Anda di halaman 1dari 43

JOURNAL READING

MANAJEMEN KLINIK DALAM PERSIAPAN


KERJASAMA DENGAN BPJS KESEHATAN
Disusun untuk Memenuhi Tugas Praktik Manajemen Pelayanan Kebidanan

Oleh :
FITRI HANDAYANI HASIBUAN
NIM. P07524719004

PEMBIMBING INSTITUSI
SUSWATI, SST, M.KES

POLTEKKES KEMENKES RI MEDAN


JURUSAN KEBIDANAN MEDAN
PRODI PROFESI BIDAN
2020
HALAMAN PENGESAHAN

JOURNAL READING

MANAJEMEN KLINIK DALAM PERSIAPAN


KERJASAMA DENGAN BPJS KESEHATAN
Oleh:
FITRI HANDAYANI
HASIBUAN NIM : P07524719004

Menyetujui,
Pembimbing Institusi

Suswati, SST, M.Kes


NIP: 196505011988032001

Mengetahui,
Ketua Program Studi Pendidikan Profesi Bidan

Ardiana Batubara, SST,M.Keb


NIP:196605231986012001
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena atas berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Laporan
Jurnal reading dalam Manajemen Pelayanan Kebidanan ini dengan baik. Dalam
kesempatan ini penulis menghanturkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar
– besarnya kepada dosen pembimbing ibu Suswati, SST,M.Kes.
Penulis juga mengakui bahwa dalam proses penulisan laporan ini, masih
jauh dari kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun
demikian penulis telah berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan
yang dimiliki.
Dan oleh karenanya, penulis dengan rendah hati dan dengan tangan
terbuka menerima masukan kritik dan saran yang membangun guna perbaikan
dan penyempurnaan makalah ini dikemudian hari.
Akhirnya penulis berharap, makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh
pembaca. Dan dapat memberikan kontribusi yang positif serta bermakna dalam
proses perkuliahan Profesi bidan.

Medan, Mei 2020

Fitri Handayani Hasibuan

i
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul ……………………………… i
Halaman Pengesahan ……………………………… ii
Kata Pengantar ……………………………… iii
Daftar Isi ……………………………… iv

BAB I: PENDAHULUAN
A. Judul (Jurnal yang dilaporkan) ……………………………… 1
B. Abstrak ……………………………… 1
C. Pendahuluan ………………………………. 1

BAB II: TELAAH JURNAL


A. Judul Jurnal ………………………………. 14
B. Abstrak ……………………………… 14
C. Pendahuluan ……………………………… 14
D. Metodologi ………………………………. 14
E. Hasil dan Pembahasan/ Diskusi ………………………………. 14
F. Kesimpulan dan Saran ……………………………… 14

BAB III: TINJAUAN TEORI


A. Konsep Manajemen ………………………………. 16
B. Teori Praktik Mandiri Bidan ………………………………. 21
BAB IV: PENUTUP
A. Kesimpulan ……………………………….
B. Saran ………………………………. 38
38
DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Judul
“Manajemen Klinik Dalam Persiapan Kerjasama Dengan Bpjs
Kesehatan”.
B. Abstrak
Indonesia sedang mempersiapkan sistem asuransi sosial yang diatur dan
dioperasikan oleh “BPJS” (Badan Pelaksana Jaminan Sosial). Salah satu
bidang yang dicakup oleh “BPJS” adalah Program Jaminan Kesehatan, yang
disebut sebagai “BPJS Kesehatan”. “BPJS Kesehatan” akan membutuhkan
kesepakatan dan kerjasama dengan fasilitas kesehatan primer seperti:Praktek
Dokter Swasta, Klinik atau “Puskesmas” (Pusat Kesehatan Masyarakat) dalam
kontrak hukum. Di Indonesia, klinik adalah biasanya dikelola oleh swasta dan
sangat berbeda dengan fasilitas praktik swasta yang dijalankan oleh individu
dan juga “Puskesmas” yang dikelola oleh pemerintah kabupaten atau kota.
Klinik harus memiliki status hukum sendiri, bayar gaji dari pendapatan
sendiri, dll. Oleh karena itu klinik sebagai organisasi harus mempersiapkan
dan mengelola dengan baik sebelum mereka membubuhkan tanda tangan pada
kontrak dengan “BPJS Kesehatan”. Setidaknya, ada 7 aspek utama yang harus
disiapkan oleh klinik yaitu: (1) Status Hukum, (2) Sumber Daya Manusia, (3)
Fasilitas, (4) Standarisasi, (5)Pemasaran, (6) Harga, (7) Sistem Informasi.
Sebuah klinik tidak perlu khawatir atau merasa bingung untuk berurusan
dengan “BPJS Kesehatan” ketika 7 aspek utama ini dipersiapkan dengan baik,
bahkan lebih banyak lagi yang terkelola dengan baik.
Kata kunci: Sistem Asuransi, Fasilitas Kesehatan, Klinik

C. Pendahuluan
Kondisi industri jasa pelayanan kesehatan semakin berkembang dan
penuh dinamika permasalahan. Permasalahan kesehatan di Indonesia saat ini
pun juga penuh permasalahan baik dari mutu pelayanan, SDM pemberi
pelayanan, manajemen pelayanan. Pelayanan kesehatan di masa depan

1
mendapatkan tantangan yang tidak ringan, termasuk di Indonesia. Tantangan
yang pertama, pelayanan kesehatan dituntut untuk memberikan pelayanan
dengan biaya yang rendah (baca: murah)namun harus memberikan pelayanan
yang bermutu tinggi.Pemberian pelayanan kesehatan harus dilakukan dengan
penuh perhitungan dan kaidah ekonomi yang benar sehingga upaya yang
dikeluarkan oleh penyedia jasa pelayanan kesehatan menjadi efisien.
Penyedia jasa pelayanan kesehatan dituntut untuk terus meningkatkan mutu
pelayanan baik dari aspek kepuasan, kenyamanan serta keselamatan pasien
sehingga pelayanan kesehatan menjadi efektif.
Tantangan yang kedua, pelayanan kesehatan saat ini tidak hanya terkait
dengan masalah kedokteran (medis teknis) serta kesehatan saja namun juga
masalah hukum (kebijakan), ekonomi dan sosial. Penyedia jasa pelayanan
kesehatan saat ini harus memahami berbagai macam aturan atau kebijakan
baik dalam bentuk peraturan, pedoman, petunjuk teknis penyelenggaraan
pelayanan kesehatan. Penyedia jasa pelayanan kesehatan harus memahami
konsep dan kaidah di bidang ekonomi termasuk manajemen keuangan,
akuntansi, perpajakan. Penyedia jasa pelayanan kesehatan juga harus
memahami kondisi serta karakteristik sosial masyarakat di wilayah kerja
pemberian pelayanan sehingga pemberian pelayanan kesehatan tidak terlepas
dari norma, nilai serta budaya yang berlaku di masyarakat setempat.
Tantangan yang ketiga, pembiayaan pelayanan kesehatan dilakukan
dengan sistem penjaminan kesehatan (health coverage).Laju
peningkatanbiaya kesehatan yang ditanggung pemerintah dan masyarakat
mendorong kebutuhan terhadap sistem penjaminan kesehatan secara semesta
(universal health coverage). Artinya, tidak satu pun jiwa di dunia ini yang
tidak terjamin biaya kesehatannya. Indonesia telah menargetkan
pemberlakuan sistem pembiayaan kesehatan semesta (universal health
coverage) di mulai tahun 2014. Diharapkan pada tahun 2019 seluruh jiwa
penduduk di Indonesia telah ternaungi sistem pembiayaan kesehatan semesta.
Pemberlakuan sistem pembiayaan kesehatan semesta membutuhkan persiapan
baik dari berbagai unsur. Pemberlakuan sistem pembiayaan kesehatan

2
semesta (universal health coverage) di Indonesia dipayungi beberapa
kebijakan utama yaitu 1) Undang-undang no. 40 tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional dan 2) Undangundang no. 24 Tahun 2011 tentang
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Selanjutnya diperkuat dengan 3)
Peraturan Menteri Kesehatan no. 001 tahun 2012 tentang Sistem Rujukan
Pelayanan Kesehatan Perorangan.
KEBIJAKAN SJSN, BPJS DAN SISTEM RUJUKAN
Undang-undang no. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN), telah mengatur penyelenggaraan SJSN harus
memperhatikan asas, tujuan dan prinsip yang diamanahkan dalam undang-
undang tersebut. Pasal 19 menyebutkan, salah satu jaminan sosial yang
diamanahkan adalah jaminan kesehatan, yang harus diselenggarakan secara
nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas. Pasal 22
menyebutkan, manfaat jaminan kesehatan bersifat pelayanan perseorangan
berupa pelayanan kesehatan yang mencakup pelayanan promotif, preventif,
kuratif, dan rehabilitatif. Pasal 24 menyebutkan, Besarnya pembayaran
kepada fasilitas kesehatan untuk setiap wilayah ditetapkan berdasarkan
kesepakatan antara Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dan asosiasi fasilitas
kesehatan di wilayah tersebut.
Undang-undang no. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial, Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 9 ayat (1) menyebutkan bahwa
BPJS Kesehatan berfungsi untuk menyelenggarakan jaminan kesehatan. Pasal
11 butir d menyebutkan, membuat kesepakatan dengan fasilitas kesehatan
mengenai besar pembayaran fasilitas kesehatan yang mengacu pada standar
tarif yang ditetapkan oleh Pemerintah. Selain itu dalam Pasal 11 butir d
menyebutkan, BPJS berwenangn membuat atau menghentikan kontrak kerja
dengan fasilitas kesehatan. Peraturan Menteri Kesehatan no. 001 tahun 2012,
Pasal 2 menyebutkan pelayanan kesehatan perorangan terdiri dari tingkat
yaitu tingkat pertama, tingkat kedua dan tingkat ketiga. Pasal 4 (1)
menyebutkan, Pelayanan kesehatan dilaksanakan secara berjenjang, sesuai

3
kebutuhan medis dimulai dari pelayanan kesehatan tingkat pertama. Berikut
adalah gambar jenjang sistem pelayanan kesehatan perorangan.
Berdasarkan Pasal 5, ayat 1 menyebutkan bahwa sistem rujukan
diwajibkan bagi pasien yang merupakan peserta jaminan kesehatan atau
asuransi kesehatan sosial dan pemberi pelayanan kesehatan. Ayat 2
menyebutkan, Peserta asuransi komersial mengikuti aturan yang berlaku
sesuai dengan ketentuan dalam polis asuransi dengan tetap mengikuti
pelayanan kesehatan yang berjenjang. Ayat 3 menyebutkan, Setiap orang
yang bukan peserta jaminan kesehatan atau asuransi kesehatan sosial,
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengikuti sistem rujukan. Dengan
demikian, di era BPJS tahun 2014 yang merupakan era asuransi pelayanan
kesehatan, ketiga kebijakan ini akan mengubah sistem dan mekanisme
pemberian pelayanan di Indonesia. Hal ini harus diantisipasi oleh semua
unsur pemberi dan penyedia pelayanan kesehatan, salah satunya adalah
klinik. Manajemen sebagai pengelola sebuah klinik harus memahami dan
menyadari semua unsure.
Tingkatan Pelayanan Kesehatan Perorangan Berdasarkan Permenkes
001/2012 Berdasarkan Pasal 5, ayat 1 menyebutkan bahwa sistem rujukan
diwajibkan bagi pasien yang merupakan peserta jaminan kesehatan atau
asuransi kesehatan sosial dan pemberi pelayanan kesehatan. Ayat 2
menyebutkan, Peserta asuransi kesehatan komersial mengikuti aturan yang
berlaku sesuai dengan ketentuan dalam polis asuransi dengan tetap mengikuti
pelayanan kesehatan yang berjenjang. Ayat 3 menyebutkan, Setiap orang
yang bukan peserta jaminan kesehatan atau asuransi kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat di era BPJS tahun 2014 yang merupakan era
asuransi pelayanan kesehatan, ketiga kebijakan ini akan mengubah sistem dan
mekanisme pemberian pelayanan di Indonesia. Hal ni harus diantisipasi oleh
semua unsur pemberi dan penyedia pelayanan kesehatan, salah satunya
adalah klinik. Manajemen sebagai pengelola sebuah klinik harus memahami
dan menyadari semua unsur yang dibutuhkan dalam mempersiapkan
kliniknya guna menghadapi era BPJS.

4
KEBIJAKAN PENYELENGGARAAN KLINIK MENURUT
PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 28 TENTANG KLINIK
Penyelenggaraan klinik di Indonesia telah diatur dalam Peraturan Menteri
Kesehatan (PMK) No. 28 tahun 2011 tentang Klinik. Definisi Klinik adalah
fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan
perorangan yang menyediakan pelayanan medis dasar dan/atau spesialistik,
diselenggarakan oleh lebih dari satu jenis tenaga kesehatan dan dipimpin oleh
seorang tenaga medis sebuah klinik harus menentukan pelayanan yang akan
disediakan, karena bisa terbatas pada pelayanan medis dasar, atau pelayanan
spesialistik, atau keduanya. Keputusan ini akan mempengaruhi strata sebuah
klinik yang diselenggarakan.
Tingkatan Pelayanan Kesehatan Perorangan Berdasarkan Permenkes
001/2012 yang dibutuhkan dalam mempersiapkan kliniknya KEBIJAKAN
PENYELENGGARAAN KLINIK MENURUT PERATURAN MENTERI
KESEHATAN NOMOR 28 TENTANG KLINIK Penyelenggaraan klinik di
Indonesia telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) No. 28
tahun 2011 tentang Klinik. Definisi Klinik fasilitas pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan yang menyediakan
pelayanan medis dasar dan/atau spesialistik, diselenggarakan oleh lebih dari
satu jenis tenaga kesehatan dan dipimpin oleh seorang tenaga medis. Dengan
demikian, sebuah klinik harus menentukan pelayanan yang akan disediakan,
karena bisa terbatas pada pelayanan medis dasar, atau pelayanan spesialistik,
atau keduanya. Keputusan ini akan mempengaruhi klinik yang
diselenggarakan.
Terdapat dua strata penyelenggaraan klinik yaitu: 1) Klinik Pratama dan
2) Klinik Utama. Klinik Pratama adalah strata klinik yang terbatas
menyelenggarakan pelayanan medis dasar. Klinik Utama adalah strata klinik
yang dapat menyelenggarakan pelayanan medis spesialistik saja, atau juga
sekaligus menyelenggarakan pelayanan medis dasar. Penyelenggaraan klinik
harus memperhatikan beberapa persyaratan meliputi: 1) Syarat Lokasi; 2)
Syarat Bangunan dan Ruangan; 3) Sarana dan Prasarana; 4) Peralatan; 5)

5
Ketenagaan. Lokasi klinik yang akan didirikan harus sesuai dengan rencana
tata ruang dan tata wilayah (RTRW) di suatu wilayah (kota atau kabupaten).
Persyaratan ini perlu perhatian dari pihak pemrakarsa pendirian klinik karena
sangat berisiko sebuah klinik terlanjur didirikan di lokasi yang tidak sesuai
dengan peruntukan RTRW harus dipindahkan secara paksa. Risiko ini
tentunya akan berdampak besar pada operasional suatu klinik. Bangunan dan
ruangan klinik dipersyaratkan harus permanen dan tidak bergabung dengan
tempat tinggal atau unit kerja lainnya. Bangunan klinik juga harus memenuhi
persyaratan lingkungan sehat serta memperhatikan kemudahan akses,
keamanan dan keselamatan bagi semua orang termasuk penyandang cacat,
anak-anak dan orang usia lanjut. Penyediaan ruangan di sebuah klinik
menyesuaikan dengan penyelenggaraan pelayanan namun paling tidak
terdapat ruang admisi, ruang tunggu, ruang konsultasi, ruang tindakan, ruang
farmasi, ruang administrasi serta beberapa ruangan sesuai kebutuhan
pelayanan. Selain bangunan dan ruangan, unsur sarana, prasarana termasuk
peralatan di suatu klinik juga harus diperhatikan dan dipersiapkan antara lain:
1) instalasi air; 2) instalasi listrik; 3) instalasi sirkulasi udara; 4) instalasi
pengolahan limbah (padat dan cair); 5) instalasi pencegahan dan
penanggulangan kebakaran.
Seluruh sarana prasarana tersebut tentunya harus berfungsi dengan baik,
termasuk dilakukan pemeriksaan dan kalibrasi secara berkala. Sebagai
contoh, instalasi pencegahan dan penanggulangan kebakaran harus dipastikan
kesiapannya untuk dapat digunakan sehingga harus diperiksa dan ditera ulang
secara rutin. Persyaratan ketenagaan di suatu klinik disesuaikan dengan strata
dan jenis pelayanan yang diselenggarakan oleh sebuah klinik. Ketenagaan
klinik terdiri dari tenaga medis, tenaga kesehatan dan tenaga non kesehatan.
Semua tenaga kesehatan di sebuah klinik harus melengkapi dirinya dengan
Surat Tanda Registrasi, bagi tenaga medis harus dilengkapi dengan Surat Ijin
Praktek (SIP), bagi tenaga kesehatan lain harus dilengkapi dengan Surat Ijin
Kerja (SIK). Sebuah klinik tidak diperbolehkan mempekerjakan tenaga
kesehatan warga negara asing. Penyelenggaraan klinik tentunya tidak terlepas

6
dari sejumlah kewajiban yang mengikat. Kewajiban klinik diatur dalam Pasal
25 diantaranya: 1) memberikan pelayanan yang aman, bermutu dengan
mengutamakan kepentingan terbaik pasien sesuai dengan standar profesi,
standar pelayanan dan standar prosedur operasional; 2) menyelenggarakan
rekam medis; 3) melaksanakan sistem rujukan; 4) memiliki peraturan internal
dan standar prosedur operasional. Pengelola klinik (termasuk tenaga
kerjanya) mempunyai kewajiban untuk memenuhinya agar tidak bermasalah
secara hukum.
PERSIAPAN KERJASAMA DENGAN BPJS KESEHATAN Era BPJS
2014 merupakan kondisi yang tidak dapat dihindari oleh semua fasilitas
pelayanan kesehatan di Indonesia. Penataan dan persiapan yang matang harus
terus dilakukan, juga harus dilakukan secara lebih cepat karena waktu yang
semakin pendek. Minimal terdapat 7 (tujuh) unsur yang harus ditata dan
dipersiapkan sebuah Klinik dalam rangka menyongsong era BPJS tahun 2014
antara lain: 1) Legalitas, 2) Sumber Daya Manusia, 3) Fasilitas, Sarana dan
Prasarana, 4) Standarisasi, 5) Pemasaran, 6) Tarif, dan 7) Sistem Informasi. 1.
Legalitas Seperti yang telah dijelaskan di awal bahwa bidang kesehatan tidak
hanya bersinggungan dan berurusan dengan aspek teknis kedokteran saja,
namun juga tetap harus memperhatikan aspek hukum (legalitas). Sesuai
dengan amanah dalam Permenkes 28 tahun 2011 tentang Klinik, maka sebuah
klinik dapat berupa badan usaha. Bentuk badan usaha yang diakui antara lain
Perseroan, Yayasan atau CV.
Khusus untuk klinik utama yang hanya menyelenggarakan pelayanan
rawat jalan, kepemilikan klinik dapat secara perorangan saja tanpa harus
berbentuk badan usaha. BPJS sebagai sebuah badan hukum dalam
menjalankan amanah sebagai pengelola jaminan sosial akan bekerjasama
dengan sejumlah fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia. Mekanisme
perjanjian kerjasama antara BPJS dengan fasilitas pelayanan kesehatan masih
belum diketahui secara pasti, namun secara hukum maka BPJS seharusnya
hanya bekerjasama dengan fasilitas pelayanan kesehatan yang juga diakui
secara hukum. Sangat dimungkinkan BPJS tidak bekerjasama dengan fasilitas

7
pelayanan kesehatan yang tidak berbadan hukum atau berbadan usaha,
sehingga akan lebih baik bila kepemilikan sebuah klinik berbentuk badan
usaha.
Selain aspek kepemilikan, klinik juga mempunyai kewajiban memiliki
dokumen peraturan internal (Corporate Bylaws). Bentuk dokumen peraturan
internal sebuah klinik sangat dipengaruhi oleh badan usaha yang menaungi.
Dokumen peraturan internal klinik mengatur hubungan antara pemilik dan
pengelola klinik terutama dalam hal kewajiban, tanggung jawab, wewenang
dan peran masing-masing. Dokumen corporate bylaws sangat berbeda dengan
dokumen AD/ART dan akte notaris pembentukan badan usaha, namun dapat
digunakan sebagai acuan. 2. Sumber Daya Manusia Kesiapan SDM,
utamanya SDM (tenaga) kesehatan baik tenaga medis, tenaga keperawatan
dan tenaga non medis merupakan unsur yang penting untuk diperhatikan
dalam penyelenggaraan klinik. Kesiapan SDM yang paling utama adalah
aspek kompetensi meliputi: 1) pengetahuan, 2) kemampuan, 3) ketrampilan
dan 4) legalitas. Tenaga kesehatan khususnya tenaga medis harus memiliki
pengetahuan tentang hubungan timbal balik antara faktor biologis, sosial dan
emosional dengan penyakit yang dihadapi (Keputusan Menteri Kesehatan No.
039 Tahun 2007).
Oleh karena itu, dalam memberikan pelayanan harus memanfaatkan
pendekatan menyeluruh (holistic approach). Selain itu, tenaga medis harus
menguasai kemampuan dan ketrampilan diagnosis, serta kemampuan merujuk
yang handal (Keputusan Menteri Kesehatan No. 039 Tahun 2007).
Keberadaan Peraturan Menteri Kesehatan No. 001 Tahun 2012 tentang
Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan hanya akan berhasil bila
didukung tenaga medis dengan kemampuan merujuk yang handal. Tanpa
kemampuan merujuk yang handal akan berdampak pada mekanisme
pembayaran klaim dari BPJS. Pemberian pelayanan yang tidak memenuhi
kebijakan (peraturan, ketentuan) tentang kriteria rujukan tidak akan
diverifikasi oleh pihak BPJS dan tidak akan ditanggung. Kebijakan tentang
sistem rujukan pelayanan kesehatan perorangan harus dipahami dengan baik

8
oleh tenaga kesehatan yang dipekerjakan oleh klinik agar tidak merugikan
pihak manajemen klinik. Diperlukan komunikasi yang intens agar
pelaksanaan sistem rujukan pelayanan kesehatan perorangan ini baik bagi
penyedia pelayanan (klinik dan tenaga kesehatannya) maupun pengguna
pelayanan (pasien dan masyarakat). 3. Fasilitas (Sarana dan Prasarana) Sesuai
dengan Peraturan Menteri Kesehatan No. 28 tahun 2011 tentang Klinik,
persyaratan lokasi klinik harus mengikuti Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) yang diatur oleh pemerintah daerah setempat.
Lokasi klinik sebagai unit usaha (karena statusnya sebagai badan usaha)
maka seharusnya mematuhi peruntukan RTRW sebagai area usaha. Lokasi
klinik yang tidak sesuai peruntukan RTRW-nya akan berisiko untuk
dipindahkan lokasinya oleh pemerintah daerah atau minimal tidak akan
diberikan izin mendirikan klinik. Bangunan klinik dipersyaratkan berbentuk
permanen dan tidak boleh bergabung dengan tempat tinggal serta memenuhi
syarat lingkungan sehat. Persyaratan ini memang baik tujuannya, namun
membawa konsekuensi biaya yang besar bagi pengelola klinik terutama
terkait biaya pajak dan utilitas (air, listrik, telepon). Infrastruktur (prasarana)
klinik harus berada dalam kondisi layak guna dan berfungsi baik. Klinik pun
harus dilengkapi dengan prasarana untuk mencegah terjadinya risiko
kebakaran serta penanggulangan kebakaran. Guna mendukung pemenuhan
persyaratan lingkungan sehat, maka suatu klinik harus menyediakan instalasi
pengolahan limbah yang sesuai dengan standar nasional. Prasarana
pendukung yang juga harus diperhatikan adalah ketersediaan air bersih dan
listrik yang stabil, sehingga klinik harus memiliki cadangan air bersih dan
daya listrik yang cukup sesuai dengan kebutuhan klinik. Seluruh fasilitas,
sarana dan prasarana yang dimiliki klinik seharusnya dilengkapi dengan ijin
dan standar yang telah ditetapkan oleh pihak berwenang. Standar yang harus
diperhatikan antara lain adalah standar mutu, standar keamanan dan
keselamatan serta standar kelaikan. Penyediaan fasilitas, sarana dan prasarana
yang terstandarisasi akan meningkatkan “nilai tawar” dengan pihak BPJS
pada saat menegosiasikan kontrak kerjasama.

9
Kelengkapan sarana dan prasarana yang dimiliki klinik merupakan salah
satu upaya fasilitas kesehatan dalam mencapai standarisasi pelayanan. 4.
Standarisasi Pelayanan Klinik sebagai fasilitas penyedia pelayanan kesehatan
harus menyediakan pelayanan yang terstandarisasi. Pelayanan kedokteran
merupakan salah satu pelayanan yang diberikan oleh klinik. Pemberian
pelayanan kedokteran di Indonesia diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan
RI No. 1438 tahun 2011 tentang Standar Pelayanan Kedokteran. Dalam
kebijakan tersebut, pemberian pelayanan kedokteran diharuskan mengacu
pada pedoman praktek klinis (selanjutnya disebut PPK) yang ditetapkan di
suatu fasilitas pelayanan kesehatan.
Klinik harus segera menyusun dokumen PPK sebagai pedoman
pelayanan antara lain: Pedoman Diagnosis dan Terapi, Clinical Pathways,
serta Formularium. Demi standarisasi yang lebih baik, akan lebih efisien bila
seluruh klinik yang ada di satu wilayah membahas bersama PPK tersebut
sehingga pemberian pelayanan kedokteran di klinik yang ada di suatu wilayah
menjadi semakin terstandarisir. Seluruh tenaga kesehatan yang bekerja dan
memberikan pelayanan di klinik harus bekerja sesuai kewenangan dan standar
profesi yang telah ditetapkan. Pada era BPJS 2014, sistem rujukan pelayanan
kesehatan perorangan harus diikuti dengan kepatuhan terhadap standar
profesi. Sistem rujukan yang tidak sesuai dengan kewenangan profesinya
akan menyebabkan pihak BPJS atau perusahaan asuransi menolak membayar
klaim yang diajukan. Untuk mencapai standarisasi pelayanan maka harus
didukung dengan Standar Pelayanan Minimal (selanjutnya disebut SPM) dan
Standar Prosedur Operasional (selanjutnya disebut SPO). Klinik harus
memiliki indikator pelayanan sebagai alat bantu kendali mutu pelayanan yang
diberikan kepada pasien. Untuk dapat mencapai indikator (SPM) yang telah
ditetapkan, dibutuhkan SPO sebagai operasionalisasi langkah dan aktivitas
para pemberi pelayanan. Secara umum, dokumen SPO dapat meliputi: 1) SPO
Pelayanan, 2) SPO Administrasi, 3) SPO Teknis, dan 4) SPO Keselamatan
dan Keamanan. 5. Pemasaran Ruang lingkup manajemen klinik yang penting
untuk disiapkan adalah pemasaran. Fungsi pemasaran memegang peran

1
penting dalam industri pelayanan kesehatan. Fungsi pemasaran yang harus
dijalankan oleh klinik tidak sekedar melakukan promosi serta iklan. Menurut
Kotler et al (2001), marketing as: “A social and managerial process by which
individuals and groups obtain what they need and want though creating and
exchanging products and value with each other”. Mengacu definisi tersebut
maka klinik harus dapat menciptakan sekaligus menyampaikan produk serta
nilai dari produk tersebut. Dengan demikian, klinik harus melakukan fungsi
STP (Segmenting-Targetting-Positioning). Klinik harus memiliki gambaran
tentang pasar yang ada di wilayahnya (area bisnis), baik dari aspek geografis,
demografis maupun psikografis. Setelah memiliki gambaran selanjutnya
klinik akan memilih pasar potensial yang akan dibidik sebagai 215 Jurnal
Administrasi Kesehatan Indonesia Volume 1 Nomor 3 Juli-Agustus 2013
target pasar. Selanjutnya klinik akan memposisikan dirinya melalui
penyediaan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan target pasarnya. Untuk
dapat melakukan positioning dengan baik maka perlu memperhatikan konsep
5-P (People, Product, Place, Price, Physical Evidence). Menurut Kotler
(2012), konsep pemasaran yang paling baru adalah CC-DV-TP (Creating, and
Communicating, Delivering Value to Target [Market], to make Profit).
Berdasarkan konsep pemasaran CCDV-TP maka pihak penyedia
pelayanan harus mampu menciptakan nilai, mengkomunikasikan nilai dan
menyampaikan nilai dari suatu produk/jasa pelayanan. Penyedia pelayanan
seharusnya fokus dan memprioritaskan nilai produk yang akan disampaikan
kepada pelanggan bukan fokus pada profit yang akan didapatkan dari
pelanggan. 6. Tarif Pada era BPJS mekanisme pentarifan di fasilitas
pelayanan kesehatan juga telah diatur dalam Pasal 11 Undang-undang No. 24
tahun 2011 tentang BPJS yang berbunyi “membuat kesepakatan dengan
fasilitas kesehatan mengenai besar pembayaran fasilitas kesehatan yang
mengacu pada standar tarif yang ditetapkan oleh Pemerintah”. Dalam pasal
24 Undang-undang No. 40 tahun 2004 tentang SJSN juga mengatur
mekanisme pembayaran yang berbunyi “Besarnya pembayaran kepada
fasilitas kesehatan untuk setiap wilayah ditetapkan berdasarkan kesepakatan

1
antara Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dan asosiasi fasilitas kesehatan di
wilayah tersebut”. Dengan demikian tarif pelayanan nantinya menjadi standar
antara setiap klinik di suatu wilayah, kecuali pelayanan yang tidak dikelola
oleh BPJS. Klinik tidak dapat memegang kendali pentarifan secara penuh,
karena harus berdasarkan kesepakatan dengan pihak BPJS. Oleh karena itu,
klinik harus segera menghitung biaya satuan (unit cost) pelayanan sebagai
dasar pentarifan. Hasil perhitungan biaya satuan juga merupakan bahan
negosiasi dengan BPJS untuk mencapai kesepakatan besaran tarif.
Berdasarkan pasal 27 Peraturan Menteri Kesehatan No. 28 tahun 2011
tentang Klinik, besaran tarif pelayanan klinik berpedoman pada komponen
jasa pelayanan dan jasa sarana. Komponen jasa pelayanan meliputi: 1) jasa
konsultasi, 2) jasa tindakan, 3) jasa penunjang medik, 4) biaya pelayanan
kefarmasian, 5) ruang perawatan (khusus klinik dengan rawat inap), 6)
administrasi, dan atau 7) komponen lain penunjang pelayanan. Komponen
jasa sarana meliputi: 1) biaya penggunaan sarana dan fasilitas klinik, 2)
penggunaan sediaan farmasi (bahan medis habis pakai), 3) biaya sarana lain
yang menunjang pelayanan.
7. Sistem Informasi Klinik dan juga tenaga medis yang bekerja di klinik
diwajibkan untuk membuat pencatatan dan pelaporan. Salah satu bentuk
pencatatan dan pelaporan yang dilakukan adalah dalam bentuk dokumen
rekam medis. Dalam dokumen rekam medis terdapat banyak jumlah data dan
juga informasi terkait proses pemberian pelayanan (medik, keperawatan dan
penunjang medik). Praktik manajemen klinik yang modern harus berbasis
pada bukti (evidence based practice).
Untuk dapat mengelola sejumlah data yang terekam dalam dokumen
rekam medis dibutuhkan alat bantu berupa Sistem Informasi (SI). Oleh karena
itu klinik harus mengembangkan evidence based information system (EBIS).
EBIS merupakan tulang punggung (backbone) manajemen sebagai sistem
pendukung pengambilan keputusan (Decission Support System). Di era
teknologi informasi yang berkembang demikian cepat, maka klinik perlu
memanfaatkan teknologi informasi (TI) untuk mendukung EBIS. Melalui

1
keberadaan EBIS dengan dukungan TI yang modern maka manajemen klinik
diharapkan akan semakin efektif dan memudahkan proses manajemen.

1
BAB II
TELAAH JURNAL

A. Judul
Judul Artikel yang Saya Telaah Ditulis Oleh Tito Yustiawan Tentang
“Manajemen Klinik Dalam Persiapan Kerjasama Dengan Bpjs Kesehatan”.
Judul Artikel Ini masih kurang karena tidak ada tahun di lakukan.

B. Abstrak
Pada abstrak jurnal Tito Yustiawan tentang “Manajemen Klinik Dalam
Persiapan Kerjasama Dengan Bpjs Kesehatan”. sudah mengikuti langkah-
langkah pembuatan abstrak dimana harus terdapat konteks, pengertian, jenis
penelitian, hasil, kesimpulan kata kunci. Peneliti juga mencantumkan
kesimpulan dari hasil penelitian yang didapat didalam abstrak.

C. Pendahuluan
Pada pendahuluan tercantum pembahasan mengenai teori-teori pendukung
dari beberapa sumber untuk mendukung penelitian tersebut dan peneliti juga
mengetahui apa permasalahan/isu yang akan dikaji oleh peneliti dalam
melakukan penelitian.

D. Metodologi
Tidak terdapat metodologi penelitian.

E. Hasil Penelitian
Tidak terdapat hasil penelitian.

F. Kesimpulan dan Saran


Pada kesimpulan dari makalah ini antara lain adalah:
1. Era BPJS 2014 mengubah pola kehidupan Sistem Pelayanan Kesehatan
di Indonesia.
2. Unsur utama yang harus disiapkan klinik dalam menghadapi era BPJS

1
2014 adalah: a) Legalitas, b) SDM, c) Fasilitas, Sarana, Prasarana, 4)
Standarisasi, 5) Pemasaran, 6) Tarif, 7) Sistem Informasi Manajemen.
3. Perlu perubahan mindset dan dan budaya secara total oleh para pemberi
pelayanan untuk dapat bertahan dalam era BPJS 2014, terutama oleh
tenaga kesehatan dan tenaga pengelola klinik. Sudah terdapat kesimpulan
yang cukup baik dan rinci hanya saja tidak terdapat saran

1
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Manajemen Pelayanan Kebidanan


1. Pengertian
Manajemen adalah membuat pekerjaan selesai (getting things done).
Manajemen adalah mengungkapkan apa yang hendak dikerjakan, kemudian
menyelesaikannya. Manajemen adalah menentukan tujuan dahulu secara pasti
(yakni menyatakan dengan rinci apa yang hendak dituju) dan mencapainya.
Helen Varney, 1997, manajemen kebidanan adalah proses pemecahan
masalah yang digunakan sebagai metode untuk mengorganisasikan pikiran dan
tindakan berdasarkan teori ilmiah, penemuan-penemuan, ketrampilan dalam
rangkaian atau tahapan yang logis untuk pengambilan suatu keputusan yang
berfokus pada klien.
2. Prinsip-Prinsip
a. Efisiensi Efisiensi adalah bagaimana mencapai akhir dengan hanya
menggunakan sarana yang perlu, atau dengan menggunakan sarana
sesedikit mungkin. Efisiensi adalah ukuran mengenai hubungan antara
hasil yang dicapai dan usaha yang telah di keluarkan (misalnya oleh
seorang tenaga kesehatan).
b. Efektivitas Efektivitas adalah seberapa besar suatu tujuan sedang, atau
telah tercapai, efektivitas merupakan sesuatu yang hendak ditingkatkan
oleh manajemen.
c. Rasional dalam mengambil keputusan Pengambilan keputusan yang
rasional sangat diperlukan dalam proses manajemen. Keputusan
merupakan suatu pilihan dari dua atau lebih tindakan. Dalam istilah
manajemen, pengambilan keputusan merupakan jawaban atas pertanyaan
tentang perkembangan suatu kegiatan.
3. Langkah-langkah dalam manajemen pelayanan kebidanan:
Langkah – langkah Manajemen Pelayanan Kebidanan dibagi 3 yaitu:

1
a. P1 (Perencanaan) Perencanaan adalah proses untuk merumuskan masalah
kegiatan, menentukan kebutuhan dan sumber daya yang tersedia,
menetapkan tujuan kegiatan yang paling pokok dan menyusun langkah-
langkah untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan (landasan dasar).
Contoh:
a) Jadwal Pelayanan ANC di Posyandu, Puskesmas.
b) Rencana Pelatihan untuk kader dan nakes
b. P2 (Pengorganisasian) Pengorganisasian adalah suatu langkah untuk
menetapkan menggolong-golongkan, dan mengatur berbagai kegiatan,
penetapan tugas-tugas dan wewenang seseorang dan pendelegasian
wewenang dalam rangka pencapaian tujuan layanan kebidanan. Inti dari
pengorganisasian adalah merupakan alat untuk memadukan atau
sinkronisasi semua kegiatan yang berasfek personil, finansial, material dan
tata cara dalam rangka mencapai tujuan pelayanan kebidanan yang telah di
tetapkan.
Contoh
a) Puskesmas
b) Puskesmas Pembantu
c) Polindes dan Pembantu
d) Balai Desa
c. P3 (Penggerakan dan Pelaksanaan, Pengawasan dan Pengendalian)
Penggerakan dan Pelaksanaan adalah suatu usaha untuk menciptakan iklim
kerja sama di antara pelaksanaan program pelayanan kebidanan sehingga
tujuan dapat tercapai secara efektif dan efisien. Fungsi manajemen ini
lebih menekankan bagaimana seseorang manajer pelayanan kebidanan
mengarahkan dan menggerakkan semua sumber daya yang ada untuk
mencapai tujuan pelayanan kebidanan yang telah di sepakati.
Contoh:
a) Pencatatan dan pelaporan (SP2TP)
b) Supervisi
c) Stratifikasi Puskesmas

1
d) Survey
4. Tujuan SOP :
a. Agar petugas menjaga konsistensi pada tingkat kinerja tertentu
b. Agar mengetahui dengan jelas peran dan fungsi tiap-tiap posisi dalam
organisasi
c. Memperjelas alur tugas, wewenang dan tanggung jawab dari petugas
terkait
d. Melindungi organisasi dan staf dari malpraktik atau kesalahan administrasi
e. Menghindari kegagalan, kesalahan, keraguan dan inefisiensi

5. Fungsi SOP :
a. Memperlancar tugas petugas/tim
b. Sebagai dasar hukum bila terjadi penyimpangan
c. Mengetahui dengan mudah hambatan-hamabatan
d. Mengarahkan petugas untuk disiplin
e. Sebagai pedoman

6. Tujuan Operasional suatu manajemen harus mengandung unsur-unsur:


a. WHAT : Kegiatan apa yang akan dikerjakan harus jelas.
b. WHO : Sasarannya harus jelas, siapa yang akan mengerjakan, beberapa
yang ingin dicapai.
c. WHEN : Kejelasan waktu untuk menyelesaikan kegiatan.
d. HOW : Prosedur kerjanya (SOP) jelas, sesuai dengan SPK (Standar
Pelayanan Kebidanan).
e. WHY : Mengapa kegiatan itu harus dikerjakan, dengan penjelasan yang
jelas.
f. WHERE : Kapan dan dimana kegiatan akan dilakukan tertera jelas.
Jika perlu ditambah dengan : WHICH : Siapa yang terkait dengan kegiatan
tersebut ( lintas sektor walaupun lintas program yang terkait ).

1
Langkah – Langkah dalam Manajemen Kebidanan
7. Ruang Lingkup dan Sasaran
Dalam melaksanakan praktik, bidan memberikan asuhan sesuai
dengan kebutuhan terhadap perempuan pada masa prakonsepsi, masa hamil,
melahirkan dan postpartum, maupun masa interval, melaksanakan
pertolongan persalinan dibawah tanggungjawabnya sendiri, memberi asuhan
Bayi Baru Lahir, bayi dan anak balita.
Meliputi tindakan pemeliharaan, pencegahan, deteksi, serta
intervensi, dan rujukan pada keadaan risiko tinggi, termasuk kegawatan pada
ibu dan anak. Sasaran pelayanan kebidanan adalah individu, keluarga, dan
masyarakat yang meliputi upaya peningkatan, pencegahan, penyembuhan,
dan pemulihan. Menurut Kepmenkes no 900/Menkes/SK/VII/2002 :
Pelayanan kebidanan : asuhan bagi perempuan mulai dari :
a) pranikah,
b) pra kehamilan,
c) selama kehamilan,
d) persalinan,
e) nifas,
f) menyusui,
g) Interval antara masa kehamilan
h) menopause,
i) termasuk asuhan bayi baru lahir, bayi dan
balita Pelayanan KB :
a) konseling KB,
b) penyediaan berbagai jenis alat kontrasepsi,
c) nasehat dan tindakan bila terjadi efek samping
Pelayanan kesehatan masyarakat :
a) Asuhan untuk keluarga yang mengasuh anak
b) Pembinaan kesehatan keluarga
c) Kebidanan komunitas
d) Persalinan di rumah

1
e) Kunjungan rumah
f) Deteksi dini kelainan pada ibu dan
anak Sasaran pelayanan kebidanan
a) Individu
b) Keluarga
c) Masyarakat

B. Teori Praktik Mandiri Bidan


Praktek Mandiri Bidan (PMB) merupakan bentuk pelayanan kesehatan di
bidang kesehatan dasar. Praktek bidan adalah serangkaian kegiatan pelayanan
kesehatan yang diberikan oleh bidan kepada pasien (individu, keluarga, dan
masyarakat) sesuai dengan kewenangan dan kemampuannya. Bidan yang
menjalankan praktek harus memiliki Surat Izin Praktek Bidan (SIPB) sehingga
dapat menjalankan praktek pada saran kesehatan atau program. (Imamah, 2012).
Praktek Mandiri Bidan memiliki berbagai persyaratan khusus untuk
menjalankan prakteknya, seperti tempat atau ruangan praktek, peralatan, obat –
obatan. Namun pada kenyataannya (PMB) sekarang kurang memperhatikan dan
memenuhi kelengkapan praktek serta kebutuhan kliennya. Di samping peralatan
yang kurang lengkap tindakan dalam memberikan pelayanan kurang ramah dan
bersahabat dengan klien. Sehingga masyarakat berasumsi bahwa pelayanan
kesehatan bidan praktek mandiri tersebut kurang memuaskan. ( Rhiea, 2011)
Praktek pelayanan bidan mandiri merupakan penyedia layanan kesehatan,
yang memiliki kontribusi cukup besar dalam memberikan pelayanan, khususnya
dalam meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak. Supaya masyarakat pengguna
jasa layanan bidan memperoleh akses pelayanan yang bermutu, perlu adanya
regulasi pelayanan praktek bidan secara jelas persiapan sebelum bidan
melaksanakan pelayanan praktek seperti perizinan, tempat, ruangan, peralatan
praktek, dan kelengkapan administrasi semuanya harus sesuai dengan standar.

2
C. Bidan
1. Pengertian Bidan
Bidan lahir sebagai perempuan terpercaya dalam mendampingi
dan menolong ibu yang melahirkan. Profesi ini telah mendudukkan peran
dan posisi seorang bidan menjadi terhormat di masyarakat karena tugas
yang diembannya sangat mulia dalam upaya memberikan semangat dan
membesarkan hati ibu.
Bidan merupakan profesi yang diakui secara nasional maupun
internasional dengan sejumlah praktisi diseluruh dunia. Pengertian bidan
dan bidang praktiknya secara internasional telah diakui oleh international
Confederation of Midwives (ICM), International Federation of
Gynaecologist Obstetritian (FIGO), dan World Health Organization
(WHO), sedangkan secara nasional telah diakui oleh Ikatan Bidan
Indonesia (IBI) sebagai organisasi profesi bidan di Indonesia.
Definisi bidan menurut World Health Organization/WHO (1992),
Internasional Confideration of Midwives/ICM, dan International
Federation of Gynecologi and Obstetric/FICO (1992), bidan adalah
seorang yang diakui secara yuridis, ditempatkan dan mendapat
kualifikasi serta terdaftar di sektor dan memperoleh izin melaksanakan
praktik kebidanan.
Definisi bidan menurut IBI, Bidan adalah seorang perempuan
yang telah mengikuti dan menyelesaikan pendidikan bidan yang telah
diakui pemerintah dan telah lulus ujian sesuai dengan persyaratan yang
berlaku, di catat (register), dan diakui secara sah untuk menjalankan
praktik.
Dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28
Tahun 2017 Tentang Izin Dan Penyelenggaraan Praktik Bidan, bidan
adalah seorang perempuan yang lulus dari pendidikan bidan yang telah
teregistrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Demikian luas dan dalamnya profesi bidan maka dapat dikatakan
bahwa Bidan Indonesia adalah seorang perempuan yang lulus dari

2
pendidikan bidan yang diakui pemerintah dan organisasi profesi di
wilayah negara Republik Indonesia serta memiliki kompetensi dan
kualifikasi untuk diregister, sertifikasi, dan atau secara sah mendapat
lisensi untuk menjalankan praktik kebidanan.
2. Hak Dan Kewajiban Bidan
a. Hak Bidan Menurut kamus besar bahasa Indonesia, hak adalah
kewenangan untuk berbuat sesuatu yang telah ditentukan oleh
undang-undang atau aturan tertentu. Dalam melaksanakan praktik
kebidanannya, bidan memiliki hak:
1) Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan
pelayanannya sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan,
dan standar prosedur operasional.
2) Memperoleh informasi yang lengkap dan benar dari pasien
dan/atau keluarganya.
3) Melaksanakan tugas sesuai dengan kompetensi dan kewenangan
4) Menerima imbalan jasa profesi
b. Kewajiban Bidan Dalam melaksanakan praktik kebidanannya, bidan
berkewajiban untuk:
1) Menghormati hak pasien;
2) Memberikan informasi tentang masalah kesehatan pasien dan
pelayanan yang dibutuhkan;
3) Merujuk kasus yang bukan kewenangannya atau tidak dapat
ditangani dengan tepat waktu;
4) Meminta persetujuan tindakan yang akan dilakukan;
5) Menyimpan rahasia pasien sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
6) Melakukan pencatatan asuhan kebidanan dan pelayanan lainnya
yang diberikan secara sistematis;
7) Mematuhi standar profesi, standar pelayanan, dan standar
prosedur operasional;
8) Melakukan pencatatan dan pelaporan penyelenggaraan praktik

2
kebidanan termasuk pelaporan kelahiran dan kematian;
1) Pemberian surat rujukan dan surat keterangan kelahiran; dan
2) Meningkatkan mutu pelayanan profesinya, dengan mengikuti
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui
pendidikan dan pelatihan sesuai dengan bidang tugasnya.
Bidan dalam menjalankan praktik/kerja senantiasa
meningkatkan mutu pelayanan profesinya, dengan mengikuti
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pendidikan dan
pelatihan sesuai dengan bidang tugasnya.25 Bidan dalam menjalankan
praktik kebidanan harus membantu program pemerintah dalam
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Kewajiban bidan dapat dijabarkan sesuai Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 369/ Menkes /SK/III/2007 tentang
Standar Profesi Bidan yang didalamnya terdapat Kode Etik Bidan Indonesia
yaitu sebagai berikut:
a. Kewajiban terhadap klien dan masyarakat
1) Setiap bidan senantiasa menjunjung tinggi, menghayati, dan
mengamalkan sumpah jabatannya dalam melaksanakan tugas
pengabdiannya
2) Setiap bidan dalam menjalankan tugas profesinya menjujung
tinggi harkat dan martabat kemanusiaan yang utuh dan
memelihara citra bidan
3) Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya senantiasa
berpedoman pada peran, tugas, dan tanggung jawab sesuai
dengan kebutuhan klien, keluarga dan masyarakat
4) Setiap bidan dalam mekasanakan tugasnya mendahulukan
kepentingan klien, menghormati hak klien, dan nilai-nilai yang
dianut oleh klien
5) Setiap bidan dalam melaksanakan tugasnya senantiasa
mendahulukan kepentingan klien, keluarga, dan masyarakat
dengan identitas yang sama sesuai dengan kebutuhan

2
berdasarkan kemampuan yang dimilikinya
6) Setiap bidan menciptakan suasana yang serasi dalam hubungan
pelaksanaan tugasnya dengan mendorong partisipasi masyarakat
untuk meningkatkan derajat kesehatannya secara optimal.
b. Kewajiban terhadap tugasnya.
1) Setiap bidan senantiasa memberikan pelayanan paripurna kepada
klien, keluarga, dan masyarakat sesuai dengan kemampuan
profesi yang dimilikinya berdasarkan kebutuhan klien, keluarga,
dan masyarakat.
2) Setiap bidan berkewajiban memberikan pertolongan sesuai
dengan kewenangan dalam mengambil keputusan termasuk
mengadakan konsultasi dan rujukan.
3) Setiap bidan harus menjamin kerahasiaan keterangan yang di
dapat dan atau dipercayakan kepadanya, kecuali bila diminta
oleh pengadilan atau diperlukan sehubungan dengan kepentingan
klien
c. Kewajiban terhadap sejawat dan tenaga kesehatan lainnya
1) Setiap bidan harus menjalin hubungan yang baik dengan teman
sejawatnya untuk menciptakan suasana kerja yang serasi.
2) Setiap bidan dalam melaksanakan tugasnya harus saling
menghormati baik terhadap sejawatnya maupun tenaga kesehatan
lainnya.
d. Kewajiban terhadap profesinya
1) Setiap bidan wajib menjaga nama baik dan menjunjung tinggi
citra profesinya dengan menampilkan kepribadian yang tinggi
dan memberikan pelayanan yang bermutu kepada masyarakat.
2) Setiap bidan wajib senantiasa mengembangkan diri dan
meningkatkan kemampuan profesinya sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
3) Setiap bidan senantiasa berperan serta dalam kegiatan penelitian
dan kegiatan sejenisnya yang dapat meningkatkan mutu dan citra

2
profesinya.
e. Kewajiban terhadap diri sendiri
1) Setiap bidan wajib memelihara kesehatannya agar dapat
melaksanakan tugas profesinya dengan baik
2) Setiap bidan wajib meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
3) Setiap bidan wajib memelihara kepribadian dan penampilan diri.
f. Kewajiban terhadap pemerintah, Nusa, Bangsa dan Tanah Air
1) Setiap bidan dalam melaksanakan tugasnya, senantiasa
melaksanakan ketentuan-ketentuan pemerintah dalam bidang.
kesehatan, khususnya dalam pelayanan kesehatan reproduksi,
KIA-KB, dan kesehatan keluarga
2) Setiap bidan melalui profesinya berpartisipasi dan
menyumbangkan pemikirannya kepada pemerintah untuk
meningkatkan mutu jangkauan pelayanan kesehatan terutama
pelayanan KIA-KB dan kesehatan keluarga.
3. Peran Bidan
a. Peran Sebagai Pelaksana
Sebagai pelaksana, bidan dapat bekerja mandiri melakukan pelayanan
kebidanan primer sesuai dengan wewenangnya dan menentukan perlunya
dilakukan rujukan. Di samping itu, perannya didalam pelayanan
kolaboratif adalah sebagai mitra dalam pelayanan medis terhadap ibu,
bayi, dan anak-anak, serta sebagai anggota tim kesehatan dalam
pelayanan kesehatan individu, keluarga, dan masyarakat.
Di dalam pelayanan kolaboratif, bidan tetap berpegang
pada falsafah yang dianutnya, dengan pendekatan pemecahan
masalah dan prinsip-prinsip manajemen kebidanan.

b. Peran Sebagai pengelola


Sebagai pengelola, bidan memimpin dan mengoordinasikan
pelayanan kebidanan sesuai dengan kewenangannya di dalam tim,

2
unit pelayanan dirumah sakit, puskesmas, klinik bersalin, praktik
bidan, dan pondok bersalin.
c. Peran Sebagai Pendidik
Sesuai tugasnya bidan melakukan penyuluhan kepada
individu, keluarga, dan kelompok masyarakat dalam lingkup
tanggung jawabnya. Disamping itu, bidan diwajibkan pula
membimbing siswa bidan, dukun, dan kader desa di dalam bidang
pelayanan kebidanan. Untuk melaksanakan tugas tersebut, maka
bidan harus berperan sebagai pendidik dan menjadi model peran
(role model). Bidan yang mendapat tambahan pendidikan dapat
berperan sebagai pendidik di institusi kesehatan lainnya dalam
bidang kebidanan.
d. Peran Sebagai Peneliti
Bidan dengan dasar keilmuan yang dimilikinya dapat
melakukan penelitian baik secara mandiri, bersama atau sebagai
anggota kelompok peneliti, dalam bidang kesehatan dan
kesejahteraan ibu, anak, dan keluarga.
4. Tanggung Jawab Bidan
Sebagai tenaga profesional, bidan memiliki tanggung jawab
dalam melaksanakan tugasnya. Bidan harus dapat mempertahankan
tanggung jawabnya tersebut bila terjadi gugatan terhadap tindakan yang
dilakukannya.
a. Tanggung jawab bidan terhadap peraturan perundang-undangan
Bidan adalah salah satu tenaga kesehatan. Pengaturan
tenaga kesehatan ditetapkan dalam undang-undang dan peraturan
pemerintah. Tugas dan kewenangan bidan serta ketentuan yang
berkaitan dengan kegiatan praktik bidan diatur di dalam peraturan
atau keputusan menteri kesehatan. Kegiatan praktik bidan dikontrol
oleh peraturan tersebut.
Bidan harus dapat mempertanggung jawabkan tugas dan kegiatan
yang dilakukannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

2
berlaku.
b. Tanggung jawab bidan terhadap pengembangan kompetensi
Setiap bidan memiliki tanggung jawab memelihara

kemampuan profesionalnya. Oleh karena itu, bidan harus selalu


meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya dengan jalan
mengikuti pelatihan, pendidikan berkelanjutan, seminar, dan
pertemuan ilmiah lainnya.
c. Tanggung jawab bidan terhadap penyimpanan catatan kebidana
Setiap bidan diharuskan mendokumentasikan kegiatannya
dalam bentuk catatan tertulis. Catatan bidan mengenai pasien yang
dilayaninya dapat dipertanggung jawabkan bila terjadi gugatan.
Catatan yang dilakukan bidan dapat digunakan sebagai bahan
laporan untuk disampaikan kepada atasannya. Di Indonesia belum
ada ketentuan lamanya menyimpan catatan bidan. Di Inggris, bidan
harus menyimpan catatan kegiatannya selama 25 tahun.
d. Tanggung jawab bidan terhadap keluarga yang dilayani.
Tanggungjawab bidan tidak hanya pada kesehatan ibu dan
anak, tetapi juga menyangkut kesehatan keluarga. Bidan harus dapat
mengidentifikasi permasalahan dan kebutuhan keluarga serta
memberikan pelayanan dengan tepat dan sesuai dengan kebutuhan
keluarga. Pelayanan terhadap kesehatan keluarga merupakan kondisi
yang diperlukan bagi ibu yang membutuhkan keselamatan,
kepuasan, dan kebahagian selama masa hamil maupun melahirkan.
Oleh karena itu, bidan harus mengerahkan segala kemampuan
pengetahuan, sikap dan perilakunya di dalam memberikan pelayanan
kesehatan keluarga yan membutuhkan.
e. Tanggung jawab bidan terhadap profesi
Bidan harus menerima tanggung jawab keprofesian yang
dimilikinya. Oleh karena itu, ia harus mematuhi dan berperan aktif
dalam melaksanakan asuhan kebidanan sesuai dengan kewenangan

2
dan standar keprofesian. Bidan harus ikut serta di dalam kegiatan
organisasi bidan dan badan resmi kebidanan.
Untuk mengembangkan kemampuan keprofesiannya bidan harus
mencari informasi perkembangan kebidanan melalui media kebidanan,
seminar, dan pertemuan ilmiah lainnya.
Seharusnya, semua bidan harus menjadi anggota organisasi
bidan. Bidan memiliki hak mengajukan suara dan pendapat tentang
profesinya.
f. Tanggung jawab bidan terhadap masyarakat
Bidan adalah anggota masyarakat yang bertanggung jawab.
Oleh karena itu, bidan turut memiliki tanggung jawab di dalam
permasalahan kesehatan masyarakat. Misalnya lingkungan yang
tidak sehat, penyakit menular, keadaan gizi masyarakat yang
terutama menyangkut kesehatan ibu dan anak, karena itu baik secara
mandiri maupun bersama tenaga kesehatan yang lain ia
berkewajiban memanfaatkan sumber daya yang ada untuk
memperbaiki kesehatan masyarakatnya. Bidan harus mendapat
kepercayaan masyarakat, imbalan yang diterima dari masyarakat
selaras dengan kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat
kepadanya. Tanggung jawab terhadap masyarakat merupakan
cakupan dari tanggung jawab kepada Allah SWT.
5. Wewenang Bidan
Bidan dalam menjalankan praktiknya berwenang untuk
memberikan pelayanan yang meliputi:
a. Pelayanan kesehatan ibu Pelayanan kesehatan ibu diberikan pada
masa pra hamil, masa kehamilan, masa persalinan, masa nifas, masa
menyusui dan masa antara dua kehamilan.
b. Pelayanan kesehatan anak Pelayanan kesehatan anak diberikan pada
bayi baru lahir, bayi, anak balita, dan anak pra sekolah.
c. Pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana
Bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan reproduksi

2
perempuan dan keluarga berencana berwenang untuk memberikan
penyuluhan dan konseling kesehatan reproduksi perempuan dan
keluarga berencana, dan memberikan alat kontrasepsi oral, suntikan
dan kondom.
6. PERPU Yang Mendukung Keberadaan Profesi Bidan
Bidan dalam melaksanakan peran, fungsi, dan tugasnya
didasarkan pada kemampuan dan kewenangan yang diberikan.
Kewenangan tersebut diatur melalui Peraturan Menteri Kesehatan
(PerMenKes). PerMenKes yang menyangkut wewenang bidan selalu
mengalami perubahan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan
masyarakat serta kebijakan pemerintah dalam meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat. PerMenKes tersebut dimulai dari:
a. PerMenKes No. 5380/IX/1963 : Wewenang bidan terbatas pada
pertolongan persalinan normal secara mandiri maupun didampingi
petugas kesehatan yang lain.
b. PerMenKes No. 363/IX/1980 : Kemudian diubah menjadi
Permenkes 623 atau 1989, wewenang bidan dibagi menjadi dua,
yaitu wewenang umum dan khusus. Dalam wewenang khusus
ditetapkan bahwa bidan bila melaksanakan tindakan khusus harus
dibawah pengawasan dokter.
c. PerMenKes No. 572/PER/VI/1996 : Kemudian diubah menjadi
Kepmenkes RI No. 900/Menkes/SK/2002 tentang registrasi dan
praktik bidan. Bidan dalam melaksanakan praktiknya diberi
kewenangan yang mandiri disertai kemampuan dalam melaksanakan
tindakan. Wewenang tersebut mencakup pelayanan kebidanan
(pelayanan kesehatan ibu dan anak, pelayanan KB, dan pelayanan
kesehatan masyarakat).
d. KepMenKes RI No. 369/Menkes/SK/III/2007 tentang Standar
Profesi Bidan. Dalam melaksanakan praktiknya bidan mempunyai
standar kompetensi.
e. PerMenKes RI No. 1464/MENKES/PER/X/2010 tentang Izin dan

2
Penyelenggaraan Praktik Bidan. Merupakan hasil revisi dari
PerMenKes No. HK.02.02/MENKES/149/ I/2010 Tentang Izin dan
Penyelenggaraan Praktik Bidan.
f. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2017 Tentang Izin
dan Penyelenggaraan Praktik Bidan.

A. Praktik Mandiri Bidan Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan


Nomor 28 Tahun 2017 Tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan
1. Pengertian Izin Praktik Mandiri Bidan
Perizinan adalah pemberian legalitas kepada seseorang atau
pelaku usaha/kegiatan tertentu, baik dalam bentuk izin maupun tanda
daftar usaha. Izin adalah suatu instrumen yang paling banyak digunakan
dalam hukum administrasi, untuk mengemudikan tingkah laku para
warga.
Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat
yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan,
baik promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif yang dilakukan
oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat. Dalam rangka
melindungi masyarakat penerima pelayanan kesehatan, setiap tenaga
kesehatan akan menjalankan praktik keprofesiannya harus memiliki izin
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bidan merupakan salah satu dari tenaga kesehatan
yang memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan asuhan
kebidanan sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki. Pasal 1 ayat (11)
UU No. 36 Tahun 2014 tentang tenaga kesehatan mengatakan bahwa “surat
izin praktik yang selanjutnya disebut SIP adalah bukti tertulis yang diberikan
oleh pemerintah daerah kabupaten/kota kepada tenaga kesehatan sebagai
pemberian kewenangan untuk menjalankan praktik”. Surat Izin Praktik
Bidan (SIPB) adalah bukti tertulis yang diberikan kepada bidan untuk
menjalankan praktik bidan.

3
Praktik Bidan adalah serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan
yang diberikan oleh bidan kepada pasien (individu, keluarga, dan
masyarakat) sesuai dengan kewenangan dan kemampuannya. Praktik
Kebidanan adalah kegiatan pemberian pelayanan yang dilakukan oleh
Bidan dalam bentuk asuhan kebidanan. Praktik Mandiri Bidan adalah
tempat pelaksanaan rangkaian kegiatan pelayanan kebidanan yang
dilakukan oleh Bidan secara perorangan.
2. Persyaratan Untuk Menyelenggarakan Praktik Mandiri Bidan
Pasal 30 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2017
tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan mengatakan bahwa
a. Bidan yang menyelenggarakan Praktik Mandiri Bidan harus
memenuhi persyaratan, selain ketentuan persyaratan memperoleh
SIPB.
b. Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi
persyaratan lokasi, bangunan, prasarana, peralatan, serta obat dan
bahan habis pakai.
Persyaratan bangunan tempat praktik seperti berikut:
1) Merupakan bangunan permanen dan menetap
2) Dinding dan lantai tempat praktik berwarna terang, tidak berpori
dan mudah dibersihkan.
3) Lantai tempat praktik tidak licin, tidak berpori dan mudah
dibersihkan
4) Akses/pintu keluar masuk ke ruang praktik terpisah dari rumah
tinggal keluarga.
5) Memiliki ruang tunggu, ruang periksa, ruang bersalin, ruang
nifas/rawat inap, kamar mandi/WC, ruang pemrosesan alat
dengan syarat- syarat tertentu.
Pasal 31 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2017
tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan mengatakan bahwa
persyaratan lokasi yang dimaksud dalam pasal 30 ayat (2) berupa

3
praktik mandiri bidan harus berada pada lokasi yang mudah untuk
akses rujukan dan memperhatikan aspek kesehatan lingkungan.
Pasal 32 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2017
tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan mengatakan bahwa
Persyaratan bangunan yang dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2)
meliputi
ruang dalam bangunan praktik mandiri bidan yang terdiri atas:
1) Ruang tunggu;
a) Ruangan bersih dan nyaman
b) Dilengkapi dengan bangku tunggu
c) Tersedia media informasi kesehatan
2) Ruang periksa
a) Ukuran minimal 3x2 m2
b) Dinding dan lantai terbuat dari bahan yang tidak tembus air
dan mudah dibersihkan, keras, rata, tidak licin.
c) Ruangan bersih dan tidak berdebu
d) Dilengkapi tempat tidur untuk pemeriksaan dengan ukuran
sesuai standar, meja dan kursi
e) Tersedia tempat untuk mencuci tangan dengan air mengalir
dan tersedia sabun atau antiseptik
f) Tersedia media informasi kesehatan ibu dan anak.
3) Ruang bersalin
a) Ukuran minimal 3 x 4 m2 untuk 1 (satu) tempat tidur
persalinan dengan ukuran sesuai standar
b) Dinding dan lantai terbuat dari bahan yang tidak tembus air
dan mudah dibersihkan, keras, rata, tidak licin
c) Akses keluar masuk pasien lebar minimal 90 cm
d) Ruangan bersih dan tidak berdebu
e) Tersedia meja resusitasi untuk neonatal dan set resusitasi.

3
f) Tersedia tempat untuk mencuci tangan dengan air mengalir
dan
tersedia sabun atau antiseptik
4) Ruang nifas/rawat inap ibu dan bayi
a) Ukuran minimal 2x3 m untuk 1 tempat tidur
b) Jumlah tempat tidur maksimal 5 (lima) tempat tidur
disesuaikan dengan luas ruangan.
c) Dinding dan lantai terbuat dari bahan yang tidak tembus air
dan mudah dibersihkan, keras, rata, tidak licin.
d) Akses keluar masuk pasien lebar minimal 90 cm.
e) Ruangan bersih dan tidak berdebu.
f) Tersedia tempat untuk mencuci tangan dengan air mengalir
dan
tersedia sabun atau antiseptik.
5) WC/Kamar mandi
a) Dinding dan lantai terbuat dari bahan yang tidak tembus air
dan mudah dibersihkan, keras, rata, tidak licin.
b) b. Pintu terbuka keluar, lebar daun pintu minimal 90 cm,
mudah dibuka dan ditutup.
c) Dilengkapi dengan pegangan rambat (handrail), kloset
diutamakan kloset duduk.
d) Tersedia shower/gayung
6) Ruang lainnya bila difungsikan untuk pemrosesan alat dan
pengelolaan limbah
a) Dinding dan lantai terbuat dari bahan yang tidak tembus air
dan mudah dibersihkan, keras, rata, tidak licin.
b) Tersedia wastafel khusus pencucian alat dengan air mengalir
c) Tersedia alat dan tempat pemrosesan alat sesuai standar.
d) Untuk pengelolaan limbah padat tersedia tempat sampah
tertutup yang terpisah untuk limbah medis dan limbah

3
domestik, dilapisi kantong plastik. Limbah medis yang
infeksius hanya boleh disimpan maksimal 48 jam.
e) Untuk pengelolaan limbah cair diperlukan septic tank yang
kedap air terpisah dari limbah rumah tangga \
Bangunan Praktik Mandiri Bidan harus bersifat permanen dan
tidak bergabung fisik bangunan lainnya. Sebagaimana tidak bergabung
fisik bangunan lainnya, yakni tidak termasuk rumah tinggal perorangan,
apartemen, rumah toko, rumah kantor, rumah susun, dan bangunan
yang sejenis. Dalam hal praktik mandiri berada di rumah tinggal
perorangan, akses pintu keluar masuk tempat praktik harus terpisah dari
tempat tinggal perorangan. Bangunan praktik mandiri bidan harus
memperhatikan fungsi, keamanan, kenyamanan dan kemudahan dalam
pemberian pelayanan serta perlindungan keselamatan dan kesehatan
bagi semua orang termasuk penyandang cacat, anak-anak dan orang
usia lanjut.
Pasal 34 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2017
tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan mengatakan bahwa
Persyaratan prasarana praktik mandiri bidan sebagaimana yang
dimaksud dalam pasal 30 ayat (2) paling sedikit memiliki:
a. Sistem air bersih;
b. Sistem kelistrikan atau pencahayaan yang cukup;
c. Ventilasi/sirkulasi udara yang baik; dan
d. Prasarana lain sesuai kebutuhan.
Persyaratan prasarana yang dimaksud diatur lebih jelas dalam
lampiran PerMenKes No. 28 Tahun 2017 tentang Izin dan
Penyelenggaraan Praktik Bidan sebagai berikut:
a. Sirkulasi udara 15% x Luas lantai (dalam hal tidak terpenuhi
15%, maka bisa ditambah alat pengatur sirkulasi udara seperti:
AC, kipas angin)
b. Cahaya terang dan tidak menyilaukan
c. Pintu dapat dikunci, dan terbuka keluar

3
d. Tersedia sketsel, gorden yang mudah dibersihkan
e. Tersedia air mengalir
f. Tersedia sistem kelistrikan yang sesuai dengan peralatan yang
digunakan
g. Tersedia minimal 1 titik kelistrikan tiap ruangan, sedangkan
khusus ruangan tindakan minimal 2.
h. Tersedia minimal 1 Alat Pemadam Api Ringan (APAR) dalam
kondisi siap pakai
i. Meubelair/ furniture
Persyaratan peralatan berupa peralatan Praktik Mandiri Bidan
harus dalam keadaan terpelihara dan berfungsi dengan baik untuk
menyelenggarakan pelayanan. Persyaratan obat dan bahan habis pakai
Praktik Mandiri Bidan meliputi pengelolaan obat dan bahan habis pakai
yang diperlukan untuk pelayanan antenatal, persalinan normal,
penatalaksanaan bayi baru lahir, nifas, keluarga berencana, dan
penanganan awal kasus kedaruratan kebidanan dan bayi baru lahir.
Obat dan bahan habis pakai hanya diperoleh dari apotek melalui
surat pesanan kebutuhan obat dan bahan habis pakai. Bidan yang
melakukan praktik mandiri harus melakukan pendokumentasian surat
pesanan kebutuhan obat dan bahan habis pakai serta melakukan
pengelolaan obat yang baik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Praktik mandiri bidan harus melaksanakan pengelolaan limbah
medis. Pengelolaan limbah medis dapat dilakukan melalui kerjasama
dengan institusi yang memiliki instalasi pengelolaan limbah. Praktik
Mandiri Bidan harus memasang papan nama pada bagian atau ruang
yang mudah terbaca dengan jelas oleh masyarakat umum dengan ukuran
60x90 cm dasar papan nama berwarna putih dan tulisan berwarna hitam.
Papan nama paling sedikit memuat nama Bidan, nomor STRB, nomor
SIPB, dan waktu pelayanan.

3
Bidan dalam menyelenggarakan praktik mandiri bidan dapat
dibantu oleh tenaga kesehatan lain atau tenaga nonkesehatan. Tenaga
kesehatan lain harus memiliki SIP sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Bidan yang berhalangan sementara dalam melaksanakan praktik
kebidanan dapat menunjuk Bidan pengganti dan melaporkannya kepada
Kepala Puskesmas setempat. Bidan pengganti harus memiliki SIPB dan
tidak harus SIPB di tempat tersebut.
Dalam rangka melaksanakan praktik kebidanan, Praktik Mandiri
Bidan dapat melakukan pemeriksaan laboratorium sederhana antenatal
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

3
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Jurnal yang direview sudah cukup bagus untuk penelitian yang dilakukan
oleh Tito Yustiawan Tentang “Manajemen Klinik Dalam Persiapan Kerjasama
Dengan BPJS Kesehatan”. Dimana telah mengikuti langkah-langkah yang
seharusnya Penulisan jurnal menggunakan analisis kritis yang berdasarkan
literatur yang ada dengan membandingkan temuan-temuan pada penelitian
sebelumnya dengan yang didapat oleh peneliti. Selain itu dikarenakan
menggunakan tata bahasa yang baik sehingga cukup mudah dipahami dan
memudahkan para pembaca untuk mengerti bagaimana penelitian tersebut
dilaksanakn dan apa hasil yang diperoleh.
B. Saran
Bagi peneliti selanjutnya untuk lebih menyempurnakan dalam pembuatan
jurnal dan juga sebagai masukan dalam membuat jurnal yang baik dan benar
dan tambahkan saran dalam penelitian untuk peneliti selanjutnya.

3
DAFTAR PUSTAKA
Amiruddin dan Asikin, Zainal. 2008. Pengantar Metode Penelitian Hukum.
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Dainur. 1995. Materi-Materi Pokok Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Widya
Medika.
Estiwidani, dkk. 2009. Konsep Kebidanan. Fitramaya : Yogyakarta. Hal. 117
Fajar, Mukti dan Achmad, Yulianto. 2015. Dualisme Penelitian Hukum-Normatif
dan Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hadjan, Philipus M. 1993. Pengantar Hukum Perizinan. Surabaya: Yuridika.
Iqbal Mubarak, Wahid dan Chayatin, Nurul. 2009. Ilmu Kesehatan Masyarakat
Teori Dan Aplikasinya. Jakarta: Selemba Medika.
Janiwarty, Bethsaida dan Zan Pieter, Herri. 2013. Pendidikan Psikologi Untuk
Bidan- Suatu Teori dan Terapannya. Yogyakarta: Rapha Publishing.
Johan Nasution, Bahder. 2013. Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter.
Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: PT Rineka
Cipta. .2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Slamet Ryadi, A. L. 1982. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Surabaya: Usaha
Nasional.
Sunggono, Bambang. 2011. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja
Grafindo.
Sutisna Sulaeman, Endang. 2012. Pemberdayaan Masyarakat Dibidang
Kesehatan Teori Dan Pemberdayaan. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Syahlan, J.H.Dr. Skm. 1996. Kebidanan Komunitas. Yayasan Bina Sumber Daya
Kesehatan : Jakarta
Tadjuddin norma. Konsep Kebidanan. Poltekkes Kemenkes Makassar : Makassar.
Hal 70

3
Internet:
Persiapan_Membuka_BPM_Membuka_Bidan_PraktekMandiri.,Pdf
http://pelatihanrumahsakit.com/manajemen-penyelenggaraan-praktik-
mandiri-bidan/ diakses pada tanggal 05 Agustus 2020
http//bidan-praktek-swasta.html. diakses pada tanggal 05 Agustus 2020
http://tenaga-kesehatan-di-indonesia_18.html. diakses pada tanggal 05 Agustus
2020
http://healthyenthusiast.com/standar-dan-standar-prosedur-operasi-sop.html
diakses pada tanggal 05 Agustus 2020
http://www.scribd.com/doc/163953771/MANAJEMEN-PELAYANAN-
KEBIDANAN diakses pada tanggal 05 Agustus 2020
Peraturan Perundang-Undangan:
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1464/MENKES/PER/X/2010 Tentang Izin
Dan Penyelenggaraan Praktik Bidan
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2017 Tentang Izin Dan
Penyelenggaraan Praktik Bidan Asrinah,dkk. 2010. Konsep kebidanan.
Graha Ilmu : Yogyakarta. Hal. 109

Anda mungkin juga menyukai