Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Hiperglikemia adalah suatu kondisi medik berupa peningkatan kadar glukosa dalam

darah meningkat melebihi batas normalnya. Hiperglikemia menjadi salah satu gejala awal

seseorang mengalami gangguan metabolik yaitu diabetes mellitus (Kementerian Kesehatan


RI, 2014). Hiperglikemia adalah suatu gejala yang timbul akibat ketidakmampuan pankreas
dalam menghasilkan cukup insulin maupun ketidakmampuan tubuh dalam menggunakan
insulin yang dihasilkan dengan baik. Organisasi WHO memprediksi adanya peningkatan
jumlah pasien DM tipe 2 yang cukup besar pada tahun-tahun mendatang. Badan kesehatan
dunia WHO memprediksi kenaikan jumlah pasien DM tipe 2 di Indonesia dari 8,4 juta pada
tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Prediksi International Diabetes
Federation (IDF) juga menunjukkan bahwa pada tahun 2019 - 2030 terdapat kenaikan jumlah
pasien DM dari 10,7 juta menjadi 13,7 juta pada tahun 2030. Berdasarkan data badan pusat
statistik indonesia tahun 2003, diperkirakan penduduk indonesia yang berusia diatas 20 tahun
sebanyak 133 juta jiwa. Dengan mengacu pada pola pertumbuhan penduduk, maka
diperkirakan pada tahun 2030 nanti akan ada 194 juta penduduk yang berusia diatas 20
tahun.1 Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 oleh departemen
kesehatan, menunjukan bahwa rata-rata prevalensi DM didaerah urban untuk usia diatas 15
tahun sebesar 5,7%. Prevalensi tecil terdapat di provinsi Papua sebesar 1,7% dan terbesar di
provinsi Maluku Utara dan Kalimantan Barat yang mencapai 11,1%. Sedangkan prevalensi
toleransi glukosa terganggu (TGT), berkisar antara 4,0% diprovinsi Jambi sampai 21,8% di
propinsi Papua Barat dengan rerata sebesar 10,2%.1 Data-data diatas menunjukan bahwa
jumlah penyandang DM di Indonesia sangat besar. Dengan kemungkinan terjadi
peeningkatan jumlah penyandang DM dimasa 7 mendatang akan menjadi beban yang sangat
berat untuk dapat ditangani sendiri oleh tenaga kesehatan dan tempat pelayanan kesehatan.1

Diabetes mellitus merupakan penyakit menahun yang akan disandang seumur hidup.
Pengelolaan penyakit ini memerlukan peran serta dokter, perawat, ahli gizi, dan tenaga
kesehatan lain. Pasien dan keluarga juga mempunyai peran yang penting, sehingga perlu
mendapatkan edukasi untuk memberikan pemahaman mengenai perjalanan penyakit,
pencegahan, penyulit, dan penatalaksanaan DM. Pemahaman yang baik akan sangat
membantu meningkatkan keikutsertaan keluarga dalam upaya penatalaksanaan DM guna
mencapai hasil yang lebih baik. Keberadaan organisasi profesi seperti PERKENI dan IDAI,
serta perkumpulan pemerhati DM yang lain seperti 8 PERSADIA, PEDI, dan yang lain
menjadi sangat dibutuhkan. Organisasi profesi dapat meningkatkan kemampuan tenaga
profesi kesehatan dalam penatalaksanaan DM dan perkumpulan yang lain dapat membantu
meningkatkan pengetahuan penyandang DM tentang penyakitnya dan meningkatkan peran
aktif mereka untuk ikut serta dalam pengelolaan dan pengendalian DM. 1 Oleh karena
penatalaksanaan DM harus memerlukan semua peran serta keluarga, masyarakat dan tenaga
kesehatan, peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “perbandingan
kadar gula darah puasa sebelum dan setelah dilakukan konseling bagian gizi pada pasien DM
di Puskesmas ujung berung indah Bandung tahun 2022”.

1.2 Pernyataan Masalah

Bagaimana perbandingan kadar gula darah puasa sebelum dan setelah dilakukan konseling
bagian gizi pada pasien DM di Puskesmas ujung berung indah Bandung?

1.3 Tujuan

Tujuan umum

Untuk mengetahui perbandingan kadar gula darah puasa sebelum dan setelah dilakukan
konseling oleh bagian gizi pada pasien DM di Puskesmas ujung berung indah Bandung.

2. Tujuan khusus

- Diketahuinya perbandingan kadar gula darah puasa sebelum dilakukan konseling bagian
gizi pada pasien DM di Puskesmas ujung berung indah Bandung.

- diketahuinya perbandingan kadar gula darah puasa setelah dilakukan konseling bagian gizi
pada pasien DM di Puskesmas ujung berung indah Bandung.

1.4 Manfaat

1. Bagi Peneliti Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengalaman bagi peneliti dalam
melakukan penelitian dan penambah wawasan peneliti dalam hal penyakit DM secara
komprehensif.
2. Bagi Masyarakat Dari penelian ini diharapkan agar masyarakat menjadi lebih tahu dan
mengerti tentang penyakit Diabetes Melitus sehingga mau melakukan gaya hidup sehat,
kontrol rutin dan patuh terhadap terapi yang diberikan oleh tenaga kesehatan.

3. Bagi Puskesmas Hasil penelitian ini diharapkan menjadi masukan bagi Puskesmas
Kariangau dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan secara komprehensif khususnya
penyakit Diabetes Melitus.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 profil wilayah Ujung Berung Indah

Kecamatan Ujungberung Kota Bandung merupakan hasil pemekaran wilayah sejak


tahun 1987 berdasarkan PP 16 tahun 1987. Namun setelah di tetapkannya Peraturan Daerah
Kota Bandung Nomor 06 Tahun 2006 tentang Pemekaran Wialayah Kecamatan dan
Kelurahan Dilingkungan Pemerintah Kota Bandung Kecamatan Ujungberung dimekarkan
menjadi Kecamatan Ujungberung dan Kecamatan Cinambo. Wialayah Kecamatan
Ujungberung terletak pada posisi 107º 42' Bujur Timur dan 6º 54' Lintang Selatan berada
pada ketinggian sekitar 750 meter dpl dan suhu udara rata-rata 19º C - 24º C dan curah hujan
2.400 mm/tahun saat ini memiliki luas sebanyak 661,206 Hektar meliputi wilayah
perumahan, pertanian, pesawahan dan peruntukan lahan lainya. Sedangkan Kecamatan
Ujungberung memiliki jumlah penduduk sebanyak 71.420 jiwa terdiri dari 35.926 laki-laki
dan 35.488 perempuan. Kecamatan Ujungberung termasuk ke dalam wilayah Kota Bandung
yang dahulu dikenal dengan nama Kotamadya Bandung. Daerah tersebut terletak di bagian
timur Kota Bandung pada jarak kilometer 12 dari pusat Kota Bandung ke arah timur yang
lahir dan terbentuk berdasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1978. Kantor
Kecamatan Ujungberung terletak di Jalan Alun-alun Utara Nomor 211 Bandung Kode Pos
40616. Ujungberung memiliki luas wilayah 661.258 hektar (ha) yang terbagi ke dalam 5
kelurahan, yaitu Kelurahan Pasir Endah dengan luas wilayah 108,5 ha yang memiliki 7
Rukun Warga (RW) dan 49 Rukun Tetangga (RT); Kelurahan Cigending dengan luas
wilayah 92,858 ha yang memiliki 11 RW dan 63 RT; Kelurahan Pasir Wangi dengan luas
wilayah 111,468 ha yang memiliki 11 RW dan 48 RT; Kelurahan Pasir Jati dengan luas
wilayah 123,432 ha yang memiliki 12 RW dan 51 RT; dan Kelurahan Pasanggrahan dengan
luas wilayah 225 ha yang memiliki 14 RW dan 61 RT.

