Anda di halaman 1dari 28

TUTORIAL KLINIK

VERTIGO

Disusun sebagai salah satu syarat mengikuti ujian

Stase Saraf di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Tjitrowardojo Purworejo

Diajukan Kepada:

dr. Milasari Dwi Sutadi, Sp.S

Disusun Oleh:

Vella Nurfatimah Ayunilasari

20224010013

SMF SARAF

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. TJITROWARDOJO PURWOREJO

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2023
HALAMAN PENGESAHAN

TUTORIAL KLINIK

VERTIGO

Telah disetujui pada tanggal …………..

Dokter Pembimbing

dr. Milasari Dwi Sutadi, Sp.S


BAB I LAPORAN KASUS

A. Identitas
Nama : Ny.

No. RM : 00475xxx

Usia :

Alamat :

Status Pernikahan : Menikah

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Tanggal Masuk RS : 23 Mei 2023

B. Anamnesis
1. Keluhan Utama Pusing berputar
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluh pusing, terasa berputar-putar, sering mengganggu aktivitas
sehari-hari. Pusing berputar dirasakan sejak lama bertahun-tahun, memburuk 2
minggu SMRS. Pasien selalu kesulitan untuk bangun dari tidur karena pandangan
terasa berputar seolah-olah tembok dan benda-benda di sekitar hendak jatuh atau
roboh. 1 minggu SMRS keluhan utama disertai mual dan muntah. Pasien tidak
sanggup berdiri dari kasur, hingga akhirnya dibawa ke RSUD Tjitrowardojo.
Keluhan disertai nyeri kepala dan rasa lemas. Nafsu makan pasien menurun. BAB,
BAK lancar (tidak ada keluhan). Pasien juga mengeluh adanya rasa kesemutan di
lengan kiri. Pasien mengatakan cemas dan khawatir akan kondisi kesehatannya.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


- Hipertensi (+) rutin berobat
- DM (+) terkontrol
- Riwayat jantung (-)
- Asma (-)
- Alergi (-)
- Trauma (-)
- Kejang (-)
4. Riwayat Penyakit Keluarga
- Hipertensi (-)
- Diabetes (-)
- Riwayat (-)
- Asma (-)
- Alergi (-)
- Trauma (-)
- Kejang (-)
5. Anamnesis Sistem
Sistem Serebrospinal : Pusing berputar,
Sistem Kardiovaskular : Tidak ada keluhan
Sistem Respirasi : Tidak ada keluhan
Sistem Gastrointestinal : Mual dan mutnah
Sistem Muskuloskeletal : Tidak ada keluhan
Sistem Integumen : Tidak ada keluhan
Sistem Urogenital : Tidak ada keluhan

