Oleh:
I Gusti Ngurah Ananta Dwi Vedanta 2102612100
Kadek Prastiti Surya Pratiwi 2102612103
Pembimbing:
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat rahmat-Nya, maka laporan kasus dengan topik “COX-Inhibitor dalam
Manajemen Nyeri” ini dapat selesai pada waktunya.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-
pihak yang telah membantu dalam penyelesaian Laporan Kasus ini dalam rangka
mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di bagian Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar:
1. Dr. dr. I Made Gede Widnyana, Sp.An, M.Kes, KAR selaku Kepala
Departemen/KSM Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar
2. dr. I Gusti Putu Sukrana Sidemen, Sp.An., KAR selaku pembimbing
atas bimbingan, kritik, dan saran selama pembuatan laporan kasus ini.
3. Dr. dr. I Gusti Agung Gede Utara Hartawan, Sp.An, MARS, SH selaku
Koordinator Pendidikan Departemen/KSM yang telah memberikan saya
kesempatan untuk belajar di bagian ini.
4. Dokter-dokter residen yang juga turut membimbing dalam
pembelajaran mengenai laporan kasus ini.
5. Seluruh pihak yang membantu penulis dalam penyusunan laporan kasus
ini.
Penulis menyadari laporan ini masih jauh dari sempurna dan banyak
kekurangan, sehingga saran dan kritik pembaca yang bersifat membangun sangat
penulis harapkan untuk kesempurnaan tinjauan pustaka ini. Semoga tulisan ini
dapat bermanfaat bagi pembaca.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
DAFTAR GAMBAR
iii
DAFTAR TABEL
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
2.2 Anamnesis
Keluhan utama: Nyeri perut sejak 7 bulan yang lalu
Pasien bayi datang diantar oleh keluarga dengan keluhan kaki pengkor sejak lahir.
Pasien memiliki kelainan bawaan sejak lahir tanpa ada keluhan lainnya. Saat ini
pasien tidak ada keluhan sama sekali. Riwayat makan dan minum baik. Pasien
minum susu formula dan makan bubur. Pasien adalah anak kedua dari dua
bersaudara memiliki riwayat kelahiran prematur dengan persalinan normal karena
kontraksi sebelum waktunya, BBL 2900 gram dengan panjang badan lahir 50 cm.
• Riwayat alergi obat dan makanan tidak ada
• Riwayat penyakit ibu selama kehamilan disangkal
• Riwayat penyakit bawaan disangkal
• Riwayat imunisasi (+) lengkap sesuai umur
• Riwayat operasi sebelumnya: 2021 / RS Sanglah / Bilateral ATL / GA-OTT
/ tanpa komplikasi
3
4
Pasca Operasi
FLACC Score : 3/10
Analgetik : Fentanyl 50 mcg dalam 20 ml NaCl 0.9% jam
kecepatan 0.8 cc/jam; Paracetamol drop 200 mg tiap 6 jam PO
Perawatan : Ruangan
BAB III
PEMBAHASAN
7
8
2. Nyeri Kronis
Nyeri kronis bertahan lebih lama hingga tenggang waktu lebih dari 12
minggu. Nyeri kronis dapat menyebabkan perubahan pada sistem saraf
perifer dan pusat sehingga dapat menjadi penyakit tersendiri. Selain itu,
nyeri kronis memiliki fisiologis yang signifikan (misalnya, perubahan
anatomi otak), psikologis (misalnya, depresi dan kemarahan), dan efek
kognitif (misalnya, nyeri bencana) yang dapat memburuk dari waktu ke
waktu. Penyebab nyeri kronis termasuk penyakit atau kondisi medis yang
mendasari, cedera, perawatan medis, peradangan, nyeri neuropatik, dan
penyebab yang tidak diketahui. Nyeri kronis yang berkepanjangan dapat
menimbulkan berbagai perubahan yang signifikan dalam hal perilaku,
kemampuan dan gaya hidup. Keadaan nyeri dapat bertambah parah seiring
adanya stres, emosi, dan kondisi fisik. 11
2. Nyeri Nociplastic
Nyeri nociplastic adalah nyeri yang timbul dari perubahan maladaptive
yang mempengaruhi proses nosiseptif dan modulasi tanpa adanya bukti
objektif kerusakan jaringan atau saraf. Sebelumnya dikenal sebagai sindrom
nyeri fungsional, kondisi ini mencakup keadaan nyeri seperti fibromyalgia,
irritable bowel syndrome, dan non-specific back pain. 12
3. Nyeri Neuropati
Nyeri neuropatik didefinisikan sebagai nyeri yang disebabkan oleh
kerusakan atau penyakit yang mempengaruhi sistem saraf perifer dan/atau
sentral. Dibandingkan dengan nyeri nosiseptif, nyeri neuropatik biasanya
dikaitkan dengan kelainan sensorik, seperti mati rasa, allodynia, temuan
neurologis yang tergantung pada saraf yang terpengaruh. Deskripsi khas
untuk nyeri nosiseptif termasuk istilah seperti berdenyut, sedangkan nyeri
neuropatik umumnya dijelaskan dengan kata sifat seperti tertusuk benda
tajam, terbakar, tersengat listrik. Nyeri neuropatik juga dapat
mengakibatkan nyeri yang menjalar. 12
A. Transduksi
Tranduksi adalah suatu proses dimana akhiran saraf aferen
menerjemahkan stimulus nyeri menjadi impuls impuls listrik yang akan
ditransmisikan. Ketika rangsangan termal, mekanik, atau kimia mencapai
intensitas berbahaya yang menunjukkan cedera, mereka dideteksi oleh
nociceptor, yang merupakan sub-populasi serabut saraf perifer yang
ditemukan di kulit, sendi, organ dalam, tulang, dan otot. Jaringan yang rusak
melepaskan dan menghasilkan banyak faktor pro inflamasi yang akan
mengaktifkan nociceptor di ujung saraf. Faktor-faktor ini termasuk
globulin, protein kinase, asam arakidonat, histamin, bradikinin, leukotrien.
Faktor-faktor ini akan merangsang transient receptor potential (TRP)
channel yang berfungsi untuk menginisiasi potensial reseptor, akibatnya
menginduksi potensial aksi di serabut saraf sehingga terbentuklah impuls
listrik.13,14
B. Transmisi
Transmisi adalah suatu proses dimana impuls disalurkan menuju
kornu dorsalis medula spinalis, kemudian sepanjang traktus sensorik
menuju otak yang disampaikan oleh serat saraf perifer A-delta dan C.15
C. Modulasi
Modulasi adalah proses amplifikasi sinyal neural terkait nyeri (pain
related neural signals). Proses ini terutama terjadi di kornu dorsalis medula
spinalis, dan mungkin juga terjadi di level lainnya. Serangkaian reseptor
opioid seperti mu, kappa, dan delta dapat ditemukan di kornu dorsalis.
Sistem nosiseptif juga mempunyai jalur desending berasal dari korteks
frontalis, hipotalamus, dan area otak lainnya ke otak tengah (midbrain) dan
medula oblongata, selanjutnya menuju medula spinalis. Hasil dari proses
inhibisi desendens ini adalah penguatan, atau bahkan penghambatan (blok)
sinyal nosiseptif di kornu dorsalis. 15
12
D. Persepsi
Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dari proses
tranduksi, transmisi dan modulasi yang pada akhirnya akan menghasilkan
suatu proses subjektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri, yang
diperkirakan terjadi pada thalamus dengan korteks sebagai diskriminasi dari
sensorik.16
pemberian tekanan dan tirah baring. Sedangkan hal yang dapat dilakukan secara
psikologis meliputi edukasi, pengalihan perhatian dan terapi perilaku anak. 9,17
World Federation of Societies of Anaesthesiologists (WFSA) Analgesic
Ladder telah dikembangkan untuk mengobati nyeri akut. Pada awalnya, nyeri dapat
dianggap sebagai keadaan yang berat sehingga perlu dikendalikan dengan analgesik
yang kuat. Biasanya, nyeri pascaoperasi akan diberikan injeksi opioid kuat, namun
seiring berjalannya waktu nyeri akan berkurang. Anak tangga kedua adalah
pemulihan penggunaan rute oral untuk memberikan analgesia. Opioid kuat tidak
lagi diperlukan dan analgesia yang memadai dapat diperoleh dengan menggunakan
kombinasi dari obat-obat yang bekerja di perifer dan opioid lemah. Langkah
terakhir adalah ketika rasa sakit dapat dikontrol hanya dengan menggunakan obat-
obatan yang bekerja di perifer. 20
operasi 0,5 mg/kg diikuti dengan infus 10 µg/kg/menit secara intraoperatif, dan
paska operasi dengan atau tanpa infus dosis yang lebih rendah.20
Manajemen nyeri paska operasi pada pasien pediatri mengikuti WFSA
Analgesic Ladder. Fentanyl (1-2 mcg/kg), morfin (0,025-0,1 mg/kg). dan
hydromorphone (15 mcg/kg) merupakan contoh opioid intravena untuk nyeri
sedang hingga berat. Multimodal analgesia yang sering digunakan untuk
menurunkan dosis opioid yang digunakan adalah dengan menggabungkan
ketolorak (0,5-0,75 mg/kg) dengan dexmedetomidine intravena. Analgesia non-
opioid yang paling sering digunakan adalah asetaminofen. Asetaminofen digunakan
untuk nyeri ringan hingga sedang. Asetaminofen memiliki kelebihan seperti
harganya yang terjangkau dibandingkan analgetika lainnya dan dapat diberikan
pada pasien dengan alergi terhadap aspirin. Dosis oral asetaminofen yang lazim
digunakan adalah 10-15 mg/kg setiap 4 hingga 6 jam. 9
21
22
DAFTAR PUSTAKA
22
23
14. Lee, Greg I, Michael W. Pain: Pathways and Physiology. Clinics in plastic
surgery. 2020;47(2):173-180.
15. Permatasari, Devi SI, Heru DJ. Hubungan Pemberian Lidocain Intravena 1,5
Mg/Kg/Jam Terhadap Peribahan Tekanan Darah Pasca Laparotomi. Diponegoro
University. 2013.
16. Bahdurdin, Mochamad. Patofisiologi Nyeri (Pain). Saintika Medika. 2017;13(1):
7-13.
17. Rehatta NM, Hanindito E, Tantri AR, Redjeki IS, Soenarto RF, Bisri DY, et al.
Anestesiologi dan Terapi Intensif: Buku Teks Kati-Perdatin. Gramedia Pustaka
Utama; 2019.
18. Zielinski J, Monika MK, Tomasz Z. Pain Assessment and Management in
Chlidren in The Postoperative Period: A Review of The Most Commonly Used
Postoperative Pain Assessment Tools, New Diagnostic Methods and The Latest
Guidelines for Postoperative Pain Therapy in Children. Adv Clin Exp Med.
2020;29(3):365-374.
19. Aryasa T, Mardana IKRP. Penilaian Nyeri. Universitas Udayana, RSUP
Sanglah. 2017
20. Chous R, Gordon DB, Leon-Casasola OA, dkk. Guideline on the Management
of Postoperative Pain. American Pain Society-The Journal of pain. 2016;17(2).
21. Friedrichsdorf, Stefan, Goubert, Liesbetd. Pediatric Pain Treatment and
Prevention for Hospitalized Children. Pain Report. 2020;5(1):804.
22