Anda di halaman 1dari 43

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.

Pelayaran adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas angkutan di

perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan, serta perlindungan

lingkungan maritim. Pelayaran merupakan salah satu modal transportasi, tidak

dapat dipisahkan dari modamoda transportasi lain yang ditata dalam sistem

transportasi nasional yang dinamis dan mempunyai karakteristik untuk

melakukan pengangkutan secara massal, perlu lebih dikembangkan potensinya

dan ditingkatkan peranannya baik nasional maupun internasional guna

menghubungkan, menjangkau seluruh perairan, serta dijamin keamanan dan

keselamatan serta mampu mengadaptasi kemajuan di masa depan.1

Pelayaran dikuasai oleh negara dan pembinaannya dilakukan oleh

Pemerintah. Pembinaan pelayaran oleh pemerintah meliputi pengaturan,

pengendalian dan pengawasan pada semua kapal dan pelabuhan di seluruh

wilayah negara Indonesia. Berbicara mengenai pelayaran pasti tidak terlepas dari

yang namanya alat transportasi kapal yang secara hukum dan maupun teknisnya

memenuhi unsur kelaiklautan kapal hal ini sebagai bagian dari kehadiran negara

dalam ini pemerintah untuk melakukan pengaturan pengaturan dan pengawasan

terhadap kapal agar tecitpnya keselamatan dan kemananan pelayaran.

1
Tommy H Purwaka, 1993 Pelayaran Antar Pulau Indonesia, Bumi Aksara, Jakarta. Hal. 1
2

Menurut Pasal 25A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Negara Kepulauan berciri nusantara yang disatukan oleh wilayah perairan sangat

luas dengan batas-batas, hak-hak, dan kedaulatan yang ditetapkan dengan

undang-undang, dalam upaya mencapai tujuan nasional berdasarkan Pancasila

dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk

mewujudkan wawasan nusantara serta memantapkan ketahanan nasional

diperlukan sistem transportasi nasional untuk mendukung pertumbuhan ekonomi,

pengembangan wilayah, dan memperkukuh kedaulatan Negara. Mengingat

bahwa Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia dengan garis

pantai terpanjang dan letak geografis yang sangat penting dari aspek geopolitis

dan ekonomis memberikan tanggung jawab yang tidak ringan dalam hal

pembinaan wilayah khususnya di bidang pelayaran. Di indonesia Kementerian

Perhubungan Republik Indonesia yang secara nomenklaturnya adalah

kementerian yang salah satunya perannya adalah menyelenggarakan urusan di

bidang pelayaran bertindak sebagai Pembina pelayaran sebagai pemeritah untuk

melakukan pengaturan pengaturan dan pengawasan terhadap kapal agar tecitpnya

keselamatan dan kemananan pelayaran pada semua jenis kapal di semua jenis

pelabuhan seluruh Indonesia.

Direktorat Jenderal Perhubungan Laut adalah unit eselon 1 (satu) yang

berada di dalam Kementerian Perhubungan Republik Indonesia yang memiliki

tugas khsusus menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di

bidang pelayaran. Pasal 15 Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2022 tentang


3

Kementerian Perhubungan menyebutkan Dalam melalsanakan tugas

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut

menyelenggarakan fungsi :

a. perumusan kebijakan di bidang penyelenggaraan angkutan di perairan,

kepelabuhanan, sarana dan prasarana pelayaran, perlindungan lingkungan

maritim, serta peningkatan keselamatan dan keamanan pelayaran;

b. pelaksanaan kebijakan di bidang penyelenggaraan angkutan di perairan,

kepelabuhanan, sarana dan prasarana pelayaran, perlindungan lingkungan

maritim, serta peningkatan keselamatan dan keamanan pelayaran;

c. penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang

penyelenggaraan angkutan di perairan, kepelabuhanan, sarana dan prasarana

pelayaran, perlindungan lingkungan maritim, serta peningkatan keselamatan

dan keamanan pelayaran;

d. pelaksanaan pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang

penyelenggaraan angkutan di perairan, kepelabuhanan, sarana dan prasarana

pelayaran, perlindungan lingkungan maritim, serta peningkatan keselamatan

dan keamanan pelayaran;

e. pelaksanaan evaluasi dan pelaporan di bidang penyelenggaraan angkutan di

perairan, kepelabuhanan, sarana dan prasarana pelayaran, perlindungan

lingkungan maritim, serta peningkatan keselamatan dan keamanan

pelayaran;

f. pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Perhubungan Laut; dan

g. pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Menteri.


4

Pasal 45 Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2022 secara tegas

menyatakan bahwa Direktorat Jenderal Perhubungan Laut menjadi penanggung

jawab pelaksanaan kegiatan dan administrasi Pemerintah pada Organisasi

Maritim Internasional dan/ atau lembaga internasional di bidang pelayaran

lainnya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pemerintah

sebagai Pembina Pelayaran dalam melaksakan pengaturan, pengendalian dan

pengawasan bukanlah tugas yang mudah mengingat wilayah indoensia yang

sangat luas. Sebagai negara kepulauan, Indonesia terdiri dari wilayah daratan dan

lautan. Jumlah pulau di Indonesia, baik yang besar maupun yang kecil, mencapai

17.508 pulau. Argumentasi inilah yang mendasari penyebutan Indonesia sebagai

“Archipelagic State”.Berdasarkan hasil Konvensi Hukum Laut Internasional atau

“United Nation Convention on the Law of the Sea” (UNCLOS) pada tanggal 10

Desember 1982 di Montego Bay, Jamaica,luas wilayah laut Indonesia mencapai

3.257.357 km², dengan batas wilayah laut/teritorial dari garis dasar kontinen

sejauh 12 mil diukur dari garis dasar, sedangkan luas daratannya mencapai

1.919.443 km². Secara menyeluruh, luas wilayah lautan dan daratan mencapai

5.176.800 kilo meter per segi.2 Keselamatan dan kemananan pelayaran telah

menjadi prinsip utama sekaligus harapan utama dalam menyelenggarkan

pelayaran karena keselamatan adalah tanggung jawab negara yang hadir dalam

berbagai regulasi dan aparatur pemerintah yang memiliki kualifikasi dan

kompetensi di bidangnya.

2
Herie Saksono, Jurnal Ekonomi Biru: Solusi Pembangunan Daerah Berciri Kepulauan Studi Kasus
Kabupaten Kepulauan Anambas, Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemerintahan Umum dan
Kependudukan Badan Penelitian dan Pengembangan (BPP)- Kementerian Dalam Negeri 2013, hal 1
5

Oleh karena itu selain regulasi yang baik dan memberikan kepastian

hukum agar jaminan keselamatan dan keamanan pelayaran dapat terwujud maka

dibutuhkan aparatur pemeritah yang mengerti dan memahami persoalan

pelayaran dan hal hal yang bisa menopang terwujudnya keselamatan dan

keamanan pelayaran pada semua jenis kapal di semua jenis pelabuhan secara

merata. Syahbandar atau dalam dunia pelayaran internasional dikenal dengan

sebutan Harbour Master adalah aparatur pemerintah yang memiliki kualifikasi

dan kompetensi di bidang keselamatan kapal dan kesyahbandaran. Kata

Syahbandar menurut etimologisnya terdiri dari kata Syah dan Bandar. Syah

berarti penguasa dan Bandar berarti pelabuhan-pelabuhan dan sungai yang

digunakan sebagai tempat labuh, tempat-tempat kepil pada jembatan punggah

dan jembatan jembatan muat, dermaga-dermaga dan cerocok-cerocok dan

tempat-tempat kepil lain yang lazim digunakan oleh kapal-kapal juga daerah laut

yang dimaksudkan sebagai tempat kepil kapal-kapal yang karena saratnya atau

sebab lain tidak dapat masuk dalam batas-batas tempat kepil yang lazim

digunakan. Berdasarkan pengertian di atas terlihat beberapa unsur yang

berhubungan langsung satu sama lainnya yaitu adanya penguasa di laut, sungai,

dermaga dan kapal atau dengan kata lain ada unsur manusia (penguasa atau

pemerintah).3

Pasal 1 angka 56 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang

Pelayaran menyatakan bahwa Syahbandar adalah pejabat pemerintah di

3
Peraturan-Peraturan Bandar (Redenregleent-1925) (STBL 1924 N0. 500) Direktur Jenderal
Perhubungan Laut, 1972
6

pelabuhan yang diangkat oleh Menteri dan memiliki kewenangan tertinggi

untuk menjalankan dan melakukan pengawasan terhadap dipenuhinya ketentuan

peraturan perundang- undangan untuk menjamin keselamatan dan keamanan

pelayaran. dan menjadi tanggung jawab semua pihak, akan lebih baik jika

penegakan faktor keselamatan tersebut tidak hanya sekedar kewajiban, tetapi

sudah dijadikan kebutuhan bagi semua pihak, dimana setiap orang yang

mengirim barang, penumpang kapal atau kegiatan pelayaran lainnya

menghendaki terjaminnya keselamatan jiwa dan barang sejak saat

pemberangkatannya sampai ditempat tujuan. Keselamatan pelayaran sangat

penting sekali tercermin pada penyelenggaraan angkutan laut yang

mempengaruhi semua aspek kehidupan bangsa dan negara, disamping itu

angkutan laut berperan sebagai penunjang, pendorong dan penggerak bagi

pertumbuhan daerah yang berpotensi, namun belum berkembang, dalam upaya

peningkatan dan pemerataan pembangunan serta hasil-hasilnya, kecelakaan dapat

terjadi pada kapal-kapal baik dalam pelayaran, berlabuh, atau sedang melakukan

kegiatan bongkar muat di pelabuhan.4

Menyadari akan pentingnya keselamatan dan keamanan pelayaran untuk

semua jenis kapal di pelabuhan maka keberadaan syahbandar sangatlah

diperlukan dalam dunia pelayaran. Undang-Undang Nomor 17 tahun 2008

tentang pelayaran, berbagai macam peraturan telah mendahului peraturan

perundang undangan ini, dilihat dari konteks sejarah tentang perkembangan tugas

4
Kementerian Perhubungan, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, 2010 Modul Pelatihan Basic
Safety Trainning, Jakarta, Hal. 109
7

dan wewenang syahbandar dalam pelabuhan telah mengalami perbaikan

perbaikan dan peningkatan yang akan mengangkat lebih jelas mengenai peran

yang sangat penting bagi kesyahbandaran.

Terwujudnya keselamatan dan keamanan pelayaran tidak terlepas dari

keberadaan Syahbandar sebagai ujung tombak di sektor pelayaran. Syahbandar

panglima pangkalan atau kepala pelabuhan atau penguasa pelabuhan yang dalam

dunia pelayaran internasional disebut Harbourmaster atau harbormaster adalah

seorang petugas yang bertanggung jawab sebagai penadbir atau memiliki kantor

dan tata usahanya menjadi tempat untuk memberlakukan peraturan di

suatu pelabuhan atau pangkalan laut untuk dapat memberikan rasa aman terhadap

keselamatan dan kemanana pelayaran di pelabuhan sesuai dengan peraturan

perundang undangan. Pasal 207 ayat 3 Undang-undang Nomor 17 tahun 2008

menyebutkan bahwa Syahbandar diangkat oleh Menteri setelah memenuhi

persyaratan kompetensi di bidang keselamatan dan keamanan pelayaran serta

kesyahbandaran, hal ini sangatlah penting agar semangat Undang-Undang

Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran menjadi pedoman hukum syahbandar

untuk menjamin keselamatan dan kemanan pelayaran di semua jenis pelabuhan.

Kecelakaan kapal yang pernah dialami di perairan Indonesia, seperti

tenggelamnya kapal, bukan hanya menelan korban jiwa dan harta benda saja,

namun akibat yang lebih besar dari itu adalah dapat menyebabkan hancurnya

kelestarian lingkungan laut yang berakibat ganda mengancam dan menyebabkan

kemusnahan pada kehidupan manusia dan biota-biota laut lainnya jika tidak
8

ditanggulangi sedini mungkin. Kecelakaan besar maupun kecil dalam pelayaran

tetap saja pada intinya mengandung resiko korban jiwa, harta benda dan

lingkungan.5

Peraturan perundang-undangan diperlukan dalam mewujudkan

keselamatan dibidang pelayaran yakni Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008

Tentang Pelayaran hal ini dikarenakan mengingat penting dan strategisnya

peranan pelayaran yang menguasai hajat hidup orang banyak, maka pelayaran

dikuasai oleh negara yang pembinaannya dilakukan oleh pemerintah. Pembinaan

pelayaran yang dilakukan oleh pemerintah dengan memperhatikan seluruh aspek

kehidupan masyarakat dan diarahkan untuk memperlancar arus perpindahan

orang dan/atau barang secara massal melalui perairan dengan selamat, aman,

cepat, lancar, tertib dan teratur, nyaman, dan berdaya guna, dengan biaya yang

terjangkau oleh daya beli masyarakat.6 Menurut Undang – Undang Republik

Indonesia Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran menyatakan Kementerian

Perhubungan Republik Indonesia melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Laut

adalah instansi pembina keselamatan dan kemananan pelayaran, telah

menerbitkan regulasi untuk mengatur kapal-kapal semua jenis dan ukuran kapal

termasuk kapal motor, untuk diwajibkan melengkapi persyaratan-persyaratan

keselamatan pelayaran, baik mengenai konstruksi, peralatan maupun hal-hal

yang berkenaan dengan pelayaran, kemudian dipertegas dengan Peraturan

Presiden Nomor 23 Tahun 2022 tentang Kementerian Perhubungan bahwa

5
RadiksPurba, 1997, Angkutan Muatan Laut, Rineka Cipta, Jakarta: Hal, 14
6
Tommy H. Purwaka, 1993, Pelayaran Antar Pulau Indonesia, Bumi Aksara, Jakarta hal,17
9

Direktorat Jenderal Perhubungan Laut mempunyai tugas

menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di Bidang

Pelayaran ditingkat Nasional dan Internasional bahkan Direktorat Jenderal

Perhubungan Laut menjadi penanggung jawab pelaksanaan kegiatan dan

administrasi Pemerintah pada Organisasi Maritim Internasional dan/ atau

lembaga internasional di bidang pelayaran lainnya, sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

Pemerintah sebagai Pembina bertindak sebagai Syahbandar untuk

menjalankan dan melakukan pengawasan terhadap dipenuhinya ketentuan

peraturan perundang- undangan untuk menjamin keselamatan dan keamanan

pelayaran atau dengan kata lain syahbandar adalah ujung tombak, harapan dan

pengawal tegaknya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran

agar keselamatan dan keamanan pelayaran dapat terwujud pada semua jenis

kapal di semua jenis pelabuhan. dan pelabuan. tersebut berada pada Unit

Pelaksana Teknis (UPT) dibawah Direktorat Jenderal Perhubungan Laut yang

tersebar di seluruh wilayah Indonesia dengan nama :

1. Kantor Kesyahbandaran Utama

2. Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan

3. Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan khusus Batam

4. Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan

Namun seiring berkembangnya waktu telah hadir beberapa Syahbandar

di beberapa instansi pemerintah seperti Pelabuhan Perikanan yang berada di


10

bawah Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap selanjutnya di sebut Syahbandar

di pelabuhan perikanan dan Balai Pengelola Transportasi Darat (BPTD)

selanjutnya disebut Syahbandar Sungai, Danau dan Penyeberangan (SDP)

dibawah Direktorat Jenderal Perhubungan Darat. Keberdaan kedua Syahbandar

tersebut menjadi tanda tanya bagi masyarakat dan petugas Syahbandar Direktorat

Jenderal Perhubungan Laut karena membingungkan dan menjadi ketidakjelasan

dalam menjalankan tugas, fungsi dan kewenangan Syahbandar dibawah

Direktorat Jenderal Perhubungan Laut sebab dinilai rawan terjadi tumpang tindi

dalam pelaksanaan tugas, fungsi dan kewenangannya.

Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap dan Direktorat Jenderal

Perhubungan Darat bukanlah Direktorat yang memiliki tugas dan kewenangan di

bidang keselamatan dan keamanan Pelayaran namun menjalankan fungsi

Kesyahbandaran. Selanjutnya yang lebih menarik lagi Syahbadar di pelabuhan

perikanan dan Syahbandar di pelabuhan sungai, danau dan penyeberangan (SDP)

juga diangkat oleh Menteri Perhubungan Republik Indonesia yang tidak lain

adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan di bidang pelayaran sesuai

dengan Undang Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.

Keberadaan Syahbandar di Pelabuhan Perikanan tidak terlepas dari pasal

42 ayat 1 Undang Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang

berbunyi bahwa Dalam rangka keselamatan pelayaran ditunjuk syahbandar di

pelabuhan perikanan. Kemudian Undang Undang Nomor 31 Tahun 2004 diubah

menjadi Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan dan pasal 42 ayat 1

dalam Undang Undang Nomor 31 Tahun 2004 juga mengalami perubahan


11

sehingga pasal 42 ayat 1 dalam Undang Undang Nomor 45 Tahun 2009 berbunyi

: Dalam rangka keselamatan operasional kapal perikanan, ditunjuk syahbandar

di pelabuhan perikanan. Pengangkatan Syahbandar di pelabuhan perikanan yang

dalam tujuan pelaksanaan tugas Syahbandar di pelabuhan perikanan berada di

bawah Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap di Kementerian Kelautan dan

Perikanan.

Kemudian Syahbandar sungai, danau dan penyeberangan yang berada di

bawah Direktorat Jenderal Perhubungan Darat yang keberadaannya berdasarkan

Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 17 Tahun 2022 tentang Organisasi dan

Tata Kerja Kementerian Perhubungan dan Peraturan Menteri Perhubungan

Nomor 61 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Angkutan Sungai, Danau dan

Penyeberangan. Dalam pasal 206 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 17

Tahun 2022 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Perhubungan

disebutkan bahwa Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, Direktorat

Transportasi Sungai, Danau dan Penyeberangan, Subdirektorat Pengawas

Operasional Sungai, Danau dan Penyeberangan.

Keberadaan Syahbandar di semua jenis pelabuhan dengan kualifikasi dan

kompetensi yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 agar

dapat mengawal tegaknya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 dan menjamin

keberlangsungan keselamatan dan keamanan pelayaran sesuai dengan peraturan

perundang undangan baik nasional maupun internasional secara merata, artinya

ada jaminan keselamatan dan keamanan pelayaran. Kehadiran Syahbandar di

Pelabuhan Perikanan yang berada Kementerian Kelautan dan Perikanan-


12

Direktorat Jenderal Tangkap dan Syahbandar Angkutan Sungai, Danau dan

Penyeberangan menimbulkan keraguan dan ketidak pastian hukum akan

tegaknya Undang-Undang Nomor 17 tentang Pelayaran sebab selain tidak

maksimalnya kualifikasi dan kompetensi yang sama dengan Syahbandar di

Direktorat Jenderal Perhubungan Laut juga rawan adanya benturan kepetingan

masing-masing peraturan perundangan undangan dimana Syahbandar di

Pelabuhan Perikanan akan lebih mengedepankan semangat Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Hal yang sama juga

kemungkinan bisa terjadi pada Syahbandar angkutan sungai danau dan

penyeberangan yang berada dibawah Direktorat Jenderal Perhubungan Darat

yang mungkin saja lebih mengedepankan Undang-Undang Nomor 22 Tahun

2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang secara keseluruhan itu juga

bisa saja berdampak buruk pada pelayanan publik serta penegakan hukum sesuai

dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.

Syahbandar juga bertindak sebagai penegak hukum di bidang angkutan di

perairan, kepelabuhanan, dan perlindungan lingkungan maritim di pelabuhan.

Penegakan hukum dalam arti luas merupakan suatu proses dilakukannya upaya

untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai

pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam

kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau dari subyeknya, penegakan

hukum dapat dilakukan oleh subyek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai

upaya penegakan hukum yang melibatkan semua subyek hukum dalam setiap
13

hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan

sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma

aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan

hukum. Penegakan hukum dalam arti sempit, dari segi subyeknya dapat diartikan

sebagai upaya aparatur penegak hukum untuk menjamin dan memastikan

tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu

diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.7

Melihat beberapa syahbandar saat ini maka dengan perbedaan tugas, fugsi

dan kewenangannya dengan keselamatan dan kemananan pelayaran besar

kemungkinan akan terjadi perbedaan kualifikasi dan kompetensi, pengabaian

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran serta berpotensi

terjadinya tumpang tindih kewenangan. Berdasarkan latar belakang tersebut di

atas, maka penelitian ini diberi judul “EKSISTENSI SYAHBANDAR

MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2008 TENTANG

PELAYARAN”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan diatas, maka

permasalahan yang diangkat dalam penulisan ini adalah:

1. Bagaimana Kedudukan Hukum Syahbandar pada Direktorat Jenderal

Perikanan Tangkap dan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat ?

7
Jimly Asshiddiqie” Penegahkan Hukum” Rineka Cipta, Jakarta, 2005, Hal 63.
14

2. Siapakah yang berwenang mengangkat dan memberhentikan Syahbandar pada

Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap dan Direktorat Jenderal Perhubungan

Darat ?

C. Tujuan Penelitian.

Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengtahui dan

menganaliisa tentang :

1. Untuk menganalisis dan mengkaji kedudukan hukum syahbandar di

Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap dan Direktorat Jenderal

Perhubungan Darat

2. Untuk menganalisis dan mengetahui wewenang pengangkatan dan

pemberhentian syahbaandar.

D. Manfaat Penelitian.

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai sumbangan

pemikiran bagi pengembangan Ilmu Hukum Tata Negara dan Hukum

Administrasi dalam mengetahui kedudukan hukum Syahbandar untuk

menjamin keselamatan dan keamanan pelayaran di semua jenis pelabuhan.

2. Manfaat Praktis

Memberikan sumbangan pemikiran kepada Pemerintah agar dalam

pengaturan pelaksaanaan fungsi keselamatan dan kemananan pelayaran

oleh syahbandar bisa berjalan baik pada semua jenis kapal dan pelabuhan.
15

E. Kerangka Teoritis

1. Teori Negara Hukum

Istilah Negara hukum atau Negara berdasarkan hukum dalam

kepustakaan Indonesia hamper selalu dipadankan dengan istilah “rechtstaat” dan

“etat de dorit”, “the staat according to law”, “legal staat”, dan “rule of law”.

Di samping itu dikenal juga istilah “the principle of socialist legality” yang lahir

dari ideology kaum komunis. Sedangkan F.R. Bothink dalam Ridwan H.R.8

mengemukakan Negara hukum adalah “de staat, waarin de wilsvijheid van

gezagsdragers is beperkt door grenzen van recht”. bahwa Negara di mana

kebebasan kehendak pemegang kekuasaan dibatasi oleh ketentuan hukum.

Menurut M.C. Burkens sebagaimana dikutip A. Hamid Attamimi9 bahwa

Negara hukum (rechtsstaat) secara sederhana adalah Negara yang menempatkan

hukum sebagai dasar kekuasaan negara dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut

dalam segala bentuknya dilakukan di bawah kekuasaan hukum, H.W.R. Wade10

menyatakan bahwa dalam Negara hukum, segala sesuatu harus tunduk pada

hukum, bukannya hukum harus tunduk pada pemerintah.

Konsep rechtsstaat dan the rule of law sama-sama merupakan konsepsi

Negara hukum dalam pengertian bahasa Indonesia, walaupun secara historis,

kedua istilah ini dilahirkan oleh latar belakang tradisi hukum yang berbeda.

Istilah rechsstaat lahir sebagai reaksi menentang absolutisme, karena itu sifatnya
8
Ridwan H.R. Hukum Administrasi Negara. RajaGrafindo, Jakarta. 2007. H. 49.
9
Hamid A. Attamimi, Teori Perundang-Undangan Indonesia. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru
Besar Tetap Fakultas Hukum UI, Jakarta, 25 April 1992, h. 8.
10
H.W.R. Wade, Administrative Law. Third Edition, Clarendon Press, Oxford University, 1970, p. 6.
16

revolusioner yang bertumpu pada faham atau system hukum continental yang

disebut civil law, yang berbeda dengan faham the rule of law yang

perkembangannya terjadi secara evolusioner, dan bertumpu pada tradisi hukum

common law. Menurut Immanuel Kant yang mengembangkan konsep Negara

hukum liberal, memahami Negara hukum sebagai Nachtwakerstaat (Negara

penjaga malam) yang tugasnya adalah menjamin ketertiban dan keamanan

masyarakat. Stahl mengemukakan bahwa Negara hukum ditandai oleh 4 (empat)

ciri pokok, yaitu (1) pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi

manusia; (2) Negara didasarkan pada teori trias politika; (3) pemerintahan

diselenggarakan berdasarkan undang-undang (wetmatig-bestuur);(4) ada

peradilan administrasi Negara yang bertugas menangani kasus perbuatan

melanggar hukum oleh pemerintah (onrechtmatige overheidsdaad). Gagasan

Negara hukum Stahl ini dikenal dengan konsep Negara hukum formal, karena

lebih menekankan pada suatu pemerintahan yang berdasarkan undang-undang.11

Philipus M. Hadjon12. mengemukakan ciri-ciri dasar rechtsstaat, adalah:

(1) asas legalitas, setiap tindakan pemerintahan harus didasarkan atas dasar

peraturan perundang-undangan (wetterlijke grondslag). Dengan landasan ini

undang-undang dalam arti formal dan Undang-Undang Dasar sendiri merupakan

tumpuan dasar tindak pemerintahan. Dalam hubungan ini pembentuk undang-

undang merupakan bagian penting Negara hukum; (2) pembagian kekuasaan,

syarat ini mengandung makna bahwa kekuasaan Negara tidak boleh hanya
11
Sudargo Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum. Alumni, Bandung, 1973. Hal.7.
12
Philipus M. Hadjon. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia. Sebuah Studi tentang Prinsip-
Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan
Peradilan Administrasi, (Philipus M. Hadjon III). Peradaban, Surabaya, 2007. Hal. 71.
17

bertumpu pada satu tangan; (3) hak-hak dasar (grondrechten), hak hak dasar

merupakan sasaran perlindungan hukum bagi rakyat dan sekaligus membatasi

kekuasaan pembentukan undang-undang; (4) pengawasan pengadilan, bagi

rakyat tersedia saluran melalui pengadilan yang bebas untuk menguji keabsahan

tindak pemerintahan (rechtmatigheids toetsing). Sebaliknya konsep Negara

hukum dengan paham the rule of law yang berkembang di Negara-negara Anglo

Saxon semula dikembangkan oleh A.V. Dicey. Menurut A.V. Dicey. Negara

hukum itu ditekankan pada tiga tolok ukur atau unsur penting, yaitu: (1)

supremasi hukum atau supremacy of law, (2) persamaan dihadapan hukum atau

equality before the law,(3) konstitusi yang didasarkan atas hak-hak perseorangan

atau the constitution based on individual rights.13

Perbedaan yang menonjol antara konsep rechsstaat dan konsep the rule

of law ialah pada konsep yang pertama yaitu peradilan administrasi Negara

merupakan suatu sarana yang sangat penting dan sekaligus pula ciri yang

menonjol pada rechtsstaat itu sendiri, sementara pada the rule of law, peradilan

administrasi tidak diterapkan, karena kepercayaan masyarakat yang demikian

besar kepada peradilan umum. Ciri yang menonjol pada konsep the rule of law

ialah ditegakkannya hukum yang adil dan tepat (just law), karena semua orang

mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum, maka ordinary court

dianggap cukup untuk mengadili semua perkara termasuk perbuatan melanggar

hukum oleh pemerintah.14 Philipus M. Hadjon.15 mengemukakan bahwa dalam


13
Tahir Azhari. Negara Hukum Indonesia, Analisi Yudiris Normatif Tentang Unsur-Unsurnya.
Universitas Indonesia, Jakarta, 1995. H. 90-91.
14
Ibid.
15
Philipus M. Hadjon III, Op.cit. h. 72.
18

perkembangannya perbedaan latar belakang itu tidak perlu dipertentangkan lagi,

oleh karena keduanya menuju pada sasaran yang sama yang bertujuan untuk

mewujudkan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Dengan demikian

tujuan dari rechtsstaat maupun the rule of law pada hakekatnya sama, ialah

melindungi individu terhadap kekuasaan yang dijalankan oleh pemerintah yang

sewenang-wenang dengan menggunakan hukum sebagai instrument pengawasan.

2. Teori Perundang – undangan

Menurut teori hukum Norma Berjenjang yang dikembangkan oleh Hans

Kelsen yang meliputi dua aspek penting yaitu aspek statis (nomostatic) yang

melihat perbuatan yang diatur oleh hukum, dan aspek dinamis (nomodinamic)

yang melihat hukum yang mengatur perbuatan tertentu.

Hans Kelsen yang mengemukakan teori stufenbau (stubfenbau des rechts

theoie). Menurut Hans Kelsen, norma dasar (basic norm/grund norm) yang

merupakan norma tertinggi dalam sistem norma tersebut tidak lagi dibentuk oleh

suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi grund norm itu ditetapkan terdahulu

oleh masyarakat sebagai norma dasar yang merupakan gantungan bagi norma-

norma yang berada di bawahnya sehingga suatu norma dasar dikatakan pre-

suppsed.16

Teori ini kemudian di kembangkan oleh Hans Nawiasky, menurut Hans

Nawiasky, norma tertinggi yang oleh Hans Kelsen disebut sebagai norma dsar

16
Ahmad Redi, Hukum Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Sinar Grafika Jakarta, 2018,
hal. 38
19

(basic norm) dalam suatu negara sebaiknya tidak disebut sebagai suatu grund

norm melainkan staats fundamental norm atau norma fundamental negara.

Grund norm pada dasarnya tidak berubah-ubah sedangkan norma tertinggi dapat

berubah, misalnya dengan cara kudeta atau revolusi.17

Dalam teori perundang-undangan dengan kenyataan, Jhon Michael Otto

mengemukakan bahwa antara perundang-undangan dengan kenyataan kita

temukan adanya jurang yang lebar. Dengan kata lain bahwa ada sedikit kepastian

hukum yang nyata (real legal certainty). Menurutnya kepastian hukum nyata

sesungguhnya mencakup pengertian kepastian hukum yuridis, namun sekaligus

lebih dari itu.18 Semakin baik suatu negara hukum berfungsi, maka semakin

tinggi tingkat kepastian hukum nyata. Sebaliknya bila suatu negara tidak

memiliki sistem hukum yang berfungsi secara otonom, maka kecil kemungkinan

pula tingkat kepastian hukum.

Adapun menurut Teori Morality of Law Lon F. Fuller, disebutkan bahwa

terdapat 8 (delapan) hal yang menjadi penyebab kegagalan perundang-undangan.

Menurut pendapat Lon Fuller, bahwa hukum (peraturan perundangan) akan

menimbulkan masalah ketika hukum menyimpang dari delapan moral hukum

internal (delapan prinsip legalitas), yaitu :19

1. Adanya peraturan yang dicipta terlebih dahulu, tidak ada keputusan-


keputusan secara ad-hoc atau tindakantindakan yang bersifat arbiter;
2. peraturan yang diumumkan secara layak;

17
Ibid
18
Ibid
19
Salman Luthan, “Dialektika Hukum Dan Moral Dalam Perspektif Filsafat Hukum,” Jurnal Hukum
Ius Quia Iustum 16, no. 4 (2012): 517
20

3. peraturan tidak boleh berlaku surut;


4. perumusan peraturan dapat dimengerti oleh rakyat (jelas dan rinci);
5. hukum sebagai suatu hal yang mungkin untuk dijalankan;
6. tidak terdapat pertentangan antara satu peraturan dengan peraturan yang
lain;
7. peraturan tidak boleh sering diubah (bersifat tetap), dan;
8. adanya kesesuaian antara tindakan pejabat hukum dengan peraturan yang
telah dibuat.

3. Konsep Wewenang

a. Hakikat dan Pengertian Wewenang

Berbagai literatur sering ditemukan istilah kekuasaan, kewenangan,

dan wewenang. Kekuasaan merupakan inti dari penyelenggaraan Negara, agar

Negara dapat menyelenggarakan pemerintahan dengan baik, maka (organ)

Negara harus diberi kekuasaan. Dengan adanya kekuasaan tersebut Negara

dapat bekerjasama, melayani warga negaranya. Max Weber menyebut

kekuasaan yang berkaitan dengan hukum sebagai wewenang rasional atau

legal, yakni wewenang yang berdasarkan suatu sistem hukum ini dipahami

sebagai kaidah-kaidah yang telah diakui serta dipatuhi masyarakat dan bahkan

diperkuat oleh Negara.20 Kewenangan atau wewenang memiliki kedudukan

penting dalam kajian hukum tata negara dan hukum administrasi.

Istilah wewenang atau kewenangan disejajarkan dengan “authority”

dalam bahasa Inggris dan “bevoegdheid” dalam bahasa Belanda. Authority

dalam Black`s Law Dictionary diartikan sebagai Legal power; a right to


20
Max Weber Dalam A. Gunawan Setiardja, Dialetika Hukum Dan Moral dalam Pembangunan Masyarakat
Indonesia, Kanisius, Yogyakarta, 1990. h, 52.
21

command or to act; the right and power of public officers to require

obedience to their orders lawfully issued in scope of their public duties.21

(kewenangan atau wewenang adalah kekuasaan hukum, hak untuk

memerintah atau bertindak; hak atau kekuasaan pejabat publik untuk

mematuhi aturan hukum dalam lingkup melaksanakan kewajiban publik).

"Bevoegdheid" dalam istilah Hukum Belanda, Phillipus M. Hadjon

memberikan catatan berkaitan dengan penggunaan istilah “wewenang” dan

“bevoegdheid”. Istilah "bevoegdheid" digunakan dalam konsep hukum privat

dan hukum publik, sedangkan "wewenang" selalu digunakan dalam konsep

hukum publik.22 Wewenang (authority, competence)23 adalah hak dan

kekuasaan (untuk menjalankan sesuatu).

Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang. Wewenang

tidak hanya meliputi membuat keputusan pemerintahan (besluit), tetapi

meliputi wewenang dalam rangka melaksanakan tugas, dan pembentukan

wewenang serta distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam undang-

undang dasar.24

Wewenang sebagai konsep hukum publik sekurang-kurangnya terdiri

atas 3 (tiga) komponen, yaitu :

1) pengaruh;
21
Henry Campbell Black, Black’S Law Dictionary, West Publishing, l990, p. 133.
22
Philipus M. Hadjon, (Philipus M. Hadjon IV) Tentang Wewenang, Yuridika, No. 5&6 Tahun XII,
Sep-Des l997, h.1
23
John M. Echols dan Hassan Shadilly, Kamus Indonesia Inggris, 1997, Gramedia, Jakarta, h. 614.
24
Philipus M. Hadjon, dalam Malik,Perspektif Fungsi Pengawasan Komisi Yudisial Pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi, 2007, Program Pascasarjana Universitas Brawijaya Malang, h. 31.
22

2) dasar hukum;

3) konformitas hukum

Komponen pengaruh ialah bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk

mengendalikan perilaku subjek hukum. Komponen dasar hukum bahwa

wewenang itu selalu harus dapat ditunjuk dasar hukumnya. Komponen

konformitas mengandung makna adanya standar wewenang yaitu standar

umum (semua jenis wewenang) dan standar khusus (untuk jenis wewenang

tertentu).25

Badan hukum publik yang berupa negara, pemerintah, departemen,

pemerintah daerah, institusi untuk dapat menjalankan tugasnya mereka

memerlukan kewenangan. Pemberian kewenangan terhadap badan hukum

publik tersebut dapat dilihat pada konstitusi masing-masing negara.

Perihal kewenangan tidak terlepas dari Hukum Tata Negara dan

Hukum Administrasi karena kedua jenis hukum itulah yang mengatur tentang

kewenangan. Hukum Tata Negara berkaitan dengan susunan negara atau

organ dari negara (staats, inrichtingrecht, organisatierecht) dan posisi hukum

dari warga negara berkaitan dengan hak-hak dasar (grondrechten). Dalam

organ atas susunan negara diatur mengenai :

1. Bentuk negara

2. Bentuk pemerintahan

3. Pembagian kekuasaan dalam Negara.

25
Ibid., h. 1-2
23

Pembagian kekuasaan dalam negara terdiri atas pembagian horizontal

yang meliputi : kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif, dan vertikal

terdiri atas pemerintah pusat dan daerah. Pembagian kekuasaan dalam negara

secara horizontal dimaksudkan untuk menciptakan keseimbangan dalam

negara dan saling melakukan kontrol. Adapun pembagian tugas secara vertikal

maupun horizontal, sekaligus dengan pemberian kewenangan badan-badan

negara tersebut, yang ditegaskan dalam konstitusi.26

Tatiek Sri Djatmiati dalam disertasinya menguraikan hubungan

antara hukum administrasi dengan kewenangan. Hukum administrasi atau

hukum tata pemerintahan (“administratiefrecht“ atau “bestuursrecht“)

berisikan norma-norma hukum pemerintahan. Norma-norma pemerintahan

tersebut menjadi parameter yang dipakai dalam penggunaan kewenangan yang

dilakukan oleh badan-badan pemerintah. Adapun parameter yang dipakai

dalam penggunaan wewenang itu adalah kepatuhan hukum ataupun

ketidakpatuhan hukum (“improper legal“ or “improper illegal“), sehingga

apabila terjadi penggunaan kewenangan dilakukan secara “improper illegal“

maka badan pemerintah yang berwenang tersebut harus mempertanggung-

jawabkan.27

26
Hubungan vertikal ditunjukan dalam bentuk pengawasan dan pada tahap ini pengawasan yang
dilakasanakan oleg badan-badan pemerintah bertingkat lebih tinggi terhadap badan-badan yang lebih
rendah. Sedangkan hubungkan horizontal ditunjukan dalam bentuk kerjasama di antara daerah otonom.
Lihat Philipus M. Hadjon, at.al. (Philipus M. Hadjon VI), Pengantar Hukum Administrasi Indonesia,
Gajah Mada University Press, 2002, h. 74-78
27
Tatiek Sri Djatmiati, Prinsip Izin Usaha Industri Di Indonesia, Disertasi, Program Pascasarjana
Universitas Airlangga, Surabaya, 2004, h. 62-63.
24

Hukum administrasi pada hakikatnya berhubungan dengan

kewenangan publik dan cara-cara pengujian kewenangannya, juga hukum

mengenai kontrol terhadap kewenangan tersebut.28

Pendapat yang sama dikemukakan, H.D. Stout29 yang mengatakan

bahwa:

”Bevoegdheid is een begrip uit het bestuurlijke organisatierecht, wat kan


worden omschreven als het geheel van regels dat betrekking heeft op de
verkrijging en uitoefening van bestuursrechtelijke bevoegdheden door
publiekrechtelijke rechtssubjecten in het bestuursrechtelijke rechtsverkeer”.
(Wewenang merupakan pengertian yang berasal dari hukum organisasi
pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang
berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintahan oleh
subjek hukum publik di dalam hubungan hukum publik).
Pendapat yang memperlihatkan kaitan wewenang dan kekuasaan

sebagai konsep hukum publik tersebut, perlu dihubungkan dengan beberapa

pendapat lain yang dikutip di bawah ini.

Menurut Irfan Fachruddin, yang menyatakan bahwa :

untuk memutar roda pemerintahan “kekuasaan” dan “wewenang” adalah

dianggap penting. Dalam ilmu hukum tata negara dan hukum administrasi

negara istilah “kekuasaan” dan “wewenang” terkait erat dengan pelaksanaan

fungsi pemerintahan.

... kata “kekuasaan” berasal dari kata “kuasa” artinya kemampuan atau

kesanggupan (untuk berbuat sesuatu); kekuatan. Sedangkan “wewenang”


28
Philipus M. Hadjon IV, Op. Cit.
29
H.D. Stout, De Betekenissen van de Wet, Dalam Ridwan HR. Op.Cit. h. 102
25

adalah (1) hak dan kekuasaan untuk bertindak atau melakukan sesuatu; (2)

kekuasaan membuat keputusan, memerintah dan melimpahkan tanggung

jawab kepada orang lain.30

Dari kalimat terakhir yang merumuskan wewenang sebagai

kekuasaan untuk bertindak, kekuasaan membuat keputusan, memerintah dan

melimpahkan tanggung jawab kepada pihak lain, adalah sejalan dengan

pendapat Philipus M. Hadjon yang dikutip sebelumnya. Demikian kedua

pendapat tersebut juga memberikan makna yang sama dengan rumusan

Nicolai yang menyatakan bahwa:31

Het vermogen tot het verrichten van bepaalde rechtshandelingen (handelingen die op
rechtsgevoelg gericht zijn en dus ertoe strekken dat bepaalde rechtsgevolgen onstaan
of teniet gaan).

Kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertentu (yaitu tindakan-


tindakan yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum, dan
mencakup mengenai timbul dan lenyapnya akibat hukum tertentu).
Dengan demikian, dari berbagai pendapat tentang wewenang yang

dikemukakan di atas, pada prinsipnya memiliki makna yang sama sekalipun

dikemukakan dalam redaksi yang berbeda. Di sini wewenang dikatakan

sebagai kekuasaan hukum, oleh karena wewenang sebagai konsep hukum

publik selalu harus mendapat pengaturan yang jelas baik dalam hukum tata

negara maupun dalam hukum administrasi, demikian melalui pengaturan

dimaksud memberikan kekuasaan atau kemampuan kepada pejabat tata usaha

30
Irfan Fachruddin, 2004, Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah, Alumni,
Bandung, h. 38.
31
P. Nicolai, et.al., 1994, Bestuursrecht, Amsterdam Dalam Ridwan HR, h. 103
26

negara untuk melakukan tindakan yang menimbulkan akibat di bidang hukum

publik. Demikian kuatnya hubungan wewenang dan kekuasaan tersebut,

sehingga sering kedua istilah tersebut digunakan dalam pengertian yang sama

sebagaimana terlihat dalam uraian di atas berbagai pendapat yang

memperkaya tulisan ini.

b. Sumber dan Cara Memperoleh Wewenang Pemerintahan

Sejalan dengan pilar utama negara hukum yaitu asas legalitas

(legaliteits beginselen atau het beginsel wetmatigheid van bestuur), atas dasar

prinsip tersebut bahwa wewenang pemerintahan berasal dari peraturan

perundang-undangan, artinya sumber wewenang pemerintah berdasarkan

peraturan perundang-undangan. Lebih jauh dikatakan Ridwan HR,32 bahwa

setiap penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan harus memiliki

legitimasi, yaitu kewenangan yang diberikan oleh undang-undang. Dengan

demikian, substansi asas legalitas adalah wewenang. Seperti dikatakan P.

Nicolai, et.al; yang mengatakan bahwa: ”Het vermogen tot het verrichten van

bepaalde rechtshandelingen”,33 (kemampuan untuk melakukan tindakan-

tindakan hukum tertentu). Berkaitan dengan hal itu, R.J.H.M. Huisman 34

mengatakan bahwa: ”Een bestuursorgaan kan zich geen bevoegdheid

toeeigenen, Slechts de wet kan bevoegdheden verlenen. De wetgever kan een

bevoegd”.

32
Ridwan HR, Op.Cit, h. 100
33
P. Nicolai, et.al; Op. Cit., p.4
34
R.J.H.M. Huisman, Algemeen Bestuursrecht, Dalam Ridwan HR, Ibid. h. 103
27

Berkaitan dengan sumber wewenang yang dikemukakan, Tatiek Sri

Djatmiati menyatakan bahwa kewenangan dapat dilihat pada konstitusi setiap

negara yang memberi suatu legitimasi kepada badan-badan publik untuk dapat

melakukan fungsinya.35 Philipus M. Hadjon menyatakan, minimal dasar

kewenangan harus ditemukan dalam suatu undang-undang, apabila penguasa

ingin meletakan kewajiban-kewajiban di atas para warga masyarakat. Dengan

demikian di dalamnya terdapat suatu legitimasi yang demokratis. Melalui

undang-undang, parlemen sebagai pembentuk undang-undang yang mewakili

rakyat pemilihnya ikut menentukan kewajiban-kewajiban apa yang pantas

bagi warga masyarakat.36

Dalam kepustakaan hukum administrasi terdapat dua cara untuk

memperoleh wewenang pemerintahan yaitu atribusi dan delegasi; kadang-

kadang juga, mandat, ditempatkan sebagai cara tersendiri untuk memperoleh

wewenang.37

Suatu atribusi menunjuk kepada kewenangan yang asli atas dasar

ketentuan hukum tata negara. Atribusi merupakan wewenang untuk membuat

keputusan (besluit) yang langsung bersumber kepada undang-undang dalam

arti materiil. Rumusan lain mengatakan bahwa atribusi merupakan

pembentukan wewenang tertentu dan pemberiannya kepada organ tertentu dan

35
Tatiek Sri Djatmiati, Op.Cit., h. 60.
36
Philipus M. Hadjon V, Op. Cit., h. 130.
37
Philipus M. Hadjon IV, Op.cit.,Lihat pula pendapat dari F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek, Op.cit.,
p. 40 menyatakan “Er bestaan slechts twee wijzen waarop een orgaan aan een bevoegdheid kan
komen, namelijk attributie en delegatie”.
28

yang dapat membentuk wewenang adalah organ yang berwenang berdasarkan

peraturan perundang-undangan.38

Lebih jauh, Suwoto39 menyebutkan ciri-ciri atribusi kewenangan

sebagai berikut:

1. Pengatribusian kekuasaan menciptakan kekuasaan baru, sehingga

sifatnya tidak derivatif;

2. Pemberian kekuasaan melalui atributif tidak menimbulkan kewajiban

bertanggung jawab, dalam arti tidak diwajibkan menyampaikan

laporan atas pelaksanaan kekuasaan.

3. Pemberian kekuasaan melalui atribusi harus didasarkan pada peraturan

perundang-undangan

4. Pada dasarnya pemegang kekuasaan melalui atribusi dapat

melimpahkan kekuasaan badan-badan yang lain tanpa memberitahu

terlebih dahulu kepada badan yang memberi kekuasaan.

Atribusi digambarkan sebagai pemberian kewenangan kepada suatu

organ lain yang menjalankan kewenangan-kewenangan itu atas nama dan

menurut pendapatnya sendiri, tanpa si pemberi itu sendiri ditunjuk untuk

menjalankan kewenangan itu.40

Pada delegasi menegaskan suatu pelimpahan wewenang kepada

badan pemerintahan yang lain. Dalam Hukum Administrasi Belanda telah

38
Ibid.
39
Suwoto, Kekuasaan Dan Tanggung Jawab Presiden Republik Indonesia, Suatu Penelitian Segi-Segi
Teoritiik dan Yuridis, Disertasi, Universitas Airlangga, 1990, h. 79
40
Agussalim Andi Gadjong, op.cit, h. 103
29

merumuskan pengertian delegasi dalam wet Belanda yang terkenal dengan

singkatan AWB (Algemene Wet Bestuursrecht). Dalam Pasal 10 : 3 AWB,

delegasi diartikan sebagai penyerahan wewenang (untuk membuat

“besluit“) oleh pejabat pemerintahan (pejabat tata usaha negara) kepada

pihak lain dan wewenang tersebut menjadi tanggung jawab pihak lain

tersebut.41 yang memberi/melimpahkan wewenang disebut delegans dan

yang menerima disebut delegataris. Jadi suatu delegasi selalu didahului

oleh adanya suatu atribusi wewenang.

Dalam pemberian/pelimpahan wewenang atau delegasi ada

persyaratan–persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu :

1. delegasi harus definitif, artinya delegans tidak lagi menggunakan sendiri

wewenang yang telah dilimpahkan itu;

2. delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan,

artinya delegasi hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan itu dalam

peraturan perundang-undangan;

3. delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hirarkhi

kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi;

4. kewajiban memberikan keterangan (penjelasan), artinya delegans

berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang

tersebut;

41
J.B.J.M. ten Berge dalam Philipus M. HadjonPhilipus M. Hadjon, 1997, Tentang Wewenang,
YURIDIKA, No. 5 & 6 Tahun XII, September-Desember 1997, Fakultas Hukum Universitas
Airlangga, Surabaya, h. 5..
30

5. peraturan kebijakan (beleidsregelen), artinya delegans memberikan

instruksi (petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut.42 Jika

konsep delegasi seperti itu, maka tidak ada delegasi umum dan tidak

mungkin ada delegasi dari atasan ke bawahan.

Atribusi berkenaan dengan penyerahan wewenang baru, sedangkan

delegasi menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada (oleh organ

yang telah memperoleh wewenang secara atributif kepada organ lain); jadi

delegasi secara logis selalu didahului oleh atribusi. Kata delegasi (Delegatie)

mengandung arti penyerahan wewenang dari pejabat yang lebih tinggi

kepada yang lebih rendah. Penyerahan yang demikian dianggap tidak dapat

dibenarkan selain dengan atau berdasarkan kekuatan hukum. Dengan

delegasi, ada penyerahan wewenang dari badan atau pejabat pemerintahan

yang satu kepada badan atau pejabat pemerintahan lainnya.43

Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Heinrich Triepel,44

yang mengatakan pendelegasian dalam pengertian hukum publik

dimaksudkan tindakan hukum pemangku sesuatu wewenang kenegaraan.

Jadi, pendelegasian ini merupakan pergeseran kompetensi, pelepasan dan

penerimaan sesuatu wewenang, yang keduanya berdasarkan atas kehendak

pihak yang menyerahkan wewenang itu. Pihak yang mendelegasiakan harus

mempunyai suatu wewenang, yang sekarang tidak digunakannya, sedangkan

42
Ibid., h. 4-5.
43
Agussalim Andi Gadjong, Op. Cit. h. 104
44
Heinrich Trielpel, Delegation und Mandat Im-offeentichen Recht,Stuttgart, Berlim, 1942, p. 23
31

yang menerima pendelegasian juga biasanya mempunyai suatu wewenang,

sekarang akan memperluas.

Adapun mandat tidak terjadi pelimpahan apapun dalam arti

pemberian kewenangan, pejabat yang diberi mandat (mandataris) bertindak

untuk dan atas nama pemberi mandat (mandans). Di dalam pemberian

mandat, pejabat yang memberi mandat (mandans) menunjuk pejabat lain

(mandataris) untuk bertindak atas nama mandans (pemberi mandat).

Dalam kaitan dengan konsep atribusi, delegasi, mandat itu dinyatakan oleh

J.G. Brouwer dan A.E.Schilder, bahwa :

1. With attribution, power is granted to an administrative authority by an


independent legislative body. The power is intial (originair), which is to
say that is not derived from a previously non existent powers and assigns
them to an authority.
2. Delegations is the transfer of an acquired attribution of power from one
administrative authority to another, so that the delegate (the body that
has acquired the power) can exercise power in its own name.
3. With mandate, there is no transfer, but the mandate giver (mandans)
assigns power to the other body (mandataris) to make decisions or take
action in its name.45

Maksud dari pendapat J.G. Brouwer dan A.E.Schilder tersebut

bahwa pada “atribusi“, kewenangan diberikan kepada suatu badan

administrasi oleh suatu badan legislatif yang independen. Kewenangan ini

asli, yang tidak diambil dari kewenangan yang ada sebelumnya. Badan

45
Brouwer J.G dan Schilder, A Survey of Ductch Administrative Law, Ars Aequi Libri, Nijmegen,
l998, p. 16-18.
32

legislatif menciptakan kewenangan mandiri dan bukan putusan kewenangan

sebelumya dan memberikannya kepada yang berkompeten.

Delegasi ditransfer dari kewenangan atribusi dari suatu badan

administrasi yang satu kepada lainnya, sehingga delegator/delegans (badan

yang telah memberikan kewenangan) dapat menguji kewenangan tersebut

atas namanya. Pada mandat tidak terdapat suatu transfer kewenangan, tetapi

pemberi mandat (mandans) memberikan kewenangan pada badan yang lain

(mandataris) untuk membuat suatu keputusan atau mengambil suatu

tindakan atas namanya.

Pengertian di atas menunjukkan bahwa mandat tidak memberikan

pengakuan atau pengalihan kewenangan sebagaimana pada atribusi dan

delegasi. Pendapat yang sama tentang mandat tersebut, dikemukakan oleh

Philipus M. Hadjon bahwa kewenangan membuat keputusan hanya dapat

diperoleh dengan dua cara, yaitu atribusi atau delegasi. 46 Oleh karena mandat

merupakan suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan. Pelimpahan ini

bermaksud memberi wewenang kepada bawahan untuk membuat keputusan

a.n. pejabat Tata Usaha Negara (TUN) yang memberi mandat. Keputusan itu

merupakan keputusan pejabat TUN yang memberi mandat. Dengan

demikian tanggung jawab dan tanggung gugat tetap pada pemberi mandat.

Untuk mandat tidak perlu ada ketentuan peraturan perundang-undangan

46
Philipus M Hadjon IV, Op. Cit., Lihat pula, Indroharto, Loc. Cit., h. 91.
33

yang melandasinya karena mandat merupakan hal rutin dalam hubungan

intim-hirarkis organisasi pemerintahan.47

c. Teori Kepastian Hukum

Aristoteles dalam bukunya Rhetorica menjelaskan, bahwa tujuan

hukum adalah menghendaki keadilan semata-mata dan isi (materi muatan)

hukum ditentukan oleh kesadaran etis mengenai apa yang dikatakan adil dan

apa yang dikatakan tidak adil. Memuat teori ini, hukum mempunyai tugas

suci dan luhur, yakni keadilan dengan memberikan kepada tiap-tiap orang,

apa yang berhak diterima serta memerlukan peraturan tersendiri bagi tiap-

tiap kasus. Untuk terlaksananya hal tersebut, maka menurut teori ini, hukum

harus membuat apa yang dinamakan algamene regels (peraturan/ketentuan

umum) di mana peraturan/ketentuan umum ini diperlukan masyarakat demi

kepastian hukum, berikut adalah kepastian hukum menurut para ahli :

1) Menurut Gustav Radbruch 48


Seperti yang telah dijelaskan

sebelumnya, teori kepastian hukum merupakan salah satu dari tujuan

hukum dan dapat dikatakan bahwa kepastian hukum merupakan bagian

dari upaya untuk dapat mewujudkan keadilan. Kepastian hukum sendiri

memiliki bentuk nyata yaitu pelaksanaan maupun penegakan hukum

terhadap suatu tindakan yang tidak memandang siapa individu yang

melakukan. Melalui kepastian hukum, setiap orang mampu

memperkirakan apa yang akan ia alami apabila ia melakukan suatu


47
Philipus M. Hadjon IV, Ibid., h. 7.
48
Gramedia, Teoari Kepastian Hukum menurut ahli, https://www.gramedia.com/literasi/teori-
kepastian-hukum/ diakses pada tanggal 20 Nopember 2022, pukul 11.00
34

tindakan hukum tertentu. Kepastian hukum pun diperlukan guna

mewujudkan prinsip-prinsip dari persamaan dihadapan hukum tanpa

adanya diskriminasi. Dari kata kepastian, memiliki makna yang erat

dengan asas kebenaran. Artinya, kata kepastian dalam kepastian hukum

merupakan suatu hal yang secara ketat dapat disilogismeka dengan cara

legal formal.

2) Menurut Jan. M. Otto49 Selain Gustav Radbruch, Jan M. Otto pun turut

berpendapat mengenai kepastian hukum yang disyaratkan menjadi

beberapa hal sebagai berikut :

a) Kepastian hukum menyediakan aturan hukum yang jelas serta


jernih, konsisten serta mudah diperoleh atau diakses. Aturan
hukum tersebut haruslah diterbitkan oleh kekuasaan negara dan
memiliki tiga sifat yaitu jelas, konsisten dan mudah diperoleh.
b) Beberapa instanti penguasa atau pemerintahan dapat menerapkan
aturan hukum dengan cara yang konsisten serta dapat tunduk
maupun taat kepadanya.
c) Mayoritas warga pada suatu negara memiliki prinsip untuk dapat
menyetujui muatan yang ada pada muatan isi. Oleh karena itu,
perilaku warga pun akan menyesuaikan terhadap peraturan yang
telah diterbitkan oleh pemerintah.
d) Hakim peradilan memiliki sifat yang mandiri, artinya hakim tidak
berpihak dalam menerapkan aturan hukum secara konsisten ketika
hakim tersebut dapat menyelesaikan hukum.
e) Keputusan dari peradilan dapat secara konkrit dilaksanakan.

49
Ibid
35

Menurut Jan M. Otto kelima syarat dalam kepastian hukum tersebut

menunjukan, bahwa kepastian hukum dapat dicapai, apabila substansi

hukum sesuai dengan kebutuhan yang ada pada masyarakat. Jan M.

Otto pun menjelaskan aturan hukum yang mampu menciptakan

kepastian hukum ialah hukum yang lahir melalui dan dapat

mencerminkan budaya yang ada di masyarakat. Teori kepastian hukum

yang dikemukakan oleh Jan M. Otto dapat disebut sebagai kepastian

hukum yang sebenarnya atau realistic legal certainly, artinya kepastian

hukum tersebut dapat mensyaratkan bahwa ada keharmonisan yang

hadir di antara negara dengan rakyat yang memiliki orientasi serta

memahami sistem hukum negara tersebut. Menurut pendapat dari Jan

Michiel Otto, kepastian hukum yang sesungguhnya dapat lebih

berdimensi yuridis. Akan tetapi, terbatas pada lima situasi yang telah

dijelaskan di atas. Jan M. Otto pun berpendapat, bahwa hukum

haruslah ditegakan oleh instansi penegak hukum yang memiliki tugas

untuk dapat menjamin kepastian hukum itu sendiri, demi tegaknya

ketertiban maupun keadilan yang hadir dalam hidup masyarakat.

3) Menurut Sudikno Mertokusumo,50 berbeda pendapat dengan Gustav

Radbruch yang mengungkapkan bahwa kepastian hukum adalah salah

satu dari tujuan hukum, Sudikno Mertokusumo mengungkapkan

bahwa kepastian hukum adalah sebuah jaminan agar hukum dapat

berjalan dengan semestinya, artinya dengan kepastian hukum individu

50
Ibid
36

yang memiliki hak adalah yang telah mendapatkan putusan dari

keputusan hukum itu sendiri. Sudikno pun menjelaskan, bahwa

meskipun kepastian hukum berkaitan erat dengan keadilan akan tetapi

hukum serta keadilan itu sendiri adalah dua hal yang berbeda. Hukum

memiliki sifat-sifat berupa umum, mengikat setiap individu,

menyamaratakan, sedangkan keadilan sendiri memiliki sifat yang

berbeda yaitu subyektif, individualistis serta tidak menyamaratakan.

Dari sifat yang ada pada hukum dan keadilan itu sendiri, dapat dilihat

dengan jelas bahwa keadilan dan hukum adalah hal yang berbeda

Sehingga, kepastian hukum merupakan pelaksanaan hukum yang

sesuai dengan bunyinya. Sehingga, masyarakat pun dapat memastikan

bahwa hukum yang ada dan tercantum dapat dilaksanakan. Dalam

memahami nilai-nilai dari kepastian hukum, maka ada hal yang harus

diperhatikan yaitu, bahwa nilai tersebut memiliki relasi yang erat

dengan instrumen hukum positif serta peranan negara dalam

melakukan aktualisasi pada hukum positif tersebut.

4) Menurut Nusrhasan Ismail51 berpendapat bahwa penciptaan dalam

kepastian hukum dalam peraturan perundang-undangan memerlukan

beberapa persyaratan yang berhubungan dengan struktur internal

dalam norma hukum itu sendiri. Persyaratan internal yang dimaksud

oleh Nusrhasan Ismail ialah sebagai berikut :

51
Ibid
37

a) Adanya kejelasan konsep yang digunakan. Norma hukum tersebut

berisi mengenai deskripsi dari perilaku tertentu yang kemudian

dijadikan menjadi satu ke dalam konsep-konsep tertentu pula.

b) Hadirnya kejelasan hirarki yang dinilai penting, karena

menyangkut sah atau tidak sahnya. Serta mengikat atau tidak

mengikatnya dalam suatu peraturan perundang-undangan yang

dibuat. Kejelasan hirarki tersebut, dapat memberikan arahan

sebagai bentuk dari hukum yang memiliki kewenangan untuk

dapat membentuk suatu peraturan dari perundang-undangan

tertentu.

c) Adanya konsistenti pada norma hukum perundang-undanga.

Maksudnya, ketentuan yang ada pada sejumlah peraturan undang-

undang tersebut memiliki kaitan dengan satu subyek tertentu dan

tidak saling bertentangan dengan satu dan yang lainnya.

5) Menurut Lon Fuller 52


, melalui buku Lon Fuller berjudul “The

Morality of Law” ia menjelaskan bahwa ada delapan asas yang harus

dipenuhi oleh hukum. Apabila delapan asas tersebut tidak terpenuh,

maka hukum yang hadir akan gagal untuk kemudian dapat disebut

sebagai hukum, atau dapat dikatakan bahwa dalam hukum harus ada

kepastian hukum. Dari penjelasan Lon Fuller, dapat disimpulkan

bahwa kepastian hukum yang ia kemukakan memiliki pengertian dan

tujuan yang sama seperti yang dikemukakan oleh Sudikno

52
Ibid
38

Mertokusumo. Bahwa kepastian hukum adalah jaminan agar hukum

yang ada dapat berjalan dengan semestinya.

Lon Fuller pun menjelaskan kedelapan asas yang harus dipenuhi oleh

hukum, yaitu sebagai berikut :

a) Sistem yang dibuat oleh pihak berwenang dan berwibawa haruslah

terdiri dari peraturan yang tidak berdasarkan pada putusan sesaat

balaka untuk hal-hal tertentu.

b) Peraturan yang ditetapkan oleh pihak berwenang dan berwibawa

harus diumumkan kepada publik.

c) Peraturan yang ditetapkan tidak berlaku surut, karena dapat

merusak integritas suatu sistem.

d) Peraturan tersebut dibuat dalam sebuah rumusan yang dapat

dimengerti oleh masyarakat umum.

e) Peraturan satu dan lainnya tidak boleh ada yang saling

bertentangan.

f) Suatu peraturan yang telah ditetapkan tidak boleh menuntut suatu

tindakan yang kiranya melebihi apa yang dapat dilakukan.

g) Peraturan yang telah ditetapkan tidak boleh terlalu sering diubah-

ubah.

h) Peraturan-peraturan yang telah ditetapkan, harus memiliki

kesesuaian antara peraturan serta dalam hal pelaksanaan dalam

kehidupan sehari-hari.
39

Dari kedelapan asas yang dikemukakan oleh Lon Fuller, dapat

disimpulkan bahwa harus ada kepastian di antara peraturan serta

pelaksaan hukum tersebut, dengan begitu hukum positif dapat

dijalankan apabila telah memasuki ke ranah perilaku, aksi, serta faktor

yang dapat memengaruhi bagaimana hukum itu berjalan.

6) Menurut Apeldoorn53, kepastian hukum memiliki dua segi yang harus

dipahami, segi yang pertama adalah mengenai bepaalbaarheid atau

dapat dibentuknya hukum melalui beberapa hal yang sifatnya adalah

konkret. Artinya, pihak yang mencari keadilan dapat mengetahui

bahwa hukum dalam hal khusus sebelum memulai suatu perkara.

Semenatara segi kedua, kepastian hukum memiliki arti kemanan

hukum. Apeldoorn mengemukakan bahwa kepastian hukum

merupakan suatu perlindungan bagi beberapa pihak terhadap

kesewenangan seorang hakim.

Melalui paradigma positivisme, Apeldoorn pun mengemukakan bahwa

definisi hukum haruslah melarang seluruh aturan yang ada dan mirip

menyerupai hukum, akan tetapi tidak memiliki sifat untuk memerintah

atau perintah yang berasal dari otoritas yang memiliki kedaulatan.

Kepastian hukum menurut Apeldoorn haruslah dijunjung dengan

tinggi, apapun akibatnya serta tidak ada alasan apapun untuk tidak

menjunjung tinggi kepastian hukum karena sesuai dengan

53
Ibid
40

paradigmanya, hukum positif dalam kepastian hukum adalah satu-

satunya hukum.

pemerintah yang berwenang.

4. Konsep Penegakan Hukum

Pengertian penegakan hukum dapat ditinjau dari sudut obyeknya, yaitu

dari segi hukumnya, dalam hal ini pengertiannya juga mencakup makna yang

luas dan sempit. Penegakan hukum dalam arti luas mencakup nilai-nilai

keadilan yang terkandung di dalam aturan formal maupun nilai-nilai keadilan

yang hidup di masyarakat. Penegakan hukum dalam arti sempit hanya

menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Pembedaan

antara aturan formal hukum yang tertulis dengan cakupan nilai keadilan yang

dikandungnya juga muncul dalam bahasa inggris, yaitu dengan

dikembangkannya istilah “the rule of law” atau dalam istilah “the rule of law

and not of a man” versus istilah “the rule by law” yang berarti “the rule of

man by law” . Istilah “the rule of law” mengandung makna pemerintahan

oleh hukum, tetapi bukan dalam arti formal, melainkan mencakup pula nilai-

nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Istilah “the rule of law and not of

man”, dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada hakikatnya pemerintahan

suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh orang.

Istilah sebaliknya adalah “the rule by law” yang dimaksudkan sebagai

pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat

kekuasaan belaka.
41

Penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide

keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan. Jadi

penegakan hukum pada hakikatnya adalah proses perwujudan ide-ide.

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya tegaknya atau

berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman pelaku

dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan

bermasyarakat dan bernegara. Dalam hal ini, penegakan hukum yang baik

telah mengacu kepada prinsip demokrasi, legitimasi, akuntabilitas,

perlindungan hak asasi manusia, kebebasan, transparansi, pembagian

kekuasaan dan kontrol masyarakat. Penegakan hukum diartikan dalam 3

konsep, sebagai berikut :54

1. Konsep penegakan hukum bersifat total (total enforcement concept),


konsep ini menuntut untuk semua nilai yang ada di belakang norma
hukum agar ditegakkan tanpa terkecuali.
2. Konsep penegakan hukum yang bersifat penuh (full enforcement concept),
konsep ini menyadari bahwa konsep total harus dibatasi dengan hukum
acara dan demi melindungi kepentingan individual.
3. Konsep penegakan hukum aktual (actual enforcement concept), konsep ini
muncul setelah yakin bahwa ada diskresi dalam penegakan hukum karena
keterbatasan yang berkaitan dengan sarana prasaran, kualitas sumber daya
manusia, kualitas perundang-undangan dan kurangnya peran masyarakat.

Joseph Goldstein55 membedakan penegakan hukum pidana menjadi 3 bagian

yaitu:

54
Siswanto Sunarso, 2012, Victimologi Dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta Timur, Sinar Grafika,
hl. 88
55
Dellyana,Shant.1988,Konsep Penegakan Hukum. Yogyakarta: Liberty hal 32
42

1. Total enforcement, yakni ruang lingkup penegakan hukum pidana

sebagaimana yang dirumuskan oleh hukum pidana substantif ( subtantive

law of crime ). Penegakan hukum pidana secara total ini tidak mungkin

dilakukan sebab para penegak hukum dibatasi secara ketat oleh hukum

acara pidana yang antara lain mencakup aturanaturan penangkapan,

penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan pendahuluan.

Disamping itu mungkin terjadi hukum pidana substantif sendiri

memberikan batasan-batasan. Misalnya dibutuhkan aduan terlebih dahulu

sebagai syarat penuntutan pada delik-delik aduan ( klacht delicten ).

Ruang lingkup yang dibatasi ini disebut sebagai area of no enforcement.

2. Full enforcement , setelah ruang lingkup penegakan hukum pidana yang

bersifat total tersebut dikurangi area of no enforcement dalam

penegakan hukum ini para penegak hukum diharapkan penegakan hukum

secara maksimal.

3. Actual enforcement, menurut Joseph Goldstein full enforcement ini

dianggap not a realistic expectation, sebab adanya

keterbatasanketerbatasan dalam bentuk waktu, personil, alat-alat

investigasi, dana dan sebagainya, yang kesemuanya mengakibatkan

keharusan dilakukannya discretion dan sisanya inilah yang disebut

dengan actual enforcement

Sebagai suatu proses yang bersifat sistemik, maka penegakan hukum

pidana menampakkan diri sebagai penerapan hukum pidana ( criminal law


43

application) yang melibatkan pelbagai sub sistem struktural berupa aparat

kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan. Termasuk didalamnya

tentu saja lembaga penasehat hukum. Dalam hal ini penerapan hukum

haruslah dipandang dari 3 dimensi:

1. penerapan hukum dipandang sebagai sistem normatif ( normative system )

yaitu penerapan keseluruhan aturan hukum yang menggambarkan nilai-

nilai sosial yang didukung oleh sanksi pidana.

2. penerapan hukum dipandang sebagai sistem administratif (administrative

system) yang mencakup interaksi antara pelbagai aparatur penegak hukum

yang merupakan sub sistem peradilan diatas.

3. penerapan hukum pidana merupakan sistem sosial (social system), dalam

arti bahwa dalam mendefinisikan tindak pidana harus pula diperhitungkan

berbagai perspektif pemikiran yang ada dalam lapisan masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai