Anda di halaman 1dari 131

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/364813218

LUMPUR PEMBORAN Perencanaan dan Solusi Masalah Secara Praktis

Book · October 2022

CITATIONS READS

0 1,621

2 authors, including:

Aris Buntoro
University of National Development "Veteran" Yogyakarta
23 PUBLICATIONS   27 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Fracability Model of Brownshale Based on Correlation of Drill Cuttings and Well Log Analysis View project

All content following this page was uploaded by Aris Buntoro on 28 October 2022.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


LUMPUR PEMBORAN
Perencanaan dan Solusi Masalah
Secara Praktis

Disusun Oleh :
Aris Buntoro

Jurusan Teknik Perminyakan


Fakultas Teknologi Mineral
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”
YOGYAKARTA
2016
ii

KATA PENGANTAR

Tujuan penulisan buku ini adalah untuk memberikan informasi dan


pengetahuan tentang lumpur pemboran dan aplikasinya di lapangan migas dan
panasbumi secara praktis yang mencakup dasar perencanaan, karakteristik clay,
bahan-bahan aditif, lumpur inhibitif, stabilitas shale, dan lumpur dasar minyak.
Dengan pemahaman terhadap isi materi-materi dalam buku ini diharapkan bahwa
pembaca akan mampu menformulasikan lumpur pemboran secara tepat yang pada
gilirannya dapat membantu dalam program optimasi pemboran.
Buku ini merupakan rangkuman dari berbagai referensi yang penulis pandang
cukup representatif untuk dijadikan acuan dalam memahami tentang dasar-dasar
perencanaan lumpur dan solusi masalah-masalah yang biasa dijumpai dalam operasi
pemboran di lapangan migas maupun panasbumi secara umum.
Dalam buku ini juga dikemukakan tentang formulasi lumpur lapangan, cara
perawatan, dan aplikasinya. Selain itu juga mengulas tentang diagnosa problem
pemboran dan langkah-langkah penanganannya.
Penulis menyadari bahwa dalam menyusun/merangkum buku ini masih jauh
dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat
penulis harapkan untuk perbaikan dalam penerbitan yang akan datang.
Akhir kata, penulis berharap semoga buku ini dapat bermanfaat bagi pembaca
yang berkecimpung dalam kegiatan operasi pemboran migas dan panasbumi pada
umumnya, dan khususnya bagi mahasiswa teknik perminyakan.

Yogyakarta, September 2016.

Aris Buntoro
iii

Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan


(QS Alam Nasyrah : 6)

Kupersembahkan untuk
Tituk istriku, Ninggar dan Danan anakku
yang menjadi penyemangat hidupku
iv

BIODATA
Aris Buntoro adalah staf pengajar pada Jurusan Teknik
Perminyakan, Fakultas Teknologi Mineral, Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta. Lulus
Sarjana Teknik Perminyakan (S-1) dari Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta dan lulus
Program Pasca Sarjana (S-2) dalam bidang Teknik Perminyakan dari Institut
Teknologi Bandung.
Aris Buntoro adalah senior consultant dalam industri migas dan panasbumi,
antara lain untuk pekerjaan : Penyusunan SOP Drilling Migas & Panasbumi,
Studi Geomekanik & Analisa XRD untuk Stabilitas Lubang Bor, Studi Shale
Problem Pada Operasi Pemboran, Investigasi Problem Pemboran dan
Penyelesaiannnya, Plan of Development (POD) Lapangan Migas, Studi
Geophysics-Geology-Reservoir (GGR) Lapangan Migas, Studi Optimasi
Produksi Lapangan Migas, Studi Revitalisasi Data Sebagai Dasar Dalam
Rencana Kerja Reparasi, Reopening, Stimulasi, Fracturing Dan Optimasi
Lifting Lapangan Migas, Studi Jaringan Pipa Penyalur Dan Surface Facilities
Lapangan Migas, dan Inspeksi Terpadu Fasilitas Produksi Lapangan Migas.
Aris Buntoro juga menjadi instruktur baik public maupun in-house training,
antara lain : Introduction to Material Knowledge in Oil & Gas Industry, Basic
Production Operation, Introduction to Petroleum Engineering, Basic Drilling
Engineering, Directional & Horizontal Drilling Technology and Its Aplications,
Mud Design and Problem Solving, Optimasi Artificial Lift Sumur Minyak,
Well Completions - Workover and Well Stimulation, dan topik yang lainnya
sesuai dengan kebutuhan user.
Aris Buntoro adalah Ketua IATMI Komda DIY & Jateng untuk Periode 2004 –
2006, dan juga menjadi anggota asosiasi profesi IPA, INAGA, dan SPE.
v

DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ii

BIODATA PENULIS iv

DAFTAR ISI v

BAB I LUMPUR PEMBORAN 1

1.1. FUNGSI LUMPUR PEMBORAN 1


1.1.1. Mengangkat Serbuk Bor ke Permukaan 1
1.1.2. Mengontrol Tekanan Formasi 2
1.1.3. Mendinginkan serta Melumasi Pahat Drillstring 2
1.1.4. Membersihkan Dasar Lubang Bor 3
1.1.5. Membantu Dalam Evaluasi Formasi 3
1.1.6. Melindungi Tekanan Formasi 3
1.1.7. Membantu Stabilitas Formasi 4

1.1. KOMPOSISI LUMPUR PEMBORAN 4


1.2.1. Fasa Cair 4
1.2.2. Fasa Padat 5
1.2.3. Bahan Kimia (Additive) 6

1.3. SIFAT-SIFAT FISIK LUMPUR PEMBORAN 6


1.3.1. Densitas 6
1.3.2. Rheologi (Sifat Aliran) 7
1.3.3. Filtration Loss 13

1.4. JENIS-JENIS LUMPUR PEMBORAN 13


1.4.1. Fresh Water-base Muds 14
1.4.2. Salt Water-base Muds 17
1.4.3. Oil-base Muds 18
1.4.4. Emulsion Mud 19

1.5. PERHITUNGAN LUMPUR 19


1.5.1. Perhitungan Menaikkan Densitas Lumpur 19
1.5.2. Perhitungan Mennurunkan Densitas Lumpur 24
1.5.3. Latihan 28

1.6. KONTAMINAN LUMPUR 29


1.6.1. Sodium Klorida (Garam) 29
vi

1.6.2. Anhydrite dan Gypsum 29


1.6.3. Semen 30

1.7. PERALATAN PENGKONDISIAN LUMPUR 30

BAB II DASAR PERENCANAAN PROGRAM LUMPUR 39

2.1. DASAR OPTIMASI PERENCANAAN PROGRAM


LUMPUR 39
2.1.1. Kajian Laporan Program Lumpur Sebelumnya
(Mud Report) 39
2.1.2. Pemeriksaan Ulang Peralatan Solid Control
yang Digunakan 43
2.1.3. Pemeriksaan Sistem Sirkulasi 43
2.1.4. Pemeriksaan Lumpur 43
2.1.5. Identifikasi Problem Pemboran 44
2.1.6. Pengembangan Perencanaan 45
2.1.7. Implementasi Informasi 45

2.2. PENGARUH LUMPUR TERHADAP LAJU PEMBORAN 45


2.2.1. Pengaruh Total Padatan 46
2.2.2. Pengaruh Padatan Koloid dan Dispersi 48
2.2.3. Pengaruh Perbedaan Tekanan (Differential Pressure) 49
2.2.4. Pengaruh Viskositas Lumpur 51

BAB III KARAKTERISTIK CLAY 53

3.1. CLAY 53
3.2. MEKANISME HIDRASI CLAY 55
3.3. PENGARUH VARIASI pH 58

BAB IV BAHAN KIMIA (ADDITIVES) LUMPUR PEMBORAN 62

4.1. VISCOSIFIER (PENGENTAL) 62


4.2. WEIGHTING MATERIAL (MATERIAL PEMBERAT) 65
4.3. VISCOSITY REDUCER/THINNER (PENGENCER) 67
4.4. FLUID LOSS CONTROL 72
4.5. EMULSIFIER 74
4.6. LOSS CIRCULATION MATERIAL (LCM) 75
4.7. ADITIF KHUSUS 77

BAB V LUMPUR INHIBITIF (INHIBITIVE MUD) 79

5.1. SEAWATER MUD 79


5.2. LUMPUR PREHYDRATED BENTONITE-POLYANIO-
NIC CELLULOSE (CMC) 80
vii

5.3. LUMPUR XANTHAN GUM POLYMER 81


5.4. LUMPUR JENUH GARAM (SALT-SATURATED MUD) 82
5.5. XANTHAN GUM DAN HYDROXYPROPYL GUAR 84
5.6. LUMPUR POTASSIUM-BASE 85
5.7. CALCIUM TREATED MUD 86

BAB VI STABILITAS SHALE 88

6.1. DIAGNOSA PROBLEM SHALE 90


6.2. DIAGNOSA PROBLEM 93
6.3. DEFRAKSI SINAR-X DAN METHYLENE BLUE TEST 97
6.4. ROLLING TEST 101
6.5. TEST TAMBAHAN 101

BAB VII LUMPUR DASAR MINYAK (OIL-BASE MUD) 103

7.1. TEORI EMULSI 104


7.2. KOMPOSISI LUMPUR DASAR MINYAK 107
7.3. FORMULASI LAPANGAN 107
7.4. SIFAT-SIFAT FISIK LUMPUR DASAR MINYAK 109
7.5. PENGONTROLAN ACTIVITAS OIL-BASE MUD UNTUK
MENCAPAI STABILITAS LUBANG BOR 113
7.6. LOW-COLLOID OIL MUD 117
7.7. LOGGING IN OIL-BASE MUD 120
7.8. PEMECAHAN MASALAH DENGAN OIL-BASE MUD 122

REFERENSI 123
1

Bab 1
LUMPUR PEMBORAN

Lumpur pemboran merupakan faktor yang penting dalam operasi


pemboran. Kecepatan pemboran, efisiensi, keselamatan dan biaya pemboran
sangat tergantung dari lumpur pemboran yang dipakai.
Lumpur pemboran diperkenalkan pertama kali dalam pemboran putar
(rotary drilling) pada sekitar awal tahun 1900. Pada mulanya orang hanya
menggunakan air untuk mengangkat serbuk bor (cutting) secara kontinyu.
Kemudian dengan berkembangnya teknologi pemboran, lumpur mulai digunakan,
dan fungsi lumpur menjadi semakin komplek dan untuk memperbaiki sifat-sifat
lumpur tersebut ditambahkan bahan-bahan kimia (mud additives).

1.1. FUNGSI LUMPUR PEMBORAN

Fungsi utama lumpur pemboran adalah :


1. Mengangkat serbuk bor ke permukaan
2. Mengontrol tekanan formasi
3. Mendinginkan serta melumasi pahat dan drillstring
4. Membersihkan dasar lubang bor
5. Membantu dalam evaluasi formasi
6. Melindungi formasi produktif
7. Membantu stabilitas formasi

1.1.1. Mengangkat Serbuk Bor ke Permukaan

Serbuk bor yang dihasilkan pada waktu operasi pemboran harus segera
diangkat ke permukaan agar tidak terjadi penumpukan serbuk bor di dasar lubang.
Kapasitas pengangkatan serbuk bor tergantung dari beberapa faktor, antara lain :
kecepatan aliran di anulus, viskositas plastik, yield point lumpur pemboran dan
slip velocity dari serbuk bor yang dihasilkan.
Secara umum, resultan kecepatan (atau kecepatan pengangkatan) serbuk
bor adalah merupakan perbedaan antara kecepatan di anulus, Vr, dan slip velocity,
Vs. Dengan menggunakan power-law model, slip velocity serbuk bor dapat
dihitung dengan persamaan :
2

175D p (  p   m ) 0,667
Vs  ft / menit .......................................(1-1)
 0m,333  0e ,333
dimana ;
Dp = diameter partikel, in
p = densitas partikel, lb/gal
m = densitas lumpur, lb/gal
e = viskositas lumpur efektif (lihat pada sub-bab rheologi)

Dalam satuan metrik Persamaan 1-1 dapat dinyatakan :

15,2 Dp (  p   m ) 0,667
Vs  m / det ..........................................(1-2)
 0m,333  0e ,333

dimana densitas dinyatakan dalam satuan kg/liter


Kecepatan di anulus, Vr secara sederhana dinyatakan sebagai volume laju
aliran dibagi dengan luas anulus. Kecepatan pengangkatan, V dapat dihitung :

V = V r - Vs ............................................(1-3)

Lumpur pemboran juga harus mampu menahan serbuk bor dalam suspensi
ketika sirkulasi dihentikan, sehingga dapat mencegah terakumulasinya serbuk bor
di dasar lubang bor yang dapat menyebabkan pipa terjepit (pipe stuck).

1.1.2. Mengontrol Tekanan Formasi

Untuk keselamatan pemboran, tekanan formasi yang tinggi juga harus


diimbangi dengan tekanan hidrostatik lumpur yang tinggi, sehingga tekanan
hidrostatik lumpur lebih besar dari tekanan formasi. Secara efektif perbedaan
anatara tekanan hidrostatik lumpur dengan tekanan formasi (overbalance
pressure) harus sama dengan nol, tetapi dalam praktek harganya sekitar 100 - 200
psi. Untuk mengontrol tekanan formasi tersebut dilakukan dengan mengatur berat
(densitas) lumpur.

1.1.3. Mendinginkan serta melumasi pahat dan drillstring

Perputaran pahat dan drillstring terhadap formasi akan menghasilkan panas,


sehingga dapat mempercepat keausan pahat dan drillstring. Selain panas yang
ditimbulkan akibat gesekan juga panas yang berasal dari formasi itu sendiri,
dimana semakin dalam formasi yang dibor, temperatur juga semakin tinggi.
Dengan adanya lumpur pemboran, maka panas tersebut dapat ditransfer keluar dari
lubang bor. Lumpur pemboran dapat membantu mendinginkan drillstring dengan
3

menyerap panas dan melepaskannya, melalui proses konveksi dan radiasi, pada
udara di sekitar mud pit. Lumpur pemboran juga dapat melumasi pahat dan
drillstring dengan menurunkan friksi drillstring dan pahat dengan formasi yang
ditembus. Untuk mendapatkan pelumasan yang lebih baik pada umumnya dapat
ditambahkan sedikit minyak kedalam lumpur.

1.1.4. Membersihkan Dasar Lubang Bor

Secara umum, pembersihan dasar lubang bor dilakukan dengan


menggunakan fluida yang encer pada shear rate tinggi saat melewati nozzle pada
pahat. Ini berarti bahwa fluida yang kental kemungkinan besar dapat digunakan
untuk membersihkan lubang bor, jika fluida tersebut mempunyai sifat shear
thinning yang baik. Dan pada umumnya, fluida dengan kandungan padatan (solid
content) yang rendah merupakan fluida yang paling baik untuk membersihkan
dasar lubang bor.

1.1.5. Membantu Dalam Evaluasi Formasi

Sifat fisik dan kimia lumpur pemboran berpengaruh terhadap program well
logging. Pada saat tertentu diperlukan informasi tentang kandungan hidrokarbon,
batas air-minyak, dan lainnya untuk korelasi, maka dilakukan well logging, yaitu
memasukkan sonde/alat kedalam sumur, misalnya log listrik, maka diperlukan
media penghantar, dalam hal ini lumpur merupakan penghantar listrik. Sebagai
contoh, lumpur dengan kadar garam yang tinggi akan menghambat pengukuran
spontaneous potensial (SP) karena konsentrasi garam dari lumpur dan formasi
hampir sama. Disamping itu, oil mud akan menghambat resistivitas karena minyak
akan bertindak sebagai insulator dan dapat mencegah terjadinya aliran listrik. Oleh
karena itu, pemilihan lumpur pemboran harus sesuai dengan program evaluasi
formasi.

1.1.6. Melindungi Formasi Produktif

Perlindungan formasi produktif sangat penting. Oleh karena itu,


pengendapan mud cake pada dinding lubang bor dapat mengijinkan operasi
pemboran terus berjalan dan tidak menyebabkan kerusakan formasi produktif.
Kerusakan formasi produktif biasanya akan menurunkan permeabilitas disekitar
lubang bor.
4

1.1.7. Membantu Stabilitas Formasi

Pada lubang bor sering dijumpai adanya problem stabilitas yang disebabkan
oleh fenomena geologi, seperti zona rekahan, formasi lepas, hidrasi clay, dan
tekanan tinggi. Lumpur pemboran harus mampu mengontrol problem-problem
tersebut, sehingga lubang bor tetap terbuka dan proses pemboran dapat terus
dilanjutkan. Perencanaan sistem lumpur untuk menjaga stabilitas lubang bor
sering digunakan sebagai basis untuk pemilihan jenis dan sifat lumpur.

1.2. KOMPOSISI LUMPUR PEMBORAN

Secara umum lumpur pemboran terdiri dari tiga komponen atau fasa
pembentuk sebagai berikut :
1. Fasa cair (air atau minyak)
2. Fasa padat ( reactive solids dan inert solids)
3. Bahan kimia (additive)
Secara umum komposisi lumpur pemboran dapat dilihat pada Tabel 1-1.

Tabel 1-1
Komposisi Lumpur Pemboran
Solids
Liquids Water Based Oil Based
Fresh water Low gravity - S.G. = 2.5 Low gravity
Salt water  Non reactive solids : sand,  Amine-treated clays, asphalt,
Oil chert, limestone, some shales gilsonite - S.G. = 1.1
Mixtures of these fluids
 Reactive solids : clays High gravity
High gravity Barite
Barite - S.G. = 4.2 Iron ore
Iron ore - S.G. = 4.7 - 5.1

1.2.1. Fasa cair

Fasa cair lumpur pemboran pada umumnya dapat berupa air, minyak, atau
campuran air dan minyak. Air dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu air tawar
dan air asin. Air asin juga dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu air asin tidak
jenuh dan air asin jenuh. Sekitar 75% lumpur pemboran menggunakan air, karena
mudah didapat, murah, mudah dikontrol jika terdapat padatan-padatan (solid
content) dan merupakan fluida yang paling baik sebagai media penilaian formasi.
Istilah oil-base muds digunakan jika kandungan minyaknya lebih besar dari 95%.
Sedangkan emulsion muds mempunyai komposisi minyak 50 -70% (sebagai fasa
kontinyu) dan air 30 - 50% (sebagai fasa diskontinyu).
5

1.2.2.Fasa padat (solid)

Fasa padat dibagi dalam dua kelompok, yaitu padatan dengan berat jenis
rendah dan padatan dengan berat jenis tinggi. Padatan berat jenis rendah dibagi
menjadi dua, yaitu Reactive solid dan Non-reactive solid (inert solid).
.
1.2.2.1. Reactive Solid

Reactive solid adalah clay, merupakan padatan yang dapat bereaksi dengan
air, membentuk koloid. Clay dapat didefinisikan sebagai berikut :
o Padatan dengan diameter kurang dari 2 
o Partikel yang bermuatan listrik dan mampu menyerap air
o Material yang dapat mengembang (swelling) jika menyerap air

Clay (atau low-gravity reactive solid) ditambahkan ke dalam air agar


diperoleh sifat-sifat fisik seperti viskositas dan yield point yang diperlukan untuk
mengangkat serbuk bor atau untuk menjaga agar serbuk bor tidak mengendap pada
saat tidak ada sirkulasi (lihat Persamaan 1-1 dan 1-2). Mekanisme pembentukan
viskositas dan yield point yang tinggi pengembangannya sangat komplek dan
belum seluruhnya dapat difahami. Hal ini dihubungkan dengan struktur internal
partikel-partikel clay dan gaya-gaya elektrostatik yang mempertahankannya jika
clay terdispersi dalam air.

1.2.2.2. Non-reactive Solid

Non-reactive solid (inert solid) merupakan zat padat yang tidak bereaksi.
Non-reactive solid meliputi padatan-padatan dengan berat jenis rendah (low-
gravity) dan berat jenis tinggi (high-gravity). Padatan low-gravity meliputi : pasir,
chert, limestone, dolomite, berbagai macam shale, dan campuran dari berbagai
macam mineral. Padatan-padatan ini dapat berasal dari formasi yang dibor dan
terbawa oleh lumpur, dan biasanya mempunyai ukuran lebih besar dari 15 mikron,
dan bersifat abrasif, sehingga dapat merusak peralatan sirkulasi lumpur, seperti
liner pompa, oleh karena itu padatan tersebut harus segera dibuang. Menurut
Klasifikasi API, pasir adalah setiap padatan yang berukuran lebih besar dari 74
mikron; meskipun demikian setiap padatan yang berukuran lebih kecil dari pasir
juga dapat merusak peralatan.
Padatan dengan berat jenis tinggi (high-gravity solid) ditambahkan ke
dalam lumpur untuk menaikkan densitas. Padatan tersebut biasanya disebut
sebagai material pemberat (weighting material), dan lumpur pemboran yang
mengandung padatan tersebut disebut sebagai “lumpur berat”. Ada beberapa jenis
high-gravity solid yang pada saat ini banyak digunakan, yaitu :
6

o Barite (atau barium sulfat, BaSO4) yang mempunyai spesific gravity 4,2 dan
digunakan untuk membuat lumpur dengan berat jenis sampai 10 ppg (1,19
kg/l). Barite lebih banyak digunakan dibanding dengan bahan pemberat yang
lain, karena harganya murah dan tingkat kemurniannya cukup baik.
o Lead sulphide, seperti galena yang digunakan sebagai material pemberat
karena specific gravity-nya tinggi, yaitu antara 6,5 sampai 7, dan dapat
menghasilkan densitas lumpur sampai 35 ppg (4,16 kg/l).
o Bijih besi, mempunyai specific gravity 5, tetapi lebih erosif dibanding dengan
bahan pemberat lainnya. Selain itu, bijih besi juga mengandung bahan-bahan
yang beracun.

1.2.3. Bahan Kimia (Additive)

Bahan kimia (additive) digunakan untuk mengontrol sifat-sifat fisik lumpur,


seperti : viskositas, yield point, gel strength dan filtration loss. Bahan kimia ini
secara ditail akan dijelaskan pada Bab 4.

1.3. SIFAT FISIK LUMPUR

Ada tiga sifat fisik lumpur terpenting yang dikontrol pada setiap operasi
pemboran sumur migas maupun panasbumi. Ketiga sifat fisik lumpur tersebut
adalah :
1) Densitas
2) Rheologi (sifat aliran)
3) Filtration loss

1.3.1. Densitas

Pengontrolan densitas lumpur pada hakekatnya adalah untuk mencegah


blowout (semburan liar), dan kadang-kadang juga digunakan untuk menjaga
stabilitas lubang bor. Berat lumpur maksimum yang diperlukan pada pemboran
sumur migas maupun geothermal adalah ditentukan berdasarkan gradien tekanan
(psi/ft kedalaman) fluida formasi.
Lumpur yang terlalu berat dapat menyebabkan terjadinya lost circulation,
sedangkan lumpur yang terlalu ringan dapat menyebabkan masuknya fluida
formasi kedalam lubang bor (kick) dan jika tidak segera diatasi akan dapat
menyebabkan terjadinya semburan liar (blowout). Dalam operasi pemboran,
tekanan formasi harus dikontrol dengan tekanan hidrostatik lumpur. Tekanan
hidrostatik lumpur bertambah dengan kenaikan densitas fluida.
7

Tekanan hidrostatik dapat dihitung dengan persamaan :

Ph = 0.052 x  x TVD .............................................(1-4)

dimana ;
Ph = Tekanan hidrostatik, psi.
 = densitas, lb/gal
TVD = true vertical depth (kedalaman vertikal), ft.
Sistem lumpur dapat bertambah beratnya dari formasi yang dibor jika peralatan
pengontrol padatan tidak dapat berfungsi dengan baik. Padatan ini biasanya dapat
menyebabkan naiknya berat lumpur tanpa disengaja, sehingga menyebabkan
problem pemboran. Beberapa produk telah terbukti berhasil baik digunakan untuk
mengontrol densitas lumpur seperti ditunjukkan pada Tabel 1-2.

Tabel 1-2
Material-material pemberat

Specific Densitas umpur


Nama produk Nama kimia Gravity Maksimum
rata-rata (lb/gal)
Barite Barium sulfate 4.25 20 - 22
Galena Lead sulfide 6.6 28 - 32
Calcium carbonate Calcium carbonate 2.7 12
Bar-Gain Ilmenite 4.5 21 - 23
Densimix Hematite (itabrite ore) 5.1 24 - 26

1.3.2. Rheologi (Sifat Aliran)

Pengontrolan rheologi diperlukan untuk mengangkat serbuk bor (cutting)


pada saat pemboran berlangsung. Dalam terminologi lapangan minyak, istilah
“sifat aliran” (flow properties) dan “viskositas” adalah merupakan ungkapan
umum yang digunakan untuk menggambarkan perilaku lumpur pemboran dalam
keadaan bergerak.
Sifat aliran (rheologi) lumpur yang terpenting adalah :
1) Plastic viscosity
2) Yield point
3) Gel strength
8

1.3.2.1. Plastic Viscosity

Viskositas adalah sifat fisik yang mengontrol besarnya shear stress akibat
adanya pergeseran antar lapisan fluida. Oleh karena itu, viskositas adalah
merupakan ukuran gesekan antara perlapisan-perlapisan fluida yang dapat
menggambarkan kekentalan dari suatu fluida.
Karena viskositas dipengaruhi oleh kecepatan dan pola aliran fluida, baik
laminar maupun turbulen, maka besarnya viskositas absolut atau efektif sukar
diukur. Dalam teknik pemboran hanya perubahan-perubahan kecepatan di anulus
yang diperhatikan, seperti perubahan arah mempengaruhi pengangkatan serbuk
bor dan kehilangan tekanan di anulus, yang pada gilirannya akan mempengaruhi
tekanan hidrostatik lumpur.
Dalam lumpur pemboran, persen volume padatan untuk suatu berat lumpur
tertentu tergantung dari specific gravity padatan. Padatan pada persen volume
tertentu, viskositas sangat berkebalikan dengan ukuran rata-rata partikel padatan
dalam lumpur yang berhubungan dengan bentuk partikel, viskositas lumpur akan
menjadi rendah jika partikelnya berbentuk bulat. Gaya tarik antara partikel-partikel
padatan ditunjukkan oleh clay. Clay juga menarik air (hydrate), atau dapat
ditreatment untuk menarik minyak. Gaya tarik terbesar dapat diperoleh dari
berbagai macam polimer yang merupakan pembangun viskositas.
Persamaan-persamaan telah dikembangkan untuk mengukur harga-harga
plastic viscosity, yield point dan gel strength untuk menghitung kehilangan
tekanan dalam drill pipe dan annulus, dan untuk memperkirakan slip velocity
cutting.
Viskositas fluida pemboran merupakan fungsi dari beberapa faktor, yaitu :
o Viskositas fasa cair
o Volume padatan dalam lumpur
o Volume fluida yang terdispersi (emulsi)
o Jumlah partikel per satuan volume lumpur
o Bentuk partikel padatan
o Gaya tarik (atau gaya tolak) antara partikel-partikel padatan, dan antara fasa
padat dengan fasa fluida.

Fasa fluida lumpur pemboran adalah air, minyak dan udara. Viskositas air
bervariasi terhadap temperatur, dan konsentrasi berbagai bahan yang terlarut di
dalam air, berbagai viskositas minyak yang digunakan dalam lumpur pemboran,
dan viskositas minyak bervariasi terhadap temperatur dan tekanan.
Viskositas menunjukkan kekentalan lumpur dalam aliran, dan gel strength
menunjukkan kekentalan lumpur dalam kondisi diam pada periode waktu tertentu.
Secara ilmiah, viskositas adalah suatu konstanta antara shear stress dan shear rate
untuk fluida Newtonian dalam aliran laminar. Maka, karena konstan, shear rate
tidak mempunyai pengaruh terhadap viskositas. Hal ini berlaku untuk fluida
9

Newtonian, seperti air, tetapi tidak berlaku untuk lumpur pemboran. Untuk fluida
pemboran perbandingan antara shear stress dan shear rate berkurang dengan
naiknya shear rate. Hal ini berarti bahwa viskositas telah berubah.
Metoda-metoda pegukuran viskositas lumpur adalah sebagai berikut :
o Marsh Funnel. Merupakan metoda pertama yang digunakan untuk
menentukan viskositas. Pengukuran dilakukan dengan membandingkan waktu
yang diperlukan untuk satu quart lumpur keluar dari funnel terhadap waktu
yang diperlukan untuk satu quart air. Satu quart air keluar dari funnel dalam
waktu 26.5 detik. Waktu relatif yang diperlukan oleh satu quart lumpur
menunjukkan viskositas lumpur.
o Rotating Viscometer. Ada beberapa model rotating viscometer. Model
lapangan biasanya merupakan tipe untuk temperatur normal, yang dioperasikan
hanya pada dua kecepatan, yaitu 300 dan 600 rpm. Kecepatan 300 rpm
merepresentasikan shear rate 511 detik-1, dan kecepatan 600 rpm
merepresentasikan shear rate 1.022 detik-1. Selain itu ada juga model rotating
viscometer dengan enam-kecepatan, yang dirancang untuk kecepatanan 3, 6,
100, 200, 300 dan 600 rpm. Disamping normal-temperature rotating
viscometer, ada juga jenis high-temperature rotating viscometer yang
digunakan di laboratorium. Model high-temperature dapat digunakan untuk
menguji lumpur pada temperatur tinggi. Banyak penelitian yang dilakukan oleh
Annis dengan menggunakan high-temperature rotating viscometer. Model
high-temperature ini merupakan metoda yang cepat untuk menguji sifat-sifat
lumpur pada kondisi lapangan. Temperatur maksimum 5000F dan tekanan
maksimum 3.000 psi dapat dikondisikan pada viscometer ini.

Rotating viscometer adalah merupakan peralatan lapangan yang pada


umumnya digunakan untuk menentukan kekentalan lumpur efektif. Meskipun
demikian, data yang diperoleh dari rotating viscometer harus dirubah menjadi
angka yang dapat digunakan pada basis kuantitatif. Untuk itu, diperlukan
persamaan-persamaan yang menggambarkan pola aliran fluida atau plot shear
stress vs shear rate. Persamaan 1-5 sampai 1-8 digunakan untuk menggambarkan
perilaku aliran lumpur pemboran.

