi dapat mengakibatkan rekah formasi dan menyebabkan lost
circulation. Untuk menghindari hal tersebut maka dalam penanganan pengendalian
tekanan (pressure control) harus dilakukan secara hati-hati.
Tabel 6-3
Kondisi shale, karateristik dan penanganannya
Jika problem shale disebabkan oleh lumpur pemboran, maka dapat ditentukan
jenis ketidak-stabilan yang terjadi didalam lubang bor. Ada 5 kondisi yang dapat
diidentifikasikan, yaitu : (1) sloughing, (2) heaving, (3) expansion (tigh hole), (4)
gradual hole enlargement, dan (5) caving.
Tabel 6-3 menyajikan 5 kondisi yang berkaitan dengan problem shale. Dari
tabel tersebut dapat dilihat karakterisktik yang dapat digunakan untuk membantu
dalam mengidentifikasi problem shale, dan pemilihan lumpur pemboran untuk
mengurangi problem shale tersebut. Meskipun demikian, informasi dalam table
tersebut tertama digunakan sebagai pemandu dalam studi drilling record dari
94
Gambar 6-1. Perbandingan hasil caliper log dari Sumur 1, 2 dan 3 untuk
bagian (a) upper, (b) Dakota, dan (c) Red River
95
Gambar 6-1
(lanjutan)
96
Gambar 6-1
(lanjutan)
97
Shale terbentuk dari konsolidasi clay dan silt didasar laut, sehingga terbentuk
formasi yang strukturnya merupakan perlapisan atau laminasi. Pengendapan tersebut
terjadi pada jutaan tahun yang lalu dibawah range temperatur dan tekanan tertentu,
dengan komposisi bervariasi sebagai fungsi dari lingkungan geologi dan laut pada
saat pengendapan berlangsung. Berdasarkan variabel-variabel tersebut, maka tidak
mengherankan bahwa shale mempunyai reaksi yang berbeda-beda selama operasi
pemboran berlangsung karena terganggunya stabilitas lingkungan yang telah
terbentuk selama jutaan tahun yang lalu.
Shale terdiri dari berbagai macam mineral, seperti kuarsa, feldspar, dolomit,
kalsit, siderite, dan gypsum. Mineral-mineral tersebut menupakan inert solids dan
tidak terpengaruh oleh lingkungan kimia lumpur pemboran, meskipun kehadirannya
dapat menghasilkan ketidak-stabilan mekanis. Mineral-mineral lainnya adalah
kaolinite, illite, chlorite, montmorilonite, dan mixed-layer clay yang mengadsorbsi air
jika bertemu dengan lumpur water-base sehingga menyebabkan ketidak-stabilan
lubang bor.
Tabel 6-4 menyajikan analisa defraksi sinar-X dari 4 jenis shale dan Wyoming
bentonite yang tidak terubah; mineral inert dan reactive clay juga dapat dilihat pada
tabel tersebut. Harga MBT dinyatakan dalam pound per barrel of bentonite-eqivalent
clay/100 lb shale dan Wyoming bentonite.
Tabel 6-4
Hasil difraksi Sinar-X dari berbagai jenis shale
A B C D Wyoming
Bentonite
Quartz 49 59 63 44 7
Feldspar 4 6 3 trace 15
Calcite 15
Siderite 2
Gypsum 4 1
Kaolinite 12 7
Illite 18 6
Chlorite 15 8 2
Montmorillonite 15 55 78
Mixed layer
Illite/montmorillonite 12
Nilai MBT, lb/100 lb 10,5 15 24 31,5 80
98
Prosedur untuk menentukan harga MBT ditunjukkan pada Tabel 6-5. Dari
hasil studi tentang persen fraksi mineral reactive clay untuk keempat jenis shale
tersebut menunjukkan suatu varian dari 20% untuk Shale B sampai 55% untuk Shale
D. Shale A mempunyai 45% reactive clay mineral, tetapi kaolinite, illite, dan chlorite
memberikan bentonite-eqivalent content sebesar 10,5 lb/bbl. Sebaliknya Shale D
mengandung 55% reactive clay, dan seluruhnya adalah montmorilonite. Harga MBT
untuk Shale D adalah 31,5 lb/bbl bentonite-eqivalent clay. Oleh karena itu, persen
fraksi mineral clay reaktif tidak sepenting kehadiran mineral clay. Urutan
pengurangan sensitivitas shale terhadap air dari shale-shale tersebut adalah D, C, B,
A. Kombinasi analisa defraksi sinar-X dan harga MBT memberikan informasi
penting dalam mengklasifikasikan shale menurut sensitifitasnya.
Shale D dengan bentonite-eqivalent content yang tinggi yaitu 31,5 lb/100 lb
formasi, mempunyai nilai dispersi yang tinggi dalam lingkungan lumpur sodium-
base. Kadar padatan naik dengan cepat, akan menyebabkan terjadinya washout, dan
disusul dengan terjadinya sloughing. Untuk mencegah hidrasi atau dispersi
montmorilonite tersebut digunakan lumpur potassium chloride polymer yang
direkomendasikan.
Tabel 6-5
Penentuan Nilai MBT untuk Shale*
Klasifikasi shale dapat dilakukan dengan pengukuran cation exchange capacity (CEC)
menggunakan methyelene blue test (MBT). Prosedur MBT adalah sebagai berikut :
sodium-base, maka akan meninggalkan ruang kosong yang tidak dapat menahan
beban, apalagi jika ruang tersebut semakin membesar. Hasilnya adalah akan
menimbulkan sloughing shale dalam lubang bor. Hal ini dapat dilihat pada shale
shaker screen. Ketika Shale D dan C dibor dengan menggunakan lumpur sodium-
base, bentonite-eqivalent content (seperti ditentukan dari MBT) dan drilled solids
content akan bertambah. Hal ini menunjukkan bahwa clay yang sensitif terhadap air
sedang terdispersi dalam sistem. Sebagai contoh, lumpur sodium-base mempunyai
densitas 8,9 lb/gal, 4,3% volume (38 lb/bbl) dan harga MBT sebesar 16 lb/bbl
digunakan pada Shale D. Setelah pemboran 900 ft, densitas lumpur naik menjadi 9,5
lb/gal, solid content 8,5% volume (79 lb/bbl), dan MBT 25 lb/bbl. Dari hasil
pencatatan menunjukkan bahwa tidak ada bentonite komersial yang dapat
ditambahkan kedalam sistem, maka naiknya cation exchange capacity disebabkan
oleh hidrasi dan dispersi clay reaktif yang berada dalam shale.
Dalam evaluasi pengaruh formasi clay reaktif, harus diingat bahwa low-
density solids diperbaiki dengan menggunakan Wyoming bentonite dan cutting.
Methylene Blue Test dapat digunakan untuk menentukan cation exchange capacity
dari total low-density solids. Sukar dibedakan antara bentonit komersial dan aktivitas
kationik dari reactive solid dalam formasi. Untuk membedakan kandungan bentonit
komersial dihitung dengan menggunakan persamaan :
( A)( B )
C
CBC 100
A
1
100
dimana ;
CBC = bentonit komersial (lb/bbl)
A = harga MBT formasi, lb bentonite eqivalent/100lb shale
B = total low-density solids, lb/bbl
C = harga MBT lumpur
B-C
Drilled solids content , lb / bbl =
A
1-
100
Tabel 6-6
Analisa Low-Density Solid Sebelum dan Sesudah Pemboran
Pada Formasi Shale setebal 900 ft
Sebelum Sesudah
Densitas lumpur, 8,9 lb/gal 9,5
Kadar padatan, 4,2 vol% 8,5
Kadar padatan, 38 lb/bbl 79,0
MBT lumpur, 16 lb/bbl 25,0
MBT formasi, 9 9 lb/100 lb shale 31,5
CBC, 13,8 lb/bbl 0,18
Drilled solids, 24,2 lb/bbl 78,8
*CBC = commercial bentonite content
Data pada Tabel 6-6 menunjukkan bahwa untuk pemboran Shale D pada
kedalaman 900 ft, kadar bentonite komersial sebesar 13,8 lb/bbl dan kadar drilled
solids-nya 24,2 lb/bbl. Setelah pemboran shale, yang mempunyai sensitivitas formasi
31,5 lb bentonite eqivalent/100 lb shale, kadar bentonit komersial berkurang sampai
nol. Harga MBT lumpur bertambah, dari 16 sampai 25 yang menunjukkan bahwa
struktur lumpur dirubah oleh clay reaktif dalam formasi. Hal ini dapat digunakan
untuk memonitor keefektifan berbagai macam formulasi lumpur pemboran yang
digunakan untuk menekan/mengurangi hidrasi clay yang sensitif terhadap air dan
mencegah problem pemboran.
Shale B mengandung chlorite dan perlapisan yang terdiri dari illite dan
montmorilonite. Harga MBT-nya 15 lb bentonite eqivalent/100 lb shale, dan menurut
sistem klasifikasi O’Brien dan Chenevert, shale B termasuk Kelas-3 dengan
kecenderungan dispersi dan sloughing menengah. Jika clay reaktif terkonsentrasi
dalam struktur lensa, maka akan terjadi hidrasi dan dispersi yang dapat memperlemah
formasi dan menimbulkan sloughing shale. Jika fraksi clay reaktif tersebar secara
acak diseluruh formasi, maka kemungkinan sloughing shale dapat berkurang. Jenis
shale ini dapat dibor secara efektif dengan menggunakan lumpur low-solid yang
mengandung polimer dengan berat molekul yang tinggi. Kemungkinan lainnya
adalah menggunakan sistem lumpur KCl polymer. Pemilihan lumpur tersebut
berdasarkan distribusi clay dalam formasi. Biasanya tidak ada core yang dapat
digunakan untuk memberikan informasi ini, dan cutting juga tidak dapat memberikan
gambaran yang nyata. Untuk itu, digunakan prosedur untuk pengujian berbagai
lumpur pemboran sampai diperoleh kesimpulan. Meskipun demikian, dengan
menggunakan peralatan yang ada, seperti drilling record, log, analisa sampel shale,
MBT, dan perbandingan berbagai lumpur pemboran, maka problem ketidak-stabilan
shale dapat diselesaikan dalam waktu yang lebih singkat.
Shale A mengandung kaolinite, illite, dan chlorite, dengan harga MBT 10,5 lb
bentonite eqivalent/100 lb shale. Menurut O’Brien dan Chenevert termasuk dalam
101
shale Kelas-4. Shale ini jika dibor dengan menggunakan lumpur sodium-base, maka
tidak akan terjadi sloughing atau heaving secara mendadak, karena dispersi yang
terjadi sangat kecil. Meskipun demikian, setelah shale menyerap air melalui rekahan,
maka kaolinite, illite dan chlorite akan menghidrasi dan menyebabkan sloughing.
Untuk membor formasi shale jenis ini tidak memerlukan lumpur yang mahal.
ground-shale slurry dengan tekanan tinggi. Core yang cocok dipotong dari shale
padat untuk ditest. Selanjutnya core ditempatkan pada peralatan tersebut dengan
gasket dan dibungkus dengan epoxy sehingga kondisi dasar lubang bor dapat
disimulasikan. Fluida disirkulasikan melalui core selama waktu tertentu. Setelah test,
kondisinya dirubah menjadi kondisi atmosfir, dan test core dilakukan untuk
menentukan pengaruh komposisi fluida. Pendekatan yang disajikan pada bab ini
adalah meliputi :
1) Studi drilling record untuk menidentifikasikan jenis problem shale
2) Analisa defraksi sinar-X
3) Penentuan kadar clay reaktif dengan MBT
4) Rolling test, yang hasilnya dapat digunakan sebagai basis untuk pemilihan lumpur
pemboran yang sesuai dengan formasi shale yang akan dibor.
103
Bab 7
LUMPUR DASAR MINYAK
(OIL-BASE MUD)
Pengembangan oil-base mud dimulai pada awal tahun 1920, yaitu ketika para
engineer menyadari bahwa dengan terbukanya formasi tertentu, maka filtrat yang
dihasilkan dari water-base mud hilang ke dalam formasi produktif. Oil-base mud
pertama kali digunakan sebagai fluida komplesi dan workover. Para peneliti mencatat
bahwa produksi sumur dapat diperbaiki jika dibandingkan dengan sumur yang dibor
dengan water-base mud. Kemudian, dari hasil uji laboratorium dapat dikonfirmasikan
apa yang terjadi. Jika formasi produktif mengandung clay yang dapat menghidrat
apabila bertemu degan air, maka akan menyebabkan clay mengembang dan
terdispersi. Ketika terdispersi, clay berpindah dengan fluida kedalam ruang pori
sampai menyumbat pori dan membentuk suatu penutup (bridge), sehingga dapat
menghentikan atau menghalangi aliran. Mekanisme ini disebut clay blocking. Tetesan
air dan padatan yang larut dalam air menyebabkan naiknya apparent viscosity minyak
dan mengurangi kemampuan untuk mengalir, kondisi ini disebut sebagai water
blocking atau solid blocking. Dari hasil studi core telah didokumentasikan bahwa
kapasitas produksi formasi dapat berkurang sebanyak 90% akibat pengaruh intrusi air
tawar ke dalam formasi yang sensitif.
