Anda di halaman 1dari 22

PENTINGNYA HUKUM DALAM MEREKONTRUKSI NILAI ETIIKA DAN

MORALITAS MASYARAKAT
Diajukan Untuk Pemenuhan Syarat-Syarat Mengikuti Ujian Akhir Semester (UAS) Tahun
Pelajaran 2023
Mata Kuliah : Antropologi Hukum
Dosen pengampu : Evi Dwi Hastri, S.H., M.H.

Di Susun Oleh :

MOH. ABI ABDILLAH (722412348)


EBADILLAH (722412332)
RIDONI (722412361)
BINAR NALINDRI PUTRI HARJO (722412345)
TRIANA SARI PUTRI (722412346)
SYAFINA ALIFIAH (722412388)
DYIN TAMIYMI ANSALSABILA J.A (722412341)

PROGRAM STUDI HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS WIRARAJA
2023

i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan karya ilmiah tentang "Pentingnya hukum
dalam merekontruksi nila moral dan etika". Dalam menyelesaikan tugas kelompok ini, pada
mata kuliah Antopologi Hukum. Tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah turut memberikan kontribusi dalam penyusunan karya ilmiah ini.
Tentunya, tidak akan bisa maksimal jika tidak mendapat dukungan dari berbagai pihak.
Sebagai penyusun, kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan, baik dari penyusunan
maupun tata bahasa penyampaian dalam karya ilmiah ini. Oleh karena itu, kami dengan
rendah hati menerima saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki karya
ilmiah ini. Kami berharap semoga karya ilmiah yang kami susun ini memberikan manfaat dan
juga inspirasi untuk pembaca.

ii
DAFTAR ISI

COVER……………………………………………………………………………….…..i

KATA PENGANTAR………………………………………………………………..…..ii

DAFTAR ISI………………………………………………………………………….....iii

BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………..….....1

A. LATAR BELAKANG………………………………………………………….1-4

B. RUMUSAN MASALAH………………………………………………………....4

C. TUJUAN……………………………………………………………………….…4

BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………………….…...5

A. PENGERTIAN NILA, MORAL, DAN ETIKA……………………………..…5-9

1. Pengertian nilai…………………………………………………...……..…..5-7

2. Pengertian etika…………………………………………………….…….…7-8

3. Pengertian moral…………………………………………………….……...8-9

B. HUBUNGAN ETIKA DAN MORAL………………………………….…..…9-12

C. HUKUM DAN MORAL……………………………………………….…….12-16

1. Hubungan hukum dengan moral…………………………………….…....12-14

2. Upaya hukum dalam membentuk moral masyarakat………………....…..14-16

BAB III PENUTUP……………………………………………………………….…..….16

A. KESIMPULAN…………………………………………………………….…..…16

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………....….17

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Moral dalam kehidupan manusia memiliki kedudukan yang sangat penting. Nilai-nilai
moral sangat diperlukan bagi manusia, baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota suatu
kelompok masyarakat maupun bangsa sekalipun. Peradaban suatu bangsa dapat dinilai
melalui karakter moral masyarakatnya. Manusia dalam hidupnya harus taat dan patuh pada
norma-norma, aturan-aturan, adat istiadat, undang-undang dan hukum yang ada dalam suatu
masyarakat. Berkaitan dengan norma-norma, aturanaturan, adat istiadat, undang-undang dan
hukum yang mengatur kehidupan manusia dibuat atas kesepakatan sekelompok manusia atau
aturan yang berasal dari hukum Tuhan (wahyu) agar manusia dapat hidup sesuai dengan
norma yang disepakati dalam komunitas kehidupan manusia maupun hukum dari Tuhan.
Moral merupakan tata cara dalam kehidupan, adat istiadat atau kebiasaan yang digunakan
dalam tumbuh kembang individu atau kelompok sosial untuk mencapai kematangan. Moral
bisa mengendalikan tingkah laku anak yang beranjak dewasa (remaja) sehingga ia tidak
melakukan hal-hal yang bertentangan dengan pandangan masyarakat. Di sisi lain tiadanya
moral sering kali dituding sebagai faktor penyebab meningkatnya kenakalan remaja
(Sarwono, 2010: 25).

Di era globalisasi saat ini para pelajar seperti kehilangan arah dan tujuan. Mereka
terjebak pada lingkaran dampak globalisasi yang lebih mengedepankan sikap tidak peduli
akan tetapi lebih mengarah pada sifat anarkisme bahkan banyak masyarakat yang
menganggap generasi muda sekarang ini tidak memberikan pengaruh positif sebagai seorang
yang terpelajar. Sistem pendidikan kita selama ini masih lebih menitikberatkan pada
penguasaan kognitif akademis sementara afektif dan psikomotorik bukan menjadi prioritas
lagi padahal nilai tersebut sangat penting dalam membentuk pribadi sang anak sehingga pada
akhirnya menjadi pribadi yang miskin tata krama, sopan santun dan etika moral. Faktor dari
kemajuan teknologi dan informasi serta masuknya pengaruh kebudayaan barat yang masuk ke
Indonesia secara bebas menyebabkan kemerosotan moral para generasi muda saat ini. Hal ini
tentu saja sangat cepat berpengaruh pada diri mereka baik itu dilihat dari sopan santun dalam
berperilaku, gaya berbicara serta sikap toleransi, menghormati dan menghargai orang yang

iv
ada di lingkungan sekitar sehingga nilai-nilai Pancasila tidak lagi dijadikan sebagai pedoman
hidup generasi muda Indonesia saat ini.

