Anda di halaman 1dari 15

Nikah dalam Perspektif empat madzhab

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Menikah adalah sunah Rasulullah saw, untuk dilaksanakan oleh umatnya.


Menikah adalah jalan kemuliaan yang diridhai dan dimudahkan pengaturannya
dalam islam, dengan menikah banyak kebaikan dan barakah yang dinikmati oleh
seseorang, dengan menikah pula, seseorang dapat terhindar dari kemaksiatan dan
kehinaan yang sekarang ini sedang dipromosikan besar-besaran.
Keempat madzhab yang berlaku dalam hokum islam telah memberi
proporsi yang cukup besar terhadap masalah perkawinan. Ulasan dan kajian
mengenai perkawinan yang dilakukan oleh keempat madzhab tidak sedikit
terdapat adanya perbedaan, tetapi ada pula persamaannya. Perbedaan inilah yang
merupakan kekayaan khazanah keilmuan dalam membuka cakrawala wawasan
kita terutama dalam masalah perkawinan.
Dalam penulisan ini saya akan mencoba menjelaskan sedikit dari apa yang
saya nukil dari kitab-kitab klasik tentang Nikah  dalam islam yang dimaksud
dimensi dalam tulisan ini adalah pandangan mazhab yaitu   Hanafi, Hambali,
Maliki dan Syafi’I  serta segala permasalahannya, yang mana diambil dari kitab
ruju’kan salah satunya adalah , Al Fiqh ‘ala Madzahib Al Arba’ah.

B. PEMBAHASAN

1. Pengertian Nikah

Nikah menurut bahasa adalah kumpul/jima ‫والطء‬ menurut syara adalah


aqad yang memperbolehkan jima dengan ‫نك**اح او ت**زويج‬, nikah juga disebut
mengambil manfaat,  Haqiqat nikah adalah dalam akad dan majaz dalam
wath’I, berbeda dengan pendapat Abu Hanifah1 Nikah juga bisa di
definisikan dengan pengetian sebagian ulama Fuqaha yaitu akad yang
berfaidah halalnya istimna bagi setiap orang yang berakad secara syar’i2.

1 Shihabuddin Ahmad bin Ahmad al Qalyubi dan Ahmad al Burullusi “ Hasiyata al Qolyubi wa
Umayrah” Dar Al Kutub Al Ilmiyah, Baerut Libanon,  Juz. III, hal. 313
2 Abdurrahman Al Jaziri, Al Fiqh ‘ala Madzahib Al Arba’ah, Dar Fikr, Baerut, Lebanon, Cetakan
pertama, hal 8

1
Menurut Abu Hamid Asy-Syarwani “Nikah ditinjau dari lughat
bahasa berarti kumpul atau menginjak dan secara terminologi islam nikah
secara sederhana memiliki pengertian bentuk aqad/ikatan yang menjadi
perantara diperbolehkannya melakukan hubungan seksual3 dengan
menggunakan kata Nikah, Tajwiz atau terjemahannya”. Lebih jauh nikah
merupakan kehendak Allah SWT untuk mengangkat derajat makhluqnya
yang benama manusia, nikah bukan sekedar pemenuhan biologis sebagai
naluri dasar yang dimiliki manusia. Tapi merupakan ikatan dua makhluk yang
berbeda, baik wataknya, ikatan pernikahan merupakan simbol kesiapan
sepasang anak adam untuk mengarungi samudra kehidupan.

2. Nikah Dan Hukumnya


Hukum menikah itu sangat tergantung pada keadaan orang yang
hendak melakukan tadi, jadi hukum nikah itu dapat di klasifikasikan sebagai
berikut :
1. Wajib. yaitu apabila orang yang hendak menikah telah mampu sedang ia
tidak segera menikah amat dikhawatirkan akan berbuat zina
2. Sunnah, yaitu mana kala orang yang hendak menikah menginginkan
sekali punya anak,tetapi ia mampu mengendalikan diri.dari perbuatan
zina,baik ia sudah berminat menikah atau belum.walaupun jika menikah
nanti ibadah sunnah yang sudah biasa ia lakukan akan terlantar
3. Makruh, yaitu apabila orang yang hendak menikah belum berminat punya
anak,juga belum pernah menikah sedangkan ia mampu menahan diri dari
berbuat zina.padahal ia menikah sunnahnya terlantar.
4. Mubah, yaitu apabila orang yang hendak menikah mampu menahan
gejolak nafsunya dari berbuat zina.,sementara ia belum berminat memiliki
anak dan seandainya ia menikah ibadah sunnahnya tidak sampai terlantar
5. Haram, yaitu bagi orang yang apabila ia kawin,justru akan merugikan
istrinya karena ia tidak mampu memberi nafkah lahir dan nafkah
bathin.atau jika menikah ia akan cari mata pencaharian yang di haramkan
Allah SAW, walaupun orang tersebut sudah berminat menikah dan ia

3 Abdul hamid asy-Syarwani”Hawasyi as-Syarwani” Dar Alkutub al Ilmiyah,  Juz 9, hal. 4

2
mampu menahan gejolak nafsunya dari berbagai zina. Padaha bahwa
hukum menikah tersebut juga berlaku bagi kaum wanita.
Ibnu Arafah menambahkan,bahwa bagi wanita hukum menikah itu
wajib,apabila ia tidak mampu mencari nafkah bagi dirinya sendiri sedangkan
jalan satu-satunya untuk menanggulangi adalah menikah.

3. Rukun Nikah
Ulama mazhab berbeda pendapat tengtang rukun nikah, dalam kitab al
Qolyubi wa Umairah. Rukun nikah terbagi menjadi lima yaitu “ Shighat,
calon suami, calon istri, dua saksi, dan wali. Shighat didalam nikah,
didahulukan karena hal yang terpenting dan menjadi sebab dalam perkawina,
kemudian menghadirkan dua saksi , karena keduanya menjadi sebab sahnya
aqad pernikahan, dan juga dihadirkan wali dari mempelai perempuan untuk
akad nikah 4
Kunci sah dan tidaknya nikah adalah tergantung pada terpenuhi dan
tidaknya rukun nikah 5. Adapun Rukun secara bahasa berarti tiang penyangga,
yang akan menguatkan sesuatu yang berada diatasnya. Rukun adalah sesuatu
yang harus dipenuhi dalam amalan amalan yang ada dalam islam maka
ketergantungan rukun tersebut menjadi kunci sahnya sesuatu. Untuk masalah
nikah ada lima rukun yang telah disebutkan diatas
Lima perkara yang ditetapkan diatas adalah sesuai dengan syariat
Islam. Ini dikarenakan lima perkara ini adalah bagian dari rukun nikah di
dalam mazhab Syafi’i 6
Rukun nikah menurut mazhab Hanafi pula ada dua : yaitu ijab qabul.
7
Menurut mazhab Hanbali, rukun nikah ada tiga yaitu calon mempelai (suami
dan istri) yang sepi dari penghalang berlangsungnya nikah seperti mahram,

4 Shihabuddin Ahmad bin Ahmad al Qalyubi dan Ahmad al Burullusi “ Hasiyata al Qolyubi wa
Umayrah” Dar Al Kutub Al Ilmiyah, Baerut Libanon,  Juz. III, hal. 328 
5 Abu bakar al-Bakri bin sayyid muhammad syato’ al-Dimyati I’anah al – Tholibin, Dar al- Fikr
juz 3 hal. 316
6 Muhammad bin `Ahmad bin ‘Umar al-Syathiri, Syarh al-Yaqut al-Nafis, Jeddah: Dar al-Minhaj,
2007, hal 582
7 Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Damaskus, Dar al-Fikr, 2004, Cet. 9,
hal  6521.