Newtonian     s ....................................(1-5)

Bingham plastic   Y  ( PV )(  s ) .............................(1-6)

Power law   k s (  s ) n
s
.......................................(1-7)

Power law with yied stress   Y   k s (  s ) ns


..........................(1-8)
10

Dari Persamaan 1-5, viskositas, , adalah perbandingan antara shaer stress


dan shear rate tetap konstan pada setiap harga shear rate. Persamaan 1-6
menunjukkan bahwa tidak ada suku tunggal yang menggambarkan kekentalan.
Dua suku yang digunakan disini adalah : yield point, Y, dan plastic viscosity, PV.
Dari Persamaan 1-7, kekentalan ditunjukkan dengan ks dan ns, dan
Persamaan 1-8 menggambarkan perilaku fluida yang lebih komplek yang
dinyatakan oleh tiga suku yang menunjukkan kekentalan, yaitu : Y’, k’s, dan n’s.
Gambar 1-1 menunjukkan diagram shear stress, , vs shear rate,s, untuk
fluida Newtonian. Konsep ini mudah dimengerti, karena  adalah merupakan
slope garis lurus yang melalui titik asal. Gambar 1-2 menunjukkan diagram shear
stress vs shear rate untuk lumpur pemboran.
Dua kecepatan rotating viscometer menunjukkan ukuran shear stress dalam
lb/100 sqft pada shear rate 511 detik-1 (300 rpm) dan 1.022 detik-1 (600 rpm).
Slope garis lurus diantara dua harga shear rate disebut plastic viscosity.
Perpotongan garis lurus ini dengan sumbu ordinat yang ditunjukkan dengan garis
putus-putus disebut yield point. Hubungan plastic viscosity dan yield point pada
cara ini dikenal sebagai aliran fluida Bingham plastic.
Perilaku dari kebanyakan lumpur sebenarnya shear rate berkisar dibawah
511 detik-1 ditunjukkan oleh kurva garis penuh. Maka, asumsi perilaku Bingham
plastic hanya valid jika lumpur dalam aliran laminar pada shear rate diatas 511
detik-1. Gaya yang diperlukan untuk mulai mengalir disebut gel strength.
Penggunaan utama plastic viscosity, yang diukur dalam centipoises, adalah
untuk menunjukkan pengaruh kandungan padatan terhadap kekentalan lumpur.
Plastic viscosity diperoleh dengan mengurangkan dial reading 600 rpm dengan
300 rpm pada viscometer. Besarnya plastic viscosity dipengaruhi oleh kandungan
padatan, ukuran padatan, dan temperatur.
Besarnya plastic viscoisty dipengaruhi oleh kadar padatan, ukuran padatan
dan temperatur. Sukar mengatakan bahwa lumpur pada berat tertentu harus
mempunyai viskositas tertentu juga, karena faktor ukuran padatan juga
berpengaruh. Gambar 1-3 menujukkan kurva viskositas vs konsentrasi padatan,
dan bagaimana kadar padatan berpengaruh terhadap viskositas lumpur.
Karena kadar padatan berpengaruh terhadap kekentalan lumpur, maka
pengukuran kadar padatan dan plastic viscosity harus dilakukan dengan teliti.
Kenaikan viskositas yang mendadak berarti menunjukkan adanya kenaikan kadar
padatan. Jika hal ini tidak terdeteksi, maka dapat menimbulkan problem
pemboran. Plastic viscosity merupakan parameter yang harus sering diukur, karena
lebih mudah dan cepat dilakukan dibandingkan dengan pengukuran kadar padatan.
11

1.3.2.2. Yield Point

Yield point adalah merupakan suatu pseudo number, seperti ditunjukkan


pada Gambar 1-2, yang diperoleh dengan ekstrapolasi garis lurus antara
pembacaan dial 300 dan 600 rpm pada viscometer. Yield point ditentukan secara
kuantitatif dengan pengurangan pembacaan 300 rpm dan plastic viscosity.
Untuk tujuan lapangan, yield point digunakan sebagai indikator gaya tarik antar
padatan, atau jika tidak ada gaya tarik, sebagai indikator penyimpangan lumpur
dari perilaku Newtonian. Dalam praktek lapangan, yield point lebih sering
digunakan sebagai indikator kekentalan lumpur dibanding dengan plastic viscosity.
Pada lumpur tanpa pemberat yield point dijaga pada level yang cukup untuk
pembersihan dasar lubang. Pada lumpur yang diperberat yield point diperlukan
untuk menahan barite.

1.3.2.3. Gel Strength

Gel strength adalah merupakan suatu harga yang menunjukkan


kemampuan lumpur untuk menahan padatan-padatan. Satuan yield point dan gel
strength adalah lb/100 sqft. Jika yield point atau gel strength terlalu besar, dapat
diturunkan dengan mengurangi kadar padatan atau dengan menggunakan
pengencer (thinner).

Gambar 1-1. Diagram shear stress vs shear rate untuk fluida Newtonian
12

Gambar 1-2. Diagram shear stress vs shear rate untuk fluida non-Newtonian

Gambar 1-3. Viskositas vs kadar padatan


13

1.3.3. Filtration Loss

Filtration loss adalah kehilangan sebagaian dari fasa cair (filtrat) lumpur
masuk kedalam formasi permeabel. Pengukurannya dilakukan dengan standard
filter press, dimana lumpur ditempatkan pada selinder yang dasarnya dipasang
kertas saring, dan bagian atas tabung diberikan tekanan udara/gas. Selanjutnya
volume filtrat lumpur dan tebal mud cake dicatat. API filtration rate (statik) adalah
volume (cc) filtrat/30menit pada tekanan 100 psig. Ketebalan mud cake biasanya
diukur dalam satuan 1/32 inch.
Filtration loss yang terlalu besar berpengaruh jelek terhadap formasi
maupun lumpurnya sendiri, karena dapat menyebabkan terjadinya formation
damage (pengurangan permeabilitas efektif terhadap minyak/gas) dan lumpur akan
kehilangan banyak cairan. Mud cake sebaiknya tipis agar tidak memperkecil
lubang bor (pressure loss akan naik, pressure surges/swabbing akan membesar).

1.4. JENIS-JENIS LUMPUR PEMBORAN

Zaba and Doherty (1970) mengklasifikasikan lumpur bor terutama


berdasarkan fasa fluidanya : air (water-base), minyak (oil-base) dan gas, sebagai
berikut :
(1). Fresh water muds (lumpur air tawar)
(a). Spud
(b). Natural atau Native (alamiah)
(c). Bentonite - treated
(d). Phosphate - treated
(e). Organic coloid - treated
(f). Red atau alkaline - tannate treated
(g). Calcium muds
 Lime - treated
 Gypsum - treated
 Calcium - treated
(2). Salt water muds (air asin)
(a). Unsaturated salt water
(b). Saturated salt water
(c). Sodium silicate
(3). Oil in water emulsion
(a). Fresh water (air tawar)
(b). Salt water (air asin)
(4). Oil base dan Oil base emulsion muds
(5). Gaseuos drilling fluids
(a). Udara atau gas alam
(b). Areated muds.
14

1.4.1. Fresh Water Muds

Fresh water muds adalah lumpur yang fasa cairnya berupa air tawar dengan
kadar gram yang kecil (kurang dari 10000 ppm = 1% berat garam).

1.4.1.1. Spud Mud

Spud mud digunakan untuk membor formasi bagian atas yang selanjutnya
dipasang conductor casing. Fungsi utamanya adalah mengangkat cutting dan
membuka lubang bor di permukaan (formasi atas). Volume yang diperlukan
biasanya sedikit dan dapat dibuat dari air dan bentonit (yield 100 bbl/ton) atau clay
air tawar yang lain (yield 35 - 50 bbl/ton). Tambahan bentonit atau clay perlu
dilakukan untuk menaikkan viskositas dan gel strength jika membor zona-zona
loss. Kadang-kadang diperlukan loss circulation material dan densitasnya harus
kecil.

1.4.1.2. Natural Mud

Natural mud dibentuk dari pecahan-pecahan cutting dalam fasa air.


Sifatnya bervariasi, tergantung dari formasi yang dibor. Umumnya jenis lumpur ini
digunakan untuk pemboran yang cepat, seperti pemboran pada surface casing
(casing permukaan). Dengan bertambahnya kedalaman pemboran sifat-sifat
lumpur yang lebih baik diperlukan dan natural mud ini ditreatment dengan aditif
koloidal. Berat lumpur ini bervariasi antara 9.1 - 10.2 ppg, dan viskositasnya 35 -
45 detik MF.

1.4.1.3. Bentonite Treated Mud

Meliputi sebagian besar dari tipe-tipe lumpur air tawar. Bentonit adalah
material yang paling umum digunakan untuk membuat koloid anorganik untuk
mengurangi flitrat loss dan mengurangi tebal mud cake> Bentonit juga dapat
menaikkan viskositas dan gel yang dikontrol dengan thinner.

1.4.1.4. Phosphate Treated Mud

Mengandung polyphosphate untuk mengontrol viskositas dan gel strength.


Penambahan zat ini akan berakibat terdispersinya fraksi-fraksi clay koloid padat,
sehingga densitas lumpur cukpu besar, tetapi viskositas dan gel strength-nya
rendah. Phosphat dapat mengurangi filtrat loss dan tebal mud cake. Tannin sering
ditambahkan bersama-sama dengan polyphosphate untuk mengontrol lumpur.
Polyphosphate tidak stabil pada temperatur tinggi (sumur dalam maupun sumur
geothermal) dan akan kehilangan efeknya sebagai thinner. Polyphosphat rusak
pada temperatur antara 160 - 1800F, karena berubah menjadi orthophosphate yang
justru menyebabkan terjadinya flokulasi. Phosphate treated mud juga sukar
15

dikontrol densitasnya pada temperatur tinggi. Polyphosphate dapat menggumpal


jika terkontaminasi NaCl, calsium sulfate, maupun semen dalam jumlah yang
banyak.

1.4.1.5. Organic Colloid Treated Mud

Terdiri dari penambahan pregelatized strach atau carboxymethyl cellulose


(CMC) pada lumpur. Karena organik koloid tidak terlalu sensitif terhadap
flokulasi seperti clay, maka pengontrolan filtrat loss dapat dilakukan dengan
organic colloid ini, baik untuk mengurangi filtration loss pada fresh water mud.
Pada umumnya penurunan filtrat loss lebih banyak dilakukan penambahan koloid
organik dibanding dengan anorganik.

1.4.1.6. Red Mud

Warna merah lumpur tersebut diperoleh dari treatment dengan caustic soda
dan quebracho (warna merah tua). Istilah ini tetap digunakan meskipun pada saat
ini koloid-koloid yang digunakan mungkin menyebabkan warna abu-abu
kehitaman. Umumnya istilah ini digunakan untuk lignin tertentu dan humic thinner
selain untuk tannin diatas. Salah satu jenis lain dari lumpur ini adalah alkaline
tannate treatment dengan penambahan polyphosphate untuk lumpur dengan pH
dibawah 10. Perbandingan alkaline, organic, dan polyphospahte diatur sesuai
dengan keperluan. Alkaline tannate treated mud pH-nya bervariasi antara 8 - 13.
Alkaline tannate dengan pH kurang dari 10 sangat sensitif terhadap flokulasi,
karena kontaminasi garam. Dengan naiknya pH, maka flokulasi lebih sukar terjadi.
Untuk pH lebih dari 11.5 pregelatized strach dapat digunakan tanpa resiko bahaya
fermentasi.

1.4.1.7. Calcium Treated Mud

Lumpur ini mengandung larutan kalsium (disengaja). Kalsium dapat


ditambahkan dalam bentuk slaked lime (kapur mati), semen, CaSO4 atau CaCl,
tetapi dapat juga karena pemboran menembus semen, anhidrite dan gypsum.

o Lime Treated Mud

Lumpur ini ditreated dengan caustic soda atau organic thinner, hydrate lime
dan untuk mendapatkan filtrat loss yang rendah ditambahkan suatu koloid
organik. Treatment ini menghasilkan lumpur dengan pH 11.8 atau lebih.
Lumpur ini menghasilkan viskositas dan gel strength yang rendah,
memberikan suspensi yang baik bagi material-material pemberat, mudah
dikontrol pada densitas sampai 20 ppg, mempunyai toleransi yang baik
terhadap konsentrasi garam (penyebab flokulasi) yang relatif besar.
Keuntungan lumpur ini terutama adalah kemampuannya untuk membawa
16

konsentrasi padatan clay dalam jumlah besar pada viskositas rendah dibanding
dengan jenis-jenis lumpur lainnya. Meskipun lumpur ini memadat pada
temperatur tinggi, tetapi lumpur ini cocok digunakan pada pemboran dalam
dan untuk mendapatkan densitas yang tinggi. Uji laboratorium dapat dilakukan
untuk menentukan tendensi pemadatan, dan dengan penambahan aditif
tertentu, pemadatan dapat dihalangai untuk sementara waktu, sehingga
memberikan kesempatan pemboran terus berlangsung. Lumpur lime treated
mud yang bertendensi memadat tidak boleh tertinggal dalam casing, tubing
dan annulus pada saat well completion berlangsung. Dari hasil penelitian
lumpur lime treated ini dihasilkan variasi-variasi lumpur yang sukar memadat,
sehingga lumpur ini dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu : “lime mud” dan
“low lime mud”, yang dibedakan oleh jumlah excess lime-nya. “Lime mud”
umumnya mengandung konsentrasi caustic soda dengan lime yang tinggi,
dengan excess lime bervariasi antara 5 - 8 lb/bbl, sedangkan “low lime mud”
mengandung caustic soda dan lime lebih sedikit, dengan excess lime 2 - 4
lb/bbl.

o Gypsum Treated Mud

Lumpur ini berguna untuk membor formasi anhydrite dan gypsum, terutama
jika formasinya interbedded (selang-seling) dengan garam dan shale.
Treatmentnya adalah dengan mencampur base mud (lumpur dasar) dengan
plaster (CaSO4 di pasaran) sebelum formasi anhydrite dan gypsum dibor.
Dengan penambahan plater tersebut pada rate yang terkontrol, maka viskositas
dan gel strength yang berhubungan dengan kontaminan tersebut dapat diatasi.
Setelah clay dalam lumpur bereaksi dengan ion Ca, maka tidak akan terjadi
pengentalan lebih lanjut dalam pemboran formasi gypsum atau garam.
Gypsum treated mud dapat dikontrol flitrat loss-nya dengan organic colloid
dan karena pH-nya rendah, maka harus ditambahkan bahan preservatif
(pengawet) untuk mencegah fermentasi. Preservasi ini boleh dihentikan
penambahannya jika garam yang dibor cukup untuk memberikan saturated
water mud.
Suatu modifikasi dari gypsum treated mud adalah dengan penggunaan chrome
lignosulfonate deflocculant yang memberikan kontrol terhadap karakteristik
plat-plat gel pada lumpur tersebut. Lumpur gypsum chrome lignosulfonate ini
mempunyai sifat yang sama dengan lime treated mud, karena lumpur ini juga
digunakan pada zona-zona yang sama seperti penggunaan lime treated mud.

Penggunaan non-ionic surfactant dalam gypsum chrome lignosulfonate mud


menghasilkan pengontrolan yang lebih baik terhadap filtrat loss dan rheologi-
nya, selain toleransinya yang tinggi terhadap kontaminasi garam.
17

o Casium Treated Mud

Selain hydrate lime dan gypsum telah digunakan, tetapi tidak meluas. Maka
juga digunakan aditif-aditif yang memberikan suplai kation multivalent untuk
base exchange clay (pertukaran ion-ion pada clay) seperti Ba(OH)2.

1.4.2. Salt Water Muds

Lumpur ini digunakan terutama untuk membor garam masif (salt dome)
atau salt stringer (lapisan formasi garam) dan kadang-kadang jika ada aliran air
garam yang menembus lubang bor. Lumpur ini filtrat loss-nya besar dan mud
cake-nya tebal jika tidak ditambahkan organic colloid. pH lumpur dibawah 8,
maka perlu preservatif untuk menahan fermentasi strach. Jika salt water mud
mempunyai pH yang tinggi, maka fermentasi terhalang oleh basa. Suspensi ini
dapat diperbaiki dengan menggunakan attapulgite sebagai pengganti bentonite.

1.4.2.1. Unsaturated Salt Water Mud

Air laut sering digunakan untuk lumpur yang tidak jenuh salinitas
(kegaraman)nya. Salinitas lumpur ini ditandai oleh :
o Filtrate loss besar kecuali di-treatment dengan organic colloid.
o Gel strength medium sampai tinggi kecuali di-treatment dengan thinner.
o Suspensi yang tinggi kecuali di-treatment dengan attapulgite atau organic
colloid.

Lumpur ini berbusa (foaming) dan dapat diredusir dengan :


o Menambah soluble surface active agent
o Menambah aditif untuk menurunkan gel strenngth.

Lumpur yang terkena kontaminasi garam juga di-treatment seperti halnya


pada sea water mud ini.

1.4.2.2. Saturated Salt Water Mud

Fasa cair lumpur ini dijenuhkan dengan NaCl. Garam-garam yang lain juga
dapat berada pada lumpur tersebut dalam jumlah yang berlainan. Saturated salt
water mud dapat digunakan untuk membor formasi garam, dimana rongga-rongga
yang terjadi karena pelarutan garam dapat menyebabkan hilangnya lumpur, dan hal
ini dapat dicegah dengan penjenuhan garam pada lumpur tersebut.
18

1.4.3. Oil-Base Muds

Oil-base muds adalah merupakan emulsi air dalam minyak, dimana minyak
mentah (crude oil) atau minyak disel (diesel oil) sebagai fasa kontinyu dan air
sebagai fasa yang terdispersi. Oil-base mud kadang-kadang juga didiskripsikan
sebagai “invert emulsion”, karena tetes-tetes air teremulsi dalam minyak sebagai
fasa kontinyu.
Air digunakan terutama untuk menghasilkan emulsi yang diperlukan untuk
menghasilkan sifat gel strength yang diperlukan dan sebagai suspensi barite. Air
dan minyak membentuk emulsi dengan menggunakan bahan emulsifier, seperti
sabun dan dengan cara pengadukan. Sabun dibuat dari ion monovalen, seperti
sodium (Na+) atau ion divalen, seperti kalsium (Ca2+) yang digunakan sebagai
emulsifier. Molekul sodium soap (sabun sodium) mempunyai dua ujung, yaitu
ujung sodium yang larut dalam air, dan ujung lainnya membentuk kelompok
organik yang larut dalam minyak. Molekul sabun bergabung dengan permukaan
minyak dan air, yang dapat menghasilkan emulsi yang stabil. Calcium soap
mempunyai dua kelompok organik yang menempel pada pusat ion kalsium (Ca2-)
selanjutnya larut dalam air. Sabun divalen dapat menhasilkan “invert emulsion”
jika dicampurkan kedalam minyak dan air.
Proses agitasi (pengadukan) diperlukan untuk memecah air menjadi butir-
butir yang kecil, sehingga mudah terdispersi dalam fasa minyak. Rasio minyak/air
menentukan sifat fisik dan stabilitas emulsi yang dihasilkan. Secara umum, rasio
minyak/air yang tinggi akan menghasilkan ketahanan terhadap kontaminasi dan
juga menuingkatkan stabilitas terhadap kenaikan temperatur.
Oil-base mud digunakan untuk pemboran yang menembus zona shale yang
sangat berbahaya dan dapat mengurangi torsi dan drag pada pemboran sumur
miring. Oil-base mud cenderung lebih stabil pada temperatur tinggi dibanding
dengan water-base mud.
Dari segi komplesi sumur, minyak merupakan fluida pemboran yang sangat
bagus, karena tidak merusak lapisan hidrokarbon, dan dapat menjaga permeablitas
alamiah disekitar lubang bor. Air filtrat yang berasal dari water-base mud dapat
menembus formasi yang pada gilirannya dapat menurunkan permeabilitas formasi.
Kerugian utama dari penggunaan oil-base mud adalah :
a) Pencemaran lingkungan, terutama pada operasi pemboran di lepas pantai
b) Mudah terbakar
c) Serbuk bor lebih sukar diambil dibanding dengan water-base mud, karena
plastic viscosity dari emulsi sangat tinggi
d) Log listrik lebih sukar dioperasikan pada oil-base mud.
19

1.4.4. Emulsion Mud

Emulsion mud (true emulsion) adalah air sebagai fasa kontinyu dan minyak
sebagai fasa yang terdispersi. Minyak ditambahkan untuk meningkatkan laju
penembusan, mengurangi filtrat loss, memperbaiki pelumasan, menurunkan drag
dan torsi pada pemboran sumur miring. Pada umumnya, oil-emulsion mud
mengandung minyak sebesar antara 5 - 10 % volume. Emulsi dapat diformulasikan
dengan menggunakan sodium soap sebagai emulsifeier seperti yang dijelaskan
diatas.

1.5. PERHITUNGAN LUMPUR

Pada sub-bab ini akan dijelaskan tentang ilmu dasar yang digunakan dalam
perhitungan lumpur yang dilakukan di lapangan. Persamaan-persamaan yang
digunakan disini menggunakan satuan Imperial (Brtish) dan satuan Metris.
Pada dasarnya perhitungan lumpur meliputi perhitungan untuk menaikkan
dan menurunkan densitas lumpur. Densitas lumpur dapat dinaikkan dengan
menambahkan padatan dan untuk menurunkan dapat dilakukan dengan cara
pengenceran dengan menambahkan air, minyak disel, atau dengan udara.

1.5.1. Perhitungan Menaikkan Densitas Lumpur

Jika diketahui data lumpur lama sebagai berikut :


M1 = massa lumpur lama
V1 = volume lumpur lama
1 = densitas lumpur lama
maka untuk menaikkan densitas lumpur lama tersebut harus ditambahkan sejumlah
padatan. Untuk itu, banyaknya padatan yang harus ditambahkan dapat dinyatakan :
M2 = massa padatan yang ditambahkan
V2 = volume padatan yang ditambahkan
2 = densitas padatan yang ditambahkan
Dari penambahan padatan tersebut akan menghasilkan lumpur baru yang
mempunyai massa M3, volume V3 dan densitas akhir 3.
Dengan demikian, maka berdasarkan hukum kekekalan massa diperoleh
persamaan :

M3 = M 1 + M 2 ........................................................(1-9)
dan
V3 = V 1 + V 2 ........................................................(1-10)
20

Persamaan 1-10 hanya berlaku jika padatan tidak larut dalam air.
Sedangkan untuk padatan yang larut dalam air, Persamaan 1-10 tidak dapat
digunakan sampai fasa cair mencapai titik jenuh, dan setelah itu padatan yang
ditambahkan baru dapat menaikkan volume lumpur.
Dari definisi densitas dan Persamaan 1-9 dan 1-10 dapat diperoleh
hubungan :

M 3 M1  M 2
3   ......................................................(1-11)
V3 V1  V2

Jika suku M2 tidak dirubah, sedangkan suku lainnya disubstitusi, maka Persamaan
1-11 dapat dituliskan :

V1 1  M 2
3 
M
V1  2
2
M2
1 
V1
3 
M  1 .....................................................(1-12)
V1   2 
 V1   2

Suku M2/V1 menunjukkan massa berat material, biasanya barite, per volume
lumpur lama. Dalam praktek, perhitungan berdasarkan massa barite dalam satuan
lbm (atau kg) per bbl (atau m3) lumpur lama, sehingga :

M2
X Lbm / bbl (kg / m3 ) ...............................................(1-13)
V1

dimana X = massa berat material per satuan volume. Dengan mensubstitusikan


Persamaan 1-13 ke persamaan 1-12 diperoleh :

1  X
3 
X
1
2
Selanjutnya dapat disederhanakan menjadi :
 (   1 )  3   1
X 2 3  ..............................................(1-14)
2  3  3 
1  
 2 
dimana 2 adalah densitas padatan yang ditambahkan, misalnya barite atau clay.
21

Persamaan 1-14 merupakan persamaan dasar dalam perhitungan lumpur,


yang meliputi penentuan massa padatan yang diperlukan untuk menaikkan densitas
lumpur dari 1 menjadi 3. Karena densitas lumpur lama dan baru sudah diketahui,
maka harga X dapat ditentukan dengan mudah. Persamaan 1-14 dapat dinyatakan
dalam satuan lapangan, dan dalam hal ini hanya khusus untuk penambahan barite
(densitas = 35,5 ppg atau 4250 kg/m3). Sedangkan untuk jenis padatan lainnya
Persamaan 1-14 dapat dimodifikasi dengan menggunakan prosedur yang sama
seperti yang akan dijelaskan pada bagian berikut.

1.5.1.1. Satuan Imperial (British)

Dari Persamaan 1-14 :


  1
X 3
 
1  3 
 2 
Pada umumnya perhitungan dalam satuan Imperial digunakan basis jumlah
pound barite per barrel lumpur lama.

M2 M2 M2
X  
V1 1 bbl 42 gal
M   1
X 2  3
42   
1  3 
 35,5
42 x 35,5 ( 3   1 )    1 
M2   1491 3 
(35,5 -  3 )  35,5 -  3 

..................................(1-15)
dimana 1 dan 3 dalam ppg dan M2 dalam satuan pound (lb).

Karena setiap sack barite berisi 94 lbm, maka Persamaan 1-15 dapat
dituliskan menjadi :
15,9( 3   1 )
S ................................................(1-16)
(35,5   3 )

dimana S adalah jumlah sack.


22

1.5.1.2. Persamaan 1-14 dalam Satuan Metris

Jika volume lumpur lama sebesar 10 m3, maka Persamaan 1-13 dan 1-14
menjadi :

M2 M2
X  .....................................................(1-13a)
V1 10
Sehingga,
M2   1
 3 .....................................................(1-14a)
10 
1 3
4250
atau
42500( 3   1 )
M2  .....................................................(1-17)
4250 -  3

dimana M2 adalah massa barite (dalam kg) yang diperlukan untuk menaikkan
densitas lumpur dari 1 menjadi 3 (kg/m3) dan 2 adalah densitas barite (4250
kg/m3).
Karena setiap sack berisi 42,64 kg, maka :

M2 996,7( 3   1 )
Jumlah sack yang diperlukan = = ...................(1-18)
42,62 4250   3

dimana pada persamaan 1-18 tersebut 1 dan 3 dalam kg/m3.

Jika densitas dalam satuan kg/l, maka Persamaan 1-17 menjadi :

1000l  3   1
M 2 (kg )  10 m 3 x
m3 
1 3
4,25
dimana 1 dan 3 dalam satuan kg/l dan 4,25 adalah densitas barite (kg/l), maka :

   1 
M 2  10000x 4,25 3 
 4,25   3 
atau
( 3   1 )
M 2  42500 kg ....................................(1-19)
(4,25   3 )
Jika dinyatakan dalam sack, maka :

( 3   1 )
S  996,7 ........................................(1-20)
(4,25   3 )
23

1.5.1.3. Kenaikan Volume Mud Pit Akibat Penambahan Barite

massa
Karena volume =
densitas

maka kenaikan volume lumpur pada mud pit akibat penambahan barite = volume
padatan yang ditambahkan.

M2
 V2  ......................................(1-21)
2

Kembali ke Persamaan 1-14

M2   1
X  3 ........................................(1-14)
V1  
1  3 
 2 
atau
V1  2 ( 3   1 )
M2  ........................................(1-22)
( 2   3 )
Kombinasi dari Persamaan 1-21 dan 1-22 menghasilkan :

V1  2 ( 3   1 )
V2   2
( 2   1 )
atau
V1 ( 3   1 )
V2  ........................................(1-23)
( 2   3 )
Dalam satuan Metris, untuk volume lumpur lama sebesar 10 m3, maka
Persamaan 1-23 menjadi :

10( 3   1 )
V2  .......................................(1-24)
(4250   3 )
Dalam satuan Imperial, untuk volume lumpur lama sebesar 1 barrel, maka
Persamaan 1-23 menjadi :

42( 3   1 )
V2  ........................................(1-25)
(35,5   3 )

Persamaan-persamaan tersebut diatas secara ringkas dapat dilihat pada Tabel 1-


3 dan 1-4.
24

1.5.2. Perhitungan Menurunkan Densitas Lumpur

Densitas lumpur dapat diturunkan dengan cara menambahkan air atau


minyak disel, atau dengan lumpur udara (aerating mud). Pada bagian ini akan
diberikan perhitungan volume cairan yang diperlukan untuk menurunkan densitas
lumpur dari 1 menjadi 3.

Jika
massa air (atau minyak) yang diperlukan M 2  2V2
X  
volume lumpur lama V1 V1

maka, persamaan 1-14 menjadi ;


V   1
X 2 2  3
V1  
1  3 
 2 
atau
V  (   1 )
V2  1 2 3
2 (2  3 )

( 3   1 )
V2  V1 ....................................................(1-26)
( 2   3 )

Dengan catatan bahwa Persamaan 1-26 sama dengan 1-23 yang diturunkan dari
perhitungan kenaikan volume lumpur dalam mud pit.
Jika air ditambahkan, 2 = 1000 kg/m3, maka Persamaan 1-26 dalam satuan
Metrs menjadi :
(  3  1 )
Vw  V1
(1000   3 )
dimana Vw adalah volume air yang diperlukan untuk menurunkan densitas lumpur.
Karena 1 > 3, maka persamaan ini dapat dituliskan :

(  3  1 )
Vw  V1 ......................................................(1-27)
(  3  1000)
dimana V1 adalah volume lumpur lama.

Versi lain untuk Persamaan 1-27 yang sering dijumpai dalam buku-buku
literatur adalah :
25

1000Vw
1
V1
3  ......................................................(1-28)
V
1 w
V1
Dalam satuan Imperial, Persamaan 1-26 menjadi :

( 3  1)
Vw  V1 (bbl ) ............................................................(1-29)
(2   3)
atau

( 3  1)
Vw  V1 ............................................................(1-30)
(8,33   3 )

dimana 3 dan 1 dalam ppg.

Variasi Persamaan 1-26

Dari Persamaan 1-26, persamaan-persamaan berikut dapat diturunkan :

V2 (  1   3 )
 ............................................................(1-31)
V1 (  3   2 )

Karena V1 = V3 - V2, maka Persamaan 1-31 menjadi :

V2 (   3)
 1
V3  V2 (  3   2 )
V2 (  3   2   1   3 )  V3 (  1   3 )

atau

V2 (  1   3 )
 ............................................................(1-32)
V3 (  1   2 )

Karena V2 = V3 - V1, maka Persamaan 1-31 menjadi :

V1 (  3   2 )
 ............................................................(1-33)
V3 (  1   2 )

Dalam praktek di lapangan, hanya Persamaan 1-26 yang dapat digunakan


dan jika diperlukan juga dapat dilakukan modifikasi.
26

Semua persamaan yang dipergunakan dalam perhitungan menurunkan


densitas lumpur dapat dilihat pada Tabel 1-3 dan 1-4.

Tabel 1-3
Persamaan-persamaan untuk perhitungan lumpur dalam sistem Imperial

(1) Untuk menaikkan densitas lumpur dari 1 menjadi 3 per 1 barrel volume lumpur lama.

 Massa barite yang diperlukan :


   1 
M 2  1491 3 
 35,5 -  3 
dimana densitas lumpur dalam ppg (ppg = pcf/7,48)

 Jumlah sack barite yang diperlukan, S adalah :


15,9( 3   1 )
S
(35,5   3 )
 Pertambahan volume lumpur dalam mud pit (barrel) adalah :
42( 3   1 )
V2 
(35,5   3 )

(2) Untuk menurunkan densitas lumpur dari 1 menjadi 3 :

 Volume cairan (air atau minyak disel), V2 (dalam barrel) yang diperlukan adalah :
( 3   1 )
V2  V1
( 2   3 )
dimana V1 = volume lumpur lama; 1 = densitas lumpur lama; 3 = densitas cairan yang
ditambahkan dan 3 = densitas lumpur baru.

