Anda di halaman 1dari 18

TUGAS

ASUHAN KEBIDANAN GANGGUAN SISTEM REPRODUKSI


DETEKSI DINI INFERTILITAS DAN ADENOMYOSIS
KEBUTUIHAN ASUHAN KEBIDANAN PADA KASUS PROLAPS ORGAN
PANGGUL DAN DISFUNGSI ANORECTAL
PERAN BIDAN

Roziatur Rohmah
F622201

PROGRAM STUDI SARJANA KEBIDANAN FAKULTAS KEBIDANAN


INSTITUT KESEHATAN RAJAWALI BANDUNG
2023

Endometriosis merupakan pertumbuhan yang abnormal dari jaringan


endometrium di luar cavum uteri. Endometriosis sering terjadi pada wanita usia
reproduktif namun belum dapat dijelaskan secara pasti patogenesis terjadinya
endometriosis. Gejala klinis paling umum yang terjadi pada penderita
endometriosis adalah nyeri dan infertilitas. Nyeri yang ditimbulkan dapat berupa
nyeri panggul kronis, dismenorea, dispareunia, disuria, dan diskezia. Laparoskopi
merupakan baku emas dalam penegakan diagnosis dari endomeriosis. Tatalaksana
yang diberikan pada pasien endometriosis tidak menjamin kesembuhan yang
permanen. Tatalaksana yang dapat diberikan berupa tatalaksana non farmakologi
berupa istirahat yang cukup, makan makanan yang bergizi, serta menjaga personal
hygiene. Tatalaksana farmakologi berupa terapi simtomatik dan hormonal. Selain
itu juga dapat dilakukan terapi pembedahan

Adenomiosis merupakan kelainan ginekologi jinak dengan invasi jaringan


endometrium ke dalam lapisan miometrium yang menyebabkan pembesaran
uterus difus, dengan gambaran mikroskopis kelenjar dan stroma endometrium
ektopik non neoplastik yang dikelilingi oleh jaringan miometrium hipertrofik dan
hiperplastik. Reseptor estrogen merupakan syarat untuk pertumbuhan
endometrium. Hiperestrogenemia berperan penting dalam proses invaginasi sejak
ditemukan banyaknya hiperplasia endometrium pada wanita dengan adenomiosis.
Konsentrasi estrogen yang tinggi ini diperlukan dalam perkembangan
adenomiosis sebagaimana halnya yang terjadi pada endometriosis. Pemberian
pengobatan untuk menekan lingkungan estrogen menyebabkan involusi dari
endometrium ektopik yang dikaitkan dengan gejala menoragia dan dismenorea.
Adenomiosis berhubungan dengan infertilitas melalui perubahan yang terjadi pada
junctional zone (JZ), Perubahan fungsi dan penerimaan endometrium. Implantasi
yang terganggu, Perubahan pembentukan desidualisasi, dan Konsentrasi abnormal
radikal bebas. Tatalaksana adenomiosis pada prinsipnya sesuai dengan protokol
penanganan endometriosis, yaitu terapi hormonal dan tindakan operatif.

Prolaps organ panggul (POP) didefinisikan sebagai penurunan abnormal atau


herniasi dari organ-organ panggul dari tempat melekat atau posisi normalnya di
dalam rongga panggul. Adapun anatomi organ panggul tersebut terdiri dari tulang,
otot, serta saraf . Adanya kerusakan pada visceral panggul dan jaringan ikat
pelekat organ-organ panggul menjadi penyebab terjadi POP. Gejala-gejala yang
muncul pada pasien POP tidak spesifik untuk membedakan prolaps dari beberapa
kompartemen tetapi dapat mencerminkan derajat prolaps secara keseluruhan.
Pemeriksaan fisik difokuskan pada pemeriksaan panggul, dimulai dengan inspeksi
pada vulva dan vagina untuk mengidentifikasi adanya erosi, ulserasi, atau lesi
lain. Adapun pilihan manajemen terapi yang ada meliputi observasi, manajemen
non-operatif, dan manajemen operatif.
Sembelit dan inkontinensia tinja sering terjadi pada pasien dengan penyakit
neuromuskular. Meskipun prevalensinya tinggi dan dampak potensial pada
kualitas hidup secara keseluruhan, beberapa penelitian telah membahas disfungsi
anorektal pada pasien dengan multiple sclerosis (MS). Tujuan dari makalah ini
adalah untuk menentukan prevalensi, patofisiologi, dampak, dan potensi
pengobatan konstipasi dan inkontinensia pada pasien MS. Metode . Basis data
PubMed dicari untuk publikasi berbahasa Inggris antara Januari 1973 dan
Desember 2011. Artikel ditinjau untuk menilai definisi populasi studi, durasi,
jenis dan tingkat keparahan MS, distribusi jenis kelamin, prevalensi, dampak,
hasil pengujian fisiologis, dan perawatan . Hasil. Prevalensi konstipasi dan
inkontinensia tinja yang dilaporkan berkisar sekitar 40%. Disfungsi anorektal
secara signifikan mempengaruhi pasien dengan hampir 1 dari 6 pasien membatasi
aktivitas sosial atau bahkan berhenti bekerja karena gejala. Pengasuh terdaftar
buang air sebagai beban umum dan signifikan. Satu-satunya uji coba terkontrol
secara acak menunjukkan sedikit peningkatan konstipasi dengan pijat
perut. Semua laporan lain tidak memiliki intervensi kontrol dan hanya
menunjukkan peningkatan pada individu dengan gejala yang lebih
ringan. Kesimpulan . Disfungsi anorektal adalah manifestasi umum pada MS yang
secara signifikan mempengaruhi kualitas hidup. Terapi yang terbaik cukup efektif
dan seringkali tidak praktis, menyoroti perlunya intervensi yang sederhana dan
lebih membantu.

