Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN KASUS

ANALGESIA PADA PEDIATRI

Oleh:
I Gusti Ngurah Ananta Dwi Vedanta 2102612100
Kadek Prastiti Surya Pratiwi 2102612103

Pembimbing:

dr. I Gusti Putu Sukrana Sidemen, Sp.An., KAR

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


DEPARTEMEN/KSM ILMU ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
RSUP SANGLAH

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat rahmat-Nya, maka laporan kasus dengan topik “COX-Inhibitor dalam
Manajemen Nyeri” ini dapat selesai pada waktunya.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-
pihak yang telah membantu dalam penyelesaian Laporan Kasus ini dalam rangka
mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di bagian Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar:

1. Dr. dr. I Made Gede Widnyana, Sp.An, M.Kes, KAR selaku Kepala
Departemen/KSM Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar
2. dr. I Gusti Putu Sukrana Sidemen, Sp.An., KAR selaku pembimbing
atas bimbingan, kritik, dan saran selama pembuatan laporan kasus ini.
3. Dr. dr. I Gusti Agung Gede Utara Hartawan, Sp.An, MARS, SH selaku
Koordinator Pendidikan Departemen/KSM yang telah memberikan saya
kesempatan untuk belajar di bagian ini.
4. Dokter-dokter residen yang juga turut membimbing dalam
pembelajaran mengenai laporan kasus ini.
5. Seluruh pihak yang membantu penulis dalam penyusunan laporan kasus
ini.

Penulis menyadari laporan ini masih jauh dari sempurna dan banyak
kekurangan, sehingga saran dan kritik pembaca yang bersifat membangun sangat
penulis harapkan untuk kesempurnaan tinjauan pustaka ini. Semoga tulisan ini
dapat bermanfaat bagi pembaca.

Denpasar, 12 Juli 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i


KATA PENGANTAR.................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1
BAB II LAPORAN KASUS .......................................................................... 3
2.1 Identitas .............................................................................................. 3
2.2 Anamnesis ........................................................................................... 3
2.3 Pemeriksaan Fisik ............................................................................... 4
2.4 Pemeriksaan Penunjang ....................................................................... 4
2.5 Permasalahan dan Kesimpulan ........................................................... 5
2.6 Persiapan Pra Anestesi ........................................................................ 5
2.7 Manajemen Operasi ............................................................................ 5
BAB III PEMBAHASAN .............................................................................. 7
BAB IV KESIMPULAN ............................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 22

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1 Perbedaan Fisiologis Anatomis dan Farmakologis Pada Anak.............. 8


Gambar 3.2 Proses Perjalanan Nyeri.....................................................................12
Gambar 3.3 Wong-Baker Faces Pain Rating Scale................................................16
Gambar 3.4 VAS (Visual Analogue Scale).............................................................17
Gambar 3.5 NRS (Numeric Rating Scale)..............................................................17
Gambar 3.6 WFSA Analgesic Ladder ...................................................................18
Gambar 3.7 WHO Three Step Analgesic Ladder ...................................................20

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Alat Ukur Nyeri Pediatri ........................................................................13


Tabel 3.2 CHEOPS...............................................................................................14
Tabel 3.3 FLACC.................................................................................................15
Tabel 3.4 Pedoman Dosis Analgesia pada Pasien Pediatri ......................................19

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Menurut International Association for the Study of Pain (IASP), nyeri
didefinisikan sebagai pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan terkait dengan, atau menyerupai yang terkait dengan, kerusakan
jaringan aktual atau potensial. Insiden nyeri sering terjadi pada neonatus, bayi, dan
anak-anak, dengan perkiraan 33-82% pasien anak yang dirawat di rumah sakit
mengalami nyeri sedang hingga berat, terutama setelah operasi atau prosedur nyeri
lainnya.1 Pencegahan nyeri pada bayi seharusnya menjadi tujuan utama bagi tenaga
medis, karena seringnya terpapar oleh nyeri yang berulang atau terus-menerus akan
berpotensi mengakibatkan kerusakan yang serius. Kerusakan yang terjadi termasuk
adanya perubahan sensitivitas nyeri (akan berakhir pada masa remaja), kerusakan
saraf yang permanen, keabnormalan pada perilaku, ketidakmampuan
pembelajaran.2
Masalah nyeri pada bayi merupakan masalah yang kompleks sehingga
pengkajian nyeri pada bayi berbeda dengan pengkajian nyeri pada orang dewasa.
Pengkajian nyeri pada bayi sering sulit dilakukan karena mereka tidak mampu
mengutarakan rasa nyeri dengan kata-kata, sehingga tenaga medis harus memiliki
keterampilan yang spesifik khususnya dalam mengkaji nyeri pada bayi. Hal tersebut
dapat berdampak pada proses pengkajian nyeri pada bayi sehingga tentu berakibat
pemberian manajemen nyeri tidak efektif dan menimbulkan dampak negatif berupa
peningkatan intensitas, frekuensi, durasi nyeri atau derajat terkait kerusakan pada
tubuh anak-anak.3 Nyeri juga dapat menstimulasi gejala aspek fisiologis berupa
tanda-tanda vital, seperti tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi pernapasan, dan
suhu.4,5
Pengetahuan tenaga kesehatan tentang penilaian nyeri dan intervensi sangat
penting untuk manajemen nyeri yang efektif dan berkualitas dalam perawatan
pasien.6 Pada bayi nyeri dapat diekspresikan melalui menangis atau isyarat
perilaku.7 Pada umumnya bayi dapat mengekspresikan rasa nyeri dengan perubahan
perilaku seperti perubahan ekspresi wajah, menangis, dan posisi postural tertentu