2.1.1 Ujung Berunng Secara Geografi

Secara geografis, Kecamatan Ujungberung terletak di sebelah timur dengan posisi paling
timur bila mengikuti alur perjalanan dari arah pusat Kota Bandung. Untuk sampai ke
Ujungberung, ada tiga akses jalur yang dapat dilalui. Pertama, jalur yang ditempuh dari pusat
kota Bandung, yaitu dari kawasan alun-alun Kota Bandung atau kawasan Jalan Asia-Afrika.
Kedua, jalur yang ditempuh bila melalui arah Jalan Soekarno-Hatta (jalan bypass). Ketiga,
jalur yang ditempuh dari arah timur yang memasuki daerah kawasan Cileunyi-Cibiru bila
perjalanan awal dimulai dari arah Kabupaten Ciamis atau Kabupaten Garut. Aspek kesehatan
merupakan faktor penting bagi penunjang kehidupan manusia maka dari itu kesehatan
dijadikan salah satu penilaian untuk perhitungan IPM. Satu-satunya sarana kesehatan milik
Pemerintah Kota Bandung yang berada di wilayah Kecamatan Ujungberung adalah
Puskesmas Ujungberung Indah yang berada di Kelurahan Cigending. Sarana kesehatan
lainnya mencakup Posyandu, Prakter dokter, Praktek bidan, dan apotek. Menurut data
Puskesmas Ujungberung, Jumlah Fasilitas kesehatan mengalami peningkatan dari tahun
2014. Jenis pelayanan kesehatan yang diberikan oleh puskesmas diantaranya adalah
imunisasi dan pelayanan program KB. Pelayanan imunisasi dimaksudkan untuk mengurangi
angka kematian bayi dengan meningkatkan kekebalan tubuh.

2.1.2 Penduduk dan Tenaga Kerja

Penduduk merupakan obyek dan subyek dari suatu pembangunan. Berdasarkan


konsep definisi BPS yang dimaksud dengan penduduk ialah semua orang yang berdomisili di
wilayah geografis Republik Indonesia selama 6 (enam) bulan atau lebih dan atau mereka
yang berdomisili kurang dari 6 (enam) bulan tetapi bertujuan untuk menetap. Menurut
definisi tersebut, penduduk Indonesia mencakup Warga Negara Indonesia (WNI) maupun
Warga Negara Asing (WNA) yang tinggal dalam wilayah geografis Indonesia, baik yang
bertempat tinggal tetap maupun yang bertempat tinggal tidak tetap Berdasarkan Data BPS
tentang proyeksi penduduk kota bandung tahun 2014, jumlah penduduk kecamatan
Ujungberung berjumlah 75.151 jiwa. Artinya penduduk kecamatan Ujungberung bertambah
3,8% dibandingkan tahun 2010. Kelurahan Pasanggrahan adalah merupakan kelurahan
dengan jumlah penduduk terbanyak yakni Sumber: Proyeksi Penduduk, BPS Kota Bandung
Sumber: Proyeksi Penduduk, BPS Kota Bandung 17.107 jiwa. Sedangkan Kelurahan Pasir
wangi memiliki jumlah penduduk terendah yakni 12.779 jiwa. Adanya pertumbuhan
penduduk yang cukup cepat menimbulkan peningkatan kepadatan di suatu daerah, demikian
pula dengan Kecamatan Ujungberung terdapat peningkatan kepadatan sebesar 0,5% dari
tahun sebelumnya. Pada tahun 2014 kepadatan penduduk kecamatan Ujungberung mencapai
113,66 jiwa/ha. Kelurahan Cigending adalah kelurahan yang terletak disisi jalan utama yang
menjadi salah satu pusat perdagangan sehingga menjadikan kelurahan Cigending tempat
strategis untuk menetap bagi kaum pendatang. sehingga cukup dimaklumi bahwa kelurahan
ini menjadi kelurahan terpadat. dengan kepadatan mencapai 169,22 jiwa/ha. Kelurahan
Pasanggrahan merupakan kelurahan terluas, yaitu sebesar 34% dari luas Kecamatan
Ujungberung, dan juga merupakan kelurahan paling banyak penduduknya dibandingkan
dengan kelurahan lain. Masih tersedianya lahan pertanian di kelurahan ini karena pemerintah
membeli tanah pertanian milik warga guna mencegah alih fungsi lahan. kelurahan
pasanggarahan mempunyai kepadatan penduduk yaitu 75,8 jiwa/ha.

2.1.3 Aspek kesehatan

Aspek kesehatan merupakan faktor penting bagi penunjang kehidupan manusia maka
dari itu kesehatan dijadikan salah satu penilaian untuk perhitungan IPM. Satu-satunya sarana
kesehatan milik Pemerintah Kota Bandung yang berada di wilayah Kecamatan Ujungberung
adalah Puskesmas Ujungberung Indah yang berada di Kelurahan Cigending. Sarana
kesehatan lainnya mencakup Posyandu, Prakter dokter, Praktek bidan, dan apotek. Menurut
data Puskesmas Ujungberung, Jumlah Fasilitas kesehatan mengalami peningkatan dari tahun
2014. Jenis pelayanan kesehatan yang diberikan oleh puskesmas diantaranya adalah
imunisasi dan pelayanan program KB. Pelayanan imunisasi dimaksudkan untuk mengurangi
angka kematian bayi dengan meningkatkan kekebalan tubuh. Adapaun cara kerja imunisasi
ini biasanya dengan cara menyuntikkan atau meneteskan vaksin ke dalam tubuh bayi.
Pelayanan program Keluarga Berencana (KB) di puskesmas secara umum adalah untuk
mengendalikan pertumbuhan penduduk, dengan mencegah kehamilan tidak diinginkan serta
mencegah kematian ibu hamil.