Bidan telah berperan besar terhadap penyelenggaraan layanan kesehatan terutama


untuk kesehatan reproduksi perempuan dan kesehatan seksual.Namun ada data
yang menunjukkan bahwa upaya peningkatan masih dibutuhkan untuk menjawab
kebutuhan akan layanan kesehatan reproduksi perempuan dan kesehatan seksual
yang komprehensif untuk pemenuhan hak asasi, khususnya bagi perempuan, bayi,
balita, dan remaja.Bidan juga merupakan penyediaan layanan Keluarga
Berencana (KB), layanan kesehatan anak balita serta berperan dalam
meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai kesehatan.Bidan berperan sebagai
penyedia layanan kesehatan, pendidik, penggerak peran serta masyarakat,
pemberdayaan perempuan dan pelibatan masyarakat untuk kesehatan, serta
sebagai pembuat keputusan Bidan adalah mitra kesehatan keluarga dan
masyakarat, khususnya untuk kesehatan ibu dan bayi.Tribunnews.com dengan
judul Bidan Berperan dalam Pelayanan Kesehatan Reproduksi dan Kesehatan
Seksual Perempuan, https://www.tribunnews.com/kesehatan/2019/05/09/bidan-
berperan-dalam-pelayanan-kesehatan-reproduksi-dan-kesehatan-seksual-
perempuan.
Deteksi Dini Endometriosis
Endometriosis, terkadang disebut “endo”, merupakan masalah umum yang
menyerang wanita. Kondisi kesehatan ini diambil dari kata endometrium,
jaringan yang normalnya melapisi rahim atau uterus.
Mengenal Gejala Endometriosis 

Pada pengidap endometriosis, jaringan endometrium yang tumbuh di luar rahim


akan mengalami penebalan. Namun, jaringan ini tidak bisa luruh dan keluar dari
tubuh. Alhasil, kondisi ini memicu gejala seperti nyeri, rasa tidak nyaman, bahkan
bisa meningkatkan risiko wanita mengalami kemandulan atau infertilitas. 

Ada beberapa cara yang bisa digunakan untuk mengenal atau mendeteksi dini
penyakit ini, di antaranya: 

 Memperhatikan Gejalanya 

Cara pertama untuk mendeteksi penyakit ini adalah dengan memperhatikan


gejalanya. Endometriosis biasanya ditandai dengan rasa nyeri di perut bagian
bawah dan sekitar panggul. Biasanya, rasa nyeri akan terasa memburuk saat
menstruasi. Rasa nyeri pada saat menstruasi adalah hal yang wajar terjadi, akan
tetapi pada wanita yang mengalami kondisi ini, nyeri akan terasa lebih parah. 

Selain nyeri, ada sejumlah gejala lain yang harus diwaspadai, yaitu kram perut
selama menstruasi, volume darah haid yang berlebihan, sakit punggung, serta
perdarahan di luar siklus menstruasi. Kondisi ini juga menyebabkan sakit saat
buang air kecil atau besar, diare, kembung, sembelit, mual, serta mudah lelah pada
saat menstruasi.

 Pemeriksaan ke Dokter 

Jika muncul gejala menyerupai penyakit ini, sebaiknya segera lakukan


pemeriksaan ke dokter. Hal ini penting dilakukan untuk mengetahui penyebab
nyeri saat menstruasi dan kondisi tubuh. Pasalnya, gejala yang muncul akibat
kondisi ini tidak selalu menandakan tingkat keparahan penyakit. Pada wanita yang
mengalami endometriosis ringan, bisa muncul gejala yang parah, atau bahkan
sebaliknya.

Biar lebih mudah untuk menemui dokter, kamu bisa menggunakan


aplikasi Halodoc untuk membuat janji dengan dokter dan menemukan daftar
rumah sakit terdekat. Atur lokasi dan temukan rumah sakit yang sesuai dengan
kebutuhan. Download aplikasi Halodoc di App Store atau Google Play! 

 Pemeriksaan Penunjang 
Jika dokter mencurigai gejala yang muncul sebagai tanda endometriosis, biasanya
akan dilakukan pemeriksaan penunjang. Untuk mendiagnosis penyakit ini, dokter
biasanya akan menganjurkan tes laparoskopi. Pemeriksaan laparoskopi adalah
satu-satunya cara yang digunakan untuk mendiagnosis endometriosis. 

Tes ini dimulai dengan memberi bius umum atau setengah badan, kemudian
dokter akan mulai membuat beberapa sayatan kecil di sekitar area pusar. Setelah
itu, tabung kecil yang dilengkapi dengan kamera (laparoskop) akan dimasukkan
melalui sayatan tersebut. Tabung ini akan membantu melihat bagian dalam perut
dan mengambil sampel jaringan (biopsi) untuk diteliti di laboratorium.

Setelah didiagnosis mengidap endometriosis, dokter akan mulai merencanakan


tindak pengobatan. Pemilihan cara pengobatan penyakit ini ditentukan oleh
tingkat keparahan penyakit. Ada beberapa cara pengobatan yang bisa dilakukan,
seperti konsumsi obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS), terapi hormon yang
bertujuan untuk menghentikan produksi hormon estrogen, serta prosedur operasi,
seperti laparoskopi, laparotomi, histerektomi.