C. Pemeriksaan Fisik Status Generalis


Keadaan Umum : Sedang, CM. GCS: E4V5M6.
Vital Sign : TD 109/68 mmHg RR 20x/menit
N 119x/menit T 36,30C
Kepala/Leher : Normosefal, Sklera Ikterik (-/-), Konjungtiva Anemis (-/-),
pupil isokor, Reflek Cahaya (+/+)
Cor/Pulmo : Dada simetris, sonor (+/+), SDV (+/+), Suara S1S2 reguler,
ronkhi (-/-), wheezing (-/-), deformitas (-/-)
Abdomen : Supel, bising usus (+), timpani, nyeri tekan (-) Ekstremitas
Superior : Edema (-/-), Jejas (-/-), CRT <2 detik
Inferior : Edema (-/-), Jejas (-/-), CRT <2 detik
D. Pemeriksaan Neurologis
1. Nervus Cranialis
a. Nervus I (Olfaktorius)
Normal
b. Nervus II (Optikus)
Ketajaman penglihatan : Normal
Lapangan penglihatan : Normal
Melihat warna : Normal
Funduskopi : Tidak dilakukan
c. Nervus Okulares (Okulomotorius (III), Trokhlearis (IV), Abdusen (VI)) Celah
kelopak mata:
Ptosis : (-/-)
Diplopia : (-/-) Eksoftalmus : (-/-) Nistagmus : (-/-) Pupil
Bentuk : bulat/bulat
Ukuran : 3 mm/3 mm (isokor)
Reflek cahaya : Normal Reflek konsensuil : Normal Reflek akomodasi
: Normal Gerakan bola mata : Normal
d. Nervus V (Trigeminus)
- Sensibilitas wajah: (+/+)
- Mengigit : Normal
- Mengunyah : Normal
- Membuka mulut : Normal
- Reflek kornea : Tidak dilakukan
e. Nervus VII (Fasialis)
- Kedipan mata : (+/+)
- Lipatan Nasolabial : Normal
- Sudut Mulut : Normal
- Mengerutkan Dahi : (+/+)
- Mengerutkan Alis : (+/+)
- Menutup Mata : (+/+)
- Meringis : Normal
- Mengembungkan Pipi : Normal
- Pengecap 2/3 lidah depan: Tidak dilakukan
f. Nervus VIII (Vestibulotrochlearis)
Mendengar suara berbisik : normal // normal Tes Rinne : tidak
dilakukan
Tes Weber : tidak dilakukan
Tes Schwabah : tidak dilakukan
g. Nervus IX (Glossopharyngeus)
- Pengecap 1/3 lidah belakang : tidak dilakukan
- Sensibilitas faring : tidak dilakukan
- Refleks muntah : tidak dilakukan
- Sengau : negatif
- Tersedak : negatif
h. Nervus X (Vagus)
- "bicara AAAAA” : Normal
- Arkus faring : Normal
- Menelan : Normal
- Nadi : Normal
i. Nervus XI (Accesorius)
- Memalingkan kepala : Normal
- Mengangkat dagu : Normal
- Mengangkat bahu : Normal
j. Nervus XII (Hipoglossus)
- Menjulurkan lidah : Normal
- Tremor Lidah :-
- Atrofi Lidah :-
- Fasikulasi :-
- Artikulasi : Jelas
2. Pemeriksaan Ekstremitas
a. Gerakan
B B
B B
b. Kekuatan
5 5
5 5
c. Refleks Fisiologis
- Refleks bisep : +2/+2
- Refleks trisep : +2/+2
- Refleks patella : +2/+2
- Refleks achilles : +2/+2
d. Refleks Patologis
- Refleks menggenggam : (-/-)
- Refleks palmomental : (-/-)
- Hoffman : (-/-)
- Tromner : (-/-)
- Rossolimo : (-/-)
- Mendel-Bechterew : (-/-)
- Chaddock : (-/-)
- Babinski : (-/-)
- Oppenheim : (-/-)
- Schaeffer : (-/-)
- Gordon : (-/-)
- Gonda : (-/-)
e. Tonus
N N
N N
f. Klonus

- -
g. Sensibilitas Normal
h. Vegetasi
BAB (+), BAK (+)
3. Pemeriksaan Meningeal
- Kaku kuduk : Normal
- Laseque : Normal
- Kernig : Normal
- Patrick : Normal
- Kontra Patrick : Normal
4. Pemeriksaan Keseimbangan
- Nistagmus : normal
- Rhomberg mata terbuka :+
- Rhomberg mata tertutup :+
- Sharpen Rhomberg : tidak dilakukan
- Jalan Tandem : tidak dilakukan
- Fukuda : tidak dilakukan
- Past Pointing : tidak dilakukan

E. Pemeriksaan Penunjang
EEG
Temuan :
- Irama dasar : Alfa, simetris, voltase sedang, reguler

- Gelombang Abnormal : Dijumpai gelombang epileptiform yang


muncukparoksimal dan menyebar difus serta intermitent general slowing

- Asimetri : Tidak ditemukan asimetri


- Kesimpulan : EEG abnormal iritatif difus. Adanya gangguan elektrofisiologis
difus belum dapat disingkirkan.
F. Diagnosis Kerja
Diagnosis Klinis : Kejang, Pusing

Diagnosis Topis : Fokus epileptikusl

Diagnosis Etiologi : Epilepsi

Diagnosis Tambahan : Cemas

G. Tatalaksana
1. Asam Folat 1mg 2x1
2. Ikaphen 100mg 2x1
3. Phenytoin 100mg 2x1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Vertigo berasal dari bahasa latin “vertere” yang berarti berputar, dan “igo” yang
berarti kondisi. Vertigo ialah adanya sensasi gerakan atau rasa gerak dari tubuh seperti
rotasi (memutar) tanpa sensasi perputaran yang sebenarnya, dapat sekelilingnya terasa
berputar (vertigo objektif) atau badan yang berputar (vertigo subjektif). Vertigo termasuk
kedalam gangguan keseimbangan yang dinyatakan sebagai pusing, pening, sempoyangan,
rasa seperti melayang atau dunia seperti berjungkir balik.

