Anda di halaman 1dari 12

ENDOMETRIOSIS

Andrew Wijaya
2006513791
Tahap 3B

Pembimbing:
Prof. Dr. dr. TZ Jacoeb, SpOG, Subsp. F. E. R

DEPARTEMEN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
RSUPN DOKTER CIPTO MANGUNKUSUMO
Juli 2023
ILUSTRASI KASUS

Nama Pasien : Ny. AK


Usia : 27 tahun
No MR. : 4513116
Paritas : P0A0

Anamnesis:
Nyeri haid VAS 5-6 yang memberat sejak 6 bulan SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien mengaku nyeri setiap haid sejak 5 tahun SMRS, namun memberat sejak sejak 6 bulan

SMRS. Pada awalnya nyeri dikatakan VAS 3-4 dan tidak membutuhkan obat anti nyeri

namun saat ini nyeri haid memburuk menjadi VAS 5-6 dan membutuhkan anti nyeri berupa

Paracetamol 1000 mg. Nyeri di luar siklus haid disangkal. Nyeri ketika BAK dan BAB

disangkal. Nyeri ketika berhubungan (penetrasi) disangkal. Penurunan berat badan

disangkal. Pasien juga merasa ada benjolan di perut bagian bawah sejak 1 tahun lalu. Nafsu

makan biasa. Perdarahan negative. Keputihan negative.

Menstrual diary (regular):


21 – 28 Juni 2023, GP 3-4x/h, nyeri haid VAS 5-6
17 – 25 Mei 2023, GP 3-4x/h, nyeri haid VAS 5-6
27 April – 2 Mei 2023, GP 3-4x/h, nyeri haid VAS 5-6

Riwayat Penyakit Dahulu

Diabetes, hipertensi, keganasan, autoimun disangkal

Riwayat Pengobatan: tidak ada, Riwayat operasi: tidak ada

Riwayat menstruasi: Menarche 12 tahun, siklus teratur, durasi 6-8 hari, GP 3-4x/hari, nyeri

haid (+) VAS 4-5 (terutama awal haid)

Riwayat Menikah: 1x. 2020- sekarang (rutin berhubungan 1-2x/minggu, tanpa kontrasepsi,

belum pernah program hamil)

Riwayat Obstetri: P0A0


Riwayat kontrasepsi: tidak ada

Riwayat sosioekonomi : karyawan swasta (SMK)/ suami: ojek online (SMK)

Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum baik, compos mentis
TB 158 cm, BB 47 kg IMT 18 kg/m2
Tensi 100/60 mmHg, Nadi 80x/menit, Respirasi 20x/menit, Suhu 36oC

Status Generalis
Mata: konjungtiva pucat (-), sklera ikterik (-)
Jantung: BJ I-II normal, murmur/gallop (-/-)

Paru: vesikuler, ronki/wheezing (-/-)

Abdomen: supel, nyeri tekan negatif teraba massa kistik sepusat, mobilitas terbatas, shifting
dullness negatif, BU positif

Ekstremitas: akral hangat, edema tungkai (-)

Status Ginekologi
Inspeksi: vulva dan uretra tenang, perdarahan aktif negatif
Inspekulo: porsio licin, ostium tertutup, fluor ada, fluxus negatif
RVT: Uterus arah antefleksi, bentuk dan ukuran normal, teraba massa kistik di kedua
adneksa hingga sepusat meluas hingga Cavum Douglassi, terfiksir, nyeri goyang negative,
nodul rektovagina negative, TSA baik, ampula tidak kolaps, tidak teraba massa intralumen

USG Ginekologi (23/3/23)


