Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Konflik bisa terjadi karena perbedaan dalam pemaknaan yang disebabkan karena
perbedaan pengalaman. Perbedaan pengalaman dapat dilihat dari perbedaan latar
belakang kebudayaan yang membentuk pribadi-pribadi yang berbeda. Seseorang akan
terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan
pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan karakter
individu yang dapat memicu konflik.
Dalam setiap organisasi/perusahaan, perbedaan pendapat sering kali disengaja atau
dibuat sebagai salah satu strategi para pemimpin untuk melakukan perubahan. Perubahan
tersebut dapat dilakukan dengan menciptakan sebuah konflik. Akan tetapi, konflik juga
dapat tejadi secara alami karena adanya kondisi obyektif yang dapat menimbulkan
terjadinya konflik. Seperti yang dikemukakan oleh Hocker dan Wilmot (Wirawan, 2010),
konflik terjadi karena pihak-pihak yang terlibat konflik memiliki tujuan yang berbeda.
Konflik bisa juga terjadi karena tujuan pihak yang terlibat konflik sama tapi cara untuk
mencapainya berbeda.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mampu menjelaskan tentang teori Penyelesaian Masalah dan Berpikir Kritis
1.2.2 Tujuan Khusus
Mahasiswa dapat mengetahui tentang:
1. Sejarah terjadinya konflik
2. Sumber konflik
3. Kategori/ jenis konflik
4. Tingkat konflik
5. Proses konflik
6. Penyelesaian Konflik
7. Negosiasi konflik
8. Konsep berpikir kritis
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Penyelesaian Masalah
2.1.1 Sejarah Terjadinya Konflik
Sejarah terjadinya suatu konflik pada suatu organisasi dimulai seratus tahun
yang lalu, konflik adalah suatu kejadian yang alami dan pasti terjadi dalam
organisasi. Pada awal abad ke-20, konflik dianggap sebagai suatu kelemahan
manajemen pada suatu organisasi yang harus dihindari. Konflik sebenarnya dapat
dihindari dengan mengarahkan staf pada tujuan yang jelas dalam melaksanakan
tugas dan memfasilitasi agar staf dapat mengekspresikan rasa tidak puas secara
langsung sehingga masalah tidak menumpuk dan bertambah banyak
(Nursalam,2015).
Pada pertengahan abad ke-19 ketika ketidakpuasan staf dan umpan balik dari
atasan tidak ada, maka konflik diterima secara pasif sebagai suatu kejadian yang
normal dalam organisasi. Seorang manajer harus belajar banyak tentang
menyelesaikan konflik daripada berusaha menghindar. Meskipun konflik dalam
organisasi merupakan suatu unsur penghambat staf dalam melaksanakan tugasnya,
tetapi diakui bahwa konflik dan kerja sama dapat terjadi secara bersamaan
(Nursalam,2015).

2.1.2 Sumber Konflik


Menurut Nursalam (2015) dan Satrianegara (2014) sumber konflik disebabkan
oleh beberapa hal yaitu:
1. Keterbatasan sumber daya.
2. Perbedaan tujuan karena perbedaan nilai hidup yang dipegang.
3. Ketidakjelasan peran karena adanya persaingan dalam fasilitas kerja dan jabatan.
4. Hubungan dalam pekerjaan karena masalah wewenang dan tanggung jawab.
5. Perbedaan antar individu karena penafsiran yang berbeda atas satu hal, perkara
dan peristiwa.
6. Masalah organisasi karena perubahan dalam sasaran dan prosedur kerja.
7. Masalah dalam komunikasi yang gagal karena salah pengertian atau salah
paham.
8. Kurangnya kerja sama karena ada usaha untuk menguasai dan merugikan.

2
9. Tidak menaati tata tertib dan peraturan kerja yang ada.