Versi-versi lain dari persamaan diatas adalah :


   2 
V1  V3  3 
 1 -  3 
dan
   3 
V2  V3  1 
 1 -  2 

 Densitas lumpur baru :


V2
 3  1  (1   2 )
V3
atau
 V2 
 3  1    (1   2 )
 V1  V2 
27

Tabel 1-4
Persamaan-persamaan untuk perhitungan lumpur dalam sistem Metris

(1) Untuk menaikkan densitas lumpur dari 1 menjadi 3 per 10 m3 volume lumpur lama.

 Massa barite yang diperlukan :

42500(  3  1 )
M2  kg
(4250   3 )

dimana densitas lumpur dalam ppg (ppg = pcf/7,48)

 Jumlah sack barite yang diperlukan, S adalah :

996,7(  3  1 )
S
(4250   3 )

 Pertambahan volume lumpur dalam mud pit (barrel) adalah :

10(  3  1 ) 3
V2  m
(4250   3 )

(2) Untuk menurunkan densitas lumpur dari 1 menjadi 3 :

 Volume cairan (air atau minyak disel), V2 (dalam barrel) yang diperlukan adalah :

( 1   3 ) 3
V2  V3 m
( 1   2 )

dimana V2 adalah volume lumpur lama atau

( 1   3 )
V2  V1
(3  2 )

dimana V1 adalah volume lumpur lama

 Densitas lumpur baru :


V2
 3  1  (1   2 )
V3
atau
 V2 
 3  1    (1   2 )
 V1  V2 
28

1.5.3. Latihan

1. Tentukan berapa sack barite yang diperlukan untuk merubah densitas lumpur
dari 1,5 kg/l (12,53 ppg) menjadi 2 kg/l (16,7 ppg). Selanjutnya hitung
kenaikan volume lumpur pada mud pit sebagai akibat penambahan barite
tersebut, jika diketahui volume lumpur lama sebesar 10 m3 (63 barrel).

Kunci Jawaban :
Dalam satuan Imperial : 222 sack; 14 bbl.
Dalam satuan Metris : 222 sack; 2,222 m3 (2222 liter).

2. Tentukan densitas lumpur dasar air (water-base mud) yang mengandung 5 %


berat bentonite. Densitas bentonite = 2500 kg/m3 (20,8 ppg).

Kunci Jawaban :
Dalam satuan Imperial : 8,59 lbm/gal.
Dalam satuan Metris : 1031 kg/m3

3. Jika berat (densitas) lumpur akan diturunkan dari 25,1 ppg (3 kg/l) menjadi
22,6 (2,7 kg/l) untuk mengatasi adanya problem hilang sirkulasi. Hitunglah
volume air dan minyak yang diperlukan untuk penurunan densitas lumpur
tersebut. Selanjutnya, jika digunakan minyak, berapa persen minyak dalam
lumpur dengan asumsi volume lumpur lama adalah sebesar 629 bbl (100 m3).
Densitan minyak = 6,87 ppg (823 kg/m3).

Kunci Jawaban :
Dalam satuan Metris :17,65 m3 air;15,98 m3 minyak; 13,8 % minyak dlm
lumpur.
Dalam satuan Imperial : 110 bbl air; 100 bbl; 13,7 % minyak dalam lumpur.
29

1.6. KONTAMINAN LUMPUR

Lumpur pemboran dapat terkontaminasi oleh berbagai jenis bahan selama


operasi pemboran dan operasi penyemenan berlangsung. Pada sub-bab 1.5 ini akan
diuraikan secara ringkas tentang berbagai jenis kontaminan yang sering kali
dijumpai di lapangan.

1.6.1. Sodium Klorida (Garam)

Sodium Klorida masuk ke dalam sistem lumpur selama pemboran


menembus kubah garam (salt dome), formasi garam, evaporasi atau lapisan yang
mengadung air garam. Kontaminasi lumpur bentonite oleh garam akan
menyebabkan kenaikan viskositas, yield point dan gel strength, karena akibat
adanya efek flokulasi yang dihasilkan oleh kehadiran ion-ion sodium dengan
konsentrasi tinggi. Penurunan pH juga dapat terjadi dengan naiknya kandungan
garam.
Jika lumpur dasar air tawar (fresh water-mud) kontak dengan batuan garam
(evaporasi, dsb.), maka air tawar dapat melarutkan garam sampai mencapai jenuh
atau mendekati titik jenuh. Proses ini akan mengakibatkan pembesaran lubang bor
atau bahkan “complete washout” jika batuan garam tersebut sampai mendekati
permukaan. Untuk itu, jika pemboran menembus batuan garam, maka fasa cair
lumpur pemboran harus disaturasi (dijenuhi) dengan garam terlebih dahulu untuk
mencegah terjadinya “hole washout”.
Pengukuran rutin kadar klorin dalam lumpur pemboran digunakan untuk
memonitor perubahan salinitas lumpur. Peningkatan kadar klorin secara mendadak
merupakan indikasi yang jelas adanya aliran air garam atau mungkin kick. Sifat
fisik lumpur yang terkontaminasi garam diperbaiki dengan penambahan thinner,
untuk menurunkan viskositas dan filtration rate, dan caustic soda untuk menaikkan
harga pH lumpur.

1.6.2. Anhydrite dan Gypsum

Pada dasarnya anhydrite dan gypsum merupakan bentuk-bentuk dari


calcium sulphate (CaSO4). Gypsum mengandung air dan mempunyai rumus kimia
CaSO4.2H2, sedangkan anhydrite tidak mengandung air dan rumus kimianya
adalah CaSO4. Formasi yang mengandung anhydrite dan gypsum terjadi secara
alamiah sebagai batuan masif atau sebagai seling-seling lapisan tipis tanpa formasi
shale atau limestone.
Jika anhydrite dan gypsum kontak dengan air akan terionisasi menjadi Ca2+
dan SO22-. Kehadiran ion Kalsium dalam konsentrasi yang tinggi akan
menyebabkan flokulasi clay, yang selanjutnya dapat mengakibatkan naiknya
30

plastic viscosity, yield point, filtrate loss dan gel strength. Flokulasi adalah sebagai
hasil dari penggantian Na+ pada plat-plat clay oleh ion-ion calsium yang ikatannya
lebih kuat, sehingga dapat menurunkan tingkat pemisahan plat-plat clay. Pada
umumnya untuk membor formasi gypsum dan anhydrite, caustic soda dan chrome
lignosulfonate ditambahkan ke dalam lumpur agar dapat mengurangi efek
flokulasi.
Lumpur yang terkontaminasi anhydrite atau gypsum dapat diperbaiki
dengan penambahan sodium karbonat (Na2CO3). Bahan kimia ini dapat menarik
kelebihan ion-ion kalsium, seperti terlihat pada reaksi kimia berikut :

Na2CO3 + CaSO4  CaCO3 + Na2SO4

Kalsium karbonat terendapkan sebagai material yang tidak larut.

1.6.3. Semen

Semen dapat masuk ke dalam sistem lumpur dari akibat penyemenan yang
kurang baik atau dari penyemanan tekan (squeeze cementing). Pengaruh
penambahan semen ke dalam lumpur dapat menyebabkan kenaikan viskositas,
yield point, gel strength dan pH.
Lumpur yang terkontaminasi semen pada saat membor semen di dalam
casing atau pada saat membor float collar dan casing shoe, biasanya diperbaiki
dengan menambahkan sodium bikarbonat (NaHCO3), yang dapat menghasilkan
endapan kalsium karbonat sebagai bahan yang tidak dapat larut, seperti terlihat
pada reaksi kimia sebagai berikut :

NaHCO3 + Ca(OH)2  CaCO3 + NaOH + H2O

Kandungan kalsium dalam lumpur harus selalu dijaga kurang dari 200 ppm,
agar sifat-sifat fisik lumpur dapat tetap dalam kondisi baik. Seperti telah dijelas
sebelumnya bahwa kation kalsium (Ca2+) dapat mencegah pemisahan plat-plat
clay, sehingga menyebabkan flokulasi dan mengakibatkan naiknya viskositas.
Kontaminan-kontaminan lainnya adalah meliputi gas-gas terlarut dan
padatan-padatan yang berasal dari serbuk bor.

1.7. PERALATAN PENGKONDISIAN LUMPUR

Lumpur pemboran dibuat dengan mencampurkan air (atau minyak) dengan


bentonite (atau attapulgite), barite dan berbagai bahan kimia lainnya (lihat sub-bab
1.2). Selama operasi pemboran berlangsung, lumpur mendispersi dan membawa
serbuk bor yang dapat merubah sifat-sifat fisik aslinya. Sekalipun serbuk bor tidak
31

terangkat, lumpur akan kehilangan sifat-sifat fisik yang ada dan dapat
menyebabkan problem pemboran seperti hilang lumpur (lost circulation).
Peralatan pengkondisian lumpur berfungsi untuk memproses lumpur yang
keluar dari dalam lubang bor dengan cara memisahkan padatan-padatan serbuk bor
yang terbawa oleh lumpur di permukaan, dan jika perlu dapat ditambahkan dengan
bahan-bahan kimia. Gambar 1-4 memperlihatkan skema peralatan pengkondisian
lumpur baik untuk non-weighted dan weighted (misalnya dengan barite) mud.
Komponen-komponen sistem pengkondisian lumpur dapat dibagi menjadi
tiga bagian, yaitu :
1) Suction tank, yang berisi lumpur yang sudah dikondisikan dan siap
dipompakan ke dalam lubang bor.
2) Peralatan untuk penambahan dan pengaduk.
3) Peralatan pemisah.

1.7.1. Peralatan Untuk Penambahan dan Pengaduk

Operasi pengadukan meliputi penuangan padatan atau bahan-bahan kimia


melalui hopper yang dihubungkan dengan high-shear jet, seperti ditunjukkkan
pada Gambar 1-5. High-shear jet dapat menghasilkan campuran yang homogen,
selanjutnya lumpur tersebut diaduk dengan menggunakan agitator mekanis, seperti
ditunjukkan pada Gambar 1-6. Lumpur yang dihasilkan dari pengadukan tersebut
kemudian dialirkan ke suction tank, dan siap untuk di pompakan dengan
menggunakan pompa sentrifugal atau charge pump. Charge pump tersebut dapat
menghasilkan tekanan sekitar 80 - 90 psi (5,5 sampai 6,2 bar) sebelum sampai ke
main rig pump.
Dari rig pump, lumpur selanjutnya mengalir melalui standpipe, rotary hose,
kelly, drillpipe dan drill collar dan akhirnya ke bit, selanjutnya dipancarkan dari
bit nozzle untuk mengangkat serbuk bor ke permukaan dan akhirnya sampai ke
shale shaker.

1.7.1.1. Shale Shaker

Lumpur yang keluar kembali dari lubang bor melalui shale shaker, dimana
serbuk bor dipisahkan dari lumpur. Shale shaker terdiri dari vibrating (or rotating)
sieve yang cukup untuk dilewati lumpur dan padatannya (seperti bentonite dan
barite) tetapi dapat menahan serbuk bor. Gambar 1-7 menunjukkan skema shale
shaker. Serbuk bor dikumpulkan dalam dump pit, untuk dibuang atau dapat
digunakan oleh geologist untuk analisa formasi (lihat Gambar 1-8).
Lumpur yang mengalir melalui shale shaker jatuh (Gambar 1-8) ke dalam
sloping pit (sand trap) yang tepat berada di bawah shale shaker, dimana serbuk
bor yang berukuran kecil yang tetap terbawa dipisahkan dengan pengendapan
32

gravitasi. Sand trap mempunyai dumping valve yang dapat dibuka secara periodik
untuk membersihkan padatan yang terperangkap di dalamnya.

Gambar 1-4. Peralatan pengkondisian lumpur


33

1.7.1.2. Desander dan Desilter

Lumpur yang kembali dari shale shaker di kirim ke desander dan desilter
dengan menggunakan sebuah pompa sentrifugal kecil. Desander dan desilter
adalah merupakan hydrocyclone yang beroperasi dengan menggunakan prinsip
bahwa padatan akan terpisahkan dari cairan dengan menggunakan gaya
sentrifugal (lihat Gambar 1-9).
Pada prinsipnya sebuah hydrocyclone terdiri dari :
(a) Satu selinder berupa sebuah “tangensial feed tube”. Selinder ini dirangkaikan
dengan sebuah “vortex pipe” yang ujungnya berakhir dibawah tangensial feed
tube, dimana lumpur bersih mengalir keluar dari vortex finder pipe.
(b) Satu kerucut yang ujungnya berakhir pada sebuah “apex”, dimana padatan
jatuh dan keluar melalui apex tersebut.
Lumpur diinjeksikan secara tangensial ke dalam hydrocyclone, sehingga
menghasilkan gaya sentripetal yang dapat mendorong padatan jatuh pada dinding
hydrocyclone dan selanjutnya keluar melalui apex dengan sedikit tercampur
lumpur. Sedangkan cairan lumpur akan keluar melalui bagian atas cyclone sebagai
“overflow” dan langsung dialirkan menuju ke dalam mud pit untuk disirkulasikan
kembali.
Hydroclone yang digunakan untuk memisahkan partikel-partikel yang
berukuran besar (> 74 m) disebut desander. Dari desander, lumpur langsung
dialirkan menuju desilter untuk pemisahan pertikel-partikel yang berukuran kecil
(2 - 74 m). Karena barite berukuran kurang dari 74 m, maka desilter tidak dapat
digunakan untuk lumpur berat (weighted mud)
Range ukuran penggunaan hydrocyclone tergantung dari diameter dalam
kerucut. Gambar 1-10 menunjukkan ukuran ekivalen lumpur yang dipisahkan
untuk berbagai ukuran kerucut, dimana desander mempunyai ukuran 6 - 12 m
dan desilter berukuran 4 -5 m.

1.7.1.3. Mud Cleaner

Jika digunakan lumpur berat (weighted mud), desander dan desilter harus
digantikan dengan peralatan lain, yaitu mud cleaner agar supaya barite tidak ikut
terpisahkan (lihat Gambar 1-4). Pada dasarnya mud cleaner terdiri dari sebuah
rangkaian hydrocyclone 4 in ID yang ditempatkan diatas high-energy vibrating
screen dengan ukuran 40 - 125 m (lihat Gambar 1-11). Pada rangkaian tersebut,
hydrocyclone berfungsi untuk memisahkan partikel-partikel antara pasir dan
barite, karena aliran bagian bawah langsung jatuh pada vibrating screen. Barite
akan keluar melalui screen dan dapat digunakan kembali, sedangkan butir-butir
pasirnya diendapkan.
Sistem ini mempunyai keuntungan, yaitu dapat menghemat bahan-bahan
yang berharga, seperti barite, KCl, minyak dan lumpur. Disamping itu juga
34

endapan pasirnya lebih kering, sehingga problem pembuangannya tidak terlalu


berpengaruh terhadap lingkungan sekitarnya.

1.7.1.4. Decanting Centrifuge

Decanting centrifuge berfungsi untuk memisahkan padatan-padatan berat


dari cairan dan komponen-komponen yang lebih ringan dalam lumpur dengan
menggunakan gaya sentrifugal. Decanting centrifuge adalah merupakan sebuah
horizontal conical steel bowl, yang berputar pada kecepatan tinggi seperti
ditunjukkan pada Gambar 1-12. Bowl tersebut berupa double-crew-type conveyor
yang berputar searah dengan steel bowl, tetapi pada kecepatan yang lebih rendah.
Conveyor adalah merupakan sebuah poros pipa (spindle) kosong tempat masuknya
lumpur (feed in).
Mud feed masuk ke dalam decanting centrifuge melalui poros pipa kosong
(hollow axle) untuk didistribusikan ke bowl. Gaya sentrifugal yang dihasilkan dari
putaran bowl menyebabkan lumpur dalam pond mengalir berlawanan dengan
dinding bowl. Dalam pond tersebut partikel-partikel berukuran silt dan pasir
mengendap pada dinding, selanjutnya conveyor blade mengeruk dan mendorong
padatan yang terendapkan bergerak maju ke arah ujung bowl yang mengecil,
dimana partikel-partikel tersebut dikumpulkan dengan kondisi masih tercampur
dengan cairan. Cairan dan butir-butir clay (< 2 m) yang tidak dapat dipisahkan
dengan centrifuge tersebut dikumpulkan sebagai overflow dari port pada ujung
bowl yang membesar.
Lumpur bersih yang perlu diperbaiki jika viskositas, yield ponit dan gel
strength nilainya berubah, dapat dilakukan dengan menambahkan bahan-bahan
kimia seperti bentonite, dsb. Selanjutnya lumpur yang sudah dikondisikan tersebut
di pompakan untuk disirkulasikan kembali.
35

Gambar 1-5. Conventional mud mixer

Gambar 1-6. Pit bull agitator


36

Gambar 1-7. Shale shaker : (a) screening machine; (b) tandem sreening
machine

Gambar 1-8. Skema berbagai jenis shale shaker


37

Gambar 1-9. Hydrocyclone

Gambar 1-9. Skema bentuk hydrocyclone

Gambar 1-10. Ukuran ekivalen lumpur yang dipisahkan dengan berbagai


jenis ukuran cyclone
38

Gambar 1-11. Skema bentuk mud cleaner

Gambar 1-12. Potongan melintang decanting centrifuge


39

Bab 2
DASAR PERENCANAAN
LUMPUR

Semua problem pemboran secara langsung atau tidak langsung dapat


dikaitkan dengan jenis lumpur yang digunakan. Oleh karena itu, perencanaan
lumpur pemboran merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan
keberhasilan dalam operasi pemboran. Informasi yang diperlukan dalam
perencanaan awal program lumpur tercakup dalam Lembar Data Pemboran
(Drilling Data Form) seperti diperlihatkan pada Tabel 2-1. Pada Bab 2 ini akan
diberikan uraian secara ringkas tentang dasar-dasar pertimbangan dalam program
perencanaan lumpur secara optimum.

2.1. DASAR OPTIMASI PERENCANAAN PROGRAM LUMPUR

2.2.1. Kajian Laporan Program Lumpur Sebelumnya (Mud Report)

Langkah pertama dalam optimasi perencanaan program lumpur adalah


mengevaluasi kembali kegagalan dan kesalahan dalam pelaksanaan program
sebelumnya. Sebagai contoh adalah kesalahan pengukuran densitas lumpur dan
kadar padatan. Jika densitas lumpur yang dilaporkan sebesar 9,3 ppg dan kadar
padatan low-density (2,65 sp gr) sebesar 5 %, dimana baik pengukuran densitas
lumpur maupun kadar padatan tersebut ternyata salah, maka dari pengalaman
menunjukkan bahwa baik pengukuran densitas maupun kadar padatan lumpur
secara akurat jika dilakukan paling sedikit 2 kali.
Kurangnya data juga dapat mempersulit dalam perencanaan program
optimasi lumpur pemboran. Jika tidak ada data sifat-sifat rheologi, high-pressure
high-temperature (HP-HT) fluid loss, filtrate alkalinity, maupun methylene blue
test dapat menyebabkan kesalahan dalam melakukan analisa. Jika data-data
tersebut atau data lainnya hilang, maka dapat digunakan data mud report lainnya
dari lapangan yang sama untuk menggantikannya. Dengan demikian, maka
optimasi perencanaan program lumpur tidak dapat dilakukan jika data
pendukungnya kurang memadai, karena dapat menimbulkan kesalahan analisa
yang pada gilirannya dapat menimbulkan problem dalam pelaksanaan di lapangan.
40

Tabel 2-1
Data Pemboran dan Rig yang diperlukan dalam program optimasi
41

Tabel 2-1
(Lanjutan)
42

Tabel 2-1
(Lanjutan)
43

2.1.2. Pemerikasaan Ulang Peralatan Solid Control

Salah satu tujuan pokok dari program optimasi lumpur pemboran adalah
mengontrol hadirnya padatan-padatan yang berasal dari serbuk bor dalam sistem
sirkulasi. Program solid control dapat dilakukan dengan membuat daftar urutan
prosedur kerja pada sumur yang dimonitor, dan jika mungkin keefektifan
peralatannya juga dapat dievaluasi.
Sebagai contoh :
o Bagaimana kondisi shale shaker yang digunakan ?
o Berapa ukuran screen pada shale shaker ?
o Apakah digunakan desander dan desilter ?
o Bahan kimia apa yang digunakan ?
Selain itu, dapat juga dilakukan pemeriksaan pada peralatan solid control dan
sistem sirkulasi yang digunakan.

2.1.3. Pemeriksaan Sistem Sirkulasi

Pemilihan jenis lumpur untuk membor sumur yang dioptimasikan


ditentukan berdasarkan kemampuan sistem sirkulasi pada rig yang digunakan.
Dengan mengevaluasi faktor hidrolika, maka dapat diketahui mengapa jenis
lumpur yang digunakan pada operasi pemboran sebelumnya tidak dapat berfungsi
dengan baik. Sebagai contoh, lumpur tidak mampu membersihkan dasar lubang
bor karena kapasitas pompa tidak memadai, sehingga menyebabkan problem
pemboran akibat ketidaktelitian dalam memilih jenis lumpur yang digunakan.
Untuk itu, dalam pemilihan jenis rig dengan sistem sirkulasinya harus
memenuhi kriteria sebagai berikut :
1. Memberikan laju alir antara 25 - 50 gpm/in. diameter bit
2. Memberikan jet velocity minimum sebesar 250 ft/det.

2.1.4. Pemerikasaan Lumpur

Dalam menganalisa pemakaian lumpur pemboran, secara umum data


lumpur dapat dibagi menjadi empat kelompok, yaitu : sifat fisik, bahan yang
digunakan, bahan kimia (additive), dan biaya.
Sifat fisik lumpur digunakan untuk mengontrol sumur harus diplot versus
kedalaman untuk menunjukkan trend yang ada. Sebagai contoh plot ditunjukkan
pada Gambar 2-1. Hasil plot tersebut dapat menunjukkan adanya perubahan
densitas, kadar padatan, MBT, plastic viscosity, yield point, gel strength, dan API
fluid loss versus kedalaman. Sifat-sifat lainnya yang dapat diplot dengan cara yang
sama adalah high-pressure high-temperature (HP-HT) fluid loss, chloride content,
44

dan total hardness. Bahan lumpur yang digunakan dalam suatu operasi pemboran
dapat ditabulasikan secara lengkap, yaitu meliputi bahan kimia (additive), baik
kimiawi maupun non-kimiawi. Biaya yang timbul juga harus dihitung dan dicatat.
Analisa dari masing-masing butir juga harus dibuat agar dapat diketahui kelebihan
atau penambahan yang tidak diperlukan dapat dikurangi atau dihilangkan.

Gambar 2-1. Plot trend sifat fisik lumpur vs kedalaman

2.1.5. Identifikasi Problem Pemboran

Problem-problem yang terjadi pada operasi pemboran sumur sebelumnya


(control well) semuanya harus diidentifikasikan dengan jelas. Seperti problem
temperatur tinggi, tekanan tinggi, kontaminan, padatan dari serbuk pemboran
(drilled solid), shale sloughing, hole cleaning, differential sticking, atau key
seating.
Perkiraan biaya yang dikeluarkan dari masing-masing problem pemboran
penting untuk diperhitungkan, karena dapat memberikan informasi awal bagi
engineer untuk penghematan biaya. Sebagai contoh, Jika dalam operasi pemboran
mengalami kehilangan waktu selama 8 hari akibat adanya problem differential
sticking dan biaya sewa rig sebesar $ 7,200/hari, maka penghematan sebesar $
57,600 seharusnya dapat dihasilkan dengan menggunakan solid control dan HP-
HT fluid loss yang lebih efisien.
45

2.1.6. Pengembangan Perencanaan

Perencanaan secara tertulis harus dikembangkan untuk menghilangkan atau


mengurangi pengaruh problem-problem yang sudah teridentifikasi. Untuk itu
harus diberikan petunjuk-petunjuk khusus operasional bagi rig personnel. Dengan
demikian, maka tidak akan terjadi banyak problem dalam pelaksanaan program
pemboran sumur berikutnya.

2.1.7. Implementasi Informasi

Setelah data-data dari pemboran sumur-sumur sebelumnya terkumpul dan


dianalisa, maka dapat diimplementasikan pada operasi pemboran sumur
berikutnya. Hal ini dapat dicapai dengan membagi sumur prospek dalam beberapa
interval kedalaman dan informasinya dapat disusun sebagai berikut :
1. Surface Casing
Ukuran lubang, kedalaman
Sifat-sifat fisik yang diperlukan
Problem yang terjadi
Bahan-bahan dan aditif yang digunakan
Analisa biaya
Solusi masalah
2. Pemboran bagian atas (top hole drilling)
Seperti butir 1
3. Pemboran bagian tengah (intermediate hole)
Seperti butir 1
4. Pemboran bagian bawah (bottom hole)
Seperti butir 1

Keberhasilan program optimasi perencaanan lumpur ini tidak hanya dari


implementasi informasi saja, tetapi juga perlu personil yang handal yang sangat
berpengaruh terhadap keefektifan program. Oleh karena itu, perlu adanya alternatif
yang harus dikembangkan untuk meminimalkan pengaruh faktor-faktor tersebut.

2.2. PENGARUH LUMPUR TERHADAP LAJU PEMBORAN

Pada umumnya sistem lumpur yang digunakan adalah water base mud, dan
dari hasil uji pemboran menunjukkan bahwa bahan kimia (additive) yang
digunakan mempunyai pengaruh negatif terhadap laju pemboran. Pengaruh
padatan lumpur terhadap laju pemboran merupakan fenomena yang populer seperti
ditunjukkan pada Gambar 2-2, dimana clay mempunyai pengaruh yang berbeda
terhadap laju penembusan pada konsentrasi padatan tertentu. Meskipun demikian
46

pengaruh ini, tidak semuanya tergantung dari total kandungan padatan. Sebagai
contoh, berbagai jenis lumpur yang berbeda dapat diformulasikan dengan berbagai
macam clay dan bahan aditif, dan semuanya mempunyai kandungan padatan 5%
volume. Jika semua jenis lumpur tersebut digunakan dalam operasi pemboran akan
memberikan karakteristik yang juga berbeda. Perbedaan karakteristik tersebut
disebabkan karena sifat alami dari distribusi ukuran partikel padatan yang
membentuk lumpur pemboran. Secara grafis perbedaan karakteristik tersebut
diperlihatkan pada Gambar 2-3. Dari gambar tersebut terlihat bahwa partikel-
partikel koloid besarnya kurang dari 1 , mempunyai pengaruh 12 kali lebih besar
terhadap laju pemboran dibanding dengan partikel-partikel yang lebih kasar (> 1
).

Gambar 2-2. Padatan clay vs laju penembusan

2.2.1. Pengaruh Total Padatan

Model matematis dapat digunakan untuk memprediksi secara akurat


pengaruh lumpur terhadap laju penembusan dengan mempertimbangkan jenis dan
jumlah padatan yang ada, terutama ukuran distribusi partikel koloid. Total
kandungan padatan clay dapat dihitung secara mudah dengan menggunakan grafik
atau persamaan-persamaan berdasarkan pengukuran densitas lumpur, kandungan
47

garam, dan kandungan minyak. Jika sistem lumpur diperberat, maka total
kandungan padatan dapat ditentukan dengan menggunakan mud retort.

Gambar 2-3. Padatan koloidal

Gambar 2-4 menunjukkan hubungan kandungan padatan (solid content)


dengan dentitas lumpur (mud weight). Garis atas menunjukkan hubungan antara
kandungan padatan dan berat jenis lumpur dengan hanya menggunakan bahan clay
saja, dengan asumsi specific gravity = 2,65. Garis bawah menunjukkan hubungan
yang sama jika sistem lumpur hanya menggunakan barite dan air saja. Untuk
memudahkan dalam perkiraan kandungan padatan dari berat lumpur jika mud
retort solid content tidak diketahui, daerah yang diblok warna hitam pada grafik
diatas garis bawah menunjukkan range total solid content yang menggambarkan
sistem lumpur non-dispersed polymer-weighted. Setiap kandungan padatan yang
berada diatas warna hitam tersebut berlaku untuk lumpur non-dispersed polymer
yang pada umumnya harga yield point dan gel strength terlalu tinggi, sehingga
perlu bahan pengencer (dispersant). Kandungan padatan rata-rata dari lumpur yang
terdispersi secara kimiawi ditunjukkan pada garis tengah. Sistem lumpur yang
telah terdispersi selama lebih dari satu bulan, ataupun sistem lumpur yang tidak
mempunyai peralatan solid control yang memadai, biasanya akan jatuh di atas
garis tengah. Gambar 2-4 sangat bermanfaat dalam memperkirakan harga solid
content yang diijinkan untuk berbagai sistem lumpur.
48

2.2.2. Pengaruh Padatan Koloid dan Dispersi

Problem yang lain adalah sifat alami distribusi ukuran partikel dan
penentuan jumlah partikel submicron. Methylene blue test (MBT) adalah
merupakan suatu uji lapangan untuk menentukan basis kapasitas pergantian bahan
clay dalam sistem lumpur secara kuantitatif. Distribusi ukuran partikel bentonite
dalam lumpur ditentukan dengan menggunakan supercentrifuge, dan hasilnya
dihubungkan dengan nilai MBT. Sekitar 13% partikel bentonite dalam lumpur
ukurannya kurang dari 1 . Jika lumpur bentonite yang sama terdispersi, biasanya
laju pemboran menjadi lebih lambat untuk solid content tertentu dibanding dengan
sistem water-bentonite nondispersed.

Gambar 2-4. Solid content vs densitas lumpur

Untuk solid content tertentu, laju penembusan bertambah jika digunakan


polimer, bahkan polimer dapat menaikkan viskositas lumpur. Hal ini merupakan
pertanyaan yang sukar untuk dijawab. Viskositas mempunyai efek negatif terhadap
laju penembusan. Pengujian distribusi ukuran partikel yang dihubungkan dengan
lumpur pemboran menunjukkan bahwa efek kenaikan ukuran partikel clay yang
tersuspensi lebih banyak berpengaruh terhadap laju penembusan dibanding dengan
kenaikan viskositas dari penambahan polimer.
Mekanisme kenaikan ukuran partikel dari penambahan polimer ditunjukkan
pada Gambar 2-5. Biasanya, polimer berperan ganda, yaitu ; polimer dapat
menggumpalkan low-cation-exchange-capacity shale dengan pengelompkan
49

partikel-partikel dan secara efektif dapat menetralisir muatan listrik sehingga tetap
dalam kondisi terflokulasi. Meskipun demikian, clay yang mempunyai cation-
exchange tinggi, seperti bentonite, polimer tidak mampu menetralisir muatan-
muatan listriknya, sehingga partikel clay tetap tersuspensi.
Pengetahuan tentang mekanisme ini jika digabungkan dengan data dari uji
MBT dan distribusi ukuran butir dapat digunakan untuk membuat model
matematis untuk memprediksi pengaruh lumpur terhadap laju penembusan.