Ditinjau oleh dr. Fadhli Rizal Makarim 18 Juni 2021 HALODOC


 
Endometriosis dapat terjadi pada setiap wanita yang sudah mengalami
menstruasi, tetapi lebih sering menyerang wanita di usia 30-40 tahun. Dan,
wanita lebih rentan mengalami endometriosis jika:
 Belum kunjung memiliki anak.
 Menstruasi lebih dari 7 hari.
 Siklus haid pendek (27 hari atau kurang dari itu).
 Memiliki riwayat keluarga (ibu, tante, saudara perempuan) dengan
endometriosis.
 Masalah kesehatan yang menghambat keluarnya darah menstruasi dari tubuh
selama masa menstruasi.
 The American Society for Reproductive Medicine memaparkan bahwa
masalah ini terjadi pada sekitar 50% wanita yang mengalami masalah
ketidaksuburan.
Endometriosis Tidak Boleh Diabaikan
Setelah mengetahui kelompok wanita yang berisiko tinggi mengalami
endometriosis, ada baiknya kita mengenali masalah ini lebih lanjut agar bisa
langsung segera ditangani ketika merasa ada yang janggal.
Endometriosis sendiri merupakan jaringan yang mirip dengan endometrium,
tetapi tumbuh di luar rahim dan area lain di dalam tubuh. Seringnya,
endometriosis ditemukan pada:
 Ovarium atau indung telur.
 Tuba falopi.
 Jaringan yang menahan rahim berada pada posisinya.
 Area luar rahim.
 Vagina.
 Leher rahim (serviks).
 Usus.
 Kandung kemih.
 Rektum.
 Sementara, area tubuh lain yang dapat ditumbuhi oleh endometriosis antara
lain paru-paru, otak, dan kulit.
 Endometriosis tidak boleh diabaikan karena pertumbuhannya dapat
menyebabkan pembekakan dan perdarahan. Ini dapat mengakibatkan:
 Rasa yang amat nyeri ketika menstruasi dan semakin parah seiring waktu.
 Nyeri kronis pada bagian punggung bawah dan panggul.
 Terasa nyeri saat atau setelah berhubungan seks.
 Rasa nyeri ketika berkemih saat menstruasi, bahkan pada kasus tertentu
muncul darah pada urine dan feses.
 Perdarahan di antara siklus haid.
 Masalah pencernaan, seperti diare, konstipasi, kembung, atau mual, terutama
di masa menstruasi.
 Infertilitas atau kesulitan untuk hamil .
 Pentingnya Deteksi Dini untuk Menyiapkan Kehamilan yang Sehat
Hingga saat ini, masih belum diketahui apa penyebab sebenarnya dari
endometriosis. Namun, faktor genetik disebut-sebut berperan besar seorang
wanita bisa mengalami masalah ini. Selain itu, beberapa penelitian
menyebutkan haid yang tidak lancar, masalah sistem imun, hormon, dan
komplikasi pasca-operasi (caesar  atau histerektomi) juga bisa menyebabkan
endometriosis.
 Seperti sudah disebutkan sebelumnya, endometriosis akan mengganggu
program hamil alias membuat seorang wanita mengalami infertilitas. Jika
endometriosis berada di tuba falopi, jaringan tersebut akan menghambat sel
telur yang menuju uterus serta merusak sperma. Para dokter berpendapat ini
mampu menurunkan kondisi sperma dan sel telur.
 Kalaupun berhasil hamil, wanita dengan endometriosis berisiko lebih tinggi
untuk melahirkan prematur, mengalami pre-eklampsia, komplikasi plasenta,
dan melahirkan dengan proses caesar.
 Oleh karena itu, jika wanita yang ingin hamil termasuk dalam kelompok yang
rentan mengalami endometriosis serta merasakan gejala-gejala akibat adanya
jaringan abnormal ini, maka sebaiknya jangan menunda berkonsultasi ke
dokter untuk melakukan deteksi dini dan menjalani terapi ketidaksuburan
secara menyeluruh.
 Apa yang Bisa Dilakukan?
Kabar baiknya, seorang wanita dengan endometriosis tetap berkesempatan
untuk hamil dan melahirkan bayi yang sehat. Untuk mengatasi masalah ini,
dokter bisa memberikan terapi obat-obatan kepada pasien. Obat hormonal
merupakan salah satu terapi yang bisa diberikan untuk menurunkan kadar
estrogen dan menunda menstruasi.
 Selain itu, laparoskopi juga bisa dilakukan untuk menangani endometriosis
serta penyebab masalah infertilitas lainnya. Laparoskopi merupakan
pembedahan dengan perlukaan minimal.
 Pasca-operasi pasien akan merasa kurang nyaman di bagian perut yang
menjadi lokasi pembedahan dan pundak. Namun, umumnya akan hilang dalam
waktu 48-72 jam, tergantung pada masing-masing individu.
 Jika dibutuhkan, dokter juga akan merekomendasikan pemeriksaan darah
dengan tes anti-mullerian hormone (AMH). Tes ini akan memberikan
keterangan terkait jumlah sel telur pasca-operasi laparoskopi.
 Terapi endometriosis memang bisa memengaruhi persediaan sel telur.
Karenanya, pasien bisa mempertimbangkan untuk menyimpan sel telurnya di
bank sel telur. Jadi bila sudah dalam kondisi sehat dan ingin memiliki
momongan, wanita bisa menggunakan sel telur yang telah disimpan
sebelumnya.
 Klinik Fertilitas Bocah Indonesia merupakan salah satu klinik yang
menyediakan layanan untuk mengatasi masalah ketidaksuburan pada pria dan
wanita. Berlokasi di RS Primaya Tangerang, klinik ini didukung oleh tim
medis berdedikasi tinggi dan terlatih secara internasional, meliputi
reproductive endocrinologists, embryologists, andrologists, dan counselor
psychologists.
( AMANDA SAGAR MATA 2020) (GUE SEHAT.COM)
Adenomiosis

Adenomyosis atau adenomiosis adalah kondisi ketika endometrium atau lapisan


permukaan rongga rahim tumbuh di dalam dinding otot rahim (miometrium).
Meski umumnya kondisi ini tidak berbahaya, tetapi dapat menimbulkan
perdarahan, nyeri, dan berpengaruh buruk pada kualitas hidup penderitanya.
Dalam kondisi normal, jaringan endometrium hanya melapisi permukaan rongga
rahim. Pada adenomiosis, jaringan endometrium tetap berfungsi dengan normal,
tetapi tumbuh ke dalam lapisan otot rahim. Akibatnya, rahim membengkak pada
setiap siklus menstruasi.
Kondisi ini dapat dialami oleh wanita di semua kelompok usia, tetapi lebih sering
terjadi pada usia 40–50 tahun. Kondisi ini juga biasanya sembuh ketika wanita
mengalami menopause.
Penyebab Adenomiosis
Hingga saat ini, penyebab adenomiosis belum dapat dipastikan. Namun, kondisi
ini diduga terkait dengan beberapa faktor berikut:

 Berusia 40 hingga 50 tahun


 Pernah menjalani operasi pada rahim, seperti kuret atau operasi caesar
 Pernah melahirkan
 Menderita obesitas

Gejala Adenomiosis
Sebagian besar penderita adenomiosis tidak mengalami gejala apa pun. Namun,
pada beberapa kasus, adenomiosis dapat menimbulkan gejala berikut:

 Nyeri panggul
 Perdarahan yang deras dan lama saat menstruasi (menorrhagia) bahkan
hingga lebih dari 15 hari
 Nyeri dan kram perut saat haid
 Sakit saat berhubungan seksual (dispareunia)

Kapan harus ke dokter


Lakukan pemeriksaan ke dokter bila mengalami nyeri haid atau dismenore yang
tidak tertahankan, terutama bila sudah terjadi dalam 3 siklus berturut-turut dan
mengganggu aktivitas.
Konsultasikan pula dengan dokter bila perdarahan saat menstruasi lebih banyak
dari biasanya atau muncul perdarahan dari vagina setelah menopause.
Diagnosis Adenomiosis
Sebagai langkah awal, dokter akan menanyakan gejala dan melakukan
pemeriksaan fisik pada pasien. Pemeriksaan fisik terutama dilakukan pada perut
bagian bawah atau panggul, untuk mengetahui apakah terjadi pembesaran rahim
atau apakah timbul nyeri saat panggul ditekan.
Perlu diketahui, gejala adenomiosis mirip dengan gejala penyakit rahim lain,
seperti miom, polip endometrium, atau endometriosis. Oleh sebab itu, dokter akan
melakukan pemeriksaan di bawah ini untuk memastikan diagnosis:

 USG panggul atau transvaginal


Prosedur ini bertujuan untuk memeriksa pembesaran rahim, perubahan
bentuk otot rahim, kista rahim, atau penebalan endometrium.
 MRI rahim
Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat kondisi rahim lebih detail,
terutama pada pasien yang mengalami perdarahan tidak normal.

 Biopsi endometrium
Pada beberapa kasus, dokter akan memeriksa sampel jaringan
endometrium untuk memastikan bahwa pasien tidak menderita kondisi
yang lebih serius.

Pengobatan Adenomiosis
Metode penanganan adenomiosis tergantung pada tingkat keparahan gejala,
riwayat melahirkan, dan apakah pasien masih ingin memiliki keturunan di masa
mendatang.
Pasien dengan gejala ringan dapat melakukan terapi mandiri dengan berendam di
air hangat atau menggunakan bantalan hangat di perut, dan mengonsumsi obat
pereda nyeri yang dijual bebas, seperti paracetamol.
Sementara itu, jika gejalanya tergolong berat atau terjadi perdarahan menstruasi
yang banyak, periksakan ke dokter kandungan untuk mendapatkan penanganan
lebih lanjut. Dokter akan memberikan tindakan berupa:

1. Obat pereda nyeri


Dokter dapat memberikan obat antiinflamasi nonsteroid, seperti asam mefenamat,
untuk mengurangi rasa nyeri.

2. Terapi hormon
Terapi hormon diberikan kepada pasien yang mengalami perdarahan hebat dan
nyeri yang tak tertahankan saat menstruasi. Salah satu jenis terapi hormon
adalah pil KB.
3. Ablasi endometrium
Ablasi endometrium bertujuan untuk menghancurkan lapisan rahim yang
mengalami adenomiosis. Kendati demkian, prosedur ini hanya bisa dilakukan jika
adenomiosis belum masuk terlalu dalam ke otot rahim.

4. High intensity focused ultrasound (HIFU)
HIFU bertujuan untuk menghancurkan jaringan endometrium dengan
menggunakan alat ultrasound khusus.

5. Adenomiektomi
Adenomiektomi bertujuan untuk mengangkat jaringan adenomiosis melalui
operasi. Prosedur ini dilakukan bila adenomiosis tidak berhasil dihilangkan
dengan metode lain.

6. Embolisasi pembuluh darah arteri rahim


Prosedur ini dilakukan untuk menghambat darah yang mengalir ke area
adenomiosis, sehingga ukurannya akan mengecil dan keluhan mereda. Prosedur
ini dilakukan pada pasien yang tidak bisa menjalani operasi.

7. Histerektomi
Histerektomi atau pengangkatan rahim dilakukan jika andenomiosis tidak dapat
diatasi dengan cara lain. Prosedur ini hanya dianjurkan jika penderita tidak lagi
berkeinginan untuk hamil.

Komplikasi Adenomiosis
Adenomiosis dengan perdarahan yang banyak dan berkepanjangan saat
menstruasi dapat menimbulkan anemia atau kurang darah. Adenomiosis juga
dapat mengganggu kualitas hidup penderitanya, karena rasa tidak nyaman ketika
beraktivitas akibat nyeri haid dan perdarahan menstruasi yang banyak.