3
ijab, dan qabul 8. Menurut mazhab Maliki, rukun nikah ada lima yaitu : wali,
mahar (mas kawin), calon suami, calon istri, dan shighat. 9
Dr. Wahbah al-Zuhayli mengkritisi, bahwa rukun nikah pada dasarnya
hanya ada empat: shîghat, calon istri, calon suami, dan wali. Calon suami dan
wali merupakan orang yang melakukan akad nikah. Manakala perkara yang
diakadkan adalah kenikmanat seksual yang dicari suami dan istri dalam
pernikahan. Sedangkan mahar sama seperti saksi dalam pernikahan, yang
hanya menjadi syarat sebuah pernikahan dengan argumentasi
diperbolehkannya melakukan nikah al-tafwidl. Begitu juga dengan saksi, ia
adalah syarat juga. Berhubung dengan kedudukan mahar dan saksi yang
tersebar luas sebagai rukun nikah, pada hakikatnya tidak tepat karena
penerimaan kedua-dua perkara itu sebagai rukun hanyalah istilah yang
digunakan sebagian ahli fiqh. 10
Hannya itu saja kunci sah dan tidak sahnya
akad nikah, kurang satu saja dari salah satu rukun ini maka tidak bisa dikatan
sah pernikahan tersebut.

4. Syarat Nikah
a. Syarat bagi kedua mempelai

Para ulama mazhab sepakat bahwa “ Berakal dan Balighmerupakan


syarat dalam perkawinan, juga disyaratkan bahwa kedua mempelai mesti
terlepas dari keadaan-keadaan yang membuat mereka dilarang kawin,
baik karena hubungan keluarga maupun hubungan yang lain.
Selanjutnya Ulama Mazhabpun sepakat orang yang melakukan akad
nikah (mempelai wanitadan laki-laki) sudah barang tentu jelas orangnya
sehingga dipandang tidak sah akad nikah yang berbunyi” saya kawinkan
kamu dengan salah seorang dari kedua diantara ini” tanpa adanya
ketentuan yang mana diantara kedua tersebut yang dinikahi.

8 Mas’ud bin Ahmad al-Kasani, BadaI’ al-ShanaI’ fi Tartib al-SyaraI’ , Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Alamiyyah, cet. 2, hal. 230
9 Abd al-Rahman bin Muhammad 'Audh al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-`Arba’at, Beirut:
Dar Ibn Hazm, 2001, hal.  818
10 Al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islimi, jilid IV, hal. 6521.

4
Seluruh Mazhab sepakat bahwa pernikahan harus dilakukan secara
suka rela tidak ada paksaan diantara keduanya, kecuali Hanafi yang
memperbolehkan nikah dengan paksaan.
Para Ulama Mazhab sepakat bahwa haidh dan hamil merupakan
bukti kebalighannya seorang wanita. Hamil terjadi karena ada
pembuahan ovum seperma, sedangkan haidh kedudukanya sama.
Maliki, Syafi’i dan Hambali mengatakan “ tumbuhnya bulu-bulu
ketiak merupakan bukti balighnya seseorang.
Sedangkan Hanafi menolaknya, sebab bulu-bulu ketiak itu tidak ada
bedanya dengan bulu-bulu lain pada tubuh.
Syafi’I dan Hambali mengatakan bahwa “usia baligh bagi anak laki-
laki dan perempuan adalah lima belas tahun,
sedangkan Maliki menetapkan tujuh belas tahun, sementara itu Hanafi
menetapkan usia baligh laki-laki adalah delapan belas tahu, sedangkan
anak perempuan tujuh belas tahun 11.
b. Syarat Seorang wali

Wali adalah seorang yang bertanggung jawab atas sah atau tidak
akad nikah. Oleh sebab itu, tidak semua orang bisa menjadi wali, tetapi
harus memenuhi syarat-syarat.
1). Islam
2).  Baligh dan berakal sehat
Syafii, Maliki dan Hambali berpendapat jika wanita yang baligh dan
berakal sehat itu masih gadis, maka hak mengawinkan dirinya ada
pada walinya, akan tetapi jika ia janda maka hak itu ada pada
keduanya; wali tidak boleh mengawinkanya tanpa ada persetujuannya.
Sebaliknya wanita itupun tidak boleh mengawinkan dirinya tanpa
persetujuan walinya. Namun mengucapkan akad adalah hak walinya.
Sementara itu Hanafi mengatakan bahwa wanita yang telah baligh
dan berakal sehat boleh memilih sendiri suaminya dan boleh pula