2.1.3 Kategori/Jenis Konflik


1. Jenis konflik berdasarkan karakteristik subjeknya
Secara umum konflik dapat dibedakan menjadi 3 jenis yaitu sebagai berikut:
a) Konflik pada diri individu
b) Konflik antar individu; dan
c) Konflik individu dengan institusi (Winardi, 2014:267).
Sebagai individu, seseorang dalam sebuah organisasi memiliki kelebihan dan
keterbatasan masing-masing. Kelebihan merupakan potensi yang dimiliki sebagai
modal dalam bekerja dan harus dikembangkan untuk mencapai kinerja yang baik.
Sedangkan, keterbatasan merupakan suatu kondisi yang perlu dimaklumi. Setiap
individu yang bekerja memiliki latar belakang yang berbeda-beda sehingga
membutuhkan kemampuan untuk bertoleransi antar individu agar tidak terjadi konflik.
2. Jenis konflik berdasarkan objek terjadinya.
Berdasarkan tipe dasar terjadinya, konflik dapat dibedakan menjadi 3 yaitu:
(a) Konflik tujuan (goal conflict), yakni konflik yang terjadi apabila hasil akhir
yang dinginkan (dipreferensi) tidak bersifat kompatibel;
(b) Konflik kognitif (cognitive conflict), yakni konflik yang terjadi apabila
individu-individu menyadari pemikiran atau ide-ide mereka tidak konsisten
satu sama lain;
(c) Konflik efektif, yakni konflik yang terjadi apabila perasaan-perasaan atau
emosi-emosi tidak kompatibel satu sama lain, maksudnya orang-orang
memberontak satu sama lain (Winardi, 2010:162).
3. Jenis konflik berdasarkan manfaatnya.
Konflik juga dapat dilihat dari kebermanfaatannya bagi organisasi.
Mangkunegara membagi konflik ini menjadi 2 jenis, yaitu konflik fungsional dan
konflik disfungsional. Konflik fungsional adalah konflik yang keberadaannya
dapat menguntungkan bagi kemajuan organisasi, sedangkan konflik disfungsional
adalah jenis konflik yang keberadaannya dapat merugikan organisasi.
4. Jenis konflik berdasarkan tingkatan struktural.

3
Konflik dalam suatu organisasi baik individu dengan dirinya sendiri, antar
individu dengan individu, individu dengan kelompok, atau antar kelompok
dengan kelompok dapat berdampak pada kinerja organisasi.

2.1.4 Tingkat Konflik


Runde dan Flanagan (2007) menjelaskan bahwa intensitas bentuk konflik meliputi 5
level berikut:
1. Level pertama yaitu perbedaan (differences) . ketika pihak yag terlibat melihat
situasi dari perspektif yang berbeda, namun pada saat yang bersamaan
menyadari pola pikir dan kepentingan pihak lain. Runde dan Flanagan (2007)
menjelaskan bahwa sangat jarang jenis konflik ini membawa dampak negatif
pada hubungan dan produktivitas.
2. Level kedua yaitu kesalahpahaman (misunderstandings). Menurut Runde dan
Flanagan (2007), kesalahpahaman dibuat ketika dua atau lebih pihak
menafsirkan suatu situasi secara berbeda. Untuk menghindari eskalasi lebih
lanjut maka penting untuk memeriksa kesalahpahaman pada awal proses.
3. Level ketiga yaitu ketidaksepakatan (disagreements). Runde dan Flanagan
(2007) mendefinisikan ketidaksepakatan sebagai “ketika dua orang melihat
situasi secara berbeda, dan terlepas dari seberapa baik mereka memahami posisi
dan kepentingan orang lain, merasa tidak nyaman bahwa pihak lain tidak setuju.
Sebaliknya, Runde dan Flanagan (2007) mengklaim bahwa ketidaksepakatan
dapat memberi efek positif terhadap inovasi.
4. Level keempat yaitu perselisihan (discord). Ketika mencapai tingkat
perselisihan, konflik mulai menimbulkan dampak negatif pada hubungan di
antara para pihak menurut Runde dan Flanagan (2007). Tanda khas perselisihan
adalah saat para pihak mulai mengkritik, menghindari, dan menghalangi satu
sama lain.
5. Level kelima yaitu polarisasi (polarization). Pada tingkat ini, konflik telah
mencapai tingkat kritis yang hampir di setiap kasus mengarah pada setiap
konflik yang belum terselesaikan, dan membuat hubungan yang rusak parah.
Runde dan Flanagan (2007) menjelaskan bahwa pada tahap ini para pihak mulai
merekrut orang lain untuk bergabung dengan perjuangan mereka. Dalam
skenario terburu, pihak-pihak yang terlibat mulai menggunakan perilaku
destruktif, dan perang adalah salah satu contoh polarisasi ekstrem.

4
2.1.5 Proses Konflik
Proses konflik dibagi menjadi beberapa tahapan antara lain:
a. Konflik Laten
Tahapan konflik yang terjadi terus-menerus (laten) dalam suatu organisasi.
Misalnya, kondisi tentang keterbatasan staf dan perubahan yang cepat. Kondisi
tersebut memicu pada ketidak stabilan suatu organisasi dan kualitas produksi,
meskipun konflik yang ada kadang tidak tampak secara nyata atau tidak pernah
terjadi.
b. Konflik yang dirasakan (felt konflik)
Konflik yang terjadi karena adanya suatu yang dirasakan sebagai ancaman,
ketakutan, tidak percaya, dan marah. Konflik ini disebut juga sebagai konflik
‘affectives’. Hal ini penting bagi seseorang untuk menerima konflik dan tidak
merasakan konflik tersebut sebagai suatu masalah/ancaman terhadap
keberadaannya.
c. Konflik yang nampak/sengaja ditimbulkan
Konflik yang sengaja dimunculkan untuk mencari solusi. Tindakan yang
dilaksanakan mungkin menghindar, kompetisi, debat atau mencari penyelesaian
konflik. Setiap orang tidak sadar belajar menggunakan kompetisi, kekuatan dan
agresivitas dalam menyelesaikan konflik dalam perkembangannya. Sedangkan
penyelesaian konflik dalam suatu organisasi, memerlukan suatu upaya dan
strategi untuk mencapai tujuan organisasi.
d. Resolusi konflik
Resolusi konflik adalah suatu penyelesaian masalah dengan cara memuaskan
semua orang yang terlibat di dalamnya dengan prinsip “win-win solution”.
e. Konflik “Aftermatch”
Konflik yang terjadi akibat dari tidak terselesaikannya konflik yang pertama.
Konflik ini akan menjadi masalah besar kalau tidak segera diatasi atau dikurangi
penyebab dari konflik yang sama.

2.1.6 Penyelesaian Konflik


Langkah-langkah penyelesaian konflik:
1) Pengkajian
a. Analisis situasi

5
Identifikasi jenis konflik untuk menemukan waktu yang diperlukan, setelah
dilakukan pengumpulan fakta dan memvalidasi semua perkiraan melalui
pengkajian lebih mendalam. Kemudian siapa yang terlibat dan peran masing-
masing. Tentukan jika situasinya dapat diubah.
b. Analisis dan mematikan isu yang berkembang
Jelaskan masalah dan prioritas fenomena yang terjadi. Tentukan masalah
utama yang memerlukan suatu penyelesaian yang dimulai dari masalah
tersebut. Hindari penyelesaian semua masalah dalam satu waktu.
c. Menyusun tujuan
Jelaskan tujuan spesifik yang akan dicapai.
2) Identifikasi
a. Mengelola perasaan
Hindari respons emosional: marah, sebab setiap orang mempunyai respons
yang berbeda terhadap kata-kata, ekspresi, dan tindakan.
3) Intervensi
a. Masuk pada konflik yang diyakini dapat diselesaikan dengan baik.
Selanjutnya identifikasi hasil yang positif akan terjadi.
b. Menyeleksi metode dalam menyelesaikan konflik. Penyelesaian konflik
memerlukan strategi yang berbeda-beda. Seleksi metode yang paling sesuai
untuk menyelesaikan konflik yang terjadi.

2.1.7 Negosiasi Konflik


Negosiasi biasanya sama dengan kerja sama. Dalam organisasi, negosiasi juga
didefinisikan sebagai metode kompetisi (Marquis dan Huston, 1998). Selama proses
negosiasi, pihak-pihak terkait menyerah dan lebih memperhatikan waktu untuk
mengakomodasi perbedaan di antara keduanya.
Smeltzer (1991) mengidentifikasi dua tipe dasar negosiasi,yaitu:
1. Kerja sama (semua orang menang)
2. Kompetitif (hanya satu orang yang menang)

Satu hal penting dalam negosiasi adalah salah satu pihak berharap untuk
mengubah hubungan dengan memperbaiki hubungan. Jika kedua belah pihak ingin
berubah, maka ini adalah cara yang baik untuk bekerja sama. Jika hanya satu pihak
yang menginginkannya, maka akan terjadi persaingan.

6
2.2 Berfikir Kritis: Konsep Berfikir Kritis

2.2.1 Arti Umum


Menurut Sharon M. Kaye, secara umum kata “kritis” sering dikitkan dengan sikap orang-
orang yang mengevaluasi pejabat atau pemerintah. Mereka sering disebut sebagai pemikir
kritis. Gregory Bassham dkk, sebelumnya juga telah menyatakan apa yang dikatakan oleh
Sharon dengan mengatakan bahwa pengertian berpikir kritis sering dikaitkan dengan upaya
seseorang menemukan kesalahan dan hal-hal yang negative dari pihak lain.

2.2.2 Menurut Etimologi


Dari asal usulnya, kata kritis” berasal dari Bahasa Yunani, yakni “critikos”- “yang
membedakan”. Kata kritis diturunkan dari Bahasa Yunani kuno, krites, artinya” orang yang
memberikan pendapat beralasan” Tu “analisis”, “pertimbangan nilai”, “interpretasi”, atau
“pengamatan”. Istilah ini biasa dipergunakan untuk menggambarkan seorang pengikut yang
berselisih dengan atau menentang objek kritikan.
Dalam pengertian ini istilah” berpikir kritis” umumnya digunakan untuk menunjukkan
tingkat keahlian kognitif dan disposisi intelektual yang dibutuhkan untuk berbagai kegiatan,
yakni mengidentifikasi, menganalisa, mengevaluasi argument dan klaim, menemukan dan
mengatasi prakonsepsi, mengformulasikan dan menghadirkan alasan-alasan yang mendukung
kesimpulan.

2.2.3 Pendapat Para Tokoh


Selain melihat etimologinya, pengertian kita diperkaya oleh pandangan sejumblah tokoh,
seperti John Dewey, Edward Glaser, dan Robert Ennis. Keiga tokoh ini dijadikan sebagai
referensi, karena pengertian ketiganya cukup memenuhi kualifikasi akademis, kendati
pengertian dan karate berpikir kritis dari ketiganya berbeda-beda.
Pemikir pertama adalah John Dewey(1859-1952). Dewey mendefenisikan berpikir kritis
sebagai pertimbangan yang aktif dan teliti mengenai sebuah keyakinanatau bentuk
pengetahuan yang diterima begitu saja. Keyakinan atau bentuk pengetahuan itu dikaji dengan
mencari alasan-alasan yang mendukung kesimpulan-kesimpulan. Disini Dewey menekankan
karakter kritis pada keaktifan seseorang dalam berpikir.
Edward Glaser mengembangkan gagasan John Dewey. Glaser menekankan sikap kritis
pada kepiawaian menggunakan metode-metode penalaran dalam memecahkan berbagai
masalah dan persoalan pengetahuan. Dengan kata lain, bagi Glaser, karakter orang berpikir

7
kritis terletak pada kemampuan menggunakan metode-metode berpikir. Dua metode berpikir
yang menurut Glaser perlu dikuasai sebagai ciri berpikir kritis adalah metode berpikir
deduktif dan berpikir induktif. Dengan metode berpikir deduktif, seseorang mengesah
penalarannya dengan menerapkan prinsip-prinsip silogisme dalam beragumentasi, sedangkan
dengan metode berpikir induktif, seseorang dilatih untuk meningkatkan ketelitian dalam
mengamati gejala-gejala dan mengelompokkannya sebagai dasar untuk menyimpulkan
sesuatu.
Pemikiran ketiga, yakni Robert Ennis mendefenisikan berpikir kritis sebagai pemikiran
yang reflektif dan kemampuan untuk mengambil keputusan.
Dari tiga pengertian tokoh diatas, kita dapat menemukan benang merah yang memuat tiga
hal sebagai esensi berpikir kritis, yakni melakukan pertimbangan secara terus-menerus,
pertimbangan aktif itu didasarkan pada kajian yang mendalam dengan menerapkan metode-
metode berpikir, dan melakukan refleksi untuk menghasilkan kesimpulan yang valid, benar,
dan kuat.

2.2.4 Karateristik Kemampuan Berpikir Kritis


Kemampuan berpikir kritis merupakan salah satu kemampuan yang sangat diperlukan
dalam pemecahan masalah. Karateristik atau ciri-ciri kemampuan berpikir kritis menurut (
Aybek & Aslan,2016,. Hlm.94) adalah sebagai berikut:
a. Mengenal masalah
b. Menemukan cara-cara yang dapat dipakai untuk menangani masalah-masalah itu
c. Mengumpulkan dan menyusun informasi yang diperlukan
d. Mengenal asumsi-asumsi dan nilai-nilai tidak dinyatakan
e. Memahami dan menggunakan bahasa yang tepat, jelas dank has
f. Menilai fakta dan mengevaluasi pertanyaan-pertanyaan.
g. Mengenal adanya hubungan yang logis antar masalah-masalah
h. Menarik kesimpulan dan kesamaan-kesamaan yang diperlukan
i. Menguji kesamaan-kesamaan dan kesimpulan yang diambil seseorang
j. Menyusun kembali pola-pola keyakinan seseorang berdasarkan pengalaman yang
lebih luas
k. Membuat penilaian yang tepat tentang hal-hal dan kulaitas tertentu dalam kehidupan
sehari-hari.
Berdasarkan penjelasan cirri-ciri diatas dapat disimpulkan bahwa cirri-ciri berpikir
kritis dapat meliputi kemampuan mengidentifikasi yaitu mengumpulkan dan

8
menyusun informasi yang diperlukan, mampu menentukan pikiran utama dari suatu
masalah dan dapat menjelaskan hubungan sebab akibat dari suatu pertanyaan.

2.2.5 Indikator Kemampuan Berpikir Kritis


Bashith & Amin,(2017., Hlm.93) menungkapkan kemampuan berpikir kritis
dikelompokkan kedalam lima indikatir kemampuan, yaitu:
1) Memberikan penjelasan sederhana( elementary clarification)
2) Mmembangun keterampilan dasar( basic support)
3) Membuat kesimpulan( inferring)
4) Memberikan penjelasan lebih lanjut( advance clarification)
5) Mengatur strategi dan taktik( strategi dan tactiecs)

9
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari materi yang ada dimakalah ini dapat disimpulkan bahwa:
Konflik merupakan bagian dari kehidupan umat manusia yang tidak pernah dapat
diatasai sepanjang sejarah umat manusia. Sepanjang seseorang masih hidup hamper mustahil
untuk menghilangkan konflik dimuka bumi. Konflik antar perorangan dan antar kelompok
merupakan bagian sejarah umat manusia.
Berbagai macam keinginan seseorang dan tidak terpenuhinya keinginan tersebut dapat
berakhir dengan konflik. Perbedaan pandangan antar perorangan juga daoat berakhir dengan
konflik. Selanjutnya, jika konflik perorangan tidak dapat diatasi secara adil dan proposional,
maka hal itu dapat berakhir dengan konflik antar kelompok dalam masyarakat.
Sedangkan, Konsep dasar dari berpikir kritis dari teori yang ada di makalah ini dapat
diartikan atau sering dikaitkan dengan upaya seseorang menemukan kesalahan dan hal-hal
yang negative dari pihak lain

3.2 Saran
Dari kesimpulan diatas semoga hasil penulisan makalah ini dapat menambah wawasan
serta pengetahuan pembaca dibagian penanganan konflik yang kerap terjadi dilingkungan
masyarakat terlebih lagi dimanfaatkan oleh semua kalangan tentang berbagai macam konflik
yang terjadi serta Bagi mahasiswa ataupun pembaca, hendaknya hasil makalah ini dapat
menambah pemahaman mahasiswa ataupun pembaca mengenai konflik sosial serta konsep
berpikir kritis

10
DAFTAR PUSTAKA

Adventina Delima Hutapea,dkk.(2022).PengantarManajemenKeperawatan.Penerbit:Yayasan


Kita Menulis.

Dr. La Ode Kamalia.,dkk(2020).Manajemen Keperawatan.Penerbit:Media Sains


Indonesia:Kota Bandung-Jawa Barat

Prof. Dr. Drs. H. Ekawarna, M.Psi.(2018).Manajemen Konflik Dan Stres.Penerbit:PT. Bumi


Aksara:Rawamangun-Jakarta Timur

Weni Puspita.(2018).Manajemen Konflik (Suatu Pendekatan Psikologi, Komunikasi Dan


Pendidikan).Penerbit:CV Budi Utama:Yogyakarta

Kasdin Sihotang.(2019).Berpikir Kritis Kecakapan Hidup Di Era Digital. Penerbit: PT


KANISIUS: Yogyakarta

Mike Tumanggor.(2021).Berpikir Kritis,( Cara Jitu Mengahadapi Tantangan Pembelajaran


Abad 21).Penerbit: Gracias Logis Kreatif: Ponorogo

11

Anda mungkin juga menyukai