Pencegahan Adenomiosis
Belum diketahui bagaimana cara mencegah adenomiosis. Namun, penyakit ini
bisa dihindari dengan mengendalikan faktor risikonya. Berikut adalah beberapa
cara untuk mencegah adenomiosis:

 Menerapkan pola makan sehat, bergizi lengkap, dan seimbang


 Menjaga berat badan agar ideal
 Menurunkan berat badan bila mengalami obesitas
 Menjalani pemeriksaan kesehatan dan kandungan secara rutin

Terakhir diperbarui: 10 Maret 2022


Ditinjau oleh: dr. Pittara
Referensi ALODOKTER

Prolaps organ panggul (POP)


Didefinisikan sebagai penurunan abnormal atau herniasi dari organ-organ panggul
dari tempat melekat atau posisi normalnya di dalam rongga panggul. Adapun
anatomi organ panggul tersebut terdiri dari tulang, otot, serta saraf . Adanya
kerusakan pada visceral panggul dan jaringan ikat pelekat organ-organ panggul
menjadi penyebab terjadi POP. Gejala-gejala yang muncul pada pasien POP tidak
spesifik untuk membedakan prolaps dari beberapa kompartemen tetapi dapat
mencerminkan derajat prolaps secara keseluruhan. Pemeriksaan fisik difokuskan
pada pemeriksaan panggul, dimulai dengan inspeksi pada vulva dan vagina untuk
mengidentifikasi adanya erosi, ulserasi, atau lesi lain. Adapun pilihan manajemen
terapi yang ada meliputi observasi, manajemen non-operatif, dan manajemen
operatif.
MANAJEMEN PASIEN DENGAN POP Observasi Wanita dengan POP dapat
mengalami sedikit gejala dan tidak merasa terganggu dengan penyakit yang
dialaminya. Situasi ini khusus untuk pasien dengan prolap ringan atau yang tidak
meluas melewati hymen. Untuk kasus ini, observasi merupakan pilihan terapi
yang tepat. Pasien dengan POP yang diterapi observasi harus diperiksa secara
periodik untuk mengetahui perkembangan dari prolaps dan gejala-gejala baru
yang muncul atau penyakit yang harus mendapatkan terapi segera.
Manajemen Non-Operatif Terapi Tambahan Terapi tambahan dikerjakan untuk
menangani gejala-gejala saat BAK, BAB, dan fungsi seksual pada setiap pasien
yang mengalami POP. Salah satu contoh masalah klinis yang sering ditangani,
pasien sering mengalami masalah BAB, seperti mengedan berlebih dan merasa
evakuasi feses yang tidak lengkap. Pada pemeriksaan fisik ditemukan prolaps
vagina posterior (rectocele) stadium II atau III. Pasien diberikan terapi untuk
mengatur kebiasaan BAB dan mencegah mengedan terlalu lama. Pasien juga
diberikan cairan dan serat yaitu, minum 6-8 gelas dan minimal 20 gram serat
perhari. Pasien seharusnya dibuatkan jadwal untuk BAB sesudah makan secara
teratur. Padasaat diperlukan dapat diberi cairan osmotik seperti polyethylene
glycol atau cathartic laxative seperti (bisacodryl). Jika gejala pasien membaik,
direkomendasikan untuk tidak memberi terapi lain. Keluhan BAB pasien yang
tidak membaik walupun dengan terapi yang adekuat, diperlukan konsultasi
dengan ahli Gastroenterologi.
Latihan Otot Dasar Panggul Latihan otot dasar panggul dikerjakan untuk
meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot-otot panggul sehingga memperbaiki
penyokongan terhadap organ panggul. Bukti secara langsung bahwa latihan otot
dasar panggul dapat mencegah atau mengobati prolaps belum terbukti, namun
latihan ini efektif untuk IU dan IA. Penguatan otot panggul sering mengurangi
gejala akibat penekanan panggul yang sering menyertai prolaps. Prolaps berat
nampaknya tidak mungkin membaik dengan latihan otot dasar panggul, namun
pasien tetap merasakan adanya perbaikan gejala.
Penggunaan Pesarium Indikasi terapi menggunakan pesarium meliputi kehamilan
dan kontraindikasi medis khusus untuk melakukan operasi pada pasien tua dan
lemah. Pesarium juga dapat digunakan pada semua keadaan dimana pasien
memilih untuk tidak operasi. Pesarium dapat disesuaikan pada setiap pasien yang
mengalami POP tanpa memperhatikan stadium atau tempat predominan terjadinya
prolaps. Pesarium digunakan oleh hampir 75% Urogynecologist sebagai terapi lini
pertama untuk prolaps. Pesarium tersedia dalam berbagai bentuk dan ukuran, dan
dapat dikategorikan sebagai suportif (pesarium cincin) atau memenuhi celah
(pesarium donut) . Pesarium yang sering digunakan untuk prolaps meliputi
pesarium cincin (dengan atau tanpa penyokong) dan Gellhorn, donut dan
pesarium kubus. Pada kebanyakan pasien (antara 50-73%), ukuran pesarium yang
tepat dapat disesuaikan saat kedatangan pertama atau kedua. Persentasi pasien
lebih rendah (41-67%) tetap mempertahankan pesarium yang digunakan.
Beberapa dokter jarang menggunakan pesarium untuk prolaps yang berat.
Penelitian terbaru tidak menemukan hubungan antara stadium prolaps dan hasil
pengujian pesarium. Tipe dari pesarium yang digunakan kemungkinan
berhubungan dengan keparahan dari prolaps. Pada satu penelitian, pesarium cincin
dimasukkan pertama kali kemudian diikuti pesarium Gellhorn jika cincin tidak
diam pada tempatnya. Pesarium cincin lebih berhasil digunakan pada prolaps
stadium II (100%) dan stadium III (71%). Pada prolaps stadium IV lebih sering
diperlukan pesarium Gellhorn (64%).Pada sebuah penelitian tentang penggunaan
pesarium selama 2 bulan, 92% pasiendengan POP merasa puas dengan terapi
menggunakan pesarium. Hampir semua gejala prolaps membaik dan 50% masalah
saluran urinarius berkurang. Stadium prolaps atau aktivitas seksual bukan
kontraindikasi pemakaian pesarium. Dokter seharusnya mendiskusikan pilihan
terapi menggunakan pesarium dengan semua pasien POP. Penggunaan pesarium
seharusnya dipertimbangkan sebelum intervensi operasi pada pasien dengan
prolaps yang mengalami gejala. PROLAPS ORGAN PANGGUL Ketut Yoga
Mira Pratiwi. I Gede Mega Putra Bagian/SMF Obstetri dan Ginekologi Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana/Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar
Disfungsi anorektal
Multiple sclerosis adalah penyakit neurologis demielinasi kronis dan
menyebabkan berbagai gejala neurologis, termasuk ketidaknyamanan fungsi
anorektal. Konstipasi dan inkontinensia feses muncul sebagai disfungsi anorektal
pada MS dan manometri anal , waktu transit kolon, elektromiografi ,
dan defekografi dapat digunakan untuk penilaian.
Penatalaksanaan ISPA bersifat empiris termasuk diet tinggi serat , asupan cairan
yang cukup, latihan fisik, buang air besar secara teratur, pengeluaran feses secara
manual, dan penggunaan enema atau obat pencahar. International Journal of
Surgery Case Reports Volume 5, Issue 12, 2014 , Halaman 1091-1094

