Anda di halaman 1dari 21

IDENTIFIKASI PERENCANAAN FISIK,

PERENCANAAN EKONOMI DAN PERENCANAAN SOSIAL

Nimas Ajeng Sitoresmi

Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Universitas Islam Sultan Agung

E-mail: nimasajengss@gmail.com

ABSTRACT

The potential that each region has in the form of natural wealth and human work in the past
is an asset that must be utilized as much as possible for the prosperity of the people in the long term.
The purpose of regional planning is to create an efficient, comfortable and sustainable life. So that
all parties benefit from regional planning. The types of planning on a material basis are divided into
physical planning, economic planning and social planning.

Keywords: Physical Planning, Economic Planning, Social Planning.

ABSTRAK

Potensi yang dimiliki setiap wilayah berupa kekayaan alam maupun hasil karya
manusia di masa lalu merupakan aset yang harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat dalam jangka waktu yang panjang. Tujuan dari perencanaan wilayah
yaitu menciptakan kehidupan yang efisien, nyaman dan lestari. Sehingga semua pihak
mendapatkan manfaat dari perencanaan wilayah. Jenis-jenis perencanaan berdasarkan
materi terbagi menjadi perencanaan fisik, perencanaan ekonomi dan perencanaan sosial.

Kata Kunci: Perencanaan Fisik, Perencanaan Ekonomi, Perencanaan Sosial


1 PENDAHULUAN
Perencanaan merupakan teknik atau cara untuk mencapai tujuan dan sasaran tertentu
yang telah ditetapkan sebelumnya serta telah dirumuskan oleh badan perencana. Menurut
(Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang,
2007) perencanaan wilayah merupakan proses untuk mengetahui dan menganalisis kondisi
saat ini, meramalkan perkembangan berbagai faktor, memperkirakan faktor-faktor
pembatas, menetapkan tujuan dan sasaran yang ingin dicapai, menetapkan langkah-langkah
untukmencapai tujuan serta menetapkan lokasi dan berbagai kegiatan yang akan
dilaksanakan.

Potensi yang dimiliki setiap wilayah berupa kekayaan alam maupun hasil karya manusia
di masa lalu merupakan aset yang harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran
rakyat dalam jangka waktu yang panjang. Tujuan dari perencanaan wilayah yaitu
menciptakan kehidupan yang efisien, nyaman dan lestari. Sehingga semua pihak
mendapatkan manfaat dari perencanaan wilayah. Jenis-jenis perencanaan berdasarkan
materi terbagi menjadi perencanaan fisik, perencanaan sosial dan perencanaan ekonomi.

Setiap wilayah memiliki karakteristik, potensi dan masalah yang berbeda-beda. Hal ini
menjadikan perencanaan suatu wilayah membutuhkan pendekatan yang harus disesuaikan
dengan kebutuhan masing-masing wilayah. Sehingga perencanaan yang ada dapat mencapai
tujuan dan sasaran yang telah ditetapakan. Artikel ini mengambil beberapa studi kasus untuk
menggambarkan perencanaan fisik, perencanaan ekonomi serta perencanaan sosil yang ada
di Indonesia. Studi kasus yang digunakan diantaranya Pengembangan Kawasan Pinggiran
Kota di Kampung Seni Nitiprayan Bantul, Strategi Perencanaan Kawasan Perkotaan Pancur
Pamotan Rembang, Perencanaan Kawasan Pesisir Sebagai Kawasan Cepat Tumbuh di Kota
Medan, Perencanaan Penanganan Kawasan Permukiman Kumuh Kota Malang, Peluang
Pengembangan Smart City Untuk Mewujudkan Kota Tangguh di Kota Semarang,

2 KAJIAN LITERATUR REVIEW


2.1 Perencanaan Fisik
Perencanaan fisik merupakan usaha pengaturan dan penataan kebutuhan fisik untuk
memenuhi kebutuhan hidup manusia dengan berbagai kegiatan fisik. Proses perencanaan
fisik pembangunan harus melaksanakan amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
Amandemen tentang pemilihan umum langsung oleh rakyat. Pengertian kota dan perkotaan
menurut aspek fisik merupakan kawasan terbangun (built up area) yang terletak saling
berdekatan/terkonsentrasi, yang meluas dari pusat hingga ke wilayah pinggiran, atau wilayah
geografis yang didominasi oleh stukturbinaan (man made structure).

Bentuk kota secara keseluruhan mencerminkan posisinya secara geografis dan


karakteristik tempatnya. Menurut (Ir. Iwan Kustiwan, 2014) Kota terdiri dari:

a. Bangunan-bangunan dan kegiatan-kegiatan yang berada di permukaan tanah atau


dekat dengan muka tanah
b. Instalasi-instalasi di bawah permukaan tanah
c. Kegiatan-kegiatan di dalam ruangan kosong di angkasa

Jenis-jenis rencana fisik:

a. Rencana komprehensif
b. Rencana pusat kota
c. Rencana kawasan pinggiran
d. Rencana kota baru

2.2 Perencanaan Ekonomi


Menurut Widjojo Nitisastro perencanaan berkisar pada dua hal. Yang pertama yaitu
penentuan pilihan secara sadar mengenai tujuan kongkrit yang hendak dicapai dalam jangka
waktu tertentu atas dasar nilai-nilai yang dimiliki masyarakat yang bersangkutan. Yang
kedua yaitu pilihan-pilihan diantara cara-cara alternatif yang efisien serta rasional untuk
mencapai tujuan-tujuan tersebut. Menurut Mochamad Hatta tujuan perencanaan yaitu
mengadakan suatu perekonomian nasional yang diatur, yang direncanakan tujuannya dan
jalannya (Pasaribu, 2013). Perencanaan ekonomi mengandung arti pengendalian dan
pengaturan perekonomian dengan sengaja oleh suatu penguasa pusat untuk mrncapai suatu
sasaran dan tujuan tertentu dalam jangka waktu tertentu pula.