1
2

seperti menggeliat, menyentak, dan menggapai-gapai.2 Berbagai teknik pendekatan


atau alat ukur yang paling sering digunakan untuk mengukur respon nyeri pada
pasien pediatri adalah CHEOPS, FLACC, Wong-Baker Faces Pain Rating Scale,
VAS, NRS .8
Saat mengobati nyeri pada bayi, penting untuk dipahami bahwa meskipun
sebagian besar sistem organ utama secara anatomis berkembang dengan baik saat
lahir, kematangan fungsionalnya sering tertunda. Dosis obat yang digunakan dalam
manajemen nyeri pada anak harus disesuaikan karena organ ginjal dan hati yang
memiliki fungsi untuk metabolisme obat belum sempurna. Organ-organ lainnya
yang belum matang sempurna juga harus diperhatikan dalam memberikan obat
pada pasien anak-anak. Oleh karena itu, penulis menulis laporan ini untuk
menginformasikan tentang penilaian nyeri dan manajemen nyeri pada anak-anak
sehingga nantinya dapat memberikan pengetahuan untuk menilai dan menangani
keluhan nyeri pada anak-anak.8
BAB II
KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : IKSAW
No RM : 21059629
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Umur : 10 bulan
Agama : Hindu
Status Perkawinan : Belum menikah
Alamat : Bangli, Bali
Diagnosis : Bilateral Idiopathic CTEV Post Bilateral Achilles
Tendon Lengthening
Tindakan : Bilateral Open Achilles Tendon Lengthening
MRS : 26 Juni 2022 (17.46 WITA)

2.2 Anamnesis
Keluhan utama: Nyeri perut sejak 7 bulan yang lalu
Pasien bayi datang diantar oleh keluarga dengan keluhan kaki pengkor sejak lahir.
Pasien memiliki kelainan bawaan sejak lahir tanpa ada keluhan lainnya. Saat ini
pasien tidak ada keluhan sama sekali. Riwayat makan dan minum baik. Pasien
minum susu formula dan makan bubur. Pasien adalah anak kedua dari dua
bersaudara memiliki riwayat kelahiran prematur dengan persalinan normal karena
kontraksi sebelum waktunya, BBL 2900 gram dengan panjang badan lahir 50 cm.
• Riwayat alergi obat dan makanan tidak ada
• Riwayat penyakit ibu selama kehamilan disangkal
• Riwayat penyakit bawaan disangkal
• Riwayat imunisasi (+) lengkap sesuai umur
• Riwayat operasi sebelumnya: 2021 / RS Sanglah / Bilateral ATL / GA-OTT
/ tanpa komplikasi

3
4

2.3 Pemeriksaan Fisik


• Status Generalis : Berat badan 8,2 kg, panjang badan 80 cm, BBI 9 kg, suhu
aksila 36,5 C, FLACC 0/10
• Susunan Saraf Pusat: Infant dengan ATR baik
• Respirasi: Frekuensi nafas 22 kali per menit tipa thoracoabdominal,
bronkovesikular pada kedua lapang paru, tidak ada wheezing, tidak ada
rhonki, SpO2 98% room air
• Kardiovaskuler: Nadi 116 kali per menit, bunyi jantung 1 dan 2 tunggal,
reguler, tidak ada murmur, tidak ada gallop
• Abdomen: Supel, bising usus (+) normal
• Urogenital: BAK spontan
• Muskuloskeletal : Fleksi dan defleksi leher dalam batas normal, Mallampati
sulit dievaluasi, mukosa oral basah tak tampak kebiruan, turgor kulit baik,
akral hangat, kuku-kuku tidak tampak kebiruan, CTR < 2 detik

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Darah Lengkap (22/06/2022)
• WBC : 13.98 x 103/uL (6.0-14.0)
• HGB : 12.80 g/dL (12.0-16.0)
• HCT : 38.00 % (36.0-49.0)
• PLT : 336.00 x 103/uL (140-440)
• MCV : 77.20 fL (78.0-102.0)
• MCH : 26.00 pg (25.0-35.0)
• MCHC : 33.70 g/dL (31-36)

Faal Hemostasis (22/06/2022)


• PPT : 15.0 detik (6.0-14.0)
• APTT : 27.7 detik (24-36)
• INR : 1.06 (0.9-1.1)

Foto Femur Dextra et Sinistra AP/Lateral/Oblique (22/06/2022)


Hindfoot varus dextra dan hindfoot equinus pedis bilateral
5

Swab NP/OP (224/06/2022)


Negatif SARS - CoV2

2.5 Permasalahan dan Kesimpulan


• Permasalahan Aktual:
SSP: Infant dengan ATR baik
• Permasalahan Potensial:
Hipotermia, hipoglikemia, bradikardia, desaturasi, laringospasme
• Pembedahan :
Lokasi : Pedis dextra et sinistra
Posisi : Supine
Durasi : 2-3 jam
Manipulasi :-

Kesimpulan: Status Fisik ASA II

2.6 Persiapan Pra Anestesi


Informed consent tindakan anestesi, puasa makanan padat 8 jam pre operatif,
STATICS pediatri, obat anestesi dan emergency, infus warmer, mattress warmer,
plastic wrapping, disiapkan perhitungan cairan dan dosis pada infant, EtCO2, probe
temperature sensor.

2.7 Manajemen Operasi


Rencana Anestesi : GA-OTT
Premedikasi : Midazolam 0,5 mg IV, Ketamin 5 mg IV
Analgetik : Fentanyl 25 mcg IV
Induksi : O2: Sevoflurane diberikan hingga pasien
terhipnosis
Fasilitas Intubasi : Rocuronium 5 mg IV
Dilakukan intubasi dengan dilanjutkan konfirmasi ETT, auskultasi bilateral
simetris. Setelah terkonfirmasi letak ETT dilanjutkan fiksasi ETT
6

Pemeliharaan : O2; Compressed air; Sevoflurane


Medikasi Lain :-

Pasca Operasi
FLACC Score : 3/10
Analgetik : Fentanyl 50 mcg dalam 20 ml NaCl 0.9% jam
kecepatan 0.8 cc/jam; Paracetamol drop 200 mg tiap 6 jam PO
Perawatan : Ruangan
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Anestesi Pada Pediatri


Anestesi anak melibatkan lebih dari sekadar menyesuaikan dosis obat dan
peralatan untuk pasien yang lebih kecil. Neonatus (0-1 bulan), bayi (1-12 bulan),
balita (12-24 bulan), dan anak kecil (2-12 tahun) memiliki kebutuhan anestesi yang
berbeda. Anestesi yang aman memerlukan perhatian pada karakteristik fisiologis,
anatomis, dan farmakologis dari masing-masing kelompok. Risiko umumnya
berbanding terbalik dengan usia, dan bayi berada pada risiko morbiditas dan
mortalitas anestesi yang jauh lebih besar daripada anak yang lebih tua. Selain itu,
pasien anak rentan terhadap penyakit yang memerlukan strategi bedah dan anestesi
yang unik. Adapun perubahan fisiologis, anatomis dan farmakologis dari anak-anak
akan dijelaskan pada Gambar 3.1 di bawah. 9

7
8

Gambar 3.1 Perbedaan Fisiologis. Anatomis dan Farmakologis Pada


Anak9

3.2 Pengertian Nyeri


Menurut International Association for the Study of Pain (IASP), nyeri
didefinisikan sebagai pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan terkait dengan, atau menyerupai yang terkait dengan, kerusakan
jaringan aktual atau potensial. Nyeri bersifat individual yang dipengaruhi oleh
genetik, latar belakang kultural, umur dan jenis kelamin. 10
Setiap pasien yang mengalami trauma berat (tekanan, suhu, kimia) atau pasca
pembedahan harus dilakukan manajemen nyeri, karena nyeri akan disertai dengan
respon stress, antara lain berupa meningkatnya rasa cemas, ketakutan, gangguan
tidur, denyut jantung meningkat, tekanan darah meningkat, peningkatan kortisol,
hiperglikemia, dll. Nyeri yang berlanjut atau tidak ditangani secara adekuat dapat
memicu respon stress yang berkepanjangan, yang akan menurunkan daya tahan
tubuh dengan menurunkan fungsi imun serta mempercepat kerusakan jaringan
sehingga akhirnya akan memperburuk kualitas kesehatan.10

3.3 Klasifikasi Nyeri


Berdasarkan durasinya, nyeri terbagi menjadi:
1. Nyeri Akut
Nyeri akut adalah nyeri dengan durasi sensasi nyeri pendek dan
bertahan kurang dari 2 minggu-12 minggu. Nyeri tipe ini terjadi secara tiba-
tiba dari yang awalnya tidak ada nyeri kemudian terasa nyeri. Nyeri akut
9

memiliki fungsi peringatan pada tiap individu akan adanya penyakit


maupun rangsangan yang akan membahayakan dan mengakibatkan
kerusakan jaringan. Nyeri akut dapat disebabkan oleh cedera, pembedahan,
penyakit, trauma, atau prosedur medis yang menyakitkan. Ini berfungsi
sebagai peringatan penyakit atau ancaman bagi tubuh dan biasanya
menghilang ketika penyebab yang mendasarinya telah diobati atau telah
sembuh. Namun, nyeri akut yang tidak dapat diatasi dapat berkembang
menjadi nyeri kronis yang dapat mengakibatkan waktu rawat inap di rumah
sakit menjadi lebih lama, rawat inap ulang dan peningkatan biaya. 11

2. Nyeri Kronis
Nyeri kronis bertahan lebih lama hingga tenggang waktu lebih dari 12
minggu. Nyeri kronis dapat menyebabkan perubahan pada sistem saraf
perifer dan pusat sehingga dapat menjadi penyakit tersendiri. Selain itu,
nyeri kronis memiliki fisiologis yang signifikan (misalnya, perubahan
anatomi otak), psikologis (misalnya, depresi dan kemarahan), dan efek
kognitif (misalnya, nyeri bencana) yang dapat memburuk dari waktu ke
waktu. Penyebab nyeri kronis termasuk penyakit atau kondisi medis yang
mendasari, cedera, perawatan medis, peradangan, nyeri neuropatik, dan
penyebab yang tidak diketahui. Nyeri kronis yang berkepanjangan dapat
menimbulkan berbagai perubahan yang signifikan dalam hal perilaku,
kemampuan dan gaya hidup. Keadaan nyeri dapat bertambah parah seiring
adanya stres, emosi, dan kondisi fisik. 11

Berdasarkan mekanisme terjadinya, nyeri dapat dikategorikan menjadi:


1. Nyeri Nosiseptif
Nyeri nosiseptif disebabkan oleh aktivasi serabut saraf nosiseptif
karena kerusakan jaringan. Nyeri somatik nosiseptif dapat terjadi akibat
cedera pada kulit, otot, jaringan lunak, atau tulang. Biasanya terlokalisasi
dengan baik, bisa konstan atau intermiten, dan sering digambarkan sebagai
nyeri yang berdenyut. Contohnya adalah luka bakar, fraktur, arthritis. Nyeri
viseral nosiseptif biasanya kurang terlokalisasi dengan baik, konstan, dan
10

dapat bisa menjadi nyeri alih (contohnya, nyeri diafragma dapat


dimanifestasikan sebagai nyeri bahu). Nyeri viseral sering digambarkan
dengan perasaan seperti diremas, dan kram. Contohnya adalah pankreatitis,
hepatitis, batu ginjal.12

2. Nyeri Nociplastic
Nyeri nociplastic adalah nyeri yang timbul dari perubahan maladaptive
yang mempengaruhi proses nosiseptif dan modulasi tanpa adanya bukti
objektif kerusakan jaringan atau saraf. Sebelumnya dikenal sebagai sindrom
nyeri fungsional, kondisi ini mencakup keadaan nyeri seperti fibromyalgia,
irritable bowel syndrome, dan non-specific back pain. 12

3. Nyeri Neuropati
Nyeri neuropatik didefinisikan sebagai nyeri yang disebabkan oleh
kerusakan atau penyakit yang mempengaruhi sistem saraf perifer dan/atau
sentral. Dibandingkan dengan nyeri nosiseptif, nyeri neuropatik biasanya
dikaitkan dengan kelainan sensorik, seperti mati rasa, allodynia, temuan
neurologis yang tergantung pada saraf yang terpengaruh. Deskripsi khas
untuk nyeri nosiseptif termasuk istilah seperti berdenyut, sedangkan nyeri
neuropatik umumnya dijelaskan dengan kata sifat seperti tertusuk benda
tajam, terbakar, tersengat listrik. Nyeri neuropatik juga dapat
mengakibatkan nyeri yang menjalar. 12

3.4 Fisiologi Nyeri


Mekanisme nyeri melibatkan sistem saraf dalam penyampaian informasi
terkait adanya potensi kerusakan jaringan aktual atau potensial. Nyeri dapat
berperan sebagai mekanisme pertahanan tubuh untuk bereaksi terhadap stimulus
agar terhindar dari kerusakan jaringan lebih lanjut. Stimulus nyeri akan
mengaktivasi nosiseptor atau reseptor sensoris primer nyeri pada jaringan perifer
kemudian akan melalui proses nosiseptif yang melibatkan informasi sistem saraf
perifer dan sistem saraf pusat. Proses dari nyeri terdiri dari empat proses yaitu
transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi.
11

A. Transduksi
Tranduksi adalah suatu proses dimana akhiran saraf aferen
menerjemahkan stimulus nyeri menjadi impuls impuls listrik yang akan
ditransmisikan. Ketika rangsangan termal, mekanik, atau kimia mencapai
intensitas berbahaya yang menunjukkan cedera, mereka dideteksi oleh
nociceptor, yang merupakan sub-populasi serabut saraf perifer yang
ditemukan di kulit, sendi, organ dalam, tulang, dan otot. Jaringan yang rusak
melepaskan dan menghasilkan banyak faktor pro inflamasi yang akan
mengaktifkan nociceptor di ujung saraf. Faktor-faktor ini termasuk
globulin, protein kinase, asam arakidonat, histamin, bradikinin, leukotrien.
Faktor-faktor ini akan merangsang transient receptor potential (TRP)
channel yang berfungsi untuk menginisiasi potensial reseptor, akibatnya
menginduksi potensial aksi di serabut saraf sehingga terbentuklah impuls
listrik.13,14

B. Transmisi
Transmisi adalah suatu proses dimana impuls disalurkan menuju
kornu dorsalis medula spinalis, kemudian sepanjang traktus sensorik
menuju otak yang disampaikan oleh serat saraf perifer A-delta dan C.15

C. Modulasi
Modulasi adalah proses amplifikasi sinyal neural terkait nyeri (pain
related neural signals). Proses ini terutama terjadi di kornu dorsalis medula
spinalis, dan mungkin juga terjadi di level lainnya. Serangkaian reseptor
opioid seperti mu, kappa, dan delta dapat ditemukan di kornu dorsalis.
Sistem nosiseptif juga mempunyai jalur desending berasal dari korteks
frontalis, hipotalamus, dan area otak lainnya ke otak tengah (midbrain) dan
medula oblongata, selanjutnya menuju medula spinalis. Hasil dari proses
inhibisi desendens ini adalah penguatan, atau bahkan penghambatan (blok)
sinyal nosiseptif di kornu dorsalis. 15
12

D. Persepsi
Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dari proses
tranduksi, transmisi dan modulasi yang pada akhirnya akan menghasilkan
suatu proses subjektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri, yang
diperkirakan terjadi pada thalamus dengan korteks sebagai diskriminasi dari
sensorik.16

Gambar 3.2 Proses Perjalanan Nyeri13,14

3.5 Penilaian Nyeri pada Pasien Pediatri


Pengukuran derajat nyeri sebaiknya dilakukan dengan tepat karena sangat
dipengaruhi oleh faktor subyektif seperti faktor fisiologis, psikologi, lingkungan.
Karenanya, anamnesis berdasarkan pada pelaporan mandiri pasien yang bersifat
sensitif dan konsisten sangatlah penting. Permasalahan utama dalam mengatasi
nyeri pada pasien pediatri adalah penilaian derajat nyerinya oleh karena itu
dibutuhkan cara pengukuran yang lain. Penilaian derajat nyeri yang tidak adekuat
dapat berujung pada pemberian obat analgesik yang tidak adekuat. Peningkatan
katabolisme, immunosupresi dan hemodynamic instability dapat terjadi ketika nyeri
pada pasien pediatri tidak tertangani dengan baik. 17 Terdapat beberapa alat atau
skala yang dapat digunakan dalam mengukur derajat nyeri pada pasien pediatr i,
yaitu:
13

Tabel 3.1 Alat Ukur Nyeri Pediatri18


Akronim Rentang Usia
CHEOPS 1-7 tahun
FLACC 2 bulan-7 tahun
Wong-Baker Faces Pain Rating Scale Mulai dari 3 tahun
VAS Mulai dari 5 tahun
NRS Mulai dari 8 tahun

Untuk memudahkan dalam memilih skala nyeri yang tepat dapat


dikategorikan menjadi kelompok pasien dengan usia ≥ 5 tahun dan ≤ 5 tahun. Pasien
pediatri dengan usia lebih dari 5 tahun yang memiliki kemampuan untuk
mendeskripsikan derajat dan intensitas nyeri dengan mandiri digunakan skala
seperti Wong-Baker Faces Pain Rating Scale dan yang paling sering digunakan
adalah VAS dan NRS. Pengukuran mandiri (self-report measures) adalah gold
standard dalam pengukuran derajat pada pediatri. Pemeriksaan ini membutuhkan
anak yang memiliki kemampuan linguistik dan kognitif, Sedangkan pada anak-anak
dengan usia kurang dari 5 tahun dapat menggunakan sekala perubahan tingkah laku
seperti CHEOPS dan FLACC. Perubahan tingkah laku pada anak yang mengalami
nyeri antara lain adalah perubahan suara, ekspresi wajah dan pergerakan badan.
Kesulitan yang biasanya dijumpai adalah membedakan perubahan tingkah laku
karena sebab lain (lapar, haus dan cemas) dengan perubahan tingkah laku karena
nyeri.18
a. CHEOPS (The Children’s Hospital of Eastern Ontario Pain Scale)
Untuk derajat nyeri yang lama dirasakan, seperti nyeri pasca bedah, skala
pengukuran berdasarkan tingkah laku yang digunakan antara lain CHEOPS.
Pengamatan ini terdiri dari pengamatan terhadap 6 jenis tingkah laku (menangis,
ekspresi fasial, ekspresi verbal, posisi tubuh, posisi sentuh dan posisi tungkai) pada
anak 1 – 5 tahun. Penilaian nyeri menggunakan alat ini sebaiknya dilakukan setiap
3 jam sekali, 15-20 menit setelah pemberian analgesik intravena dan 30-45 menit
setelah pemberian analgesik oral atau rektal. Skor minimal dari skala ini adalah 4
poin dan maksimal 13 poin. Skor ≥5 dipertimbangkan untuk diberikan analgesik. 18
14

Tabel 3.2 CHEOPS19


Parameter Point
Menangis Tidak menangis 1
Merengek 2
Menangis 2
Menjerit 3
Fasial Tersenyum 0
Tenang 1
Meringis 2
Verbal Positif 0
Tidak ada 1
Keluhan non nyeri 1
Keluhan nyeri 2
Keluhan nyeri dan non 2
nyeri
Sikap tubuh Netral 1
Terus menerus berubah 2
posisi
Kaku 2
Mengigil 2
Duduk tegak 2
Tidak mau berubah 2
posisi
Menyentuh bagian yang Tidak menyentuh bagian 1
nyeri yang nyeri
Meraih bagian yang nyeri 2
Menyentuh dan 2
memegang erat bagian
yang nyeri
Tangan tidak mau 2
berubah posisi
15

Tungkai bawah Netral 1


Menendang sambal 2
menjerit
Kaku dan ditarik 2
Berdiri 2
Tidak mau mengubah 2
posisi

b. FLACC (Face, Legs, Activity, Cry, and Consolability)


Skala FLACC digunakan untuk mengukur intensitas nyeri postoperative
yang dirasakan pada pasien 2 bulan hingga 7 tahun, anak dengan gangguan kognitif
pasien anak yang tidak dapat di nilai dengan skala lain. Observasi dengan skala ini
sebaiknya dilakukan selama 2-5 menit. Interpretasi dari skala ini, yaitu: 0 = santai
dan nyaman, 1-3 = nyeri ringan, 4-6 = nyeri sedang, 7-10 = nyeri berat. Skor ≥3
menunjukkan kebutuhan akan analgesik. 18,19

Tabel 3.3 FLACC19


16

c. Wong-Baker Faces Pain Rating Scale


Wong-Baker Faces Pain Rating Scale. Digunakan pada pasien dewasa dan
anak >3 tahun yang tidak dapat menggambarkan intensitas nyerinya dengan angka.
Wong-Baker Faces Pain Rating Scale mewakili serangkaian wajah dari wajah
bahagia dengan nilai 0 (yang mewakili kurangnya rasa sakit) ke wajah menangis
dengan nilai 10 (yang menunjukkan rasa sakit yang paling buruk). Dengan gambar
ini, pasien memilih wajah yang paling menggambarkan tingkat nyerinya. 18

Gambar 3.3 Wong-Baker Faces Pain Rating Scale 19

d. VAS (Visual Analogue Scale)


VAS adalah cara yang paling banyak digunakan untuk menilai nyeri. Skala
linier ini menggambarkan secara visual gradasi tingkat nyeri yang mungkin dialami
seorang pasien. Rentang nyeri diwakili sebagai garis sepanjang 10 cm, dengan atau
tanpa tanda pada tiap sentimeter. Tanda pada kedua ujung garis ini dapat berupa
angka atau pernyataan deskriptif. Ujung yang satu mewakili tidak ada nyeri,
sedangkan ujung yang lain mewakili rasa nyeri terparah yang mungkin terjadi.
Skala dapat dibuat vertikal atau horizontal. VAS juga dapat diadaptasi menjadi
skala hilangnya/reda rasa nyeri. Digunakan pada pasien anak >8 tahun dan dewasa.
Manfaat utama VAS adalah penggunaannya sangat mudah dan sederhana. Namun,
untuk periode pasca bedah, VAS tidak banyak bermanfaat karena VAS memerlukan
koordinasi visual dan motorik serta kemampuan konsentrasi. 18
17

Gambar 3.4 VAS (Visual Analogue Scale)19


s

e. NRS (Numeric Rating Scale)


Dianggap sederhana dan mudah dimengerti, sensitif terhadap dosis, jenis
kelamin, dan perbedaan etnis. Lebih baik daripada VAS terutama untuk menilai
nyeri akut. Namun, kekurangannya adalah keterbatasan pilihan kata untuk
menggambarkan rasa nyeri, tidak memungkinkan untuk membedakan tingkat nyeri
dengan lebih teliti dan dianggap terdapat jarak yang sama antar kata yang
menggambarkan efek analgesik. 18

Gambar 3.5 NRS (Numeric Rating Scale)19

3.6 Manajemen Nyeri Akut pada Pediatri


Tujuan dari manajemen nyeri pada pasien pediatric adalah menghilangkan
atau menurunkan intensitas nyeri hingga batas yang dapat ditoleransi. Hal ini
bertujuan agar anak dapat tidur atau bergerak tanpa terganggu oleh nyeri. Tata
laksana nyeri akut dapat dilaksanakan dengan antisipasi nyeri, memberikan
intervensi yang sesuai dengan teknik analgesia multimodal, edukasi keluarga dan
memastikan keterlibatan keluarga dalam tata laksana nyeri. Pencegahan dan
intervensi nyeri meliputi aspek farmakologis, fisiologis dan psikologis. Pemberian
analgetika secara berkala dan sesuai dengan panduan merupakan prinsip dari
farmakologi. Prinsip fisik meliputi kompres hangat atau dingin, pemijatan,
18

pemberian tekanan dan tirah baring. Sedangkan hal yang dapat dilakukan secara
psikologis meliputi edukasi, pengalihan perhatian dan terapi perilaku anak. 9,17
World Federation of Societies of Anaesthesiologists (WFSA) Analgesic
Ladder telah dikembangkan untuk mengobati nyeri akut. Pada awalnya, nyeri dapat
dianggap sebagai keadaan yang berat sehingga perlu dikendalikan dengan analgesik
yang kuat. Biasanya, nyeri pascaoperasi akan diberikan injeksi opioid kuat, namun
seiring berjalannya waktu nyeri akan berkurang. Anak tangga kedua adalah
pemulihan penggunaan rute oral untuk memberikan analgesia. Opioid kuat tidak
lagi diperlukan dan analgesia yang memadai dapat diperoleh dengan menggunakan
kombinasi dari obat-obat yang bekerja di perifer dan opioid lemah. Langkah
terakhir adalah ketika rasa sakit dapat dikontrol hanya dengan menggunakan obat-
obatan yang bekerja di perifer. 20

Gambar 3.6 WFSA Analgesic Ladder20

Ketamin intravena telah dievaluasi sebagai bagian dari analgesia


multimodal. Pada orang dewasa dan anak-anak, sama seperti obat lainnya
pemberian ketamin intravena dikaitkan dengan penurunan penggunaan obat nyeri
paska operasi dan menurunkan skor nyeri pasca operasi. Dalam uji coba, ketamin
dapat diberikan sebelum operasi, intraoperatif, dan/atau paska operasi, pada
berbagai dosis (mulai dari bolus 0,15-2 mg/kg sebelum insisi dan pada penutupan).
Belum ada bukti yang cukup menentukan dosis optimal untuk ketamin, akan tetapi
pedoman dari America Pain Society menyarankan menggunakan bolus sebelum
19

operasi 0,5 mg/kg diikuti dengan infus 10 µg/kg/menit secara intraoperatif, dan
paska operasi dengan atau tanpa infus dosis yang lebih rendah.20
Manajemen nyeri paska operasi pada pasien pediatri mengikuti WFSA
Analgesic Ladder. Fentanyl (1-2 mcg/kg), morfin (0,025-0,1 mg/kg). dan
hydromorphone (15 mcg/kg) merupakan contoh opioid intravena untuk nyeri
sedang hingga berat. Multimodal analgesia yang sering digunakan untuk
menurunkan dosis opioid yang digunakan adalah dengan menggabungkan
ketolorak (0,5-0,75 mg/kg) dengan dexmedetomidine intravena. Analgesia non-
opioid yang paling sering digunakan adalah asetaminofen. Asetaminofen digunakan
untuk nyeri ringan hingga sedang. Asetaminofen memiliki kelebihan seperti
harganya yang terjangkau dibandingkan analgetika lainnya dan dapat diberikan
pada pasien dengan alergi terhadap aspirin. Dosis oral asetaminofen yang lazim
digunakan adalah 10-15 mg/kg setiap 4 hingga 6 jam. 9

Tabel 3.4 Pedoman dosis analgesia pada pasien pediatri9


Obat Sediaan Dosis
Asetaminofen Rectal 40 mg/kg
PO 10-20 mg/kg
IV 16 mg
Dosis maksimal (per hari) 60 mg/kg
Ketolorak IV 0,5-0,75 mg/kg
Fentanyl Analgesia (IV) 1-2 mcg/kg
Premedikasi 10-15 mcg/kg
Dosis pemeliharaan 2-4 mcg/kg/jam
Morfin Analgesia (IV) 0,025-0,1 mg/kg
Premedikasi (IM) 0,01 mg/kg
Hydromorphone IV 15-20 mg/kg
20

3.7 Manajemen Nyeri Kronis pada Pediatri


Tatalaksana nyeri kronis mengikuti “WHO Three Step Analgesic Ladder”
yaitu9:
1. Tahap pertama dengan menggunakan abat analgetik nonopiat seperti
NSAID atau COX2 inhibitors spesifik.
2. Tahap kedua, dilakukan jika pasien masih mengeluh nyeri. Maka
diberikan obat-obat seperti pada tahap 1 ditambah opiat secara intermiten.
3. Tahap ketiga, dengan memberikan obat pada tahap 2 ditambah opiat
yang lebih kuat.
Opioid biasanya tidak diindikasikan pada nyeri kronis tanpa adanya cedera
jaringan baru pada pasien pediatri. Selain aspek farmakologis, tatalaksana nyeri
kronis pada pediatri juga sebaiknya ditambahkan dengan non farmakologis seperti
fisioterapi, pendekatan psikologis (cognitive-behavioral therapy) dan melatih anak-
anak untuk tetap hidup seperti anak pada umumnya. 21

Gambar 3.7 WHO Three Step Analgesic Ladder9


BAB IV
KESIMPULAN

Nyeri merupakan pengalaman sensorik dan emosional yang tidak


menyenangkan terkait dengan, atau menyerupai yang terkait dengan, kerusakan
jaringan aktual atau potensial. Insiden nyeri sering terjadi pada neonatus, bayi, dan
anak-anak, dengan perkiraan 33-82% pasien anak yang dirawat di rumah sakit
mengalami nyeri sedang hingga berat, terutama setelah operasi atau prosedur nyeri
lainnya. Masalah nyeri pada bayi merupakan masalah yang kompleks sehingga
pengkajian nyeri pada bayi berbeda dengan pengkajian nyeri pada orang dewasa.
Pengkajian nyeri pada bayi sering sulit dilakukan karena mereka tidak mampu
mengutarakan rasa nyeri dengan kata-kata, Berbagai teknik pendekatan atau alat
ukur yang paling sering digunakan untuk mengukur respon nyeri pada pasien
pediatri adalah CHEOPS, FLACC, Wong-Baker Faces Pain Rating Scale, VAS,
NRS.
Saat mengobati nyeri pada bayi, penting untuk dipahami bahwa meskipun
sebagian besar sistem organ utama secara anatomis berkembang dengan baik saat
lahir, kematangan fungsionalnya sering tertunda. Dosis obat yang digunakan dalam
manajemen nyeri pada anak harus disesuaikan karena organ ginjal dan hati yang
memiliki fungsi untuk metabolisme obat belum sempurna. Nyeri akut
menggunakan pedoman WFSA Analgesic Ladder yang sering digunakan untuk
opioid adalah morfin, fentanyl, dan hydromorphone. NSAID yang sering digunakan
adalah ketolorac. Penggunaan asetaminofen juga sering digunakan. Sedangkan
pada nyeri kronis menggunakan pedoman WHO Three Step Analgesic Ladder
ditambahkan dengan non farmakologis seperti fisioterapi, pendekatan psikologis
(cognitive-behavioral therapy) dan melatih anak-anak untuk tetap hidup seperti
anak pada umumnya.

21
22

DAFTAR PUSTAKA

1. O’Donnell, Frederick T, and Kathleen RR. Pediatric Pain Management: A


Review. Missouri medicine. 2014;111(3): 231.
2. Kemper, Kathi J, Sunita V, and Richard W. American Academy of Pediatrics.
The Use of Complementary and Alternative Medicine in Pediatrics. Pediatrics.
2008;122(6): 1374-1386.
3. Truba, Natalie, and John D. Pediatric Pain. Journal of Pain Management. 2014;
7(3):235.
4. Abd El, Sahar ME, and Lamiaa AE. Effect of Interactive Distraction Versus
Cutaneous Stimulation for Venipuncture Pain Relief in School Age Children.
Journal of Nursing Education and Practice. 2015;5(4): 32.
5. Karakaya, Ayfer, and Duygu G. The Effect of Distraction on Pain Level Felt by
School-age Children During Venipuncture Procedure—Randomized Controlled
Trial. Pain Management Nursing. 2016;17(1):47-53.
6. Patricia, J. Management Nyeri: Penilaian Pengetahuan Perawat Bedah. Medsurg
Keperawatan. FindArticles.com. 29 April 2011.
7. Wong, DL. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC. 2004;4.
8. Wilson, David, and Marilyn JH. Wong's Clinical Manual of Pediatric Nursing.
Elsevier Health Sciences, 2014.
9. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Morgan & Mikhail’s Clinical
Anesthesiology 6th ed. McGraw-Hill Education. 2018.
10. Raja, Srinivasa N., et al. The Revised IASP Definition of Pain: Concepts,
Challenges, and Compromises. Pain. 2020;161(9).
11. National Academies of Sciences, Engineering, and Medicine. Framing Opioid
Prescribing Guidelines for Acute Pain: Developing the Evidence. 2020
12. Cohen, Steven P., Lene Vase, and William M. Hooten. Chronic Pain: An Update
on Burden, Best Practices, and New Advances. The Lancet. 2021;397:2082-
2097.
13. Chen, Jiatong Steven, et al. Physiology, Pain. StatPearls [Internet]. StatPearls
Publishing, 2021.

22
23

14. Lee, Greg I, Michael W. Pain: Pathways and Physiology. Clinics in plastic
surgery. 2020;47(2):173-180.
15. Permatasari, Devi SI, Heru DJ. Hubungan Pemberian Lidocain Intravena 1,5
Mg/Kg/Jam Terhadap Peribahan Tekanan Darah Pasca Laparotomi. Diponegoro
University. 2013.
16. Bahdurdin, Mochamad. Patofisiologi Nyeri (Pain). Saintika Medika. 2017;13(1):
7-13.
17. Rehatta NM, Hanindito E, Tantri AR, Redjeki IS, Soenarto RF, Bisri DY, et al.
Anestesiologi dan Terapi Intensif: Buku Teks Kati-Perdatin. Gramedia Pustaka
Utama; 2019.
18. Zielinski J, Monika MK, Tomasz Z. Pain Assessment and Management in
Chlidren in The Postoperative Period: A Review of The Most Commonly Used
Postoperative Pain Assessment Tools, New Diagnostic Methods and The Latest
Guidelines for Postoperative Pain Therapy in Children. Adv Clin Exp Med.
2020;29(3):365-374.
19. Aryasa T, Mardana IKRP. Penilaian Nyeri. Universitas Udayana, RSUP
Sanglah. 2017
20. Chous R, Gordon DB, Leon-Casasola OA, dkk. Guideline on the Management
of Postoperative Pain. American Pain Society-The Journal of pain. 2016;17(2).
21. Friedrichsdorf, Stefan, Goubert, Liesbetd. Pediatric Pain Treatment and
Prevention for Hospitalized Children. Pain Report. 2020;5(1):804.

22

Anda mungkin juga menyukai