Anda di halaman 1dari 4

Urgensi Takhrij Hadis

Bagi seorang ahli hadis, mengetahui takhrij al-Hadis sangatlah krusial. Tanpa melakukan
takhrij terlebih dahulu, sulit untuk mengetahui asal-usul riwayat hadis yang akan diteliti,
riwayat-riwayat yang telah meriwayatkan hadis tersebut, dan apakah ada atau tidak koroborasi
(Syahid atau Mutabi‟) dalam sanad hadis yang sedang diteliti. Oleh karena itu, ada beberapa
faktor yang membuat kegiatan takhrij al-hadis menjadi penting, diantaranya: 1

1. Mengetahui asal usul Riwayat hadis yang akan diteliti


Memahami asal usul riwayat hadis yang akan dijadikan objek penelitian merupakan hal
penting. Tanpa pengetahuan mengenai asal usulnya, sulit untuk menentukan status dan
kualitas hadis tersebut. Selain itu, susunan sanad dan matan hadis yang bersangkutan juga sulit
untuk diteliti secara mendetail. Oleh karena itu, sebelum melakukan penelitian, perlu dilakukan
takhrij hadis untuk mengetahui sumber asli hadis tersebut. Dengan cara ini, dapat dilacak
susunan sanad dan matan hadis dalam kitab sumber yang akan menjadi dasar penelitian.

2. Mengetahui seluruh rawi


Mungkin terdapat lebih dari satu sanad pada hadis yang akan diselidiki. Ada kemungkinan
bahwa salah satu sanad hadis tersebut memiliki kualitas yang lemah, sementara yang lainnya
memiliki kualitas yang kuat. Untuk dapat membedakan antara sanad yang lemah dan yang kuat,
maka harus diketahui semua riwayat hadis yang terkait. Untuk mengetahui semua riwayat hadis
yang akan diselidiki, maka perlu dilakukan kegiatan takhrij al-hadis.

3. Mengetahui Syahid dan Mutabi’ dalam sanad


Sahabat Nabi disebut sebagai syahid apabila mendukung sanad hadis pada tingkat pertama,
sedangkan jika dukungan terletak pada tingkat bukan Sahabat Nabi, tetapi disebut sebagai
mutabi'.2
Oleh karena itu, dalam penelitian sanad, dukungan dari Sahabat Nabi atau mutabi' dapat
memperkuat sanad yang sedang diteliti. Untuk mengetahui apakah suatu sanad memiliki
dukungan dari Sahabat Nabi atau mutabi', seluruh sanad hadis harus dikemukakan melalui
takhrij al-hadis. Tanpa melakukan takhrij al-hadis terlebih dahulu, tidak mungkin mengetahui
secara pasti seluruh sanad untuk hadis yang sedang diteliti.

4. Untuk menentukan kualitas suatu hadis


Ibnu Hajar al-Asqolani menjelaskan bahwa khabar yang tidak Mutawatir dapat dipakai
sebagai dasar hukum apabila memenuhi kriteria tertentu. 3 Kriteria tertentu yang telah
ditetapkan oleh para pakar hadis ialah adanya kesahihan sanad dan matan hadis, yakni segala
syarat atau kriteria yang harus dipenuhi oleh sesuatu sanad dan matan hadis yang berkualitas
sahih.4

1
Askolan Lubis, “Urgensi Metodologi Takhrij Hadis Dalam Studi Keislaman”
2
Subhi al-Salih, Ulum al Hadis wa Mustalahuhu (Beirut: Dar al-Ilmi li al-Malayin 1977) hal 241
3
Al-Asqolani, Ibn Hajar, Nuzhat al-Nazar: Syarh Matan Nukhbat al-Fikar (Bukittinggi, Port de Coek: al-Islamiyah
1938) hal 11
4
Al-Adlibi, Salah al-Din, Manhaj Naqd al-Matan ‘Inda Ulama’ al-Hadis al-Nabawi (Beirut: Dar al-Afaq 1983) hal 10
Adapun syarat atau kriteria hadis yang berkualitas sahih adalah:”Bersambung sanadnya,
diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dabit sampai pada akhir sanad, dan tidak syaz dan ber-
illat.5
Menurut kriteria di atas, penelitian sebuah hadis harus melalui tahap-tahap seperti berikut:
1. Meneliti keadaan para rawi hadis untuk menetapkan keadilan dan kedabitannya,
2. Meneliti sanad atau hubungan antara perawi hadis, sehingga dapat dipastikan adanya
kesinambungan sanad hadis.

Manfaat Takhrij Hadis

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, akhir tujuan dari takhrij hadis adalah untuk
mengidentifikasi dan menetapkan kualitas sanad hadis. Penetapan kualitas ini akan
memengaruhi status dan posisi hadis tersebut. Apakah dapat dijadikan sebagai bukti atau tidak,
dan apakah dapat diamalkan atau tidak. Selama proses takhrij, kita akan memperoleh banyak
manfaat yang sangat membantu dalam mengevaluasi sebuah hadis. Berikut adalah beberapa
manfaat yang dapat diperoleh lewat takhrij hadis:6

a) Diketahui letak hadis yang dipelajari pada sumber-sumber primer


b) Ditetapkan apakah asosiasi kata atau tindakan yang disebutkan sebagai sebuah hadis
benar-benar merupakan sebuah hadis atau tidak
c) Dinilai kualitas hadis
d) Dengan membandingkan riwayat-riwayat yang ada, dapat diketahui arti kata yang tidak
umum atau asing, latar belakang terjadinya hadis (asbab wurud), kondisi para perawi
hadis, kemungkinan hadis direvisi atau merevisi hadis lain (nasikh wa mansukh),
menghilangkan keputusan dalam sanad (inqitha’), meningkatkan kualitas sanad dengan
dukungan dari sanad lain, mengidentifikasi dan mengetahui identitas dan kualitas
perawi yang tidak jelas, menghilangkan akibat dari tadlis, mengidentifikasi dan
mengetahui adanya penambahan sanad dari perawi (mudraj dan ziyadah al-tsiqat),
mendapatkan matan secara lengkap dan utuh dari hadis yang diringkas,
mengidentifikasi dan mengetahui mana matan yang disusun secara redaksional dan
mana yang secara substantif, mendapatkan informasi tambahan tentang tempat dan
waktu terjadinya hadis.

Prinsip-prinsip Dasar Takhrij Hadis

Dalam melakukan penelitian hadis, kita harus memperhatikan beberapa prinsip dasar,
yaitu:7

1. Takhrij harus dilakukan secara mandiri (istiqlal)

5
Subhi al-Salih, Ulum al Hadis wa Mustalahuhu (Beirut: Dar al-Ilmi li al-Malayin 1977) hal 145
6
Andi Rahman, “Pengenalan Atas Takhrij Hadis”.Jurnal Studi Hadis. Vol, 2 No, 1 (2016). 161.
7
Andi Rahman, “Pengenalan Atas Takhrij Hadis”.Jurnal Studi Hadis. Vol, 2 No, 1 (2016). 160-161
Yang berarti penelitian dilakukan pada satu sanad periwayatan, dan nilai diberikan pada
sanad yang diteliti tanpa harus memeriksa seluruh sanad yang ada. 8

2. Sebanyak mungkin informasi terkait hadis yang diteliti harus disajikan


Misalnya, penilaian ulama mengenai kualitas hadis, keterhubungan sanadnya (atau
keterputusan/inqitha’nya), sanad lain yang menguatkan atau justru yang bertentangan dengan
hadis yang diteliti, penyebab kelemahan hadis.

3. Sebuah hadis seringkali diriwayatkan oleh lebih dari satu sahabat


Ketika seseorang melakukan penelitian hadis dengan ketentuan bahwa hadis tersebut
diriwayatkan oleh sahabat tertentu, seperti Abu Hurairah, maka hadis yang diteliti harus
memiliki sahabat itu dalam silsilahnya (yaitu Abu Hurairah). Sementara sanad lain yang
bermuara kepada sahabat lain, digunakan sebagai saksi dan diperiksa. Sementara jika perawi
sahabatnya tidak ditentukan, maka kita dapat memilih dan menentukan hadis mana saja yang
akan diteliti.

4. Dalam melakukan takhrij hadis perlu diperhatikan substansi dari matan hadis
Variasi redaksional matan (jika terdapat lebih dari satu riwayat), kajian atas sanad berupa
biografi beserta kualitas para perawi, kajian atas kata-kata yang unik dan tidak biasa (gharib al-
lafazh), penelusuran waktu dan tempat terhadap masing-masing perawi sebagai alat bantu
untuk menghubungkan (ittishal) sanad, dan keunikan sughah al-ada' atau ungkapan masing-
masing perawi dalam sanad ketika meriwayatkan hadis.

5. Takhrij hadis dilakukan berdasarkan substansi dari matan hadisnya


Dalam arti kita mungkin akan menemukan beberapa sanad hadis yang substansi maknanya
sesuai dengan yang kita kaji, sementara redaksional matannya berbeda, atau sebagian ada yang
matannya diringkas. Al-Zayla'i mengatakan, "Tugas muhaddits adalah mencari asal hadis
dengan melihat siapa yang meriwayatkannya (mukharrijnya). Dan tidak masalah jika ada
perbedaan redaksional, atau penambahan matan (matan dipaparkan secara utuh dan lengkap)
atau pengurangan matan (ada peringkasan matan)...". 9 Al-Iraqi berkata, "Sekiranya aku
menyebutkan hadis beserta mukharrijnya, maka aku tidak bermaksud ketepatan redaksional
matannya. Terkadang aku menyebutnya (matannya) secara tepat, dan terkadang ada
perbedaan (redaksional) sesuai dengan prinsip yang berlaku dalam penulisan mustakhraj". Al-
Sakhawi juga menyatakan hal yang sama.10

6. Evaluasi dilakukan pada suatu riwayat untuk memberikan penilaian terhadap


keabsahannya
Hasil evaluasi dapat menyatakan bahwa "sanad hadis ini shahih" atau "sanad hadis ini da'if".
Namun, untuk memberikan penilaian yang akurat, diperlukan kajian lanjutan untuk mengetahui
apakah ada riwayat lain yang bertentangan atau fakta yang kuat (seperti aksioma, data sejarah
8
Al-Muhdi, A. (n.d.), Thuruq Takhrîj Hadîts Rasûlillâh (Kairo: Dâr al-I’tisâm) hal 3
9
Al-Zayla’î, ’Abdullâh bin Yûsuf, Nashb al-Râyah Fî Takhrîj Ahâdîts alHidâyah (Mesir: Dâr al-Hadîts 1357) hal 434
10
Al-Muhdi, A. (n.d.), Thuruq Takhrîj Hadîts Rasûlillâh (Kairo: Dâr al-I’tisâm) hal 21-22
yang tak terbantahkan, dan logika/nalar akal) yang menyatakan hal yang berbeda. Sehingga,
ungkapan "hadis ini shahih" hanya dapat dinyatakan oleh pakar hadis yang memiliki
kompetensi yang tinggi.11

7. Penilaian terhadap seorang perawi merupakan ijtihad yang didasarkan pada data
biografi yang tersebar dalam literatur biografi perawi (tarajum al-ruwat)
Di sini, perbedaan pendapat di kalangan ulama seputar kualitas seorang perawi merupakan
hal yang wajar. Penggunaan kaedah jarh wa ta'dil dengan proporsional dapat membantu kita
dalam menentukan kualitas seorang perawi.

8. Standar masing-masing ulama jarh wa ta'dil dalam menilai seorang perawi berbeda
Sehingga perlu menelusuri lebih jauh ketika terjadi perbedaan pendapat terkait kualitas
seorang perawi. Seseorang mungkin dinilai dha'if oleh seorang ulama yang memiliki standar
tinggi, sementara bagi yang lain ia dinilai tsiqah. Dengan melakukan kajian lanjutan, kita dapat
mengetahui alasan seseorang didha'ifkan dan kemudian mengevaluasi apakah alasan tersebut
tepat atau tidak.

11
al-Thahhan, M., Ushul al-Takhrij wa Dirasah al-Asanid (Beirut: Dar al-Quran al-Karim 1979) hal 156-157

Anda mungkin juga menyukai