Ciri-ciri perencanaan pembangunan yaitu:

a. Usaha yang dicerminkan dalam rencana untuk mencapai perkembangan sosial


ekonomi yang mantap (steady social economic growth). Hal ini dicerminkan
dalam rencana dalam usaha pertumbuhan ekonomi yang positif.
b. Usaha yang dicerminkan dalam rencana untuk meningkatkan pendapatan per
kapita.
c. Usaha untuk mengadakan perubahan struktur ekonomi
d. Usaha perluasan kesempatan kerja
e. Usaha pemerataan pembangunan (distributive justice)
f. Usaha pembinaan lembaga-lembaga ekonomi masyarakat yang lebih menunjang
kegiatan-kegiatan pembangunan
g. Usaha terus-menerus untuk menjaga stabilitas ekonomi

Alasan perlunya perencanaan ekonomi yaitu:

a. Agar penggunaan alokasi sumber-sumber pembangunan yang terbatas bisa lebih


efisien dan efektif. Sehingga dapat dihindari adanya pemborosan-pemborosan
b. Agar perkembangan ekonomi atau pertumbuhan ekonomi menjadi lebih mantap
c. Agar tercapai stabilitas ekonomi dalam menghadapi siklus konjungtur

2.3 Perencanaan Sosial


Menurut Payaman J. Simanjuntak perencanaan sosial merupakan usaha yang sadar
dalam menentukan urutan operasional untuk mencapai perbaikan sosial yang diinginkan.
Perencanaan sosial mengumpulkan fakta tentang permasalahan masyarakat, menganalisis
data dan mengambil keputusan logis mengenai opsi perencanaan mana yang paling efektif
dan yang paling memungkingkan (Dr. Mohd. Yusri & Drs. Syaiful Syafri, 2021)

Proses perencanaan sosial dilakukan oleh instansi teknis. Proses perencanaan di


tingkat pusat dilaksanakan oleh kementerian atau badan. Di tingkat provinsi, kabupaten/kota
dilaksanakan oleh badan atau dinas sesuai tugas pokok dan fungsinya. Hasil dari proses
perencanaan sosial dengan rencana program sesuai alokasi anggaran, selanjutnya diserahkan
ke badan perencanaan sesuai tingkatan untuk mendaptkan pengesahan sebagai kebijakan
anggaran dan program tahun berikutnya. Proses perencanaan sosial yang dibuat oleh
lembaga swasta baik yang bertaraf nasional maupun internasional umumnya anggaran untuk
penanganan masalah-masalah sosial berhubungan dengan satu kesatuan utuh. Hal ini dapat
berbentuk bantuan sosial, rehabilitasi sosial atau pelayanan sosial.

Perencanaan sosial memerlukan beberapa proses yaitu:

a. Identifikasi masalah apakah berhubungan dengan bansos, pekerjaan, pendidikan,


kesehatan, infrastruktur, dan lain-lain
b. Memperhatikan kearifan lokal, budaya masyarakat sehingga masyarakat dapat
menerapkannya
c. Mengajak masyarakat memberi pemikiran terhadap masalah yang dihadapi
d. Memperhatikan potensi yang dimiliki masyarakat (SDM), SDA, Teknologi
berdaya guna
e. Memperhatikan lamanya produksi dari hasil yang dikerjakan dan tingkat
pemasaran
f. Memperhatikan kemungkinan resiko dari apa yang dikerjakan
g. Memperhatikan dukungan dari Peraturan Perundang-undangan yang ada untuk
menghindari masalah hukum

Tujuan dari perencanaan sosial yaitu:

a. Agar hasil perencanaan sosial menjadi tepat guna dan hasil guna dari sebuah
program
b. Agar program bidang sosial dalam pelaksanaannya tidak tumpang tindih
c. Agar harapan yang diharapkan dapat sesuai dengan program jangka panjang,
menengah dan jangka pendek dapat terwujud
d. Agar sumber daya yang dimiliki dapat dimanfaatkan secara optimal
e. Untuk mengetahui terjadinya penurunan terhadap program yang dilaksanakan pada
tahun sebelumnya.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1 Pengembangan Kawasan Pinggiran Kota di Kampung Seni Nitiprayan, Bantul
Ketimpangan pembangunan antara wilayah desa dan kota masih sering terjadi.
Pengembangan wilayah kurang menyentuh dan memperhatikan karakteristik khas dari
daerah rural-urban. Daerah ini berada di pinggiran perkotaan yang terpengaruh oleh
karakter kota baik fisik maupun non fisik. Akan tetapi di sisi lain masih memiliki karakter
desa.

Salah satu wilayah yang termasul ke dalam rural-urban yaitu Kawasan Nitiprayan.
Kawasan ini terletak di pinggiran Kota Yogyakarta. Secara administratif berada di Desa
Ngestiharjo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, DIY. Nitiprayan juga termasuk ke
dalam Kawasan Perkotaan Yogyakarta (KPY). Implikasi melebarnya permasalahan Kota
Yogyakarta ke kampung ini dapat dilihat dari aspek sosial yang cenderung mengarah ke
individualis, kenampakan fisik yang padat permukiman, permasalahan sampah dan
ramainya lalu lintas, dan lain sebagainya.
Sumber: (Brontowiyono & Lupiyanto, 2011)

Gambar 1 Peta Lokasi Kawasan Kampung Nitiprayan

Kecamatan Kasihan berdasarkan karakteristik sumber daya alam dan lokasi geografi
termasuk ke dalam Kawasan Aglomerasi Perkotaan. Kawasan ini pada dasarnya merupakan
kawasan pertanian yang telah berkembang menjadi Kawasan Perkotaan Yogyakarta.
Nitiprayan secara geografis memiliki posisi strategis dan interlinkages dengan lokasi-lokasi
lain. Kampung ini terletak tidak jauh dari beberapa kawasan yang berbasis budaya, misalnya
Kasongan, Kraton Yogyakarta, tempat seniman Butet Kertarajasa, Kyai Kanjeng dan Joko
Pekik. Nitiprayan dekat dengan kawasan pendidikan, seperti SMKI, ISI, dan UMY. Dengan
basis industri juga dekat dengan PT. Madukismo, Sentra kerajinan kulit Manding, dan Sentra
Kerajinan Gerabah Kasongan.

