Anda di halaman 1dari 19

UTS

SEQUENCE ANTENATAL GENTLE YOGA


Disusun untuk memenuhi ujian tengah semeser (UTS) pada mata kuliah Asuhan
Kebidanan Komplementer I

Dosen pengampu: Anggarani Prihantiningsih SST., S.Tr.Keb., M.Kes

Disusun oleh:

Ajeng Sartika (200401002002)

PROGRAM STUDI S-I KEBIDANAN


STIKES BHAKTI PERTIWI INDONESIA
JAKARTA TA. 2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan banyak
nikmatnya kepada kami sehingga atas berkat dan Rahmat serta karunia-Nyalah kami dapat
menyelesaikan tugas kelompok makalah Kebijakan dalam Kebidanan yang berjudul
“Perspektif Global Dalam Pelayanan Kebidanan” ini sesuai dengan waktu yang telah
direncanakan.
Terima kasih kami sampaikan juga kepada Dr.Hj. Maimunah, SSiT, SKM, M. Kes
selaku dosen pengampu mata kuliah kebijakan dalam yang telah memberikan kesempatan
bagi kami untuk mengerjakan tugas ini, sehingga kami menjadi lebih mengerti dan
memahami tentang berbagai perspektif global dalam pelayanan kebidanan. Tak lupa kami
juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang baik
secara langsung maupun tidak langsung yang telah membantu upaya penyelesaian makalah
ini.
Harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca, serta seluruh Masyarakat Indonesia khususnya para mahasiswa untuk ke
depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah ini agar menjadi lebih
baik lagi. Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin dalam
pembuatan makalah ini masih ditemukan kekurangan. Oleh karena itu, kami sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah
ini. Terima Kasih.

Jakarta, 10 Juli 2022

Kelompok 4
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................................................2
DAFTAR ISI........................................................................................................................................3
BAB I....................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN................................................................................................................................4
A. Latar Belakang........................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah...................................................................................................................5
C. Tujuan......................................................................................................................................5
D. Manfaat....................................................................................................................................5
BAB II..................................................................................................................................................6
PEMBAHASAN...................................................................................................................................6
A. Pengertian Korupsi..................................................................................................................6
B. Kebijakan Pemerintah Indonesia Dalam Upaya Penanggulangan korupsi........................7
1. Kebijakan berdasarkan peraturan perundang-undangan...............................................7
2. Penegakan Hukum Bagi Masyarakat Khususnya Dalam Pemberantasan Korupsi.......7
C. Gratifikasi................................................................................................................................8
1. Pengertian Gratifikasi.........................................................................................................8
2. Landasan Hukum Tentang Gratifikasi Sebagai Tindak Pidana Korupsi.......................9
3. Kategori Gratifikasi...........................................................................................................10
4. Dampak Gratifikasi...........................................................................................................12
5. Upaya Pencegahan Praktek Gratifikas............................................................................13
6. Contoh Kasus Gratifikasi..................................................................................................14
BAB III...............................................................................................................................................17
PENUTUP..........................................................................................................................................17
A. Kesimpulan............................................................................................................................17
B. Saran.......................................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................18
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Program Millenium Development Goals (MDGs) merupakan program tujuan
pembangunan bagi seluruh dunia yang berakhir sampai tahun 2015. Angka kematian
maternal di Indonesia masih cukup tinggi, hal ini mengindikasikan bahwa Indonesia gagal
mencapai program MDGs yaitu menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) menjadi 102 per
100. 000 kelahiran hidup pada tahun 2015.

Selain itu pula tujuan lain MDGs yang dilaksanakan oleh Negara Indonesia adalah
menurunkan Angka Kematian Bayi (AKB). Kasus kematian bayi adalah kasus dimana
penduduk yang meninggal sebelum mencapai usia 1 tahun. Indonesia merupakan Negara
yang memiliki jumlah kematian bayi relatif tinggi bila dibandingkan dengan Negara ASEAN
lain. Berdasarkan Human Development Report 2010, AKB di Indonesia mencapai 31 per
1.000 kelahiran hidup. Angka tersebut 5.2 kali lebih tinggi dibandingkan Malaysia, 1.2 kali
lebih tinggi dibandingkan Filipina dan 2.4 kali lebih tinggi dibandingkan Thailand.

Maka dari itu dibentuklah program Sustainable Development Goals (SDGs) yang
merupakan program pembangunan berkelanjutan untuk menggantikan Millenium
Development Goals (MDGs), yang diadopsi oleh komunitas Internasional pada tahun 2015
dan aktif sampai tahun 2030. Terdapat 17 Tujuan SDGs yang salah satu tujuannya adalah
Sistem Kesehatan Nasional yaitu pada Goals ke 3 menerangkan bahwa pada 2030
mengurangi angka kematian ibu hingga dibawah 70 per 100.000 kelahiran hidup, mengakhiri
kematian bayi dan balita yang dapat dicegah, mengurangi sepertiga kematian prematur akibat
penyakit tidak menular melalui pencegahan dan perawatan, serta mendorong kesehatan dan
kesejahteraan mental dan menjamin akses semesta kepada pelayanan kesehatan seksual dan
reproduksi, termasuk KB, informasi dan edukasi, serta intergrasi kesehatan reproduksi
kedalam strategi dan progam nasional (Kemenkes RI, 2015).

Pemerintah Indonesia sebenarnya tidak tinggal diam dalam mengatasi praktek-praktek


korupsi. Upaya pemerintah dilaksanakan melalui berbagai kebijakan berupa peraturan
perundang-undangan dari yang tertinggi yaitu Undang-Undang Dasar 1945 sampai dengan
Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu,
pemerintah juga membentuk komisi-komisi yang berhubungan langsung dengan pencegahan
dan pemberantasan tindak pidana korupsi seperti Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara
Negara (KPKPN) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah yang diangkat penulis dalam
makalah ini antara lain:

1. Bagaimana perspektif global pada pelayanan kebidanan?


2. Apa saja trend global pada pelayanan kesehatan ibu & anak?
3. Bagaimana Peran Bidan dalam mempromosikan "kenormalan" baik di Indonesia maupun
kontexs Internasional?
4. Bagaimana seorang bidan merefleksikan nilai-nilai partnership?
5. Bagaimana memahami hak-hak reproduksi yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat?
6. Bagaimana memahami kualifikasi/ peran bidan di desa?

C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang disajikan, tujuan dari pembuatan makalah ini
adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pengertian korupsi


2. Untuk mengetahui kebijakan pemerintah dalam upaya penanggulan korupsi di Indonesia.
3. Untuk mengetahui apa itu gratifikasi

D. Manfaat
1. Bagi Penulis
Pembuatan makalah ini diharapkan dapat digunakan sebagai tambahan, memperluas
wawasan, meningkatkan pengetahuan, pemahaman, serta pembelajaran tentang korupsi
sehingga budaya korupsi dapat dihilangkan.
2. Bagi Institusi
Sebagai bahan tambahan kepustakaan mahasiswa/i Stikes BPI untuk meningkatkan
kualitas proses belajar mengajar.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Korupsi
Kata korupsi berasal dari bahasa latin corruptio (Fockema Andrea, 1951) atau
corruptus (Webster Student Dictionary, 1960). Selanjutnya, disebutkan pula bahwa corruptio
berasal dari kata corrumper satu kata dari bahasa Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin
tersebut, kemudian dikenal istilah corruption, corrupt (Inggris), corruption (Perancis), dan
“corruptic/korruptie” (Belanda). Indonesia kemudian memungut kata ini menjadi korupsi.
Arti kata korupsi secara harfiah adalah “sesuatu yang busuk, jahat, dan merusakkan (Dikti,
2011).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi keempat, korupsi didefinisikan lebih
spesifik lagi yaitu penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan, organisasi,
yayasan, dsb.) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Korupsi diturunkan dari kata korup
yang bermakna 1) buruk; rusak; busuk; 2) suka memakai barang (uang) yang dipercayakan
kepadanya; dapat disogok (memakai kekuasaannya untuk kepentingan pribadi). Selain itu,
ada kata koruptif yang bermakna bersifat korupsi dan pelakunya disebut koruptor.
Menurut Black’s Law Dictionary, korupsi adalah perbuatan yang dilakukan dengan
maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak
lain secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu
keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hak-
hak dari pihak lain. Syed Hussein Alatas menyebutkan adanya benang merah yang
menjelujur dalam aktivitas korupsi, yaitu subordinasi kepentingan umum di bawah
kepentingan tujuan-tujuan pribadi yang mencakup pelanggaran norma-norma, tugas, dan
kesejahteraan umum, diikuti dengan kerahasiaan, pengkhianatan, penipuan, dan
kemasabodohan yang luar biasa akan akibat yang diderita oleh masyarakat.
Salah satu bentuk korupsi yang paling banyak diungkap saaat ini adalah korupsi
dalam bentuk gratifikasi. Gratifikasi adalah suatu pemberian, imbalan atau hadiah oleh orang
yang pernah mendapat jasa atau keuntungan atau oleh orang yang telah atau sedang
berurusan dengan sutau lembaga publik atau pemerintah dalam misalnya untuk mendapatkan
suatu kontrak.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa korupsi adalah tindakan menguntungkan
diri sendiri dan orang lain yang bersifat busuk, jahat, dan merusakkan karena merugikan
negara dan masyarakat luas. Pelaku korupsi dianggap telah melakukan penyelewengan dalam
hal keuangan atau kekuasaan, pengkhianatan amanat terkait pada tanggung jawab dan
wewenang yang diberikan kepadanya, serta pelanggaran hukum.
B. Kebijakan Pemerintah Indonesia Dalam Upaya Penanggulangan korupsi
1. Kebijakan berdasarkan peraturan perundang-undangan
Menurut kamus bahasa Indonesia kebijakan secara leterlite dapat dijelaskan sebagai
kepandaian, kemahiran, kebijaksanaan. Sementara secara bahasa kebijakan dapat dijelaskan
sebagai rangkaian konsep dan azas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam
pelaksanaan suatu perkerjaan, kepemimpinan, cara bertindak.berkaitan dengan
pemberantasan korupsi, Pemerintah telah merumuskan kebijakan yang diwujudkan dalam
beberapa peraturan perundang – undangan antara lain UU. No. 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Pemerintahan Yang Bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
UU. No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo UU.No. 20 Tahun
2001 tentang perubahan atas UU. No. 31 tahun 1999, Peraturan pemerintah No. 71 tahun
2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran serta Masyarakat dan pemberian Penghargaan
Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 15 Tahun 2002,
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang; sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
No.25 Tahun 2003, UU No. 20 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, serta
UU No. 7 tahun 2004 tentang Pengesahan United Natoins Convention Against Cooruption
2003. Serta upaya meningkatkan peran Lembaga Pusat pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan (PPATK).

Mencermati peraturan perundang-undang yang begitu memadai secara kualitas


maupun kuantitasnya, maka dari sisi infrastruktur hukum hampir dapat dipastikan bahwa
negara kita merupakan salah satu negara yang paling banyak memiliki regulasi yang
berkaitan dengan pemberantasan korupsi, tentunya dengan harapan agar dapat mewujudkan
penyelenggaraan pemerintahan yang bersih sebagai salah dari sekian banyak kriteria
kepemerintahan yang baik (Good Governance) Jadi bila di lihat dari konteks kebijakan publik
maka regulasi yang ada merupakan bentuk kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam
upaya memberantas tindak pidana korupsi.
2. Penegakan Hukum Bagi Masyarakat Khususnya Dalam Pemberantasan Korupsi
Penegakkan hukum adalah suatu proses yang sudah ditentukan dalam norma-norma
hukum positif, dimana dalam proses tersebut harus dilalui tahapan-tahapan agar penegakkan
hukum dapat menghasilkan keadilan dan kepastian hukum. Persoalan penegakan hukum
menurut Lawrence M.Friedman terkait erat dengan 3 (tiga) hal: subtansi hukum, struktur
hukum, dan budaya hukum,. Dari aspek subtansi, peraturan perundang-undang di bidang
korupsi, hampir dapat di pastikan bahwa tidak bermasalah karena dari waktu ke waktu,terus
mengalami penyempurnaan sesuai dengan semangat penegakan hukum di bidang korupsi,
dan dalam hal ini hanya dibatasi pada tiga undang-undang yakni. UU Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan atas UU Nomor 31 tahun 1999, tentang Pemberantasan Tindak Pidana,
UU Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Natoins Convention Against
Cooruption 2003 dan UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Satjipto Rahardjo mengungkapkan dalam memberantas sebuah tindak pidana korupsi,


diharuskan bersikap dan berpikir yang luar biasa. Karena dengan adanya perubahan tersebut,
tidak hanya bagi aparat penegak hukum, pelaku, maupun legislatif, dapat menekan adanya
tindak pidana korupsi. Sementara komunitas hukum manapun adalah komunitas yang anti-
perubahan. Selain itu para aparat penegak hukum masih berpikir dan bertindak secara klasik,
bersikap submisif terhadap hukum positif bahkan tidak berani untuk bertindak rule breaking.

Dari sinilah dapat diketahui bahwa tidak hanya aturan-aturan saja yang sempurna
dalam penegakan hukum korupsi, akan tetapi juga aparat penegak hukumnya. Yang mana
para aparat penegak hukum korupsi tersebut dilahirkan dari fakultas-fakultas hukum, yang
seharusnya berpikir bahwa hukum dibuat untuk ditegakkan bukan untuk disimpangi demi
tercapainya sebuah keadilan yang tidak hanya melindungi kaum minoritas penguasa, juga
melindungi seluruh kepentingan. menurut Mahfud MD, korupsi sulit diberantas karena
birokrasi penegekan hukum kita adalah birokrasi lama yang mewarisi penyakit korupsi sangat
kronis. Lembaga penegak hukum yang seharusnya menangani korupsi justru dibelit oleh
korupsi, birokrasi pemerintahan adalah birokrasi lama yang tetap melaksanakan prosedur-
prosedur lama dan pejabat-pejabat lama yang mewarisi korupsi.
C. Gratifikasi
1. Pengertian Gratifikasi
Secara etimologis, istilah gratifikasi berasal dari bahasa Belanda, yakni “Gratikatie”
lalu diserap kedalam bahasa Inggris dan menjadi “Gratification” yang artinya adalah
pemberian sesuatu atau hadiah/

Gratifikasi menurut UU No.20 tahun 2001 Pasal 12B ayat (1) yaitu pemberian dalam
arti luas, yakni uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan,
fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya, baik
yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri, yang dilakukan menggunakan sarana
elektronik atau tanpa sarana elektronik.

Korupsi yang terkait korupsi yaitu pegawai negeri menerima gratitikasi dan tidak
lapor KPK (Djaja, 2010). Gratifikasi adalah sebuah pemberian yang diberikan atau di
perolehnya suatu bantuan atau keuntungan (Puspito, dkk, 2001). Sedangkan menurut Black’s
Law Dictionary pengertian gratifikasi ialah sebuah pemberian yang diberikan atas
diperolehnya suatu bantuan atau juga keuntungan.

Gratifikasi pada dasarnya adalah “suap yang tertunda” atau sering juga disebut “suap
terselubung”. Pegawai negeri atau penyelenggara negara (Pn/PN) yang terbiasa menerima
gratifikasi terlarang lama kelamaan dapat terjerumus melakukan korupsi bentuk lain seperti
suap, pemerasan dan korupsi lainnya. Sehingga gratifikasi dianggap sebagai akar korupsi.

2. Landasan Hukum Tentang Gratifikasi Sebagai Tindak Pidana Korupsi


Tindak pidana gratifikasi merupakan bagian dari tindak pidana korupsi yang terdiri
dari pmberi dan penerima gratifikasi. Ketentuan hukum terhadap penerima gratifikasi
terdapat pada Pasal No. 20 Tahun 2001 yaitu :

1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap


pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatan dan yang berlawanan dengan
kewajiban dan tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Yang nilainya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian
bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima
gratifikasi.
b. Yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000.00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian
bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana paling singkat 4
(empat)tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000,00
(satumilyar rupiah).

Keberadaan Pasal 5 dan Pasal 12B ini masih membingungkan dan dalam
penerapannya akan terjadi tumpang tindih dengan ketentuan hukum yang lain. Hal ini terlihat
dalam dari ketentuan Pasal 12C Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang
menyatakan:

1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Psal 12B, ayat (1) tidak berlaku, jika penerima
melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi PemberantasanTindak Pidana
Korupsi.
2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh
penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal
gratifikasi tersebut diterima.
3) Komisi pemberantasan tindak pidana korupsi dalam waktu Paling lambat 30 (tiga puluh)
hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapatmenjadi
milik penerima atau milik negara.
4) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimaa dimaksud dalam ayat(2)
dan penentuan status gratifikasi sebagaimana diamksud dalam ayat (3) diatur dalam
Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Tindak pidana korupsi berasal dari dua kata yaitu tindak pidana dan korupsi. Istilah tindak
pidana berasal dari istilah hukum Belanda yaitu diartikan sebagai suatu tindakanyang
menurut rumusan Undang-Undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapatdihukum,
artinya perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana, dimana
pengertian perbuatan disini selain perbuatan yang bersifat aktif (melakukan sesuatu perbuatan
yang sebenarnya dilarang oleh hukum) juga perbuatan yang bersifat pasif (tidak berbuat
sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh hukum).

3. Kategori Gratifikasi
Penerimaan gratifikasi dapat dikategorikan menjadi dua kategori yaitu gratifikasi
yangdianggap suap dan gratifikasi yang tidak dianggap suap, yaitu :
1. Gratifikasi yang Dianggap Suap

Gratifikasi yang dianggap suap yaitu gratifikasi yang diterima oleh pegawai negeri
atau penyelenggara negara yang berhubungan dengan kewajiban atau tugasnya, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Contoh Gratifikasi yang dianggap suap adalah pemberian pinjaman
barang dari rekanan kepada pejabat/pegawai nnegeri secara cuma-cuma dan pemberian tiket
perjalanan oleh rekanan kepada penyelenggara negara atau pegawai negeri atau keluarganya
untuk keperluan dinas/pribadi secara cuma-cuma.

2. Gratifikasi yang tidak dianggap suap


Gratifikasi yang tidak dianggap suap yaitu Gratifikasi yang diterima oleh Pegawai
Negeri atau Penyelenggara Negara yang berhubungan dengan jabatan dan tidak berlawanan
dengan kawajiban atau tugasnya sebagaimana dimaksud dalam dalam Pasal 12 B
UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun1 999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kegiatan resmi Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang sah dalam pelaksanaan
tugas, fungsi dan jabatannya dikenal dengan Kedinasan.

Dalam menjalankan kedinasannya Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara sering


dihadapkan pada peristiwa gratifikasi sehingga Gratifikasi yang Tidak Dianggap Suap dapat
dibagi menjadi 2 sub kategori yaitu Gratifikasi yang Tidak Dianggap Suap yang Terkait
Kedinasan dan Gratifikasi yang Tidak Dianggap Suap yang Tidak Terkait Kedinasan.
Gratifikasi yang Tidak Dianggap Suap yang terkait dengan Kegiatan Kedinasan meliputi
penerimaan dari:

a. Pihak lain berupa cinderamata dalam kegiatan resmi kedinasan sepertirapat, seminar,
workshop, konferensi, pelatihan atau kegiatan lain sejenis;
b. Pihak lain berupa kompensasi yang diterima terkait kegiatan kedinasan,seperti
honorarium, transportasi, akomodasi dan pembiayaan lainnya sebagaimana diatur pada
Standar Biaya yang berlaku di instansi penerima, sepanjang tidak terdapat pembiayaan
ganda, tidak terdapat Konflik Kepentingan, atau tidak melanggar ketentuan yang
berlaku diinstansi penerima.
Untuk mengetahui kapan gratifikasi menjadi kejahatan korupsi, perlu dilihat rumusan
Pasal 12B Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001. “Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan
dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:...”Jika dilihat dari
rumusan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwasuatu gratifikasi atau pemberian
hadiah berubah menjadi suatu yang perbuatan pidana suap khususnya pada seorang
Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri adalah pada saat Penyelenggara Negara atau
Pegawai Negeri tersebut melakukan tindakan menerima suatu gratifikasi atau pemberian
hadiah dari pihak manapun sepanjang pemberian tersebut diberikan berhubungan dengan
jabatan ataupun pekerjaannya.

Salah satu kebiasaan yang berlaku umum di masyarakat adalah pemberian tanda terima
kasih atas jasa yang telah diberikan oleh petugas, baik dalam bentuk barang atau bahkan
uang. Hal ini dapat menjadi suatu kebiasaan yang bersifat negatif dan dapat mengarah
menjadi potensi perbuatan korupsi dikemudian hari. Potensi korupsi inilah yang berusaha
dicegah oleh peraturan undang-undang. Oleh karena itu, berapapun nilai gratifikasi yang
diterimaseorang Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri, bila pemberian itu patut diduga
berkaitan dengan jabatan/kewenangan yang dimiliki, maka sebaiknya Penyelenggara Negara
atau Pegawai Negeri tersebut segera melaporkannya pada KPK untuk dianalisis lebih lanjut.
Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak benar bila Pasal 12B dalam Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 telah melarang praktik gratifikasi
atau pemberian hadiah di Indonesia. Sesungguhnya, praktik gratifikasi atau pemberian hadiah
di kalangan masyarakat tidak dilarang tetapi perlu diperhatikan adanya sebuah rambu
tambahan yaitu larangan bagi Pegawai Negeri/Penyelenggara Negara untuk menerima
gratifikasi yang dapat dianggap suap.

4. Dampak Gratifikasi

Gratifikasi akan menyebabkan dampak-dampak negatif. Hadiah pegawai (gratifikasi)


ini akan merusak tatanan negara secara keseluruhan dan akan mengganggu kerja pegawai,
serta mencabut rasa amanah dari diri mereka. Dampak negatif tersebut bisa dirinci sebagai
berikut:

1) Pegawai akan cenderung lebih senang untuk melayani orang yang memberikan hadiah
kepadanya. Sebaliknya dia malas untuk melayani orang-orang yang tidak memberikan
hadiah kepadanya, padahal semua konsumen mempunyai hak yang sama, yaitu
mendapatkan pelayanan dari pegawai tersebut secara adil dan proposional, karena
pegawai tersebut sudah mendapatkan gaji secara rutin dari perusahaan tempat ia
bekerja.
2) Pegawai apabila mendapatkan hadiah dari salah seorang konsumen, akan membuat ia
bekerja tidak profesional. Dia merasa tidak mewakili perusahaan yang mengirimnya,
tetapi merasa bahwa dia bekerja untuk dirinya sendiri.
3) Pegawai ketika bekerja selalu dalam keadaan berharap hadiah dari konsumen. Hal ini
merupakan kebiasaan buruk yang harus dihilangkan.
4) Dengan adanya gratifikasi, pandangan dan rasa percaya masyarakat terhadap lembaga
pemerintahan sedikit tercoreng.

5. Upaya Pencegahan Praktek Gratifikas


Berbagi upaya pencegahan gratifikasi salah satunya dengan membangun Program
Pengendalian Gratifikasi (PPG) yaitu upaya pencegahan tindak pidana korupsi melalui
pengendalian gratifkasi. Dengan program ini, maka proses pelaporan gratifkasi dapat
dilakukan melalui Kementerian/Lembaga yang melaksanakannya. Beberapa kegiatan yang
dapat dilakukan dalam membangun PPG adalah sebagai berikut:

1) Menyusun tata nilai atau standar nilaiT ata nilai/standar nilai dalam organisasi, tidak
lepas dari upaya mewujudkan visi dan misi organisasi dan tata nilai tersebut sifatnya
spesifk bagi organisasi yang bersangkutan.
2) Menyusun kode etik Kode Etik atau dalam Bahasa Inggris disebut a code of etic atau
code of conduct adalah suatu dokumen formal yang mengatur perilaku yang
diharapkan pada suatu organisasi dan orang yang bekerja dalam organisasi tersebut.
3) Membentuk unit pengendalian gratifikasiUnit Pengendalian Gratifkasi (UPG) adalah
unit yang melaksanakan program pengendalian gratifkasi pada suatu
Ke-menterian/Lembaga. Dalam membentuk organisasi ini perlu dipertimbangkan
beberapa faktor, antara lain Struktur Organisasi, Sumber Daya Manusia, Mekanisme
Kerja dan Fasilitas dan Pembiayaan.
4) Mengoperasionalkan program pengendalian gratifikasi Kegiatan operasional Program
Pengendalian Gratifkasi (PPG), tidak hanya menangani pelaporan penerimaan
gratifkasi semata untuk selanjutnya diteruskan kepada KPK, tetapi juga melakukan
kegiatan-kegiatan sosialisasi, seminar, lokakarya maupun pelatihan. Disamping itu
juga mengupaya kanmembangun munculnya kesadaran setiap karyawan/pegawai
melaporkan atas pelanggaran etika yang terjadi dan tindak lanjutnya dapat segera
dilaksanakan tanpa pandang bulu.
5) Melakukan evaluasi berkesinambungan, Evaluasi atas kegiatan UPG merupakan
kegiatan untuk mengukur tingkatkeber-hasilan program pengendalian gratifkasi dalam
sebuah organisasi. Selain itu evaluasi ini dapat pula dipakai untuk mengukur tingkat
kesadaran pegawai dalam pelaporan maupun pengandalian gratifkasi.
6) Melakukan pengembangan program pengendalian gratifikasi Sebagai organisasi yang
dinamis, UPG di-harapkan tidak hanya melakukan pekerjaan rutinitas semata, tetapi
juga mampu secara terus menerus mengembangkan diri ke arah yang lebih baik.
Sistem pelaporan gratifkasi atau pelanggaran atas kode etik yang mudah dan cepat
namun tetap menjamin kerahasiaan pelapor melalui pengembangan teknologi
informasi dirasa merupakan pilihan terbaik. Selain itu membangun dan
memberdayakan motor penggerak integritas (tunas integritas) juga merupakan
langkah yang baik guna memacu tumbuhnya integritas dalam diris etiap pegawai.

Berikut adalah hal – hal yang bisa dilakukan oleh individu untuk menghindarkan diri dari
praktek gratifikasi :

a) Membentengi diri dengan agama yang kuat.


b) Tanamkan pada diri bahwa korupsi merupakan kejahatan.
c) Batasi kebutuhan pribadi anda dengan kemampuan keuangan anda.
d) Berlakukan sistem pembayaran LS di kantor pada setiap pengeluaran /transaksi.
e) Jalin kerja sama dengan orang yang mempunyai kredibilitas baik.

6. Contoh Kasus Gratifikasi


Beberapa contoh kasus gratifikasi berdasarkan ketentuan pasal 12B Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun. Tentu saja hal ini hanya
merupakan sebagian kecil dari situasi-situasi terkait gratifikasi yang seringkali terjadi.
Contoh-contoh Pemberian yang dapat dikategorikan sebagai Gratifikasi :

 Pemberian hadiah atau uang sebagai ucapan terima kasih karena telah dibantu.
 Hadiah atau sumbangan pada saat perkawinan anak dari pejabat oleh rekanan kantor
pejabat tersebut.
 Pemberian tiket perjalanan kepada pejabat atau keluarganya untuk keperluan pribadi
secara cuma-cuma.
 Pemberian potongan harga khusus bagi pejabat untuk pembelian barang atau jasa dari
rekanan.
 Pemberian biaya atau ongkos naik haji dari rekanan kepada pejabat.
 Pemberian hadiah ulang tahun atau pada acara-acara pribadi lainnya dari rekaman.
 Pemberian hadiah atau souvenir kepada pejabat pada saat kunjungan kerja.
 Pemberian hadiah atau parsel kepada pejabat pada saat hari raya keagamaan, oleh
rekanan atau bawahannya.

Seluruh pemberian tersebut diatas, dapat dikategorikan sebagai gratifikasi, apabila ada
hubungan kerja atau kedinasan antara pemberi dan dengan pejabat yang menerima, dan/atau
semata-mata karena keterkaitan dengan jabatan atau kedudukan pejabat tersebut.

A. Contoh Kasus Ilustrasi Gratifikasi


 Kasus 1
Seorang pejabat melakukan perjalanan dinas jabatan dalam rangka mengikuti
kegiatan di luar daerah. Pejabat tersebut mengikut sertakan istri dan anak-anaknya
untuk ikut dalam perjalanan tersebut. Tetapi semua biaya perjalanan mulai dari tiket
sampai dengan akomodasi hotel dibiayai oleh instansi tempat dimana dia bekerja.
Padahal istri dan anak-anaknya tidak memiliki hubungan dengan kegiatan yang akan
diikuti oleh pejabat tersebut.
Pada kasus diatas merupakan tindakan gratifikasi karena instansi terbebani
dengan membiayai semua perjalanan istri dan anak-anak pejabat tersebut yang tidak
ada kaitanya dengan kegiatan yang akan diikuti oleh pejabat, seharusnya jika keluarga
pejabat tersebut ikut sebaiknya menggunakan biaya pribadi dan tidak membebankan
kepada instansi.
 Kasus 2
Seorang dosen pembimbing dan penguji menerima parsel dari mahasiswa
yang dibimbingnya ataupun yang diujinya dengan alasan rasa terima kasih. Kasus
tersebut merupakan konsep gratifikasi karena walaupun pemberian parcel tersebut
diberikan secara sukarela dan tulus hati kepada dosen, tetapi pemberian tersebut dapat
dikategorikan sebagai pemberian yang berhubungan dengan jabatan dan berkaitan
dengan kewajibannya sebagaid osen, oleh karena itu mahasiswa berhak dan pantas
untuk diberikan bimbingan dan diuji oleh seorang dosen disetiap perguruan tinggi.
Dengan adanya pemahaman ini, maka seyogyanya masyarakat tidak perlu
tersinggung seandainya pegawai negeri/penyelenggara negara menolak suatu
pemberian, ataupun hadiah yang akan diberikan, hal ini dilakukan dikarenakan
kesadaran terhadap apa yang mungkin tersembunyi di balik gratifikasi tersebut dan
kepatuhannya terhadap peraturan perundangan.
B. Contoh Kasus Nyata Gratifikasi Dalam Pemerintahan
 Gratifikasi Bupati Purbalingga Tahun 2018
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Bupati Purbalingga, Tasdi
sebagai tersangka kasus dugaan gratifikasi terkait pengadaan barang dan jasa di
Pemerintah Kabupaten Purbalingga. Ketua KPK Agus Rahardjo menyatakan, ada
empat orang yang ditetapkan sebagai tersangka selain Tasdi (TSD), yakni Hadi
Iswanto alias (HIS) selaku Kabag ULP Pemerintah Kabupaten Purbalingga, Hamdani
Kosenalias (HK), Librata Nababan alias (LN), Ardirawinata Nababan alias(AN) yang
ketiganya berasal dari pihak swasta. "Disimpulkan adanya dugaan tindak pidana
korupsi menerima hadiah atau janji oleh Bupati Purbalingga terkait pengadaan barang
dan jasa di pemerintahan kabupaten Purbalingga dengan 5 orang sebagai tersangka,"
ucap Agus Rahardjo di Gedung Merah Putih KPK, Selasa (5/6/2018). Dalam
perkaraini, Tasdi melalui perantara HIS diduga menerima fee sebesar Rp. 100 juta
yang merupakan bagian dari commitment fee sebesar 2,5 persen daritotal nilai proyek
Purbalingga Islamic Center sebesar Rp. 500 juta dariLN. "TSD diduga menerima fee
Rp. 100 juta dari pemenang proyek pembangunan Purbalingga Islamic Center yakni
LN dan HK melalui perantara HIS," ucap Agus. Pada kasus ini, KPK mengamankan
uang Rp100 juta rupiah dalam bentuk pecahan seratus ribu dan mobil Avanza yang
digunakan HIS untuk menerima uang. "KPK mengamankan barang bukti sejumlah
uang dan mobil yang diduga terkait tindak pidana tersebut" kata Agus.
Atas perbuatan tersebut, KPK menyangkakan kepada pihak yang menerima
yakni TSD dan HIS melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau pasal 11 dan pasal
12 B Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto pasal
55 ayat (1) ke-1 KUHP. Sedangkan kepada pihak pemberi yakni HK, LN dan
AN,KPK menyangkakan pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau pasal 13 Undang-
undang Nomor 31 Tahun 1998 tentang Tindak Pidana Korupsis ebagaimana diubah
dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas didapat kesimpulan bahwa arah kebijakan
pemerintah di bidang pemberantasan korupsi adalah yakni dengan diundangkannya
berbagi peraturan perundang-undangan khusus di bidang pemberantasan korupsi.
Sebagai bentuk komitmen moral dalam berupaya menciptakan pemerintahan yang bersih
( clean governance ). Serta penegakan hukum tidak dapat dipisahkan dari unsur-unsur
seperti subtansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum. Unsur yang paling dominan
mempengaruhi tidak efektifnya penegakan hukum di bidang korupsi di indonesia adalah
unsur struktur hukum, terkait dengan aparat penegak hukum. Tetapi tentunya dengan
tetap tidak mengabaikan pengaruh dua unsur lainnya. Atau dengan kata lain dua unsur
lain bukan tidak berpengaruh, tetapi tidak sesignifikan unsur struktur hukum (penegak
hukum). Bahwa untuk lebih mengefektifkan penegekan hukum di bidang korupsi
perlu kerjasama antar negara.

Gratifikasi adalah suatu pemberian, imbalan atau hadiah oleh orang yang pernah
mendapat jasa atau keuntungan atau oleh orang yang telah atau sedang berurusan dengan
sutau lembaga publik atau pemerintah dalam misalnya untuk mendapatkan suatu kontrak.
Dimana gratifikasi sudah dilandaskan dalam pasal No. 20 Tahun 2001. Gratifikasi itu sendiri
ada yang dianggap suap maupun tidak. Gratifikasi juga berdampak buruk, serta banyaknya
contoh yang bisa kita lihat sekarang gratifikasi yang dilakukan.

B. Saran
Kita sebagai seorang mahasiswa dan terpalajar hendaknya bisa membedakan
gratifikasi dan korupsi dan bisa menghindari gratifikasi dimana pun kita berada dan pelajari
sehingga kita tidak menyimpang serta pahami tentang gratifikasi. Agar menjadi penerus
bangsa yang berguna.
DAFTAR PUSTAKA
Mauliddar, N. Din, M. Rinaldi, Y. 2017. Gratifikasi Sebagai Tindak pidana Korupsi Terkait
Adanya Laporan Penerima Gratifikasi. Kanun Jurnal Ilmu Hukum, Vol 19(1), pp155-173.
Magister Ilmu Hukm Fakultas Hukum: Universitas Syiah Kuala.
Direktorat Gratifikasi. 2014. Buku Saku Memahami Gratifikasi. Komisi
PemberantasanKorupsi Republik Indonesia
Arya Maheka, 2008, Mengenali Dan Memberantas Korupsi di Indonesia, Komisi
Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, Jakarta
Mahfud MD, 2008, Hukum Tak Kunjung Tegak, PT. Citra Aditya Bakti, BandungMuchsin,
H. 2006, Hukum dan Kebijakan Publik. Refika Aditama, Jakarta
https://ojs.unud.ac.id/index.php/Kerthanegara/article/view/19029/12492

http://akperrsdustira.ac.id/wp-content/uploads/2017/07/Buku-Pendidikan-Anti-Korupsi-untuk-
Perguruan-Tinggi-2017-bagian-2-.pdf

https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexetsocietatis/article/view/5380/4887

https://pendidikan.co.id/pengertian-gratifikasi/

Anda mungkin juga menyukai