Berdasarkan definisinya, vertigo adalah perasaan abnormal dan mengganggu bahwa


seseorang seakan-akan bergerak terhadap lingkungannya (vertigo subjektif), atau
lingkungannya seakan-akan bergerak padahal sebenarnya tidak (vertigo objektif). Vertigo
merupakan bagian dari gangguan keseimbangan (dizziness) bersama dengan presinkop
dan disekuilibrium.

Vertigo dapat disebabkan oleh proses fisiologis (misalnya vertigo saat berada di
“komidi putar”, mabuk perjalanan, adanya gangguan visual) atau oleh karena lesi
patologis (misalnya lesi pada labirin atau nukleus nervus vestibularis). Keduanya akan
menghasilkan gejala dan tanda yang hampir serupa meskipun memiliki dasar
patomekanisme yang berbeda.

B. Epidemiologi

Vertigo merupakan gejala yang sering didapatkan pada individu dengan prevalensi
sebesar 7 %. Beberapa studi telah mencoba untuk menyelidikiepidemiologi dizziness,
yang meliputi vertigo dan non vestibular dizziness. Dizziness telah ditemukan menjadi
keluhan yang paling sering diutarakan oleh pasien, yaitu sebesar 20-30% dari populasi
umum. Dari keempat jenis dizziness vertigo merupakan yang paling sering yaitu sekitar
54%. Pada sebuah studi mengemukakan vertigo lebih banyak ditemukan pada wanita
disbanding pria (2:1), sekitar 88% pasien mengalami episode rekuren.
C. Etiologi

Ditinjau dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu :

1. Epilepsi idiopatik : penyebabnya tidak diketahui, meliputi ±50% dari penderita


epilepsi anak dan umumnya mempunyai predisposisi genetic, awitan biasanya
pada usia >3tahun. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan alat-alat
diagnostic yang canggih kelompok ini semakin sedikit.

2. Epilepsi simptomatik : disebabkan oleh kelainan / lesi pada susunan saraf pusat.
Misalnya : post trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat (SSP), gangguan
metabolic, malformasi otak kongenital, asphyxia neonatorum, lesi desak ruang,
gangguan peredaran darah otak, toksik serta kelainan neurodegenerative.

3. Epilepsy kriptogenik : dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum diketahui,


termasuk disini adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut dan epilepsy
mioklonik (Harsono, 2008).

D. Patofisiologi

Penyebab sebagian besar kasus vertigo adalah ketidakseimbangan impuls sensorik


yang berhubungan dengan pergerakan yang mencapai otak melalui tiga sistem persepsi
yang berbeda: visual, vestibular, dan somatosensorik.

Berdasarkan lokasi lesi, dibedakan menjadi:

1. Vertigo perifer: lokasi lesi pada telinga dalam dan nervus vestibularis.

2. Vertigo sentral: lokasi lesi pada batang otak, serebelum, dan serebrum.

Sistem vestibular secara umum dibagi menjadi komponen perifer dan sentral.
Komponen perifer terdiri dari kanalis semisirkularis (posterior, horizontal, anterior)
dan organ otolit (sakulus dan utrikulus) bilateral. Kanalis semisirkularis mendeteksi
gerakan berputar, sedangkan utrikulus dan sakulus berespons terhadap akselerasi
linear dan gravitasi. Organ vestibular berada dalam aktivitas tonik simetris, bila
tereksitasi akan menstimulasi sistem vestibular sentral. Bila kepala digerakkan, terjadi
aktivitas asimetris pada nukleus vestibular, yang diinterpretasikan oleh sistem saraf
pusat sebagai gerakan kepala. Adanya proses patologis juga akan diinterpretasikan
sebagai aktivitas asimetris oleh sistem saraf pusat. Jaras yang berperan pada refleks
vestibulookular (VOR) memegang peranan sangat penting pada vertigo sentral. Jaras
ini dimulai dari labirin, kemudian menuju ke nukleus vestibularis, nukleus N III, IV,
VI, pusat integrasi di pons dan mesensefalon, serta serebelum. Pusat integrasi di pons
dan serebelum berperan pada gerakan mata horizontal, sedangkan pusat integrasi di
mesensefalon berperan pada gerakan mata vertikal.

kepala. Adanya proses patologis juga akan diinterpretasikan sebagai aktivitas


asimetris

oleh sistem saraf pusat.