Karakteristik kehidupan masyarakat diwarnai kehidupan khas pedesaan. Hal tersebut


tampak dari ikatan sosial antar warga yang masih kuat. Nilai keramahtamahan, gotong
royong, dan persaudaraan masih teraplikasikan dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya.
Kegiatan ekonomi masyarakat dusun Nitiprayan tergambar dari jumlah penduduk yang
menjalankan profesi/mata pencaharian, dimana terdapat keseimbangan antar jenis profesi,
khususnya sebagai pegawai negeri, karyawan swasta, TNI, wiraswasta, dan pertanian. Selain
menekuni kegiatan mata pencaharian utama, penduduk juga melakukan kegiatan ekonomi
produktif, khususnya kegiatan usaha peternakan. Sarana wisata sebagian besar adalah untuk
minat khusus yaitu seni budaya. Beberapa sarana tersebut berbentuk gallery-gallery seni.
Seperti gallery lukis Putu, gallery Sawong Jabo dan gallery Ong. Untuk wisata budaya,
selain ada beberapa galeri yang cukup besar, juga home industries serta atraksi seni budaya
yang beragam. Terdapat satu toko/showroom kerajinan.
Kondisi sosial budaya dan ekonomi masyarakat Nitiprayan memberikan potensi
sebagai berikut:

a. Kemauan dan kesanggupan yang tinggi dari masyarakat dalam pengembangan


kawasan
b. Sikap dan kegiatan gotong-royong menjadi salah satu sifat dasar masyarakat yang
masih terjaga
c. Adat istiadat dan kearifan lokal masih dijunjung tinggi oleh sebagian besar
masyarakat
d. Telah terbentuk berbagai kelompok komunitas/kegiatan
e. Kawasan Nitiprayan sudah dikenal sebagai “kampoeng seni” oleh masyarakat luas,
bahkan wisatawan mancanegara
f. Banyaknya penduduk usia produktif yang menekuni bidang seni dan budaya
g. Telah berkembangnya sektor riil ekonomi rakyat yang variatif.

Permasalahan sosial budaya dan ekonomi di Nitiprayan antara lain:

a. Berbagai organisasi masyarakat, termasuk kelompok seni dan budaya belum


dimanfaatkan secara optimal oleh anggota masyarakat
b. Manajemen kelembagaan dari kelompok-kelompok yang ada belum tertata
professional
c. Kurangnya pembinaan secara formal pada generasi muda dalam mengembangkan
seni budaya lokal dan meningkatkan kreasi dan inovasi produktivitas ekonomi
d. Sifat masyarakat yang saling menunggu dan membutuhkan komparasi riil dengan
keberhasilan daerah lain
e. Berbagai usaha produktif, baik sektor ekonomi riil maupun seni budaya masih
bersifat individual dan belum terkemas sistematis dalam pengelolaannya
f. Berbagai potensi belum dipromosikan secara efektif dan masih bersifat personal
g. Angka kemiskinan masih relatif tinggi dan tingkat pendidikan rendah juga relatif
besar

Beberapa permasalahan dalam aspek fisik yaitu:

a. Kondisinya mulai terjadi kerusakan, terutama pada Jalan Madumurti yang


merupakan akses masuk menuju kawasan ini dari Jalan Raya Bugisan.
b. Moda angkutan umum ke Nitiprayan mengandalkan bus kota yang hanya melewati
Jalan Bugisan dan Ring Road Selatan.
c. Banyak lahan pertanian atau sawah yang telah beralih fungsi ke non pertanian
terutama untuk pembangunan perumahan.
d. Belum tersedia ruang terbuka untuk dapat digunakan bagi kepentingan publik
setempat, baik untuk rekreasi, bermain anak-anak, atau lainnya.
e. Belum ada karakter permukiman yang mencirikan kekhasan, apalagi secara seni
budaya. Rumah-rumah tradisional tinggal beberapa saja dan kondisinya cenderung
kurang terawat dan berpotensi beralih ke gaya modern.
f. Lingkungan terlihat kumuh dan belum diantisipasi terhadap polusi kendaraan
membuat daya tariknya kurang, sehingga daya jangkau konsumennya rata-rata masih
bersifat lokal.

Arahan dan Strategi Pengembangan Potensi unggulan Kampung Nitiprayan adalah


seni budaya. Arahan umum pengembangan Kawasan Nitiprayan sebagai Kampung Wisata
Terpadu. Pengembangan tersebut dapat dilakukan dengan arahan:

a. Berorientasi pada peningkatan kesejahteraan mayarakat lokal, sehingga


pengembangan sepenuhnya dilakukan dengan basis pemberdayaan (community
based development)
b. Tetap melestarikan karakter desa (rural), baik fisik maupun sosial kultur
c. Mengutamakan partisipasi dan penguatan nilai kearifan lokal dalam seluruh proses
pengembangan.
d. Mengarahkan seluruh potensi lokal untuk mendukung terwujudnya Kampung Wisata
Terpadu, seperti seni budaya, ekonomi rakyat, keramahan lingkungan, panorama
perdesaan, dan kelengkapan infrastruktur.