11 Lihat Ibnu Qudamah Mughni, Juz. IV

5
melakukan akad nikah sendiri, baik itu perawan maupun janda.
Dengan syarat sekufu.12
3).    Laki-laki (jumhur ulama)
4).    Adil 13
Dalam kitab Kifayatul Akhyar, sebuah kitab fiqih yang lazim
digunakan di dalam mazhab Syafi’i, disebutkan urutan wali nikah adalah
sebagai berikut:
1) Ayah kandung
2) Kakek, atau ayah dari ayah
3) Saudara se-ayah dan se-ibu
4) Saudara se-ayah saja
5) Anak laki-laki dari saudara yang se-ayah dan se-ibu
6) Anak laki-laki dari saudara yang se-ayah saja
7) Saudara laki-laki ayah
8) Anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah
Daftar urutan wali di atas tidak boleh dilangkahi atau diacak-acak.
Sehingga bila ayah kandung masih hidup, maka tidak boleh hak
kewaliannya itu diambil alih oleh wali pada nomor urut berikutnya.
Kecuali bila pihak yang bersangkutan memberi izin dan haknya itu
kepada mereka.
Perwalian dalam perkawinan adalah suatu kekuasaan atau
wewenang syar’i atas segolongan umat, yang dilimpahkan kepada wanita
yang sempurna, karena kekurangan tetentu pada orang yang dikuasainya,
demi kemaslahatan sendiri, pembahasan dalam wali ini meliputi hal hal
tersebut.
Syafi’I, Maliki, Hambali berpendapat : “Jika wanita yang baligh
dan berakal sehat itu masih Gadis maka hak mengawininya ada pada
wali, akan tetapi jika Janda, maka hak itu ada pada keduanya wali tidak
boleh mengawini janda itu tanpa ada persetujuan dari janda tersebut,

12 Muhammad Jawat Mughniyah, fiqih lima mazhab:ja’far,Hanafi, Malik Syafii,Hambali, Jakarta:


Penerbit Lentera, 2008, cet 7, hlm 345
13 M. Ali Hasan, perbandingan mazhab fiqh, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000, cet 2, hlm
141

6
sebaliknya janda tesebut tidak boleh mengawini dirinya tanpa ada
persetujuan sang wali. Namun pengucapan akad adalah hak wali”.
Hanafi, mengatakan bahwa “ wanita yang telah baligh dan berakal
sehat boleh memilih sendiri suaminya.
Mengenai wali nikah dia merupakan unsur yang penting bagi
mempelai wanita yang akan bertindak untuk menikahkannya, yang
menjadi wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum
Islam, yakni Muslim, Akil, dan Baligh. Wali nikah tersebut terdiri dari
wali nasab dan wali hakim. Ditetapkannya wali nikah sebagai rukun
perkawinan karena untuk melindungi kepentingan wanita itu sendiri,
melindungi integritas moralnya serta memungkinkan terciptanya
perkawinan yang berhasil. Institusi perwalian dalam perkawinan lebih
bersifat kewajiban dari pada hak. Paling tidak merupakan sintesis dari
keduanya Pernikahan harus dilangsungkan dengan wali. Apabila
dilangsungkan tidak dengan wali atau walinya bukan yang berhak maka
pernikahan tersebut tidak sah.
Adapun wali itu ada dua macam, yaitu wali nasab dan wali hakim 14.
a) Wali Nasab
 Wali nasab adalah orang-orang yang terdiri dari keluarga
calon mempelai wanita , yang berhak menjadi wali menurut urutan
sebagai berikut :
1) Pria yang menurunkan calon mempelai wanita dari keturunan
pria murni ( yang berarti dalam garis keturunan tidak ada
penghubung yang wanita) yaitu :
o Ayah
o Ayah dari ayah
o Dan seterusnya keatas.
Catatan : Ayah dari ibu atau ayah dari ibu si ayah tidak berhak
menjadi wali, karena dalam garis keturunan itu terdapat
penghubung wanita yang berarti garis keturunan pria sudah

