STATUS KONVULSI
Disusun untuk Memenuhi Syarat Kepaniteraan di Stase Saraf
RSUD Wonosari
Disusun oleh:
Rizqulla Kesti Arthari (14711017)
Pembimbing:
dr. Agus Taufiqurrahman., M. Kes, Sp.S
IDENTITAS
Nama : Ibu S
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 44 tahun
Alamat : Purwosari Baleharjo Wonosari
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Masuk Rumah Sakit : 19 Mei 2019
Nomer CM : 00632XX
ANAMNESIS TANGGAL:
Diperoleh dari keluarga pasien (aloanamnesa)
Dilakukan pada tanggal 20 Mei 2019
KELUHAN UTAMA :
Pasien kejang
RIWAYAT GIZI :
Kualitas dan kuantitas makan cukup
Frekuensi makan makanan pokok; nasi 2-3x sehari dengan lauk, sayuran, tempe, tahu
Pasien sering mengonsumsi makanan yang manis-manis
RIWAYAT LAIN YANG PERLU :
Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga. Biaya pengobatan pasien ditanggung oleh BPJS.
Kesan ekonomi pasien cukup.
DIAGNOSIS SEMENTARA :
Diagnosis Klinis : Epilepsi umum tonik klonik
Diagnosis Topik : Kedua hemisfer cerebrii (generalized seizure)
Diagnosis Etiologi : Iritatif Cerebral
PEMERIKSAAN
I. STATUS PRESENS
Saraf Otak :
N.I (OLFAKTORIUS) daya pembau: normal
BADAN
Trofi otot punggung : eutrofi
Trofi otot dada : eutrofi
Nyeri membungkuk badan : (-)
Palpasi dinding perut : nyeri tekan (-)
Kolumna vertabralis; bentuk : massa (-), nyeri tekan (-)
Gerakan : (-)
Nyeri tekan : (-)
Sensibilitas (tentukan batas dan jenis kelainan pada gambar)
Kanan kiri
Reflek dinding perut : tidak diperiksa
Reflek kremaster : tidak diperiksa
Alat kelamin : tidak diperiksa
Gerakan abnormal
Tremor :-
Khorea :-
Mioklanik :-
Atetose :-
Ballismus :-
Fungsi vegetatip
Miksi : dbn
Inkontinensia urine :-
Retensio urine : -
Anuria :-
Poliuria :-
Defekasi : baik
Inkontinensia alvi :-
Retensio alvi :-
Ereksi :
Tes pespirasi (lukisan pada gambar)
RINGKASAN ANAMNESIS :
Pada O.S. didapatkan kejang terus menerus selama 6 jam selama 30 menit yang sebelumnya
didahului dengan pusing yang amat sangat, dan kemudian pasien tidak sadarkan diri. Pasien akan lupa
kejadian sesaat dan sebelum terjadinya kejang. Riwayat cedera / trauma kepala disangkal, riwayat
keluhan serupa sebelumnya (+). Riwayat kencing manis (+). Riwayat berobat sebelumnya (+) di RS
Pelita, akan tetapi obat tidak dihabiskan.
RINGKASAN PEMERIKSAAN JASMANI & NEUROLOGIK :
Status Presens
Kesadaran : compos mentis
Kwantitatif : GCS = E4V5M6 = 15
Kwalitatif : Tingkah laku (normal) Perasaan hati (normal)
Orientasi : baik
Jalan pikiran : normal
Kecerdasan : normal
Tekanan darah : 90 / 60 mmHg
Denyut nadi : 84 kali/menit
Suhu : 36 °C
Pernafasan : 24 kali/menit
Nervus Kranialis
Dalam batas normal
Status Neurologis
Sensorium : Compos Mentis
Babinski - -
Chaddock - -
EID : 5 EIS : 5
GAMBAR :
Terapi :
Inf. Nacl 0,9% 20tpm drip fenitoin 2 ampul
Inj. Diazepam 1 ampul
Phenitoin 1 ampul
Phenytoin 2 x 200 mg
Asam folat 1 x 1
Novorapid 3 x 6mg
Prognosis :
Dubia et bonam
Status Epileptikus
A. Definisi
Lebih dari satu dekade lalu, Epilepsy Foundation of America (EFA) mendefinisikan SE sebagai
kejang yang terus-menerus selama paling sedikit 30 menit atau adanya dua atau lebih kejang terpisah
tanpa pemulihan kesadaran di antaranya. Definisi ini telah diterima secara luas, walaupun beberapa ahli
mempertimbangkan bahwa durasi kejang lebih singkat dapat merupakan suatu SE. Untuk alasan praktis,
pasien dianggap sebagai SE jika kejang terus-menerus lebih dari 5 menit.