3.2 Strategi Perencanaan Kawasan Perkotaan Pancur Pamotan, Rembang


Pada tahun 2019, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah menghasilkan produktivitas
pertanian padi sebanyak 44,04 kuintal/hektar (BPS Provinsi Jawa Tengah, 2020) dimana
Kecamatan Pancur dan Kecamatan Pamotan, Kabupaten Rembang merupakan kawasan
agropolitan yang pertumbuhan dan perkembangan kedua kawasan ini mampu mendukung
kegiatan pertanian bagi wilayah di sekitarnya.
Kawasan agropolitan dengan perkembangan ekonomi berbasis pertanian pada
Kecamatan Pancur dan juga Kecamatan Pamotan berhasil mengembangkan industri
pengolahan berbasis pertanian hingga menjadi sektor unggulan dan pengembangan sektor
ekonomi kehutanan. Kawasan agropolitan Kecamatan Pancur dan Kecamatan Pamotan juga
terletak di kawasan perkotaan, status perkotaan kawasan akan menyebabkan munculnya
sektor-sektor perekonomian baru yang berpengaruh pada ekonomi, sosial dan budaya
masyarakat. Kecamatan Pancur dan Kecamatan Pamotan berlokasi di Kabupaten Rembang,
Jawa Tengah dengan luas wilayah total 12,8 Ha yang terbagi atas Kecamatan Pancur 4,6 Ha
dan Kecamatan Pamotan 8,2 Ha serta kedua kecamatan ini memiliki masing-masing 23 desa
di dalamnya.

Sumber: (Wungo, 2020)

Gambar 2 Peta Kecamatan Pancur dan Kecamatan Pamotan, Kabupaten Rembang


Potensi yang dimiliki yaitu:

a. Kawasan Perkotaan berada di sepanjang Jalan Provinsi Lasem-Sale. Hal ini


menyebabkan kawasan perkotaan Pancur dan Pamotan dapat menjadi jalur
distribusi dan dapat ditingkatkan sebagai pusat transit. Kawasan Perkotaan telah
memiliki sarana dan prasarana yang memadai untuk kawasan tersebut.
b. Kecamatan Pancur dan Kecamatan Pamotan didominasi olah kemampuan lahan
morfologi tinggi, kemampuan lahan dari kestabilan lereng tinggi serta kemampuan
lahan dari kestabilan pondasi tinggi. Artinya, dengan didominasi oleh kondisi
tersebut, Desa Pancur dan Desa Pamotan yang merupakan kawasan perkotaan
mampu untuk terus dikembangkan sebagai permukiman, pertanian, perdagangan
dan jasa serta aktivitas manusia lainnya.
c. Statusnya sebagai ibukota kecamatan yang berada di Desa Pancur dan Desa
Pamotan menjadi potensi bagi arus roda perekonomian bagi kecamatan.
d. Meskipun memiliki jumlah penduduk yang tinggi di Kecamatan Pamotan, Desa
Pamotan tergolong dalam kepadatan penduduk yang sedang dikarenakan luas
wilayah yang mampu mewadahi penduduk sehingga tidak terjadi pengalih
fungsian lahan
e. Terdapat Kampung Cikalan Unik (CIU) sebagai destinasi wisata yang jika
dikembangkan berpotensi untuk menambah pendapatan daerah.
f. Terdapat pasar sapi di Kecamatan Pamotan yang berdasarkan Perda No 11 Tahun
2014 Kecamatan Pamotan menjadi simpul pusat pelayanan bagi kecamatan-
kecamatan sekitarnya.
g. Terdapat jalan kolektor yang menghubungkan kawasan perkotaan Pancur dengan
jalan arteri Kabupaten Rembang (jalur Pantura), yang dapat memberikan pengaruh
perkembangan ekonomi internal wilayah perkotaan di Kecamatan Pancur.
h. Terdapatnya pusat perdagangan agrikultur atau hasil pertanian pada kawasan
perkotaan.
i. Fasilitas umum dan fasilitas sosial yang tersedia di perkotaan yaitu Desa Pamotan
dan Desa Pancur cukup lengkap

Masalah yang ada yaitu:

a. Belum terdapat pembahasan lanjut mengenai reaktivasi stasiun pamotan yang


sempat berhenti beroperasi oleh pemerintah yang menjadi peluang moda
transportasi alternatif bagi masyarakat lokal dan wisatawan
b. Sebagai kawasan perkotaan kondisi hidrogeologi Desa Pancur dan Desa Pamotan
didominasi oleh hidrogeolgi sangat rendah serta didominasi oleh kemampuan
lahan dari ketersediaan air bersih sangat kurang sehingga pemenuhan untuk air
bersih di Desa Pancur dan Desa Pamotan sangat minim terutama saat musim
kemarau sehingga berpengaruh juga pada pemenuhan air bersih di desa-desa
disekitarnya.
c. Distribusi penduduk antara Kecamatan Pancur dan Kecamatan Pamotan terpusat
di Desa Pamotan yang mempengaruhi tata guna lahan di Desa Pamotan karena
semakin banyaknya jumlah penduduk maka lahan terbangun juga semakin
meningkat dan akan berdampak pada pengalihfungsian lahan.
d. Tingkat lulusan pendidikan pada jenjang SD mempengaruhi mata pencaharian
penduduk di Desa Pancur dan Desa Pamotan karena minimnya keterampilan.
e. Angka KK miskin dan hampir miskin tinggi yaitu 60% dan 33% sedangkan hanya
7% yang termasuk KK sejahtera
f. Peran kota dalam interaksi desa - kota masih sebatas penyedia layanan, belum ada
peran untuk meningkatkan produksi melalui teknologi atau inovasi.

Strategi perencanaan:

a. Penyiapan regulasi terkait pengembangan potensi pariwisata dan regulasi terkait


penggunaan lahan pertanian dan non pertanian
b. Perwujudan penataan ruang di perkotaan dengan upaya mempertegas fungsi
kawasan lindung dan budidaya
c. Pengembangan kuantitas dan kualitas infrastruktur dan fasilitas umum guna
memenuhi kebutuhan perkembangan penduduk dan aktivitasnya (jaringan jalan,
persampahan, telekomunikasi, kesehatan, pendidikan dan prasarana pendukung
pariwisata lainnya)
d. Perwujudan kawasan strategis pariwisata yang bersifat komersil dengan
mengalokasikan kawasan dengan dominasi aktivitas tertentu seperti; kawasan
perdagangan dan jasa, kawasan industri dan pengolahan, intensifikasi dan
ekstensifikasi kawasan sepadan sungai dan cagar budaya

3.3 Perencanaan Kawasan Pesisir Sebagai Kawasan Cepat Tumbuh di Kota Medan
Sektor kelautan dan perikanan berkontribusi bagi ekonomi rakyat di wilayah pesisir.
Salah satu wilayah pesisir yang berpotensi dan berkembang yaitu Kawasan Pesisir Kota
Medan. Kawasan pesisir ini terletak di bagian Utara Kota Medan meliputi Kecamatan Medan
Belawan, Kecamatan Medan Labuhan dan Kecamatan Medan Marelan.