14 Departemen Agama RI, 2003,Pedoman Pegawai Pencatat Nikah (PPN), Dirjen Bimas
Islam & Urusan Haji, Jakarta, hal. 24

7
tidak murni lagi dengan terdapat jenis wanita sebagai
penghubung dalam keturunan tersebut.
2) Pria keturunan ayah mempelai wanita dalam garis pria murni
yaitu .
 Saudara kandung
 Saudara seayah
 Anak dari saudara kandung
 Anak dari saudara ayah
 Dan seterusnya ke bawah
Catatan : Saudara se ibu, anak saudara wanita atau anak dari
anak wanita saudara pria tidak berhak menjadi wali karena
dalam garis keturunannya terdapat penghubung wanita (garis
yang menghubungkannya melalui seorang wanita)
3) Pria keturunan dari ayahnya ayah dalam garis pria murni yaitu :
 Saudara kandung dari ayah
 Saudara sebapak dari ayah
 Anak saudara kandung dari ayah
 Dan seterusnya kebawah
Catatan: Saudara seibu dari ayah , anak saudara wanita dari ayah
atau dari anak wanita si ayah tidak berhak menjadi wali karena
dalam garis keturunan itu terdapat penghubung wanita :
  Pria keturunan dari ayahnya si ayah
  Dan seterusnya.
         Apabila wali tersebut diatas tidak beragama Islam
sedangkan calon mempelai wanita beragama Islam atau wali-
wali tersebut di atas belum baligh, atau tidak berakal atau rusak
pikirannya atau bisu yang tidak bisa diajak bicara dengan isyarat
dan tidak bisa menulis maka hak menjadi wali pindah kepada
wali berikutnya,
         Contoh : Seorang calon mempelai wanita yang sudah tidak
mempunyai ayah kakek lagi, sedang saudara-saudaranya yang
ada belum ada yang baligh dan juga tidak mempunyai wali yang

8
terdiri dari keturunan ayah (misalnya keponakan) maka yang
berhak menjadi wali adalah saudara kandung dari ayah.
b) Wali Hakim
Wali hakim ialah orang yang diangkat oleh pemerintah untuk
bertindak sebagai wali dalam suatu pernikahan, Sebagaimana
diuraikan terdahulu, apabila seorang calon mempelai wanita :
1) Tidak mempunyai wali nasab sama sekali ,
2) Walinya mafqud, artinya tidak tentu keberadaannya, atau
3) Wali sendiri yang akan menjadi mempelai pria, sedang wali
yang sederajat dengan dia tidak ada,
4) Wali berada ditempat yang jaraknya sejauh masafatul qosri(atau
sejauh perjalanan yang membolehkan shalat qosor) yaitu 92,5
km.
5) Wali berada dalam penjara atau tahanan yang tidak boleh di
jumpai,
6) Wali Adlal, artinya wali tidak bersedia atau menolak untuk
menikahkan, atau Penolakan wali dalam mengawinkan anak
gadisnya dalam fikih disebut wali adlal .
7) Wali sedang melakukan ibadah haji/umroh. Maka yang berhak
menjadi wali dalam pernikahan tersebut adalah wali hakim.
Kecuali apabila wali nasabnya telah mewakilkan kepada orang
lain untuk bertindak sebagai wali. Dalam hal demikian orang
lain yang diwakilkan itulah yang berhak menjadi wali.
Catatan : Dizaman modern dewasa ini, meskipun jarakMasafatul
Qosri telah dipenuhi, untuk akad nikah wali perlu diberi tahukan
terlebih dahulu. Sesuai dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 2
tahun 1987, yang ditunjuk oleh Menteri Agama sebagai wali hakim
adalah Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan. 15
c. Dua orang saksi

15 Noor Rahmat,2002, Hak Memilih Pasangan, Tidak Perlu Ada, Yayasan Kesejahteraan


Fatayat (YKF) Yagyakarta, Ford Foundation, Jakarta.