Trans abdominal dan transvaginal
Uterus bentuk dan ukuran normal, arah antefleksi
Uterus ukuran 48 x 27 x 33 mm, vol 23 cm3.
Miomatrium homogen.
Tebal endometrium 4.6 mm. Homogen. tidak tampak triple line. Tidak tampak massa atau
perlekatan intrakavum. Stratum basalis reguler.
Endoserviks dan portio normal.
Ovarium kanan bertransformasi menjadi massa kistik unilokuler 118 x 131x 137 mm, vol
1132 cm3, tidak terdapat bagian padat, pertumbuhan papil, peningkatan vaskular maupun
cairan bebas, sesuai dengan kista endometriosis kanan
Ovarium kiri bertransformasi menjadi massa kistik 43 x 45 x 50 mm, vol 51 cm3. Tidak
terdapat bagian padat, pertumbuhan papil, peningkatan vaskular maupun cairan bebas, sesuai
dengan kista endometriosis kiri
Kedua ginjal bentuk dan ukuran normal, tidak terdapat pelebaran sistem pelviokaliks.
Sliding sign negatif. Tidak tampak cairan bebas
Kesimpulan: kista endometriosis bilateral

Diagnosis
P0A0, dismenorea sekunder (VAS 5-6) ec kista endometriosis bilateral
Perlekatan genitalia interna
Infertilitas primer 3 tahun

Planning
Rencana diagnostik:

Workup fertilitas: Cek HSG, AMH, analisa sperma


Cek Quadruple test: Ca 125, HS CRP, Estradiol

Rencana tatalaksana:
Pertimbangkan tindakan operatif laparoskopi aspirasi kista hingga kistektomi dan
kromotubasi
TINJAUAN PUSTAKA

Pendahuluan
Sejak diidentifikasi sejak 300 tahun lalu, endometriosis didefinisikan sebagai jaringan
kelenjar endometrium dan stroma di lokasi ektopik, terutama di peritoneum pelvis, ovarium
dan septum rectovaginal.1 Penderita endometriosis mencapai 6-10% populasi wanita usia
reproduktif, dengan gejala klinis yaitu nyeri, infertilitas, atau keduanya mencapai 35-50%. 2
Penegakan diagnosis endometriosis tidak mudah, membutuhkan tenaga medis yang ahli
serta alat diagnostic yang mumpuni, sehingga sering kali terlambat didiagnosis dan delayed
treatment. Waktu latensi untuk diagnosis definitive mencapai 6.7 tahun.Pada penelitian
yang dilakukan oleh Amerian Society of Reproductive Medicine (ASRM), 77.2% wanita
dengan endometriosis mengeluhkan gejala simptomatis, antara lain nyeri panggul (71.1%),
dismenorea (69%) dan dyspareunia (45.2%). Prevalensi depresi juga dikaitkan dengan
keluhan diskezia (OR 7.7, p= 0.01) dan nyeri panggul kronis (OR 3.8. p=0.04).3 Pasien
dengan keluhan simptomatis dapat berdampak dengan kualitas hidup yang menurun dengan
tingkat stress yang tinggi, somatisasi dan kelelahan setiap harinya.

Kemampuan untuk bereproduksi adalah salah satu hak fundamental setiap manusia.
Masalah endometriosis yang tidak kalah penting adalah masalah infertilitas. Infertilitas
didefinisikan World Health Organization (WHO) sebagai kegagalan untuk hamil setelah 12
bulan setelah berhubungan rutin tanpa pengaman.4 Endometriosis sebagai salah satu
penyebab meningkatnya angka infertilitas disebabkan respons inflamasi lokal dan sistemik,
menurunkan cadangan ovarium, menurunkan kualitas oosit, mengganggu implantasi dan
perkembangan embrio.5

Patofisiologi
Penyebab endometriosis disebabkan oleh multifaktorial, yang melibatkan genetic
sistem imun, ketidakseimbangan apoptosis dan proliferasi sel dan sinyal endokrin. Beberapa
teori telah dikemukaan sebagai dasar penyebab endometriosis, namun kesimpulan yang
menyimpulkan seluruh teori menjadi suatu patofisiologi yang pasti masih belum ditemukan.