Kawasan pesisir ini menjadi bagian dari perkembangan di Kota Medan. Hal ini
ditandai dengan ramanya kegiatan di sepanjang wilayah dengan perkumiman yang semakin
padat, menjadi destinasi pantai hingga kawasan sektor industri. Perkembangan dan
peningkatan kegiatan pembangunan sosial maupun ekonomi di kawasan pesisir ini
menjadikan nilai bagi wilayah pesisir Kota Medan.

Sumberdaya perikanan menjadi salah satu potensi yang sangat penting bagi kehidupan
masyarakat sehingga dijadikan sebagai penggerak utama (prime mover) perekonomian
nasional saat ini. Industri sektor perikanan memiliki keterkaitan (backward dan forward
linkage) yang kuat dengan industri-industri lainnya. Industri perikanan berbasis sumber daya
lokal atau dikenal dengan istilah resources-based industries. Beragam upaya dilakukan
untuk mengelola sumberdaya perikanan yang ditransformasikan dalam tindakan dan
kegiatan ekonomi melalui revolusi biru. Revolusi biru adalah perubahan mendasar cara
berpikir dari daratan ke maritim dengan konsep pembangunan berkelanjutan untuk
peningkatan produksi kelautan dan perikanan melalui program minapolitan yang intensif,
efisien, dan terintegrasi guna peningkatan pendapatan rakyat yang adil, merata dan pantas.

Sumber: (Putra, 2016)

Gambar 3 Peta Kawasan Pesisir Utara Kota Medan

Potensi yang dimiliki yaitu:


a. Potensi perikanan tangkap Kota Medan terdiri atas garis pantai Kota Medan
sepanjang 4 km2, luas laut 6,4 km2 dan potensi lahan perikanan tangkap seluas
276,030 km2 untuk perikanan laut dan perairan umum seluas 10 km2.
b. Potensi lahan pengembangan perikanan budidaya di Kota Medan untuk budidaya
di tambak seluas 11 km2, kolam seluas 4,3 km2, keramba seluas 5 km2, jaring
apung 3,23 km2, danau 0,5 km2, dan sungai 5 km2.
c. Ekosistem hutan mangrove merupakan salah satu modal dasar pembangunan di
wilayah pesisir. Hutan mangrove berguna untuk menanggulangi abrasi pantai,
mengembalikan habitat biota laut atau muara serta meminimalisir terjadinya
bencana akibat gelombang tsunami.
d. Wilayah pesisir dan lautan Utara Kota Medan memiliki berbagai jasa-jasa
lingkungan (environmental service), dimana jasa-jasa ini meliputi kawasan pesisir
dan lautan sebagai tempat rekreasi dan pariwisata, media transportasi dan
komunikasi, sarana pendidikan dan penelitian, pertahanan keamanan, kawasan
perlindungan dan sistem penunjang kehidupan serta fungsi ekologi lainnya.

Permasalahan yang ada:

a. Kota Medan merupakan kota metropolitan dengan laju pertumbuhan ekonomi


yang dicapai relatif tinggi.
b. Kawasan inti kota penuh dengan pembangunan sedangkan kawasan utara Kota
Medan mengalami ketertinggalan dan bahkan menjadi kantong-kantong
kemiskinan.
c. Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) masyarakat di kawasan pesisir Kota
Medan yang disebabkan rendahnya taraf pendidikan masyarakatnya.
d. Tingkat kesehatan masyarakat buruk karena budaya membuang sampah dan
limbah sembarangan.
e. Eksploitasi secara besar-besaran yang terjadi selama pembangunan di masa lalu
telah menyebabkan daya dukung ekologis wilayah pesisir terlampaui, sehingga
dampak negatif dari eksploitasi sumberdaya berpengaruh langsung kepada
masyarakat.
f. Masyarakat pesisir juga banyak melakukan konversi penggunaan hutan
mangrove untuk berbagai kepentingan seperti perkebunan, tambak, pemukiman,
kawasan industri, dan wisata tanpa mempertimbangkan kelestarian dan
fungsinya terhadap lingkungan sekitar.

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten/Kota merupakan alat pengaturan,


pengendalian, dan pengarahan pemanfaatan ruang di wilayah kabupaten/kota. Perencanaan
yang dilakukan yaitu:

a. Pengembangan Pelabuhan Belawan sebagai pelabuhan internasional


b. Pengembangan pelabuhan penumpang, pelabuhan laut peti kemas internasional,
pergudangan dan ekspedisi, Export Processing Zone (EPZ) dan pusat permukiman
c. Pusat pelayanan kawasan industri, perlindungan kawasan, water front city, dan
theme park
d. Pelabuhan perikanan Samudera Gabion
e. Penyediaan Sarana dan Prasarana Usaha Perikanan Tangkap, budidaya
f. Pemulihan Degradasi Lingkungan Hidup/Perairan Strategi
g. Peningkatan Peran Serta Masyarakat dalam Perlindungan dan Konservasi
Perikanan dan Kelautan
h. Rehabilitasi Hutan dan Lahan Mangrove
i. Menciptakan Kawasan Pantai Yang Bebas Dari Limbah Padat (Sampah) Baik
Organik maupun NonOrganik
j. Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup
k. Koordinasi Pengelolaan Konservasi SDA
l. Peningkatan Taraf Pendidikan dan Kesehatan Masyarakat
m. Peningkatan peran serta masyarakat dalam pemeliharaan lingkungan dan
permukiman

