Anda di halaman 1dari 7

Analisis Laporan Keuangan

Soal I

Berikut dibawah ini adalah Laporan Laba Rugi CV Snack Asyik, sebuah usaha yang bergerak di
bidang produksi snack yang memulai usaha pada pertengahan tahun 2020.

Laba Rugi yang perbandingkan pada 2 tahun tersebut adalah sebagai berikut:

Keterangan lain yang dibaca pada buku besar 2021 adalah sbb:
a. Biaya lainnya adalah biaya yang digunakan untuk pengobatan Tn Andi, sebagai pemilik
CV sebesar Rp 200.000.000,-
b. Pendapatan lain2 sebesar Rp 98.455.900,- merupakan pendapatan sewa kantor.

Berdasarkan informasi laporan keuangan diatas, lakukan Analisa, apakah :

1. Berdasarkan beban pajak pada laporan di atas, apakah perhitungan pajak perusahaan jika
perusahaan menggunakan tarif umum sudah benar? Berikan alasan dan perhitungan.

2. Teliti pos-pos biaya di atas, apakah terdapat koreksi fiskal yang seharusnya dilakukan?
Jika terdapat koreksi fiskal, maka berikan alasannya atau dasar hukumnya.
3. Tarif pajak yang digunakan oleh perusahaan adalah tarif pajak berdasar pasal 17.
Sesungguhnya, perusahaan telah salah menggunakan tarif ini, karena mempunyai
kesempatan untuk menggunakan tarif pajak sebagai UMKM. Jika dilakukan pemeriksaan
pajak, potensi apa yang akan timbul dari penerapan tarif pasal 17?

Penyelesaian:
1. Perhitungan pajak perusahaan menggunakan tarif umum:
Tahun 2020
- Koreksi fiscal positif : Sumbangan sosial (UU Pasal 4 Ayat 3 Huruf A & B)
Tidak boleh dibiayakan
- Tarif = 50% x 22% x Rp 180.602.873
= Rp 19.886.316,03  Lebih bayar
- Kesalahan tarif (pengurangan tarif)  Pasal 31E
Pendapatan (omset) = Rp 181.394.968 x 15% = Rp 27.209.245,2
Beban pajak = Rp 45.348.742
Lebih bayar = Rp – 18.139.496,8

Tahun 2021
- Koreksi Fiskal Positif : Sumbangan sosial & biaya lainnya
- Tarif = 50% x 22% x Rp 329.380.890
= Rp 36.231.897,9  Lebih bayar
- Penghasilan lain-lain
- Biaya pemeliharaan kendaraan

2. Teliti pos-pos biaya di atas, terdapat koreksi fiskal yang seharusnya dilakukan:
a. Biaya pengobatan Tn Andi sebesar Rp 200.000.000,- Koreksi fiskal yang
seharusnya dilakukan adalah mengklasifikasikan biaya pengobatan Tn Andi
sebagai pengeluaran pribadi atau non-deductible expense. Biaya pengobatan
pribadi Tn Andi tidak dapat dikategorikan sebagai biaya perusahaan yang
diperoleh untuk kepentingan operasional. Oleh karena itu, biaya ini tidak dapat
dikurangkan dari pendapatan kotor perusahaan dan tidak dapat dianggap sebagai
beban pajak yang dapat dikurangkan.
b. Pendapatan sewa kantor sebesar Rp 98.455.900,- Koreksi fiskal yang seharusnya
dilakukan adalah mencatat pendapatan sewa kantor sebagai pendapatan kena
pajak dan mengikutsertakan pendapatan ini dalam perhitungan laba bersih yang
akan dikenai pajak.