B. Klasifikasi
Saat ini, ada beberapa versi pengklasifikasian SE sebagai berikut (Treiman):
1. Generalized Convulsive SE
Merupakan tipe SE yang paling sering dan berbahaya. Generalized mengacu pada aktivitas listrik
kortikal yang berlebihan, sedangkan convulsive mengacu kepada aktivitas motorik suatu kejang.
2. Subtle SE
Subtle SE terdiri dari aktivitas kejang pada otak yang bertahan saat tidak ada respons motorik.
Terminologi ini dapat membingungkan, karena subtle SE seperti tipe NCSE (Non-convulsive Status
Epilepticus). Walaupun secara definisi subtle SE merupakan nonconvulsive, namun harus dibedakan
dari NCSE lain. Subtle SE merupakan keadaan berbahaya, sulit diobati, dan mempunyai prognosis
yang buruk.
3. Nonconvulsive SE
NCSE dapat dibagi menjadi 2 kategori, yaitu absence SE dan complex partial SE. Perbedaan 2 tipe ini
sangat penting dalam tatalaksana, etiologi, dan prognosis; focal motor SE mempunyai prognosis lebih
buruk.
4. Simple Partial SE
Secara definisi, simple partial SE terdiri dari kejang yang terlokalisasi pada area korteks serebri dan
tidak menyebabkan perubahan kesadaran. Berbeda dengan convulsive SE, simple partial SE tidak
dihubungkan dengan mortalitas dan morbiditas yang tinggi.
Secara tradisional, SE dapat diklasifikasikan menjadi convulsive dan nonconvulsive, namun istilah
ini dapat tidak tepat. Skema baru klasifikasi ILAE (International League Against Epilepsy) telah
menolak penggunaan istilah nonconvulsive, karena dapat merupakan suatu keadaan yang beragam
seperti kejang fokal pada limbic SE ataupun generalized seperti absence SE. Di samping itu, keadaan
convulsive, khususnya kejang myoclonic, dapat terlihat pada nonconvulsive SE, misalnya kejang di
kelopak mata atau perioral.
Skema ILAE 2001 mendefinisikan SE sebagai aktivitas kejang yang terus-menerus dan mengklasifi
kasikan SE menjadi dua kategori, yaitu generalized dan focal SE. Laporan ILAE Core Group (2006)
mengklasifi kasikan bermacam-macam tipe SE, serta berusaha menghindari istilah generalized dan focal.
C. Epidemiologi
Angka kejadian SE di Amerika Serikat berkisar 41 per 100.000 individu setiap tahun, sekitar 27 per
100.000 untuk dewasa muda dan 86 per 100.000 untuk usia lanjut. Dua penelitian restropektif di Jerman
mendapatkan insidens 17,1 per 100.000 per tahun. Mortalitas SE (kematian dalam 30 hari) pada
penelitian Richmond berkisar 22%. Kematian pada anak hanya 3%, sedangkan pada dewasa 26%.
Populasi yang lebih tua mempunyai mortalitas hingga 38%. Mortalitas tergantung dari durasi kejang, usia
onset kejang, dan etiologi. Pasien stroke dan anoksia mempunyai mortalitas paling tinggi. Sedangkan
pasien dengan etiologi penghentian alkohol atau kadar obat antiepilepsi dalam darah yang rendah,
mempunyai mortalitas relatif rendah. Insiden SE pada lanjut usia setidaknya dua kali pada populasi
umum. SE pada lansia menjadi perhatian besar karena kondisi medis bersamaan sering ada yang
cenderung mempersulit terapi dan memperburuk prognosis.