3.4 Perencanaan Penanganan Kawasan Permukiman Kumuh Kota Malang


Kota Malang sebagai salah satu kota di Indonesia yang memiliki pertumbuhan dan
perkembangan kota yang sangat cepat baik dalam pertumbuhan fisik maupun ekonomi. Hal
tersebut menjadi daya tarik bagi para pendatang sebagai kaum urban untuk mengadu nasib
dalam mencari nafkah di Kota Malang yang menyebabkan semakin padatnya jumlah
penduduk. Kedatangan para pengadu nasib tidak diimbangi dengan pengetahuan dan
pendidikan yang memadai, sehingga timbul kelompok masyarakat kurang mampu
berpenghasilan rendah. Keadaan tersebut diperburuk dengan terbatasnya lahan sebagai
wadah kegiatan hidup dan tempat tinggal, yang mengakibatkan tingginya harga tanah dan
rumah di Kota Malang. Hal ini menimbulkan daerah-daerah dapat diidentifikasikan sebagai
suatu daerah yang padat penduduk, dengan tingkat ekonomi yang rendah sehingga tidak
memenuhi persyaratan standar hidup layak huni dan sehat, misalnya tersedianya layanan air
bersih dan sanitasi, yang merupakan ciri dari kekumuhan.

Sebagai upaya Pemerintah Kota Malang untuk menangani kawasan permukiman


kumuh yang ada, Pemerintah Kota Malang telah menetapkan Peraturan Daerah Nomor 12
Tahun 2014 tentang Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Kawasan
Permukiman (RP3KP) Kota Malang. Di dalam Bagian Kedua RP3KP tentang Misi
Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Kawasan Permukiman, pada pasal 12 (c)
menyatakan komitmen Pemerintah Kota Malang yaitu: Mewujudkan peningkatan kualitas
permukiman kumuh dan di Kota Malang. Menindaklanjuti Peraturan Daerah tersebut,
Pemerintah Kota Malang menetapkan luasan kawasan kumuh melalui Keputusan Walikota
Malang Nomor 188.45/ 86 /35.73.112/2015 tentang Penetapan Lingkungan Perumahan dan
Permukiman Kumuh. Luasan kawasan kumuh di Kota Malang adalah seluas 608,60 Ha yang
meliputi 29 Kelurahan pada 5 Kecamatan di Kota Malang.

Karakteristik kawasan permukiman kumuh berdasarkan hasil identifikasi yang


dilakukan, terbagi ke dalam 11 klasifikasi kawasan permukiman kumuh. Klasifikasi ini
muncul karena adanya persamaan dan perbedaan dari hasil penilaian kondisi kekumuhan
serta status lahan dan kepadatan penduduk pada masing-masing lokasi kawasan permukiman
kumuh. Penentuan kawasan permukiman kumuh prioritas disusun berdasarkan hasil
klasifikasi kawasan permukiman kumuh, dengan pertimbangan utama kondisi kekumuhan
kawasan, pertimbangan status lahan dan kepadatan penduduk. Hasil dari penentuan kawasan
prioritas pada lokasi penelitian diperoleh 5 kawasan prioritas (Wijaya, 2016).

Strategi perencanaan untuk peningkatan kualitas infrastruktur pada kawasan


permukiman kumuh adalah sebagai berikut:

a. Menyusun rencana peningkatan kualitas infrastruktur pada kawasan permukiman


kumuh secara komprehensif; yang di dalamnya mencakup rencana program,
kegiatan, tahapan pelaksanaan, hingga sumber pendanaan; yang disusun secara
konsisten sampai tingkat Renstra SKPD terkait.
b. Meningkatkan koordinasi dan sinkronisasi program dan kegiatan untuk
peningkatan kualitas infrastruktur kawasan permukiman kumuh, baik dengan
pemerintah pusat, pemerintah provinsi serta dengan masyarakat (BKM).
c. Melibatkan masyarakat dalam proses penyusunan rencana peningkatan kualitas
infrastruktur pada kawasan permukiman kumuh.
d. Meningkatkan koordinasi dan sinergi dengan instansi terkait dalam pemanfaatan
ruang wilayah kota pada kawasan sempadan dan bantaran.
e. Meningkatkan sosialisasi dalam upaya peningkatan pemahaman dan kesadaran
bagi masyarakat pada kawasan permukiman kumuh tentang pemanfaatan ruang
wilayah dan pola-pola penanganan dan peningkatan kualitas infrastruktur kawasan
permukiman kumuh.
f. Mengupayakan peluang kerjasama dengan serta sektor privat/ swasta melalui
program CSR untuk peningkatan kualitas infrastruktur permukiman kumuh.

3.5 Peluang Pengembangan Smart City Untuk Mewujudkan Kota Tangguh di Kota
Semarang
Perubahan iklim menjadi permasalahan lingkungan yang menyita perhatian dunia.
Fenomena ekologi global ini berdampak signifikan terhadap keseimbangan sumber daya air
terutama pada siklus hidrologi. Peningkatan suhu rata-rata mempengaruhi besarnya air yang
terevaporasi ke atmosfir. Akan tetapi, proses dan besarnya evaporasi ini tidak sama antara
satu daerah dengan daerah lainnya. Akibatnya, sebagian daerah akan mengalami surplus air
sedangkan di waktu yang sama daerah lain mengalami kondisi sebaliknya. Khusus
Indonesia, pertumbuhan penduduk akan terus meningkat sebesar 48%–56% dan
terkonsentrasi di kota-kota Pulau Jawa khususnya di Pantai Utara Jawa (World Bank, 2009).
Tidak terkecuali penduduk metropolitan Semarang (Kedungsepur) yang diperkirakan akan
mencapai kurang lebih 7,135 juta jiwa pada tahun 2030, dimana 36% dari akumulasi jumlah
tersebut akan tinggal di Kota Semarang (Kementerian Pekerjaan Umum, 2012).