Gambar 2-5. Mekanisme proses flokulasi

2.2.3. Pengaruh Perbedaan Tekanan (Differential Pressure)

Peneliti-peneliti terdahulu telah memberikan berbagai kesimpulan tentang


pengaruh relatif tekanan lumpur, tekanan fluida formasi, dan tekanan geostatik
(overburden pressure) terhadap laju pemboran (drilling rate).
Maurer, Cunningham dan Eanink menyimpulkan bahwa laju pemboran
dipengaruhi oleh perbedaan tekanan (perbedaan tekanan antara kolom lumpur
dengan tekanan fluida formasi). Gambar 2-6 memperlihatkan rangkuman data
laboratorium tentang pengaruh perbedaan tekanan terhadap laju pemboran.
Hasilnya menunjukkan bahwa laju pemboran dapat berkurang sebesar 75 %
dengan naiknya perbedaan tekanan. Vidrine dan Benit memberikan bukti dari
praktek di lapangan tentang pengaruh perbedaan tekanan, dan menyimpulkan
bahwa laju pemboran berkurang antara 24 sampai 73 % dengan naiknya perbedaan
tekanan antara 0 sampai 1000 psi. Hal ini menunjukkan bahwa dengan naiknya
perbedaan tekanan akan menyebabkan kenaikan gaya tahan terhadap serbuk bor di
dasar lubang, sehingga serbuk bor sulit terangkat.
50

Pecahan batuan (chip) tidak dapat terlepas dari permukaan batuan, kecuali
jika perbedaan tekanan yang menahan pecahan batuan tersebut dihilangkan. Spurt
loss lumpur dan kadar padatan koloid menentukan besarnya gaya tahan pecahan
batuan agar dapat terlepas. Spurt loss didefinisikan sebagai kehilangan cairan
(filtrate) sebelum terbentuk filter cake. Jika fluida pemboran mempunyai spurt
loss, maka tekanan disekitar pecahan akan ternetralisir. Meskipun demikian, jika
lumpur mempunyai kadar padatan koloid yang lebih tinggi, pembentukan filter
cake pada rekahan yang dihasilkan oleh penembusan pahat dapat mencegah
terlepasnya pecahan batuan, sehingga pecahan (chip) tersebut tetap berada di dasar
lubang dan akibatnya akan terjadi penggerusan ulang. Secara grafis teori chip
hold-down ini diperlihatkan pada Gambar 2-7.

Gambar 2-6. Rangkuman data Lab


51

Gambar 2-7. Teori chip hold-down

2.2.4. Pengaruh Viskositas Lumpur

Gambar 2-8 menunjukkan pengaruh shear rate terhadap viskositas dari


berbagai jenis sistem lumpur. Viskositas air sedikit mengalami penurunan dengan
naiknya shear rate, sedangkan viskositas dari berbagai jenis lumpur mengalami
penurunan yang tajam dengan naiknya shear rate. Sebagai catatan, bahwa sistem
lumpur low-solid nondispersed lebih sensitif terhadap shear rate dibanding dengan
sistem lumpur dispersed.
Ada dua kesimpulan penting yang menunjukkan pengaruh viskositas
sirkulasi terhadap laju penembusan, yaitu :
1) Penerapan optimasi hidrolika pahat menyebabkan lumpur low-solid
nondispersed polymer menjadi encer pada shear rate tinggi dan mempunyai
viskositas yang lebih rendah dibanding dengan lumpur dispersed, sehingga
dapat meminimalkan efek bit balling dan viskositas ini berpengaruh terhadap
laju penembusan.
2) Pada sekitar 200 det-1 kurva-kurva lumpur dispersed dan nondispersed polymer
berpotongan. Pada 100 det-1 lumpur polymer mempunyai viskositas yang lebih
rendah dari lumpur dispersed. Selain itu, lumpur nondispersed polymer
mempunyai viskositas yang lebih tinggi pada range shear rate yang biasa
terjadi dalam anulus, yaitu antara 50 - 100 det-1, dibanding dengan lumpur
dispersed. Lumpur yang mempunyai viskositas rendah pada pahat tetapi
mempunyai kemampuan untuk mengangkat serbuk bor secara efektif di anulus
sangat penting dalam perencanaan optimasi hidrolika.
52

Gambar 2-8. Pengaruh shear rate terhadap viskositas dari berbagai jenis
lumpur
53

Bab 3
KARAKTERISTIK CLAY
(LEMPUNG)

3.1. CLAY (LEMPUNG)

API mendifinisikan clay sebagai “material alami, berukuran sangat halus,


dan mengembang jika dalam kondisi basah”. Clay terbentuk dari hasil pelapukan
kimiawi batuan beku dan metamorf. Sumber pembentukan utama clay yang
digunakan secara komersil adalah debu volkanik. Perlapisan debu yang terbentuk
berselang-seling dengan batuan sedimen, dan dapat ditambang dengan mudah.
Wyoming bentonite yang sangat terkenal adalah merupakan lapisan debu hasil
pelapukan batuan beku dan metamorf.
Karakteristik mineral clay adalah adanya struktur atom yang membentuk
perlapisan. Ada tiga jenis perlapisan atom clay yang menghasilkan karakteristik
khusus, yaitu :
a) Perlapisan tetrahedral ; terbentuk dari sebuah lembaran berbentuk seperti
sarang lebah (tetrahedal), dengan pusat atom silikon yang dikelilingi oleh
empat atom oksigen. Tetrahedral diikat satu sama lain membentuk lembaran
dengan cara membagi ketiga atom oksigen dengan tetrahedral sekelilingnya.
b) Perlapisan oktahedral ; lembaran-lembaran ini terdiri dari ikatan oktahedral,
yang masing-masing membentuk suatu gugus atom aluminium atau magnesium
yang dikelilingi oleh enam atom oksigen. Ikatan tersebut dibentuk oleh atom-
atom oksigen antara dua atau tiga oktahedral sekitarnya.
c) Perlapisan yang dapat digantikan (exchangeable layer) ; perlapisan atom atau
ikatan molekul-molekul ini merupakan struktur lemah, yang dapat digantikan
dengan atom-atom atau molekul-molekul lainnya. Kondisi ini sangat
berpengaruh terhadap sifat fisik clay.

Karakteristik dan cara penyusunan perlapisan tersebut menunjukkan jenis


mineral clay. Suatu jenis struktur mineral clay pyrophyllite ditunjukkan pada
Gambar 3-1. Pada struktur tersebut, dua perlapisan tetrahedral mengapit satu
perlapisan oktahedral dengan menggunakan atom oksigen yang tidak bercabang
pada sudut oktahedral. Perlapisan tersebut berbentuk “sandwich” yang terikat
sangat kuat dan membentuk suatu lembaran sangat tipis yang mudah patah (brittle
thin sheet).
54

Perlapisan “sandwich” tetrahedral dan oktahedral tersebut bergabung dalam


berbagai jenis clay dengan perlapisan-perlapisan yang dapat digantikan
(exchangeble layers). Ikatan yang dapat digantikan tersebut sangat lemah, dan
dapat terdiri dari atom-atom potassium, sodium, calcium atau magnesium atau air
atau molekul-molekul organik. Hasilnya adalah clay sangat mudah berubah pada
perlapisan yang dapat digantikan, sehingga sangat berpengaruh terhadap
karakteristik clay.

Gambar 3-1. Skema susunan atom dalam sebuah unit sel mineral lempung

Dari berbagai jenis clay, perlapisan yang dapat digantikan ikatannya relatif
kuat, dan memerlukan periode waktu yang lama untuk menggantikan secara
kimiawi. Pada kelompok clay yang lain, seperti bentonite dan attapulgite,
perlapisan yang dapat digantikan dapat diambil atau ditambahkan pada struktur
secara sederhana dengan menempatkan clay dalam suatu larutan. Ukuran yang
menunjukkan tingkat perubahan penggantian disebut cation exchange capacity
(CEC). Berat clay tertentu yang terdispersi dalam larutan magnesium chloride,
menggantikan sebanyak mungkin exchangable layer dengan magnesium.
Kemudian dipindahkan kedalam larutan potassium atau calcium chloride, dan
banyaknya potassium atau calcium yang diserap oleh clay diukur.
Jumlah kation yang diserap tersebut dinyatakan dalam milliequivalent per
100 gram bentonite kering adalah merupakan cation exchange capacity (CEC).
Besarnya nilai CEC untuk bentonite adalah 70 - 130 dan untuk attapulgite 5 - 99.
Karena CEC berkaitan dengan kemudahan masuknya molekul air ke dalam
struktur clay, maka CEC dapat digunakan sebagai dasar penentuan kualitas clay.
55

3.2. MEKANISME HIDRASI CLAY

Clay dengan nilai CEC tinggi mampu menggantikan sejumlah besar air
dalam exchangeable layer, dan juga menyerap air pada permukaan luar dari
masing-masing plat clay. Hal ini menunjukkan pengaruh clay yang dapat
menghasilkan viskositas dan yield point yang tinggi.
Penyerapan air dalam exchangeable layer menyebabkan terjadinya
pengembangan struktur clay, karena molekul air akan mendorong perlapisan
terpisah sampai empat atau lima lapisan molekul air dalam ruang yang semula
hanya terdiri dari satu lapisan atom sodium atau kalsium. Untuk sodium bentonite,
jarak antar perlapisan (basal spacing) dapat bertambah besar dari 9,8 Angstrom
sebelum hidrasi sampai 40 Angstram setelah hidrasi (1 Angstrom = 10-7mm).
Sedangkan untuk calcium bentonite peningkatan basal spacing adalah 12,1 A0
menjadi 17 A0.
Masing-masing plat clay juga dapat menyerap air pada permukaan luar,
dimana hal ini dipertahankan dengan menggunakan gaya tarik elektrostatik dari
ikatan atom yang terputus.
Secara keseluruhan proses hidrasi clay menunjukkan perpindahan clay dari
bubuk kering menjadi lumpur dengan kenaikan volume sampai ratusan persen.
Keefektifan proses ini diukur dengan menggunakan “clay yield” yang oleh API
didefinisikan sebagai jumlah barrel lumpur dengan viskositas 15 CP yang dapat
diperoleh dari 1 ton (2000 lb) clay kering (lihat Tabel 3-1).
Secara umum besarnya clay yield tergantung dari :
a) kemurnian clay
b) kandungan atom pada exchangable layer
c) salinitas air yang digunakan.

Menurut Chaney, P.E. et al., menyatakan bahwa material koloid


berdasarkan afinitasnya jika tersuspensi dalam air dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
koloid suspensoid (hydrophobic) dan koloid emulsoid (hydrophilic).7
Koloid hydrophobic mempunyai afinitas yang sangat kecil terhadap air, dan hanya
membentuk suspensi stabil jika muatan partikel cukup tinggi untuk mencegah
koagulasi. Koloid hydrophobic ini tidak dapat mengembang di dalam air.
Sebaliknya koloid hydrophilic mempunyai afinitas yang sangat kuat terhadap air.
Setiap partikel emulsoid menghidrat atau membungkus dirinya suatu protektif film
dari molekul-molekul air, dan kelihatan membengkak, sebagai partikel-partikel
koloid.
56

Tabel 3-1
Spesifikasi API untuk bentonit

Requirement Numerical Value


Suspension Properties
Viscometer Dial Reading at 600 rpm* 30, minimum
Yield Point, lb/100 ft2 3 times Plastic Viscosity,
maximum
Filtrate, relative 30 minutes 13.5 ml, maximum
Wet Screen Analysis
Residue on U.S. Sieve No. 200** 4.0 percent, maximum
Moisture, as shipped from point of manufacture 10 percent, maximum
Yield 91.8 bbls of 15 cp. mud per ton
of dry bentonite
*
Viscometer reading, yield point, and filtrate are measured on a suspension of 22.5 g bentonite in
350 ml of distilled water. Filtrate measurements and viscometer reading shall be taken at a
temperature of 750F  5 (240C  3).
**
Sieve designation as per ASTM E 11: Sieve for Testing Purposes, available from American Society
for Testing Materials, 1916 Race St., Philadelphia, PA 19103.

Koloid clay-bentonitic termasuk koloid hydrophilic, dan menimbulkan


banyak problem disebabkan karena adanya reaksi diantara koloid-koloid clay
tersebut. Clay-bentonitic dan shale (serpih) mempunyai struktur micaccous, yaitu
:masing-masing partikel clay merupakan lembaran-lembaran yang tipis, bertumpuk
pada mica, sehingga menyerupai perlapisan. Pada satu dari permukaan plat
tersebut melekat kation seperti Na+, H+, Ca+, dsb. Permukaan sebaliknya, karena
struktur internal, adalah negatif. Oleh karena itu, gaya tarik listriknya antara kedua
permukaan disekitar partikel tersebut sangat lemah. Gaya ikat yang lemah
tersebut menyebabkan air dapat masuk dan menyebar diantara plat-plat. Proses ini
menyebabkan terjadinya pengembangan clay, dan “planar water” merupakan
bagian yang luas dari total air yang ditahan oleh koloid clay.
“Planar water” ini ditahan oleh sisa gaya listrik partikel-partikel yang
sangat lemah. Gaya ini bertambah dengan bertambahnya ionisasi partikel-partikel
clay, maka tingkat pengembangan (swelling) dan jumlah air yang tertahan oleh
clay bervariasi sesuai dengan hadirnya alkali atau logam alkali tanah. Tingkat
ionisasi berkurang sesuai dengan urutan : Li, Na, K, NH4, Mg, Ca, Sr, Ba, H.
Dengan demikian, tingkat hidrasi dan stabilitas clay relatif berkurang
sesuai dengan urutan tersebut. Hal ini berarti bahwa untuk konsentrasi clay
tertentu, clay yang mengandung ion sodium(Na) akan lebih mengembang dalam
air dibandingkan dengan clay dengan sodium yang digantikan oleh Calsium (Ca)
atau Magnesium (Mg).
Clay yang didominasi ion positif, seperti : sodium bentonite, calcium
bentonie, dsb. Clay lumpur pemboran yang terbaik adalah sodium bentonite yang
relatif murni, karena clay ini dapat menahan air lebih banyak dan lebih stabil dan
lebih terdispersi dibanding dengan clay alkali tanah, seperti calcium bentonite.
57

Pada dasarnya ada dua jenis clay yang digunakan dalam pembuatan water-
base mud, yaitu :
a) Bentonitic clay (gel) ; adalah merupakan anggota dari kelompok clay
montmorillonite (smectite), dan hanya dapat digunakan dengan air tawar,
karena baik viskositas maupun yield point tidak dapat terbentuk pada air asin.
Bentonit yang ada di pasaran bukan merupakan sodium montmorillonite murni,
tetapi mempunyai kandungan sodium montmorillonite sekitar 60 -70%.
Sodium montmorillonte adalah merupakan material yang berbentuk plat-plat
seperti lembaran-lembaran buku. Plat-plat tersebut sangat tipis dengan ukuran
partikel kurang dari 0.1 . Bentonit menyerap air tawar pada permukaan
partikel-partikelnya, sehingga dapat menaikkan volumenya sampai 10 kali atau
lebih, yang disebut “swelling” atau “hidrasi”. Besarnya swelling yang terjadi
dapat dilihat dengan meningkatnya kekentalan atau viskositas lumpur, yang
tergantung dari luas permukaan dan total jumlah air yang diserap oleh clay.
b) Attapulgite (salt gel) ; adalah merupakan anggota dari kelompok clay
palygorskite, dan hanya dapat mengasilkan viskositas dan yield point yang
tinggi baik pada air tawar maupun air asin. Salt water clay (attapulgite), akan
terjadi swelling jika dimasukkan dalam air asin.

Baik bentonite maupun attapulgite akan memberikan kenaikan viskositas


pada lumpur. Gambar 3-2 menunjukkan secara skematis diagram partikel clay
sodium montmorillonite

Gambar 3-2. Skema diagram partikel clay sodium montmorillonite


58

3.3. PENGARUH VARIASI pH TERHADAP KOLOID CLAY

Reaksi kimia dipengaruhi oleh lingkungan, dan pada prinsipnya reaksi


kimia ini dipengaruhi oleh karakteristik pH lumpur.
Harga pH didefinisikan sebagai minus log kandungan ion hidrogen, H+. Hal
ini ditunjukkan sebagai berikut :

pH = -log H+

Selanjutnya yang penting adalah bahwa konsentrasi ion hidrogen dan konsentrasi
ion hidroksil adalah merupakan suatu konstanta. Hal ini dapat ditunjukkan sebagai
berikut :

H+ x OH- = 1 x 10-14

dimana ion hidrogen merepresentasikan komponen asam; sedangkan ion hidroksil


merepresentasikan komponen basa atau alkalin. Maka, setiap pengurangan
kosentrasi hidrogen akan menaikkan pH. Larutan netral, adalah air murni atau air
suling, mempunyai konsentrasi ion hidrogen dan ion hidroksil yang sama, yaitu :

H+ = OH- = 1 x 10-7

Larutan ini mempunyai pH = 7. Kombinasi lainnya adalah :

H+ OH- pH
100 10-14 0
10-4 10-10 4
10-7 10-7 7
10-9 105 9
10-11 10-3 11
10-14 100 14

Dengan demikian, maka pH = 14 menunjukkan konsentrasi masksimum ion


hidroksil dan konsentrasi minimum ion hidrogen.
Harga pH lumpur pemboran water-base dinaikkan untuk alasan-alasan
sebagai berikut :
o Mengontrol korosi
o Aktivasi pengencer organik
o Stabilisasi temperatur
o Menaikkan batas toleransi untuk high solid content
o Mengurangi kontaminasi
59

Hadirnya gas hidrogen sulfida, pH diatas 10 dapat mencegah korosi yang


disebabkan oleh gas hidrogen sulfida tersebut. Jika dengan hadirnya karbon
dioksida, mempertahankan pH tetap tinggi sukar dilakukan, karena adanya
interaksi antara ion hidroksil dan ion karbon dioksida, sebagai berikut :

CO2 + OH-  HCO3-

Pembentukan asam karbonat tersebut akan menurunkan pH dengan cepat. Maka,


perlu menjaga pH tetap tinggi dengan hadirnya karbon dioksida. Adanya problem
tersebut, yaitu hadirnya karbon dioksida dan hidrogen sulfida, biasanya digunakan
lumpur oil-base. Jika lumpur water-base terkontaminasi gas hidrogen sulfida dan
karbon dioksida, maka harus segera digunakan amine sebagai coating agent. Jika
pH lumpur berkurang dapat ditambahkan caustic soda.
Lumpur water-base lebih stabil pada temperatur tinggi dan pH tinggi (diatas
11.0). Batas toleransi yang lebih tinggi untuk padatan dapat dihubungkan dengan
kenyataan bahwa kelarutan dari beberapa kontaminan akan berkurang dengan
kenaikan pH. Sebagai contoh, lumpur 16.0 lb/gal mempunyai toleransi padatan
maksimum 36% volume pada pH 9.5. Untuk lumpur yang sama toleransi padatan
adalah 40% pada pH 12.0. Penambahan sejumlah caustic soda untuk menjaga pH
diatas 11.0 karena ion hidroksil meninggalkan padatan dan bergabung dengan
kontaminan. Dengan demikian, maka untuk menjaga pH tetap tinggi diperlukan
biaya yang cukup tinggi.
Molekul bentonit terdiri dari tiga lapisan, yaitu : suatu perlapisan alumina
dengan satu perlapisan silika diatas dan dibawahnya. Hal ini ditunjukkan pada
Gambar 3-3. Plat clay bermuatan negatif dan berasosiasi dengan kation. Jika
kation tersebut adalah sodium, maka clay tersebut disebut sebagai sodium
montmorillonite, tetapi jika kation tersebut kalsium, maka disebut calsium
montmorillonite.
Ketebalan film air yang terarsorbsi dikontrol oleh jenis dan banyaknya
kation. Kation divalent, seperti Ca++ dan Mg++ menaikkan gaya tarik antara plat-
plat tersebut, sehingga jumlah air yang terarsobsi berkurang. Kation monovalent,
seperti Na+ memberikan gaya tarik yang lebih kecil, sehingga lebih banyak air
yang masuk diantara plat-plat tersebut. Hubungan ini ditunjukkan pada Gambar
3-2. Dari gambar tersebut terlihat bahwa calsium montmorillonite
pengembangannnya hanya seperempat dari sodium montmorillonite. Hal ini berarti
bahwa untuk konsentrasi clay tertentu dalam air tawar, sodium clay (Magcogel)
menghasilkan viskositas yang lebih besar dibandingkan dengan calsium clay.
pH suatu larutan didefinisikan sebagai naik-turunnya angka dari konsentrasi
ion hidrogen. Variasi pH, atau konsentrasi ion hidrogen dari suspensi clay
berhubungan dengan perubahan sifat fisik suspensi tersebut. pH suspension
hidrogen bentonite murni, karena diperoleh secara elektrolisis, maka range pH-nya
adalah 2 sampai 3. Jika sodium hydroxide ditambahkan kedalam suspensi, maka
pH akan bertambah, dan ion hidrogen akan digantikan oleh ion sodium, sehingga
60

range pH-nya antara 9 sampai 10. Disini ion hidrogen digantikan seluruhnya oleh
sodium, dan sekarang bukan lagi hidrogen bentonite tetapi sudah berubah menjadi
sodium bentonite.
Jika struktur dasar clay tidak mengandung sodium, sebagai kation yang
diserap, seperti ditunjukkan pada Gambar 3-3. Beberapa kation lainnya yang
dapat diserap, adalah aluminium, kalsium, barium, potassium, hidrogen, dan
magnesium. Kation-kation tersebut dapat diserap, karena mereka dapat digantikan
dengan merubah lingkungan clay-clay tersebut .
Clay dengan penyerapan kation yang berbeda-beda kelihatannya sama,
tetapi sebenarnya berbeda, dan cara membedakannya adalah hanya dengan
menggunakan uji standar yang baku. Oleh karena itu, bentonit harus memenuhi
Spesifikasi API seperti ditunjukkan pada Tabel 3-1.
Clay yield pada Tabel 3-1 didefinisikan sebagai jumlah barrel 15-cp
lumpur yang dapat diperoleh dengan menggunakan satu ton (2.000 lb) clay kering.
Dalam kasus ini viskositas 15-cp ditentukan dari pembacaan 600 rpm dibagi 2
yang diambil dari rotating viscometer standar. Dengan catatan bahwa spesifikasi
bentonit memerlukan yield clay 91.8 bbl/ton. Uji laboratorium standar untuk
mensimulasikan satuan lapangan dengan menggunakan 22.5 gram bentonit dalam
350 cc air suling, yang dapat dinyatakan sebagai 22.5 lb clay/bbl air (ppb).

Gambar 3-3. Skema diagram yang menunjukkan montmorillonite sebagai


plat-plat yang meyerap (mengabsorbsi) sodium

Uji plastic viscosity adalah suatu spesifikasi kehalusan; yield point adalah
merupakan ukuran aktivitas clay, yang dihasilkan dari muatan permukaan.
Bentonit harus mempunyai karakteristik filtration control yang baik. Spesifikasi ini
harus diuji dengan menggunakan air suling (destilled water), karena bentonit
61

sangat reaktif, dan kualitas hidrasi sangat dipengaruhi oleh perubahan komposisi
air. Yield bentonit berkurang dengan naiknya kandungan garam, sodium chloride
(NaCl).
Yield bentonit juga berkurang dengan hadirnya kation-kation yang lain
dalam air, seperti kalsium, magnesium, dan potassium. Kalsium sering digunakan
dalam lumpur untuk mencegah pengembangan formasi clay. Lumpur jenis ini
diklasifikasikan sebagai sistem lumpur lime, gyp, dan calsium chloride.
62

Bab 4
BAHAN KIMIA (ADDITIVE)
LUMPUR PEMBORAN
Dalam memilih bahan kimia (additive) lumpur pemboran untuk
menentukan komposisi dan perawatan sistem lumpur, maka seorang drilling
engineer harus mampu menjawab permasalahan-permasalan sebagai berikut :
 Apakah fungsi utama dari aditif yang digunakan dalam lumpur, seperti
viscosifier, fluid loss reducer ?
 Apakah aditif tersebut mempunyai sifat koloid, seperti viskositas dan gel ?
 Berapa batas maksimum temperatur terhadap stabilitas bahan tersebut ?
 Dimana jenis lumpur tersebut diaplikasikan ?
 Bagaimana pengaruh akumulasi low-density solid terhadap keefektifan bahan
kimia yang digunakan ?
 Bagaimana toleransi aditif terhadap garam dan kalsium ?
 Berapakah range penambahan aditif yang direkomendasikan ?
 Berapakah harga bahan kimia yang digunakan ? apakah cukup ekonomis ?
 Bagaimana cara menjaga kualitas dalam memproduksikan aditif ?
 Apakah sudah dilakukan uji laboratorium maupun uji lapangan terhadap aditif
yang akan digunakan ?
 Apakah bahan kimia tersebut dapat menyebabkan kerusakan formasi ?

Dari berbagai pengalaman menunjukkan bahwa bahan kimia/aditif lumpur


harus dilakukan pengembangan secara komprehensif agar diskripsi kimia produk
aditif-aditif sesuai dengan fungsi seperti yang tercantum dalam klasifikasinya. Jika
suatu produk aditif telah didiskripsikan dengan lengkap, maka dapat
dikelompokkan sesuai dengan fungsinya secara tepat.
Tabel 4-1 menunjukkan sistem klasifikasi aditif lumpur yang dibagi dalam
tujuh kelompok. Berikut akan dijelaskan secara ringkas dari masing-masing
kelompok aditif tersebut.

4.1. VISCOSIFIER (PENGENTAL)

4.1.1. Bentonite (Montmorilonite)

Bentonite (montmorillonite) secara alamiah dapat berfungsi untuk


menaikkan viskositas dan menurunkan fluid loss dari lumpur dasar air tawar
63

(freshwater mud), dan jika dimodifikasi fungsinya juga sama jika digunakan dalam
air asin maupun oil-base mud. Bentonite termasuk dalam anggota kelompok
montmorillonite, yang meliputi montmorillonite, beidellite, nontronite, hectorite
dan saponite. Biasanya bentonite yang digunakan dalam lumpur pemboran berasal
dari Wyoming, South Dakota dan jenis-jenis montmorillonite lainnya. Rumus
kimia bentonite adalah 0,33 Na (Al1,07 Mg0,33 O3) 0,4 SiO2 H2O. Rumus kimia
tersebut menunjukkan bahwa ada sejumlah kation sodium dan magnesium
digantikan oleh atom aluminium dalam strukturnya. Berbagai macam anggota
kelompok montmorillonite struktur geometris kristalnya satu dengan yang lain
hampir sama, tetapi komposisi kimianya berbeda yang disebabkan karena
substitusi kimia.

Tabel 4-1
Basis bahan kimia lumpur

VISCOSIFIER EMULSIFIER
Bentonite Oil in water
Attapulgite Water in oil
Asbestos
Polymer LOSS-CIRCULATION MATERIAL
Lime or cement Granular
Fibrous
WEIGHTING MATERIAL Flaked
Barite Slurry
Iron oxides
Galena ADITIF KHUSUS
Calcium carbonate Flocculant
Dissolved salt Corrosion control
Defoamer
VISCOSITY-REDUCING CHEMICAL pH control
Phosphate Mud lubricant
Tannate Antidefferential sticking material
Lignite
Lignosulfonate
Sodium polyacrylate

FILTRATION LOSS REDUCER


Starch
CMC
Polyanionic cellulose
Acrylate
Bentonite
Dispersant
64

4.1.2. Attapulgite

Attapulgite dapat menghasilkan viskositas jika digunakan pada air asin.


Viskositas yang dihasilkan oleh attapulgite terjadi secara mekanis dan tidak terjadi
proses hidrasi. Secara kimiawi, attapulgite adalah merupakan hydrous magnesium
silicate. Struktur kristalnya yang unik putus menjadi partikel-partikel yang
berbentuk seperti jarum pada saat mengalami gaya geser (shearing), dengan
tingkat viskositas tergantung dari ukuran partikel-partikelnya. Partikel attapulgite
yang ukurannya acak cenderung membentuk struktur menumpuk, sehingga
menghasilkan viskositas yang penting dalam pembersihan serbuk bor di dasar
lubang. Akan tetapi, partikel-partikel yang berbentuk seperti jarum tersebut tidak
dapat berfungsi sebagai filtration control, sehingga untuk mengontrol filtration
loss harus ditambahkan bahan-bahan seperti starch atau polyanionic cellulose.

4.1.3. Asbestos

Merupakan bahan viscosifier yang sangat efektif baik untuk lumpur air
tawar (freshwater mud) maupun lumpur air asin (saltwater mud). Penggunaan
mineral asbestos ini harus ekstra hati-hati, karena bersifat carcinogen yang sangat
berbahaya bagi kesehatan. Viskositas yang dihasilkan oleh asbestos diperoleh
secara mekanis dari gaya geser (shear) yang dihasilkan oleh struktur tumpukan
serat-serat halus. Secara kimiawi, asbestos adalah merupakan calcium magnesium
silicate.

4.1.4. Polimer

Polimer yang digunakan dalam lumpur pemboran terdiri dari bahan-bahan


alami maupun sintetis, dan biasanya mempunyai berat molekul yang tinggi.
Polimer adalah merupakan aditif yang terdiri dari sejumlah molekul yang sangat
banyak, membentuk perulangan satuan kecil yang disebut sebagai monomer.
Polimer digunakan sebagai pengontrol filtration loss, viskositas, flokulasi dan
penstabil shale. Polimer yang ditambahkan ke dalam lumpur pemboran akan
menyebabkan sedikit perubahan kandungan padatan dalam lumpur.
Secara umum ada tiga jenis polimer, yaitu :
a) Extender, meliputi sodium polyacrylate (nama produknya BENEX) yang dapat
berfungsi untuk menaikkan viskositas dengan penggumpalan bentonite.
b) Colloidal polymer, meliputi sodium carboxy methyl cellulose (CMC),
Hydroxyethyl cellulose (HEC) dan strach. (Istilah koloid berasal dari kata
dalam bahasa Yunani yang berarti lem).
65

CMC adalah polimer anionik yang dihasilkan dari cellulose yang ditreatment
dengan menggunakan caustic soda dan kemudian dengan monochloro acetate.
Berat molekulnya bervariasi antara 50.000 sampai 400.000.
HEC dibuat dengan proses yang sama seperti pembuatan CMC, tetapi dengan
menggunakan ethylene oxide setelah caustic soda. Kelebihan dari HEC adalah
mampu menghidrat air garam.
Starch pada dasarnya dihasilkan dari jagung atau kentang dan buat seperti agar-
agar dengan proses pemanasan dan hydrochloric acid dan akhirnya
dikeringkan. Berat molekul starch dapat mencapai 100.000. Starch digunakan
untuk menaikkan viskositas dan berfungsi sebagai bahan pengontrol air tapisan
(filtration loss). Kelemahan dari starch adalah bahwa starch sangat mudah
terserang bakteri pada nilai pH yang rendah.
c) Polimer rantai panjang (long chain polymer), meliputi xanthan gum polymer.
Xanthan gum polymer adalah larutan biopolymer yang dihasilkan dengan
proses bakteri pada karbohidrat dan mempunyai berat molekul 5.000.000.
Xanthan gum polymer sangat mudah terserang bakteri pada temperatur diatas
3000F. Keuntungan dari xanthan gum polymer adalah karena mampu
menaikkan viskositas pada air tawar, air laut maupun air garam tanpa
menggunakan bahan kimia lainnya. Xanthan gum polymer ini juga tahan
terhadap kontaminasi anhidrit, gypsum dan garam.