Pada teori yang dikemukakan Sampsons di tahun 1920 mengemukakan teori


retrograde menstruation, dimana endometrium eutopik keluar via tuba Falopii yang paten ke
rongga peritoneum ketika menstruasi. Teori ini ditopang dengan fakta ditemukan darah
menstruasi di rongga peritoneum pada 90% populasi wanita yang sedang menstruasi pada
penemuan laparoskopi.6 Teori ini juga didukung oleh temuan klinis dimana wanita dengan
obstruksi outflow memiliki prevalensi endometriosis yang tinggi. Gangguan pada menstruasi
antegrade dengan gangguan (septum uterine, septum vagina atau stenosis servikal) dapat
meningkatkan risiko untuk endometriosis.7 Jika dilihat dari pola distribusi lesi
endometriosiss, mayoritas terjadi pada kompartemen posterior pelvis dan hemipelvis kiri. 8
Letak kolon sigmoid yang lebih tinggi menyebabkan cairan menstruasi yang masuk ke tuba
Falopii kiri sulit kembali ke kavum uteri, sehingga cairan akan keluar ke rongga peritoneum
dan menyebabkan endometriosis peritoneum. Teori Sampsons dapat menjelaskan secara
fisik dimana letak lesi endometriosis, namun hal ini tergantung pada individu sendiri,
dimana immune clearance dan genetik (predisposisi epitel peritoneum dan endometrium)
berperan penting untuk menentukan nasib apakah cairan menstruasi tersebut akan menjadi
sebuah lesi endometriosis atau tidak.

Pada teori non-uterine, metaplasia celomic menyebabkan sel peritoneum menjadi


jaringan endometrium ektopik di bawah pengaruh stimulus seperti hormone estrogen dan
faktor imunologi. Penelitian ini menjelaskan mengapa endometriosis masih bisa terjadi pada
pasien dengan Rokitansky-Kuster-Hauser syndrome, dimana terdapat Mullerian dysgenesis
dan pasien tidak memiliki riwayat menstruasi. Pada penelitian terbaru didapatkan data
bahwa jaringan sumsum tulang dapat berdiferensiasi menjadi sel endometriosis.9

Teori remnant dari ductus Mullerian menjelaskan bahwa migrasi ductus Mullerian
dapat menyebabkan lesi endometriosis di bawah pengaruh estrogen. Hal ini mendukung
temuan pada populasi wanita yang mendapatkan lesi endometriosis sebelum pubertas pada
wanita yang selama dikandung mendapatkan dietilstilbestrol.

Teori-teori di atas menjelaskan asal muasal lesi endometriosis. Namun lesi


endometriosis akan menjadi patologis ketika lesi tersebut bertahan dan menciptakan sebuah
lingkungan inflamasi di bawah pengaruh hormonal dan immunologi. Pada lesi
endometriosis, ditemukan peningkatan gen anti-apoptotic BCL-2, sehingga sinyal apoptosis
menurun.10 Faktor genetic didapatkan pada lokus regio kromosom 10q26 dan 7p15. 11 Hal ini
dibuktikan pada keturunan pertama mempunyai risiko 6 kali lebih tinggi untuk terkena
endometriosis dibandingkan populasi biasa.

Lesi endometriosis sudah lama dikenal sebagai lesi yang estrogen dependent.
Hormon estrogen menyebabkan lesi endometriosis untuk berproliferasi, menempel pada
mesotelium dan lari dari bersihan imunologi. Pada lesi endometriosis didapatkan
peningkatan enzim aromatase dan penurunan ekspresi 17β-hydroxysteroid dehydrogenase
(17β-HSD) type 2. Kedua hal ini menyebabkan sintesis estrogen de novo yang lebih tinggi
pada lesi endometriosis dan menyebabkan produksi prostaglandin E2, yang kemudian secara
tidak langsung meningkatkan lagi produksi aromatase. Hal ini menyebabkan lesi
endometriosis mempunyai aktivitas estrogen dan prostaglandin yang terus menerus.12 Lesi
endometriosis juga menunjukan penurunan reseptor progesterone dibandingkan
endometrium eutopik dan tidak terdapat reseptor progesterone B (PR-B).
Lesi endometriosis juga lebih mudah untuk lari dari bersihan imunologi dikarenakan
kurangnya reseptor intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1), sehingga lesi tidak dikenali
oleh natural killer (NK) cell. Pada penelitian, pasien dengan autoimin (systemic lupus
erythematosus, rheumatoid arthritis, Sjogren’s syndrome, autoimmune thyroid disease)
didapatkan prevalensi endometriosis lebih tinggi dibandingkan dengan populasi normal. 13
Neoangiogenesis oleh lesi endometriosis disebabkan oleh ekspresi gen yang mengeluarkan
sitokin proinflamasi seperti tumor necrosis factor-α (TNF-α), interleukin-8 (IL-8) and MMP-
3. Lesi endometriosis juga mengeluarkan vascular endothelial growth factor (VEGF) yang
banyak terdapat di cairan peritoneum pada wanita dengan endometriosis, yang dapat
dikaitkan dengan neovaskularisasi lesi endometriosis.14 Pada perkembanganya, sistem saraf
mengikuti perkembangan vaskular (neuroangiogenesis), yang menyebabkan terjadinya nyeri
pada lesi endometriosis.