D. Etiologi
SE sering merupakan manifestasi akut dari penyakit infeksi sistem saraf pusat, stroke akut,
ensefalopati hipoksik, gangguan metabolik, dan kadar obat antiepilepsi dalam darah yang rendah. Etiologi
tidak jelas pada sekitar 20% kasus. Gangguan serebrovaskuler merupakan penyebab SE tersering di
Negara maju, sedangkan di negara berkembang penyebab tersering karena infeksi susunan saraf pusat.
Etiologi SE sangat penting sebagai prediktor mortalitas dan morbiditas.
Hampir seperempat dari orang yang mengalami SE memiliki epilepsi yang sudah ada sebelumnya.
Penurunan dramatis dalam tingkat serum AED karena ketidakpatuhan atau alasan lain adalah mekanisme
yang paling umum dari SE dalam kasus tersebut. Pada banyak pasien dengan gangguan kejang
sebelumnya, tidak ada faktor pencetus yang jelas dapat diidentifikasi untuk terjadinya SE. SE lebih sering
terjadi pada pasien dengan epilepsy umum sekunder dibandingkan pada pasien dengan epilepsy umum
idiopatik.
E. PATOFISIOLOGI
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang atau dari
jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktifitas kejang sebagian bergantung
pada lokasi lepas muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di mesensefalon, talamus, dan korteks serebrum
kemungkinan besar bersifat epileptogenik, sedangkan lesi di serebelum dan batang otak umumnya tidak
memicu kejang.
Di tingkat membran sel, fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi, termasuk
yang berikut:
- Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan;
- Neuron-neuron hipersensitif, ambang untuk melepaskan muatan menurun, apabila terpicu akan
melepaskan muatan secara berlebihan;
- Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam polarisasi
berubah) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam gama-aminobutirat
(GABA);
- Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang
mengganggu homeostasis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan pada depolarisasi neuron.
Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter eksitatorik
atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang sebagian disebabkan
oleh meningkatnya kebutuhan energi akibat hiperaktifitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik
secara drastis meningkat; lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000 per
detik. Aluran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di
cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi
selama aktifitas kejang.
Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti histopatologik yang seringkali
normal menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan struktural. Belum ada faktor
patologik yang secara konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin
dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka terhadap asetilkolin, suatu
neurotransmitter fasilitatorik; fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan asetilkolin.
Semua kejang diinisiasi oleh mekanisme yang sama. Namun status epileptikus melibatkan adanya
kegagalan dalam pemutusan rantai kejang tersebut. Berbagai studi eksperimen menemui kegagalan yang
mungkin timbul dari kelangsungan kejang terus menerus yang abnormal, eksitasi yang meningkat secara
tajam atau pengerahan dan penghambatan yang tidak efektif. Obat standar yang digunakan pada status
epileptikus lebih efektif apabila diberikan pada jam pertama berlangsungnya status.
Status epileptikus dapat menyebabkan cedera otak, khususnya struktur limbik seperti hipokampus.
Selama 30 menit pertama kejang, otak masih dapat mempertahankan homeostasis melalui peningkatan
aliran darah, glukosa darah, dan pemanfaatan oksigen. Setelah 30 menit, kegagalan homeostasis dimulai
dan mungkin akan berperan dalam kerusakan otak. Hipertermi, rhabdomyolisis, hiperkalemia, dan
asidosis laktat meningkat sebagai hasil dari pembakaran otot spektrum luas yang terjadi terus menerus.
Setelah 30 menit, tanda-tanda dekompensasi lainnya meningkat, yakni hipoksia, hipoglikemia, hipotensi,
leukosistosis, dan cardiac output yang tidak memadai.
Merujuk pada respon biokimiawi terhadap kejang, kejang itu sendiri saja nampak cukup, untuk
menyebabkan kerusakan otak. Berkurangnya aliran darah otak (Cerebral Blood Flow), kurang dari 20
ml/100g/menit, memberikan banyak efek di antaranya terinduksinya Nitrit Oksida Sintase (iNOS) di
dalam astrosit dan microglia yang mungkin berhubungan dengan aktivasi N-methyl-D-Aspartate
(NMDA) receptor yang menyebabkan kematian sel yang cepat hingga 3-5 menit saja yang kemudian
bereaksi dengan O2 radikal bebas yang menghasilkan super-radical. Aktivasi ini menyebabkan pelepasan
asam amino eksitatorik aspartat dan glutamat. Akibatnya, berlangsunglah sebuah mekanisme kerusakan
yang dimediasi oleh glutamate-glutamic-mediated excitotoxicity khususnya di hipokampus. Sementara,
konsentrasi kalsium ekstraseluler normal pada neuron-neuron setidaknya 1000 kali lebih besar daripada
intraseluler. Selama kejang, receptor-gated calcium channel terbuka mengikuti stimulasi reseptor
NMDA. Peningkatan kalsium intraseluler yang fluktuatif ini akan semakin meningkatkan keracunan sel.
Akibatnya apabila kejang ini terus menerus terjadi, kerusakan otak yang terjadi pun akan semakin besar.
F. Manifestasi Klinis
Pengenalan terhadap status epileptikus penting pada awal stadium untuk mencegah keterlambatan
penanganan. Status tonik-klonik umum (Generalized Tonic-Clonic) merupakan bentuk status epileptikus
yang paling sering dijumpai, hasil dari survei ditemukan kira-kira 44 sampai 74 persen, tetapi bentuk
yang lain dapat juga terjadi.
1. Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum (Generalized tonic-clonic Status Epileptikus)
Ini merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling sering dihadapi dan potensial dalam
mengakibatkan kerusakan. Kejang didahului dengan tonik-klonik umum atau kejang parsial yang
cepat berubah menjadi tonik klonik umum. Pada status tonik-klonik umum, serangan berawal dengan
serial kejang tonik-klonik umum tanpa pemulihan kesadaran diantara serangan dan peningkatan
frekuensi.
Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik yang melibatkan otot-otot
aksial dan pergerakan pernafasan yang terputus-putus. Pasien menjadi sianosis selama fase ini, diikuti
oleh hyperpnea retensi CO2. Adanya takikardi dan peningkatan tekanan darah, hyperpireksia mungkin
berkembang. Hiperglikemia dan peningkatan laktat serum terjadi yang mengakibatkan penurunan pH
serum dan asidosis respiratorik dan metabolik. Aktivitas kejang sampai lima kali pada jam pertama
pada kasus yang tidak tertangani.
2. Status Epileptikus Klonik-Tonik-Klonik (Clonic-Tonic-Clonic Status Epileptikus)
Adakalanya status epileptikus dijumpai dengan aktivitas klonik umum mendahului fase tonik dan
diikuti oleh aktivitas klonik pada periode kedua.
1. Lorazepam 0,1 65 %
2. Phenobarbitone 15 59 %
3. Diazepam + Fenitoin 0.15 + 18 56 %
4. Fenitoin 18 44 %
Lorazepam memiliki volume distribusi yang rendah dibandingkan dengan Diazepam dan karenanya
memiliki masa kerja yang panjang. Diazepam sangat larut dalam lemak dan akan terdistribusi pada depot
lemak tubuh. Pada 25 menit setelah dosis awal, konsentrasi Diazepam plasma jatuh ke 20 persen dari
konsentrasi maksimal. Mula kerja dan kecepatan depresi pernafasan dan kardiovaskuler (sekitar 10 %)
dari Lorazepam adalah sama.
Pemberian antikonvulsan masa kerja lama seharusnya dengan menggunakan Benzodiazepin. Fenitoin
diberikan dengan 18 sampai 20 mg/kg dengan kecepatan tidak lebih dari 50 mg dengan infus atau bolus.
Dosis selanjutnya 5-10 mg/kg jika kejang berulang. Efek samping termasuk hipotensi (28-50 %), aritmia
jantung (2%). Fenitoin parenteral berisi Propilen glikol, Alkohol dan Natrium hidroksida dan penyuntikan
harus menggunakan jarum suntik yang besar diikuti dengan NaCl 0,9 % untuk mencegah lokal iritasi :
tromboplebitis dan “purple glove syndrome”. Larutan dekstrosa tidak digunakan untuk mengencerkan
fenitoin, karena akan terjadi presipitasi yang mengakibatkan terbentuknya mikrokristal.
Status Epileptikus Refrakter
Pasien dengan kejang yang rekuren, atau berlanjut selama lebih dari 60 menit. Walaupun dengan
obat lini pertama pada 9-40 % kasus. Kejang berlanjut dengan alasan yang cukup banyak seperti,
dosisnya di bawah kadar terapi, hipoglikemia rekuren, atau hipokalsemia persisten.
Kesalahan diagnosis kemungkinan lain-tremor, rigor dan serangan psikogenik dapat meniru kejang
epileptik. Mortalitas pada status epileptikus refrakter sangat tinggi dibandingkan dengan yang berespon
terhadap terapi lini pertama. Dalam mengatasi status epileptikus refrakter, beberapa ahli menyarankan
menggunakan Valproat atau Phenobarbitone secara intravena. Sementara yang lain akan memberikan
medikasi dengan kandungan anestetik seperti Midazolam, Propofol, atau Tiofenton. Penggunaan ini
dimonitor oleh EEG, dan jika tidak ada kativitas kejang, maka dapat ditapering. Dan jika berlanjut akan
diulang dengan dosis awal.
Protokol Penatalaksanaan Status Epileptikus
Pada : awal menit
1. Bersihkan jalan nafas, jika ada sekresi berlebihan segera bersihkan (bila perlu intubasi)
a. Periksa tekanan darah
b. Mulai pemberian Oksigen
c. Monitoring EKG dan pernafasan
d. Periksa secara teratur suhu tubuh
e. Anamnesa dan pemeriksaan neurologis
2. Kirim sampel serum untuk evaluasi elektrolit, Blood Urea Nitrogen, kadar glukosa, hitung darah
lengkap, toksisitas obat-obatan dan kadar antikonvulsan darah; periksa AGDA (Analisa Gas
Darah Arteri)
3. Infus NaCl 0,9% dengan tetesan lambat
4. Berikan 50 mL Glukosa IV jika didapatkan adanya hipoglikemia, dan Tiamin 100 mg IV atau IM
untuk mengurangi kemungkinan terjadinya wernicke’s encephalophaty
5. Lakukan rekaman EEG (bila ada)
6. Berikan Lorazepam (Ativan) 0,1 sampai 0,15 mg per kg (4 sampai 8 mg) intravena dengan
kecepatan 2 mg per menit atau Diazepam 0,2 mg/kg (5 sampai 10 mg). Jika kejang tetap terjadi
berikan Fosfenitoin (Cerebyx) 18 mg per kg intravena dengan kecepatan 150 mg per menit,
dengan tambahan 7 mg per kg jika kejang berlanjut. Jika kejang berhenti, berikan Fosfenitoin
secara intravena atau intramuskular dengan 7 mg per kg per 12 jam. Dapat diberikan melalui oral
atau NGT jika pasien sadar dan dapat menelan.
Pada: 20 sampai 30 menit, jka kejang tetap berlangsung
1. Intubasi, masukkan kateter, periksa temperatur
2. Berikan Fenobarbital dengan dosis awal 20 mg per kg intravena dengan kecepatan 100 mg per
menit
Pada: 40 sampai 60 menit, jika kejang tetap berlangsung
Mulai infus Fenobarbital 5 mg per kg intravena (dosis inisial), kemudian bolus intravena hingga
kejang berhenti, monitoring EEG; lanjutkan infus Pentobarbital 1 mg per kg per jam; kecepatan infus
lambat setiap 4 sampai 6 jam untuk menetukan apakah kejang telah berhenti. Pertahankan tekanan darah
stabil.
-atau-
Berikan Midazolam (Versed) 0,2 mg per kg, kemudian pada dosis 0,75 sampai 10 mg per kg per menit,
titrasi dengan bantuan EEG.
-atau-
Berikan Propofol (Diprivan) 1 sampai 2 mg per kg per jam. Berikan dosis pemeliharaan berdasarkan
gambaran EEG.
J. Prognosis
Prognosis status epileptikus adalah tergantung pada penyebab yang mendasari status epileptikus.
Pasien dengan status epileptikus akibat penggunaan antikonvulsan atau akibat alkohol biasanya
prognosisnya lebih baik bila penatalaksanaan dilakukan dengan cepat dan dilakukan pencegahan terjadi
komplikasi.