Jaras yang berperan pada refleks vestibulookular (VOR) memegang peranan


sangat

penting pada vertigo sentral. Jaras ini dimulai dari labirin, kemudian menuju ke
nukleus

vestibularis, nukleus N III, IV, VI, pusat integrasi di pons dan mesensefalon, serta

serebelum. Pusat integrasi di pons dan serebelum berperan pada gerakan mata
horizontal,

sedangkan pusat integrasi di mesensefalon berperan pada gerakan mata vertikal.

1. Benign Paroxysmal Positional Vertigo

BPPV terjadi saat otokonia, suatu kalsium karbonat yang terbentuk di makula
utrikulus, terlepas dan masuk ke dalam kanalis semisirkularis. Hal ini menyebabkan
sensasi berputar ketika terjadi perubahan posisi kepala. Lokasi tersering BPPV ialah
pada kanalis semisirkularis posterior, yaitu kanal yang paling dipengaruhi oleh
perbedaan gravitasi. Lepasnya otokonia juga cukup sering terjadi pada kanalis
semisirkularis horizontal, namun keluhan umumnya akan spontan membaik
dibandingkan dengan kanalis semisirkularis posterior. BPPV jarang terjadi pada
kanalis semisirkularis anterior, dapat disebabkan karena posisi kanal yang paling atas,
sehingga otokonia jarang masuk ke dalamnya.

2. Neuritis Vestibular
Neuritis vestibular merupakan kondisi inflamasi pada nervus vestibularis yang

kemungkinan disebabkan oleh virus. Biasanya diawali gejala prodromal infeksi

menyerupai viral-like illness. Riwayat infeksi saluran napas ditemukan sebanyak


23- 100% mendahului gejala neuritis vestibular. Gambaran klinis neuritis vestibular
merupakan gejala keterlibatan nervus vestibularis cabang superior, yaitu kanalis
semisirkularis horizontal, anterior, serta utrikulus. Hal ini disebabkan oleh karena
cabang superior dari nervus vestibularis melewati celah yang lebih panjang dan sempit
pada os petrosum dibandingkan cabang inferior, sehingga lebih rentan mengalami
edema dan kompresi. Bila disertai dengan gangguan pendengaran telinga, lesi telinga
dalam seperti labirintitis, infark labirin, dan fistula perilimfe harus dipertimbangkan.

3. Penyakit Meniere

Penyakit Meniere merupakan penyakit multifaktorial yang menyebabkan kelainan


di telinga dalam dan bermanifestasi sebagai sindrom vertigo episodik disertai dengan
Membran neuron dalam keadaan normal mudah dilalui oleh ion kalium dan ion
klorida, tetapi sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan ion kalsium. Dengan demikian
konsentrasi yang tinggi ion kalium dalam sel ( intraseluler ), dan konsentrasi ion natrium
dan kalsium ekstraseluler tinggi. Sesuai dengan teori dari Dean (Sodium ion natrium dan
kalsium pump), sel hidup mendorong ion natrium keluar sel, bila natrium ini memasuki
sel, keadaan ini sama halnya dengan ion kalsium. Bangkitan epilepsi karena transmisi
impuls yang berlebihan di dalam otak yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga
terjadi sinkronisasi dari impuls. Sinkronisasi ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh
neuron di otak secara serentak, secara teori sinkronisasi ini dapat terjadi.

