Anda di halaman 1dari 5

Peran perempuan dalam membangun bangsa yang merdeka

Berhasilnya perempuan, berhasilnya masyarakat.

Perempuan diciptakan berbeda dari laki-laki (secara fisik), bukan untuk membedakannya dalam
mendapatkan hak hidupnya (sebagai manusia dan sebagai hamba Allah). Tapi dibedakan dalam
peran dan potensi yang dapat perempuan lakukan, baik itu ranah pribadi, keluarga, lingkungan
sosial sekitar maupun lingkup yang lebih besar seperti perannya dalam membangun peradaban.

Bangsa yang besar tidak lepas dari peran perempuan. Perempuan memiliki fungsi pendidik yang
baik, pengasuh yang cerdas, pemolah tingkah laku calon penerus generasi. Jika kita berbicara
tentang penerus generasi, erat kaitannya pula dengan keturunan dan tak terlepas dari pendidikan
serta pengasuhan. Yang membedakan kualitas hasil didikannya adalah referensi yang diambilnya
serta indikator yang ia ciptakan untuk kepentingan keberhasilan suatu pendidikan. Jika dari sudut
pandangnya, berhasil ialah memiliki materi yang banyak, ia akan mendidik anak-anaknya untuk
menjadi penghasil dollar yang sukses. Jika dari sudut pandangnya, berhasil ialah memiliki
kedudukan dan reputasi yang baik di masyarakat, maka ia akan mendidik anak-anaknya menjadi
seorang yang akan memiliki kedudukan penting di tengah masyarakat. Tapi jika menurutnya
berhasil ialah memiliki adab dan akhlak yang baik, berbudi pekerti luhur, menghormati orang
lain, menjadi individu yang berguna bagi orang lain serta menjadi penggerak kebaikan, maka ia
akan didik anak-anaknya dengan mengedepankan anak yang tumbuh dengan jiwa yang
berakhlak dan berkarakter. Dari hal-hal diatas dapat diketahui bahwa yang menjadi pembeda
adalah referensi dan preferensi yang diambil.

Pendidikan berbicara tentang penyerahterimaan karakter sebelum ilmu. Jika pendidikan hanya
dibatasi dengan transfer kepintaran logika dan akademis itu terlalu sempit. Keberhasilan suatu
pendidikan itu ditopang dari karakter pendidiknya juga. Apa mungkin seorang pendidik itu buruk
cara bersikapnya dan pendek cara berpikirnya akan mendapatkan kualitas orang yang terdidik itu
baik? Tidak mungkin. Karena pada dasarnya, manusia cenderung melihat pada bagaimana cara
penyampaian dan apa saja yang sudah diimplementasikan oleh si pendidik. Jika ada orang yang
mengatakan, ‘Lihat saja apa yang disampaikannya, bukan siapa yang menyampaikannya’, itu
tidak berlaku dalam transfer karakter pendidik dan orang yang dididik. Slogan tersebut berlaku
dalam pengambilan nilai pada norma sosial dan di lingkungan umum. Bukan di lingkungan
khusus pendidikan dan pengasuhan seperti rumah dan sekolah. Maka, penting sekali untuk kita
memiliki karakter terlebih dahulu sebelum menyampaikan ilmu. Kembali lagi, kita akan dilihat
bagaimana cara menyampaikannya dahulu.

Maka, ada hal penting yang disiapkan sebelum menyusun visi dan misi dari sebuah pendidikan,
yaitu, mempersiapkan diri menjadi peran pendidik yang proaktif dengan memiliki kualitas
karakter yang dibangun oleh adab dan akhlak. Dan dalam hal ini, artinya perempuan harus
memiliki jiwa dan mental yang sehat, pikiran yang matang, dan berfokus pada peningkatan
karakter atau yang kita sebut self improvement. Tentunya dengan mengambil referensi yang
sangat baik dan menyeluruh. Menyeluruh disini dapat diartikan dampak yang nantinya dirasakan
baik bagi pribadi maupun orang lain setelah melakukan self improvement. Dan persiapan ini
tentunya untuk menyiapkan diri perempuan dalam menjalankan peran-perannya yang sangat
fungsional dalam membangun peradaban.

Karenanya dapat kita simpulkan, berhasilnya suatu pendidikan itu berasal dari berhasilnya
perempuan membangun karakter dirinya sendiri.
Mengapa Perempuan erat kaitannya dengan pendidikan dan pengasuhan?

Kita tak dapat memungkiri bahwa perempuan lebih dominan memiliki peran dalam mendidik
dan mengasuh. Hal tersebut merupakan fitrahnya yang dianugerahkan Allah pada setiap
perempuan. Fitrah perempuan diantaranya memiliki sifat keibuan, menyenangi anak-anak,
bertutur lembut dan santun, menyenangi hidangan dan keindahan visual. Hal-hal tentang fitrah
inilah yang akan membentuk karakter. Dan karakter ini yang nantinya akan diturunkan kepada
anak-anaknya, ataupun diturunkan pada anak didiknya.