9
Syafi’i, Hanafi, dan Hambali sepakat bahwa perkawinan itu tidak
sah tanpa adanya saksi, tetapi Hanafi memandang cukup dengan
hadirnya dua orang laki-laki, atau seorang laki-laki dengan dua orang
perempuan, tanpa disyaratkan harus adil. Namun mereka berpendapat
bahwa kesaksian kaum wanita saja tanpa laki-laki dinyatakan tidak sah.
Syafi’I dan Hambali berpendapat bahwa perkawinan harus dengan
dua saksi laki-laki, Muslim dan Adil.
Maliki berpendapat saksi hukumnya tidak wajib dalam akad, tetapi
wajib untuk pencampuran suami terhadap istrinya (dukhul). Kalau akad
dilakukan tanpa seorang saksipun, akad itu dipandang sah, tetapi bila
suami bermaksud mencapuri istri maka dia harus mendatangkan dua
orang saksi, Apabila dia mencapuri istrinya tanpa dua orang saksi maka
akad tersebut harus dibatalkan secara paksa, dan pembatalan akad ini
sama kedudukan dengan talaq ba’in 16.
Orang yang menjadi saksi dalam pernikahan, harus memenuhi
syarat.
1) Berakal
Orang gila tidak dapat dijadikan saksi.
2) Baligh
Anak-anak tidak dapat menjadi saksi, walaupun sudah
mumaiyyis(menjelang baligh), karena ksaksiannya menerima dan
menghormati pernikahan itu belum pantas. Kedua syarat tersebut
diatas dispakati oleh fukaha dan kedua syarat itu dapat dijadikan satu,
yaitu kedua saksi harus mukallaf.
3) Mendengar Dan Memahami Ucapan Ijab Qabul
Saksi harus mendengar dan memahami ucapan ijab qabul, antara wali
dan calon pengantin laki-laki.
4) Laki-Laki
Laki-laki merupakan persyaratan saksi dalam akad nikah. Demikian
pendapat jumhur ulama selain Hanafiyah.17
5) Bilangan Jumlah Saksi

16 Lihat Ibnu Rusyd, Bidayat Al Mujtahid dan Ibnu Al Syafi’iyah, Maqshad Al Nabiyyah


17 M. Ali Hasan, perbandingan…, hlm 149 - 151

10
Hanafi dan Hambali dalam riwayat yang termasyur: kesaksian seorang
wanita saja dapat diterima.
Maliki dan Hambali dalam riwayat lainnya mengatakan: kesaksian
dengan dua orang wanita dapat diterima.
Syafii: tidak diterima kesaksian perempuan, kecuali empat orang.18
6) Adil
Saksi harus orang yang adil walaupun kita hanya dapat melihat
lahiriyahnya saja. Demikian pendapat para jumhur ulama. Selain
hanafiyah.
7) Islam
Dua orang saksi itu harus muslim, menurut kesepakatan para ulama.
Namun menurut Hanafiyah, ahli kitabpun boleh menjadi saksi seperti
kasus, seorang muslim kawin dengan wanita kitabiyah.
8) Melihat
Syafiiyah berpendapat saksi harus orang yang dapat melihat.
Sedangkan jumhur ulama, dapat menerima kesaksian orang yang buta
asal dia dapat mendengar dengan baik iajd qabul itu dan dapat
membedakan suaa wali dan calon pengantin laki-laki.19
d. Mahar ( mas kawin )

Mahar berasal daripada perkataan Arab. Di dalam al-Quran istilah


mahar disebut dengan al-sadaq, al-saduqah, al-nihlah, al-ajr, al-
faridah dan al-‘aqd.
Menurut istilah syara’ mahar ialah suatu pemberian yang wajib
diberikan oleh suami kepada isteri dengan sebab pernikahan.
Mengikut Tafsiran Akta Undang-Undang Keluarga Islam
menyatakan “ mas kahwin “ bererti pembayaran perkahwinan yang wajib
dibayar di bawah Hukum Syara’ oleh suami kepada isteri pada masa
perkahwinan diakadnikahkan, sama ada berupa uang yang sebenarnya
dibayar atau diakui sebagai hutang dengan atau tanpa cagaran, atau
berupa sesuatu yang, menurut Hukum Syara’, dapat dinilai dengan uang.

18 Syaikh al-‘Allamah muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi, Rahmah al-Ummah Fi


Ikhtilaf  al-A’immah, Bandung: Hasyimi Pres, cet 2, hlm 528.
19 M. Ali Hasan, perbandingan…, hlm 152

11
Terdapat banyak dalil yang mewajibkan mahar kepada isteri
antaranya firman Allah dalam surah al-Nisa’ ayat 4 :“ Dan berikanlah
kepada perempuan-perempuan (isteri) akan mas kahwin mereka itu
sebagai pemberian (yang wajib). Kemudian jika mereka menyerahkan
kepada kamu sebahagian dari mas kahwinnnya, maka makanlah
(gunakanlah) pemberian tersebut sebagai nikmat yang baik lagi lazat “
Mahar adalah satu diantara hak istri yang didasarkan atas kitabullah,
Sunah Rasul dan Ijma’ kaum muslimin. Mahar ada dua macam yaitu :
Mahar Musamma dan Mahar  Mitsil
Mahar Musamma adalah mahar yang disepakati oleh pengantin laki-
laki dan perempuan yang disebutkan dalam akad nikah. Para ulama
mazhab sepakat bahwa tidak ada jumlah maksimal dalm mahar tersebut.
Akan tetapi mareka berbeda pendapat tentang batas minimalnya.
Syafi’I, dan Hambali  berpendapat “tidak ada batasan minimal
dalam mahar. Segala sesuatu yang dapat dijadikan harga jual beli boleh
dijadikan mahar sekalipun hannya satu qirsy
Hanafi mengatakan bahwa jumlah minimal mahar adalah sepuluh
dirham. Kalau suatu akad dilakukann kurang dari itu, maka akad tetap
sah, dan wajib membayar sepuluh dirham.
Maliki mengatakan jumlah minimal mahar adalah tiga dirham, kalau
akad dilakukan dengan jumlah kurang dari akad tersebut maka suami
harus membayar tiga dirham, apabila dia belum mencampurinya maka
dia boleh merusak akad dengan membayar separuh mahar musamma
atau  meneruskan dengan membayar tiga dirham.
e. Shighat atau Ijab Qobul
Para ulama mazhab sepakat bahwa pernikahan baru dianggap
sah  jika dilakukan dengan akad, yang mencakup Ijabdan Qabul antara
wanita yang dilamar dengan laki-laki yang melamarnya, atau antara
pihak yang menggantikanya seperti wakil dan wali, dan tidak sah hannya
semata-mata berdasarkan suka sam suka tanpa adanya akad.
Para ulama mazhab juga sepakat bahwa “Nikah itu sah bila
ُ ‫زو‬ ( aku mengawinkan) atau ‫(اًنكحت‬aku
dilakukan dengan redaksi  ‫ّجت‬

12
menikahkan) dari pihak yang dilamar atau orang yang mewakilinya, dan
redaksi ‫قبلت‬ (aku terima) atau ‫رضيت‬ (aku ridha) dari pihak yang melamar
atau orang yang mewakilinya”.
Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang sahnya akad nikah
yang tidak menggunakan redaksi Fi’il Madhi, atau menggunakan lafadz
yang bukan berakar dari kata yang telah disebutkan diatas,
seperti hibah (pemberian), al Bai’ (penjualan) dan sejenisnya.
Mazhab Hanafi berpendapat “ akad nikah boleh dilakukan dengan
segala redaksi yang menunjukan maksud menikah, bahkan sekalipun
dengan lafadz al Tamlik (pemilikan), al hibah, al bay’, al atha al ibahah
dan al ihlal sepanjan akad tersebut desertai dengan Qorinah yang
menunjukan arti nikah. Akan tetapi akad tidak sah jika diucapakan
dengan lafadz al Ijarah (upah) atau al Ariyah (pinjaman) sebab kedua
kata tersebut tidak menunjukan arti klestarian kontinuitas. Para penganut
mazhab hanafi mengambil dalil dari hadits yang di muat dalam Shahih Al
Bukhari dan Shahih Muslim
Mazhab Maliki dan Hambali  berpendapat bahwa “ Akad nikah di
anggap sah jika menggunakan lafadz  ‫النكاح‬  atau ‫الزواج‬dan juga di anggap
sah dengan lafadz ‫الهباح‬ dengan syarat harus di sertai maskawin, selain
kata kata tersebut tidak sah 20”. 
syafi’I dan hambali berpendapat disyaratkan kesegerahan dalam
akad. Artinya Qabul harus dilakukan segera setelah Ijab secara langsung
dan tidak terpisah oleh perkara lain.
Maliki berpendapat “ Pemisahan yang sekedarnya misalnya dengan
khutbah nikah yang pendek dan sejenisnya tidak apa-apa.
Hanafi berpendapat bahwa Akad nikah tidak di syaratkan
kesegeraan, menurut mazhab ini, kalau ada seseorang laki-laki mengirim
surat lamarannya kepada seorang wanita lalu wanita tersebut
menghadirkan para saksi dan membacakan surat itu kepada mereka,

20 Lihat Abu Zahrah, Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah, hal 36 

13
kemudian mengatakan “saya nikahkan diri saya kepadanya” padahal
lelaki tersebut tidak ada di tempat, maka akad tersebut sah 21.

C. KESIMPULAN

Hasil ijtihad mengenai masalah perkawinan yang dilakukan oleh Maliki,


hanbali, syafi’I dan Hanafi memiliki corak keaneragaman dalam pemikiran. Ada
perbedaan begitu juga ada persamaannya. Diantara persamaan dari keempat
madzhab, pertama terkait rukun nikah adalah adanya sighot ( ijab dan qobul ).
Kedua terkait syarat sighot para ulama dari keempat madzhab sepakat redaksi
dari ijab menggunakan lafadz  ‫النكاح‬  atau  ‫الزواج‬.

DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Jawat Mughniyah, fiqih lima mazhab: ja’far, Hanafi, Maliki Syafii,


Hambali, Jakarta: Penerbit Lentera, 2008, cet 7
M. Ali Hasan, perbandingan mazhab fiqh, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2000, cet 2
Abdurrahman Al Jaziri, Al Fiqh ‘ala Madzahib Al Arba’ah, Dar Fikr, Baerut,
Lebanon, Cetakan pertama
Shihabuddin Ahmad bin Ahmad al Qalyubi dan Ahmad al Burullusi “ Hasiyata al
Qolyubi wa Umayrah” Dar Al Kutub Al Ilmiyah, Baerut Libanon,  Juz. III,
Muhammad Abu Zahrah,” Muhadara Fi Akad Al Azawaj Wa Asaruh”  dar Al Fikr
Al Arobi
Abdul hamid asy-Syarwani”Hawasyi as-Syarwani” Dar Alkutub al Ilmiyah,  Juz 9
Shihabuddin Ahmad bin Ahmad al Qalyubi dan Ahmad al Burullusi “ Hasiyata al
Qolyubi wa Umayrah” Dar Al Kutub Al Ilmiyah, Baerut Libanon,  Juz. III,

21 Lihat Al Fiqh ‘ala Madzahib Al Arb’ah, Juz IV, tentang syarat-syarat nikah dan Muyiddin abd
Al Hamid, (Al Ahwal Al-Syakhshiyyah)

14
Abu bakar al-Bakri bin sayyid muhammad syato’ al-Dimyati I’anah al –
Tholibin, Dar al- Fikr juz 3
Muhammad bin `Ahmad bin ‘Umar al-Syathiri, Syarh al-Yaqut al-Nafis, Jeddah:
Dar al-Minhaj, 2007.
Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Damaskus, Dar al-Fikr, 2004,
Cet. 9.
Mas’ud bin Ahmad al-Kasani, BadaI’ al-ShanaI’ fi Tartib al-SyaraI’ , Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Alamiyyah, cet. 2
Mansûr bin Yunus al-Bahuti, Kasyaf al-Qina ‘an Matn al-Iqna, Beirut: Dar al-
Kutub al-‘Alamiyyah.
Abd al-Rahman bin Muhammad 'Audh al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-
`Arba’at, Beirut: Dar Ibn Hazm, 2001
Departemen Agama RI, 2003,Pedoman Pegawai Pencatat Nikah (PPN), Dirjen
Bimas Islam & Urusan Haji, Jakarta
Noor Rahmat,2002, Hak Memilih Pasangan, Tidak Perlu Ada, Yayasan
Kesejahteraan Fatayat (YKF) Yagyakarta, Ford Foundation, Jakarta.

15

Anda mungkin juga menyukai