1. Fungsi jaringan neuron penghambat ( neurotransmitter GABA dan Glisin ) kurang


optimal hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan.
2. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik ( Glutamat dan Aspartat ) berlebihan
hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebihan juga

E. Klasifikasi

Klasifikasi ILAE (1981) untuk tipe bangkitan epilepsi adalah : (Perdosi, 2012)

1. Bangkitan parsial/fokal

a. Bangkitan parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)

a) Dengan gejala motorik

b) Dengan gejala sensorik

c) Dengan gejala otonomik

d) Dengan gejala psikik

b. Bangkitan parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)

a) Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran

i. Bangkitan parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran

ii. Dengan automatisme

b) Dengan gangguan kesadaran sejak awal bangkitan

i. Dengan gangguan kesadaran saja

ii. Dengan automatisme

c. Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder (tonik -klonik, tonik atau
klonik)

a) Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi bangkitan umum

b) Bangkitan parsial kompleks berkembang menjadi bangkitan umum

c) Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi parsial kompleks, dan


berkembang menjadi bangkitan umum

2. Bangkitan Umum (Konvulsi atau Non-Konvulsi)


a) Bangkitan lena (absence), sering disebut petitmal.

Serangan terjadi secara tiba-tiba, tanpa di dahului aura. Kesadaran hilangselama


beberapa detik, di tandai dengan terhentinya percakapan untuk sesaat,
pandangan kosong, atau mata berkedip dengan cepat. Hampir selalu pada anak-
anak, mungkin menghilang waktu remaja atau diganti dengan serangan tonik-
klonik.

b) Bangkitan mioklonik

Mioklonik, serangan-serangan ini terdiri atas kontraksi otot yang singkat dan
tiba-tiba, bisa simetris dan asimetris, sinkronis atau asinkronis. Muncul akibat
adanya gerakan involuntar sekelompok ototskelet yang muncul secara tiba-tiba
dan biasanya hanya berlangsung sejenak. Biasanya tidak ada kehilangan
kesadaran selama serangan. Gambaran klinis yang terlihat adalah gerakan
ekstensi dan fleksi lengan atau keempat anggota gerak yang berulang dan
lengan atau keempat anggota gerak yang berulang dan terjadinya cepat.

c) Bangkitan tonik

Tonik, serangan ini terdiri atas tonus otot dengan tiba-tiba meningkat dari otot
ekstremitas, sehingga terbentuk sejumlah sikap yang khas. Berupa pergerakan
tonik satu ekstrimitas atau pergerakan tonik umum dengan ekstensi lengan dan
tungkai yang menyerupai deserebrasi atau ekstensi tungkai dan fleksi lengan
bawah dengan bentuk dekortikasi. Biasanya kesadaran hilang hanya beberapa
menit terjadi pada anak 1-7 tahun.

d) Bangkitan atonik/astatik

Atonik, serangan atonik terdiri atas kehilangan tonus tubuh. Keadaan ini bisa di
menifestasikan oleh kepala yang terangguk-angguk, lutut lemas, atau
kehilangan total dari tonus otot dan Px bisa jatuh serta mendapatkan luka-luka.
Biasanya penderita akan kehilangan kekuatan otot dan terjatuh secara tiba-tiba.
Bangkitan ini jarang terjadi.

e) Bangkitan klonik
Klonik, serangan di mulai dengan kehilangan kesadaran yang disebabkan aleh
hipotonia yang tiba-tiba atau spasme tonik yng singkat. Keadaan ini diikuti
sentakan bilateral yang lamanya 1 menit sampai beberapa menit yang sering
asimetris dan bisa predominasi pada satu anggota tubuh. Serangan ini bisa
bervariasi lamanya, seringnya dan bagian dari sentakan ini satu saat ke satu
saat lain.

f) Bangkitan tonik-klonik

Tonik-Klonik, biasa di sebut grandmal. Merupakan jenis serang klasik epilepsi


serangan ini di tandai oleh suatu sensasi penglihatan atau pendengaran selama
beberapa saat yang diikuti oleh kehilangan kesadaran secara cepat. Secara tiba-
tiba penderita akan jatuh disertai dengan teriakan, pernafasan terhenti sejenak
kemudian diiukti oleh kekauan tubuh. Setelah itu muncul gerakan kejang tonik-
klonik (gerakan tonik yag disertai dengan relaksaki). Pada saat serangan,
penderita tidak sadar, bisa menggigit lidah atau bibirnya sendiri, dan bisa
sampai mengompol. Pasca serangan, penderita akan sadar secara perlahan dan
merasakan tubuhnya terasa lemas dan biasanya akan tertidur setelahnya.

3. Bangkitan Epileptik yang Tidak Tergolongkan

H. Gejala

1. Kejang parsial simplek

Serangan dimana pasien akan tetap sadar. Pasien akan mengalami gejala
berupa “déjàvu” : : perasaan dimana pernah melakukan sesuatu yang sama
sebelumnya.

 Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan tidak dapat
dijelaskan.

 Perasaan seperti kebas, tersengat listrik atau ditusuk-tusuk jarum pada bagian
tubuh tertentu.

 Gerakan yang tidak dapat di kontrol pada bagian tubuh tertentu


 Halusinasi

2. Kejang parsial (psikomotor) kompleks

Serangan yang mengenai bagian otak yang lebih luas dan biasanya bertahan
lebih lama. Pasien mungkin hanya sadar sebagian dan kemungkinan besar tidak
akanmengingat waktu serangan.

Gejalanya meliputi :



 gerakan seperti mencucur atau mengunyah

 melakukan gerakan yang sama berulang- ulang atau memainkan pakaiannya

 Melakukan gerakan yang tidak jelas artinya, atau berjalan berkeliling dalam
keadaan seperti sedang bingung

 Gerakan menendang atau meninju yang berulang–ulang

 Berbicara tidak jelas seperti menggumam



3. Kejang tonik klonik (epilepsy grand mal).

Merupakan tipe kejang yang paling sering, di mana terdapat dua tahap: tahap
tonik atau kaku diikuti tahap klonik atau kelonjotan. Pada serangan jenis ini pasien
dapat hanya mengalami tahap tonik atau klonik saja. Serangan jenis ini biasa didahului
oleh aura.

Aura merupakan perasaan yang dialami sebelum serangan dapat berupa :


merasa sakit perut , baal, kunang– kunang , telinga berdengung.

Pada tahap tonik pasien dapat : kehilangan kesadaran, kehilangan


keseimbangan dan jatuh karena otot yang menegang, berteriak tanpa alasan yang jelas,
menggigit pipi bagian dalam atau lidah. Pada saat fase klonik : terjadi kontraksi otot
yang berulang dan tidak terkontrol, mengompol atau terjadi kontraksi otot yang
berulang dan tidak terkontrol, mengompol atau buang air besar tidak dapat di di
kontrol, pasien tampak sangat pucat, pasien mungkin akan merasa lemas, letih ataupun
ingin tidur setelah serangan semacam ini

I. Diagnosis

Untuk dapat mendiagnosis seseorang menderita epilepsi dapat dilakukan melalui


anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasilpemeriksaan EEG dan radiologis. Namun
demikian, bila secara kebetulan melihat serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi
(klinis) sudah dapat ditegakkan (Shorvon, 2005).

1. Anamnesis

Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh, karena


pemeriksa hampir tidak pemah menyaksikan serangan yang dialami penderita.
Penjelasan perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan
(meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat berarti dan
merupakan kunci diagnosis. Anamnesis juga memunculkan informasi tentang trauma
kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik,
malformasi vaskuler dan obat-obatan tertentu.

Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi:

 Pola / bentuk serangan

 Lama serangan

 Gejala sebelum, selama dan paska serangan


 Frekuensi serangan

 Faktor pencetus

 Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang

 Usia saat serangan terjadinya pertama

 Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan

 Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya

 Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis

a) Pada orang dewasa

Pemeriksaan umum dan neurologis dilakukan seperti biasa. Pada kulit


dicari adanya tanda neurofibromatosis berupa bercak-bercak coklat, bercak-
bercak putih, dan adenoma seboseum pada muka pada sklerosi tuberose.
Hemangioma pada muka dapat menjadi tanda adanya penyakit Sturge-Weber.
Pada toksoplasmosis, fundus okuli mungkin menunjukkan tanda-tanda korio
renitis. Mencari kelainan bawaan, asimetri pada kepala, muka, tubuh,ekstrimitas.

3. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan Laboratorium Perlu diperiksa kadar glukosa, kalsium,


magnesium, natrium, bilirubin, ureum dalamdarah. Yang memudahkan timbulnya
kejang ialah keadaan hipoglikemia, hypokalemia, hipomagnesia, hiponatremia,
hypernatremia, hiperbilirubinemia, dan uremia. Penting pula diperiksa pH darah
karena alkalosis mungkin disertai kejang. Pemeriksaan cairan otak dapat
mengungkapkan adanya radang pada otak atau selaputnya, toksoplasmosis susunan
saraf sentral, leukemia yang menyerang otak, metastasis tumor ganas, adanya
perdarahan otak atau perdarahan subaraknoid.10,11

a. Pemeriksaan psikologis atau psikiatris


Untuk diagnosis bila diperlukan uji coba yang dapat menunjukkan naik turunnya
kesadaran.

b. Elektro ensefalografi (EEG)

Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan
pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan
diagnosis epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan
adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG
menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman
EEG dikatakan abnormal.