Meskipun laki-laki tetap harus berperan dalam mendidik, namun fitrahnya laki-laki itu bersifat
melindungi, menjaga, mengayomi, juga memutuskan kebijakan yang terbaik. Dalam hal ini,
fitrah laki-laki lebih banyak mengarah ke hal-hal yang bersifat fisik (dapat dilakukan oleh
tindakan eksternal). Dibanding perempuan yang juga memiliki fitrah mendidik secara internal.

Perempuan pada masa ini banyak menafikan bahwa mereka seharusnya bisa mengikuti fitrahnya.
Sayangnya, sebagian perempuan melakukan hal sebaliknya. Mereka merasa boleh berbuat
semaunya dalam urusan seks, homoseksual, aborsi, melakukan pemberontakan terhadap
keluarga, dan melanggar norma-norma agama dan sosial yang berlaku di masyarakat. Yang pada
dasarnya, Islam telah datang memberikan keadilan bagi perempuan, menghormatinya melalui
syariat-syariatnya, serta menghilangkan tekanan dan memberikan hak hidupnya sebagai manusia
seutuhnya. Sehingga perempuan memiliki hak penuh untuk belajar, menuntut ilmu, bekerja,
bertanggungjawab di hadapan Allah, berhak memilih sekalipun dalam urusan pernikahan.

Tentu saja, ketika kebanyakan perempuan menggaungkan hal-hal yang tidak semestinya, mereka
tidak akan bisa fokus pada pengembangan diri mereka sendiri. Hal-hal yang harus dikembangkan
seperti fitrah-fitrahnya akan tertutupi oleh yang namanya egosentris-feminisme yang mereka
anut. Mereka merasa perlu menyaingi lelaki, padahal merupakan suatu anugerah dari Tuhan,
laki-laki dan perempuan memiliki tugas yang berbeda namun saling melengkapi, bukan malah
saling bersaing dan menjatuhkan.

Di dalam Islam, perempuan memiliki 4 peran, yaitu sebagai manusia, sebagai anak, sebagai istri,
dan sebagai seorang ibu. Dan peran ini masing-masing perempuan jalani dengan porsi yang
berbeda-beda. Tentunya tidak berat di satu sisi saja, namun harus terukur dan adil. Konsep peran
ini menyelaraskan fungsi perempuan dalam tatanan masyarakat, bukan untuk mengekang,
merusak keinginan, atau bahkan melarang hak-hak kesetaraan.

Peran perempuan sebagai manusia, itu setara dengan laki-laki di hadapan Allah dan sebagai
makhluk sosial. Jika ia melakukan ibadah mahdhah dan ghoiru mahdhah (ibadah wajib dan yang
dianjurkan), akan mendapatkan keuntungan balasan pahala kebaikan yang sama rata, bahkan jika
mengerjakan dengan niat serta keikhlasan yang lebih baik, ia akan mendapatkan kebaikan yang
jauh lebih banyak dibanding orang lain (termasuk laki-laki). Perempuan pun makhluk sosial
yang juga diperbolehkan belajar, bekerja, pergi beribadah ke tempat ibadah, bahkan tidak
diperbolehkan mengurungnya di rumah.
Islam datang di saat perempuan tidak dihargai martabat dan keberadaanya. Banga Arab terdahulu
sebelum datangnya Islam, terbiasa mengubur bayi perempuan ketika setelah dilahirkan karena
dianggap aib dan mereka menganggap bahwa perempuan itu sangat lemah dan tak bisa
diandalkan. Lebih parahnya, perempuan dewasa pada masa itu hanya dijadikan budak pelayan
atau budak seks. Menjadi ekor bagi suaminya, bahkan bila suaminya atau saudara lelakinya
meninggal, wanita tidak berhak mendapatkan warisan sepeserpun.

Dengan datangnya Islam, keadaan berubah. Kedudukan, harga diri dan martabat perempuan
diangkat. Islam menegaskan peran pentingnya perempuan di hadapan Allah (setara dengan
lelaki), juga tanggungjawabnya dalam menjalani kehidupan hingga sampai ke akhirat. Islam
menempatkan posisi perempuan sebagai manusia yang mulia. Seperti difirmankan oleh Allah,
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang Muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin,
laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang
benar,laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan
perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan
yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan banyak menyebut (nama) Allah,
Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (TQS. Al-Ahzab: 35)

Pada redaksi ayat lain dijelaskan, “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan,
sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh
(mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan salat, menunaikan zakat,
dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (TQS. At-Taubah: 71)

Dalam dua redaksi ayat tadi saja, telah terbukti bahwa laki-laki dan perempuan memiliki
kedudukan yang sama dalam pandangan Allah pada tingkat kemasyarakatan dan tanggungjawab
beragama.

Maka, kembali lagi pada pembicaraan awal tadi. Perempuan memiliki kontribusi aktif secara
menyeluruh dan mendalam ketika melakukan pendidikan dan pengasuhan. Hilangnya karakter
yang berasal dari fitrah murni perempuan, membuat keberhasilan pendidikan menjadi seumur
jagung. Artinya hanya tumbuh, mudah dirabut, mudah tumbang, mudah koyak, bahkan hanya
disebabkan oleh angin.

Hal-hal yang diluar fitrah telah menyebabkan perempuan tidak fokus pada memperbaiki kualitas
dirinya untuk mendukung peran sosialnya. Mereka jadi lebih sibuk dengan memikirkan
bagaimana mendapatkan perhatian yang sama di mayarakat dengan cara menyuarakan hak-hak
kebebasan (berpenampilan, bersuara, bersikap, dan keberadabannya). Seakan tidak puas terhadap
apa yang Allah atur dalam dirinya sebagai bentuk fitrah, pun terhadap apa yang Allah selaraskan
berdasarkan firman-Nya.

Alih-alih melakukan self improvement ke arah yang lebih baik (menurut Allah), mereka lebih
menyenangi melakukan self upgrading berdasarkan pranala yang mereka ambil daripada selain
Allah. Menurutnya, menjadikan Islam sebagai satu-satunya referensi pembentukan karakter,
hanya isapan jari semata. Bahwa agama yang dianutnya hanya berbicara mengenai cara rukuk,
sujud, dan menahan lapar saja.

Hal ini yang menyebabkan rusaknya pola pendidikan yang sekarang hanya terbentuk dari
kebergantungan kehendak pribadi; mau atau tidak mau. Bukan berdasarkan nilai-nilai dan norma
yang tertanam dalam agamanya. Sudah banyak dampak buruk dari bobroknya pola pendidikan
yang dibentuk oleh perempuan egosentris-feminisme. Mereka menanamkan sifat over
independen dalam diri anak-anaknya, melakukan sesuatu dengan hanya melihat sudut pandang
pribadi, sehingga anak tumbuh dalam kebebasan dan kemauan kehendak sendiri. Dan hal ini
memengaruhi cara bersikap, cara berbicara, cara menyampaikan aspirasi, cara berpikir, hingga
cara berpakaian dan menyusun cita-cita. Hal ini sudah termasuk sebagai virus ideologi.
Memunculkan pemahaman dengan tidak mengedepankan nilai-nilai dan norma yang berlaku.
Tentu disini saya tidak bermaksud memojokkan pelakunya, namun pada kenyataannya inilah
yang terjadi di masyarakat, dampak negatif yang berpengaruh terhadap kemajuan atau
kemerosotan generasi.

Dan pada akhirnya, mereka yang enggan mengikuti kaidah yang berlaku, malah bersikap tidak
adil pada generasi yang baru. Karena fungsi dari peran perempuan yang sudah ideal tertulis di
dalam Al-Qur’an akan rusak. Dan ketika rusak, perempuan tidak hanya merusak kepribadiannya,
tapi juga siapa yang bersamanya saat ini (keluarga atau suami) juga anak-anaknya.

Perempuan tidak akan menjadi muslimah yang ideal dan seutuhnya, melainkan menjadi budak
zaman, dimana ia akan terhinakan karena perilakunya sendiri.

Dapat disimpulkan, bangsa yang merdeka adalah bangsa yang terlepas dari belenggu turunnya
martabat manusia baik dalam pandangan Rabb-nya, maupun pandangan individu lainnya.
Sedangkan Islam datang untuk melepas belenggu tersebut, untuk memperbaiki tatanan yang
rusak, untuk mengembalikan manusia pada moral dan adabnya, menjadi berkarakter dan
berakhlak.

Maka jika perempuan mengabaikan hal-hal tersebut, peran perempuan dalam membangun
bangsa yang merdeka telah dinyatakan gagal. Berhasil dalam merampungkan pendidikan tak
bermoral, tak memiliki karakter dan jauh dari kaidah-kaidah keberadaban.

Sudah seharusnya kita take a step back, mengembalikan citra perempuan sebagai muslimah yang
proaktif membangun bangsa yang merdeka, dan hanya dengan Islamlah citra tersebut akan
kembali, akan naik dan berhasil.

Jadi, apa langkahmu, ladies, untuk berperan membangun bangsa menjadi merdeka?

Anda mungkin juga menyukai