Crude oil digunakan secara efektif pada awal penggunaan lumpur ini, tetapi
dengan penggunaan yang terus-menerus mempunyai beberapa kerugian yang serius,
yaitu :
1. Material pemberat tidak dapat tersuspensi karena kurangnya struktur gel
2. Viskositas bervariasi, tergantung dari tempat diperolehnya crude oil
3. Fluid loss ke dalam formasi berlebihan
4. Dapat terjadi bahaya kebakaran karena terdiri dari unsur-unsur yang volatil di
dalam crude oil
5. Keefektifan penyekatan formasi jelek karena tidak adanya padatan koloid yang
dapat menghasilkan “wall cake”.
Untuk mengatasi kerugian-kerugian tersebut, peneliti melakukan
pengembangan sistem yang sifat-sifatnya telah diprediksi sehingga dapat menjaga
keefektifan selama operasi pemboran atau komplesi. Penelitian ini dilakukan
terhadap dua front utama. Usaha pertama adalah mentreatment minyak sehingga
material pemberat dapat tersuspensi. Kedua melibatkan sejumlah emulsifying air yang
relatif besar kedalam minyak. Penelitian terhadap kedua front tersebut menghasilkan
dua sistem oil-base, yang secara umum disebut sebagai true-oil mud dan invert
104
emulsion. Kedua sistem tersebut diperoleh dari mud service company. Sistem ini
sangat komplek, dan harus diawasi oleh orang-orang yang terlatih dalam semua tahap
operasi termasuk formulasi, pendesakan, perawatan, prosedur test khusus, peralatan
yang hanya digunakan untuk oil-base mud, dan awal pengenalan problem.
Teknologi oil-base mud sangat berbeda dengan water-base mud. Pemantauan
terhadap sifat-sifat lumpur bukan sebagai sesuatu yang dapat diprediksi, terutama
jika pengguna lumpur (mud user) tersebut tidak mengerti atau mengetahui sifat-sifat
kimia dari produk yang digunakan atau jika bahan-bahan kimia dari yang digunakan
berasal dari berbagai supplier yang berbeda jenis produknya. Keaneka-ragaman
bahan kimia yang digunakan untuk oil-base mud tampaknya sedikit, akan tetapi
sebenarnya dapat merusak sistem lumpur jika penggunaannya tidak sesuai. Dalam
sistem water-base mud, pada umumnya dapat diprediksi pengaruh treatment kimia
dan kontaminan terhadap sifat-sifat fisik lumpur, tetapi untuk oil-base mud tidak
selalu demikian, terutama jika orang yang bertugas sebagai pengawas belum
mendapatkan latihan yang memadai.
Meskipun sistem lumpur oil-base relatif mahal dibanding dengan lumpur
water-base, penggunaannya telah semakin meningkat pada dasa warsa yang lalu.
Penggunaan sistem lumpur oil-base terutama adalah untuk :
1. Pemboran yang mengalami problem shale
2. Pemboran dalam, dan bertemperatur tinggi
3. Fluida komplesi
4. Fluida workover
5. Fluida packer
6. Fluida perendam untuk pipa terjepit
7. Pemboran zona garam yang masif
8. Fluida coring
9. Pemboran formasi yang mengandung hydrogen sulfide dan karbon dioksida.
Emulsi didefinisikan sebagai dispersi suatu fluida, yang terdiri dari fasa
internal dalam fluida yang lain, dan fasa eksternal atau fasa kontinyu. Emulsi terdiri
dari dari dua jenis cairan yang tidak dapat tercampur satu dengan yang lain, tetapi
fasa internalnya tetap terdispersi dalam fasa kontinyu dalam bentuk butiran-butiran
kecil (lihat Gambar 7-1).
Jika butir-butir air terdispersi dalam minyak, maka akan terbentuk water-in-
oil emulsion, dan jika butir-butir minyak terdispersi dalam air, maka akan
menghasilkan oil-in water emulsion. Ada tiga istilah yang sering muncul dalam
literatur lumpur pemboran, yaitu : oil-emulsion mud, oil-base mud, dan invert
emulsion mud. Istilah “oil-emulsion mud” hanya digunakan untuk oil-in-water
system. Oil-base mud biasanya mengandung 3 - 5% air yang teremulsi dalam minyak
sebagai fasa kontinyu. Invert-emulsion mud dapat mengandung sampai 80% air
105
(walaupun secara umum sekitar 50%) teremulsi dalam minyak. Sedangkan dua yang
terakhir adalah water-in-oil emulsion.
Jenis emulsi yang terbentuk ketika dua macam cairan yang tidak tercampur
secara mekanis terpotong akibat penambahan bahan kimia emulsifier.
Gambar 7-2 menunjukkan bentuk struktur dari emulsifier strearic acid. Polar
head dari molekul ini larut dalam air, sementara non polar tail larut dalam media
organik, seperti diesel oil. Jika strearic acid terlarut, hidrogen menjadi terpisah dari
kelompok hidroksil pada polar head. Jika kation sodium bebas (Na+) hadir, maka
terbentuk oil-in-water emulsion. Jika kation divalen seperti kalsium (Ca++) hadir,
akan menghasilkan suatu struktur yang bercabang dua. Hal ini cenderung membentuk
suatu permukaan minyak yang cembung yang membentuk water-in-oil emulsion.
Pemotongan mekanis dari campuran diesel oil, air, dan emulsifier dengan
struktur yang bercabang dua memecah air menjadi butir-butir yang lebih kecil dari
gabungan dengan suatu film molekuler pada setiap butiran tersebut. Film tersebut
adalah merupakan bidang kontak antar permukaan antara minyak dan air dimana
emulsifying agent terkonsentrasi. Fungsi dari emulsifier adalah untuk mengurangi
tegangan antar permukaan, yang secara alamiah butir-butir air cenderung akan
bergabung. Dengan mengkonsentrasikan emulsifier pada bidang antar permukaan
molekuler antara butir-butir minyak dan air, maka tegangan permukaan akan
berkurang. Butir-butir air yang telah berkurang menjadi kecil oleh adanya energi
mekanis, maka tidak akan membentuk kembali menjadi butir-butir yang lebih besar
jika emulsifier yang digunakan sudah mencukupi.
106
Produk dasar yang diperlukan untuk formulasi baik oil-base mud ataupun
invert emulsion system adalah sebagai berikut :
1) Diesel oil atau nontoxic mineral oil
2) Air
3) Emulsifier
4) Wetting agent
5) Oil-wettable organophillic clay
6) Lime
7) Barite/Hematite
Prosedur Pendesakan
Pengontrolan fluid loss dari oil-base mud bukan merupakan problem yang
umum karena bahan-bahan yang digunakan formulasi sistem lumpur tersebut dan
micellar emulsion sangat efektif untuk menyekat ruang pori yang sangat kecil. API
fluid loss lumpur minyak biasanya mendekati nol. HTHP fluid loss dari oil mud dan
invert system bervariasi antara 15 sampai 30 cc/menit
Telah lama disadari bahwa bahan-bahan koloid dalam lumpur mempunyai
pengaruh merusak terhadap laju penembusan. Studi microbit oleh Fonenot dan
Simpson dan hasil uji lapangan yang dilaporkan oleh O’Brien et al. menunjukkan
bahwa pengurangan kadar koloid dari sistem oil-base mud dapat menaikkan laju
penembusan. Karena fluid loss yang sangat rendah dan laju penembusan yang sangat
rendah telah menjadi ciri dari lumpur minyak.
HTHP fluid loss test dilakukan di laboratorium dengan menggunakan tekanan
750 psi pada fluida dengan back pressure 250 psi pada tabung penerima untuk
mencegah flashing atau penguapan dari filtrat minyak. Beberapa peralatan uji
lapangan menggunakan 600 psi dan 100 psi back pressure untuk memperoleh
perbedaan tekanan 500 psi. Penampang melintang HTHP cell adalah setengah dari
regular API fluid loss cell, sehingga volume filtrat yang terkumpul harus dikalikan
dua. Uji temperatur dan tekanan harus selalu dilaporkan dengan volume filtrat
terkoreksi.
Sifat-sifat Aliran
Sifat-sifat aliran (plastic viscosity, yield point, gel strength) dipengaruhi oleh
banyaknya dan ukuran butir-butir air yang teremulsi dalam minyak; jumlah, ukuran
dan kondisi total padatan yang terkandung didalam sistem lumpur; dan elektrokimia
dan interaksi fisik dari padatan, air, dan hadirnya minyak. Sifat-sifat aliran lumpur
minyak dikembangkan dengan 4 metoda dasar :
1. Sabun yang tidak larut, jika dibasahi dengan minyak, membentuk struktur rantai
panjang
2. Bahan-bahan asphaltic yang menghasilkan viskositas melalui interaksi mekanis
3. Organophillic clay yang menghasilkan dispersi dalam media minyak
4. Butir-butir emulsi yang menyerupai struktur micellar yang sangat kecil.
110
Oil-Water Ratio
Padatan (Solids)
Padatan halus masuk kedalam oil-base mud selama proses pemboran dan
menaikkan viskositas, berasal dari 3 sumber, yaitu : (1) organophllic clay, (2) naiknya
kadar air yang membentuk colloidal micelles, dam (3) cutting (drilled solids).
Kelompok pertama, organophllic clay dapat dikontrol. Sumber padatan kedua,
colloidal micelles, dapat dikontrol kecuali dalam kasus aliran air yang
mengkontaminasi sistem. Kelompok ketiga, cutting, merupakan masalah yang paling
besar.
Bahkan dengan sistem solid control yang paling efektifpun, cutting akan tetap
bertambah dalam sistem oil-base. Cutting dalam oil-base mud sering terjadi terutama
karena cutting tidak menghidrat dalam sistem eksternal minyak. Hal ini menunjukkan
bahwa padatan tidak menghidrat dalam sistem lumpur minyak. Ketika cutting
menjadi koloid, tidak dapat dipisahkan dengan peralatan pemisah padatan. Jika
jumlah padatan terlalu banyak, maka akan menaikkan viskositas, dan hanya treatment
dengan minyak untuk menurunkan viskositas tersebut.
112
Prosedur untuk menentukan kadar padatan oil-base mud adalah sama seperti
yang digunakan untuk water-base mud. Prosedur ini ditunjukkan dalam API RPBB.
Untuk penentuan kadar padatan dalam lumpur minyak harus diperhatikan beberapa
hal, yaitu : (1) base oil (diesel, mineral oil, dsb.) menggantikan air atau larutan sabun
dalam pembersihan sampel dan peralatan, dan (2) total %volume padatan yang
dilaporkan meliputi kadar garam, bahan pemberat, cutting, dan kadar bentonit
komersial. Menurut item (2), hal ini sangat penting untuk mengetahui low specific
gravity kadar padatan sebenarnya untuk menganalisa problem yang ada dalam
lumpur. Low gravity solid disebut LGS dihitung dari data retort seperti ditunjukkan
pada Tabel 7-1. Tabel 7-2 memberikan densitas larutan dan faktor koreksi volume
baik untuk sodium chloride maupun calcium chloride.
Tabel 7-1
Perhitungan padatan (solid) specific garvity rendah
(1) Tentukan :
(a) Densitas lumpur, MW (lb/gal)
(b) Densitas air garam, Wsw (lb/gal) dari Tabrl 7-2
(c) Faktor koreksi volume (Cf) dari Tabel 7-2
(d) Data retort - % minyak; % air
(2) Hitung persen volume padatan yang tidak terlarut :
Gambar 7-4 dan 7-5 menunjukkan kadar padatan terkoreksi vs. densitas
untuk lumpur minyak yang diperberat dengan hematite atau barite. Gambar-gambar
tersebut telah dikoreksi untuk water-soluble solids, yaitu : sodium chloride, calcium
chloride, atau campuran dalam oil-base mud. Grafik-grafik tersebut sangat berguna
baik di kantor maupun di lokasi pemboran untuk menentukan keefektifan teknik
solid-control yang digunakan dalam menjaga konsentrasi low specific-gravity solids
pada batas yang ditentukan. Tiga garis diplot pada setiap grafik. Garis di dasar adalah
hematite atau barite, minyak, dan 10%, 20%, atau 20% air. Garis kedua pada semua
grafik diberi label “poor solids above”. Garis ketiga dari dasar diberi label “maximum
allowable solids”. Engineer mempertahankan oil-base mud total jumlah padatan yang
tidak terlarut tetap berada diantara dasar (bottom) dan garis kedua, tetapi tidak
melebihi maksimum “allowable solids line”.
Tabel 7-2
Densitas larutan dan faktor koreksi volume
gaya kompaksi. Afinitas ini sering disebut sebagai gaya hidrasi permukaan, yaitu
sama dengan tekanan overburden dikurangi tekanan formasi. Gaya kompaksi adalah
sama seperti formation matrix stress dan dapat diperkirakan sebagai berikut :
OB = PP + MS
MS = OB - PP
dimana ;
OB = tekanan overburden, psi/ft.
PP = tekanan formasi, psi/ft.
MS = matrix stress, psi/ft.
Tabel 7-3
Analisa kadar padatan dalam oil-base mud pada pemboran
sumur di lapangan minyak
Oil-water ratio 89 : 11
CaCl2, lb/bbl 15,3
Hematite, lb/bbl
305
LDS, lb/bbl 76,5
115
Dengan mendefinisikan bahwa osmosis adalah aliran pelarut dari larutan yang
konsentrasinya kurang kedalam larutan yang kosentrasinya lebih tinggi melalui
selaput (membrane) semipermeable. Hal ini dijelaskan dengan Gambar 6-6. Dalam
oil-base mud, interfacial film disekitar setiap butir-butir air teremulsi beraski sebagai
film semipermeable. Jika fluida yang terdiri dari fasa air (internal) dalam fasa minyak
(eksternal) mengandung salinitas lebih tinggi dari fluida formasi, maka akan terjadi
transfer fluida dari shale, dan akibatnya akan terjadi dehidrasi pada shale. Sebaliknya
jika air bersatu dengan shale yang mempunyai kadar garam lebih tinggi dari air dalam
fasa internal lumpur pemboran, maka akan terjadi transfer fluida ke dalam shale,
sehingga dapat menaikkan gaya hidrasi. Pada saat ini umumnya oil-base mud
mempunyai konsentrasi calcium chloride sebesar 400.000 ppm. Konsentrasi ini dapat
menghasilkan tekanan osmotik sebesar 16.100 psi, merupakan gaya yang cukup
untuk mem”desorb” air dari clay yang mengandung montmorilonite dengan
konsentrasi tinggi. Dalam beberapa kasus, tekanan osmotik turun secara drastis
antara 5.000 dan 10.000 psi. Tekanan tersebut dapat dihasilkan oleh 220.000 sampai
310.000 ppm CaCl2. Larutan jenuh sodium chloride akan menegmbangkan tekanan
osmotik sebesar 5.800 psi. Maka, dapat terbukti bahwa mengapa pada umumnya oil-
base mud mengandung calcium chloride.
Chenevert mengemukakan konsep bahwa tidak ada perpindahan air baik dari
atau ke shale, karena potensi kimia atau aktivitas baik lumpur maupun shale harus
sama. Aktivitas didefinisikan sebagai perbandingan antara fugasitas air dalam sistem
dengan fugasitas air murni. Untuk tujuan praktis, perbandingan fugasitas (fugacity
ratio) dapat digantikan dengan perbandingan tekanan uap (ratio of vapor pressure).
Karena tekanan uap pada dasarnya sama seperti kelembaban relatif, dan karena
kelembaban relatif air murni adalah 1,0, maka aktivitas setiap sistem secara relatif
dapat ditentukan, yaitu 1,0. Jika aktivitas formasi yang dibor diketahui , maka sistem
lumpur dapat dipersiapkan atau diatur agar mencapai aktivitas yang sama.
penstabil emulsi dan suspensi cutting. Penelitian ini adalah merupakan pendorong
untuk mencapai keberhasilan dalam pengembangan apa yang sekarang dikenal
sebagai “low-colloid mud”.
Gambar 7-6. Pengaruh tekanan osmotik, air akan mengalir dari zona salinitas
rendah menuju ke salinitas tinggi.
Tabel 7-4
Program logging untuk Lumpur Dasar Minyak
121
Hal-hal penting yang harus diperhatikan dalam program logging pada oil-base
mud meliputi :
1) Resistivitas formasi dapat ditentukan dengan log induksi
2) Log radiasi dapat dikombinasikan dengan log lain untuk tujuan korelasi
3) Porositas ditunjukkan melalui sonic, densitas, atau log neutron, baik secara
terpisah maupun kombinasi
4) Sidewall core dan wireline formation test dapat dilakukan pada oil-base mud
dengan menggunakan gamma ray tool.
Tabel 7-5
Pemecahan masalah dalam penggunaan Oil-Base Mud
122
REFERENSI