1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua
hemisfer otak.

2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding


seharusnya misal gelombang delta.

3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya
gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang
lambat yang timbul secara paroksimal. Bentuk epilepsi tertentu mempunyai
gambaran EEG yang khas, misalnya spasme infantile mempunyai gambaran
EEG hipsaritmia, epilepsi petit mal gambaran EEG nya gelombang paku
ombak 3 siklus per detik (3 spd), epilepsi mioklonik mempunyai gambaran
EEG gelombang paku / tajam / lambat dan paku majemuk yang timbul secara
serentak (sinkron)

c. Pemeriksaan radiologis

Pemeriksaan tambahan lain adalah pemeriksaan foto polos kepala

J. Penatalaksanaan

Tujuan utama dari terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup penderita yang
optimal. Ada beberapa cara untuk mencapai tujuan tersebut antara lain menghentikan
bangkitan, mengurangi frekuensi bangkitan tanpa efek samping ataupun dengan efek
samping seminimal mungkin serta menurunkan angka kesakitan dan kematian (Aminof).
Prinsip penanggulangan bangkitan epilepsi dengan terapi farmaka mendasar pada
beberapa faktor antara lain blok kanal natrium, kalsium, penggunaan potensi efek inhibisi
seperti GABA dan menginhibisi transmisi eksitatorik glutamat. Sekarang ini dikenal
dengan pemberian kelompok inhibitorik GABAergik. Beberapa obat antiepilepsi yang
dikenal sampai sekarang ini antara lain karbamazepin (Tegretol), klobazam (Frisium),
klonazepam (Klonopin), felbamate (Felbatol), gabapentin (Neurontin), lamotrigin
(Lamiktal), levetirasetam (Keppra), oksarbazepin (Trileptal), fenobarbital (Luminal),
fenitoin (Dilantin), pregabalin (Lyrica), tiagabine (Gabitril), topiramat (Topamax), asam
valproat (Depakene, Convulex) (Brodie and Dichter, 1996). Protokol penanggulangan
terhadap status epilepsi dimulai dari terapi benzodiazepin yang kemudian menyusul
fenobarbital atau fenitoin. Fenitoin bekerja menginhibisi hipereksitabilitas kanal natrium
berperan dalam memblok loncatan listrik. Beberapa studi membuktikan bahwa obat
antiepilepsi selain mempunyai efek samping, juga bisa berinteraksi dengan obat-obat lain
yang berefek terhadap gangguan kognitif ringan dan sedang. Melihat banyaknya efek
samping dari obat antiepilepsi maka memilih obat secara tepat yang efektif sangat perlu
mengingat bahwa epilepsi itu sendiri berefek pada kerusakan atau cedera terhadap
jaringan otak.

Setelah bangkitan terkontrol dalam jangka waktu tertentu, OAE dapat dihentikan
tanpa kekambuhan. Penghentian sebaiknya dilakukan secara bertahap setelah 2 tahun
bebas dari bangkitan kejang.

Penatalaksanaan status epileptikus

Status epileptikus merupakan salah satu kondisi neurologis yang membutuhkan


anamnesa yang akurat, pemeriksaan fisik membutuhkan anamnesa yang akurat,
pemeriksaan fisik, prosedur diagnostik, dan penanganan segera mungkin dan harus
dirawat pada ruang intensif (ICU). Protokol penatalaksanaan status epileptikus diambil
berdasarkan konsensus Epilepsy Foundation of of America (EFA). Lini pertama dalam
penanganan status epileptikus menggunakan Benzodiazepin. Benzodiazepin yang paling
sering digunakan adalah Diazepam (Valium), Lorazepam ( Ativan), dan Midazolam
(Versed ). Ketiga obat ini bekerja dengan peningkatan inhibisi dari g-aminobutyric acid
(GABA) oleh ikatan pada Benzodiazepin-GABA dan kompleks Reseptor-Barbiturat.
Berdasarkan penelitian Randomized Controlled Trials (RCT) pada 570 pasien
yang mengalami status epileptikus yang dibagi berdasarkan empat kelompok, dimana
Lorazepam 0,1 mg/kg merupakan obat terbanyak yang tabel di bawah), berhasil
menghentikan kejang sebanyak 65 persen (Utama, 2005).