Gambar 1. Patofisiologi lesi endometriosis


17βHSD = 17β hydroxysteroid dehydrogenase; E1=estrone; E2=estradiol; PGE2=prostaglandin
E2; PGF2α=prostaglandin F2α; NGF= nerve growth factor.

Tanda dan Gejala


Pada penelitian yang dilakukan di Inggris, gejala yang paling sering dikemukakan
adalah nyeri abdominopelvic dan heavy menstrual bleeding. Jika dibandingkan dengan
populasi normal, odd ratio (OR) pada penderita endometriosis adalah: nyeri
abdominopelvic (OR 5.2), dismenorea (OR 8.1), heavy menstrual bleeding (OR 4.0),
infertilitas (OR 8.2), dyspareunia/post coital bleeding (OR 6.8), dan ganggguan berkemih
(OR 1.2)15. ESHRE menjelaskan bahwa kita patut curiga seseorang mengalami
endometriosis jika mengalami gejala antara lain dismenorea, dyspareunia dalam, dysuria,
diskezia, perdarahan rectum yang nyeri atau hematuria, nyeri bahu, pneumothorax
catamenial, nyeri/batuk/hemoptisis yang siklik, nyeri pada bekas luka yang siklik dan
infertilitas.
Diagnosis
Pada awalnya, laparaskopi menjadi gold standard untuk diagnosis endometriosis.
Namun saat ini, laparaskopi hanya diperuntukkan bagi pasien dengan gambaran imaging,
baik dari USG ataupun MRI yang tidak dapat memvisualisasikan adanya endometriosis,
ataupun