Krisis moralitas juga terjadi karena nilai-nilai Pancasila sekarang ini mulai luntur dan
tidak lagi diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat, ini terjadi karena generasi kita
sendiri tidak memiliki pedoman dasar baik itu dari pola asuh dari orang tu, pola berfikir sesaat
mereka yang tidak memikirkan akibat buruk yang akan terjadi setelahnya, kestabilan emosi
yang masih sangat rentan, pembelajaran dan sosialisasi tentang kehidupan dan akhlak remaja
pun masih kurang dan kurangnya kesadaran dari mereka sendiri untuk menjadi lebih baik.
Sehingga hal inilah yang 3 seharusnya mampu dijadikan acuan bagi pendidik baik orangtua
maupun guru di sekolah dan didukung oleh pemerintah untuk dapat memberikan
pembelajaran di sekolah dan sosialisasi kepada generasi muda dalam menghadapi kemajuan
jaman dengan tujuan agar mereka mampu membentengi diri dari hal-hal negatif yang dapat
menjerumuskan mereka. Pancasila yang seharusnya dapat dijadikan sebagai pedoman hidup
dan falsafah bangsa akan tetapi kini hanya sebagai semboyan belaka.

Dengan hilangnya peran Pancasila sebagai pedoman hidup maka banyak orang di
masa kini dalam bertindak sudah tidak mengindahkan asas Ketuhanan, Kemanusiaan,
Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan. Jati diri bangsa Indonesia seolah mulai luntur sehingga
timbul perilaku amoral yang merugikan orang lain dan membuat semakin terpuruknya negeri
ini. Indonesia pada saat ini dihadapkan pada permasalahan krisis moralitas. Krisis moralitas
ini terlihat dari kurangnya kesadaran para remaja tentang arti nilai moral itu sendiri. Masa
remaja merupakan masa dimana usia mereka menjadi tonggak awal sejauh mana mereka
mampu mengontrol sikap dan perilaku dalam lingkungan masyarakat.

Akan tetapi hal ini tidak disadari oleh sebagian dari mereka untuk berperilaku
layaknya seorang pelajar dilingkungannya. Bahkan banyak remaja saat ini tidak lagi malu
untuk mengumbar kebebasan pergaulan contohnya saja berpelukan saat berboncengan
sehingga pemandangan seperti inilah yang memicu terjadinya pornografi dan pornoaksi.
Bukan hanya itu, remaja saat ini tidak lepas dari pelaku tawuran yang sudah menjadi slogan
bagi pelajar di negeri ini. Padahal sebagai siswa, 4 mereka memiliki tanggung jawab sebagai
pelajar untuk menuntut ilmu di sekolah yang diharapkan mampu membawa kemajuan bagi
bangsa kita. Nilai kejujuran merupakan cerminan hati dari diri manusia dalam menjalani

v
kehidupan akan tetapi hal ini tidak berpengaruh pada sikap perilaku pelajar sekarang ini yang
seolah tidak paham akan pentingnya sebuah kejujuran.

Misalnya saja pada saat ujian di kelas, mereka bahkan tidak merasa canggung saat
mengerjakan soal dengan mencontek jawaban teman lainnya, padahal perilaku ini sangat
bertentangan dengan nilai kejujuran yang seharusnya dimiliki oleh generasi kita. Remaja saat
ini juga cenderung kurang memiliki kesadaran terhadap norma kesopanan dilihat dari
kehidupan sehari-hari misalnya saja pada saat berbicara dengan guru menggunakan bahasa
yang seharusnya pantas untuk teman sebaya, ketika berbicara dengan guru pun seperti
berbicara kepada teman tanpa ada rasa menghormati dan ketika berjalan didepan orang tua
pun tidak membungkukkan badan sebagaimana bentuk rasa menghormati orang yang lebih
tua. Akan tetapi terkadang masih ada guru yang enggan untuk menegur siswanya yang dirasa
kurang memiliki sikap hormat, hal ini membuat para siswa menganggap sikap tersebut
menjadi kebiasaan yang tidak sopan. Krisis mentalitas, moral dan karakter siswa pada saat ini
merupakan bagian dari krisis multidimensional yang dihadapi khususnya pada Pendidikan
Nasional. Penanaman akan nilai-nilai moral di sekolah tersebut mengalami kemunduran,
sehingga untuk memiliki moral yang baik dan benar, seseorang tidak cukup sekedar
melakukan tindakan yang menurutnya sudah baik saja akan tetapi hendaknya setiap 5
tindakan yang ia lakukan tersebut disertai dengan keyakinan dan pemahaman akan kebaikan
yang tertanam dalam tindakan tersebut.

Perkembangan akan moral sendiri ditandai dengan kemampuan anak untuk memahami
aturan, norma dan etika yang berlaku di masyarakat. Perkembangan moral terlihat dari
perilaku moralnya di masyarakat yang menunjukkan kesesuaian dengan nilai dan norma di
masyarakat. Perilaku moral ini banyak dipengaruhi oleh pola asuh orang tua serta perilaku
moral dari orang-orang sekitarnya yang tidak terlepas dari perkembangan kognitif dan emosi.
Pelajar yang seharusnya menjadi penerus bangsa untuk memajukan negara ke arah yang lebih
baik malah melakukan hal negatif di luar dari sikap apa yang seharusnya dimiliki oleh
seorang yang terdidik. Fenomena inilah yang menjadi faktor dari merosotnya moral remaja
saat ini yang menjadi tugas bagi para orang tua dan para pendidik untuk membimbing mereka
ke arah yang mencerminkan sikap Pancasila. Tujuan Pendidikan Nasional adalah
mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia yaitu manusia yang
beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa serta berbudi pekerti luhur, memiliki
pengetahuan dan keterampilan, sehat jasmani dan rohani, berkepribadian yang mantap dan

vi
mandiri serta memiliki rasa tanggung jawab terhadap agama, bangsa dan negara (UU No 20
Tahun 2003).

Pendidikan Kewarganegaraan sebagai pendidikan moral di sekolah dimaksudkan agar


pancasila dapat menjadi tolak ukur benar dan salah, baik dan buruk, berhak dan tidak berhak,
merdeka dan terjajah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Melalui Pendidikan
Kewarganegaraan, siswa diharapkan dapat menerapkan 6 sikap dan perilakunya dalam
kehidupan sehari-hari baik dilingkungan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara
(Kuntowijoyo, 1999: 25).