Protokol Penatalaksanaan Status Epileptikus

Pada : awal l menit

1. Bersihkan jalan nafas, jika ada sekresi berlebihan segera bersihkan (bila perlu intubasi)

a. Periksa tekanan darah

b. Mulai pemberian Oksigen

c. Monitoring EKG dan pernafasan

d. Periksa secara teratur suhu tubuh

e. Anamnesa dan pemeriksaan neurologis

2. Kirim sampel serum untuk evaluasi elektrolit, Blood Urea Nitrogen, kadar glukosa,
hitung darah lengkap, toksisitas obat-obatan dan kadar antikonvulsan darah; periksa
AGDA (Analisa Gas Darah Arteri)

3. Infus NaCl 0,9% dengan tetesan lambat

4. Berikan 50 mL Glukosa IV jika didapatkan adanya hipoglikemia, dan Tiamin 100 mg


IV atau IM untuk mengurangi kemungkinan terjadinya wernicke’s encephalophaty

5. Lakukan rekaman EEG (bila ada)

6. Berikan Lorazepam ( Ativan) 0,1 sampai 0,15 mg per kg (4 sampai 8 mg) intravena
dengan kecepatan 2 mg per menit atau Diazepam 0,2 mg/kg (5 sampai 10 mg). Jika
kejang tetap terjadi berikan Fosfenitoin (mg). Cerebyx) 18 mg per kg intravena dengan
kecepatan 150 mg per menit, dengan tambahan 7 mg per kg jika kejang berlanjut. Jika
kejang berhenti, berikan Fosfenitoin secara intravena atau intramuskular dengan 7 mg
per kg per 12 jam. Dapat diberikan melalui oral atau NGT jika pasien sadar dan dapat
menelan

Pada : 20 sampai 30 menit, jka kejang tetap berlangsung

1. Intubasi, masukkan kateter, periksa temperature

2. Berikan Fenobarbital dengan dosis awal 20 mg per kg intravena dengan kecepatan 100
mg per menit

Pada : 40 sampai 60 menit, jika kejang tetap berlangsung

Mulai infus Fenobarbital 5 mg per kg intravena (dosis inisial), kemudian bolus intravena
hingga kejang berhenti, monitoring EEG; lanjutkan infus Pentobarbital 1 mg per kg per
jam; kecepatan infus lambat setiap 4 sampai 6 jam untuk menetukan apakah kejang telah
berhenti. Pertahankan tekanan darah stabil.

-atau-

Berikan Midazolam (Versed ) 0,2 mg per kg, kemudian pada dosis 0,75 sampai 10 mg per
kg per menit, titrasi dengan bantuan EEG.

-atau-

Berikan Propofol ( Diprivan) 1 sampai 2 mg per kg per jam. Berikan dosis pemeliharaan
berdasarkan gambaran EEG.

DAFTAR PUSTAKA

.
Accessed on February 22th 2014:
http://www.epilepsyfoundation.org/about/statistics.cfm
Aminoff MJ dkk. Clinical Neurology. 6thth ed. New York: McGraw-Hill
Harsono, Modul epilepsi. Kolegium Neurologi Indonesia Perhimpunan Dokter
Spesialis Saraf Indonesia.2008
Heilbroner, Peter. Seizures, Epilepsy, and Related Disorder,Pediatatriri c c Neurology:
Essentials for General Practice. 1st ed. 2007
Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (Perdossi).
Pedoman Tatalaksana Epilepsy. Jakarta: Penerbit Perdosi;2012
Shorvon SD. HANDBOOK OF Epilepsy Treatment Forms, Causes and Therapy in
Children and Adults. 22 ndnd ed. America: Blackwe ll Publishing Ltd.2005
Utama H. Antiepilepsi dan Antikonvulsi dalam Farmakologi dan terapi.i. 55 th ed.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2005.

Anda mungkin juga menyukai