3. Jika dilakukan pemeriksaan pajak, potensi yang akan timbul dari penerapan tarif pasal 17
adalah:
Tarif pajak pasal 17 digunakan oleh Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
dengan penghasilan bruto tahunan di bawah batas tertentu. Jika perusahaan seharusnya
menggunakan tarif pajak UMKM tetapi menggunakan tarif pajak pasal 17, maka potensi
yang akan timbul dari penerapan tarif pasal 17 adalah kelebihan pembayaran pajak.
Dalam hal ini, jika perusahaan seharusnya memenuhi kriteria UMKM dan menggunakan
tarif pajak UMKM yang lebih rendah, maka dapat ada potensi pengembalian pajak atau
pengurangan pembayaran pajak yang sebelumnya telah dilakukan dengan menggunakan
tarif pasal 17. Perusahaan dapat mengajukan permohonan pen=gembalian pajak atau
perbaikan penghitungan pajak kepada otoritas pajak setempat untuk memperoleh
manfaat.

Debt Equity Ratio (DER)


DER (Debt-to-Equity Ratio) adalah rasio keuangan yang digunakan untuk mengukur sejauh
mana perusahaan menggunakan utang (hutang) untuk membiayai operasional dan kegiatan
investasi dibandingkan dengan modal sendiri (ekuitas).
Bisa dikatakan DER berkaitan dengan struktur modal perusahaan. Di dalam pengukuran DER
ini, rasio yang lebih tinggi bisa menjadi lebih berisiko. Namun lebih berpotensi pula
mendatangkan keuntungan pengembalian ekuitas atau return on equity (ROE) yang tinggi.
DER = Utang Total : Ekuitas Total x 100%
Fungsi utama DER atau Debt to Equity Ratio adalah untuk memberikan informasi tentang
perbandingan komposisi utang dan ekuitas suatu perusahaan.

Cara Membaca DER Sebuah Perusahaan


Agar bisa mengetahui apakah hasil penghitungan DER masuk dalam kategori baik atau tidak,
berikut ini adalah beberapa cara membaca rasio DER.
1. Nilai DER di bawah atau sama dengan 100% atau 1. Jika diketahui seperti nilai tersebut,
maka kondisi perusahaan termasuk sehat. Ada pun penyebabnya jika perusahaan
mengalami gagal bayar, maka ekuitas perusahaan terbukti mampu membayar utang-utang
tersebut.
2. Apabila nilai DER di atas 100% atau 1. Maka kondisi tersebut masuk dalam kategori
warning. Apabila Anda mendapati perusahaan pada kategori ini, maka perhatikan laporan
keuangannya. Cari tahu apakah perusahaan bisa membayar utangnya dengan kas yang
dihasilkan dari bisnisnya atau tidak. 
3. Debt to equity ratio adalah rasio keuangan yang tidak cocok digunakan dalam
menganalisa perusahaan perbankan.Penyebabnya adalah tabungan dari nasabah
dimasukkan ke dalam pos utang atau kredit. Makin tinggi dana tabungan nasabah, makin
tinggi pula DER-nya.
Sehingga tidak mengherankan bila perbankan memiliki DER di atas 600% atau 6 kali, bahkan
bisa lebih. Hal ini karena model bisnis bank adalah berhutang dan menyalurkan hutang tersebut
dengan bunga yang lebih tinggi.
Oleh karena itu, analisa fundamental menggunakan debt to equity ratio pada saham perbankan
dianggap kurang relevan. 
DER yang terlalu tinggi mempunyai dampak buruk terhadap kinerja perusahaan, karena tingkat
utang yang semakin tinggi menandakan beban bunga perusahaan akan semakin besar dan
mengurangi keuntungan.

Untuk melakukan analisis DER (Debt-to-Equity Ratio), langkah-langkah yang dapat


diikuti adalah sebagai berikut:
1. Mengumpulkan informasi keuangan: Dapatkan laporan keuangan perusahaan, termasuk
neraca perusahaan yang mencakup informasi tentang utang (hutang) dan modal sendiri
(ekuitas).
2. Hitung total utang: Jumlahkan semua hutang jangka pendek dan jangka panjang yang
tercantum dalam neraca perusahaan. Ini mencakup pinjaman bank, obligasi, hipotek, atau
utang lainnya.
3. Hitung total ekuitas: Jumlahkan modal saham, laba ditahan, dan komponen lainnya yang
merupakan bagian dari ekuitas perusahaan yang tercantum dalam neraca.
4. Hitung DER: Bagi total utang dengan total ekuitas. Rumusnya adalah DER = Total Utang
/ Total Ekuitas. Contoh: Jika total utang perusahaan adalah Rp 500.000.000 dan total
ekuitas adalah Rp 1.000.000.000, maka DER = 500.000.000 / 1.000.000.000 = 0,5.
5. Interpretasi hasil DER: Hasil DER mencerminkan tingkat ketergantungan perusahaan
terhadap utang. Jika DER lebih rendah dari 1, itu menunjukkan bahwa perusahaan
memiliki lebih banyak modal sendiri daripada utang. Sebaliknya, jika DER lebih tinggi
dari 1, itu menunjukkan bahwa perusahaan memiliki lebih banyak utang dibandingkan
dengan modal sendiri.
 DER < 1: Menunjukkan bahwa perusahaan lebih mengandalkan modal sendiri
daripada utang, yang bisa menjadi indikasi keuangan yang sehat.
 DER = 1: Menunjukkan perusahaan memiliki jumlah utang yang sama dengan
modal sendiri.
 DER > 1: Menunjukkan bahwa perusahaan memiliki tingkat ketergantungan yang
tinggi terhadap utang, yang bisa menjadi tanda risiko keuangan yang lebih tinggi.
6. Bandingkan dengan industri atau standar: Selanjutnya, bandingkan DER perusahaan
dengan rata-rata industri atau standar yang relevan. Ini akan memberikan konteks lebih
lanjut untuk mengevaluasi sejauh mana perusahaan menggunakan utang dibandingkan
dengan pesaingnya.
7. Tafsirkan hasil DER: Kesimpulan tentang hasil DER harus disesuaikan dengan konteks
bisnis perusahaan dan faktor-faktor lain seperti tingkat keuntungan, risiko bisnis, dan
kondisi pasar. Tidak ada satu angka DER yang ideal untuk setiap perusahaan, karena
setiap industri dan bisnis memiliki karakteristik dan kebutuhan yang berbeda.
Perlu diingat bahwa DER hanya memberikan gambaran sebagian dari struktur keuangan
perusahaan. Oleh karena itu, penting untuk melengkapi analisis DER dengan analisis keuangan
yang komprehensif, termasuk analisis arus kas, profitabilitas, likuiditas, dan faktor-faktor risiko
lainnya.

Analisis DER dapat memberikan pemahaman tentang tingkat ketergantungan perusahaan


terhadap utang. Berikut adalah beberapa contoh analisis yang dapat dilakukan terkait
DER:
1. Membandingkan DER antara perusahaan: Dengan menggunakan DER, Anda dapat
membandingkan tingkat penggunaan utang antara perusahaan dalam industri yang sama.
Perusahaan dengan DER yang lebih tinggi mungkin memiliki risiko keuangan yang lebih
tinggi, terutama jika utang mereka tidak terkelola dengan baik.
2. Memantau tren DER dari waktu ke waktu: Dengan memantau DER dari tahun ke tahun,
Anda dapat melihat apakah perusahaan semakin bergantung pada utang atau mengurangi
tingkat hutangnya. Jika DER meningkat dari tahun ke tahun, itu dapat menunjukkan
risiko yang meningkat terkait keuangan perusahaan.
3. Mengevaluasi risiko keuangan: DER juga dapat membantu dalam mengevaluasi risiko
keuangan perusahaan. Semakin tinggi DER, semakin besar risiko kebangkrutan jika
perusahaan menghadapi kesulitan keuangan atau tidak mampu memenuhi kewajiban
utangnya.
4. Membandingkan DER dengan industri atau standar: Melakukan perbandingan DER
dengan rata-rata industri atau standar dapat memberikan wawasan tentang sejauh mana
perusahaan berada dalam hal penggunaan utang. Jika DER perusahaan jauh lebih tinggi
daripada rata-rata industri, itu mungkin menjadi perhatian.
5. Mengidentifikasi penggunaan utang yang efisien: DER juga dapat membantu
mengidentifikasi perusahaan yang menggunakan utang secara efisien. Jika perusahaan
dapat menghasilkan laba yang tinggi dengan tingkat utang yang wajar, itu dapat
menunjukkan penggunaan utang yang produktif dan berpotensi menghasilkan tingkat
pengembalian yang lebih tinggi bagi pemegang saham.
Namun, perlu diingat bahwa DER hanya memberikan gambaran satu sisi dari keuangan
perusahaan. Analisis yang komprehensif harus melibatkan faktor-faktor lain seperti tingkat
keuntungan, arus kas, dan risiko bisnis secara keseluruhan. Selain itu, standar dan interpretasi
DER dapat bervariasi tergantung pada industri dan kondisi pasar. Oleh karena itu, penting untuk
menggabungkan DER dengan analisis keuangan lainnya untuk mendapatkan pemahaman yang
lebih lengkap tentang kesehatan keuangan perusahaan.

PSAK 46
PSAK 46 merupakan singkatan dari "Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan 46". PSAK 46
adalah standar akuntansi keuangan yang mengatur tentang Pajak Penghasilan dalam Laporan
Keuangan.
PSAK 46 memberikan panduan mengenai pengakuan, pengukuran, dan penyajian pajak
penghasilan dalam laporan keuangan entitas. Standar ini mencakup berbagai aspek terkait pajak
penghasilan, termasuk pengakuan aset dan kewajiban pajak tangguhan, pengukuran pajak kini
dan pajak tangguhan, serta penyajian informasi pajak dalam laporan keuangan.
Tujuan dari PSAK 46 adalah untuk memastikan bahwa entitas mengakui dan mengukur pajak
penghasilan secara konsisten sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku, serta menyajikan
informasi yang relevan dan dapat diandalkan mengenai posisi pajak penghasilan dalam laporan
keuangan.
Dalam penerapannya, PSAK 46 mengacu pada peraturan perpajakan yang berlaku di negara
tersebut. Standar ini memberikan pedoman kepada entitas dalam menghitung dan melaporkan
beban pajak penghasilan serta aset dan kewajiban pajak tangguhan.

Kasus-kasus pemeriksaan terkait uang masuk yang dijadikan peredaran usaha


Dalam pemeriksaan terkait uang masuk yang dijadikan peredaran usaha, ada beberapa kasus
yang sering muncul yang perlu diperiksa oleh auditor atau otoritas perpajakan. Beberapa kasus
tersebut meliputi:
1. Penghasilan yang tidak dilaporkan: Ini terjadi ketika sebuah perusahaan menerima uang
tunai atau pembayaran dari pelanggan namun tidak melaporkannya secara akurat dalam
pencatatan keuangan. Auditor atau otoritas perpajakan akan memeriksa apakah semua
penerimaan telah dicatat dengan benar dan dilaporkan secara tepat.
2. Penjualan fiktif atau rekayasa pendapatan: Dalam kasus ini, perusahaan membuat
transaksi penjualan palsu atau mengatur transaksi palsu dengan pihak ketiga untuk
meningkatkan pendapatan secara buatan. Auditor atau otoritas perpajakan akan mencari
bukti bahwa penjualan tersebut sebenarnya terjadi dan uang masuk yang dilaporkan
merupakan transaksi yang sah.
3. Penjualan tidak resmi atau luar sistem: Perusahaan mungkin melakukan penjualan di luar
sq11istem pencatatan mereka, seperti penjualan "di bawah meja" yang tidak dicatat
dalam catatan keuangan resmi. Auditor atau otoritas perpajakan akan mencoba
menemukan bukti penjualan semacam ini dengan memeriksa dokumen-dokumen
pendukung, seperti faktur, kontrak, atau bukti pembayaran.
4. Penjualan dengan penghindaran pajak: Beberapa perusahaan mungkin mencoba
menghindari pembayaran pajak dengan cara mengalihkan uang masuk atau pendapatan
mereka ke entitas lain yang memiliki tarif pajak yang lebih rendah. Auditor atau otoritas
perpajakan akan melakukan pemeriksaan terhadap aliran dana dan transaksi keuangan
untuk mengidentifikasi potensi penghindaran pajak.
5. Transaksi yang melibatkan pihak terkait: Perusahaan yang memiliki hubungan dengan
pihak terkait, seperti pemilik, anggota keluarga, atau entitas yang terkait secara keuangan,
harus memastikan bahwa transaksi yang dilakukan dengan pihak terkait tersebut
dilakukan dengan harga pasar yang wajar. Auditor atau otoritas perpajakan akan
memeriksa apakah transaksi semacam itu dilakukan dengan memperhatikan prinsip-
prinsip akuntansi yang berlaku umum dan tidak disalahgunakan untuk keuntungan
pribadi.
Dalam semua kasus di atas, penting bagi perusahaan untuk menjaga kepatuhan terhadap
peraturan dan mengikuti praktik akuntansi yang benar. Pemeriksaan yang cermat dapat
membantu mengidentifikasi potensi masalah dalam pengelolaan uang masuk yang digunakan
sebagai peredaran usaha perusahaan dan memastikan ketaatan terhadap peraturan perpajakan
yang berlaku.

Berikut adalah contoh-contoh kasus pemeriksaan terkait uang masuk yang dijadikan
peredaran usaha:
1. Penjualan fiktif: Sebuah perusahaan mencatat penjualan yang sebenarnya tidak terjadi.
Mereka mungkin menciptakan faktur palsu atau mengatur transaksi palsu dengan
pelanggan untuk meningkatkan pendapatan secara buatan.
2. Penerimaan tunai yang tidak tercatat: Perusahaan menerima uang tunai dari pelanggan
tetapi tidak mencatatnya dengan benar dalam sistem pencatatan keuangan. Uang tunai
tersebut mungkin digunakan untuk operasional perusahaan tanpa ada pencatatan yang
akurat.
3. Penghindaran pembayaran pajak: Perusahaan mengalihkan uang masuk mereka ke entitas
lain dengan tarif pajak yang lebih rendah untuk menghindari pembayaran pajak yang
seharusnya dibayarkan. Mereka mungkin menggunakan praktik-praktik seperti transfer
pricing atau pembentukan entitas penghindaran pajak.
4. Penjualan di luar sistem: Perusahaan melakukan penjualan di luar sistem pencatatan
resmi mereka, seperti transaksi tunai yang tidak dicatat atau penjualan "di bawah meja"
yang tidak tercatat dalam catatan keuangan perusahaan.
5. Penerimaan dana yang tidak terkait dengan bisnis: Perusahaan menerima dana dari
sumber yang tidak terkait dengan operasional bisnis mereka, seperti penerimaan hadiah
atau sumbangan yang seharusnya tidak digunakan sebagai peredaran usaha perusahaan.
6. Transaksi yang melibatkan pihak terkait: Perusahaan melakukan transaksi dengan pihak
terkait, seperti pemilik atau anggota keluarga, yang mungkin tidak mematuhi prinsip
keadilan dan kepatuhan terhadap harga pasar yang wajar.
Dalam kasus-kasus ini, pemeriksaan dilakukan untuk memastikan kepatuhan perusahaan
terhadap peraturan perpajakan dan prinsip akuntansi yang berlaku. Auditor atau otoritas
perpajakan akan memeriksa bukti-bukti, dokumen transaksi, dan catatan keuangan perusahaan
untuk mengidentifikasi adanya pelanggaran atau ketidakpatuhan yang berkaitan dengan
pengelolaan uang masuk sebagai peredaran usaha.

Anda mungkin juga menyukai