bila terapi empiric belum berhasil.9 Saat ini, pendekatan secara klinis lebih diutamakan pada
pasien dengan endometriosis. Jika memang ada temuan gejala terutama siklikal pada pasien
seperti dysmenorrhea, dyspareunia, dysuria, diskezia, perdarahan pada rectum ataupun
hematuria, nyeri pada bahu, pneumotoraks ataupun batuk siklik, pembengkakan ataupun nyeri
siklik pada bekas luka, sering kelelahan dan infertilitas, maka dapat dipikirkan bahwa pasien
tersebut mengalami endometriosis. Selanjutnya dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan fisik
dan penunjang. Pada pemeriksaan fisik biasanya tergantung pada lokasi dan jenis dai
endometriosis. Jika melakukan pemeriksaan inspekulo, maka dapat dicurigai jika menemukan
implant endometriosis berwarna kebiruan ataupun lesi kemerahan yang mudah berdarah,
dimana biasanya ditemukan di forniks posterior. Jika memang terdapat temuan seperti ini,
maka pasien dapat dicurigai sebagai deep infiltrating endometriosis. Pada pemeriksaan
vaginal touche, dapat ditemukan adanya pembesaran uterus jika memang ada adenomyosis,
ataupun teraba massa pada adneksa yang menandakan suatu endometrioma. Biasanya akan
ditemukan mobilitas terbatas yang menunjukkan adanya perlekatan genitalia interna.6, 9
Pemeriksaan penunjang lini pertama yang dapat dilakukan adalah USG transvaginal.
International Deep Endometriosis Analysis (IDEA) menyusun panduan pemeriksaan USG
pada pasien endometriosis. Terdapat empat Langkah yang dapat dilkaukan pada
pemeriksaan USG: 1) mengevaluasi uterus dan kedua adneksa untuk mencari ada tidaknya
tanda endometrioma dan adenomyosis, 2) evaluasi penanda halus yaitu site-specific
tenderness dan mobilitas ovarium, 3) menilai ada tidaknya obliterasi cavum Douglas
dengan sliding sign, dan 4) menilai ada tidaknya nodul DIE pada kompartemen anterior dan
posterior.8 Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan pada kasus endometriosis
adalah MRI. Pada kasus dengan deep endometriosis, USG transvaginal dan MRI
mempunyai spesifitas dan sensitivitas yang mirip, dan lebih baik dibandingkan dengan
pembedahan. Pemeriksaan penunjang lain yang dapat digunakan untuk diagnose lesi deep
endometriosis adalah rectal endoscopic sonography (RES). Berdasarkan beberapa
penelitian yangtelah dilakukan, didapatkan bahwa tiga pemeriksaan penunjang sebelumnya
dapat dilakukan untuk menegakkan diagnose lesi deep endoemetriosis.10 Namun memang
pada lesi endometriosis superfisial, belum ada modalitas pencitraan yang lebih baik
dibandingkan dengan operasi laparaskopi. Perlu diperhatikan jika memang tidak ditemukan
lesi pada saat pemeriksaan USG ataupun MRI, masih ada kemungkinan untuk terdapat lesi
endometriosis superfisial, sehingga masih dapat menimbulkan keluhan pada pasien.9
Tatalaksana
Tatalaksana endometriosis secara garis besar dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu
tatalaksana medikamentosa dan operatif. Terapi medikamentosa didasarkan pada teori
bahwa endometriosis bersifat estrogen dependent. Tatalaksana medikamentosa secara
hormon ditujukan untuk menekan aktifitas estrogen di ovarium, atau juga dapat secara
langsung bekerja pada reseptor steroid dan juga enzim yang ditemukan pada endometriosis.
Regimen yang dapat digunakan adalah progestogen, anti-progestogen, kontrasepsi oral
kombinasi, agonis GnRH, antagonis GnRH, LNG-IUS, danazol dan inhibitor aromatase
(misalnya, letrozole). Tatalaksana medikamentosa selain hormon yaitu pemberian obat anti
inflamasi non steroid. Tatalaksana pada pasien endometriosis dapat langsung dimulai
setelah diketahui adanya gejala yang dicurigai sebagai endometriosis, meskipun sebelum
dikonfirmasi dengan pencitraan ataupun pembedahan. Namun penting diingat terapi
hormonal yang diberikan tidak terlepas dari terjadinya efek samping, dan pada perempuan
dengan gejala infertilitas yang ingin mendapatkan keturunan tidak dapat diberikan. Karena
itu, terapi hormonal pada pasien dengan endometriosis sangat bervariasi antara satu kasus
dengan lainnya. 9
Tatalaksana kedua yang dapat diberikan adalah tatalaksana bedah, dengan
pendekatan yang dapat dilakukan adalah via laparatomi ataupun laparaskopi. Tindakan
pembedahan ini biasanya dilakukan pada pasien dengan gagal pengobatan ataupun pasien
dengan infertilitas yang menginginkan kehamilan. 7, 8
Teknik pembedahan pada pasien
dengan infertilitas juga harus diperhatikan. Endometriosis dan infertilitas berhubungan
secara klinis. Terapi medis dan pembedahan dapat mempengaruhi kemungkinan konsepsi
seorang wanita, baik secara normal ataupun dengan teknik reproduksi berbantu. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa pada beberapa kasus, pembedahan dapat meningkatkan
angka kejadian natural konsepsi. Namun harus diperhatikan bahwa pembedahan dapat
mengurangi fungsi ovarium, sehingga jika memang akan dilakukan teknik reproduksi
berbantu, maka sebaiknya tidak dilakukan pembedahan sebelumnya, kecuali ditemukan
beberapa keadaan seperti nyeri, hidrosalping, dan endometrioma besar.11
Gambar 1. Algoritma Penanganan Endometriosis dengan Infertilitas