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan nilai, etika dan moral ?
2. Korelasi antara nilai, etika dan moral ?
3. Moral yang terjadi di masyrakat ?
4. Hubungan hukum dengan moral ?
C. Tujuan
1. Untuk megetahui apa yang dimaksut nilai dan moral
2. Mengetahui yang dimaksut korelasi nilai dan moral
3. Mengtahui moral yang ada di masyarakat
4. Yang dimaksut hubungan hukum dan moral

vii
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN NILA, MORAL, DAN ETIKA

1. Pengertian nilai

Perilaku manusia terkait dengan nilai. Bahkan nilai menjadi aspek penting yang
dibutuhkan oleh manusia. Menurut Robert M.Z. Lawang, nilai adalah gambaran mengenai apa
yang diinginkan, yang pantas, yang berharga, yang mempengaruhi perilaku sosial dari orang
yang memiliki nilai itu perilaku sosial dari orang yang memiliki nilai itu. Sedangkan menurut
Pepper, sebagaimana dikutip oleh Munandar, menyatakan bahwa batasan nilai dapat mengacu
pada berbagai hal seperti minat, kesukaan, pilihan, tugas, kewajiban agama, kebutuhan,
keamanan, keengganan dan hal-hal yang berhubungan dengan perasaan dan orientasi
seleksinya (Irene, 1993:21).

Nilai mempunyai berbagai makna, sehingga sulit untuk menyimpulkan secara


komprehensif makna nilai yang mewakili dari berbagai kepentingan dan berbagai sudut
pandang, tetapi ada kesepakatan yang sama dari berbagai pengertian tentang nilai yakni
berhubungan dengan manusia, dan selanjutnya nilai itu penting. Untuk melihat sejauhmana
variasi pengertian nilai tersebut, terutama yang terkait dengan pendidikan, di bawah ini ada
beberapa definisi yang diharapkan berbagai sudut pandang (dalam Elly,2007:120)

Menurut Cheng (1955): Nilai merupakan sesuatu yang potensial, dalam arti
terdapatnya hubungan yang harmonis dan kreatif, sehingga berfungsi untuk menyempurnakan
manusia, sedangkan kualitas merupakan atribut atau sifat yang seharusnya dimiliki .
Menurut Frakena, nilai dalam filsafat dipakai untuk menunjuk kata benada abstrak
yang artinya “keberhargaan” (worth) atau “kebaikan” (goodness) dan kata kerja yang artinya
suatu tindakan kejiwaan tertentu dalam menilai atau melakukan penilaian.
Menurut Lasyo, nilai bagi manusia merupakan landasan atau motivasi dalam segala
tingkah laku atau perbuatannya.

8
Menurut Arthur w.Comb, nilai adalah kepercayaan-kepercayaan yang digeneralisir
yang berfungsi sebagai garis pembimbing untuk menyeleksi tujuan serta perilaku yang akan
dipilih untuk dicapai.
Dengan demikian, nilai itu tidak hanya sesuatu yang berwujud benda material saja,
akan tetapi juga sesuatu yang tidak berwujud benda material. Bahkan sesuatu yang bukan
benda material itu dapat menjadi nilai yang sangat tinggi nilainya (Irene, 1993:21). Nilai
rohani tidak dapat diukur dengan menggunakan alat-alat pengukur (misalnya: meteran,
timbangan); tetapi diukur dengan “budi nurani manusia”. Oleh karena itu, sangatlah sulit
dilakukan apalagi kalau perwujudan budi nurani yang universal (Irene, 1993:22).
Bagi manusia nilai dijadikan landasan, alasan atau motivasi dalam segala
perbuatannya. Dalam pelaksanaannya, nilai-nilai dijabarkan dalam bentuk norma atau ukuran
normatif, sehingga merupakan suatu perintah/keharusan, anjuran atau merupakan larangan,
tidak diinginkan atau celaan. Segala sesuatu yang mempunyai nilai kebenaran, keindahan,
kebaikan dan sebagainya, diperintahkan/dianjurkan. Sedangkan segala sesuatu yang
sebaliknya (tidak benar, tidak indah, tidak baik dan sebagainya), dilarang/tidak diinginkan
atau dicela. Dari uraian di atas, jelas bahwa nilai berperan sebagai dasar pedoman yang
menentukan kehidupan setiap manusia (Irene, 1993:22).
Dalam kajian sosiologi, yang dimaksud dengan sistem nilai adalah nilai inti (score
value) dari masyarakat. Nilai inti ini diikuti oleh setiap individu atau kelompok yang
berjumlah besar. Warga masyarakat betul-betul menjunjung tinggi nilai itu sehingga menjadi
salah satu faktor penentu untuk berperilaku. Bahkan menurut William (1980), sistem nilai itu
tidak tersebar secara sembarangan, tetapi menunjukkan serangkaian hubungan yang bersifat
timbal balik, yang menjelaskan adanya tata tertib di dalam suatu masyarakat.

Adanya sistem nilai budaya yang meresap dan berakar kuat di dalam jiwa masyarakat,
maka akan sulit diganti atau diubah dalam waktu singkat. Mungkin anda pernah mendengar
pepatah “banyak anak banyak rejeki”. Sistem nilai ini begitu diyakini oleh sebagian besar
masyarakat kita dulu, sehingga pelaksanaan program KB yang menginginkan keluarga kecil
bahagia barulah tampak berhasil sekitar 20 tahun kemudian. Menurut Koentjoroningrat suatu
sistem nilai budaya juga berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia (Irene,
1993:23).
Hakikat adalah unsur yang harus/wajib ada untuk adanya Sesuatu. Sulit dipahami jika
tidak diberi contoh. Misalnya, apa yang membuat kita tahu bahwa benda itu adalah buku

9
tulis? Yang paling utama adalah adanya kertas, yang kedua yaitu kertas yang terjilid dengan
rapi. Nah kertas itu yang merupakan unsur utama dari sebuah buku.
Nilai cenderung bersifat tetap, tetapi yang berubah adalah penilaian oleh manusia.
Oleh karena itu tidak tepat dikatakan bahwa ada pergeseran nilai karena nilai tidak pernah
bergeser. Yang bergeser adalah persepsi atau penilaian manusia. Sebagai contohnya, Vincent
Van Gogh adalah seorang pelukis yang dilahirkan di Zundert, sebuah kota di Belanda selatan
pada tanggal 30 Maret 1853. Ia mati bunuh diri pada tanggal 28 Juli 1890. Kemiskinan dan
karya seninya yang tidak diapresiasi merupakan penyebab kematiannya. Pada saat itu lukisan
Van Gogh tidak memiliki arti apa pun di masyarakat, tetapi seratus tahun kemudian karyanya
diagungkan, contoh lainya untuk lukisan Affandi peluksi dari Indoneia dihargai nilai
lukisannya dengan harga relatif mahal dibandingkan saat ia nasih beliau masih hidup. Hal
tersebut sebagai contoh bahwa nilai tidak berubah tetapi cara manusia dalam menilai bisa
berubah. Coba Anda renungkan dengan mengamati nilai-nilai yang ada dalam kehidupan
masyarakat kita.

2. Pengertian etika

Kata “etika” berasal dari bahasa Yunani kuno, ethos. Dalam bentuk tunggal kata ethos
memiliki beberapa makna: tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang; kebiasaan,
adat; akhlak, watak; perasaan, sikap, cara berpikir. Sedang bentuk jamak dari ethos, yaitu ta
etha, berarti adat kebiasaan. Dalam arti terakhir inilah terbentuknya istilah “etika” yang oleh
Aristoteles, seorang filsuf besar Yunani kuno (381-322 SM), dipakai untuk menunjukkan
filsafat moral. Karena itu, dalam arti yang terbatas etika kemudian berarti ilmu tentang apa
yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan (Bertens, 2002: 4).

Dalam Kamus Bahasa Indonesia (2008) kata etika diartikan dengan: (1) ilmu tentang
apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak serta kewajiban moral; (2) kumpulan asas
atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; dan (3) asas perilaku yang menjadi pedoman (Pusat
Bahasa Depdiknas, 2008:402).

Dari tiga definisi ini bisa dipahami bahwa etika merupakan ilmu atau pemahaman dan
asas atau dasar terkait dengan sikap dan perilaku baik atau buruk. Satu kata yang hampir sama
dengan etika dan sering dimaknai sama oleh sebagian orang adalah “etiket”. Meskipun dua
kata ini hampir sama dari segi bentuk dan unsurnya, tetapi memiliki makna yang sangat

10
berbeda. Jika etika berbicara tentang moral (baik dan buruk), etiket berbicara tentang sopan
santun. Secara umum dua kata ini diakui memiliki beberapa persamaan sekaligus perbedaan.

K. Bertens mencata beberapa persamaan dan perbedaa makna dari dua kata tersebut.
Persamaannya adalah: (1) etika dan etiket menyangkut perilaku manusia, sehingga binatang
tidak mengenal etika dan etiket; dan (2) baik etika maupun etiket mengatur perilaku manusia
secara normatif, artinya memberi norma bagi perilaku manusia sehingga ia tahu mana yang
harus dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan.

Adapun perbedaannya adalah: (1) etiket menyangkut cara suatu perbuatan harus
dilakukan, sedang etika tidak terbatas pada cara dilakukannya suatu perbuatan. Etika
menyangkut masalah apakah suatu perbuatan boleh dilakukan atau tidak; (2) etiket hanya
berlaku dalam pergaulan, sedang etika selalu berlaku dan tidak tergantung pada ada atau
tidaknya orang lain; (3) etiket bersifat relatif, sedang etika bersifat lebih absolut; dan (4) etiket
memandang manusia dari segi lahiriahnya saja, sedang etika memandang manusia secara
lebih dalam (Bertens, 2002: 9-10).

3. Pengertian moral

Adapun kata “moral” berasal dari bahasa Latin, mores, jamak dari mos yang berarti kebiasaan,
adat (Bertens, 2002: 4). Dalam Kamus Bahasa Indonesia moral diartikan sebagai: (1) (ajaran tentang)
baik buruk yang diterima umum mengenai 4 perbuatan, sikap, kewajiban, dsb; akhlak; budi pekerti;
susila; dan (2) kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin,
bersedia berkorban, menderita, menghadapi bahaya, dsb; isi hati atau keadaan perasaan sebagaimana
terungkap dalam perbuatan (Pusat Bahasa Depdiknas, 2008: 1041).

Secara umum makna moral ini hampir sama dengan etika, namun jika dicermati ternyata
makna moral lebih tertuju pada ajaran-ajaran dan kondisi mental seseorang yang membuatnya untuk
bersikap dan berperilaku baik atau buruk. Jadi, makna moral lebih aplikatif jika dibandingkan dengan
makna etika yang lebih normatif. Dalam pandangan umum dua kata etika dan moral ini memang sulit
dipisahkan. Etika merupakan kajian atau filsafat tentang moral, dan moral merupakan perwujudan
etika dalam sikap dan perilaku nyata sehari-hari.

Kata moral selalu mengarah kepada baik buruknya perbuatan manusia. Inti pembicaraan
tentang moral adalah menyangkut bidang kehidupan manusia dinilai dari baik atau buruk
perbutaannya. Kata lain yang juga lekat dengan kata moral adalah moralitas, amoral, dan immoral.
Kata moralitas (Inggris: morality) sebenarnya sama dengan moral (Inggris: moral), namun moralitas

11
bernuansa abstrak. Moralitas bisa juga dipahami sebagai sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai
yang berkenaan dengan baik dan buruk (Bertens, 2002: 7).

Kata amoral dan immoral memiliki makna yang sama, yakni lawan dari kata moral. Amoral
berarti tidak bermoral, tidak berakhlak (Pusat Bahasa Depdiknas, 2008: 53). Sedang kata immoral
tidak termuat dalam Kamus Bahasa Indonesia. Kata ini adalah kata Inggris yang berarti tidak sopan,
tunasusila, jahat, dan asusila (Echols & Shadily, 1995: 312).

Dalam berinteraksi di tengah-tengah masyarakat, etika dan moral sangat diperlukan agar
tercipta tatanan masyarakat yang damai, rukun, dan tenteram (etis dan bermoral). Meskipun kedua
kata ini secara mendalam berbeda, namun dalam praktik sehari-hari kedua kata ini hampir tidak
dibedakan. Dalam kehidupan sehari-hari perbedaan konsep normatif tidaklah penting selama hasilnya
sama, yakni bagaimana nilai-nilai positif (baik dan benar) dapat diwujudkan dan nilai-nilai negatif
(buruk dan salah) dapat dihindarkan.

B. HUBUNGAN ETIKA DAN MORAL

Nilai (value) adalah


kemampuan yang dipercayai
yang ada pada suatu
benda untuk
memuaskan manusia. Sifat dari
suatu benda yang
menyebabkan menarik minat
seseorang

12
atau kelompok. Nilai
bersumber pada budi yang
berfungsi mendorong dan
mengarahkan
(motivator) sikap dan perilaku
manusia. Nilai sebagai suatu
sistem merupakan salah satu
wujud kebudayaan di samping
sistem sosial dan karya
Nilai (value) adalah
kemampuan yang dipercayai
yang ada pada suatu
benda untuk
memuaskan manusia. Sifat dari
suatu benda yang

13
menyebabkan menarik minat
seseorang
atau kelompok. Nilai
bersumber pada budi yang
berfungsi mendorong dan
mengarahkan
(motivator) sikap dan perilaku
manusia. Nilai sebagai suatu
sistem merupakan salah satu
wujud kebudayaan di samping
sistem sosial dan karya
Dilihat dari fungi dan peranannya dapat dikatakan bahwa etika, moral dan akhlak
adalah sama, yaitu menentukan hukum atau nilai dari suatu perbuatan yang dilakukan
manusia untuk ditentukan baik buruknya. Kedua istilah tersebut sama-sama menghendaki
terciptanya keadaan masyarakat yang baik, teratur, aman, damai dan tentram sehingga
sejahtera batiniah dan lahiriahnya. Perbedaan antara etika, moral dengan akhlak adalah
terletak pada sumber yang dijadikan patokan untuk menentukan baik dan buruk. Jika dalam
etika penilaian baikburuk berdasarkan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat, maka pada
akhlak ukuran yang digunakan untuk menentukan baik dan buruk itu adalah al-Qur’an dan al-
Hadis.

14
Perbedaan lain antara etika, moral dan akhlak adalah terlihat pula pada sifat dan
kawasan pembahasannya. Jika etika lebih banyak bersifat teoritis, maka pada moral dan
akhlak lebih banyak bersifat praktis. Etika memandang tingkah laku manusia secara umum,
sedangkan moral dan susila bersifat lokal dan individual. etika menjelaskan ukuran baik
buruk, sedangkan moral dan susila menyatakan ukuran tersebut dalam bentuk perbuatan.

Ada beberapa hal yang melatar belakangi perhatian Durkheim dalam masalah
konsensus dan moralitas, bukan saja atas dasar keadaan politik di Perancis saat itu sehingga
menewaskan anak satu satunya yang dipicu karena Perang Dunia I, melainkan juga karena
ada pergeseran sosial, dampak dari adanya industralisasi dan kapitalisme saat itu. Tentang
“ilmu moralitas” Durkheim pernah menulis bahwa karena ketentuan moral dan hukum pada
dasarnya memantulkan keperluan sosial yang hanya bisa dimasukkan oleh masyarakat itu
sendiri –sesuatu yang berdasarkan pada “Pandangan Kolektif” – maka bukanlah tugas kita
mendapatkan (ketentuan) etika dari ilmu pengetahuan, melainkan membentuk suatu ilmu
tentang etika.18 Etika merupakan tata nilai yang terkandung dalam suatu lingkungan sosial
yang sering dikenal dengan istilah norma.

Norma inilah yang menjadi acuan bersosialisasi dalam bermasyarakat. Selanjutnya


Durkheim mengatakan: “Manusia yang percaya, takwa kepada Tuhan yang Maha Esa, karena
ia berterimakasih dan percaya bahwa Tuhanlah yang menciptakannya, khususnya mengenai
jiwanya. Kita juga mempunyai sebab-sebab yang sama untuk berterimakasih dan takwa
kepada kolektivitas”. Tuhan, yang adalah pusat kehidupan religius, yang juga merupakan
jaminan tata moral tertinggi. Sementara Durkheim melihat tidak ada kesiapan solusi sosial
atau politik untuk masalah moral, ia percaya bahwa hanya ada jenis khusus dari kesadaran
berdasarkan amal dan simpati manusia yang dapat mengatasi kecenderungan untuk menilai
nilai moral seseorang dalam hal latar belakang sosial mereka. Durkheim pernah
mendefinisikan dasar dari kehidupan. Sebagai berikut “Kondisi terpencar di dalam mana
masyarakat menemukan diri mereka menyebabkan kehidupannya menjadi seragam, merana
dan menjemukan. Namun, manakala corrobbori terjadi, semuanya berubah. Oleh karena
kemampuan emosional dan gairah orang primitif sangat tidak sempurna ditempatkan di bawah
kontrol nalar dan kehendak, ia mudah sekali kehilangan kontrol akan dirinya sendiri.
Sekaligus di sanalah terjadi sebentuk wahana pengangkut antusiasme.

Peran nilai dalam membentuk karakter

15
Karakter adalah „distinctive trait, distinctive quality, moral strength, the pattern of
behavior found in an individual or group‟ (2). Kamus Besar Bahasa Indonesia belum
memasukkan kata karakter, yang ada adalah kata „watak‟ yang diartikan sebagai sifat batin
manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku, budi pekerti, tabiat. Dalam
risalah ini, dipakai pengertian yang pertama, dalam arti bahwa karakter itu berkaitan dengan
kekuatan moral, berkonotasi „positif‟, bukan netral. Jadi, „orang berkarakter‟ adalah orang
punya kualitas moral (tertentu) yang positif.

Dengan demikian, pendidikan membangun karakter, secara implisit mengandung arti


membangun sifat atau pola perilaku yang didasari atau berkaitan dengan dimensi moral yang
positif atau yang baik, bukan negatif atau yang buruk ( Raka, 2007:5). Karakter merupakan
“keseluruhan disposisi kodrati dan disposisi yang telah dikuasai secara stabil yang
mendefinisikan seorang individu dalam keseluruhan tata perilaku psikisnya yang
menjadikannya tipikal dalam cara berpikir dan bertindak .

Lebih lanjut dijelaskan Diana memetakan dua aspek penting dalam diri individu, yaitu
kesatuan (cara bertindak yang koheren) dan stabilitas (kesatuan berkesinambungan dalam
kurun waktu), karena itu ada proses strukturisasi psikologis dalam diri individu yang secara
kodrati sifatnya reaktif terhadap lingkungan. Beberapa kriteria seperti halnya: stabilitas pola
perilaku; kesinambungan dalam waktu; koherensi cara berpikir dalam bertindak . Hal tersebut
telah menarik perhatian serius para pendidik dan pedagogis untuk memikirkan dalam
kerangka proses pendidikan karakter. Dengan demikian, pendidikan karakter merupakan
dinamika pengembangan kemampuan yang berkesinambungan dalam diri manusia untuk
mengadakan internalisasi nilai-nilai sehingga menghasilkan disposisi aktif, stabil dalam diri
individu.

Dinamika ini membuat pertumbuhan individu menjadi semakin utuh. Unsur-unsur ini
menjadi dimensi yang menjiwai proses formasi setiap inividu. Jadi, karakter merupakan
sebuah kondisi dinamis struktur antropologis individu yang tidak hanya sekedar berhenti atas
determininasi kodratinya, melainkan sebuah usaha hidup untuk menjadi semakin integral
mengatasi determinasi alam dalam dirinya semakin proses penyempurnaan dirinya
(Koesoema, 2004:104).

Pendidikan untuk pembangunan karakter pada dasarnya mencakup pengembangan


substansi, proses dan suasana atau lingkungan yang menggugah, mendorong, dan

16
memudahkan seseorang untuk mengembangkan kebiasaan baik dalam kehidupan sehari-hari.
Kebiasaan ini timbul dan berkembang dengan didasari oleh kesadaran, keyakinan, kepekaan,
dan sikap orang yang bersangkutan. Dengan demikian, karakter bersifat inside-out, dalam arti
bahwa perilaku yang berkembang menjadi kebiasaan baik ini terjadi karena adanya dorongan
dari dalam, bukan karena adanya paksaan dari luar (Raka,2007:6).

Proses pembangunan karakter pada seseorang dipengaruhi oleh faktor-faktor khas


yang ada pada orang yang bersangkutan yang sering juga disebut faktor bawaan (nature) dan
lingkungan (nurture) di mana orang yang bersangkutan tumbuh dan berkembang. Namun
demikian, perlu diingat bahwa faktor bawaan boleh dikatakan berada di luar jangkauan
masyarakat untuk mempengaruhinya. Hal yang berada dalam pengaruh kita, sebagai individu
maupun bagian dari masyarakat, adalah faktor lingkungan. Jadi, dalam usaha pengembangan
atau pembangunan karakter pada tataran individu dan masyarakat, fokus perhatian kita adalah
pada faktor yang bisa kita pengaruhi atau lingkungan, yaitu pada pembentukan lingkungan.
Dalam pembentukan lingkungan inilah peran lingkungan pendidikan menjadi sangat penting,
bahkan sangat sentral, karena pada dasarnya karakter adalah kualitas pribadi seseorang yang
terbentuk melalui proses belajar, baik belajar secara formal maupun informal (Raka,2007:7).

Masalah yang dihadapi dalam mengembangkan karakter adalah kemampuan untuk


tetap menjaga identitas permanen dalam diri manusia yaitu semakin menjadi sempurna dalam
proses penyempurnaan dirinya sebagai manusia. Oleh karena itu, karakter bukanlah
kekuasaan hidup. Karakter dengan demikian tidak dapat dimaknai sekedar sebagai keinginan
untuk mencapai kebahagiaan, ketentraman, kesenangan dll. Yang lebih merupakan
perpanjangan kebutuhan psikologis manusia. Karakter merupakan ciri dasar melalui mana
pribadi itu terarah ke depan dalam membentuk dirinya secara penuh sebagai manusia apapun
pengalaman psikologi yang dimilikinya. Dalam hal ini, pengembangan karakter merupakan
proses yang terjadi secara terus-menerus, karakter bukan kenyataan melainkan keutuhan
perilaku. Karakter bukanlah hasil atau produk melainkan usaha hidup. Usaha ini akan
semakin efektif, ketika manusia melakukan apa yang menjadi kemampuan yang dimiliki oleh
individu (Koesoema,2004:103)

Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam proses pendidikan


karakter tidak mudah untuk dibangun pada setiap individu maupun kelompok, karena dalam
prosesnya banyak faktor yang menentukan keberhasilan dalam membentuk manusia karakter.

17
Kekuatan dalam proses pembentukan karakter sangat ditentukan oleh realitas sosial yang
bersifat subyektif yang dimiliki oleh individu dan realitas obyektif di luar individu yang
mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam membentuk pribadi yang berkarakter.

C. HUKUM DAN MORAL

1. Hubungan hukum dengan moral

Apakah hukum dan moral saling berkaitan? Ya saling berkaitan. Moral itu pertama-
tama soal baik buruk ( soal nilai-nilai normatif). Hukum adalah soal perintah & larangan.
Hukum bukan soal nasihat‚ tapi soal perintah dan larangan karena kalau tidak
menjalankan perintah atau melanggar larangan akan dihukum. (Dewantara‚2017:40)

Hukum haruslah tunduk pada moral. Artinya‚ apa yang diperintahkan haruslah
merupakan kebaikan; dan apa yang dilarang haruslah merupakan keburukan. Bukan
sebaliknya‚ dilarang maka buruk‚ diperintahkan karena baik! Jika moral dipahami
sebagai demikian (dilarang maka buruk‚ diperintahkan karena baik)‚ maka moral tersebut
sangat legalistis; dan apabila hukum dipahami seperti itu‚ akan terjadi kemungkinan
manipulasi positivisme hukum yang sangat hebat. (Dewantara‚2017:40)

Apakah moral dan kemampuan untuk membedakan antara baik dan buruk saling
berkaitan? Ya saling berkaitan. Oleh karena sebab itu seseorang dikatan bermoral apabila
orang tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral yang ada di masyarakat. Perkembangan
moral seseorang berkaitan dengan peraturanperaturan dan nilai-nilai. Saat bayi baru saja
dilahirkan dia tidak memiliki moral bahkan belum mengerti apa itu moral‚ oleh
karenanya peran orang tua sangat diperlukan untuk membentuk nilai moral dalam diri
anak tersebut. Pendidikan di sekolah dan lingkungan pun juga memiliki peran dalam
membentuk sebuah moral pada diri anak. Hal ini dilakukan agar anak tahu hal mana yang
baik dan hal yang buruk.

Ada banyak contoh kasus yang mencerminkan moral yang buruk

a. araknya kasus korupsi yang mereka lakukan merupakan cerminan bahwa moral
Indonesia sudah jatuh dibawah titik terendah. Korupsi tentunya mempengaruhi
semua masyarakat‚ karena dana yang mereka ambil untuk kepentingan mereka
sendiri adalah dana untuk kepentingan masyarakat dan negara. Kasus anggota

18
DPRD di Malang yang 41 dari 45 anggotanya menjadi tersangka korupsi.
Menjadikan krisi moral dan etika yang dialami oleh bangsa Indonesia ini masih
sangat sulit untuk dikendalikan. Selan itu‚ sistem politik di Indonesia ini membuat
seseorang berburu kekuasaan dengan cara menghalalkan segala cara.
b. asus generasi muda yang masih duduk dibangku sekolah yang salah dalam
memilih pergaulan dan pada akhirnya mereka terjerumus dalam pergaulan bebas.
Di masa sekarang ini anak SMP sudah banyak yang melakukan perbuatan yang
menyimpang seperti salah dalam mengartikan seksual dan melakukan hubungan
seksual. Semestinya pendidikan sex hanya untuk pengetahuan semata dan dalam
memberikan pengetahuan tersebut harus dalam pengawasan guru dan orang tua
murid. Bahkan saat ini kurang lebih 50% pelajar wanita sudah tidak perawan
karena mereka melakukan hubungan seksual tanpa adanya ikatan pernikahan.
Menurunnya sikap moralitas remaja dipengaruhi oleh perkembangan zaman
dan juga karena pengaruh globalisasi yang masuk dalam Indonesia. Dibandingkan
dampak positifnya lebih banyak dampak negatif yang masuk di Indonesia. Mereka
lebih mengagung-agungkan budaya barat dibandingkan budaya asli Indonesia.
Bukan hanya itu saja‚ tekhnologi global pun juga ikut mempengaruhi nilai moral
seseorang khususnya para remaja.
Nilai moral yang baik merupakan suatu hal yang diinginkan dan dianggap
penting dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Menurut Green‚ sikap
merupakan kesediaan bereaksi individu terhadap suatu hal‚ sikap berkaitan dengan
motif dan mendasari tingkah laku seseorang.
Dalam hal ini apabila terjadi penurunan moralitas pada masyarakat Indonesia
bisa jadi disebabkan oleh semakin menurunnya jiwa spiritual dan akhlak yang
seharusnya menjadi pedoman bagi seseorang sebelum melakukan suatu tindakan.
Krisis spiritual dan akhlak ini addalah salah dua dari imbas di era globalisasi yang
telah merubah konsep dan tatanan kehidupan masyarakat saat ini. Hal yang
berubah seperti gaya bicara‚ cara berpakaian‚ cara berkomunikasi hingga cara
makan pun juga dipengaruhi oleh globalisasi. Seperti yang saya katakan diatas
bahwa globaisasi yang masuk di Indonesia lebih banyak membawa pengaruh
negatif. Dan hal ini sangat berpengaruh besar terhadap kelangsungan Negara
Indonesia.

19
Selain itu krisis spiritual dan akhlak juga disebabkan oleh pendidikan nasional
di Indonesia yang lebih memilih mengedepankan nilai-nilai akademik sehingga
membuat para generasi penerus bangsa semakin melupakan apa itu nilai moral.

2. Upaya hukum dalam membentuk moral masyarakat

Pelaksanaan hukum di dalam masyarakat selain bergantung kepada kesadaran


hukum masyarakat juga ditentukan oleh para aparat penegak hukum. Karena masih ada
beberapa peraturan hukum yang belum terlaksana, belum dibuat dan masih banyaknya
oknum yang melakukan pelanggaran karena masih minimnya pengetahuan dan kesadaran
dalam diri individu. Hal tersebut dikarenakan pelaksanaan yang dilakukan oleh penegak
hukum itu sendiri yang tidak sesuai dan mengabaikan pelanggaran-pelanggaran yang
sering terjadi di dalam kehidupan masyarakat.
Tujuan utama era reformasi di Indonesia adalahpenegakan hukum dan keadilan.
Namun pada kenyataannya hal itu masih belum berjalan maksimal, kurangnya etika
masyarakat di zaman modern ini membuat Indonesia kehilangan banyak penerus yang
bermoral dikarenakan tidak adanya upaya pemerintah atau penegak hukum untuk
menangani masalah ini.
Hukum Indonesia bertujuan untuk menghendaki adanya hubungan harmonis dan
serasi antara pemerintah dan masyarakatnya dengan memprioritaskan kerukunan yang
terkandung dalam pancasila. Hukum dan masyarakat saling berkaitan salah satunya adalah
hukum ada untuk mencegah konflik dalam masyarakat, hukum menjadi upaya untuk
menyelesaikan suatu perkara berdasarkan kebijakan yang didasarkan oleh norma yang
berlaku, sehingga tidak ada masyarakat yang main hakim sendiri. Hal ini dikarenakan
hukum mempunyai 3 peran utama dalam masyarakat yaitu sebagai sarana kontrol sosial,
sarana untuk memfasilitasi proses interaksi sosial, dan sarana untuk menciptkan keadaan
tertentu.
Namun dalam masyarakat Kampung Cijambe Girang Sukaresmi, Kabupaten
Sukabumi peran hukum tersebut seolah-olah tidak berfungsi, hilangnya etika membuat
warga melakukakan pelanggaran- pelanggaran sehingga mangabaikan norma yang ada
dalam masyarakat, oleh karena itu untuk mencegah pelanggaran etika dalam masyarakat
diperlukan upaya hukum untuk meningkatkan kembali moral bangsa saat ini.

20
Dalam bermasyarakat manusia dituntut harus mempunyai etika, agar dapat
dihormati oleh sesamanya.. Namun, dalam perkembangannya di era globalisasi ini tidak
sedikit manusia yang kehilangan etikanya dengan berbagai alasan dan tujuan yang ada.
Dengan demikian hal tersebut mengganggu pertumbuhan moral dalam kehidupan di
zaman sekarang. Untuk membangun etika yang baik di dalam masyakat diperlukan
upaya internal dan eksternal.
Biasanya seorang individu akan ketakutan jika mendengar kata hukum bila
melakukan pelanggaran, namun kesadaran hukum di dalam suatu kampung biasanya lebih
rendah dikarenakan kurangnya pemahaman yang diberikan. Oleh karena itu agar
kesadaran hukum ditempuh oleh banyak pihak perlu diadakannya seminar kesadaran hukum
di setiap kampung khususnya Kampung Cijambe Girang Sukaresmi, Kabupaten
Sukabumi. Dengan begitu bisa meminimalisir pelanggaran etika yang terjadi dimasyarakat
dikarenakan setiap individu mempunyai pegangan agar tidak adanya masalah hukum
yang terjadi. Masyarakat setempat membuat aturan mengenai etika Setiap wilayah pasti
mempunyai aturannya masing-masing tergantung seseorang bertempat tinggal, aturan-
aturan ini biasanya berisi larangan dan perintang dimana terdapat norma-norma di
dalamnya.

Meskipun setiap masyarakat mempunyai aturan tetapi tidak jarang masyarakat


suatu tempat mempunyai aturan mengenai etika dalam masyarakat, atau ada juga yang
mempunyai aturan tetapi dibiar dan tidak ditegakan. Hal ini juga berlaku pada Kampung
Cijambe Girang Sukaresmi, Kabupaten sukabumi yang dimana masyarakat dan warganya
mengabaikan aturan-aturan yang ada sehingga timbulah pelanggaran etika masyarakat.
Oleh karena itu, seharusnya pemerinah Indonesia memberikan Intrupsi kepada
masyarakat untuk mempunyai aturan-aturan mengenai etika dan harus ditegakan, agar
Indonesia tidak kehilangan banyak lagi masyarakat yang mengalami kekrisisan moral.

D. KESIMPULAN

Nilai mempunyai peran peting dalam kehidupan manusia. Nilai adalah sumber
kekuatasn dalam menegakkan ketertiban dan keteraturan sosial. Norma sebagai patokan
perilaku manusia mengalami perubahan makna , namun demkian secara moral tetap menjadi
landasan bagi perilaku manusia. Demikian hal, moral sebagai landasan perilaku manusia yang
menjadikan kehidupan berjalan dalam norma-norma kehidupan yang humanis-religius .

21
Kekuatan hukum menjadi kontrol dalam mengatur keadilan akan hak dan kewajiban setiap
manusia dalam menjalankan peran-peran penting bagi kehidupan manusia. Nilai, norma dan
hukum serta moral adalah landasan pokok yang diperlukan bagi pembentukkan karakter
manusia.. Oleh karena itu, proses pembentukan karakter tidak boleh mengabaikan tekanan
nilai dan moral, Pendidikan karakter dengan pendekatan yang holistik dan kontekstual tidak
mudah diterapkan jika tidak didukung oleh semua warga masyarakat yang pada setiap tataran
kehidupan masyarakat. Keluarga, sekolah dan masyarakat serta negara perlu menyadari
bahwa membangun pendidikan karakter harus menjadi kebutuhan bersama sehingga bangsa
Indonesia memiliki kekuatan untuk mengatasi krisis karakter yang sudah bersifat dimensional
dan struktural.

DAFTAR PUDTAKA

22

Anda mungkin juga menyukai