2.2 Diabetes Melitus

Diabetes Melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan


karakteristikhiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya.3 Menurut American Diabetes Association (ADA) pada tahun 2011, DM
merupakan penyakit metabolik yang ditandai dengan hiperglikemik kronik, serta gangguan
metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin, atau keduanya. Hal ini dapat mengakibatkan kadar glukosa dalam darah
meningkat dan kelebihannya akan dikeluarkan melalui ginjal yang selanjutnya keluar melalui
urine. Gejala klinis DM antara lain rasa haus yang berlebihan (polidipsi), poliuri, pruritus,
dan penurunan berat badan. Keempat gejala ini sering ditemukan pada penderita DM.3

Hiperglikemik berdasarkan kriteria DM yang dikeluarkan oleh International Society


for Pediatrics and Adolescent Diabetes (ISPAD) adalah kadar gula darah sewaktu lebih dari
200 mg/dL dan kadar gula darah puasa lebih dari 126 mg/dL. Hiperglikemik yang menetap
dan berlangsung dalam jangka panjang pada pasien DM dapat menyebabkan disfungsi,
kegagalan bahkan kerusakan organ terutama mata, ginjal, pembuluh darah, dan saraf.4

2.1.2 Etiologi & Klasifikasi Diabetes Melitus


Diabetes melitus menurut ADA dalam standards of medical care in diabetes tahun 2015
klasifikasi DM dibagi menjadi DM tipe 1, DM tipe 2, DM gestasional (diabetes kehamilan),
dan DM tipe lain. DM tipe 1 disebut insulin dependent diabetes melitus (IDDM) yang terjadi
akibat kurangnya sekresi insulin karena destruksi sel β, umumnya mengarah ke defisiensi
insulin absolut. Penyebab kerusakan sel β pankreas terbanyak karena kelainan autoimun dan
idiopatik. DM tipe 2 disebut non insulin dependent diabetes melitus (NIDMM). DM tipe 2
disebabkan oleh penurunan sensitivitas jaringan target terhadap efek metabolik insulin atau
seringkali disebut sebagai resistensi insulin. DM gestasional terjadi karena peningkatan kadar
glukosa darah selama kehamilan dan biasanya turun setelah melahirkan. Diabetes tipe lain
dapat terjadi karena gangguan genetik pada fungsi sel β, gangguan genetik pada kerja insulin,
endokrinopati seperti hyperthyroidism, infeksi Cytomegalovirus, sebab imunologi yang
jarang, penyakit eksokrin pankreas seperti pancreatitis, dan yang dipicu oleh obat atau bahan
kimia seperti pengobatan HIV/AIDS serta sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM
seperti down sindrom.5
Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat gejala khas/ klasik DM berupa
poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan tanpa sebab jelas dan Gejala tidak
khas DM diantaranya lemas, mudah lelah, kesemutan, gatal, penglihatan kabur, luka yang
sulit sembuh, disfungsi ereksi pada pria, pruritus vulva pada wanita. 5 Diagnosis DM dapat
ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Pemeriksaan glukosa darah yang
dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan plasma darah vena.
Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa
darah kapiler dengan glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya
glukosuria.3
Kriteria diagnosis DM berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar
Glukosa Plasma Sewaktu (GDS) ≥200 mg/dL (11.1 mmol/L) atau kadar Glukosa Plasma
Puasa (GDP) ≥126 mg/dL (7 mmol/L) atau kadar glukosa plasma pada jam ke-2 TTGO (Tes
Toleransi Glukosa Oral) sebesar 200 mg/dL. Pemeriksaan GDP dilakukan dengan cara pasien
berpuasa terlebih dahulu selama 8 jam tanpa ada asupan kalori yang masuk, sedangkan untuk
pemeriksaan TTGO pasien dilakukan pembebanan dengan glukosa 75 gr dilarutkan dalam air
250 mL dan diminum dalam waktu 5 menit. Penegakkan diagnosis DM berdasarkan
pemeriksaan HbA1C dengan menggunakan metode yang terstandarisasi oleh National
Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP) didapatkan hasil ≥6,5%. Pada penderita
yang asimtomatik dengan peningkatan kadar glukosa plasma sewaktu (200mg/dL) harus
dikonfirmasi dengan kadar GDP atau dengan TTGO yang terganggu. Diagnosis DM pada
penderita asimtomatik tidak dapat ditegakkan berdasarkan satu kali pemeriksaan.3

Kadar pemeriksaan laboratorium darah untuk diagnosis diabetes dan prediabetes dapat
dilihat selengkapnya pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Kadar pemeriksaan laboratorium darah untuk diagnosis diabetes dan prediabetes.
Dikutip dari: PB PERKENI.3

2.1.3 Faktor Risiko Diabetes Melitus


Menurut American Diabetes Association (2014) dijelaskan bahwa faktor risiko DM tipe
II dibagi menjadi 2 yaitu faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi dan yang dapat
dimodifikasi. Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi antara lain adalah suku, ras, etnis,
genetic, umur, jenis kelamin, riwayat keluarga dengan diabetes melitus, serta riwayat lahir
dengan berat badan lahir rendah (BBLR). Faktor yang dapat dimodifikasi antara lain adalah
pola hidup yang kurang sehat seperti kurangnya aktifitas fisik, pola makan yang kurang baik
(tinggi gula rendah serat), obesitas abdominal/sentral, dislipidemia, hipertensi, riwayat
toleransi glukosa terganggu, diet tidak seimbang, gula darah puasa terganggu, dan merokok.6,7

2.1.4 Etiologi dan Patofisiologi Diabetes Melitus


Pankreas merupakan kelenjar penghasil insulin yang didalamnya terdapat kumpulan sel
yang berbentuk seperti pulau sehingga disebut pulau Langerhans. Pulau Langerhans berisi sel
beta yang mensintesis hormon insulin yang sangat berperan dalam mengatur kadar glukosa
darah. Disfungsi sel beta dapat terjadi akibat kombinasi faktor genetik dan faktor lingkungan.
Faktor lingkungan tersebut adalah adanya obesitas dan kurangnya aktivitas fisik. Seiring
dengan bertambahnya usia, jumlah sel beta akan menurun karena proses apoptosis melebihi
replikasi dan neogenesis. Hal ini menjelaskan mengapa orang tua lebih rentan terhadap
terjadinya DM tipe2.5,8
Pada penyakit diabetes melitus terjadi gangguan pada metabolisme karbohidrat, protein
dan lemak akibat insulin tidak dapat bekerja secara optimal, jumlah insulin yang tidak
memenuhi kebutuhan atau keduanya. Gangguan metabolisme tersebut dapat terjadi karena 3
hal yaitu gangguan pre-reseptor akibat kerusakan pada sel-sel beta pankreas, gangguan
reseptor akibat penurunan reseptor glukosa pada kelenjar pankreas dan akibat kerusakan
reseptor insulin di jaringan perifer, serta gangguan post-reseptor yaitu akibat gangguan proses
fosforilasi dan gangguan signal transduksi di dalam sel otot. Ketiga hal tersebut
menyebabkan terjadinya resistensi insulin/ penurunan sensitivitas (kemampuan) insulin.5,8
Resistensi insulin merupakan kondisi umum bagi orang-orang dengan berat badan
overweight atau obesitas. Insulin tidak dapat bekerja secara optimal di sel otot, lemak, dan
hati sehingga memaksa pankreas mengkompensasi untuk memproduksi insulin lebih banyak.
Ketika produksi insulin oleh sel beta pankreas tidak adekuat guna mengkompensasi
peningkatan resistensi insulin, maka kadar glukosa darah akan meningkat dan terjadi
hiperglikemia kronik. Hiperglikemia kronik pada DM tipe 2 semakin merusak sel beta secara
gradual dan memperburuk resistensi insulin. Pada tahap lanjut dari perjalanan DM tipe 2, sel
beta pankreas digantikan dengan jaringan amiloid sehingga produksi insulin mengalami
penurunan progresif.5,8
Kadar glukosa darah yang tinggi selanjutnya berakibat pada proses filtrasi yang melebihi
transpor maksimum. Keadaan ini mengakibatkan glukosa dalam darah masuk ke dalam urin
(glukosuria) sehingga terjadi diuresis osmotik yang ditandai dengan pengeluaran urin yang
berlebihan (poliuria). Banyaknya cairan yang keluar menimbulkan sensasi rasa haus
(polidipsia). Glukosa yang hilang melalui urin dan resistensi insulin menyebabkan kurangnya
glukosa yang akan diubah menjadi energi sehingga menimbulkan rasa lapar yang meningkat
(polifagia) sebagai kompensasi terhadap kebutuhan energi. Penderita akan merasa mudah
lelah dan mengantuk jika tidak ada kompensasi terhadap kebutuhan energi tersebut.5,8
Diabetes melitus sering menyebabkan komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular.
Komplikasi makrovaskular terutama didasari adanya resistensi insulin, sedangkan komplikasi
mikrovaskular terjadi akibat hiperglikemia kronik. Kerusakan vaskular ini diawali dengan
terjadinya disfungsi endotel akibat proses glikosilasi dan stres oksidatif pada sel endotel.
Hiperglikemia kronik akan menyebabkan apoptosis sel endotel vaskuler melalui overproduksi
superoksida mitokondria (radikal bebas) yang mengawali kerusakan tunika intima. Kerusakan
tersebut menyebakan endotel kehilangan fungsi fisiologisnya meliputi kecenderungan untuk
meningkatkan vasodilatasi, fibrinolisis, dan antiagregasi. Pada sel endotel yang telah
mengalami apoptosis, akan terjadi pula aktivasi vascular endothelial-cadherin yang akan
menyebabkan apoptosis sel-sel sekitar pada daerah yang rentan mengalami aterosklerosis
sehingga menyebabkan terjadinya makroangiopati. Aterosklerosis pada pembuluh darah
jantung dapat menyebabkan terjadinya infark miokard sedangkan jika mengenai otak dapat
mengakibatkan terjadinya stroke.5,8
Sedangkan komplikasi mikroangiopati yang sering terjadi antara lain retinopati, nefropati,
dan neuropati. Komplikasi ini timbul akibat penyumbatan pada pembuluh darah kecil
khususnya kapiler. Nefropati diabetika (ND) merupakan salah satu komplikasi paling serius
dari penyakit yang sebagian besar dapat menyebabkan gagal ginjal tahap akhir. Nefropati
diabetik ditandai dengan adanya proteinuri persisten (>0,5 gr/24 jam), terdapat retinopati, dan
hipertensi.9

