Anda di halaman 1dari 6

Etologi dan Epidemiologi Scabies: Faktor pada Inervasi dan Perbaikan Kulit

Pendahuluan

Scabies adalah infeksi kulit yang disebabkan oleh tungau parasit yang hanya dapat hidup
pada manusia. Tungau ini masuk ke lapisan atas kulit segera setelah kontak dan membuat
terowongan di dalam kulit. Infestasi tungau ini dapat menyebabkan gejala seperti gatal yang
intens, ruam merah, dan bahkan infeksi sekunder. Scabies juga memiliki dampak pada
inervasi kulit, menyebabkan gangguan sensorik dan sensasi gatal dan nyeri. Selain itu,
scabies juga mempengaruhi proses perbaikan kulit setelah terjadi luka, menghambat
regenerasi dan mengembalikan integritas kulit

Pembahasan

A. Etiologi dan Epidemiologi

Scabievar hominis merupakan parasit manusia yang berinangkan manusia. Scabies adalah
infeksi kulit yang disebabkan oleh tungau parasit yang hanya dapat hidup pada manusia
(Wolff et al., 2017) page 732. Tungau ini masuk ke lapisan atas kulit segera setelah kontak
dan tidak lebih dalam dari lapisan granulosum. Mereka membuat terowongan di dalam kulit
dan meninggalkan kotoran di dalamnya. Tungau betina memiliki umur sekitar 4 hingga 6
minggu dan menghasilkan sekitar 40 hingga 50 telur selama hidupnya. Setiap hari, tungau
betina ini meletakkan sekitar 3 telur di tempat yang sama. Telur-telur ini menetas dalam
waktu sekitar 4 hari. Setelah itu, larva tersebut bermigrasi ke permukaan kulit dan
berkembang menjadi tungau dewasa. Tungau jantan dan betina melakukan perkawinan, dan
tungau betina yang hamil kembali ke dalam lapisan atas kulit, sementara tungau jantan mati.
Pada kasus scabies biasa, diperkirakan terdapat sekitar 10 tungau betina pada setiap
penderita. Namun, pada infestasi yang lebih berat, jumlah tungau bisa mencapai lebih dari 1
juta. Diperkirakan terdapat sekitar 300 juta kasus scabies per tahun di seluruh dunia.

B. Faktor risiko pada penyakit scabies


Berdasarkan hasil penelitian dalam jurnal (Puspita et al., 2021), faktor risiko pada
penyakit scabies meliputi kebiasaan personal hygiene yang buruk, seperti kebiasaan
menggaruk (scratching) dan menggunakan pakaian, handuk, dan alat-alat shalat secara
bersama-sama. Penelitian ini menunjukkan bahwa kebiasaan menggaruk dan menggunakan
peralatan personal secara bergantian, atau tidak disinfeksi dengan baik, dapat menjadi faktor
risiko dalam penularan scabies. Selain itu, (Cahyanti et al., 2020) menunjukan bahwa
lingkungan yang tidak bersih dan rapi, termasuk pengaturan tempat tidur, juga dapat
mempengaruhi penularan infeksi. Oleh karena itu, menjadi penting untuk mempromosikan
kebiasaan personal hygiene yang baik, seperti memiliki pakaian dan peralatan personal
sendiri dan memastikan adanya fasilitas sanitasi yang memadai di lingkungan tempat tinggal
atau sekolah. Selain itu, Berdasarkan informasi yang disediakan dalam situs web yang
diberikan, faktor-faktor yang terkait dengan scabies di pondok pesantren Indonesia meliputi
faktor lingkungan dan faktor individu atau komunitas.

1. Faktor lingkungan:
o Kepadatan hunian: Kepadatan penduduk yang tinggi dan hidup dalam jarak
yang dekat meningkatkan risiko penularan scabies.
o Kelembaban: Tingkat kelembaban yang tinggi dapat menciptakan kondisi
yang ideal bagi kelangsungan hidup dan penularan tungau scabies.
o Pencahayaan: Pencahayaan yang tidak memadai dapat berkontribusi pada
buruknya kebersihan pribadi dan memfasilitasi penyebaran scabies.
o Ventilasi: Sirkulasi udara yang buruk dapat meningkatkan risiko penularan
scabies.
o Suhu: Rentang suhu tertentu dapat mempromosikan kelangsungan hidup
tungau scabies.
o Penyediaan air bersih: Akses yang memadai terhadap air bersih penting untuk
menjaga kebersihan pribadi.
o Kebersihan lingkungan: Kebersihan dan sanitasi yang buruk secara
keseluruhan dapat meningkatkan risiko penularan scabies.

2. Faktor individu atau komunitas:


o Jenis Kelamin: Mungkin ada variasi dalam kerentanan scabies berdasarkan
jenis kelamin.
o Usia: Beberapa kelompok usia, seperti anak-anak dan lansia, mungkin lebih
rentan terhadap scabies.
o Kebersihan pribadi: Praktik kebersihan pribadi yang buruk meningkatkan
risiko penularan scabies.
o Tingkat pendidikan: Tingkat pendidikan dapat mempengaruhi kesadaran dan
pengetahuan tentang pencegahan scabies.
o Tingkat pengetahuan: Kesadaran dan pengetahuan tentang scabies memainkan
peran dalam mencegah penularan.
o Kondisi sosial-ekonomi: Status sosial-ekonomi yang lebih rendah dapat
berkontribusi pada tingkat scabies yang lebih tinggi.
o Kontak dengan penderita: Kontak yang dekat dan berkepanjangan dengan
individu yang sudah terinfeksi scabies meningkatkan risiko penularan.

Faktor lingkungan yang paling dominan terkait dengan scabies di pondok pesantren
Indonesia adalah kepadatan hunian, sementara faktor individu atau komunitas yang paling
dominan adalah kebersihan pribadi

C. Gejala Scabies

Gejala yang umum dialami oleh penderita scabies adalah gatal yang sangat intens dan
meluas di seluruh tubuh, kecuali di kepala dan leher (Wolff et al., 2017) page 735. Gatal ini
bisa sangat mengganggu tidur. Beberapa penderita juga bisa mengalami ruam, mulai dari
tidak ada ruam hingga ruam merah di seluruh tubuh. Penderita dengan dermatitis atopik bisa
mengalami dermatitis eksim karena menggaruk. Beberapa orang juga bisa merasakan gatal
tanpa adanya ruam. Jika lesi pada kulit terasa sakit, kemungkinan terinfeksi bakteri juga
terjadi.

D. Temuan pada Kulit

Infeksi scabies ditandai oleh temuan pada kulit, seperti lesi di lokasi infestasi tungau,
ruam merah yang umumnya terjadi sebagai respons hipersensitivitas terhadap tungau scabies,
serta lesi sekunder, infeksi sekunder, dan hyperinfestasi yang jarang terjadi. Pada beberapa
tuan rumah tertentu, seperti individu dengan dermatitis atopik, scabies nodular, scabies pada
bayi/anak kecil, serta scabies pada lansia, scabies dapat memiliki variasi dan gejala yang
berbeda (Wolff et al., 2017) page 736. Penting untuk mengidentifikasi dan mengobati infeksi
scabies dengan tepat, jadi jika Anda mengalami gejala atau kecurigaan infeksi scabies, segera
konsultasikan dengan profesional kesehatan untuk diagnosis dan pengobatan yang tepat.

E. Penanganan

Terdapat beberapa cara dalam penanganan scabies yang tertulis pada (Wolff et al., 2017)
page 736

1. Prinsip Pengobatan: Mengobati individu yang terinfestasi dan kontak fisik (termasuk
pasangan seksual) dalam waktu yang sama, baik ada gejala atau tidak
pengaplikasiannya harus dilakukan di semua area kulit.
2. Rekomendasi pola pengobatan: Krim Permethrin 5% dioleskan pada semua area
tubuh. Lotion atau krim Lindane (g-Benzene Hexachloride) 1% dioleskan tipis di
semua area tubuh dari leher ke bawah; bersihkan sepenuhnya setelah 8 jam. Catatan:
Lindane tidak boleh digunakan setelah mandi, atau oleh pasien dengan dermatitis
alergi, wanita hamil atau menyusui, atau anak-anak di bawah usia 2 tahun. Resistensi
tungau terhadap lindane dapat terjadi. Harga yang terjangkau membuat lindane
menjadi alternatif utama di banyak negara.
3. Alternatif pola pengobatan: Crotamiton 10% topikal, sulfur 2% hingga 10% dalam
petrolatum, benzoat benzil 10% hingga 25%, benzoat benzil dengan sulfiram,
malation 0,5%, sulfiram 25%, dan ivermectin 0,896%. Sistemik: Ivermectin oral, 200
mg/kg; dosis tunggal dilaporkan sangat efektif dalam 15 hingga 30 hari. Dua hingga
tiga dosis, dengan selang 1 hingga 2 minggu.

F. Inervasi Kulit

Scabies adalah kondisi kulit yang disebabkan oleh infestasi tungau Sarcoptes scabiei. Hal
ini ditandai dengan rasa gatal yang sangat intens dan munculnya benjolan atau lepuhan merah
kecil pada kulit. Dalam konteks inervasi kulit, scabies dapat menyebabkan gangguan sensorik
dan sensasi gatal dan nyeri Serat saraf di kulit, termasuk ujung saraf sensorik dan reseptor,
berperan dalam mengirimkan sensasi tersebut ke kesadaran kita. Ketika tungau-tungau ini
menggali ke dalam kulit, mereka menyebabkan iritasi dan memicu ujung saraf, yang
menyebabkan rasa gatal dan ketidaknyamanan. Sensasi gatal ini adalah hasil dari respons
kekebalan tubuh terhadap tungau dan produk limbah mereka. Oleh karena itu, inervasi kulit
terkait erat dengan gejala sensorik yang dirasakan pada scabies (Bartholomew et al, 2017)
halaman 206.

G. Perbaikan Kulit

Scabies dapat memiliki dampak besar pada sistem integumen, karena scabies adalah
kondisi kulit yang disebabkan oleh infestasi tungau Sarcoptes scabiei. Setelah adanya luka
pada kulit, sistem integumen mengalami proses perbaikan dalam beberapa tahap, termasuk
peradangan, migrasi, proliferasi, dan pembentukan bekas luka. Sel-sel induk di stratum basale
membelah lebih cepat untuk menggantikan sel-sel epidermis yang hilang, sedangkan
pembelahan sel fibroblas dan sel mesenkim menggantikan sel-sel dermis yang hilang,
memungkinkan kulit untuk beregenerasi dengan efektif meskipun adanya kerusakan yang
signifikan dalam proses yang lambat (Bartholomew et al, 2017) halaman 218. Kecepatan dan
efektivitas perbaikan kulit bervariasi tergantung pada jenis luka, dengan coretan dalam yang
dalam atau luka lecet memerlukan perbaikan pada area yang lebih luas dan membutuhkan
waktu lebih lama untuk sembuh. Scabies dapat mempersulit proses perbaikan kulit, terutama
ketika melibatkan area yang luas, infeksi, dan kehilangan cairan terjadi. Secara ringkas,
scabies dapat mengganggu proses regenerasi dan perbaikan kulit, sehingga lebih sulit untuk
mengembalikan integritas kulit setelah terjadinya luka.

Kesimpulan

Scabies adalah infeksi kulit yang disebabkan oleh infestasi tungau Sarcoptes scabiei. Infeksi
ini dapat mengganggu inervasi kulit, menyebabkan gangguan sensorik dan menghasilkan
sensasi gatal dan nyeri. Selain itu, scabies juga mempersulit proses perbaikan kulit setelah
terjadi luka, menghambat regenerasi dan mengembalikan integritas kulit. Oleh karena itu,
penanganan scabies tidak hanya melibatkan pengobatan infeksi, tetapi juga perhatian
terhadap inervasi dan perbaikan kulit

Daftar Pustaka

Martini, F. H., Nath, J. L., & Bartholomew, E. F. (2017). Fundamentals of Anatomy &
Physiology, Global Edition. Pearson Higher Ed.
Cahyanti, K. D., Joko, T., & Sulistiyani, S. (2020). FACTORS ASSOCIATED WITH

SCABIES (LITERATURE STUDY IN INDONESIAN ISLAMIC BOARDING

SCHOOLS). International Journal of Health, Education & Social (IJHES), 3(9), 81–

96. https://doi.org/10.1234/ijhes.v3i9.120

Puspita, S. I. A., Ardiati, F. N., Adriyani, R., & Harris, N. (2021). Factors of personal

hygiene habits and scabies symptoms at Islamic Boarding School. Jurnal Promkes:

The Indonesian Journal of Health Promotion and Health Education, 9(2), 91.

https://doi.org/10.20473/jpk.v9.i2.2021.91-100

Wolff, K., Allen Johnson, R., P Saavedra, A., & Kenneth Roh, E. (2017). Fitzpatrick’s Color

Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology, 8E | AccessMedicine | McGraw Hill

Medical (1st ed.). McGraw Hill. https://accessmedicine.mhmedical.com/book.aspx?

bookID=2043

Anda mungkin juga menyukai