Tatalaksana
Ny. SK, 26 tahun, P0A0, datang dengan keluhan dysmenorrhea VAS 8 dan belum
mempunyai anak setelah menikah 2 tahun. Keluhan yang dialami pasien sesuai dengan teori
dimana gejala yang paling sering ditemukan adalah nyeri dan infertilitas. Pada pasien saat ini
dengan endometriosis disertai infertilitas, maka tahap awal yang dapat dilakukan adalah
dengan melakukan infertility workoup dengan mengukur cadangan ovarium. Jika pada
pemeriksaan ditemukan adanya penurunan kadar AMH, maka dapat dipikirkan untuk dapat
dilakukan teknolologi reproduksi berbantu. Pemeriksaan selanjutnya yang diperlukan adalah
analisa sperma dan pemeriksaan tuba. Tatalaksana yang dapat dilakukan pada pasien
setelahnya bergantung dari hasil pemeriksaan. Keputusan untuk melakukan pembedahan
didasarkan pada ada atau tidaknya gejala nyeri, usia dan pilihan pasien, Riwayat operasi
sebelumnya, adanya faktor infertilitas lain, ovarian reserve, dan juga skor Endometriosis
Fertility Index (EFI). Teknologi reprodukis berbantu dapat digunakan pada kasus dengan
fungsi tuba yang sudah terganggu ataupun ada infertilitas pria (skor EFI kurang). Kistektomi
sebelum teknologi reproduksi berbantu dilakukan untuk mengurangi nyeri yang berhubungan
dengan endometriosis dan untuk akses folikel.
REFERENSI:

1. Bulun SE, Gurates B, Fang Z, Tamura M, Sebastian S, Zhou J, et al. Mechanisms of excessive estrogen
formation in endometriosis. Journal of reproductive immunology. 2002;55(1-2):21-33.
2. Laganà AS, Garzon S, Götte M, Viganò P, Franchi M, Ghezzi F, et al. The pathogenesis of endometriosis:
molecular and cell biology insights. International journal of molecular sciences. 2019;20(22):5615.
3. Nap AW, Groothuis PG, Demir AY, Evers JL, Dunselman GA. Pathogenesis of endometriosis. Best
practice & research Clinical obstetrics & gynaecology. 2004;18(2):233-44.
4. Burney RO, Giudice LC. Pathogenesis and pathophysiology of endometriosis. Fertility and sterility.
2012;98(3):511-9.
5. Hestiantoro A. Konsensus Tata Laksana Nyeri Haid pada Endometriosis. HIFERI POGI, Jakarta. 2013.
6. Taylor HS, Pal L, Sell E. Speroff's clinical gynecologic endocrinology and infertility: Lippincott Williams
& Wilkins; 2019.
7. Sharara FI, Kheil MH, Feki A, Rahman S, Klebanoff JS, Ayoubi JM, et al. Current and prospective
treatment of adenomyosis. Journal of Clinical Medicine. 2021;10(15):3410.
8. Minaglia S, Mishell Jr DR, Ballard CA. Incisional endometriomas after Cesarean section: a case series.
The Journal of Reproductive Medicine. 2007;52(7):630-4.
9. Becker CM, Bokor A, Heikinheimo O, Horne A, Jansen F, Kiesel L, et al. ESHRE guideline:
endometriosis. Human reproduction open. 2022;2022(2):hoac009.
10. Bazot M, Lafont C, Rouzier R, Roseau G, Thomassin-Naggara I, Daraï E. Diagnostic accuracy of physical
examination, transvaginal sonography, rectal endoscopic sonography, and magnetic resonance imaging to
diagnose deep infiltrating endometriosis. Fertility and sterility. 2009;92(6):1825-33.
11. De Ziegler D, Borghese B, Chapron C. Endometriosis and infertility: pathophysiology and management.
The Lancet. 2010;376(9742):730-8.

Anda mungkin juga menyukai