Karena semua jenis polimer tersebut dibuat secara kimiawi, maka harganya
lebih mahal jika dibandingkan dengan bentonite dan bahan-bahan pengental
lainnya. Akan tetapi, polimer tidak menaikkan kadar padatan dalam lumpur dan
juga tidak menaikkan densitas lumpur. Secara umum, lumpur polimer
menghasilkan densitas sampai 13 ppg.

4.1.5. Lime atau semen

Lime atau semen dapat juga dapat digunakan untuk mengentalkan lumpur
atau menaikkan viskositas. Naiknya viskositas terutama disebabkan oleh adanya
proses flokulasi dari plat-plat clay, yang dihasilkan dari penggantian kation Na+
oleh kation Ca+2.

4.2. WEIGHTING MATERIAL (MATERIAL PEMBERAT)

Material pemberat adalah bahan-bahan yang mempunyai specific gravity


tinggi yang ditambahkan kedalam cairan untuk menaikkan densitas fluida.
Biasanya, material pemberat ditambahkan kedalam lumpur pemboran untuk
mengontrol tekanan formasi.
66

4.2.1. Barite (Barium Sulfate)

Barite (BaSO4) adalah bahan mineral alami yang mempunyai spesific


gravity antara 4,2 sampai 4,6, dengan indeks kekerasan 3, kualitasnya sangat
dipengaruhi oleh kadar kontaminan, berwarna putih, abu-abu atau coklat. Pada
umumnya barite yang diproduksikan di U.S.A. berasal dari Arkansas yang
ditemukan bercampur dengan silikat, sehingga diperlukan proses pemisahan.
Barite yang ditemukan di Missouri bercampur dengan clay dan formasi-formasi
lunak, sehingga hanya diperlukan pencucian sebelum dihancurkan. Endapan-
endapan barite banyak dijumpai di seluruh dunia termasuk Indonesia. Barite
digunakan untuk menaikkan densitas dari semua jenis lumpur. Densitas lumpur
yang tinggi sampai 20 lb/gal dapat diperoleh dengan menambahkan barite seperti
yang direkomendasikan dalam API Specification.
Keuntungan dari penggunaan barite adalah dapat menaikkan densitas
lumpur sehingga cukup untuk mengontrol tekanan formasi, sedangkan
kerugiannya adalah suspensi barite memerlukan viskositas yang lebih tinggi, dan
barite dalam packer fluid yang tinggi akan menyebabkan pengendapan, sehingga
menyebabkan kesulitan dalam pekerjaan workover.

4.2.2. Oksida Besi (Fe2O3)

Oksida besi mempunyai specific gravity bervariasi antara 4,9 sampai 5,3,
dengan indeks kekerasan 7, berwarna coklat sampai hitam. Pada awal sejarah
lumpur pemboran, oksida besi banyak digunakan sebagai material pemberat
lumpur. Pada perkembangan selanjutnya diketahui bahwa ternyata bahan ini
cenderung dapat menaikkan filtration loss dan ketebalan mud cake. Selain itu,
oksida besi ini dapat merusak kulit dan pakaian. Kondisi ini menyebabkan oksida
besi sampai saat tidak banyak digunakan. Kerugian yang lain dari penggunaan
oksida besi adalah kemungkinan efek abrasi terhadap pahat, drillstring, dan liner
pompa lumpur.

4.2.3. Galena

Galena atau lead sulfide (PbS) mempunyai specific gravity yang bervariasi
antara 6,8 sampai 6,9, dengan indeks kekerasan 2,5, berwarna abu-abu sampai
hitam. Bahan ini jarang digunakan, kecuali dalam kondisi darurat jika diperlukan
densitas lumpur yang tinggi sampai 32 lb/gal. Pada umumnya galena tidak cocok
dalam operasi pemboran karena adanya problem suspensi.
67

4.2.4. Calcium Carbonate

Calcium carbonate atau limestone (CaCO3) mempunyai specific gravity 2,7


dengan indeks kekerasan 3. Bahan ini digunakan terutama untuk mendapatkan
densitas lumpur sampai 10,8 lb/gal pada oil-base mud dan fluida workover.
Calcium carbonate dapat dijumpai dalam tiga grade, yaitu : halus, sedang dan
kasar. Kerena bahan ini larut dalam asam, maka dapat digunakan sebagai lost-
circulation material. Calcium carbonate lebih ekonomis daripada bahan-bahan
lainnya. Calcium carbonate lebih mudah tersuspensi dari pada barite, dan lebih
mudah diambil dari formasi untuk mengurangi kerusakan formasi.

4.2.5. Larutan Garam (Brine Solution)

Diperoleh dengan menggunakan berbagai macam garam. Tabel berikut


menyajikan densitas maksimum yang dapat dicapai dari setiap jenis garam :

GARAM DENSITAS
MAKSIMUM (ppg)
Sodium Chloride (NaCl) 10.8
Calcium Chloride (CaCl2) 11.7
Zinc Chloride & Calsium Chloride (ZnCl2 dan CaCl2) 14.0
Zinc Chloride (ZnCl2) 17.0

Garam digunakan untuk menformulasikan solid-free workover fluid.


Sodium Chloride dapat digunakan secara ekonomis karena densitas agent tanpa
perlu penambahan bentonite untuk kemampuan suspensinya. Lumpur ini efektif
digunakan pada pemboran atau packer fluid.
Calcium Chloride (CaCl2) pada umumnya digunakan sebagai material
pemberat untuk packer fluids.
Efek korosi dari penggunaan garam sebagai bahan aditif harus
dipertimbangkan, karena Calcium chloride menimbulkan problem jika digunakan
sebagai lumpur pemboran karena laju korosinya cukup menyolok jika
berhubungan dengan udara. Selain itu, zinc chloride juga sangat korosif terhadap
tubing dan casing.

4.3. VISCOSITY REDUCER/THINNER (PENGENCER)

Bahan pengencer (thinner) lumpur pada prinsipnya digunakan untuk


menurunkan viskositas lumpur dengan cara memutus ikatan plat-plat clay melalui
tepi (edge) dan muka (face). Bahan pengencer tersebut kemudian menyambungkan
dirinya dengan plat-plat clay, sehingga dapat menahan gaya tarik antar lembaran-
lembaran clay.
68

Ada berbagai jenis bahan pengencer untuk lumpur pemboran, yaitu :


4.3.1. Phosphate

Phosphate bekerja dengan pengabsorbsian pada valensi tepi partikel clay


yang terputus, sehingga menghasilkan keseimbangan listrik dan memungkinkan
partikel-partikel mengambang dengan bebas dalam larutan. Pengaruh
pendispersian phosphate ini adalah karena muatan negatif plat-plat clay, yang
memungkinkan plat-plat saling tolak menolak antara satu dengan yang lain setelah
semua valensi tepi putus. Phosphate penggunaannya terbatas dalam lingkungan
kontaminasi ion. Jika terdapat ion kalsium atau magnesium, bentuk kompleks
polyphosphate atau terbentuk suatu ion metal orthophosphate yang tidak larut.
Phosphate yang umum digunakan dalam aplikasi praktis pada lumpur
pemboran ditunjukkan pada tabel berikut :

Nama Nama pH Batasan


Kimia Umum Aditif Temperatur
Sodium Acid Pyrophosphate SAPP 4.8 1500F
Sodium Hexametaphosphate Calgon 6.8 1500F
Sodium Tetraphosphate Barafos 7.5 1500F
Tetra Sodium Pyrophosphate TSPP 10.0 1500F

Keuntungan dari phosphate adalah karena merupakan thinner yang efektif


untuk gel mud pada pemboran dangkal, dan dengan penggunaan yang hanya
sedikit sudah efektif. Sedangkan kerugiannya adalah :
o SAPP mempunyai pH 4.8. Oleh karena itu, perlu ditambahkan caustic soda
(NaOH) atau beberapa aditif hidroksil untuk menjaga pH lumpur diatas 7.0
o Pada umumnya Phosphate hanya dapat stabil pada temperatur rendah
o Phosphate tidak mempunyai kemampuan untuk mengontrol fluid loss, seperti
halnya thinner yang lain
Phosphat sebagai bahan pengencer dapat digunakan secara efektif pada
berbagai harga pH, tetapi hanya mampu digunakan sampai temperatur 1500F.

a) Sodium acid pyrophosphate (SAPP)


Sodium acid pyrophosphate (SAPP), atau disodium dihydrogen pyrophosphate
(Na2H2P2O7) adalah merupakan salah satu dari berbagai jenis phosphate yang
banyak digunakan. SAPP mempunyai specific gravity 1,85. Dalam larutan 10%
SAPP mempunyai pH sebesar 4. SAPP berbentuk serbuk berwarna putih
dengan kandungan impurities yang tidak dapat terlarut. SAPP ini tidak
berbahaya bagi kesehatan, tetapi bersifat asam, sehingga sangat korosif
terhadap besi. SAPP sangat efektif jika digunakan sebagai pengencer pada
lumpur alami (natural mud), yaitu lumpur yang terbentuk dari padatan yang
berasal dari formasi, dengan kadar padatan yang rendah, yaitu antara 5 %vol
sampai 8 %vol. SAPP juga sangat efektif untuk menangani kontaminan
69

calcium. Sedangkan kerugian dari penggunaan SAPP adalah sangat rentan


terhadap kehadiran kontaminan garam yang dapat menyebabkan naiknya
viskositas dan filtration loss, dan SAPP hanya mampu digunakan sampai
temperatur 1500F, karena diatas temperatur tersebut akan berubah menjadi
orthophosphate yang tidak dapat berfungsi sebagai pengencer.

b) Tetrasodium pyrophosphate

Tetrasodium pyrophosphate, atau TSPP (Na4P2O7) mempunyai specific gravity


2,534 dan berbentuk bubuk kristal berwarna putih. Dalam larutan 10% TSPP
mempunyai pH sebesar 10. TSPP dibuat dengan pemanasan disodium
phosphate. TSPP tidak berbahaya bagi kesehatan, dan sifatnya tidak korosif.
TSPP telah banyak digunakan dalam pengkondisian sistem lumpur, tetapi
penambahan yang berlebihan dapat merusak lumpur, dan hanya mampu
digunakan sampai temperatur 1500F.

c) Sodium tetraphosphate

Sodium tetraphosphate, atau STP (Na6P4O13) mempunyai specific gravity 2,5.


Bersifat hydroscopic dan tidak berwarna dengan kenampakan seperti serbuk
kaca. Dalam 10% larutan STP mempunyai pH sebesar 7. STP juga dapat
digunakan secara efektif seperti jenis phosphate yang lainya, tetapi tidak akan
merusak lumpur jika penambahannya berlebihan. Kerugian penggunaan STP
adalah tidak dapat stabil dalam waktu yang lama, dan hanya mampu digunakan
sampai temperatur 1500F.

d) Sodium hexametaphosphate

Sodium hexametaphosphate, atau SHMP (Na6(PO3)6) mempunyai specific


gravity 2,181, tidak berwarna dengan kenampakan mirip seperti STP,dan
bersifat hydroscopic. SHMP pada awalnya banyak digunakan untuk
pengkondisian lumpur. SHMP juga cukup efektif, tetapi tidak seefektif SAPP
jika digunakan dalam rentang waktu yang lama. SHMP juga efektif untuk
mengambil calcium dari larutan. SHMP ini hanya mampu digunakan sampai
temperatur 1500F.

4.3.2.Lignosulfonate

Lignosulfonate adalah campuran lignin sulfonate yang diperoleh dari sulfite


liquor. Berbagai macam jenis dan sejumlah ion-ion metal ditambahkan dalam
campuran tersebut untuk meningkatkan kemampuannya dalam menetralisir valensi
tepi yang terputus. Ion-ion yang ditambahkan adalah calsium, besi, dan chrome.
70

Lignosulfonate mempunyai stabilitas yang baik sampai temperatur 4000F.


Lignosulfonate merupakan aditif yang berfungsi ganda, yaitu baik sebagai
dispersant maupun fluid loss control agent.
Calsium lignosulfonate adalah thinner yang efektif untuk lumpur lime.
Ferrochrome lignosulfonate, dengan berbagai jumlah besi dan chrome, merupakan
thinner yang efektif untuk tujuan umum karena adanya ion-ion metal berat.
Chrome lignosulfonate adalah bahan pengencer yang paling banyak
digunakan, tetapi akan terdekomposisi pada temperatur 3000F (1490C). Bahan
kimia ini mempunyai kemampuan untuk mendeflokulasi dan mendispersikan
partikel-partikel clay, sehingga dapat menurunkan viskositas, yield point dan water
loss. Deflokulasi dicapai dengan cara menyambung chrome lignosulfonate pada
tepi plat clay yang terputus. Hal ini akan menyebabkan turunnya gaya tarik antar
plat-plat clay dan mengakibatkan penurunan viskositas dan gel strength.
Kerugian dari penggunaan lignosulfonate adalah bahwa pada kondisi
temperatur dan tekanan yang sangat tinggi, lignosulfonate dapat terdegradasi dan
menghasilkan racun gas H2S.

4.3.2. Lignite

Lignite yang digunakan sebagai bahan pengencer berasal dari alam atau
dari produk tambang. Produk Lignin dapat diperoleh dari humic acid extract, tetapi
biasanya berbentuk kepingan lignite coal. Dalam pengkondisian lumpur, lignite
digunakan dengan menambahkan Na(OH) pada ratio 5 : 1 sebagai pengencer, oil
emulsifier, dan fluid loss reducer. Complexed lignite digunakan dengan modified
lignosulfonate dapat memperbaiki filtration control pada temperatur tinggi. Lignite
dapat digunakan dalam water-base mud pada temperatur sampai 4000F. Lignite
merupakan thinner dan fluid loss control agent yang efektif.
Keuntugan dari penggunaan lignite sebagai aditif adalah :
o Lignite stabil pada temperatur 4000F, dan bahkan dapat stabil pada temperatur
sampai 4500F dengan menggunakan aditif-aditif khusus.
o Lignites (lignins) berfungsi sebagai dispersant dengan memenuhi valensi tepi
yang terputus dan sebagai fluid loss control agent karena struktur koloidalnya.
o Walaupun lignins mempunyai pH asam, produk pre-causticized dapat diperoleh
yang mempunyai 1 - 6, caustic-lignin ratio, yang dapat digunakan tanpa pH
adjuster.
Sedangkan kerugiannya adalah bahwa lignite tidak cocok untuk fluida
dengan kandungan garam yang tinggi karena lignite tidak larut dalam garam.
71

4.3.4. Tannate

Pada umumnya tannate yang digunakan untuk mengontrol lumpur adalah


bahan ekstrak tumbuhan quebracho, yang berasal dari kulit kayu pohon quebracho
(C14H10O9) di Argentina. Tannate dalam kondisi basah dapat membengkak, dan
dapat larut dalam air secara secara lambat, tetapi akan menghasilkan larutan yang
asam, sehingga harus ditambahkan sodium hidroxide untuk menghasilkan larutan
sodium tannate. Dalam 10% larutan dengan 1 bagian sodium hidroxide dan 3
bagian quebracho mempunyai pH sebesar 10,5. Quebracho adalah merupakan
bahan pengencer yang sangat efektif sampai temperatur 2500F jika kadar
kontaminan garam dan calcium masing-masing tidak melebihi 10.000 ppm dan
240 ppm. Tannin diekstrak dari kulit kayu pohon hemlock juga dapat digunakan
sebagai bahan pengencer lumpur pemboran, dan dapat dilarutkan dalam air dengan
cara yang sama dengan menambahkan Na(OH) seperti quebracho.
Tannate merupakan bahan dengan fungsi ganda sebagai dispersant dan
fluid loss control agent. Selain itu, tannate, terutama quebracho efektif untuk
pengencer lumpur lime dan lumpur yang terkontaminasi semen.

4.3.5. Surfactant

Surfactant (surface tension-reducing agent) dapat berfungsi untuk


mengencerkan lumpur dan juga menurunkan water loss. Bahan ini juga dapat
digunakan sebagai emulsifier (lihat pada oil-based mud).

4.3.6. Air

Telah lama digunakan sebagai pengencer yang efektif pada lumpur


pemboran. Efek pengenceran diperoleh dengan mengurangi total konsentrasi
padatan lumpur pemboran. Karena penambahan drilled solid pada sistem lumpur
sudah menjadi sifat yang umum, maka diperlukan pencairan dengan air atau
mengambil padatan-padatan tersebut secara mekanis.
Perlu dicatat bahwa air biasanya ditambahkan pada lumpur water-base
untuk menggantikan air yang hilang kedalam formasi. Jika air yang hilang tersebut
tidak digantikan dengan penambahan air, maka viskositas akan naik karena
konsentrasi padatan bertambah dan dari treatment kimia akan terbukti bahwa
viskositas tidak dapat turun secara efektif dalam situasi ini.
72

4.4. FLUID LOSS CONTROL

Fluid loss control digunakan untuk menjaga integritas lubang, melindungi


shale yang sensitif terhadap air, dan meminimalkan hole washout untuk mencapai
casing-cement job yang lebih baik. Selain itu, dengan meminimalkan fluid loss
dalam formasi produktif akan dapat mengurangi problem analisa log dan
meminimalkan kerusakan formasi yang dapat menurunkan produksi.
Secara umum, filtrat loss dalam formasi permeabel adalah tergantung pada
distribusi ukuran partikel dan kandungan koloid yang relatif tinggi dalam range
60% kandungan padatan lumpur dalam ukuran diameter 0 - 1 mikron. Sebagai
contoh, dispersi lumpur bentonite pada suatu sumur akan mempengaruhi filtrate
loss lebih rendah karena konsentrasinya lebih besar dari ukuran partikel-partikel
koloid dibanding dengan lumpur kaolinite atau attapulgite clay. Akan tetapi, clay
tidak dapat digunakan semata-mata untuk mengontrol fluid loss karena merusak
lumpur, dimana viskositas flluida akan naik dengan naiknya kandungan clay.
Ada berbagai jenis aditif lumpur yang digunakan untuk mengontrol fluid
loss. Pada umumnya aditif ini digunakan bersama-sama dengan bentonite,
sementara sebagian kecil dapat digunakan secara terpisah pada setiap kandungan
clay dalam lumpur.

4.4.1. Bentonite

Merupakan aditif multiguna yang membantu dalam mengontrol fluid loss,


suspensi barite, dan viskositas untuk kemampuan pembersihan lubang bor. Dalam
penambahan yang sedikit, pada range 6% berat cocok untuk mengurangi fluid loss
sampai 10 - 12 cc.
Ada beberapa kerugian dari penggunaan bentonite sebagai filtration loss
reducer, yaitu :
o Bentonite tidak cocok digunakan pada konsentrasi ion sodium, kalsium, atau
potassium yang tinggi tanpa prehidrasi.
o Bentonite rentan terhadap kontaminasi pada saat pemboran formasi-formasi,
seperti garam atau anhydrite (CaSO4)
o Lumpur clay rentan terhadap panas dalam bentuk flokulasi clay yang
meningkatkan fluid loss

4.4.2. Starch (Pregelantized)

Strarch dapat berfungsi dengan baik sebagai fluid loss control agent dengan
hadirnya ion kalsium atau sodium. Oleh karena itu, aditif ini cocok digunakan
untuk lumpur saltwater atau lumpur lime. Jika digunakan pre-treated non-
fermenting starch, maka tidak perlu digunakan bactericide.
73

Kelemahan dari penggunaan starch adalah :


o Kenaikan viskositas sering terjadi jika menggunakan starch
o Harus digunakan bactericide untuk mencegah degradasi jika starch bukan pre-
treated
o Starch rentan terhadap panas diatas 2500F

4.4.3. Sodium Carboxymethylcellulose - CMC

CMC paling terkenal, adalah merupakan produk dari tumbuhan gum yang
digunakan sebagai fluid loss control dan sebagai viscosifier. CMC sangat aktif
meskipun terkontaminasi oleh konsentrasi ion tinggi, yang membuat CMC ini
sangat cocok digunakan pada inhibited muds. Technical grade dan high viscosity
grade dapat digunakan tergantung dari besarnya kenaikan viskositas yang
diingikan. Technical grade biasanya lebih banyak digunakan karena pengaruh
kenaikan viskositasnya lebih rendah. Aditif ini stabil sampai temperatur diatas
3500F.
Kelemahan dari CMC adalah harus menggunakan thinner untuk mengatasi
pengaruh viskositas aditif.

4.4.4. X-C Polymer

Dihasilkan dari polysaccaride gum. X-C polymer stabil terhadap kehadiran


larutan garam. X-C polymer ini mempunyai sifat :
o Membangun viskositas
o Struktur gel
o Viskositas rendah pada shear rate yang tinggi

4.4.5. Ben-Ex

Suatu rantai panjang polimer yang dirancang penggunaannya untuk low


solid muds. Ben-Ex mengikat partikel clay bersama-sama pada shear rate rendah.

4.4.6. Lignins, Tannins, dan Lignosulfonates

Semuanya memberikan sifat fluid loss control karena sifat kimia


alamiahnya, ukuran, dan dengan peranannya sebagai dispersant untuk partikel-
partikel koloid clay. Kemampuan pendispersian setiap aditif dibahas pada bagian
terpisah.
74

Produk-produk ini mempunyai stabilitas yang baik pada range temperatur


antara 3500F - 4000F. Formulasi khusus lignite akan menghasilkan stabilitas
sampai temperatur 4500F.
Lignins mempunyai struktur koloid yang membantu dalam mengontrol fluid
loss. Aksi ganda sebagai fluid loss control dan pendispersian cenderung
menyebabkan produk-produk ini cocok digunakan dalam banyak kasus.
Kerugian dari lignins adalah rentan terhadap kontaminasi ion kalsium dan
berikutnya terjadi flokulasi. Lignins cenderung menangkap ion kalsium yang dapat
mengurangi keefektifan lignite sebagai fluid loss agent.

4.4.7. Diesel Oil

Telah sering digunakan untuk mengurangi API filter loss lumpur pemboran.
Akan tetapi, diesel oil ini telah terbukti bahwa meskipun prinsipnya dapat
mengurangi water loss, tetapi pada temperatur dan tekanan tinggi water loss tidak
terpengaruh oleh minyak.

4.5. EMULSIFIER

Emulsifier memungkinkan terjadinya dispersi mekanis dari dua macam


fluida yang tidak saling bercampur, membentuk fasa internal dan eksternal, dan
secara kimiawi membentuk emulsi yang stabil.
Emulsi adalah suatu sistem campuran dua fasa yang terdiri dari butiran
minyak dalam air atau butiran air dalam minyak. Disekeliling cairan disebut
sebagai fasa kontinyu. Jika fasa minyak dan air relatif murni, maka butiran-butiran
tersebut akan bergabung dan membentuk lapisan pemisah pada saat pengadukan
dihentikan. Jika ditambahkan emulsifying agent, maka akan terdistribusi pada
bidang kontak antara butiran dengan fasa kontinyu fasa cair. Tegangan
permukaannya berkurang, sehingga butiran-butiran akan saling tolak menolak satu
dengan yang lain dan kondisinya tetap terdispersi. Emulsi yang terjadi dengan cara
ini dapat dikelompokkan sebagai minyak dalam air atau air dalam minyak,
tergantung dari fasa kontinyunya.
Sejumlah kecil minyak (5%vol) dapat dibuat emulsi dalam clay-water mud
tanpa bahan emulsifier yang mahal. Tetapi emulsi biasanya lebih stabil jika
tegangan permukaan diturunkan dengan sedikit emulsifier. Lignite adalah
merupakan emulsifier yang efektif dengan perbandingan 5 bagian lignite dan 1
bagian Na(OH). Emulsifier yang berupa sabun (soap-type emulsifier), baik
nonionic atau anionic juga dapat dugunakan untuk membuat oil-in-water
emulsion.Water-in-oil emulsifier adalah merupakan formulasi yang spesifik untuk
menghasilkan “invert” emulsion, dimana butiran-butiran air terdispersi dalam fasa
kontinyu minyak.
75

Pada prinsipnya emulsifier adalah aditif yang mempunyai sifat :


o Heavy molecular weight soap
o Menaikkan tegangan permukaan
o Menghasilkan emulsi yang stabil
o Cairan emulsifier bekerja lebih cepat, tetapi tidak membentuk emulsi yang
ketat.
o Harus mempunyai stabilitas listrik 350 - 400 volt.

4.6. LOST-CIRCULATION MATERIAL (LCM)

Adalah merupakan material yang ditambahkan baik untuk mencegah lost


circultation atau untuk mendapatkan kembali sirkulasi setelah terjadi hilang
sirkulasi. Pada umumnya material-material ini digunakan tanpa banyak
pertimbangan, yang penting dapat menanggulangi problem hilang lumpur.
Problem lost circulation (hilang lumpur) secara umum dibagi menjadi dua
kategori, yaitu :
o Kategori Pertama, adalah problem hilang lumpur kedalam rongga-rongga,
seperti zona porous, vuggy limestone, shell reefs, gravel beds, atau gua-gua
alami.
o Kategori Kedua, adalah lost circulation yang terjadi karena terlampauinya
compressive strength formasi. Kemungkinan penanganan untuk kategori
pertama akan tidak menyelesaikan problem rekah formasi. Maka, aditif lumpur
harus dibagi menjadi kelompok-kelompok yang dapat diterapkan pada setiap
jenis lost circulation tersebut.

Secara umum, tidak ada aditif lumpur yang dapat diaplikasikan dalam
rongga-rongga yang besar seperti gua-gua dibawah tanah. “Blind drilling”
(pemboran “buta”) dan setting casing string sering digunakan untuk
menyelesaikan masalah tersebut. Akan tetapi, dalam rongga-rongga yang kecil,
material penyumbat dapat secara efektif menutup zona-zona tersebut.
Lost-circulation material dapat diperoleh dalam berbagai ukuran dan bentuk
untuk digunakan dalam penyumbatan rekahan dan mencegah hilangnya lumpur ke
dalam formasi. Dari hasil pengamatan selama beberapa tahun yang lalu, telah di
temukan sekitar 450 macam lost-circulation material, dengan nama produk yang
berbeda-beda. Pengidentifikasian dan pengelompokannya dibuat menurut ukuran
dan bentuk, sehingga dapat mempermudah dalam pemilihan untuk kondisi-kondisi
khusus.
Lost-circulation material berbentuk butiran kecil (granular), serpih (flakes),
atau serat (fibrous), dan diklasifikasikan mulai dari kasar, sedang dan halus..
Campuran dari bahan-bahan granular, flake dan fibrous dirancang untuk menutup
rekahan-rekahan kecil, lapisan gravel, zona yang permeabilitasnya tinggi.
76

4.6.1. Fibrous Material (Bahan Berserat)

Fibrous material meliputi bahan-bahan seperti ground leather atau ground


sugar dari batang rotan. Material fibrous ini berupa serat kayu, serat tumbuhan,
maupun serat sintetis, dengan ukuran 1/8 sampai 3/4 inchi. Bahan ini paling efektif
untuk menutup rongga-rongga yang besar, karena mengandung serat kasar yang
dapat memberikan kemampuan membungkus dengan baik. Problem lain yang
mungkin terjadi adalah penyumbatan bit jet dengan material ini.

4.6.2. Granular Material (Bahan Berbutir Kecil)

Granular material meliputi walnut shell dan ground mica dapat diperoleh
dalam ukuran yang kasar, sedang atau halus, atau 4 sampai 100 mesh menurut U.S.
Standar sieve. Bahan ini biasanya cocok untuk menutup zona porous.

4.6.3. Flakes Material (Bahan Berbentuk Serpih)

Material flake berupa cellophane atau polyethylene flake yang berukuran


dari 1/8 sampai 1 inchi. Cellophane juga berfungsi untuk menyumbat zona-zona
porous.

4.6.4. Barite dan Bentonite

Barite dan bentonite juga sangat efektif untuk menutup/menyumbat


formasi- formasi yang porous.

4.6.5. Squeeze Techniques

Squeeze techniqe adalah merupakan teknik penyumbatan yang cukup


efektif untuk menyelesaikan problem-problem lost circulation ini. Squeeze adalah
setiap material yang didesak masuk kedalam formasi sebagai usaha untuk menutup
formasi dari dalam. Setiap bahan yang disebutkan diatas dapat digunakan dalam
squeeze dan biasanya dalam jumlah yang cukup banyak per barrel-nya.
Squeeze khusus menggunakan diesel-oil sebagai carrying agent yang
dicampur dengan bentonite atau semen sangat efektif. Semen atau bentonite tidak
bereaksi dengan minyak, tetapi akan bereaksi dengan lumpur atau air formasi.
77

4.7. ADITIF KHUSUS

Aditif khusus dikelompokkan menjadi beberapa jenis, yaitu : flocculant,


corrosion-control agent, defoamer, pH control, mud lubricant, dan antidifferential
sticking chemical.

4.7.1. Flocculant

Fllocculant adalah merupakan polimer yang digunakan untuk mengikat


padatan yang berasal dari serbuk bor agar menggumpal, sehingga mudah diambil
dengan cara penyaringan atau pengendapan. Flokulasi adalah hanya merupakan
metoda untuk memisahkan/mengambil padatan serbuk bor yang berukuran koloid.

4.7.2. Corrosion control agent

Corrosion control agent diklasifikasikan sebagai :


o Inhibitor, misalnya : amine yang membentuk lapisan film
o Oxygen scavenger, misalnya : sodium sulfide, dan
o Hydrogen sulfide scavenger, misalnya : copper carbonate, zinc compound, atau
iron derivative.

4.7.3. Defoamer

Defoamer adalah merupakan surface-active agent yang digunakan untuk


memecah busa dalam lumpur pemboran. Bahan kimia ini berupa aluminium
stearate, octyl alcohol, tributylophosphate, pine oil, dan organic silicon.

4.7.4. Pengatur pH (pH Adjuster)

Karena beberapa aditif lumpur pH-nya rendah dan karena pengoperasian


optimum range pH sistem lumpur, sehingga pada suatu saat perlu menambahkan
bahan-bahan yang akan merubah pH sistem lumpur. Karena pada umumnya aditif
secara alamiah bersifat asam, maka jarang bahwa pH-nya tinggi. Sebaliknya,
biasanya pH yang terlalu rendah harus dinaikkan.
pH adjuster harus ditangani dengan hati-hati, dengan menggunaan suatu
chemical barrel. Tidak menggunakan hopper atau dump secara langsung kedalam
sistem.
Secara umum, ada tiga macam pH adjuster, yaitu Sodium Hydroxide
(Caustic soda), Potassium Hydroxide, dan Calcium Hydroxide. Sodium Hydroxide
78

adalah merupakan pH adjuster yang umum digunakan, sedangkan lainnya


biasanya digunakan untuk tujuan khusus.
Kerugian dari penggunaan bahan-bahan pengatur pH tersebut adalah :
o Semuanya dapat menyebabkan kulit terbakar.
o Semuanya sangat korosif terhadap peralatan.
o Potassium Hydroxide dan Calcium Hydroxide mempunai karakteristik ihibitive
(menghalangi) yang kuat karena adanya ion-ion potassium dan calcium. Kedua
produk ini biasanya digunakan dalam lumpur untuk clay hidration inhibition.

4.7.5. Pelumas Lumpur (Mud Lubricant)

Lumpur juga digunakan sebagai pelumas bagi pahat dan drillstring akibat
adanya gesekan dengan batuan. Sebagai contoh adalah emulsified-oil, surfactant
(surface-active agent), graphite, fine nut shell, dan synthetic plasticized material.

4.7.5. Antidifferential Sticking Additive

Dapat digunakan untuk mencegah atau mengatasi adalah problem jepitan


pipa dengan cara menambahkan sejumlah bahan aditif kedalam lumpur pemboran
sebelum mencapai zona yang diperkirakan terjadi jepitan pipa atau digunakan
sebagai fluida perendam (spotting fluid) untuk melepas jepitan.
Spotting Fluid adalah fluida perendam yang harus mempunyai sifat basah
minyak (oil wetting), sehingga kondisi ini akan merusak water base filter cake.
Bahan-bahan yang digunakan sebagai antidifferential sticking additive, meliputi
antara lain :
o Minyak - biasanya diesel oil
o Surfactant - oil wetting purposes
o Suspension material to support barite.
79

Bab 5
LUMPUR INHIBITIF
(INHIBITIVE MUD)

Untuk pengelompokan antara lumpur freshwater dan saltwater ditentukan


oleh kadar garam. Jika konsentrasi garam sebesar 10.000 ppm atau kurang, maka
lumpur tersebut disebut sistem freshwater, sedangkan diatas 10.000 ppm sistem
lumpur tersebut diformulasikan dan dirawat sebagai salt mud (lumpur garam). Ada
beberapa jenis salt mud, yaitu : brackish-water mud dengan konsentrasi garam dari
10.000 sampai 20.000 ppm; seawater mud mengandung garam 20.000 sampai
40.000 ppm; cut-brine mud dibuat dari oilfield brines dan berbagai konsentrasi garam
dari 40.000 ppm sampai mendekati batas saturasi (jenuh); saturated salt muds dengan
kadar garam maksimum 315.000 ppm. Lumpur pemboran yang mengandung garam
lebih dari 10.000 ppm biasanya diklasifikasikan secara salah sebagai freshwater mud.
Sebagai contoh, lime mud yang mengandung garam 40.000 ppm masih disebut
sebagai lime mud, atau gyp mud yang mempunyai kadar garam 50.000 ppm tetapi
disebut gyp mud, bukan sebagai gyp-salt mud. Tetapi pada kenyataannya,
berdasarkan klasifikasi diatas lumpur tersebut adalah merupakan salt mud.
Salt mud digunakan jika memperbaiki air yang mengadung konsentrasi garam
tinggi, jika aliran air garam menghambat penggunaan freshwater system, jika
menembus salt stringer atau formasi garam masif, dan untuk menghambat hidrasi
formasi yang sensitif terhadap air. Beberapa atau semua faktor diatas terlibat dalam
pemilihan salt mud yang dapat digunakan pada pemboran ditempat tertentu.
Pada bab ini akan dibahas faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan jenis-
jenis salt mud, penggunaan salt mud secara efektif untuk pemboran pada lingkungan
tertentu, dan perawatan salt mud secara umum.

5.1. SEAWATER MUD

Penggunaan seawater mud semakin meningkat pada beberapa tahun terakhir,


disebabkan karena dapat diperolehnya organic polymer untuk memperbaiki formulasi
dan perawatan lumpur tersebut. Semula seawater mud dipersiapkan dan dirawat
dengan attapulgite dan asbestos untuk membangun kekuatan struktur untuk
mengangkat cutting dan starch untuk mengontrol fluid loss. Lumpur ini mempunyai
viskositas rendah, sukar mengangkat cutting, dan laju penembusannya rendah.
Sebagian besar seawater mud saat ini menggunakan bahan polimer seperti xanthan
80

gum dan polyanionic cellulose atau prehydrated bentonite untuk membangun


viskositas dan mengurangi fluid loss. Lumpur ini lebih efisien dibandingkan dengan
lumpur attapulgite-asbestos-starch yang pada awalnya digunakan karena
komposisinya memberikan stabilitas formasi yang lebih baik melalui proses
pembungkusan polimer. Potassium chloride sering ditambahkan dalam sistem lumpur
ini untuk menghambat hidrasi bentonit yang terkandung didalam formasi secara
efektif. Kunci sukses dari lumpur polymer seawater untuk menjaga kadar padatan
tetap minimum dengan menggunakan high-speed shaker dengan saringan halus,
desilter, dan desander.

5.2. LUMPUR PREHYDRATED BENTONITE-POLYANIONIC


CELLULOSE (CMC)

Lumpur prehydrated bentonite seawater relatif mudah perawatannya, dan


menghasilkan laju penembusan yang lebih tinggi dari sistem lumpur awal attapulgite-
starch. Cutting lebih mudah dipisahkan dengan peralatan pemisah padatan karena
viskositasnya lebih rendah. Lumpur seawater memerlukan tangki tambahan untuk
prehydrating bentonite yang dapat merugikan untuk lokasi pemboran di lepas pantai
karena lokasinya yang terbatas.

Formulasi Lapangan
1) Tentukan volume dengan air laut
2) Prehydrate bentonite sebagai berikut : (a) Test perbaikan air untuk total hardness
(Ca++ dan Mg++). Pada umumnya hardness akan berasal dari magnesium.
Treatment dengan caustic soda untuk menekan kelarutan. (b) Tambahkan 20
sampai 30 lb/bbl bentonit untuk memperbaiki air; campurkan semuanya, dan jika
mungkin aduk slurry tersebut selama 16 jam. (c) Tambahkan 1 - 2 lb/bbl
lignosulfonate, campur semuanya, dan pH diatur sikitar 9,5.
3) Tambahkan prehydrated bentonite slurry untuk memperbaiki air dengan
menggunakan volume ratio dari 1 : 3 sampai 1 : 2 prehydrated slurry sampai 2 : 3
sampai 1 : 2 air yang diperbaiki (Ratio tergantung pada kualitas bentonit dan
waktu hidrasi)
4) Tambahkan dari 0,25 - 0,5 lb/bbl polyanionic cellulose pada sistem untuk
mengurangi fluid loss dan untuk membungkus cutting dan formasi yang terbuka.

Perawatan
1) Jika viskositas terlalu rendah, tambahkan prehydrated bentonite, polyanionic
cellulose, atau CMC.
2) Jika viskositas naik diatas range yang diinginkan, encerkan dengan air laut dan
tambahkan lignosulfonate
81

3) Menjaga kadar padatan tetap rendah (total low-density solids content, lb/bbl
bentonite-eqivalent content, MBT) dengan pemrosesan lumpur melalui peralatan
pemisahan padatan
4) Menjaga total hardness level (Ca++ dan Mg++) dibawah 200 ppm
5) Menaikkan densitas lumpur dengan barite jika diperlukan.

Mengantisipasi Sifat-sifat Lumpur

Karena banyaknya variabel yang terlibat, maka sangat sukar untuk


menentukan sifat-sifat lumpur secara pasti. Jika formulasi dan prosedur perawatan
dilakukan secara baik, maka dapat diperoleh range sifat-sifat berikut :

o Yield point 6 - 10 lb/100sqft


o 10-det gel strength 2 - 5 lb/100sqft
o 10-mnt gel strength 5 - 6 lb/100sqft
o API fluid loss 15 - 30 ml
o pH 9,5
o API MBT (CEC) bentonite 10 - 15 lb/bbl

5.3. LUMPUR XANTHAN GUM POLYMER

Lumpur xanthan gum polymer banyak digunakan pada operasi pemboran di


lepas pantai, karena dapat memberikan hidrolika yang baik yang dihasilkan dari sifat
viscoelastic dari gum tersebut. Dapat menghasilkan laju penembusan yang cukup
tinggi jika kadar padatan tetap terjaga rendah.

Formulasi Lapangan
1) Siapkan volume yang diinginkan dengan air laut
2) Tambahkan 1 lb/bbl xanthan gum melalui hopper
3) Setelah semuanya tercampur, harus mempunyai sifat-sifat dengan range :
o Yield point 6 - 10 lb/100sqft
o 10-det gel strength 2 - 5 lb/100sqft
o 10-mnt gel strength 3 - 6 lb/100sqft
o API fluid loss 20 - 30 ml
o pH 7-9
4) Jika diperlukan, harga yield point dan gel strength dapat dinaikkan dengan
menambahkan xanthan gum dengan kenaikan 0,25 lb/bbl sampai diperoleh harga
yang diinginkan
82

5) Fluid loss xanthan gum dapat diperbaiki dengan menambahkan bentonit kering
dari 2 - 5 lb/bbl melalui hopper atau dengan menambahkan prehydrated bentonite
slurry
6) Mengatur pH antara 7 dan 9 dengan caustic soda
7) Menambahakan 0,25 sampai 0,50 lb/bbl paraformaldehyde untuk menghambat
fermentasi xanthan gum.

Perawatan
1) Tambahkan air laut kedalam sistem untuk menjaga volume
2) Gunakan high-speed shaker dengan ukuran saringan yang halus, desander, dan
desilter untuk membersihkan sistem lumpur dari padatan yang terikut.
3) Menjaga total hardness (Ca++ dan Mg++) kurang dari 100 ppm dengan soda ash
dan caustic soda
4) Jika sifat aliran tidak dapat dikontrol dengan pengenceran, flokulasi, atau secara
mekanis, tambahkan 2 sampai 4 lb/bbl lignosulfonate
5) Untuk menaikkan densitas, tambahkan barite

5.4. LUMPUR JENUH GARAM (SALT-SATURATED MUD)

Lumpur jenuh garam digunakan untuk membor formasi garam atau stringer,
shale inhibition, dan sebagai fluida workover. Lumpur ini disiapkan dengan
menambahkan garam kedalam air tawar atau air asin atau dari saturated brine yang
diperoleh dari lokasi setempat. Tabel 5-1 menunjukkan banyaknya garam dalam
pound per barrel (lb/bbl) yang diperlukan untuk densitas sampai 9,97 lb/gal. Air
tawar memerlukan 123 lb.bbl garam untuk mencapai saturasi, yang setara dengan
311.300 ppm garam. Ada beberapa kerancauan dalam laporan kadar garam terlarut
dibandingkan dengan larutan jenuh. Pada konsentrasi rendah - 10.000 ppm sebagai
contoh, dengan 1 wt%, tetapi larutan jenuh garam dilaporkan sebagai 311.300 ppm
bukan 31,13 wt%, yang kenyataannya 31,13  1,1972 (sp gr) atau 26 wt%.
Ada banyak jenis lumpur jenuh garam yang digunakan secara rutin. Dalam
pembahasan ini hanya dibatasi untuk jenis sistem lumpur paling baru yang
ditekankan pada konsep low-solid. Lumpur lama, yaitu lumpur attapulgite-strach
saturated-salt telah digunakan lebih dari 50 tahun. Formulasi dan perawatannya telah
banyak ditulis dalam berbagai literatur tidak akan diulang disini.

Formulasi Lapangan
1) Siapkan volume yang diinginkan dengan air yang dijenuhi garam atau saturated
brine
2) Prehydrate bentonite menggunakan prosedur seperti yang dijelaskan pada bagian
seawater
83

3) Tambahkan prehydrate bentonite slurry kedalam air jenuh garam, campurkan


semuanya, dan selanjutnya cek sifat-sifat fisiknya. Campuran 50 : 50 prehydrates
bentonite dan air jenuh garam harus menghasilkan sifat-sifat sebagai berikut :
o Yield point 6 - 10 lb/100sqft
o 10-det gel strength 2 - 3 lb/100sqft
o 10-mnt gel strength 3 - 5 lb/100sqft
o API fluid loss 40 - 50 ml
o pH 8 - 10
4) Tambahkan dari 0,25 sampai 0,50 lb/bbl polyanionic cellulose untuk menurunkan
fluid loss dan sebagai pelindung koloid.

Tabel 5-1
Data umum kelarutan garam

Perawatan
1) Untuk menaikkan viskositas, tambahkan prehydrated bentonite
2) Tambahkan hanya dengan saturated brine kedalam sistem untuk menjaga volume
3) Menjaga total hardness kurang dari 100 ppm dengan menggunakan caustic soda
dan soda ash
4) Gunakan selective flocculant, desander, dan desilter untuk menjaga kadar padatan
minimum
5) Menjaga fluid loss dalam range yang diinginkan dengan menambahkan
prehydrated bentonite dan polyanionic cellulose
84

6) Jika viskositas naik sampai diatas batas yang ditentukan akibat terakumulasinya
padatan, maka tambahkan lignosulfonate
7) Jika perlu tambahkan barite untuk menaikkan densitas.

5.5. XANTHAN GUM DAN HYDROXYPROPYL GUAR

Xanthan gum dan campuran xanthan gum dengan hydroxypropyl guar (HPG)
gum digunakan untuk menyiapkan lumpur jenuh garam dimasukkan sebagai salah
satu jenis lumpur karena formulasi dan prosedur perawatannya sama.

Formulasi Lapangan
1) Siapkan volume yang diinginkan dengan air laut
2) Tambahkan 1 lb/bbl xanthan gum atau dari 1 sampai 1,5 lb/bbl xanthan gum HPG
saturated salt water melalui hopper
3) Setelah semuanya tercampur, harus mempunyai sifat-sifat dengan range :
o Yield point 6 - 10 lb/100sqft
o 10-det gel strength 2 - 4 lb/100sqft
o 10-mnt gel strength 3 - 6 lb/100sqft
o API fluid loss 20 - 40 ml
o pH 7 - 9 (diatur dengan caustic soda)
4) Untuk menaikkan viskositas dan mengurangi fluid loss, tambahkan xanthan gum
atau xanthan gum-HPG dengan kenaikan 25 lb/bbl sampai diperoleh sifat-sifat
yang diinginkan
5) Untuk menurunkan fluid loss yang diperoleh dari polimer, maka tambahkan
bentonit kering dari 2 - 5 lb/bbl untuk memberikan range ukuran partikel koloid
yang lebih besar.

Perawatan
1) Air jenuh garam digunakan untuk menjaga volume sistem lumpur
2) Karena kunci keefektifan kinerja lumpur ini adalah solids control, maka rig harus
dilengkapi dengan high-speed shale shaker, desander, dan desilter. Tambahkan
selective flocculant dalam flowline untuk mempermudah pemisahan padatan yang
terikut dalam lumpur
3) Jika viskositas yang dihasilkan dari akumulasi padatan tidak dapat dirawat dalam
range yang diinginkan dengan peralatan pemisah padatan dan bahan kimia
flokulan, maka tambahkan lignosulfonate antara 2 sampai 4 lb/bbl
4) Menjaga total hardness (Ca++ dan Mg++) kurang dari 100 ppm dengan soda ash
dan caustic soda
5) Untuk menaikkan densitas, tambahkan barite.
85

5.6. LUMPUR POTASSIUM-BASE

Potassium chloride digunakan untuk mensuplai kation potassium, yang


menghasilkan cation exchange capacity paling efektif untuk mencegah swelling
(pengembangan) dan hidrasi clay. Potassium chlorde digunakan dalam konsentrasi
yang bervariasi dari 3 wt% sampai 15 wt% (11 - 53 lb/bbl). Salah satu keuntungan
lumpur potassium adalah bahwa densitas rendah dapat dijaga sementara clay swelling
dapat dicegah. Konsentrasi potassium chloride diselaraskan dengan tingkat
pengembangan dan hidrasi clay. Dengan rumus jempol, jika cutting yang keluar dari
shaker screen adalah bulat-bulat, maka konsentrasi potassium chloride harus
dinaikkan. Jika cutting tersebut brittle, maka konsentrasi potassium chloride harus
diturunkan.
Ammonium sulfate dengan konsentrasi yang sama dengan potassium chloride
adalah efektif untuk mengurangi clay swelling. Ammonium sulfate mudah didapat
tetapi dapat menimbulkan problem yang serius karena dengan penambahan sodium
hydroxide akan melepaskan uap ammonia.
Pemilihan lumpur inhibitive salt berdasarkan pada tingkat pengembangan
clay. Dengan mempertimbangkan berbagai aspek tersebut, maka potassium chloride
adalah merupakan pilihan terbaik untuk mencegah clay swelling. API MBT (CEC)
test dapat digunakan untuk mengklasifikasikan tingkat pengembangan clay. Harga
MBT 6 - 10 menunjukkan ketidak-stabilan formasi yang kecil, MBT dari 10 - 20
menunjukkan ketidak-stabilan menengah, sedangkan MBT dari 20 - 40 menunjukkan
ketidak-stabilan yang sangat berbahaya.
Ada berbagai macam lumpur potassium di pasaran yang diproduksikan oleh
berbagai mud company. Semua sistem lumpur yang menggunakan potassium chloride
sebagai inhibiting salt dan polimer atau gum untuk membungkus padatan. Gilsonite
juga direkomendasikan sebagai komponen ketiga untuk menyekat microfracture
dalam formasi shale. Berikut adalah sistem lumpur gabungan dari ketiga komponen
tersebut.

Kebutuhan Sistem Lumpur


1) Polimer - dari 0,5 sampai 1,5 lb/bbl xanthan gum akan menghasilkan sifat-sifat
yang diperlukan untuk membersihkan lubang dan menahan cutting pada saat
lumpur diam.
2) Potassium chloride - jumlahnya bervariasi, tergantung dari hasil MBT formasi
shale.
3) Gilsonite - penggunaannya berdasarkan asumsi adanya microfracture dalam
formasi shale. Konsentrasi yang direkomendasikan adalah dari 2 sampai 4 lb/bbl.
4) FL-1 - adalah merupakan getah (gum) alami yang dihasilkan dari tepung rami
(flax meal), berfungsi sebagai encapsulating agent (senyawa pembungkus).
Jumlah yang diperlukan bervariasi dari 3 sampai 6 lb/bbl, tergantung dari shale
86

MBT. Konsentrasi tinggi (6 lb/bbl) digunakan untuk MBT rendah (6 - 10),


sedangkan konsentrasi rendah digunakan untuk MBT yang tinggi (20 - 40).

Menaikkan Densitas

Barite dapat digunakan untuk menaikkan densitas lumpur sesuai dengan


keperluan. Penambahan polyanionic cellulose, baik reguler (jika viskositas terlalu
rendah) maupun super low (jika viskositas naik), diperlukan untuk memberikan
filtration control dalam lumpur yang diperberat. Secara rumus jempol, 0,25 - 1,0
lb/bbl akan menghasilkan API fluid loss dalam range 10 - 20 ml.

Perawatan

Penambahan harian bahan-bahan xanthan gum, KCl, FL-1, dan gilsonite


berdasarkan kedalaman lubang bor karena bahan-bahan tersebut mengisap atau
menempel pada cutting dan menutupi formasi. Oleh karena itu, penting sekali adanya
pemantauan kandungan ion potassium seperti metoda yang distandarkan dalam API-
RP-13.

5.7. CALCIUM-TREATED MUD

Ada 2 kelompok dasar lumpur calcium-treated system, yaitu lime mud dan gyp
mud. Penamaan tersebut menunjukkan sumber dari ion kalsium yang terlarut.
Lumpur kalsium berguna pada daerah yang mengalami problem sloughing dan aliran
air garam yang ditandai dengan berat lumpur yang tinggi. Lumpur kalsium tidak
dapat mencapai harga viskositas dan gel strength yang memadai ketika
terkontaminasi dengan garam yang konsentrasinya sampai 50.000 ppm. Cutting
kurang berpengaruh karena tidak mudah terdispersi dalam lumpur kalsium seperti
pada lumpur sodium-base.
Lime-treated mud semula adalah merupakan lumpur kalsium, dan telah
digunakan dalam sumur-sumur dalam di Gulf Coast. Lumpur lime dapat terjadi
ketika membor semen, yang ditandai adanya sejumlah lime yang dapat menghambat
kenaikan viskositas dan gel strength. Dengan menjaga pH 11,5 atau lebih besar
sebelum membor semen, maka kelarutan ion kalsium dapat ditekan, sehingga sifat-
sifat lumpur tetap relatif baik. Aditif yang digunakan pembuatan lumpur lime-treated
adalah caustic soda, organic dispersant, lime dan fluid loss control agent.
Ada tiga jenis lumpur lime yang dikembangkan selama 30 tahun terakhir,
yaitu :
1) low-lime/low-alkalinity mud
2) conventional atau medium-lime mud
87

3) high-lime/high-lime alkalinity mud.


Ketiga jenis lumpur tersebut pada prinsipnya sama, perbedaannya hanya pada kadar
lime dan alkalinitasnya. High-lime mud dan conventional-lime mud digunakan
terutama pada daerah yang mengalami problem aliran air garam dan terbentuknya
lumpur dari formasi. Sedangkan low-lime mud dikembangkan terutama untuk
menghindari problem gelasi pada temperatur tinggi yang berasosiasi dengan high-
lime mud.
Dari segi optimasi pemboran , ada beberapa kerugian dari penggunaan lumpur
lime, yaitu :
1) bersifat shear thickening, yang dapat menghalangi optimasi hidrolika
2) mempunyai kecenderungan memadat pada temperatur tinggi diatas 2500F
3) menampung low-density solid pada konsentrasi yang tinggi, sehingga dapat
menurunkan laju penembusan.
Gyp-treated mud digunakan untuk pemboran di daerah yang dijumpai formasi
anhydrite dan gypsum. Aditif yang digunakan untuk pembuatan dan perawatan gyp-
mud adalah caustic soda, ferrochrome lignosulfonate dan fluid loss reducer.
88

Bab 6
STABILITAS SHALE

Dalam melakukan penelitian, langkah pertama adalah mengembangkan


konsep “problem-solving”, dan langkah berikutnya adalah melakukan percobaan
laboratorium untuk menguji validitas dari konsep tersebut. Jika dari percobaan
laboratorium tersebut memberikan hasil yang menjanjikan, maka dilakukan uji
lapangan. Selanjutnya jika semuanya berjalan dengan baik, maka percobaan tersebut
dapat dikembangkan secara lebih teliti. Dalam kajian sejarah penelitian tentang
stabilitas shale, ternyata sangat menarik untuk dicatat bahwa dari satu peneliti dapat
memberikan saran umum kepada peneliti lainnya untuk memperluas dan meneliti
secara rinci untuk mendapatkan formulasi lumpur pemboran dan teknik analisisnya.
Problem shale secara umum masih banyak dijumpai, dan dari hasil penelitian yang
telah dilakukan dari sejumlah perusahaan memberikan pengertian yang lebih baik,
yaitu bagaimana shale bereaksi dengan berbagai macam jenis fluida pemboran.
Penelitian awal tentang stabilitas shale (shale stabilization) ditekankan pada
penggunaan inhibiting fluids untuk menanggulangi problem shale. Konsep ini pada
prinsipnya adalah mempertahankan shale tetap berada pada kondisi aslinya untuk
mencegah terjadinya disintegrasi dan sloughing (longsor) kedalam lubang bor. Istilah
“pickling” (penggaraman/ pengawetan) adalah suatu konsep yang menyatakan bahwa
lumpur inhibitive dapat mencegah hidrasi shale. Meskipun demikian, hal ini menjadi
semakin nyata, karena lebih banyak problem stabilitas shale dibandingkan dengan
pemboran dengan menggunakan highly inhibitive fluid.
Kelly mengemukakan bahwa pickling effect cukup mampu menstabilkan
formasi shale, karena :
1. Formasi shale dapat dibor dengan aman jika digunakan fluida inhibitif.
2. Shale dapat dibor dengan freshwater fluids, sementara highly inhibitive fluids
menyebabkan shale longsor.
Kesimpulan terdahulu menyatakan bahwa stabilitas formasi shale tidak dapat
diatasi hanya dengan menggunakan fluida inhibitif saja. Pada saat ini telah banyak
dipasarkan lumpur pemboran yang digunakan untuk menjaga stabilitas shale. Fluida-
fluida tersebut biasanya berfungsi untuk mencegah hidrasi shale dan telah banyak
dibahas dalam beberapa paper.
O’Brien dan Chevenert dalam papernya menjelaskan tentang penyebab
problem shale yang ditabulasikan dari hasil uji laboratorium untuk
mengklasifikasikan perilaku shale. Tabel 6-1 menyajikan ringkasan dari hasil uji
laboratorium tersebut. O’Brien dan Chevenert menyarankan penggunaan
potassium-base drilling fluids sebagai chemical inhibition pada shale.
89

Tabel 6-1
Ringkasan hasil uji laboratorium

Penyebab terjadinya Problem Shale :

1. Hidrasi shale dan swelling


2. Dispersi shale
3. Overpressure shale
4. Waktu lamanya lubang bor dalam kondisi terbuka (open hole)
5. Insitu stress
6. Pengaruh mekanis dan erosi

Pengujian untuk Klasifikasi Perilaku Shale :

1. Analisa difraksi Sinar-X untuk menentukan kandungan mineral


2. Adsorpsi isoterm untuk menentukan jumlah clay yang dapat mengembang
3. Uji pengembangan (swelling test) untuk menentukan karakteristik yang
sebenarnya
4. Uji dispersi dalam rolling oven selama 16 jam

Cagle dan Schwertner mengemukakan dimensi lain, yaitu stabilisasi secara


mekanis. Mereka mengemukakan bahwa gilsonite yang mempunyai titik leleh antara
temperatur 288 dan 3250F, akan mengalir masuk kedalam rekahan dibawah kondisi
tekanan dan temperatur tinggi dalam lubang bor dan dapat menyekat shale dari influx
lumpur pemboran secara efektif. Dengan demikian, maka akan diperoleh laju
penembusan yang lebih cepat, lubang bor lebih stabil, dan masalah lost-circulation
lebih sedikit.
Dimensi ketiga, dikemukakan oleh Anderson dan Edwards yang
mengklasifikasikan shale menurut kemampuan pertukaran ion berdasarkan hasil uji
MBT. Mereka mengemukakan bahwa reaktifitas shale dinyatakan dengan banyaknya
kandungan bentonite-equivalent clay. Selanjutnya mereka mengklasifikasikan shale
menjadi dua jenis, yaitu : low-MBT shales (mengandung 15 lb/bbl atau kurang
bentonite-eqivalent clays/100lb shale) dan high-MBT shales (mengandung lebih
besar dari 15 lb/bbl bentonite-equivalent clays/100lb shale).
Anderson dan Edwards menyimpulkan bahwa ada tiga hal penting untuk
menstabilkan shale, yaitu :
1. Inhibisi kimia dengan menggunakan potassium chloride
2. Membungkus shale dengan polimer untuk memperlambat atau mencegah dispersi
3. Menyekat rekahan secara mekanis dengan gilsonite
Selanjutnya dinyatakan bahwa tidak ada problem stabilitas shale dengan
menggunakan highly inhibited fluid. Alasan tersebut bertentangan dengan teori
hidrasi sederhana yang dapat diringkas sebagai berikut :
90

1. Shale dapat dibor dengan menggunakan freshwater, sodium-base muds. Shale


yang sama dapat longsor jika digunakan inhibitive mud
2. Oil-base muds melindungi shale tetapi menyebabkan yang lainnya longsor
3. fluida inhibitif, seperti potassium chloride-base mud, dapat mengurangi
kecenderungan longsornya shale untuk periode waktu tertentu, tetapi problem
shale juga dapat terjadi pada sumur yang sama
4. Shale longsor pada kecepatan annular yang tinggi tetapi tetap stabil pada
kecepatan annular yang rendah. Fluid loss yang sangat rendah dari water-base
mud tidak menjamin stabilitas formasi yang sensitif terhadap air. Stabilisasi
mekanis dengan gilsonite atau bahan-bahan aspal kadang-kadang efektif
digunakan pada shale yang sensitif terhadap air.
Alasan-alasan yang sama menunjukkan bahwa program stablisasi harus
didasarkan pada pengetahuan karakteristik kimia dan fisika shale dan reaksinya
terhadap berbagai lingkungan.
Pendekatan untuk mengoreksi problem shale adalah membuat studi secara
detail berdasarkan pencatatan pemboran dari suatu daerah dimana sedang mengalami
problem shale, dan dari hasil uji laboratorium berdasarkan data-data tersebut,
selanjutnya dapat diklasifikasikan problem shale yang terjadi.