Fenomena ini menjadikan pengingat bagi para perencana kota untuk mengembangkan
model kota tangguh (resilience city). Salah satu persoalan yang perlu diakomodasi dalam
pengambilan keputusan perencanaan dan pembangunan kota adalah permasalahan kota yang
terjadi secara real time seperti banjir. Tidak menentunya cuaca telah berpengaruh pada tidak
teraturnya siklus hidrologi dan curah hujan (Eregno dkk., 2013). Kondisi ini perlu
diantisipasi terutama untuk kota-kota rawan banjir melalui pengakomodasian kondisi real
time dalam pengambilan keputusan perencanaan dan pembangunan kota.

Kota Semarang menjadi salah satu lokasi proyek peningkatan ketahanan kota dalam
program ACCCRN (Asian Cities Climate Change Resilience Network), didukung oleh
Rockeffeller Foundation dan MercyCorps Indonesia yang dimulai dari tahun 2009. Program
ini mendorong kebijakan nasional maupun lokal untuk meningkatkan ketahanan kota
terhadap perubahan iklim. Proyek ini memprioritaskan 3 hasil (outcomes) yaitu:

a. Meningkatnya kemampuan kelembagaan (capacity building) melalui peningkatan


kapasitas untuk merencanakan, mengatur pembiayaan, dan meningkatkan
koordinasi dalam peningkatan ketahanan kota bersama ACCCRN.
b. Membangun jaringan untuk meningkatkan pengetahuan dan pembelajaran melalui
saling berbagi pengetahuan praktis terutama pada kualitas kesadaran terhadap
bahaya, keterlibatan stakeholder
c. Ekspansi dan perluasan program, diharapkan program ini bukan hanya dapat
diterapkan di 10 kota target pertama tetapi juga dapat diterapkan untuk daerah lain
melalui pembelajaran bersama.

Permasalahan di Kota Semarang yang cukup mendapatkan perhatian adalah rob dan
banjir. Pesisir Kota Semarang menjadi salah satu yang paling terdampak akibat perubahan
iklim berupa semakin luasnya genangan rob, penurunan tanah dan erosi. Masyarakat
setempat ‘terpaksa’ harus bertahan dan menerima kondisi lingkungan yang terus memburuk.
Dengan kemampuan terbatas, mereka harus hidup ’harmonis’ dengan kondisi lingkungan,
melalui peninggian bangunan, meninggikan lantai rumah dan menutup saluran air di saat air
pasang. Persoalan ini menjadi salah satu perhatian Kota Semarang untuk mewujudkan kota
tangguh (resilience city) terutama dalam merespon perubahan iklim global. Selain rob, Kota
Semarang juga menjadi daerah rawan banjir. Hujan kurang dari 1 jam sudah berpotensi
banjir. Banyak upaya telah dilakukan pemerintah kota yaitu dari penguatan kelembagaan
hingga pembangunan infrastruktur drainase, namun belum sepenuhnya berhasil karena
seluruh program penanggulangan banjir masih dalam proses pelaksanaan (Sariffuddin,
2015).

Proyek penyusunan sistem peringatan dini ini menjadi salah satu bagian yang
mendukung program penguatan kelembagaan penanggulangan banjir Kota Semarang.
Sistem peringatan dini banjir ini bukan hanya berorientasi sistem yang bersifat mekanistis
tetapi juga pelibatan masyarakat aktif untuk mengenali karakteristik banjir di 7 kelurahan
yaitu Kelurahan Bringin, Wonosari, Tambak aji, Wates, Gondoriyo, Mangunharjo dan
Terboyo Wetan. Ketujuh kelurahan ini merupakan bagian dari sub drainase Mangkang yang
dialiri oleh Sungai Bringin.

Ada 2 tipologi karakteristik banjir yaitu (1) banjir bandang dan (2) genangan lokal
akibat banjir dan rob. Pola pengelolaan dan mekanisme penyelamatan juga berbeda antara
masyarakat di pesisir pantai dengan masyarakat yang tinggal di perbukitan. Jalur evakuasi
untuk masyarakat perbukitan sangat dibutuhkan sedangkan masyarakat pesisir tidak
membutuhkannya karena masyarakat pesisir lebih cenderung memanfaatkan kapal-kapal
mereka sebagai tempat berlindung (flood shelter). Genangan banjir lebih banyak terjadi di
wilayah pesisir dan menggenang lebih lama dibandingkan daerah perbukitan. Tingkat
ancaman banjir juga berbeda di dua karakter wilayah ini. Banjir di daerah perbukitan
(Kelurahan Wates, Gondoriyo, Tambakaji, Wonosari, dan Bringin), pada kedalaman 1meter
sudah menghancurkan rumah dan berbahaya bagi keselamatan. Berbeda dengan banjir yang
menggenang di kelurahan Mangunharjo dan Mangkang Wetan, banjir di dua kelurahan ini
bersifat menggenang, kedalaman bisa mencapai 2 meter.

Pembuatan sistem peringatan dini banjir melibatkan pemerintah, masyarakat, NGO


dan perguruan tinggi.

a. Dinas pemerintah yang terlibat langsung adalah BPBD, BLH, PSDA, BMKG, dan
Bappeda Kota Semarang.
b. Koordinasi substansi proyek berada di bawah tim kota (city team) yang dibentuk dari
unsur pemerintah, NGO, dan perguruan tinggi. Perguruan tinggi bertindak sebagai
peneliti dan membuat model dan instrumen sistem peringatan dini. SKPD bertindak
sebagai pelaksana kegiatan dan pemberi informasi dan data terkait. Adapun LSM
bertindak sebagai fasilitator penghubung antara masyarakat dengan tim kota.
c. Proses community development dilakukan oleh LSM guna mengetahui karakteristik
masyarakat dan upaya yang telah dilakukan oleh mereka.