2.1.5 Penatalaksanaan Diabetes Mellitus


Penatalaksanaan pada penderita DM dimulai dengan memberikan edukasi dan
menerapkan pola hidup sehat (terapi nutrisi medis dan aktivitas fisik) bersamaan dengan
intervensi farmakologis dengan obat anti hiperglikemia secara oral dan atau suntikan. Obat
anti hiperglikemia oral dapat diberikan sebagai terapi tunggal atau kombinasi. Pada keadaan
emergensi dengan dekompensasi metabolik berat, misalnya: ketoasidosis, stres berat, berat
badan yang menurun dengan cepat, atau adanya ketonuria, harus segera dirujuk ke Pelayanan
Kesehatan Sekunder atau Tersier. Hal ini berguna untuk menurunkan kadar glukosa dalam
darah pada pasien diabetes mellitus agar tidak terjadi komplikasi akut maupun kronis.3

2.1.5.1 Edukasi
Pengetahuan tentang pemantauan mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia dan cara
mengatasinya harus diberikan kepada pasien dengan salah satunya yaitu edukasi dengan
tujuan promosi hidup sehat, pencegahan pengelolaan DM secara holistik. Materi edukasi
pada tingkat awal dilaksanakan di Pelayanan Kesehatan Primer yang meliputi materi tentang
perjalanan penyakit DM, makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM secara
berkelanjutan, intervensi non-farmakologis dan farmakologis serta target pengobatan,
interaksi antara asupan makanan, aktivitas fisik, dan obat anti hiperglikemia oral atau insulin
serta obat-obatan lain. Selain itu perlu juga diedukasikan pentingnya latihan jasmani yang
teratur, pentingnya perawatan kaki, cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil
glukosa darah atau urin mandiri, serta mengenali gejala dan penanganan awal hipoglikemia.3
2.1.5.2 Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani
(gaya hidup sehat). Pemberian terapi farmakologis terdiri atas obat oral dan obat dalam
bentuk suntikan. Sulfonilurea merupakan obat yang mempunyai efek utama meningkatkan
sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Efek samping utama obat tersebut adalah hipoglikemia
dan peningkatan berat badan. Pengunaan obat sulfonilurea harus berhati-hati pada pasien
dengan risiko tinggi hipoglikemia seperti pada orang tua, gangguan faal hati, dan ginjal.3
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan penekanan
pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu
Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorbsi
dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. Efek
samping yang mungkin terjadi pada pasien adalah hipoglikemia. Kemudian terdapat
peningkatan sensitivitas terhadap insulin & metformin. Metformin mempunyai efek utama
mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), dan memperbaiki pengambilan glukosa
di jaringan perifer. Metformin merupakan pilihan pertama pada sebagian besar kasus diabetes
mellitus tipe 2. Dosis Metformin diturunkan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal
(GFR 30- 60 ml/menit/1,73 m2).3
Selain obat Sulfonilurea dan metformin terdapat juga obat tiazolidindion (TZD),
tiazolidindion merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator Activated Receptor Gamma
(PPAR-gamma), suatu reseptor inti yang terdapat antara lain di sel otot, lemak, dan hati.
Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah
protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan pengambilan glukosa di jaringan perifer.
Tiazolidindion juga meningkatkan retensi cairan tubuh sehingga pemberiannya kontraindikasi
pada pasien dengan gagal jantung (NYHA FC III-IV) karena dapat memperberat
edema/retensi cairan. Pada penderita diabetes tipe 2 dengan gangguan faal hati harus berhati-
hati jika diberikan tiazolidindion karena perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala.
Selain obat yang diberikan secara peroral, terdapat obat antihiperglikemia suntik yaitu
insulin, agonis GLP-1 dan kombinasi insulin dengan agonis GLP-1. Pemberian suntik insulin
diperlukan pada penderita DM dengan HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi
metabolik, atau penurunan berat badan yang cepat, hiperglikemia berat yang disertai ketosis,
krisis hiperglikemia, atau gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal.3
2.1.6 Anjuran Pola Makan pada Penderita Diabetes Melitus
Terapi nutrisi merupakan bagian penting dari penatalaksanaan DM tipe 2 secara
komprehensif. Kunci keberhasilannya adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim
(dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien dan keluarganya). Untuk mencapai
sasaran terapi sebaiknya diberikan sesuai dengan kebutuhan setiap penderita DM. Prinsip
pengaturan makan pada penderita DM hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat
umum, yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi
masing-masing individu.3
Pada penderita DM perlu diberikan penekanan mengenai pentingnya keteraturan jadwal
makan, jenis dan jumlah kandungan kalori, terutama pada mereka yang menggunakan obat
yang meningkatkan sekresi insulin atau terapi insulin itu sendiri. Komposisi makanan yang
dianjurkan sebagai berikut:3

2.1.6.1 Karbohidrat
Komposisi karbohidrat yang dianjurkan:
1. Konsumsi karbohidrat sebesar 45–65% total asupan energi. Terutama karbohidrat yang
berserat tinggi.
2. Glukosa dalam bumbu diperbolehkan sehingga penderita diabetes dapat makan sama
dengan makanan keluarga yang lain.
3. Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.
4. Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti glukosa, asal tidak melebihi batas
aman konsumsi harian (Accepted Daily Intake/ADI).
5. Dianjurkan makan 3 kali sehari dan bila perlu dapat diberikan makanan selingan seperti
buah atau makanan lain sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.

2.1.6.2 Lemak
Pemberian asupan lemak sebagai berikut:
1. Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori, dan tidak diperkenankan
melebihi 30% total asupan energi.
2. Komposisi yang dianjurkan yaitu lemak jenuh <7 % kebutuhan kalori dan lemak tidak
jenuh ganda <10 %. Selebihnya berasal dari lemak tidak jenuh tunggal.
3. Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak jenuh dan
lemak trans diantaranya daging berlemak dan susu fullcream.
4. Konsumsi kolesterol dianjurkan <200 mg/hari.
2.1.6.3 Protein
Pemberian asupan protein sebagai berikut:
1. Kebutuhan protein sebesar 10–20% total asupan energi.
2. Sumber protein yang baik adalah ikan, udang, cumi, daging tanpa lemak, ayam tanpa
kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu dan tempe.
3. Pada pasien dengan nefropati diabetik diperlukan penurunan asupan protein menjadi 0,8
g/kg BB perhari atau 10% dari kebutuhan energi, dengan 65% diantaranya bernilai
biologik tinggi. Pada penderita DM yang sudah menjalani hemodialisis asupan protein
menjadi 1-1,2 g/kg BB perhari.

2.1.6.4 Natrium
Pemberian asupan natrium sebagai berikut:
1. Anjuran asupan natrium untuk penderita DM sama dengan orang sehat yaitu <2300 mg
per hari.
2. Penderita DM yang juga menderita hipertensi perlu dilakukan pengurangan natrium
secara individual.
3. Sumber natrium antara lain garam dapur, vetsin, soda, dan bahan pengawet seperti
natrium benzoat dan natrium nitrit.

2.1.7 Anjuran Latihan Jasmani pada Penderita Diabetes Melitus


Jasmani merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan diabetes melitus tipe 2 apabila
tidak disertai adanya nefropati. Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani dilakukan
secara secara teratur sebanyak 3–5 kali per minggu selama sekitar 30 – 45 menit, dengan total
150 menit per minggu. Jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut. Dianjurkan
untuk melakukan pemeriksaan glukosa darah sebelum latihan jasmani. Apabila kadar glukosa
darah 250 mg/dL dianjurkan untuk menunda latihan jasmani. Kegiatan sehari-hari atau
aktivitas sehari-hari bukan termasuk dalam latihan jasmani meskipun dianjurkan untuk selalu
aktif setiap hari. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan
berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin sehingga akan memperbaiki kendali glukosa
darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik dengan
intensitas sedang seperti: jalan cepat, bersepeda santai, jogging, dan berenang.3
2.1.8 Kriteria Pengendalian Diabetes Melitus
Kriteria Pengendalian DM didasarkan pada hasil pemeriksaan kadar glukosa, kadar
HbA1C, dan profil lipid. Definisi DM yang terkendali baik adalah apabila kadar glukosa
darah, kadar lipid, dan HbA1c mencapai kadar yang diharapkan, serta status gizi maupun
tekanan darah sesuai target yang ditentukan. Kriteria keberhasilan pengendalian DM dapat
dilihat pada Gambar 2.2.3

Gambar 2.2 Kriteria keberhasilan pengendalian DM


Dikutip dari: PB PERKENI.3

2.2 Konseling Gizi


2.2.1 Definisi Konseling Gizi
Konseling gizi merupakan salah satu bagian dari pendidikan gizi yang bertujuan
membantu masyarakat, kelompok atau individu untuk menyadari dan mampu mengatasi
masalah kesehatan dan gizi yang dialaminya. Beberapa pengertian tentang konseling
berkembang antara lain seperti di bawah ini:
Menurut Supariasa, (2012), konseling merupakan suatu proses komunikasi dua
arah/interpersonal antara konselor dan klien untuk membantu klien dalam mengenali,
menyadari dan akhirnya mampu mengambil keputusan yang tepat dalam mengatasi masalah
gizi yang dihadapinya. Konselor adalah ahli gizi yang bekerja membantu klien mengenali,
menyadari, mendorong dan mencarikan dan memilih solusi pemecahan masalah klien yang
akhirnya klien mampu menentukan keputusan yang tepat dalam mengatasi masalahnya.9
Menurut Kamus Gizi (2009), yang dikeluarkan oleh Persagi, Konseling Gizi adalah
proses komunikasi dua arah antara konselor dan pasien/klien, untuk membantu klien untuk
mengenali dan mengatasi malah gizi.
Dengan demikian Konseling gizi adalah suatu proses memberi bantuan kepada orang
lain dalam membuat suatu keputusan atau memecahkan suatu masalah melalui pemahaman
fakta-fakta, harapan, kebutuhan dan perasaan klien.9

2.2.4 Tujuan Konseling Gizi


Secara umum konseling gizi bertujuan membantu klien dalam upaya mengubah
perilaku yang berkaitan dengan gizi sehingga dapat meningkatkan kualitas gizi dan kesehatan
klien, meliputi perubahan pengetahuan, perubahan sikap dan perubahan tindakan. Dalam
konseling gizi terjadi proses komunikasi dua arah memberikan kesempatan konselor dan
klien saling mengemukakan pendapat. Konselor memberikan informasi dan arahan yang
positif yang dapat mengubah informasi negatif. Konselor juga mengarahkan klien untuk
mampu menentukan sikap dan keputusan untuk mengatasi masalah gizi yang dialami. Jadi
tujuan konseling adalah membantu klien dalam upaya mengubah perilaku yang berkaitan
dengan gizi sehingga mampu meningkatkan kualitas gizi dan kesehatannya.9
Dalam buku pendidikan dan konsultasi gizi oleh Suariasa (2012), yang dimaksud
dengan tujuan konseling gizi adalah sebagai berikut:
1. Membantu klien dalam mengidentifikasi dan menganalisis masalah klien serta memberi
alternatif pemecahan masalah. Melalui konseling klien dapat berbagi masalah, penyebab
masalah dan memperoleh informasi tentang cara mengatasi masalah.
2. Menjadikan cara-cara hidup sehat di bidang gizi sebagai kebiasaan hidup klien. Melalui
konseling klien dapat belajar merubah pola hidup, pola aktivitas, pola makan.
3. Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan individu atau keluarga klien tentang gizi.
Melalui konseling klien mendapatkan informasi pengetahuan tentang gizi, diet dan
kesehatan.9

2.2.5 Bentuk /Jenis dan Sasaran Pendidikan Gizi


Terdapat beberapa bentuk dan jenis pendidikan gizi, tergantung dari sisi mana kita
memandangnya. Sasaran pendidikan gizi adalah individu, kelompok ataupun masyarakat.
Dilihat dari tempat dimana dilakukan , pendidikan gizi dapat di bedakan menjadi tiga yaitu:
a. Pendidikan gizi di sekolah. Pendidikan gizi sekolah adalah pendidikan gizi yang dilakukan
disekolah dengan sasarannya adalah murid. Materi yang disampaikan pada pendidikan gizi
sekolah sesuai dengan permasalahan gizi pada anak sekolah seperti tentang gizi seimbang,
sarapan pagi yang sehat, jajanan anak sekolah yang sehat, membawa bekal ke sekolah.
b. Pendidikan gizi di Rumah Sakit. Pendidikan ini dilakukan di rumah sakit-rumah sakit
dengan sasarannya adalah pasien atau keluarga pasien. Materi yang disampaikan sesuai
keadaan penyakit pasien seperti diet untuk penyakit tertentu dan sebagainya. Pendidikan gizi
di rumah sakit bisa berupa pendidikan kelompok misalnya pada kelompok ibu hamil yang
sedang menunggu di poliklinik rumah sakit, ataupun pendidikan individu yang sering disebut
konseling pada pasien penderita penyakit tertentu.
c. Pendidikan Gizi di tempat-tempat kerja. Pendidikan ini dilakukan di
perusahaanperusahaan. Sasaran pendidikan gizi di perusahaan adalah karyawan atau pegawai
di perusahaan atau kantor. Materi pendidikan menyangkut gizi tenaga kerja kaitan dengan
produktivitas kerja dan lain sebagainya. Misalnya gizi seimbang untuk meningkatkan
produktivitas kerja, sarapan pagi penting sebelum memulai beraktivitas, atau masalah gizi
pada tenaga kerja dan upaya untuk mengatasinya dan lain sebagainya.9

2.2.6 Strategi Perubahan Perilaku


Tujuan pendidikan kesehatan adalah terjadinya perubahan perilaku dari tidak tahu menjadi
tahu, dari tidak mau menjadi mau, dari tidak mampu menjadi mampu. Agar perubahan
perilaku yang diinginkan dalam pendidikan kesehatan /gizi sesuai dengan norma-norma
kesehatan, sangat diperlukan usaha-usaha/ strategi yang positif dan konkrit. Menurut WHO
ada tiga strategi yang sering dipergunakan dalam pendidikan kesehatan/gizi yaitu:
a. Menggunakan kekuatan/kekuasaan dan dorongan . Dalam hal ini strategi yang
digunakan adalah paksaan, dimana terjadinya perubahan perilaku karena dipaksakan
kepada sasaran atau masyarakat sehingga ia mau melakukan (berperilaku) seperti
yang diharapkan. Strategi ini dapat ditempuh dengan membuat peraturan, norma atau
perundangan yang harus dipatuhi oleh anggota masyarakat.
b. Pemberian Informasi. Strategi ini dengan memberikan informasi-informasi yang
benar tentang cara-cara hidup sehat, makanan yang sehat, cara memelihara kesehatan
dan sebagainya kepada sasaran , sehingga pengetahuannya akan meningkat.
Selanjutnya dengan pengetahuan tersebut meningkat akan menimbulkan kesadaran
mereka dan akhirnya mereka merubah perilakunya sesuai yang diharapkan. Perubahan
perilaku dengan strategi ini memerlukan waktu lebih lama tetapi perubahan ini akan
bertahan lebih lama /langgeng karena didasari kesadaran dan pemahaman mereka
sendiri (bukan paksaan).
c. Diskusi dan Partisipasi. Strategi ini menggunakan cara seperti strategi kedua di atas,
dimana dalam hal ini diberikan informasi-informasi terkait dengan kesehatan dan gizi.
Penyampaian informasi disini bersifat dua arah di mana sasaran dapat ikut aktif
berpatisipasi melalui diskusi-diskusi tentang kesehatan dan gizi. Dengan demikian
maka pengetahuan tentang kesehatan dan gizi dapat diperoleh secara mantap dan
mendalam. Akhirnya akan diikuti dengan perubahan perilaku yang lebih mantap. Cara
ini memerlukan waktu lebih lama dibandingkan dengan strategi pertama dan kedua.
Perubahan perilaku besifat kekal karena didasari pemahaman dan kesadaran dari
masyarakat itu sendiri.9

2.2.7 Klasifikasi Status Gizi


Status gizi adalah keadaan yang diakibatkan oleh keseimbangan antara asupan zat gizi
dari makanan dengan kebutuhan gizi yang diperlukan untuk metabolisme tubuh. Setiap
individu membutuhkan asupan gizi yang berbeda, tergantung pada usia orang tersebut, jenis
kelamin, aktivitas sehari-hari, berat badan, dan tinggi badan.10
Status gizi dapat diketahui dengan pengukuran beberapa parameter, kemudian hasil
pengukuran akan dibandingkan dengan standar rujukan yang sudah ditetapkan. Peran
penilaian status gizi bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya status gizi yang salah.
Penilaian status gizi menjadi penting karena dapat menyebabkan terjadinya suatu penyakit
dan kematian terkait dengan status gizi.10
Klasifikasi status gizi yang biasanya digunakan yaitu status gizi normal, status gizi
kurang, dan status gizi berlebih. Klasifikasi ini didapatkan setelah hasil dari antropometri
dikonversikan kedalam kurva WHO sesuai dengan jenis kelamin dan usia yang diukur. Data
yang diambil untuk dimasukan kedalam kurva WHO yaitu pembagian antara berat badan
dengan usia, tinggi badan atau panjang badan dengan usia, dan IMT dengan usia. Status gizi
dikatakan normal apabila titik yang ditetapkan pada kurva WHO berada diantara garis -2 dan
2. Status gizi dikatakan kurang apabila titik yang ditetapkan pada kurva WHO berada di
bawah dari garis -2 dan status gizi dikatakan berlebih apabila pada kurva WHO berada di atas
garis 2. Gambaran klasifikasi status gizi dapat dilihat pada gambar 2.2.10

Gambar 2.3 Klasifikasi Status Gizi.


Dikutip dari: KEMENKES RI.10

Penilaian status gizi juga dapat dilihat berdasarkan pengukuran Indeks Massa Tubuh
(IMT), namun tidak dapat mengukur lemak tubuh secara langsung. IMT merupakan rumus
matematis yang dinyatakan sebagai berat badan (dalam kilogram) dibagi dengan kuadrat
tinggi badan (dalam meter). Penggunaan rumus ini hanya dapat diterapkan pada seseorang
berusia antara 19 hingga 70 tahun, berstruktur tulang belakang normal, bukan atlet atau
binaragawan, dan bukan ibu hamil atau menyusui. Klasifikasi IMT menurut International
Obesity Taskforce (IOTF) dapat dilihat pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4 Klasifikasi IMT menurut IOTF.


Dikutip dari: Kyung-Suk C.12

2.2.3 Resistesi Insulin Pada Pasien Obesitas


Dalam 10 tahun terakhir, obesitas menjadi masalah global. Pada tahun 2014 terdapat
lebih dari 1,9 milyar orang dewasa diatas 18 tahun mengalami kelebihan berat tubuh dan
lebih dari 600 juta orang mengalami obesitas. Kelebihan berat tubuh dan obesitas dapat
menjadi faktor risiko penyakit karena gangguan metabolik seperti, penyakit jantung koroner,
stroke iskemia dan diabetes mellitus tipe 2. Penyebab utama obesitas karena tidak
seimbangnya energi antara kalori yang dikonsumsi dan kalori yang digunakan. Penyebab
ketidakseimbangan dapat disebabkan karena peningkatan asupan makanan berenergi dengan
kandungan lemak yang tinggi dan penurunan aktivitas fisik karena meningkatnya pola hidup
yang menetap dari berbagai bentuk pekerjaan, perubahan mode transportasi, dan peningkatan
urbanisasi. Penegakan diagnosis Obesitas merujuk pada Indeks Massa Tubuh.7
Berdasarkan penelitian Adnan et al tahun 2013 menunjukkan bahwa IMT tinggi
mempunyai 2 kali lebih besar untuk terkena DM tipe 2 dibandingkan dengan IMT rendah,
karena kadar leptin dalam plasma akan meningkat seiring meningkatnya berat badan.
Hormon leptin berhubungan dengan gen obesitas. Leptin berperan dalam hipotalamus untuk
mengatur tingkat lemak tubuh, kemampuan untuk membakar lemak menjadi energi, dan rasa
kenyang. Peran leptin terhadap terjadinya resistensi insulin yaitu leptin menghambat
fosforilasi insulin receptor substrate-1 (IRS) yang dapat menghambat pengambilan glukosa
sehingga mengalami peningkatan kadar gula dalam darah.13,14
Selain itu pada orang obesitas terjadi penimbunan lemak viseral yang berlebih. Jaringan
adiposa saat ini dikenal juga sebagai organ endokrin yang menghasilkan beberapa peptida
yang bersifat proinflamasi. Pada keadaan obesitas terjadi peningkatan mRNA
Lipopolysaccharides (LPS)-induced TNF-α factor (LITAF) yang berperan dalam proses
inflamasi. LITAF berperan dalam mengatur ekspresi dari TNF-α, IL-6 dan MCP-1 yang juga
berperan sebagai penyebab terjadinya resistensi insulin.13,14
Resistensi insulin pada obesitas sentral dapat menimbulkan sindrom metabolik.
Kegagalan fungsi insulin di jaringan akan menyebabkan gangguan pada metabolisme
lipoprotein. Pada keadaan resistensi insulin, hormone sensitive lipase di jaringan adiposa
akan menjadi aktif sehingga trigliserid di jaringan adiposa semakin meningkat. Keadaan ini
akan menghasilkan asam lemak bebas yang berlebihan. Asam lemak bebas akan memasuki
aliran darah, sebagian akan digunakan sebagai sumber energi dan sebagian akan dibawa ke
hati sebagai bahan baku pembentukan Trigliserida (TG) . Di hati asam lemak bebas akan
menjadi TG kembali dan menjadi bagian dari Very Low Density Lipoproteins (VLDL). Oleh
karena itu VLDL yang dihasilkan pada keadaan resistesi insulin akan sangat kaya akan
TG.10,11
Dalam sirkulasi TG yang banyak di VLDL akan bertukar dengan kolesterol ester dari
Kolesterol-Low Density Lipoprotein (K-LDL). Hal ini akan mengahasilkan LDL yang kaya
akan TG tetapi kurang kolesterol ester. Trigliserida yang dikandung oleh LDL akan
dihidrolisis oleh enzim hepatic lipase yang biasanya meningkat pada keadaan resistensi
insulin, sehingga akan menghasilkan LDL yang kecil tetapi padat. Partikel LDL yang kecil
dan padat ini sifatnya mudah teroksidasi, oleh karena itu sangat aterogenik. Trigliserida pada
VLDL besar juga dipertukarkan dengan kolesterol ester dari Kolesterol-High Density
Lipoprotein (K-HDL) dan menghasilkan High Density Lipoprotein  (HDL) miskin kolesterol
ester tetapi kaya TG. Kolesterol HDL dengan komposisi demikian akan lebih mudah
dikatabolisme oleh ginjal sehingga jumlah HDL serum menurun. Oleh karena itu, pada
resistensi insulin terjadi kelainan profil lipid serum yang khas yaitu kadar TG yang tinggi, K-
HDL yang rendah dan meningkatnya LDL kecil yang padat.10,11

2.2.6 Monitoring
Pada prakter sehari-hari, hasil pengobatan DMT2 harus dipantau secara terencana dengan
melakukan anamnesis, pemeriksaan jasmani, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan yang
dapat dilakukan adalah:
a. Pemeriksaan kadar glukosa darah:
1. Mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai
2. Melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai sasaran terapi.

Waktu pelaksanaan pemeriksaan glukosa darah:


1. Pemeriksaan kadar glukosa darah puasa
2. Glukosa 2 jam setelah makan
3. Glukosa darah pada waktu yang lain secara berkala sesuai dengan kebutuhan.
b. Pemeriksaan HbA1c
Tes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga sebagai glikohemoglobin, atau hemoglobin
glikosilasi (HbA1c), merupakan cara yang digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 8-
12 minggu sebelumnya. Untuk melihat hasil terapi dan rencana perubahan terapi, HbA1c
diperiksa setiap 3 bulan, atau tiap bulan pada keadaan HbA1c yang sangat tinggi (>10%).
Pada pasien yang telah mencapai sasaran terapi disertai kendali glikemik yang stabil HbA1c
diperiksa paling sedikit 2 kali dalam 1 tahun. HbA1c tidak dapat dipergunakan sebagai alat
untuk evaluasi pada kondisi tertentu seperti: anemia, hemoglominopati, riwayat tranfusi darah
2-3 bulan terakhir, keadaan lain yang mempengaruhi umur eritrosit dan gangguan fungsi
ginjal. c. Pemantauan glukosa darah mandiri (PGDM)
Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan dengan menggunakan darah kapiler. Saat
ini banyak didapatkan alat pengukur kadar glukosa darah dengan menggunakan reagen kering
yang sederhana dan mudah dipakai. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah memakai alat-
alat tersebut dapat dipercaya sejauh kalibrasi dilakukan dengan baik dan cara pemeriksaan
dilakukan sesuai dengan cara standar yang dianjurkan. Hasil pemantauan dengan cara reagen
kering perlu dibandingkan dengan cara konvensional secara berkala. PGDM dianjurkan bagi
pasien dengan pengobatan suntik insulin beberapa kali sehari atau pada pengguna obat
pemacu sekresi insulin. Waktu pemeriksaan PGDM bervariasi, tergantung pada tujuan
pemeriksaan yang pada 38 umumnya terkait dengan terapi yang diberikan. Waktu yang
dianjurkan adalah pada saat sebelum makan, 2 jam setelah makan (untuk menilai ekskresi
glukosa), menjelang waktu tidur (untuk menilai resiko hipoglikemia), dan diantara siklus
tidur (untuk menilai adanya hipoglikemia nokturnal yang kadang tanpa gejala), atau ketika
mengalami gejala seperti seperti hypoglycemic spells. PGDM terutama dianjurkan pada:
1. Pasien dengan A1C yang tidak mencapai target setelah terapi.
2. Wanita yang merencanakan hamil
3. Wanita hamil dengan hiperglikemia
4. Kejadian hipoglikemia berulang 1

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian survey deskriptif dengan rancangan cross sectional study
dengan metode observasional, yaitu rancangan penelitian yang pengukuran dan pengamatan.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian akan dilakukan di Puskesmas Ujung Berung Indah pada bulan juni sampaidengan
november 2022.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien lama dan pasien baru yang terdiagnosis
Diabetes Melitus yang terdapat di Puskesmas Ujung berung Indah.

3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

1. Pasien diabetes melitus

2. Pasien baru dan pasien lama

3. Datang pada bulan juni sampaidengan novemmber 2022

3.5 Kriteria Eksklusi

1. Tidak bersedia mengikuti penelitian

2. Tidak kontrol kembali setelah dilakukan konseling

3.5 Bahan dan Instrumen penelitian

Data pasien diperoleh dari hasil pemeriksaan gula darah puasa yang telah dilakukan oleh
peneliti pada saat kegiatan pelayanan dari pasien baru dan pasien lama, kemudian setelah
terdiagnosis diabetes melitus dilakukan konsultasi oleh bagian gizi puskesmas Ujung Berung
Indah.

3.6 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

1. variabel independent penelitian adalah pasien lama dan pasien baru yang terdiagnosis
Diabetes melitus yang datang berobat atau kontrol ke Puskesmas Ujung berung Indah.

2. variabel dependent penelitian adalah kadar gula darah puasa.

3.7 Teknik pengolahan dan analisis data

Data nilai gula darah sampel penelitian yang telah didapatkan akan diolah untuk dilakukan
perbandingan capaian target kadar gula darah.
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Pada penelitian ini diperoleh responden 23 orang penyandang DM yang telah memenuhi
kriteria inklusi (Tabel 1).
Jumlah (%)
Pasien DM
Ya 23 53,4

tidak 7 16,2

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Berdasarkan pasien yang terdiagnosis DM dari bulan juni
hingga november.

Hasil pengukuran gula darah didapatkan bahwa rata-rata gula darah puasa pada pederita DM
yang sebelum dilakukan konseling adalah 200. Hasil pengukuran gula darah puasa
didapatkan rata-rata gula darah puasa pada penderita DM yang sudah dilakukan konseling
adalah 155.

Rata-Rata Kadar Gula Darah


GDP
Sebelum dilakukan konseling gizi 200
Setelah dilakukan konseling gizi 155
Tabel 2. Perbandingan rata-rata Kadar Gula Darah

4.2 Pembahasan

Diabetes melitus adalah suatu kondisi medik berupa peningkatan kadar glukosa dalam
darah melebihi batas normal. Hiperglikemia merupakan salah satu tanda khas penyakit
diabetes melitus (DM), kriteria diagnosis DM adalah dengan pemeriksaan glukosa plasma
puasa ≥126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak ada asupan kalori minimal 8 jam. Atau
Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2 -jam setelah Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)
dengan beban glukosa 75 gram. Atau Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl
dengan keluhan klasik. Atau Pemeriksaan HbA1c ≥6,5% dengan menggunakan metode yang
terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standarization 1. Pada penelitian di
Puskesmas Ujung Berung Indah didapatkan terdapat penunan rata-rata kadar glukosadarah
pada penderita diabetes melitus, hal ini dihubungkan dengan penatalaksanaan non-
farmakologis berupa pemberian konseling terhadap pasien pasien DM yang dilakukan oleh
petugas konseling gizi di Puskesmas Ujung Berung Indah, terapi nutrisi merupakan bagian
penting dari penatalaksanaan DM tipe 2 secara komprehensif. Kunci keberhasilannya adalah
keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang
lain serta pasien dan keluarganya). Untuk mencapai sasaran terapi sebaiknya diberikan sesuai
dengan kebutuhan setiap penderita DM. Prinsip pengaturan makan pada penderita DM
hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum, yaitu makanan yang seimbang
dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada penderita DM
perlu diberikan penekanan mengenai pentingnya keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah
kandungan kalori, terutama pada mereka yang menggunakan obat yang meningkatkan sekresi
insulin atau terapi insulin itu sendiri.3

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian terhadap 30 pasien diabetes melitus di Puskesmas Ujung
berung dapat disimpulkan bahwa terdapat penurunan rata-rata dari kadar gula darah puasa
setelah dilakukan konseling oleh bagian gizi.
5.2 Saran
1. masyarakat diharapkan meningkatkan pengetahuan akan terapi farmakologis dan non
farmakologis pada pasien dengan diabetes melitus, agar mendapatkan pencapaian terapi.
2. Bagi petugas kesehatan diharapkan lebih giat dalam mengajak dan mengarahkan untuk
dilakukan konseling terhadap pasien lama atau pasien baru yang terdiagnosis diabetes
mellitus.

Daftar Pustaka

1. PERKENI. Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. s.l. :


PB.PERKENI, 2015.
2. Statistik Daerah Kecamatan Ujungberung, 2016
3. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Pedoman Pengelolaan dan Pencegahan
Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta. PERKENI. 2019.
4. Purnamasari D. Diagnosis dan klasifikasi diabetes melitus. Dalam: Setiati S, Sujudi
A. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor
1076/Menkes/si/visi/2003. Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional Menteri
Kesehatan Republik Indonesia.
http://www.gizikia.depkes.go.id/wp-content-uploads/downloads/2011/03. [diunduh
tanggal 3 Maret 2013]
5. American Diabetes Association. Diabetes Care: Standards of Medical Care in
Diabetes–2016 (Vol. 39). ADA. America. 2016
6. Nuraisyah F. Faktor risiko diabetes mellitus tipe 2. Jurnal Kebidanan dan
Keperawatan 2017; 13(2): 120–27.
7. Dewi DY, Subawa AAN, Mahartini NN. Hubungan indeks massa tubuh terhadap
kadar gula darah puasa pengunjung lapangan Niti Mandala Renon bulan Juli Tahun
2018. Intisari Sains Medis 2019;10 (3): 711–14.
8. Decroli E. Diabetes melitus tipe 2. Padang: Pusat penerbitan bagian ilmu penyakit
dalam Fakultas Kedokteran Universitas Andalas; 2019. hal. 4–12.
9. Kemenkes RI, Konseling Gizi; https://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wp-
content/uploads/2018/09/Konseling-Gizi_SC.pdf, (diunduh Agustus 2018)
10. Giovani MP. Chronic kidney disease pada pasien diabetes mellitus tipe 2. J Agromed
Unila 2015; 2(3): 242–47.
11. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Penilaian Status Gizi. KEMENKES RI.
Jakarta. 2017
12. Anggraini L, Lestariana W. Jurnal Gizi Klinik Indonesia. Asupan Gizi dan Status Gizi
Vegetarian pada Komunitas Vegetarian Yogyakarta. Yogayakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Gadjah Mada. 2015. Halaman 143–49.
13. Kyung-Suk C. Soft-tissue thickness of South Korean adults with normal facial
profiles. The Korean Journal of Orthodontics 2013; 43(4):178–185.
14. Adnan M, Mulyati T, Isworo JT. Hubungan indeks massa tubuh (IMT) dengan kadar
gula darah penderita diabetes mellitus (DM) tipe 2 rawat jalan di RS Tugurejo
Semarang. Jurnal Gizi Universitas Muhammadiyah Semarang 2013; vol. 2(1): 18 –
24.
15. Liberty IA. Hubungan obesitas dengan kejadian prediabetes pada wanita usia
produktif. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan 2016; vol. 3(2): 108 – 113

Anda mungkin juga menyukai