Tinjauan sistematis kami terhadap literatur yang diterbitkan jelas menunjukkan


bahwa disfungsi anorektal sangat umum terjadi pada pasien MS. Ini juga
menunjukkan potensi dampak signifikan pada kualitas hidup dan status
fungsional, karena banyak pasien secara teratur menghabiskan waktu dan upaya
untuk menerapkan beberapa bentuk rejimen usus. Dampaknya melampaui
disfungsi anorektal tol fisik dan emosional pada pasien. Banyak pengasuh
menghabiskan banyak upaya untuk membantu pasangan atau pasangan mereka
dalam tugas sehari-hari ini, menambah beban dan sering berkontribusi pada
keputusan akhir untuk memindahkan pasien ke panti jompo . Kecacatan
tersembunyi ini dengan demikian berkontribusi pada hilangnya produktivitas
profesional, isolasi sosial dan seringkali merupakan beban yang luar biasa pada
hubungan intim. Terlepas dari relevansi yang jelas, beberapa penelitian telah
mengeksplorasi pilihan pengobatan, dengan hanya satu penelitian terkontrol,
tetapi kurang bertenaga, yang pernah diselesaikan pada pasien MS dengan
disfungsi anorektal.

Seperti halnya banyak manifestasi MS lainnya, disfungsi anorektal cenderung


berkembang dan memburuk seiring dengan perkembangan penyakit. Konsisten
dengan pola yang diharapkan dari penyakit demielinasi sistem saraf pusat,
penyelidikan fisiologis sebagian besar mengungkapkan gangguan respon terhadap
mekanisme sfingterik yang dikendalikan secara kehendak, yang tentunya
berkontribusi pada inkontinensia tinja. Berdasarkan pemeriksaan radiografi,
perubahan kontrol sentral otot dasar panggul dapat menyebabkan spastisitas dan
dengan demikian mengganggu kemampuan untuk mengevakuasi isi rektal dengan
sukses. Kelemahan dan/atau kelenturan juga dapat membatasi kemampuan pasien
untuk memulai buang air besar dengan mengejan secara efektif. Di luar perubahan
fungsi neuromuskuler, beberapa penelitian melibatkan mekanisme sensorik
visceral yang berubah, yang dapat menyebabkan gangguan sensasi pengisian
rektal, dan dengan demikian berpotensi meningkatkan risiko inkontinensia
(kekurangan atau dorongan yang dirasakan) dan/atau impaksi (kurangnya
pengisian rektal yang dirasakan). Analisis kami terhadap data yang dipublikasikan
mengungkapkan hasil yang agak tidak konsisten yang kemungkinan besar
mencerminkan spektrum yang luas dari keparahan penyakit dan distribusi
kerugian sensorik-motorik yang sering tidak merata pada pasien MS yang
terdaftar dalam studi ini. Terakhir, seluruh studi transit usus menunjukkan transit
usus besar yang melambat pada pasien MS dengan konstipasi. Karena waktu
transit usus besar yang normal terlihat pada kelompok kontrol penyakit dengan
MS dan inkontinensia tinja, temuan ini jelas tidak dapat dikaitkan dengan MS per
se, tetapi lebih merupakan penanda konstipasi pengganti. Fakta bahwa transit
kolon diperlambat tidak memungkinkan kita untuk secara andal membedakan
mekanisme dasar potensial yang mungkin berkisar dari masalah kolon yang
sebenarnya (yaitu, inersia kolon) ke efek sekunder yang diharapkan dengan
gangguan evakuasi (yaitu, buang air besar disinergik). Studi mekanistik ini
sebagian besar berfokus pada fisiologi anorektal. Namun, perilaku buang air besar
yang normal mencakup tugas tambahan yang semakin mengacaukan gambaran
tersebut. Pasien harus dapat mencapai fasilitas toilet, untuk dapat menanggalkan
pakaian dan pindah ke dudukan toilet, dan untuk memulai pengeluaran feses
dengan beberapa peningkatan tekanan intra-abdominal (mengejan). Mobilitas
yang terbatas juga dapat memengaruhi fungsi kolon secara sekunder, yang
selanjutnya meningkatkan risiko konstipasi. Beberapa atau semua masalah ini
biasa terjadi pada pasien dengan kecacatan sedang hingga lanjut dan harus
diperhitungkan saat kami mempertimbangkan pilihan pengobatan. Studi
mekanistik ini sebagian besar berfokus pada fisiologi anorektal. Namun, perilaku
buang air besar yang normal mencakup tugas tambahan yang semakin
mengacaukan gambaran tersebut. Pasien harus dapat menjangkau fasilitas toilet,
untuk dapat menanggalkan pakaian dan pindah ke dudukan toilet, dan untuk
memulai pengeluaran feses dengan beberapa peningkatan tekanan intra-abdominal
(mengejan). Mobilitas yang terbatas juga dapat memengaruhi fungsi kolon secara
sekunder, yang selanjutnya meningkatkan risiko konstipasi. Beberapa atau semua
masalah ini biasa terjadi pada pasien dengan kecacatan sedang hingga lanjut dan
harus diperhitungkan saat kami mempertimbangkan pilihan pengobatan. Studi
mekanistik ini sebagian besar berfokus pada fisiologi anorektal. Namun, perilaku
buang air besar yang normal mencakup tugas tambahan yang semakin
mengacaukan gambaran tersebut. Pasien harus dapat mencapai fasilitas toilet,
untuk dapat menanggalkan pakaian dan pindah ke dudukan toilet, dan untuk
memulai pengeluaran feses dengan beberapa peningkatan tekanan intra-abdominal
(mengejan). Mobilitas yang terbatas juga dapat memengaruhi fungsi kolon secara
sekunder, yang selanjutnya meningkatkan risiko konstipasi. Beberapa atau semua
masalah ini biasa terjadi pada pasien dengan kecacatan sedang hingga lanjut dan
harus diperhitungkan saat kami mempertimbangkan pilihan pengobatan. untuk
dapat menanggalkan pakaian dan pindah ke dudukan toilet, dan untuk memulai
pengeluaran tinja dengan beberapa peningkatan tekanan intra-abdominal
(mengejan). Mobilitas yang terbatas juga dapat memengaruhi fungsi kolon secara
sekunder, yang selanjutnya meningkatkan risiko konstipasi. Beberapa atau semua
masalah ini biasa terjadi pada pasien dengan kecacatan sedang hingga lanjut dan
harus diperhitungkan saat kami mempertimbangkan pilihan pengobatan. untuk
dapat menanggalkan pakaian dan pindah ke dudukan toilet, dan untuk memulai
pengeluaran tinja dengan beberapa peningkatan tekanan intra-abdominal
(mengejan). Mobilitas yang terbatas juga dapat memengaruhi fungsi kolon secara
sekunder, yang selanjutnya meningkatkan risiko konstipasi. Beberapa atau semua
masalah ini biasa terjadi pada pasien dengan kecacatan sedang hingga lanjut dan
harus diperhitungkan saat kami mempertimbangkan pilihan pengobatan.

Sebagian besar laporan tentang pengobatan disfungsi anorektal pada MS


menargetkan beberapa mekanisme yang dijelaskan di atas. Beberapa uji coba dan
rangkaian kasus yang tidak terkontrol menggunakan intervensi perilaku, ditambah
dengan biofeedback, untuk mengubah fungsi sfingterik. Sementara intervensi
memperbaiki gejala, perbaikan ini sebagian besar terbatas pada pasien dengan
penyakit ringan. Pengamatan ini konsisten dengan hasil yang diterbitkan
sebelumnya pada pasien tanpa penyakit neuromuskuler, yang menunjukkan hasil
yang baik dalam rangkaian kasus yang tidak terkontrol, tetapi tidak menunjukkan
keunggulan ketika pasien dengan inkontinensia tinja secara acak ditugaskan untuk
mengontrol intervensi atau biofeedback. Dari sudut pandang konseptual,
biofeedback untuk gangguan anorektal membutuhkan mekanisme kontrol
neuromuskular yang utuh untuk secara sengaja dan efektif mengubah pola
motorik yang tidak diinginkan. Sementara kompensasi kerugian terbatas mungkin
dalam keadaan tertentu, pendekatan ini tampaknya tidak menjanjikan pada pasien
MS dengan kecacatan yang lebih signifikan. Data yang dipublikasikan muncul
untuk memperkuat keprihatinan teoretis ini, yang sayangnya membatasi
keberhasilan pengobatan bagi mereka yang benar-benar membutuhkan
terapi. Situasi ini semakin dibingungkan oleh gangguan sensorik yang hidup
berdampingan dan dampak kecacatan tingkat lanjut dengan mobilitas
terbatas. Misalnya, penggunaan pencahar yang agresif jauh lebih mungkin
menyebabkan kotoran atau bahkan inkontinensia tinja yang nyata.

Intervensi nonspesifik, seperti pijat perut, dapat membantu, tetapi membutuhkan


upaya yang signifikan tanpa memberikan peningkatan yang cukup signifikan
untuk benar-benar menawarkan solusi bagi pasien dengan konstipasi sedang atau
bahkan lebih parah. Masalah yang lebih ringan kemungkinan besar akan
merespons banyak intervensi, mulai dari diet hingga pendekatan pendidikan atau
pengobatan. Dalam situasi seperti itu, pengobatan harus sederhana, memerlukan
investasi waktu yang terbatas, mengintegrasikan preferensi pasien, dan
mempertimbangkan sumber daya yang tersedia. Untuk pasien dengan konstipasi,
rekomendasi tipikal menyarankan agar perubahan asupan serat dan aktivitas harus
dipertimbangkan sebagai langkah pertama . Jika langkah-langkah awal yang
sederhana ini tidak cukup, pasien kemudian harus diinstruksikan untuk
menggunakan obat pencahar yang aman yang memungkinkan pemberian dosis
yang fleksibel, seperti zat aktif osmotik (misalnya, polietilen glikol). Jika pasien
terutama mengeluh tentang inkontinensia tinja, praktisi pertama-tama harus
menilai pengaruh konsistensi tinja pada gejala. Investigasi sebelumnya telah
menunjukkan bahwa feses yang lebih encer merupakan faktor risiko terpenting
yang terkait dengan inkontinensia fekal . Konsisten dengan hasil ini, penggunaan
loperamide untuk inkontinensia tinja lebih efektif daripada pendidikan,
biofeedback, atau diazepam dalam uji coba terkontrol secara acak .Sementara
langkah-langkah sederhana ini dapat mengendalikan masalah pada banyak pasien,
strategi yang efektif diperlukan untuk individu dengan masalah yang terus-
menerus atau lebih parah. Mempertimbangkan masalah yang sering muncul
bersamaan dengan gangguan sensasi dan mobilitas terbatas, strategi ideal untuk
konstipasi harus memfasilitasi evakuasi dengan melunakkan gerakan usus dan
bahkan mungkin memicu gerakan massa kolon untuk membantu evakuasi, tanpa
menyebabkan urgensi yang tidak semestinya pada waktu yang tidak terduga atau
tidak tepat. Penggunaan obat pencahar yang hati-hati dengan instruksi yang tepat
tentang dosis fleksibel tetap penting, tetapi mungkin perlu dilengkapi dengan
langkah tambahan. Stimulasi digital, praktik umum pada individu lumpuh,
mungkin memadai. Penggunaan supositoria pencahar dapat menggabungkan
rangsangan fisik dengan rangsangan farmakologis dan dengan demikian menjadi
lebih efektif. Dalam bentuk inkontinensia tinja yang lebih parah, evakuasi
pencegahan harus dipertimbangkan. Uji coba yang dirancang dengan tepat telah
dengan jelas menunjukkan bahwa irigasi transanal secara efektif memperbaiki
gejala pada pasien dengan bentuk neurogenik dari inkontinensia tinja. Pendekatan
ini lebih padat karya dan waktu, membuat penerimaan secara luas menjadi lebih
sulit. Penggunaan supositoria pencahar pertama-tama dapat dicoba sebagai
alternatif yang lebih sederhana dan dapat diikuti dengan penggunaan antidiare
secara hati-hati, setelah evakuasi selesai. Survei literatur yang diterbitkan ini
menyoroti dampak disfungsi anorektal sebagai manifestasi umum dari
MS. Perawatan yang efektif sebagian besar masih kurang bagi mereka yang paling
membutuhkannya. Namun, pasien MS mungkin dapat mengadaptasi strategi
sederhana berdasarkan pendekatan yang digunakan oleh pasien dengan bentuk
disfungsi usus neurogenik lainnya. Secara konseptual, beberapa dari strategi ini
serupa dengan kateterisasi diri yang digunakan pada disfungsi kandung
kemih. Kesederhanaan relatif, keamanan, dan ketersediaan umum mendukung
penggunaannya. Namun, pendekatan ini perlu dipelajari secara sistematis untuk
menilai apakah mereka benar-benar efektif. Menguji pendekatan ini dalam uji
coba yang dirancang dengan tepat juga memungkinkan kami mengembangkan
algoritme sederhana untuk disfungsi anorektal yang dapat digunakan oleh pasien,
perawat, dan penyedia layanan kesehatan.

Referensi

1. Alkhawajah M, Oger J. Kapan memulai obat pemodifikasi penyakit untuk


menyembuhkan multiple sclerosis pada orang dewasa? Multiple Sclerosis
Internasional . 2011; 2011 :11 halaman. 724871 

Peran Bidan
Peran bidan sebagai pelaksana Sebagai pelaksana, bidan mempunyai 3 (tiga)
kategori tugas yaitu:
(1) Tugas mandiri bidan dalam kesehatan reproduksi
a. Menerapkan manajemen kebidanan pada setiap asuhan kebidanan yang
diberikan:
1) Mengkaji status kesehatan untuk memenuhi kebutuhan asuhan klien
2) Menentukan diagnosis
3) Menyusun rencana tindakan sesuai dengan masalah yang dihadapi
4) Melaksanakan tindakan sesuai dengan rencana yang telah disusun
5) Mengevaluasi tindakan yang telah diberikan
6) Membuat rencana tindak lanjut kegiatan/tindakan
7) Membuat catatan dan laporan kegiatan/tindakan. (Sari, 2012; 122)
b. Memberikan asuhan kebidanan pada wanita ganggguan sistem reproduksi dan
wanita dalam masa klikmaterium dan menopause:
1) Mengkaji status kesehatan untuk memenuhi kebutuhan asuhan klien
2) Menentukan diagnosis, prognosis, prioritas dan kebutuhan asuhan
3) Menyusun rencana asuhan sesuai prioritas masalah bersama
4) Melaksanakan asuhan kebidanan sesuai dengan rencana
5) Mengevaluasi bersama klien hasil asuhan kebidanan yang telah diberikan
6) Membuat rencana tindak lanjut bersama klien
7) Membuat pencatatan dan pelaporan asuhan kebidanan (Sari, 2012; 125).
(2) Tugas kolaborasi/kerjasama dalam kesehatan reproduksi Menerapkan
manajemen kebidanan pada setiap asuhan kebidanan sesuai fungsi kolaborasi
dengan melibatkan klien dan keluarga:
1) Mengkaji masalah yang berkaitan dengan komplikasi dan keadaan kegawatan
yang memerlukan tindakan kolaborasi
2) Menentukan diagnosis, prognosis dan kegawatan yang memerlukan tindakan
kolaborasi
3) Merencanakan tindakan sesuai dengan prioritas kegawatan dan hasil kolaborasi
serta kerjasama dengan klien
4) Melaksanakan tindakan sesuai dengan rencana dan melibatkan klien
5) Mengevaluasi hasil tindakan yang telah dilakukan
6) Menyusun rencana tindak lanjut bersama klien
7) Membuat pencatatan dan pelaporan. (Sari, 2012; 126)
(3) Tugas ketergantungan/ merujuk dalam kesehatan reproduksi Menerapkan
manajemen kebidanan pada setiap asuhan kebidanan sesuai dengan fungsi
keterlibatan klien dan keluarga
1) Mengkaji kebutuhan asuhan kebidanan yang memerlukan tindakan di luar
lingkup kewenangan bidan dan memerlukan rujukan
2) Menentukan diagnosis, prognosis dan prioritas serta sumber- sumber dan
fasilitas untuk kebutuhan intervensi lebih lanjut bersama klien/keluarga
3) Mengirim klien untuk keperluan intervensi lebih lanjut kepada
petugas/institusi pelayanan kesehatan yang berwenang dengan dokumentasi yang
lengkap Membuat pencatatan dan pelaporan serta mendokumentasikan seluruh
kejadian dan intervensi. (Sari, 2012; 129)
Repository.poltekkessmg.ac.id/repository/BAB%20II%20DINA%20W%20S
%20_P1337424515002.pdf

Anda mungkin juga menyukai