Sistem peringatan dini ini meliputi pencatatan curah hujan dan pencatatan ketinggian
muka air sungai yang kemudian ditransmisi menjadi kode sinyal oleh sensor yang terpasang.
Sinyal ini ditransmisi ke server yang berada di PSDA (sebagai penanggung jawab alat) dan
ke BPBD (sebagai penanggung jawab kebencanaan). Level kesiagaan bencana diputuskan
oleh BPBD kemudian ditransmisi ke kecamatan, kelurahan dan KSB (kelompok sadar
bencana).

4 KESIMPULAN
Jenis-jenis perencanaan berdasarkan materi terbagi menjadi perencanaan berdasarkan
materi terbagi menjadi perencanaan fisik, perencanaan sosial dan perencanaan ekonomi.
Potensi yang dimiliki setiap wilayah berupa kekayaan alam maupun hasil karya manusia di
masa lalu merupakan aset yang harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran
rakyat dalam jangka waktu yang panjang. Setiap wilayah memiliki karakteristik, potensi dan
masalah yang berbeda-beda. Hal ini menjadikan perencanaan suatu wilayah membutuhkan
pendekatan yang harus disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing wilayah.

Potensi unggulan Kampung Nitiprayan adalah seni budaya sehingga Pengembangan


Kawasan Pinggiran Kota di Kampung Seni Nitiprayan, Bantul sebagai Kampung Wisata
Terpadu. Isu utama dari kawasan perkotaan ialah pengembangan potensi pariwisata yang
ada. Sektor pertanian yang terbentur dengan kondisi fisik alam dan kondisi sektor tersebut
yang mengalami kemunduran menyebabkan perlu adanya sektor alternatif. Strategi
Perencanaan Kawasan Perkotaan Pancur Pamotan, Rembang adalah pengembangan sektor
pariwisata beserta prasarana penunjangnya diharapkan dapat menjadi alternatif dari sektor
pertanian yang mengalami kemunduran dan tidak berdaya saing. Ditetapkannya Kota Medan
sebagai kawasan cepat tumbuh ekonomi diharapkan akan berdampak terhadap percepatan
pembangunan kawasan Utara Kota Medan dan untuk kemakmuran serta kesejahteraan
masyarakat khususnya para nelayan. Pengembangan kawasan pesisir dilaksanakan melalui
perencanaan yang dilakukan secara bertahap dan diharapkan mampu memaksimalkan tujuan
perkembangan perekonomian dan tingkat kesejahteraan pihak yang terlibat dalam
perencanaan kawasan pesisir. Perencanaan Penanganan Kawasan Permukiman Kumuh Kota
Malang difokuskan dengan peningkatan infrastruktur untuk mengatasi masalah permukiman
kumuh di wilayahnya serta melibatkan masyarakat dalam perencanaannya. Di dalam upaya
manajemen perkotaan, perencana kota dihadapkan pada kondisi jangka panjang dan jangka
pendek yang perlu mendapatkan penanganan berdasarkan informasi real time di lapangan.
Untuk mewujudkan kota tangguh bukan hanya model equilibrium tetapi juga perlu adanya
dukungan model non-equilibrium sebagai upaya adaptasi kota. Konsep SmartCity memiliki
kemampuan untuk memberikan informasi akurat, riil dan cepat sebagai dasar pengambilan
kebijakan penanganan kota. Merujuk pada tujuan pembangunan kota yaitu meningkatkan
kualitas hidup masyarakat, maka perlu peningkatan modal intelektual (intelectual capital)
yang hanya tercapai melalui pemberdayaan masyarakat.

Kegiatan perencanaan hendaknya juga berupaya mengembangkan masyarakat menjadi


lebih baik dan lebih sejahtera. Proses perubahan sosial akan lebih efektif jika didorong oleh
faktor dari dalam yang sering disebut sebagai immanent change, dimana perubahan
dikarenakan oleh ditemukannya berbagai inovasi baru dalam masyarakat. Sehingga
perencanaan dapat mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapakan yaitu menciptakan
kehidupan yang efisien, nyaman dan lestari dan memberi manfaat bagi pihak yang terlibat.

5 DAFTAR PUSTAKA
Brontowiyono, W., & Lupiyanto, R. (2011). Pengembangan Kawasan Pinggiran Kota dan
Permasalahan Lingkungan di Kampung Seni Nitiprayan, Bantul. Jurnal Sains
&Teknologi Lingkungan, 3(1), 31–51.

Dr. Mohd. Yusri, M. S., & Drs. Syaiful Syafri, M. (2021). Kebijakan dan Perencanaan Sosial
di Indonesia. In Kumpulan Berkas Kepangkatan Dosen.

Ir. Iwan Kustiwan, M. T. (2014). Pengertian Dasar dan Karakteristik Kota, Perkotaan, dan
Perencanaan Kota. In Modul Perencanaan Kota.

Pasaribu, R. B. F. (2013). Perencanaan Pembangunan Ekonomi.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang,


(2007).

Putra, K. E. (2016). Perencanaan Kawasan Pesisir Sebagai Kawasan Cepat Tumbuh di Kota
Medan. Jurnal ArchiGreen, 3(5), 54–60.

Sariffuddin, S. (2015). Peluang Pengembangan Smart City Untuk Mewujudkan Kota


Tangguh di Kota Semarang. Teknik, 36(1), 32–38.

Wijaya, D. W. (2016). Perencanaan Penanganan Kawasan Permukiman Kumuh (Studi


Penentuan Kawasan Prioritas untuk Peningkatan Kualitas Infrastruktur pada Kawasan
Pemukiman Kumuh di Kota Malang). Jurnal Ilmiah Administrasi Publik, 2(1), 1–10.

Wungo, G. L. (2020). Studi Kasus: Strategi Perencanaan Kawasan Perkotaan Pancur-


Pamotan. Ruang, 6(2), 57–66.

Anda mungkin juga menyukai