6.1. DIAGNOSA PROBLEM SHALE

Lembar kerja yang digunakan dalam studi problem shale secara detail
ditunjukkan pada Tabel 6-2. Langkah pertama adalah mendapatkan drilling record
dari sumur-sumur dimana terjadi problem shale. Untuk itu, diperlukan pencatatan
yang meliputi laporan pemboran, laporan harian lumpur pemboran, geolograph, log,
laporan problem pemboran, dan engineering memoranda yang mencatat lumpur
khusus secara detail atau teknik yang digunakan untuk mengurangi problem shale.
Pertanyaan timbul dari drilling records, “Berapa lama lubang terbuka ?” dan
“Berapa lama formasi shale berhubungan dengan lumpur pemboran atau fluida
yang digunakan ?” Dari pengalaman driller dan toolpusher, biasanya mempunyai
jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaan tersebut diatas. Mereka mungkin
menjawab “ “Lubang terbuka selama 30 hari” atau “Anda tidak akan mengalami hole
problem, jika setelah 30 hari lubang bor tersebut dipasang casing”. Komentar lain
mungkin ; “Formasi shale akan cepat longsor secepat anda membornya”, atau “Jika
anda menjaga dengan berat tertentu, formasi akan tetap aman, dan jika berat lumpur
turun, anda akan mengalami problem”.
Driller dan toolpusher menyatakan pendapatnya berdasarkan pengalaman
selama bertahun-tahun, dan hasil pengamatan mereka ditindak lanjuti dengan
melakukan analisis dari drilling record. Studi dari beberapa sumur yang dibor pada
daerah-daerah tertentu mungkin bervariasi dan dipengaruhi oleh faktor waktu, yaitu
satu sumur yang dibor dalam waktu tertentu tidak mengalami problem yang serius,
sementara pemboran sumur yang lain mengalami problem yang serius.
91

Tabel 6-2
Pendekatan untuk mendiagnosa problem shale

Shale Drilling Problem

Drilling Record
 Berapa lama lubang bor terbuka ?
 Apakah perbedaan jenis-jenis lumpur yang digunakan : sifat fisik lumpur, jenis sodium
atau calsium ?
 Kecepatan anulus untuk berbagai jenis lumpur ; apakah ada korelasi antara kecepatan alir
yang tinggi dengan sloughing shale ?
 Tripping practice ?
 Bottom hole assembly; rotary speed, dsb.
 Plot informasi ; apakah ada korelasinya ?
 Prosedur yang digunakan untuk menangani problem pemboran

Diagnosing Problem
 Tentukan jenis shale-drilling problem yang terjadi :
 Shloughing
 Heaving
 Tigh hole
 Hole enlargement
 Caving
 Untuk menentukan jenis problem, klasifikasikan shale :
 Lakukan sampling.
 Lakukan MBT, analisa difraksi Sinar-X.
 Diskripsikan sifat-sifat fisik shale, yaitu : lunak, elastik, keras, sensitivitas
terhadap air, dsb.
 Lakukan pengujian terhadap sampel shale, yaitu ; swell meter, capillary filtration,
atau shale rolling test, dsb.
 Pemilihan sistem lumpur yang sesuai :
 Berdasarkan hasil-hasil analisa tersebut diatas.
 Mekanis :
 Jika problem shale tersebut berhubungan dengan hidrolika, maka harus dibuat
perencanaan program hidrolika yang baru.
 Lakukan surge program untuk mengoreksi kecepatan penurunan pipa.
 Tigh hole, fill-up, dsb. yang mungkin disebabkan oleh pembersihan dasar lubang
bor yang kurang baik.
 Rotary speed (RPM) yang tinggi dapat menyebabkan efek pengkocokan dan pada
gilirannya mengakibatkan kerusakan lubang.

Untuk itu, maka prosedur optimasi harus meliputi perencanaan pemboran


sumur sampai kedalaman total dalam waktu yang ditentukan. Telah terbukti bahwa
pengawasan lumpur yang lebih baik, perbaikan hidrolika, pemilihan pahat yang lebih
baik, penanganan solids control yang baik akan dapat mengurangi 10 hari dari 40
hari yang ditentukan.
92

Pertanyaan berikutnya adalah “Apakah lumpur yang digunakan dan


bagaimana sifat-sifat fisiknya ?” Banyak jenis lumpur telah digunakan untuk
mengatasi problem shale. Jenis lumpur tersebut meliputi lime mud, gyp mud, calcium
chloride mud, sodium silicate mud, potassium base mud, barium hydroxide mud, salt
muds, berbagai macam lumpur surfactant, berbagai macam lumpur polimer, lumpur
lignosulfonate, dan oil-base mud. Dalam beberapa kasus, formulasi tertentu dapat
berhasil menanggulangi problem shale ditempat tertentu tetapi gagal ditempat lain.
Pada umumnya, oil-base mud, potassium chloride, polimer, dan lumpur
lignosulfonate dapat digunakan untuk mengatasi problem shale.
Lembar kerja yang disajikan pada Tabel 6-3 akan dapat membantu dalam
menentukan lumpur pemboran yang terbaik untuk membor formasi shale. Trend dari
analisis sifat-sifat fisik lumpur pemboran dilakukan untuk menentukan karaktereristik
tertentu yang dapat dihubungkan dengan berhasil atau gagalnya operasi pemboran.
Telah lama diduga bahwa ada korelasi antara kecepatan annular yang tinggi,
fluid loss, dan sloughing shale. Sumur-sumur yang dibor di Williston Basin
memberikan data yang menunjukkan bahwa kecepatan annular yang tinggi dapat
menyebabkan erosi terhadap formasi dan fluid loss yang tinggi dapat mempercepat
terjadinya pembesaran lubang pada zona-zona yang sensitif. Data-data tersebut
disajikan pada Gambar 6-1 yang membandingkan hasil-hasil yang diperoleh dari
dari pemboran bagian atas, tengah dan bawah dari tiga sumur dengan menggunakan
dua sistem lumpur. Sumur 1 dibor dengan menggunakan lumpur saturated salt-
attapulgite-starch dengan API fluid loss antara 6 - 30 cc. Sumur 2 dan 3 dibor dengan
menggunakan lumpur polymer-base yang tidak terkontrol fluid loss-nya sehingga
sangat tinggi, yaitu antara 100 sampai lebih dari 200 cc. Pada gambar tersebut juga
ditunjukkan gamma ray dan caliper log untuk menggambarkan tingkat erosi dan
hubungannya dengan fluid loss dan kecepatan annular. Pada lubang bor bagian atas
fluid loss pada Sumur 1 adalah 30 cc sedangkan Sumur 2 dan 3 lebih besar dari 200
cc. Pada bagian atas terdiri dari red beds dan shale. Dari gambar tersebut juga terlihat
adanya dominasi formasi shale yang ditunjukkan dari gamma ray yang tidak sensitif.
Perbandingan ketiga sumur tersebut menunjukkan bahwa fluid loss dan kecepatan
annular lebih besar terjadi pada Sumur 2 dan 3 sehingga mengakibatkan peningkatan
erosi formasi dan washout pada lubang bor.
Pada bagian tengah lubang, fluid loss dari lumpur salt-starch dapat dikurangi
pada range 10 - 15 cc, tetapi erosi dan washout masih saja terjadi. Rata-rata
pembacaan caliper adalah 2,4 in diatas ukuran pahat dalam lubang tersebut. Pada
Sumur 2 dan 3 dibor dengan menggunakan lumpur polimer tanpa pengontrolan fluid
loss, rata-rata pembacaan caliper log adalah 3,2 in dan 3,9 in diatas ukuran pahat.
Kecepatan annular pada Sumur 2 dan 3 masing-masing sebesar 149 ft/menit dan 155
ft/menit, sedangkan kecepatan annular pada Sumur 1 adalah sebesar 138 ft/menit.
Oleh karena itu, kombinasi fluid loss yang tinggi dan kenaikan kecepatan anbnular
dengan aliran turbulent akan menyebabkan peningkatan erosi lubang bor.
Ketidak-stabilan lubang bor juga dapat disebabkan oleh faktor-faktor yang
lainnya, seperti overpressure shale yang diakibatkan oleh fluida yang terjebak dalam
93

sistem tertutup. Dengan naiknya tekanan overburden, maka tekanan formasi juga naik
dan dapat melampaui tekanan statik yang diberikan oleh tekanan kolom lumpur di
anulus. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya kick atau blowout. Prosedur umum
untuk menangani masalah tersebut adalah menaikkan densitas lumpur. Jika berat
lumpur terlalu tinggi dapat mengakibatkan rekah formasi dan menyebabkan lost
circulation. Untuk menghindari hal tersebut maka dalam penanganan pengendalian
tekanan (pressure control) harus dilakukan secara hati-hati.

Tabel 6-3
Kondisi shale, karateristik dan penanganannya

Kondisi Karakteristik Penanganan


Sloughing Lunak, tingkat dispersinya tinggi (MBT Lumpur dasar minyak, lumpur
tinggi), 15 lb bentonite ekivalen dengan KCl.
clay/100 lb shale
Heaving Lunak sampai sedang, berselang-seling Lumpur dasar minyak, lumpur
dengan high-MBT clay. Dapat KCl.
merupakan proses lanjutan dari
sloughing
Expansion Mempunyai tingkat plastisitas yang Menaikkan densitas lumpur,
(tigh hole) tinggi, biasanya mempunyai nilai MBT lumpur dasar minyak atau lumpur
tinggi, membentuk bola-bola “gumbo” KCl.
dan “bridges” di dalam lubang bor
Gradual hole Pengikisan (washout), diameter lubang Polyner encapsulation,
enlargement bor membesar, low MBT, tetapi mechanical plugging pada
mengandung clay. Tidak ada rekahan yang halus
kecenderungan sloughing maupun
heaving.
Caving Padat, deeply buried, low MBT. Hidrasi Jika mengandung
permukaan dapat menyebabkan montmorillonite, gunakan
peretakan (cracking) dan caving pada inhibited mud. Jika mengandung
fragmen-fragmen yang keras. kaolinite, gunakan polymer
freshwater mud.

6.2. DIAGNOSA PROBLEM

Jika problem shale disebabkan oleh lumpur pemboran, maka dapat ditentukan
jenis ketidak-stabilan yang terjadi didalam lubang bor. Ada 5 kondisi yang dapat
diidentifikasikan, yaitu : (1) sloughing, (2) heaving, (3) expansion (tigh hole), (4)
gradual hole enlargement, dan (5) caving.
Tabel 6-3 menyajikan 5 kondisi yang berkaitan dengan problem shale. Dari
tabel tersebut dapat dilihat karakterisktik yang dapat digunakan untuk membantu
dalam mengidentifikasi problem shale, dan pemilihan lumpur pemboran untuk
mengurangi problem shale tersebut. Meskipun demikian, informasi dalam table
tersebut tertama digunakan sebagai pemandu dalam studi drilling record dari
94

pemboran sumur-sumur terdahulu. Berdasarkan analisa tersebut, program pemboran


untuk sumur-sumur berikutnya dapat diperbaiki.

Gambar 6-1. Perbandingan hasil caliper log dari Sumur 1, 2 dan 3 untuk
bagian (a) upper, (b) Dakota, dan (c) Red River
95

Gambar 6-1
(lanjutan)
96

Gambar 6-1
(lanjutan)
97

Shale terbentuk dari konsolidasi clay dan silt didasar laut, sehingga terbentuk
formasi yang strukturnya merupakan perlapisan atau laminasi. Pengendapan tersebut
terjadi pada jutaan tahun yang lalu dibawah range temperatur dan tekanan tertentu,
dengan komposisi bervariasi sebagai fungsi dari lingkungan geologi dan laut pada
saat pengendapan berlangsung. Berdasarkan variabel-variabel tersebut, maka tidak
mengherankan bahwa shale mempunyai reaksi yang berbeda-beda selama operasi
pemboran berlangsung karena terganggunya stabilitas lingkungan yang telah
terbentuk selama jutaan tahun yang lalu.
Shale terdiri dari berbagai macam mineral, seperti kuarsa, feldspar, dolomit,
kalsit, siderite, dan gypsum. Mineral-mineral tersebut menupakan inert solids dan
tidak terpengaruh oleh lingkungan kimia lumpur pemboran, meskipun kehadirannya
dapat menghasilkan ketidak-stabilan mekanis. Mineral-mineral lainnya adalah
kaolinite, illite, chlorite, montmorilonite, dan mixed-layer clay yang mengadsorbsi air
jika bertemu dengan lumpur water-base sehingga menyebabkan ketidak-stabilan
lubang bor.

6.3. DEFRAKSI SINAR-X DAN METHYLENE BLUE TEST

Tabel 6-4 menyajikan analisa defraksi sinar-X dari 4 jenis shale dan Wyoming
bentonite yang tidak terubah; mineral inert dan reactive clay juga dapat dilihat pada
tabel tersebut. Harga MBT dinyatakan dalam pound per barrel of bentonite-eqivalent
clay/100 lb shale dan Wyoming bentonite.

Tabel 6-4
Hasil difraksi Sinar-X dari berbagai jenis shale

A B C D Wyoming
Bentonite
Quartz 49 59 63 44 7
Feldspar 4 6 3 trace 15
Calcite 15
Siderite 2
Gypsum 4 1
Kaolinite 12 7
Illite 18 6
Chlorite 15 8 2
Montmorillonite 15 55 78
Mixed layer
Illite/montmorillonite 12
Nilai MBT, lb/100 lb 10,5 15 24 31,5 80
98

Prosedur untuk menentukan harga MBT ditunjukkan pada Tabel 6-5. Dari
hasil studi tentang persen fraksi mineral reactive clay untuk keempat jenis shale
tersebut menunjukkan suatu varian dari 20% untuk Shale B sampai 55% untuk Shale
D. Shale A mempunyai 45% reactive clay mineral, tetapi kaolinite, illite, dan chlorite
memberikan bentonite-eqivalent content sebesar 10,5 lb/bbl. Sebaliknya Shale D
mengandung 55% reactive clay, dan seluruhnya adalah montmorilonite. Harga MBT
untuk Shale D adalah 31,5 lb/bbl bentonite-eqivalent clay. Oleh karena itu, persen
fraksi mineral clay reaktif tidak sepenting kehadiran mineral clay. Urutan
pengurangan sensitivitas shale terhadap air dari shale-shale tersebut adalah D, C, B,
A. Kombinasi analisa defraksi sinar-X dan harga MBT memberikan informasi
penting dalam mengklasifikasikan shale menurut sensitifitasnya.
Shale D dengan bentonite-eqivalent content yang tinggi yaitu 31,5 lb/100 lb
formasi, mempunyai nilai dispersi yang tinggi dalam lingkungan lumpur sodium-
base. Kadar padatan naik dengan cepat, akan menyebabkan terjadinya washout, dan
disusul dengan terjadinya sloughing. Untuk mencegah hidrasi atau dispersi
montmorilonite tersebut digunakan lumpur potassium chloride polymer yang
direkomendasikan.

Tabel 6-5
Penentuan Nilai MBT untuk Shale*

Klasifikasi shale dapat dilakukan dengan pengukuran cation exchange capacity (CEC)
menggunakan methyelene blue test (MBT). Prosedur MBT adalah sebagai berikut :

1. Sampel shale dikeringkan dalam oven pada temperatur 2200F.


2. Haluskan shale kering dengan menggunakan mortar dan pestle.
3. Timbang 10 gram bubuk shale dan tambahkan 35 ml aquadet (campuran ini ekivalen dengan
100 lb/bbl)
4. Kocok shale-water slurry tersebut selama 5 menit dalam semimicro container pada suatu
Waring blender.
5. Tentukan nilai MBT, menurut API Standard Procedure for Testing Drilling Fluids.
6. Laporkan nilai MBT dalam satuan pound bentonite equivalent/100 lb shale.
7. Cationic exchange capacity dari shale dinyatakan dalam satuan meq/100 gram, dapat
diperoleh dari hasil perkalian nilai MBT dengan 0,78.

* Secara detail prosedur dan contoh perhitungan ditunjukkan pada Lampiran-D

Shale C mengandung 15 lb montmorilonite/100lb formasi, tetapi kombinasi


dari 7 lb kaolinite, 5 lb illite, dan 2 lb chlorite menghasilkan bentonite-eqivalent
content sebesar 24 lb/100 lb formasi. Oleh karena itu, shale ini dikatakan mempunyai
sinsitivitas yang tinggi terhadap hidrasi air dan menimbulkan gejala-gejala yang sama
seperti Shale D. Untuk mengatasinya juga dengan menggunakan lumpur pemboran
yang sama. Jika clay diikuti dengan dispersi, karena berada dalam lingkungan lumpur
99

sodium-base, maka akan meninggalkan ruang kosong yang tidak dapat menahan
beban, apalagi jika ruang tersebut semakin membesar. Hasilnya adalah akan
menimbulkan sloughing shale dalam lubang bor. Hal ini dapat dilihat pada shale
shaker screen. Ketika Shale D dan C dibor dengan menggunakan lumpur sodium-
base, bentonite-eqivalent content (seperti ditentukan dari MBT) dan drilled solids
content akan bertambah. Hal ini menunjukkan bahwa clay yang sensitif terhadap air
sedang terdispersi dalam sistem. Sebagai contoh, lumpur sodium-base mempunyai
densitas 8,9 lb/gal, 4,3% volume (38 lb/bbl) dan harga MBT sebesar 16 lb/bbl
digunakan pada Shale D. Setelah pemboran 900 ft, densitas lumpur naik menjadi 9,5
lb/gal, solid content 8,5% volume (79 lb/bbl), dan MBT 25 lb/bbl. Dari hasil
pencatatan menunjukkan bahwa tidak ada bentonite komersial yang dapat
ditambahkan kedalam sistem, maka naiknya cation exchange capacity disebabkan
oleh hidrasi dan dispersi clay reaktif yang berada dalam shale.
Dalam evaluasi pengaruh formasi clay reaktif, harus diingat bahwa low-
density solids diperbaiki dengan menggunakan Wyoming bentonite dan cutting.
Methylene Blue Test dapat digunakan untuk menentukan cation exchange capacity
dari total low-density solids. Sukar dibedakan antara bentonit komersial dan aktivitas
kationik dari reactive solid dalam formasi. Untuk membedakan kandungan bentonit
komersial dihitung dengan menggunakan persamaan :

( A)( B )
C
CBC  100
A
1
100

dimana ;
CBC = bentonit komersial (lb/bbl)
A = harga MBT formasi, lb bentonite eqivalent/100lb shale
B = total low-density solids, lb/bbl
C = harga MBT lumpur

Setelah mendapatkan kadar bentonit komersial dalam lb/bbl, selanjutnya dapat


dihitung kadar cutting (drilled solids) dengan persamaan :

B-C
Drilled  solids content , lb / bbl =
A
1-
100

Dengan menggnakan formula tersebut data lumpur pemboran diperoleh


sebelum dan setelah pemboran 900 ft pada Shale D menghasilkan informasi yang
disajikan pada Tabel 6-6.
100

Tabel 6-6
Analisa Low-Density Solid Sebelum dan Sesudah Pemboran
Pada Formasi Shale setebal 900 ft

Sebelum Sesudah
Densitas lumpur, 8,9 lb/gal 9,5
Kadar padatan, 4,2 vol% 8,5
Kadar padatan, 38 lb/bbl 79,0
MBT lumpur, 16 lb/bbl 25,0
MBT formasi, 9 9 lb/100 lb shale 31,5
CBC, 13,8 lb/bbl 0,18
Drilled solids, 24,2 lb/bbl 78,8
*CBC = commercial bentonite content

Data pada Tabel 6-6 menunjukkan bahwa untuk pemboran Shale D pada
kedalaman 900 ft, kadar bentonite komersial sebesar 13,8 lb/bbl dan kadar drilled
solids-nya 24,2 lb/bbl. Setelah pemboran shale, yang mempunyai sensitivitas formasi
31,5 lb bentonite eqivalent/100 lb shale, kadar bentonit komersial berkurang sampai
nol. Harga MBT lumpur bertambah, dari 16 sampai 25 yang menunjukkan bahwa
struktur lumpur dirubah oleh clay reaktif dalam formasi. Hal ini dapat digunakan
untuk memonitor keefektifan berbagai macam formulasi lumpur pemboran yang
digunakan untuk menekan/mengurangi hidrasi clay yang sensitif terhadap air dan
mencegah problem pemboran.
Shale B mengandung chlorite dan perlapisan yang terdiri dari illite dan
montmorilonite. Harga MBT-nya 15 lb bentonite eqivalent/100 lb shale, dan menurut
sistem klasifikasi O’Brien dan Chenevert, shale B termasuk Kelas-3 dengan
kecenderungan dispersi dan sloughing menengah. Jika clay reaktif terkonsentrasi
dalam struktur lensa, maka akan terjadi hidrasi dan dispersi yang dapat memperlemah
formasi dan menimbulkan sloughing shale. Jika fraksi clay reaktif tersebar secara
acak diseluruh formasi, maka kemungkinan sloughing shale dapat berkurang. Jenis
shale ini dapat dibor secara efektif dengan menggunakan lumpur low-solid yang
mengandung polimer dengan berat molekul yang tinggi. Kemungkinan lainnya
adalah menggunakan sistem lumpur KCl polymer. Pemilihan lumpur tersebut
berdasarkan distribusi clay dalam formasi. Biasanya tidak ada core yang dapat
digunakan untuk memberikan informasi ini, dan cutting juga tidak dapat memberikan
gambaran yang nyata. Untuk itu, digunakan prosedur untuk pengujian berbagai
lumpur pemboran sampai diperoleh kesimpulan. Meskipun demikian, dengan
menggunakan peralatan yang ada, seperti drilling record, log, analisa sampel shale,
MBT, dan perbandingan berbagai lumpur pemboran, maka problem ketidak-stabilan
shale dapat diselesaikan dalam waktu yang lebih singkat.
Shale A mengandung kaolinite, illite, dan chlorite, dengan harga MBT 10,5 lb
bentonite eqivalent/100 lb shale. Menurut O’Brien dan Chenevert termasuk dalam
101

shale Kelas-4. Shale ini jika dibor dengan menggunakan lumpur sodium-base, maka
tidak akan terjadi sloughing atau heaving secara mendadak, karena dispersi yang
terjadi sangat kecil. Meskipun demikian, setelah shale menyerap air melalui rekahan,
maka kaolinite, illite dan chlorite akan menghidrasi dan menyebabkan sloughing.
Untuk membor formasi shale jenis ini tidak memerlukan lumpur yang mahal.

6.4. ROLLING TEST

Anderson dan Edwards mengembangkan peralatan rolling test untuk


mensimulasikan pengaruh komposisi lumpur pemboran dan komponen fluida secara
individual terhadap kemampuan shale untuk tetap bertahan. Pada prosedur ini, shale
dikeringkan, selanjutnya dihaluskan dengan ukuran tertentu, dan ditempatkan dalam
jars dengan porsi 50 gram shale/350 ml lumpur dengan komposisi khusus. Campuran
shale dan lumpur dimasukkan rolling selama 16 jam pada temperatur tinggi. Setelah
itu, campuran tersebut dituangkan melalui saringan30-mesh. Shale yang diperoleh
dikeringkan dan ditimbang, dan dilaporkan dalam persen berat. Shale yang diperoleh
dari saringan 30-mesh kemudian dimasukkan kedalam 350 ml air dan dimasukkan
kedalam rolling selama 2 jam. Kemudian disaring lagi melalui 30-mesh sieve,
dipanaskan dan ditimbang lagi. Berat akhir shale dilaporkan sebagai persen berat
awal.
Langkah pertama pada prosedur pengujuian ini, yaitu rolling shale dalam
komposisi fluida tertentu, memberikan hasil percobaan sebagai pengaruh relatif
lingkungan fluida yang berbeda terhadap integritas shale. Langkah kedua adalah
rolling shale dalam air tawar, untuk mengevaluasi efek pembungkusan dalam
mencegah air dari pembasahan shale. Informasi tersebut menunjukkan bahwa data
yang sangat berguna dapat diperoleh dari aditif untuk mencegah rusaknya shale.
Korelasi hasil rolling test dengan defraksi sinar-X dan MBT akan memberikan
indikasi yang baik terhadap pengaruh dari berbagai lumpur pemboran dan aditif
dalam menstabilkan formasi shale.

6.5. TEST TAMBAHAN

O’Brien dan Chenevert mengusulkan untuk pengujian dispersi shale yang


sama dengan prosedur Anderson dan Edwards. Dari hasil pengujian dispersi tersebut
disimpulkan dalam Tabel 6-1 dan dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan
studi terhadap stabilitas shale yang sensitif.
Beberapa perusahaan telah merancang dan membuat peralatan skala besar
untuk studi pengaruh berbagai lumpur pemboran terhadap stabilitas shale. Tekanan
dasar lubang, kondisi sirkulasi, dan temperatur disimulasikan. Kondisi pembebanan
untuk tekanan overburden 3.000 psi, tekanan sirkulasi 300 psi, tekanan pori 250 psi
dan temperatur sirkulasi lumpur 1500F. Sampel core dibuat dengan pemadatan
102

ground-shale slurry dengan tekanan tinggi. Core yang cocok dipotong dari shale
padat untuk ditest. Selanjutnya core ditempatkan pada peralatan tersebut dengan
gasket dan dibungkus dengan epoxy sehingga kondisi dasar lubang bor dapat
disimulasikan. Fluida disirkulasikan melalui core selama waktu tertentu. Setelah test,
kondisinya dirubah menjadi kondisi atmosfir, dan test core dilakukan untuk
menentukan pengaruh komposisi fluida. Pendekatan yang disajikan pada bab ini
adalah meliputi :
1) Studi drilling record untuk menidentifikasikan jenis problem shale
2) Analisa defraksi sinar-X
3) Penentuan kadar clay reaktif dengan MBT
4) Rolling test, yang hasilnya dapat digunakan sebagai basis untuk pemilihan lumpur
pemboran yang sesuai dengan formasi shale yang akan dibor.
103

Bab 7
LUMPUR DASAR MINYAK
(OIL-BASE MUD)

Pengembangan oil-base mud dimulai pada awal tahun 1920, yaitu ketika para
engineer menyadari bahwa dengan terbukanya formasi tertentu, maka filtrat yang
dihasilkan dari water-base mud hilang ke dalam formasi produktif. Oil-base mud
pertama kali digunakan sebagai fluida komplesi dan workover. Para peneliti mencatat
bahwa produksi sumur dapat diperbaiki jika dibandingkan dengan sumur yang dibor
dengan water-base mud. Kemudian, dari hasil uji laboratorium dapat dikonfirmasikan
apa yang terjadi. Jika formasi produktif mengandung clay yang dapat menghidrat
apabila bertemu degan air, maka akan menyebabkan clay mengembang dan
terdispersi. Ketika terdispersi, clay berpindah dengan fluida kedalam ruang pori
sampai menyumbat pori dan membentuk suatu penutup (bridge), sehingga dapat
menghentikan atau menghalangi aliran. Mekanisme ini disebut clay blocking. Tetesan
air dan padatan yang larut dalam air menyebabkan naiknya apparent viscosity minyak
dan mengurangi kemampuan untuk mengalir, kondisi ini disebut sebagai water
blocking atau solid blocking. Dari hasil studi core telah didokumentasikan bahwa
kapasitas produksi formasi dapat berkurang sebanyak 90% akibat pengaruh intrusi air
tawar ke dalam formasi yang sensitif.
Crude oil digunakan secara efektif pada awal penggunaan lumpur ini, tetapi
dengan penggunaan yang terus-menerus mempunyai beberapa kerugian yang serius,
yaitu :
1. Material pemberat tidak dapat tersuspensi karena kurangnya struktur gel
2. Viskositas bervariasi, tergantung dari tempat diperolehnya crude oil
3. Fluid loss ke dalam formasi berlebihan
4. Dapat terjadi bahaya kebakaran karena terdiri dari unsur-unsur yang volatil di
dalam crude oil
5. Keefektifan penyekatan formasi jelek karena tidak adanya padatan koloid yang
dapat menghasilkan “wall cake”.
Untuk mengatasi kerugian-kerugian tersebut, peneliti melakukan
pengembangan sistem yang sifat-sifatnya telah diprediksi sehingga dapat menjaga
keefektifan selama operasi pemboran atau komplesi. Penelitian ini dilakukan
terhadap dua front utama. Usaha pertama adalah mentreatment minyak sehingga
material pemberat dapat tersuspensi. Kedua melibatkan sejumlah emulsifying air yang
relatif besar kedalam minyak. Penelitian terhadap kedua front tersebut menghasilkan
dua sistem oil-base, yang secara umum disebut sebagai true-oil mud dan invert
104

emulsion. Kedua sistem tersebut diperoleh dari mud service company. Sistem ini
sangat komplek, dan harus diawasi oleh orang-orang yang terlatih dalam semua tahap
operasi termasuk formulasi, pendesakan, perawatan, prosedur test khusus, peralatan
yang hanya digunakan untuk oil-base mud, dan awal pengenalan problem.
Teknologi oil-base mud sangat berbeda dengan water-base mud. Pemantauan
terhadap sifat-sifat lumpur bukan sebagai sesuatu yang dapat diprediksi, terutama
jika pengguna lumpur (mud user) tersebut tidak mengerti atau mengetahui sifat-sifat
kimia dari produk yang digunakan atau jika bahan-bahan kimia dari yang digunakan
berasal dari berbagai supplier yang berbeda jenis produknya. Keaneka-ragaman
bahan kimia yang digunakan untuk oil-base mud tampaknya sedikit, akan tetapi
sebenarnya dapat merusak sistem lumpur jika penggunaannya tidak sesuai. Dalam
sistem water-base mud, pada umumnya dapat diprediksi pengaruh treatment kimia
dan kontaminan terhadap sifat-sifat fisik lumpur, tetapi untuk oil-base mud tidak
selalu demikian, terutama jika orang yang bertugas sebagai pengawas belum
mendapatkan latihan yang memadai.
Meskipun sistem lumpur oil-base relatif mahal dibanding dengan lumpur
water-base, penggunaannya telah semakin meningkat pada dasa warsa yang lalu.
Penggunaan sistem lumpur oil-base terutama adalah untuk :
1. Pemboran yang mengalami problem shale
2. Pemboran dalam, dan bertemperatur tinggi
3. Fluida komplesi
4. Fluida workover
5. Fluida packer
6. Fluida perendam untuk pipa terjepit
7. Pemboran zona garam yang masif
8. Fluida coring
9. Pemboran formasi yang mengandung hydrogen sulfide dan karbon dioksida.

7.1. TEORI EMULSI

Emulsi didefinisikan sebagai dispersi suatu fluida, yang terdiri dari fasa
internal dalam fluida yang lain, dan fasa eksternal atau fasa kontinyu. Emulsi terdiri
dari dari dua jenis cairan yang tidak dapat tercampur satu dengan yang lain, tetapi
fasa internalnya tetap terdispersi dalam fasa kontinyu dalam bentuk butiran-butiran
kecil (lihat Gambar 7-1).
Jika butir-butir air terdispersi dalam minyak, maka akan terbentuk water-in-
oil emulsion, dan jika butir-butir minyak terdispersi dalam air, maka akan
menghasilkan oil-in water emulsion. Ada tiga istilah yang sering muncul dalam
literatur lumpur pemboran, yaitu : oil-emulsion mud, oil-base mud, dan invert
emulsion mud. Istilah “oil-emulsion mud” hanya digunakan untuk oil-in-water
system. Oil-base mud biasanya mengandung 3 - 5% air yang teremulsi dalam minyak
sebagai fasa kontinyu. Invert-emulsion mud dapat mengandung sampai 80% air
105

(walaupun secara umum sekitar 50%) teremulsi dalam minyak. Sedangkan dua yang
terakhir adalah water-in-oil emulsion.
Jenis emulsi yang terbentuk ketika dua macam cairan yang tidak tercampur
secara mekanis terpotong akibat penambahan bahan kimia emulsifier.
Gambar 7-2 menunjukkan bentuk struktur dari emulsifier strearic acid. Polar
head dari molekul ini larut dalam air, sementara non polar tail larut dalam media
organik, seperti diesel oil. Jika strearic acid terlarut, hidrogen menjadi terpisah dari
kelompok hidroksil pada polar head. Jika kation sodium bebas (Na+) hadir, maka
terbentuk oil-in-water emulsion. Jika kation divalen seperti kalsium (Ca++) hadir,
akan menghasilkan suatu struktur yang bercabang dua. Hal ini cenderung membentuk
suatu permukaan minyak yang cembung yang membentuk water-in-oil emulsion.

Gambar 7-1. Skema yang merepresentasikan suatu emulsi dengan butir-butir


yang tidak seragam

Pemotongan mekanis dari campuran diesel oil, air, dan emulsifier dengan
struktur yang bercabang dua memecah air menjadi butir-butir yang lebih kecil dari
gabungan dengan suatu film molekuler pada setiap butiran tersebut. Film tersebut
adalah merupakan bidang kontak antar permukaan antara minyak dan air dimana
emulsifying agent terkonsentrasi. Fungsi dari emulsifier adalah untuk mengurangi
tegangan antar permukaan, yang secara alamiah butir-butir air cenderung akan
bergabung. Dengan mengkonsentrasikan emulsifier pada bidang antar permukaan
molekuler antara butir-butir minyak dan air, maka tegangan permukaan akan
berkurang. Butir-butir air yang telah berkurang menjadi kecil oleh adanya energi
mekanis, maka tidak akan membentuk kembali menjadi butir-butir yang lebih besar
jika emulsifier yang digunakan sudah mencukupi.
106

Ukuran butir-butir air adalah merupakan kunci stabilitas emulsi dan


menentukan sifat-sifat viskositas dan gel strength. Butir-butir ini karena ukurannya
menjadi kecil, dan seragam ukurannya akibat pemotongan mekanis dan distabilkan
dengan emulsifier, maka ukurannya mendekati koloid yang memberikan kekuatan
struktur untuk mengangkat cutting dari dasar lubang bor dan menahan cutting
tersebut ketika lumpur dalam keadaan diam.

Gambar 7-2. Pembentukan emulsi


107

Tiga kriteria dasar dalam pembuatan emulsi, yaitu pemotongan mekanis


(mechanical shearing) yang cukup untuk memperkecil butir-butir air dengan ukuran
yang seragam; emulsifying agent dalam jumlah yang memadai untuk memisahkan
butir-butir air dan mencegahnya agar tidak bersatu lagi; dan minyak yang
viskositasnya rendah sebagai fasa eksternal. Jumlah energi atau kerja yang diperlukan
untuk mendispersikan air ke dalam minyak berhubungan langsung dengan viskositas
cairan fasa kontinyu. Mobilitas (berapa kecepatan emulsifier sampai ke bidang antar
permukaan molekular) juga tergantung dari viskositas fasa eksternal. Kriteria-kriteria
atau faktor-faktor tersebut harus dipertimbangkan pada saat mencampur oil-base
mud, terutama invert emulsion, pada lokasi pemboran (rig site).

7.2. KOMPOSISI LUMPUR DASAR MINYAK (OIL BASE MUD)

Produk dasar yang diperlukan untuk formulasi baik oil-base mud ataupun
invert emulsion system adalah sebagai berikut :
1) Diesel oil atau nontoxic mineral oil
2) Air
3) Emulsifier
4) Wetting agent
5) Oil-wettable organophillic clay
6) Lime
7) Barite/Hematite

Produk-produk pelengkap meliputi :


1) Calcium chloride/sodium chloride
2) Asphaltenes
3) Oil-wettable lignites
4) Calcium carbonate
5) Thinner

7.3. FORMULASI LAPANGAN

Keberhasilan oil-base mud di lapangan memerlukan persiapan yang lama.


Dengan alasan ini, maka perlu diadakan pertemuan dengan mud company untuk
mendisusikan peralatan pencampur khusus atau bahan-bahan yang diperlukan,
prosedur pencampuran, prosedur pendesakan, spesifikasi sifat-sifat lumpur, dan
tersedianya peralatan test khusus. Perencanaan harus dikembangkan dalam
pertemuan tersebut untuk menangani kemungkinan problem yang akan terjadi, seperti
pipa terjepit (pipe stuck), lost circulation, dan gas kick.
108

Pertemuan juga harus diselenggarakan dengan drilling contractor untuk


menyusun peralatan-peralatan khusus atau modifikasi-modifikasi peralatan yang ada
untuk menangani oil-base mud secara memadai.

Prosedur Pencampuran Diesel Oil-Base Mud

Berikut adalah prosedur pencampuran berdasarkan asumsi bahwa fasilitas


penyimpanan dan pencampuran tersedia di lokasi pemboran :
1) Larutkan sodium atau calcium chloride secukupnya dalam air pada tangki
pencampur terpisah
2) Tambahkan volume diesel oil atau nontoxic sesuai dengan kebutuhan ke dalam
tangki pencampur utama
3) Tambahkan sedikit demi sedikit basic emulsifier ke dalam diesel oil atau nontoxic
oil pada waktu sirkulasi melalui hopper
4) Pada waktu sirkulasi, tambahkan sedikit demi sedikit sekitar setengah air sodium
atau calcium chloride dalam campuran diesel oil/nontoxic oil emulsifier
5) Tambahkan lime melalui hopper
6) Tambahkan emulsifier tambahan dan wetting agent
7) Sirkulasikan sistem dengan kuat, menggunakan lumpur gum sampai test terbentuk
emulsi yang stabil
8) Tambahkan material pemberat secukupnya.

Prosedur Pendesakan

Prosedur pendesakan merupakan tujuan utama untuk meminimalkan


kontaminasi oil-base mud dengan lumpur yang sedang didesak (biasanya berupa
lumpur water-base) dan dengan filter cake dari dinding lubang bor. Langkah pertama
adalah mengkondisikan lumpur yang akan didesak agar harga gel strength dan yield
point berkurang. Langkah berikutnya adalah menyiapkan spacer, yaitu berupa gelled
diesel oil untuk memisahkan fluida pendesak dan lumpur yang akan didesak.
Beberapa perusahaan telah mengembangkan spacer yang dapat diperperat baik
digunakan pada penyemenan maupun pendesakan oil-base mud. Spacer tersebut
kadang-kadang merupakan campuran dari emulsifier dan wetting agent yang tidak
membentuk gel strength yang tinggi pada bidang antar permukaan antara oil dan
water-base mud. Metoda pendesakan yang lainnya adalah menggunakan spearhead
dengan highly viscous bentonite dan diikuti oleh diesel oil dan fluida pendesak.
Faktor ketiga dalam proses pendesakan adalah laju pemompaan. Pada umumnya,
pendesakan harus menggunakan aliran turbulen. Disamping itu juga dilakukan
dengan memutar dan menaik-turunkan drill string.
109

7.4. SIFAT-SIFAT FISIK LUMPUR DASAR MINYAK

Pemantauan sifat-sifat fisik oil-base mud sangat penting. Meskipun sistem


lumpur dipersiapkan secara memadai, tetapi biasanya menunjukkan adanya
perubahan sifat-sifat tersebut. Oleh karena itu, trend sifat-sifat fisik harus dipantau
dan jika perlu dilakukan koreksi-koreksi sebelum terjadi problem yang serius.

High-Temperature/High-Pressure (HTHP) Fluid Loss

Pengontrolan fluid loss dari oil-base mud bukan merupakan problem yang
umum karena bahan-bahan yang digunakan formulasi sistem lumpur tersebut dan
micellar emulsion sangat efektif untuk menyekat ruang pori yang sangat kecil. API
fluid loss lumpur minyak biasanya mendekati nol. HTHP fluid loss dari oil mud dan
invert system bervariasi antara 15 sampai 30 cc/menit
Telah lama disadari bahwa bahan-bahan koloid dalam lumpur mempunyai
pengaruh merusak terhadap laju penembusan. Studi microbit oleh Fonenot dan
Simpson dan hasil uji lapangan yang dilaporkan oleh O’Brien et al. menunjukkan
bahwa pengurangan kadar koloid dari sistem oil-base mud dapat menaikkan laju
penembusan. Karena fluid loss yang sangat rendah dan laju penembusan yang sangat
rendah telah menjadi ciri dari lumpur minyak.
HTHP fluid loss test dilakukan di laboratorium dengan menggunakan tekanan
750 psi pada fluida dengan back pressure 250 psi pada tabung penerima untuk
mencegah flashing atau penguapan dari filtrat minyak. Beberapa peralatan uji
lapangan menggunakan 600 psi dan 100 psi back pressure untuk memperoleh
perbedaan tekanan 500 psi. Penampang melintang HTHP cell adalah setengah dari
regular API fluid loss cell, sehingga volume filtrat yang terkumpul harus dikalikan
dua. Uji temperatur dan tekanan harus selalu dilaporkan dengan volume filtrat
terkoreksi.

Sifat-sifat Aliran

Sifat-sifat aliran (plastic viscosity, yield point, gel strength) dipengaruhi oleh
banyaknya dan ukuran butir-butir air yang teremulsi dalam minyak; jumlah, ukuran
dan kondisi total padatan yang terkandung didalam sistem lumpur; dan elektrokimia
dan interaksi fisik dari padatan, air, dan hadirnya minyak. Sifat-sifat aliran lumpur
minyak dikembangkan dengan 4 metoda dasar :
1. Sabun yang tidak larut, jika dibasahi dengan minyak, membentuk struktur rantai
panjang
2. Bahan-bahan asphaltic yang menghasilkan viskositas melalui interaksi mekanis
3. Organophillic clay yang menghasilkan dispersi dalam media minyak
4. Butir-butir emulsi yang menyerupai struktur micellar yang sangat kecil.
110

Pengukuran sifat-sifat aliran sistem oil-base pada permukaan dapat


memberikan trend yang baik terhadap perubahan fluida, tetapi dapat
menyesatkan/keliru jika pengaruh kondisi temperatur dan tekanan pada lubang bor
tidak diperhitungkan. Pengukuran sifat-sifat contoh lumpur minyak yang diambil di
permukaan juga dapat memberikan informasi penting terhadap perubahan sistem
yang mungkin terjadi, tetapi kondisi lubang bor yang sesungguhnya dapat
menyebabkan harga pengukuran di permukaan terlalu jauh berbeda dengan kondisi di
dasar lubang bor. Viskositas baik air maupun minyak berkurang dengan naiknya
temperatur, tetapi kedua fasa fluida tersebut perilakunya sangat berbeda dengan
naiknya tekanan. Viskositas air tetap tidak berubah dengan naiknya tekanan, tetapi
viskositas diesel oil, sebagai contoh, naik secara tajam dengan bertambahnya
tekanan.
Gambar 7-3 menunjukkan apparent viscosity diesel oil vs. tekanan pada
temperatur 1000F, 2000F, 3000F, dan 3500F. Dari gambar tersebut secara mudah
dapat disimpulkan bahwa pada berbagai kombinasi temperatur dan tekanan di dasar
lubang bor apparent viscosity akan bertambah besar. Pada kasus lain, apparent
viscosity berkurang. Hal ini merupakan masalah pokok, mengapa engineer tidak
dapat menggantungkan pengukuran di permukaan ketika memperkirakan kehilangan
tekanan, bit hydraulics, kapasitas pengangkatan cutting. Beberapa mud company
telah mengembangkan metoda dan faktor koreksi untuk memperkirakan harga
apparent viscosity sistem oil-base, sehingga engineer dapat mentreatment dan
melakukan perhitungan hidrolika. Chart-chart dan tabel-tabel yang dikembangkan
oleh mud company berdasarkan pada asumsi bahwa lumpur minyak akan dipengaruhi
oleh temperatur dan tekanan dengan cara yang sama seperti diesel oil.

Oil-Water Ratio

Seperti telah dijelaskan dimuka, bahwa sistem oil-base mempunyai fasa


ekstermnal minyak dan fasa internal air, yang bervariasi dari 5% vol sampai sekitar
50% vol. Jika campuran dari kedua fasa tersebut diputus secara mekanis dengan
hadirnya emulsifier yang memadai, air akan terdispersi kedalam butir-butir yang
sangat kecil, yang disebut sebagai colloidal micelles. Mereka mempunyai pengaruh
yang sama terhadap viskositas yang diperoleh jika koloid ditambahkan kedalam
lumpur water-base. Oleh karena itu, naiknya kadar air atau berkurangnya oil-water
ratio akan menyebabkan naiknya viskositas, sedangkan dengan bertambahnya kadar
minyak akan menurunkan viskositas. Meskipun demikian, manipulasi oil-water ratio
untuk mengatur viskositas oil-base mud biasanya tidak dilakukan kecuali untu
kondisi khusus.
Dalam perencanaan oil-base mud, cara terbaik adalah dimulai dengan oil-
water ratio minimum dan mencoba menjaga ratio ini sedekat mungkin selama
pemboran berlangsung.
111

Gambar 7-3. Pengaruh tekanan dan temperatur terhadap viskositas

Padatan (Solids)

Padatan halus masuk kedalam oil-base mud selama proses pemboran dan
menaikkan viskositas, berasal dari 3 sumber, yaitu : (1) organophllic clay, (2) naiknya
kadar air yang membentuk colloidal micelles, dam (3) cutting (drilled solids).
Kelompok pertama, organophllic clay dapat dikontrol. Sumber padatan kedua,
colloidal micelles, dapat dikontrol kecuali dalam kasus aliran air yang
mengkontaminasi sistem. Kelompok ketiga, cutting, merupakan masalah yang paling
besar.
Bahkan dengan sistem solid control yang paling efektifpun, cutting akan tetap
bertambah dalam sistem oil-base. Cutting dalam oil-base mud sering terjadi terutama
karena cutting tidak menghidrat dalam sistem eksternal minyak. Hal ini menunjukkan
bahwa padatan tidak menghidrat dalam sistem lumpur minyak. Ketika cutting
menjadi koloid, tidak dapat dipisahkan dengan peralatan pemisah padatan. Jika
jumlah padatan terlalu banyak, maka akan menaikkan viskositas, dan hanya treatment
dengan minyak untuk menurunkan viskositas tersebut.
112

Penentuan Kadar Padatan

Prosedur untuk menentukan kadar padatan oil-base mud adalah sama seperti
yang digunakan untuk water-base mud. Prosedur ini ditunjukkan dalam API RPBB.
Untuk penentuan kadar padatan dalam lumpur minyak harus diperhatikan beberapa
hal, yaitu : (1) base oil (diesel, mineral oil, dsb.) menggantikan air atau larutan sabun
dalam pembersihan sampel dan peralatan, dan (2) total %volume padatan yang
dilaporkan meliputi kadar garam, bahan pemberat, cutting, dan kadar bentonit
komersial. Menurut item (2), hal ini sangat penting untuk mengetahui low specific
gravity kadar padatan sebenarnya untuk menganalisa problem yang ada dalam
lumpur. Low gravity solid disebut LGS dihitung dari data retort seperti ditunjukkan
pada Tabel 7-1. Tabel 7-2 memberikan densitas larutan dan faktor koreksi volume
baik untuk sodium chloride maupun calcium chloride.

Tabel 7-1
Perhitungan padatan (solid) specific garvity rendah

(1) Tentukan :
(a) Densitas lumpur, MW (lb/gal)
(b) Densitas air garam, Wsw (lb/gal) dari Tabrl 7-2
(c) Faktor koreksi volume (Cf) dari Tabel 7-2
(d) Data retort - % minyak; % air
(2) Hitung persen volume padatan yang tidak terlarut :

Vol % padatan yang tidak terlarut = 100 - %minyak - %air x Cf

(3) Hitung kadar padatan yang tidak terlarut :

undissolved solid (lb/bbl) = 0,42 x (MW x 100 - 7,0 x %minyak - %air


x Cf x Wsw

(4) Hitung specific gravity padatan rata-rata :

lb / bbl undissolved solid


Avg sp gr solid =
3,5 x % undissolved solid

(5) Hitung lb/bbl low-gravity solid (LGS) :

 4,2 - avg sp gr solid 


lb / bbl LGS =   x lb / gal undissolved solid
 1,6 

Tabel 7-3 menunjukkan suatu analisa kadar padatan dengan menggunakan


harga specific gravity yang memadai untuk calcium chloride, hematite, dan low-
density solids.
113

Gambar 7-4 dan 7-5 menunjukkan kadar padatan terkoreksi vs. densitas
untuk lumpur minyak yang diperberat dengan hematite atau barite. Gambar-gambar
tersebut telah dikoreksi untuk water-soluble solids, yaitu : sodium chloride, calcium
chloride, atau campuran dalam oil-base mud. Grafik-grafik tersebut sangat berguna
baik di kantor maupun di lokasi pemboran untuk menentukan keefektifan teknik
solid-control yang digunakan dalam menjaga konsentrasi low specific-gravity solids
pada batas yang ditentukan. Tiga garis diplot pada setiap grafik. Garis di dasar adalah
hematite atau barite, minyak, dan 10%, 20%, atau 20% air. Garis kedua pada semua
grafik diberi label “poor solids above”. Garis ketiga dari dasar diberi label “maximum
allowable solids”. Engineer mempertahankan oil-base mud total jumlah padatan yang
tidak terlarut tetap berada diantara dasar (bottom) dan garis kedua, tetapi tidak
melebihi maksimum “allowable solids line”.

Tabel 7-2
Densitas larutan dan faktor koreksi volume

7.5. PENGONTROLAN ACTIVITAS OIL-BASE MUD UNTUK MENCAPAI


STABLITAS LUBANG BOR

Mondshine mengemukakan bahwa ada dua mekanisme yang diperlukan untuk


mengatasi gaya hidrasi yang dihasilkan oleh formasi shale, yaitu : hidrasi permukaan
dan osmotic swelling. Dalam pembahasan hidrasi permukaan, hal pertama yang harus
dipertimbangkan adalah bahwa shale mempunyai afinitas terhadap air sama dengan
114

gaya kompaksi. Afinitas ini sering disebut sebagai gaya hidrasi permukaan, yaitu
sama dengan tekanan overburden dikurangi tekanan formasi. Gaya kompaksi adalah
sama seperti formation matrix stress dan dapat diperkirakan sebagai berikut :

OB = PP + MS
MS = OB - PP
dimana ;
OB = tekanan overburden, psi/ft.
PP = tekanan formasi, psi/ft.
MS = matrix stress, psi/ft.

Biasanya, tekanan overburden besarnya 1 psi/ft, sedangkan tekanan formasi


dan matrix stress masing-masing sebesar 0,465 psi/ft dan 0,535 psi/ft. Dapat dilihat
dengan mudah bahwa tekanan formasi lebih tinggi, matrix stress lebih rendah dan
gaya hidrasi permukaan lebih rendah. Perkembangan gaya hidrasi permukaan dalam
shale adalah merupakan alasan utama mengapa shale menjadi tidak stabil jika
berhubungan dengan air tawar. Penelitian telah dilakukan baik menggunakan
pendekatan fisik maupun kimia untuk mencegah hidrasi shale dalam sistem air tawar.
Mekanisme kedua adalah osmotic swelling merupakan prinsip ketidak-stabilan shale
ketika pemboran menggunakan oil-base mud.

Tabel 7-3
Analisa kadar padatan dalam oil-base mud pada pemboran
sumur di lapangan minyak

Kedalaman, ft, 10,834


Densitas, lb/gal 14,5
pv, cp 23
yv, lb/100 sq ft 13
Gels, 10-det/10-menit, sq ft 6/11
API filtrate, cc 4,2
HTHP, cc 9,6
Chloride, ppm
353.000
Solid, vol% 27
Water, vol% 8,0
Oil, vol% 64,0
ES (volt) 1,120

Dari data diatas dapat dihitung :

Oil-water ratio 89 : 11
CaCl2, lb/bbl 15,3
Hematite, lb/bbl
305
LDS, lb/bbl 76,5
115

Dengan mendefinisikan bahwa osmosis adalah aliran pelarut dari larutan yang
konsentrasinya kurang kedalam larutan yang kosentrasinya lebih tinggi melalui
selaput (membrane) semipermeable. Hal ini dijelaskan dengan Gambar 6-6. Dalam
oil-base mud, interfacial film disekitar setiap butir-butir air teremulsi beraski sebagai
film semipermeable. Jika fluida yang terdiri dari fasa air (internal) dalam fasa minyak
(eksternal) mengandung salinitas lebih tinggi dari fluida formasi, maka akan terjadi
transfer fluida dari shale, dan akibatnya akan terjadi dehidrasi pada shale. Sebaliknya
jika air bersatu dengan shale yang mempunyai kadar garam lebih tinggi dari air dalam
fasa internal lumpur pemboran, maka akan terjadi transfer fluida ke dalam shale,
sehingga dapat menaikkan gaya hidrasi. Pada saat ini umumnya oil-base mud
mempunyai konsentrasi calcium chloride sebesar 400.000 ppm. Konsentrasi ini dapat
menghasilkan tekanan osmotik sebesar 16.100 psi, merupakan gaya yang cukup
untuk mem”desorb” air dari clay yang mengandung montmorilonite dengan
konsentrasi tinggi. Dalam beberapa kasus, tekanan osmotik turun secara drastis
antara 5.000 dan 10.000 psi. Tekanan tersebut dapat dihasilkan oleh 220.000 sampai
310.000 ppm CaCl2. Larutan jenuh sodium chloride akan menegmbangkan tekanan
osmotik sebesar 5.800 psi. Maka, dapat terbukti bahwa mengapa pada umumnya oil-
base mud mengandung calcium chloride.

Gambar 7-4. Kadar padatan terkoreksi vs densitas lumpur


(oil-base mud dengan hematite)
116

Chenevert mengemukakan konsep bahwa tidak ada perpindahan air baik dari
atau ke shale, karena potensi kimia atau aktivitas baik lumpur maupun shale harus
sama. Aktivitas didefinisikan sebagai perbandingan antara fugasitas air dalam sistem
dengan fugasitas air murni. Untuk tujuan praktis, perbandingan fugasitas (fugacity
ratio) dapat digantikan dengan perbandingan tekanan uap (ratio of vapor pressure).
Karena tekanan uap pada dasarnya sama seperti kelembaban relatif, dan karena
kelembaban relatif air murni adalah 1,0, maka aktivitas setiap sistem secara relatif
dapat ditentukan, yaitu 1,0. Jika aktivitas formasi yang dibor diketahui , maka sistem
lumpur dapat dipersiapkan atau diatur agar mencapai aktivitas yang sama.

Gambar 7-5. Kadar padatan terkoreksi vs densitas lumpur


(oil-base mud dengan barite)
117

Mondshine mengemukakan tentang pendekatan secara sederhana untuk


memperkirakan aktivitas formasi shale, dengan asumsi bahwa aktivitas shale dengan
kedalaman dan tekanan formasi (kompaksi) dan dapat diperkirakan dari matrix stress
dan salinitas awal. Mondshine selanjutnya mengemukakan bahwa matrix stress plus
tekanan osmotik dalam formasi mendekati aktivitas formasi tersebut. Dengan
menggunakan berbagai variasi persamaan potensial kimia untuk menunjukkan bahwa
tekanan osmotik yang ada diantara lumpur minyak dikenal sebagai salinitas dan
formasi shale dikenal sebagai aktivitas. Persamaan dan tekanan osmotik berbagai
salinitas lumpur minyak berlawanan dengan shale yang mengandung air tawar seperti
yang disajikan dalam paper-nya. Pada dasarnya, apa yang dikemukakan Mondshine
adalah bahwa jumlah matrix stress dan tekanan osmotik sama terhadap aktivitas
formasi. Dari data-data yang diplot pada Gambar 7-7, yang menunjukkan bahwa
tekanan osmotik tegantung dari kadar garam air dalam formasi.
Metoda-metoda yang dikemukakan oleh Chenevert dan Mondshine untuk
memperkirakan aktivitas shale hanya berbeda tingkat ketelitiannya. Hal-hal yang
harus diingat adalah : (1) uji laboratorium untuk menentukan aktivitas langsung
tergantung persen berat air dalam shale yang sedang diuji dan (2) aktivitas shale pada
dasarnya merupakan fungsi gaya kompaksi dan tekanan osmotik dalam formasi.
Berikut adalah petunjuk praktis yang dapat membantu dalam penyiapan dan
perawatan oil-base mud menstabilkan lubang yang bor yang bermasalah :
1) Shale biasanya mengandung clay yang dapat menghidrat dengan naiknya
kompaksi karena bertambahnya kedalaman, yang berarti bahwa gaya hidrasi
permukaan berkurang.
2) Pada umumnya salinitas yang lebih tinggi diperlukan dengan bertambahnya
kedalaman untuk memerangi penmgaruh tekanan osmotik.
3) Pada umumnya shale dapat dikontrol dengan aktivitas antara 0,52 dan 0,53, yang
dihasilkan dari 300.000 sampai 350.000 ppm CaCl2.
4) Dengan naiknya temperatur aktivitas lumpur juga bertambah, tetapi aktivitas
formasi berkurang.

7.6. LOW-COLLOID OIL MUD

Setelah melalui berbagai tahapan pengembangan yang dimulai pada awal


tahun 1950, invert emulsion mud yang mengandung sampai 50% air telah
disempurnakan sehingga pada saat ini dapat diandalkan sebagai fluida pemboran.
Kerugian utama dari penggunaan invert emulsion mud, dan juga oil-base mud adalah
tingginya biaya pembuatan awal dan rendahnya laju penembusan. Kerugian lainnya
adalah lumpur tersebut membuat kotor lingkungan seperti lantai bor, pakaian, dsb.,
dan crew pemboran tidak menyukainya. Untuk mengatasi hal ini adalah dengan
melakukan penanganan yang lebih baik dan benar.
Simpson dan Fontenot melakukan penelitian pada tahun 1974 dan
menyimpulkan bahwa oil-base mud mengandung sedikit material koloid untuk
118

penstabil emulsi dan suspensi cutting. Penelitian ini adalah merupakan pendorong
untuk mencapai keberhasilan dalam pengembangan apa yang sekarang dikenal
sebagai “low-colloid mud”.

Gambar 7-6. Pengaruh tekanan osmotik, air akan mengalir dari zona salinitas
rendah menuju ke salinitas tinggi.

Formulasi dari low-colloid oil mud untuk pemboran dalam, bertemperatur


tinggi dengan kestabilan emulsi yang baik dan HTHP loss dibawah 30 cc, adalah
sebagai berikut :
Oil-water ratio 80 : 20
Calcium soap emulsifier, lb/bbl 2-5
119

Fatty acid polyamide, lb/bbl 3-7


Lime, lb/bbl 2-4
Organophillic caly, lb/bbl 3-7
CaCl2, ppm 350.000
Barite atau hematite sesuai dengan keperluan

Range sifat-sifat fisik yang direkomendasikan jika densitas lumpur tersebut


16 lb/gal adalah :
Densitas, lb/gal 16
Funnel viscosity, det/qt 4-54
Plastic viscosity, cp 25-34
Yield point, lb/100sqft 10-14
10-det ge strength, lb/100sqft 3-8
API fluid loss, cc 2-4
HTHP fluid loss, cc 15-25
Electical stablity 750-1500
Total salinity, ppm CaCl2 350.000

Gambar 7-7. Salinitas diperlukan untuk keseimbangan tekanan


120

7.7. LOGGING IN OIL-BASE MUD

Meskipun oil-base mud tidak konduktif terhadap arus listrik biasanya


digunakan dalam logging dan karena tidak dapat menghasilkan self-potensial, maka
untuk pengontrolan kedalaman dan evaluasi formasi dapat dilakukan dengan
menggunakan log yang tidak tergantung dari hadirnya fluida konduktif dalam lubang
bor. Program logging yang disarankan utuk oil-mud disajikan pada Tabel 7-4.

Tabel 7-4
Program logging untuk Lumpur Dasar Minyak
121

Hal-hal penting yang harus diperhatikan dalam program logging pada oil-base
mud meliputi :
1) Resistivitas formasi dapat ditentukan dengan log induksi
2) Log radiasi dapat dikombinasikan dengan log lain untuk tujuan korelasi
3) Porositas ditunjukkan melalui sonic, densitas, atau log neutron, baik secara
terpisah maupun kombinasi
4) Sidewall core dan wireline formation test dapat dilakukan pada oil-base mud
dengan menggunakan gamma ray tool.

Tabel 7-5
Pemecahan masalah dalam penggunaan Oil-Base Mud
122

7.8. PEMECAHAN MASALAH DENGAN OIL-BASE MUD

Logika yang sama digunakan dalam pendeteksian dan pemecahan masalah


treatment water-base mud digunakan untuk oil-base mud. Data yang diperoleh
dianalisa dan diplot untuk melihat trend atau perubahan sifat-sifat fisik lumpur.
Perubahan sifat-sifat fisik yang mendadak dan tajam akibat adanya kontaminasi dapat
dideteksi dengan menganalisa trend pada plot tersebut dan selanjutnya dapat
dikoreksi sebelum terjadi problem yang serius. Problem tretment lumpur biasanya
terjadi pada oil-base mud adalah berasal dari cutting, karena citting dan/atau material
pemberat menjadi water-wet, atau dari kontaminasi air. Tabel 7-5 menyajikan
problem-problem yang biasanya terjadi pada oil-base mud dan ditunjukkan
bagaimana cara mengenali problem dan mengontrolnya.
Teknologi formulasi dan perawatan oil-base mud sangat berbeda dengan
water-base mud. Biasanya lumpur ini dicampur pada lokasi tertentu dan dikapalkan
ke lokasi pemboran dalam kondisi siap untuk didorong (displaced) kedalam lubang
bor. Jika persiapan dilakukan di lokasi pemboran, maka diperlukan peralatan
penyimpanan, dan pembersihan yang memadai.
Pada umumnya perusahaan jasa lumpur (mud service company) mempunyai
produk dasar dan penunjang untuk pembuatan sistem lumpur dasar minyak (oil-base
mud system). Pengawasannya lebih berat dibanding dengan lumpur dasar air (water-
base mud) dan harus ditangani oleh tenaga yang berpengalaman. Prosedur perawatan
lumpur dasar minyak harus dilakukan dengan baik, karena adanya berbagai kondisi
pemboran dan hadirnya kontaminan seperti gas H2S (hydrogen sulfide).
123

REFERENSI

1. Aris Buntoro, “Perilaku Berbagai Lumpur Pemboran yang Digunakan Pada


Sumur yang Bertemperatur Tinggi Sampai 15000F Serta Pengaruh
Penambahan Aditif”, Tesis, Jurusan Teknik Perminyakan ITB, Bandung, 1996.
2. Lummus, J.L. and Azar, J.J., “Drilling Fluids Optimization, A Practical Field
Approach”, PennWell Books, Tulsa, Oklahoma, 1986.
3. Moore, P.L., et al., “Drilling Practice Manual”, The Petroleum Publishing
Company, Oklahoma, 1972.
4. Rabia, H., “Oilwell Drilling Engineering, Principles and Practice”, Graham &
Trotman Limited, London, UK, 1985.
5. van Olphen, H. : “Forces Between Suspended Bentonite Particles”, Clay and
Clay-Minerals, U.S. National Academy of Science-National Research Council,
Publ. 456 (1956) 204-224.
6. Zaba, J. and Doherty, W.T., “Practical Petroleum Engineers Handbook”, Fifth
Edition, Gulf Publishing Co., Houston, Texas, 1970.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai