Anda di halaman 1dari 27

TOPIK

PENDEKATAN KONSELING NARATIF

Aura Syahriani (210404500004)


A. PENDEKATAN KONSELING NARATIF
1. Pendekatan Konseling Naratif
Konseling naratif dilatar belakangi oleh adanya anggapan bahwa seseorang hidup
lewat sebuah cerita, budaya yang didominasi oleh cerita-novel, mitos, opera sabun
(sinetron), cerita keluarga, dll. Jadi, seorang individu akan menyusun, menyimpan, dan
juga mengkomunikasikan segala pengalamannya lewat sebuah cerita Bruner (dalam
McLeod, 2010).
Asumsi dasar konseling naratif yaitu konseli adalah orang yang memiliki banyak
keterampilan, kompetensi, keyakinan, nilai komitmen, dan kemampuan untuk
menghadapi permasalahan dalam kehidupannya (Wallis, Burns, and Capdevila 2011)
Semmler & Carmen (dalam Andieni, 2015) menjelaskan Konseling naratif adalah
pendekatan yang mana menggali masalah-masalah konseli dengan menerapkan cerita
(narasi). Jadi, konseling narasi berusaha melakukan eksplorasi pengalaman-pengalaman
konseli melalui cerita yang dibawakan dalam proses konseling. Sehubungan dengan
proses kolaborasi, konselor membantu konseli dalam mengeksplorasi masalah/kisah
mereka. Jadi, konseli didorong untuk menerapkan kata-kata mereka seniri dalam
menceritakan masalah/kisahnya yang tentu membawa/memiliki arti tersendiri.
McLeod, (2010) menjelaskan Konseling naratif ini mempunyai tujuan guna
membantu konseli merangkai kembali cerita/kisahnya, lalu kemudian menerapkan kisah
tersebut dalam lingkungannya dan menolong individu dalam melakukan perubahan
ataupun penyesuaian. Ditambahkan juga oleh (Azizah & Purwoko, 2017) bahwa
konseling naratif ini bertujuan guna membantu konseli mengidentifikasi dan
membentuk/membangun kembali persepsinya terkait dengan dirinya yang nantinya
ditulis ulang dengan/secara kreatif guna hidup yang lebih positif.

2. Peran Konselor dalam Konseling Naratif


Corey (dalam Elfira, 2021) menjelaskan Konselor pada pendekatan konseling
naratif dipandang sebagai fasilitator aktif dengan penuh kepedulian, minat, rasa ingin
tahu yang penuh hormat, keterbukaan, empati, kontak, dan bahkan daya tarik dipandang
sebagai kebutuhan relasional. Konselor pada pendekatan konseling naratif
mengasumsikan konseli adalah ahli dalam hal apa yang dia inginkan dalam hidup. Abels
and Abels (dalam Elfira, 2021) Lebih lanjut menjelaskan peran konselor dalam konseling
naratif membangkitkan harapan konseli dengan cara meninjau kembali asal-usul dari
beberapa kejadian yang mungkin terlupakan baik sifatnya positif maupun yang
menyakitkan dengan cara menulis kembali.

3. Tahapan Konseling Naratif


Proses konseling naratif menurut Torres & Guerra, 2002; Wahlstrom, 2006;
White, 2005 (dalam Sarjun, 2017) meliputi:
1. Tahap 1
Eksternalisasi masalah (externalizing problems) yakni pada tahap ini konselor
membantu konseli untuk memisahkan identitas masalah dengan identitas konseli.
2. Tahap 2
Dekonstruksi cerita hidup (deconstructing life stories), pada tahapan ini mematahkan
identitas konseli yang dipengaruhi oleh masalah dan mengupayakan penemuan
cerita alternatif yang memberdayakan.
3. Tahap 3
Percakapan pengarangan-ulang dengan cerita pilihan (reauthoring conversation with
preferred stories) guna menguatkan cerita alternatif sehingga konseli dapat
menemukan hasil yang unik dalam membangun identitas baru yang lebih
berdaya/hidup.
4. Tahap 4
Mengingat ulang percakapan kembali (remembering conversation) dan peneguhan
(definitional ceremonies) yang mana bertujuan guna memunculkan penghargaan
konseli pada hidupnya sehingga menstimulus pemaknaan atas keberhargaan diri .
5. Tahap 5
Pembentukan aliansi terapeutik untuk memantapkan identitas baru konseli tersebut
dengan cara mempublikasikannya pada lingkungan sosialnya yang berpengaruh
signifikan dalam hidupnya. Konseli perlu diarahkan untuk hidup pada cerita di luar
proses konseling.

4. Teknik Konseling Naratif


Damayanti, (2020) menjelaskan Pendekatan naratif menekankan pengembangan
cerita/kisah alternative kehidupan konseli, dengan harapan bahwa dia dapat menemukan
pilihan dan strategi baru untuk menjalani kehidupannya. Agar upaya itu berhasil, maka
teknik konseling yang digunakan adalah sebagai berikut:
a. Externalization of the Problem Externalization of the problem yaitu proses
memisahkan konseli dari identifikasi masalahnya, sehingga sumber-sumber daya
konseli dapat difokuskan kepada upaya untuk mengatasi situasi (seperti kekacauan),
perasaan (seperti depresi), dll.
Ketika konseli memandang dirinya sebagai bagian dari masalah, maka dia
mengalami keterbatasan dalam menemukan cara yang dapat mengatasi masalahnya
tersebut secara efektif. Namun ketika konseli memandang masalah tersebut berada
diluar dirinya, maka dia dapat membangun hubungan dengan masalahnya secara
rasional. Menjalani kehidupan berarti berhubungan dengan masalah, bukan berarti
menjadi bersatu dengan masalah. Masalah berdampak kepada individu, dan dapat
mendominasi kehidupan cara-cara negatif. Di sinilah, Konselor membantu konseli
dalam melemahkan problema kehidupannya dengan cara membongkar asumsi-
asumsi yang keliru, yaitu bahwa masalah disebabkan oleh suatu peristiwa, dan
membuka kemungkinan-kemungkinan alternatif untuk menjalani kehidupan yang
lebih baik.
Ada dua tahapan teknik ini, yaitu: 1) Memetakan pengaruh masalah terhadap
kehidupan konseli 2) Memetakan pengaruh kehidupan konseli terhadap masalah.
Pemetaan pengaruh masalah terhadap kehidupan konseli menghasilkan informasi
yang sangat berguna bagi pencapaian tujuan konseling. Konseli merasa didengar dan
dipahami ketika pengaruh masalah itu dieksplorasi secara sistematik.
b. Raising Dilemmas
Raising dilemmas yaitu memunculkan dilema, sehingga konseli dapat menguji aspek-
aspek masalah yang mungkin akan terjadi sebelum tingkat kesulitannya meningkat.
c. Predicting Setbacks
Predicting setbacks yaitu memprediksi kemunduran, sehingga konseli dapat
memikirkan tentang apa yang dia akan lakukan jika dihadapkan kepada
kesulitan/masalah yang dapat membuatnya menyerah.
d. Reauthoring Reauthoring yaitu menulis ulang cerita/kisah kehidupan.
Konseli dapat menjadi reauthor atas kehidupannya, dan konselor mengundang
konseli untuk menulis cerita kehidupan baru melalui unique outcomes, yaitu
peristiwa yang tidak dapat diprediksi melalui masalah yang terjadi. Dalam hal ini
konselor dapat mengajukan pertanyaan “Pernahkah anda mampu melepaskan diri
dari pengaruh masalah yang dialami?” melalui pertanyaan unik ini, konselor dapat
memfokuskan konselingnya ke arah masa depan dan membantu konseli melihat dari
perspektif baru yang lebih positif, memperluas pandangannya untuk melihat lebih
banyak alur ceritanya sendiri, dan fokus pada bahwa masalahnya tidak luas dan dapat
dipecahkan. Contohnya “Berdasarkan apa yang telah anda pelajari tentang diri anda,
apa langkah selanjutnya yang anda lakukan?”. “Ketika anda melakukan sesuatu yang
anda sukai, kegiatan apalagi yang mengarahkan anda untuk melakukan yang lebih
baik?”. Pertanyaan-pertanyaan ini mendorong konseli untuk merefleksikan tentang
apa yang telah dicapainya dan apa langkah berikutnya yang mungkin dapat
dilakukannya.
e. Storytelling
Menurut (Nadiyah, 2022) Storytelling salah satu cara dalam memberikan pengalaman
belajar bagi konseli, dengan membawakan cerita kepada konseli secara lisan dapat
berpengaruh terhadap perkembangan konseli. Dengan storytelling akan membantu
konseli mengembangkan kisahnya, memberikan chance kepada konseli untuk
menemukan makna dari cerita tersebut dan membangun kembali identitasnya. Harus
diingat dalam bercerita yang dibawakan oleh si pemberi cerita (konselor) adalah
cerita yang menarik dan mampu mengundang perhatian konseli serta relate dengan
masalah yang sedang dihadapi konselinya. Karena bercerita adalah suatu metode
komunikasi universal yang sangat berpengaruh kepada jiwa manusia.

5. Proyek/Studi Kasus
Rita adalah anak korban kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh
kedua orang tuanya. Kedua orang tua Rita setiap harinya bekerja sebagai pegawai disalah
satu perusahaan yang mana orang tua Rita kerap stress dengan pekerjaan yang
dihadapinya di kantor serta tidak pernah memberika perhatian sedikitpun kepada Rita.
Nah, jikalau orang tua Rita mengalami masalah dikantornya, Rita dijadikan sebagai
sasaran pelampiasan amarah, dan stress yang dialami orang tuanya dan hal tersebut
membuat Rita merasa menjadi anak yang tidak diperhatikan, tidak disayang, dan tidak
pernah dianggap ada.

1. Setelah mempelajari materi bimbingan dan konseling berbasis konseling naratif,


berdasarkan kasus diatas menurut anda teknik konseling apa yang tepat untuk diberikan
kepada orang tua Rita dan Rita sendiri guna menyelesaikan permasalahan yang
dihadapinya?
2. Berikan penjelasan menagapa anda memilih teknik tersebut!
B. INTERVERENSI BIMBINGAN DAN KONSELING
1. Pengertian Interverensi Bimbingan dan Konseling

Dalam melakukan konseling seorang konselor harus menyusun strategi intervensi


agar proses konseling bisa berjalan dengan lancar dan tujuan-tujuan yang dicapai bisa
terwujud. Dalam KBBI intervensi memiliki arti campur tangan dalam perselisihan antara
dua pihak baik itu pribadi atau golongan. Jika dikaitkan dengan konseling maka
intervensi konseling adalah campur tangan seorang konselor sebagai bentuk bantuan
pada kliennya yang membutuhkan.

Dalam menggunakan cara yang digunakan dalam menyelesaikan masalah peserta


didik, guru BK menyeleksi atau memilih cara yang akan digunakannya. Ada beberapa
cara yang digunakan dalam menyelesaikan masalah peserta didik. Disesuaikan dengan
masalah yang sedang dihadapi. Jangan sampai antara guru BK dan juga psereta didik
terjadi salah paham apalagi miskomunikasi. Hal ini dilakukan agar peserta didik dapat
segera menyelesaikan masalahnya dengan mudah dan juga mendapatkan solusi yang
tepat untuk masalahnya.

Adapun cara atau rencana yang akan diambil dan dijalani oleh peserta didik ini
bermacam-macam. Ada berbagai macam hal yang memengaruhi ketepatan strategi
intervensi yang dilakukan guru BK terhadap peserta didik. Diantaraya adalah sebagai
berikut:

 Pengetahuan atau teori yang dimiliki guru BK


 Tingkat pengalaman dan kemampuan dari guru BK dalam menghadapi masalah
 Pengetahuan guru BK dalam hal-hal lanjutan yang harus dilakukannya terkait
respon-respon yang dilakukan peserta didik dan cara menanggapinya.

Perlu diingat bahwa guru BK juga harus memerhatikan gerak-gerik dari peserta
didiknya. Khusunya ketika saat dan sebelum peserta didik tersebut mengalami masalah
tersebut. Agar guru BK dapat mengambil strategi yang tepat dalam mengatasi
masalahnya. Saat proses wawancara oleh peserta didik misalnya, guru BK perlu
memerhatikan sisi kognitif atau pengetahuannya ketika saat diwawancara dan juga sisi
afektifnya. Hal ini sangat berguna untuk menentukan respon apa yang seharusnya
dilakukan oleh guru BK ketika peserta didiknya menunjukkan kognitif dan afektif
demikian.
Selanjutnya setelah adanya seleksi atau pemilihan strategi intervensi kemudian
adanya pelaksanaan dan juga penilaian terhadap intervensi yang telah dilakukan oleh
guru BK tersebut. Evaluasinya diantaranya adalah mengenai untuk apa mengevaluasi,
siapa yang mengevauasi dan juga bagaimana cara mengevaluasi.

2. Model Strategi Interverensi Bimbingan dan Konseling


a. Strategi Pemodelan Sosial
Strategi ini diilhami oleh sifat manusia yang selalu melihat dan meniru. Dengan
strategi ini, konselor menyesuaikan diri dengan klien dengan meniru pola sosial. Ada
banyak jenis model hunian, model simbolik dan model tertutup. Model peran seperti
konselor, guru atau teman sebaya yang dapat diamati. Model simbolik seperti kaset
audio, video atau film. Model tertutup diciptakan dengan membayangkan model yang
diilhami oleh sifat manusia, yaitu selalu melihat dan meniru. Dengan strategi ini,
konselor menyesuaikan diri dengan klien dengan meniru pola sosial. Ada banyak jenis
model hunian, model simbolik dan model tertutup. Teladan seperti konsultan, guru atau
kolega yang dapat diamati. Model simbolik seperti kaset audio, video atau film. Model
tertutup dibuat dengan membayangkan model.
b. Strategi bermain peran dan latihan
Strategi ini dengan meningkatkan perubahan melalui perangsangan atau permainan
secara nyata dari respon yang diinginkan. Metode ini biasanya sering digunakan untuk
merubah sikap atau perilaku, meningkatkan kesadaran diri, pemecahan konflik dari klien.
Elemen umum dari strategi ini adalah :
 Permainan yang kembali ke diri sendiri
 Menggunakan prinsip sekarang, dan disini
 Menggunakan proses yang gradual secara meningkat
 Balikan terhada klien dilakukan oleh seorang konselor atau orang lain yang
membantu
c. Strategi mengubah kognitif
Sebagaimana dalam Rational Emotive Theraphy dari Ellis, model ini merupakan
realisasi dari asumsi bahwa masalah-masalah klien adalah hasil dari pikiran, sikap,
kepercayaan-kepercayaan yang bersifat negative, dan tidak realistis. Ada dua strategi
mengubah kognitif, yaitu, pemberhentian berfikir dan penyusunan kembali kognitif.
Strateginya adalah :
 Klien diinstrusikan untuk membayangkan diri mereka terlibat dalam situasi yang
menghasilkan berpikir irasional
 Kemudian, pada saat pikiran yag tidak logis itu muncul, konselor melakukan
intervensi dengan mengatakan “berhenti!”
 Selanjutnya, klien diinstrusikan dengan cara-cara mengubah pola piker yang
positif dan masuk akal.
Strategi ini bertujuan membantu manusia dengan mencegah berpikir irasional atau
mencegah keyakinan sistem yang tidak logis dari gangguan-gangguan. Strategi ini tidak
hanya membantu klien untuk berhenti memikirkan hal-hal yang tidak rasional, tetapi juga
membantu klien untuk mengganti pemikiran dengan yang positif, meningkatkan diri, dan
penguasaan diri.
d. Strategi pengolahan diri
Karakteristik dari strategi ini adalah bahwa klien mengatur strtegi dan mengarahkan
upaya-upaya perubahan dengan bantuan sedikit dari konselor Strategi ini sangat berguna
dalam kaitannya sejumlah maslah dari klien. Tiga strategi ini diantaranya: pantau diri,
ganjar diri, dan kontrak diri.

3. Tahap-Tahap Interverensi dalam Bimbingan dan Konseling


Untuk mengembangkan keterampilan dasar dalam intervensi pelaksanaan
konseling , Konselor perlu untuk memiliki model tahapan yang dapat digunakan, yang
memungkinkan Konselor untuk memahami situasi yang membawa seseorang ke dalam
krisis (terutama hal-hal yang membebani strategi koping seseorang, di mana mereka
merasa tidak mampu mengambil tindakan positif lebih lanjut), dan tugas yang harus
diselesaikan untuk membantu mereka berhasil melewati krisis semacam itu.
a. Mendefinisikan Masalah
Langkah pertama dalam proses konseling dalam intervensi krisis adalah menentukan
dengan tepat apa masalahnya. Bagian dari proses ini membantu membangun hubungan
antara Konselor dan Konseli. Proses mendengarkan secara aktif sangat penting di sini:
pertanyaan terbuka dan faktor inti empati , keaslian, dan penghargaan positif.
b. Memastikan Keamanan Klien
Langkah selanjutnya adalah memastikan keamanan konseli. Ini melibatkan penilaian
risiko bunuh diri, serta memeriksa risiko pembunuhan. Menghapus akses ke alat bunuh
diri yang mematikan serta barang-barang lain yang dapat digunakan untuk melukai diri
sendiri dan klien adalah penting. Misalnya, di kantor biasa, gunting, pemotong kertas,
stapler, dan pukulan tiga lubang semuanya dapat digunakan untuk melukai diri sendiri
atau orang lain.
c. Memberikan Dukungan
Setelah klien aman secara fisik dan masalahnya telah didefinisikan secara memadai,
langkah selanjutnya adalah Konselor krisis menerima Konseli sebagai orang yang
berharga dan mengomunikasikan bahwa mereka peduli tentang mereka. Hal ini dapat
melibatkan berbicara dengan klien tentang apa yang terjadi dalam hidup mereka,
mengurus kebutuhan dasar (misalnya makanan dan tempat tinggal).Setelah kebutuhan
dasar konseli terpenuhi, bagian selanjutnya dari memberikan dukungan adalah
memastikan bahwa konseli memiliki informasi yang cukup untuk memahami opsi yang
tersedia untuk menangani situasi mereka.
d. Memeriksa Alternatif
Pada langkah 4, Memeriksa Alternatif, konseli didorong untuk mengeksplorasi solusi
potensial untuk apa yang mereka hadapi. Seorang konseli yang keterampilan kopingnya
ditangguhkan akan mengalami kesulitan untuk menemukan pilihan dan di sinilah pekerja
krisis masuk.
e. Membuat Rencana
Sekarang klienonseli mempercayai konselor, mereka telah memberikan keamanan
segera dan memenuhi kebutuhan dasar, mengeksplorasi alternatif, saatnya membuat
rencana. Tujuan dari langkah ini adalah untuk fokus pada langkah-langkah konkret yang
dapat membantu memulihkan kendali dalam kehidupan konseli, dan mengidentifikasi
sumber rujukan lain yang dapat membantu memberikan dukungan tambahan kepada
konseli. Memastikan rencana realistis dan tidak berlebihan adalah bagian penting dari
langkah. Konseli harus merasa diberdayakan oleh rencana agar mereka dapat
melanjutkannya, oleh karena itu bekerja sama sangat penting. Banyak konseli tidak
berdaya atau tertekan sebelum mencari (atau dipaksa) pengobatan, dan melanjutkan pola
ini akan membawa hasil yang buruk.
f. Mendapatkan Komitmen
Langkah terakhir dari proses ini adalah mendapatkan komitmen. Jika Konselor telah
bekerja sama dengan Konseli. Konselor, mendapatkan komitmen seharusnya mudah.
Konselor mungkin perlu menuliskan rencana untuk konseli yang kewalahan untuk
melacaknya, dan menindaklanjutinya dengan mereka untuk memastikan bahwa mereka
telah menindaklanjuti rencana tersebut.
4. Teknik interverensi Dalam Bimbingan dan Konseling
Teknik cognitive defusion berakar dari pendekatan Acceptence and Commitment
Therapy atau disingkat dengan ACT (Hayes, Strosahl & Wilson, 1999) yang merupakan
gelombang baru CBT (Hofmann, Sawyer & Fang, 2010). ACT berbeda dengan CBT,
ACT memandang pikiran dan kepercayaan tidak secara langsung berdampak pada
perilaku. Oleh sebab itu, ACT tidak mengubah konten kognisi untuk mempromosikan
perubahan perilaku (Ruiz, 2012) akan tetapi ACT berfokus pada perilaku individu dan
konteks terjadinya (Bach & Moran, 2008).
Salah satu teknik ACT adalah cognitive defusion (Heimberg & Ritter, 2008;
Hesser dkk, 2009; Kishita dkk.. 2014) Teknik cognitive defusion dikonseptualisasikan
sebagai pengubahan makna kata-kata dan fungsi pengaturan perilaku dari masalah
pribadi yang dialami tanpa mengubah bentuk, frekuensi, dan situasi yang sensitif pada
din mereka (Masuda dkk., 2004). Teknik cognitive defusion sering dipakai dalam
konteks di mana konseli terlalu banyak terlibat dalam masalah pribadi mereka seperti
pikiran diri yang negatif. Teknik cognitive defusion didesain untuk mengurangi pikiran
negatif dengan mengubah konteks masalah yang terjadi daripada berupaya mengubah
bentuk, frekuensi, din situasi yang sensitif pada diri mereka (Hayes dkk... 2006).
Menurut Masuda dkk. (2004) teknik cognitive defusion terdiri dari tiga tahap.
Adapun tiga tahap tersebut adalah (a) rasional teknik cognitive defuxion, (b) pengalihan
perhatian pada tugas; dan (c) rasional kontrol pikiran dan latihan. Selanjutnya. Masuda
dkk. (2010) teknik cognitive defusion terdiri dari tiga tahap. Adapun ketiga tahap
tersebut adalah (a) msional perlakuan; (b) latihan defusion; dan (c) pengulangan kata-
kata dari pikiran target selama 30 detik.
Berdasarkan pemaparan di atas, disimpulkan bahwa wgnitive defusion
merupakan teknik dari ACT yang memanfaatkan bahasa sebagai stimulus dalam
pengubahan perilaku. Teknik cognitive defusion dikonseptualisasikan sebagai
pengubahan makna kata-kata dan fungsi pengaturan perilaku dari masalah pribadi yang
dialami tanpa mengubah bentuk, frekuensi, dan situasi sensitif konseli. Adapun tahap
teknik cognitive defusion adalah (a) rasional perlakuan; (b) pelatihan defusion: (c)
identifikasi pikiran negatif konseli atau bisa disebut sebagai tahap acceptance, (d)
pengulangan kata-kata dari pikiran yang menjadi target selama 30 detik: dan (e)
pembuatan komitmen baru.
5. Proyek /studi kasus
Seorang siswi bernama yang pertama Mista mempunyai masalah tentang prestasi
belajarnya menjadi malas karena dirumah in merasa sudah disayangi oleh ibunya akhir-
akhir ini ia sering dimarahi oleh ibunya. Siswi yang kedua Ratna mempunyai masalah
tidak boleh pacaran oleh orang tuanya. Siswa yang ketiga Bernama Iqbal ia mempunyai
masalah ibunya merasa lebih sayang sama kakaknya daripada dirinya. Yang keempat
bernama Ockna ia mempunyai masalah yang sama dengan Ratna yaitu tidak boleh
pacaran, sedangkan yang terakhir bernama Ichsan mempunyai masalah bahwa orang
tuanya selalu menuntut.
 Setelah mempelajari materi bimbingan dan konseling berbasis Intervensi
bimbingan dan konseling, berdasarkan kasus diatas menurut anda teknik
konseling apa yang tepat untuk diberikan kepada orang tua
mista,Ratna,iqbal ,ockna dan Ichsan sendiri guna menyelesaikan permasalahan
yang dihadapinya?
 Berikan penjelasan menagapa anda memilih teknik tersebut ?

C. PENDEKATAN KONSELING ADLERIAN


1. Pengertian Pendekatan Konseling Adlerian.
Pendekatan Adlerian merupakan suatu model konselig yang berorientasi pada
keutuhan dan keunikan individu untuk mengarahkan dirinya sendiri. Pendekatan
Adlerian memiliki tujuan untuk membantu siswa mengatasi gaya hidup yang salah, yaitu
gaya hidup yang egois dan berdasarkan tujuan yang salah serta asumsi yang tidak benar
berkaitan dengan perasaan inferioritas (Gladding, 2012).
Tujuan utamanya dari pendekatan ini adalah membantu individu mengarahkan
diri sendiri dan mengatasi gaya hidup yang salah. Pendekatan Adlerian menganggap
bahwa setiap individu memiliki potensi untuk tumbuh dan mengembangkan diri mereka
sendiri. Adler percaya bahwa manusia terdorong oleh perasaan inferioritas dan keinginan
untuk merasa diterima dan dihargai. Gaya hidup yang salah, seperti egoisme dan tujuan
yang salah, dianggap sebagai respons yang tidak efektif terhadap perasaan inferioritas.
Dalam konseling Adlerian, konselor bekerja sama dengan konseli untuk
membantu mereka mengidentifikasi gaya hidup yang salah dan asumsi yang tidak benar
yang mungkin mempengaruhi perasaan inferioritas mereka. Melalui dialog dan
eksplorasi, konselor membantu konseli memahami kekuatan mereka, mengembangkan
tujuan yang sehat, dan memperbaiki pandangan mereka tentang diri sendiri. Pendekatan
Adlerian juga menekankan pentingnya lingkungan sosial dalam pengembangan individu.
Konselor dapat membantu konseli memahami bagaimana faktor-faktor lingkungan,
seperti keluarga, teman, dan masyarakat, mempengaruhi gaya hidup mereka. Dalam
proses ini, konseli diajak untuk mengambil tanggung jawab atas kehidupan mereka
sendiri dan bekerja menuju perubahan yang positif.
Secara keseluruhan, pendekatan Adlerian menekankan pada keutuhan individu,
pengembangan potensi, dan tanggung jawab pribadi. Dengan mengatasi gaya hidup yang
salah dan asumsi yang tidak benar, konseli diharapkan dapat mengarahkan diri mereka
sendiri menuju hidup yang lebih sehat, lebih bahagia, dan lebih memuaskan.

2. Peran Konselor Konseling Adlerian.


Dalam pendekatan Adlerian, peran konselor sangat penting dalam membantu
konseli mencapai perubahan dan pertumbuhan yang positif. Berdasarkan penelitian yang
disebutkan, Kartika (2013) mengidentifikasi beberapa peran konselor dalam pendekatan
Adlerian. Berikut adalah peran-peran tersebut:
 Sebagai seorang pendidik: Konselor berperan sebagai pendidik yang memberikan
pengetahuan dan informasi kepada konseli tentang cara-cara memodifikasi gaya
hidup, perilaku, dan tujuan. Konselor mengajar konseli tentang strategi dan
keterampilan yang dapat membantu mereka mengubah pola pikir dan tindakan
yang tidak efektif.
 Mengembangkan minat sosial: Konselor membantu konseli mengembangkan
minat sosial yang lebih luas. Ini melibatkan mendorong konseli untuk terlibat
dalam kegiatan sosial, membangun hubungan yang sehat dengan orang lain, dan
mengembangkan empati dan pemahaman terhadap orang lain.
 Mengajar konseli tentang cara-cara memodifikasi gaya hidup, perilaku, dan
tujuannya: Konselor membantu konseli memahami bahwa mereka memiliki
kekuatan untuk mengubah gaya hidup, perilaku, dan tujuan mereka yang tidak
efektif. Konselor memberikan panduan dan dukungan dalam proses modifikasi
ini, membantu konseli mengembangkan pola pikir yang positif dan tujuan yang
bermakna.
 Bertindak sebagai model: Konselor berperan sebagai model yang memberikan
contoh kepada konseli tentang cara berpikir, mencari makna, berkolaborasi
dengan orang lain, dan membangun serta mencapai tujuan yang bermakna.
Melalui perilaku dan interaksi dengan konseli, konselor menginformasikan
berbagai cara yang dapat digunakan konseli untuk mencapai pertumbuhan pribadi.
Dalam keseluruhan perannya, konselor dalam pendekatan Adlerian bertujuan
untuk membantu konseli mengembangkan pemahaman diri yang lebih dalam, mengatasi
perasaan inferioritas, membangun hubungan yang sehat dengan orang lain, dan mencapai
tujuan hidup yang bermakna.

3. Teknik Pendekatan Konseling Adlerian.


Teknik – teknik pendekatan konseling adlerian menurut taufik (2002) sebagai berikut :
 Menganalisis gaya hidup klien: Konselor menggunakan teknik ini untuk
membantu klien memahami dan menganalisis pola pikir, perilaku, dan tujuan
hidup mereka yang membentuk gaya hidup mereka. Konselor akan
mempertimbangkan asumsi-asumsi yang mendasari gaya hidup klien, serta
bagaimana pola tersebut mempengaruhi kehidupan dan hubungan mereka. Dengan
memahami gaya hidup klien, konselor dapat membantu mereka mengenali
kekuatan dan kelemahan yang ada dalam pola-pola tersebut, serta
mengidentifikasi perubahan yang mungkin diperlukan.
 Menginterpretasi ingatan-ingatan masa lalu yang lebih ada kaitannya dengan
kondisi sekarang: Teknik ini melibatkan penafsiran dan pemahaman lebih dalam
terhadap ingatan masa lalu klien yang relevan dengan situasi atau masalah yang
sedang dihadapi saat ini. Konselor dapat membantu klien menghubungkan
pengalaman masa lalu dengan pola pikir dan perilaku saat ini. Melalui interpretasi
ini, klien dapat memperoleh wawasan baru tentang akar masalah mereka dan
bagaimana pengalaman masa lalu memengaruhi kehidupan mereka sekarang.

Penafsiran: Teknik ini melibatkan konselor memberikan interpretasi terhadap pola


pikir, perilaku, dan pengalaman klien. Interpretasi ini bertujuan untuk membantu klien
melihat hubungan antara perasaan inferioritas, gaya hidup yang salah, dan kesulitan yang
dialami. Konselor menggunakan pemahaman mereka tentang teori Adlerian dan
observasi terhadap klien untuk memberikan penafsiran yang membantu klien menggali
dan memahami pola-pola tersebut dengan lebih dalam.
4. Tahapan Konseling Pendekatan Adlerian.
Menurut Sonstegrad (Rachmawati: 2015) Konseling Adlerian dapat dibagi
menjadi empat tahap, Berikut ini adalah penjelasan singkat tentang masing-masing tahap
tersebut:
 Tahap Membangun Hubungan Baik (Establishing a Good Relationship): Tahap ini
melibatkan pembangunan hubungan yang saling percaya antara konselor dan
klien. Konselor menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung di mana
klien merasa nyaman untuk berbagi dan eksplorasi diri mereka. Tujuan tahap ini
adalah untuk membangun hubungan yang kuat dan memperkuat ikatan antara
konselor dan klien.
 Tahap Investigasi Psikologis (Psychological Investigation): Pada tahap ini,
konselor menggunakan berbagai teknik dan alat untuk mengumpulkan informasi
tentang kehidupan dan pengalaman klien. Konselor dapat mengajukan pertanyaan
terperinci tentang sejarah kehidupan, keluarga, pola pikir, dan tujuan hidup klien.
Tujuan tahap ini adalah untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam
tentang klien dan faktor-faktor yang mempengaruhi kehidupan mereka.
 Tahap Pengungkapan Psikologis (Psychological Disclosure): Tahap ini melibatkan
klien dalam berbagi pemikiran, perasaan, dan pengalaman mereka secara lebih
terbuka dan mendalam. Konselor menciptakan lingkungan yang aman dan
mendukung di mana klien merasa nyaman untuk mengungkapkan diri mereka.
Tujuan tahap ini adalah untuk membantu klien menggali dan mengungkapkan
asumsi, keyakinan, dan pola hidup yang mendasari masalah yang mereka hadapi.

Tahap Orientasi (Orientation): Tahap terakhir ini melibatkan konselor dan klien
dalam merumuskan tujuan dan rencana tindakan untuk mencapai perubahan dan
pertumbuhan yang diinginkan. Konselor membantu klien mengidentifikasi tujuan hidup
yang lebih sehat dan konstruktif, serta mengembangkan strategi dan langkah-langkah
konkret untuk mencapainya. Tujuan tahap ini adalah untuk membantu klien
mengarahkan diri mereka sendiri menuju perubahan yang diinginkan.

5. Proyek / Studi Kasus.


Seorang siswi kelas VII bernama Wati memiliki perilaku kurang kepercayaan diri,
perilaku wati tersebut timbul dikarnakan kurangnya dukungan dari orang tua dan hal ini
menyebabkan wati tidak yakin dengan kemampuannya sendiri.
 Setelah memahami konsep dari pendekatan konseling adlerian, teknik konseling
apa yang cocok unuk menyelesaikan permasalahaan yang wati alami ? Jelaskan
bagaimana tahapan dari teknik yang diberikan untuk menyelesaikan
permasalahaan yang wati alami !

D. PENDEKATAN KONSELING BOWENIAN


1. Pengertian Konseling Bowenian
Pendekatan teoretis Bowen didasarkan pada konsep perbedaan diri, yaitu sejauh
mana perbedaan intelektual dan emosional antara anggota keluarga. Bowen percaya
bahwa keluarga adalah suatu sistem yang terdiri dari beberapa subsistem seperti
perkawinan, orang tua, anak dan saudara kandung, setiap subsistem dibagi menjadi
subsistem individu dan ketika terjadi gangguan pada salah satu subsistem yang
ditimbulkannya. perubahan di bagian lain dll bahkan di super sistem keluarga yaitu
masyarakat (Sofia Halida Fatma, 2019).
Menurut Bowen, tingkat pemisahan diri ditentukan oleh kemampuan individu
untuk memisahkan fungsi intelektual dan emosional. Perpaduan antara emosi dan
kecerdasan individu tidak baik, mereka cenderung lebih emosional dan merasa tidak
berguna bahkan ketika stres yang dirasakan berada pada level rendah. Teori Bowen
menekankan perlunya diferensiasi perilaku dan kognitif untuk mencapai interaksi
interpersonal dan internal yang lebih baik, dan mendefinisikan individu yang dibedakan
sebagai individu yang menghadapi situasi sambil menyadari pikiran, perasaan, dan
pendapat dalam situasi yang sangat emosional. Sebaliknya, individu yang tidak
membedakan didominasi oleh emosinya saat mengambil keputusan dan rentan terhadap
gejala dan penyakit mental yang parah. Bowen berupaya menjembatani kesenjangan
antara pendekatan berorientasi psikodinamik yang menekankan pengembangan diri, isu
antargenerasi, dan peran masa lalu, dan pendekatan yang mempersempit perhatian pada
unit keluarga dan implikasinya untuk saat ini. Tujuan terapi adalah memaksimalkan
keunikan masing-masing anggota keluarga (Fatma, 2019).
Menurut Murray Bowen, anggota keluarga bermasalah ketika keluarga tidak
berfungsi (disfungsional keluarga). Situasi ini muncul karena anggota keluarga tidak
dapat membebaskan diri dari peran dan harapan yang menentukan hubungan mereka.
Ada kekuatan dalam keluarga yang dapat menyatukan anggota keluarga, dan kekuatan
ini juga dapat menyebabkan anggota keluarga bertengkar sehingga menimbulkan
individualisme. Beberapa anggota keluarga tidak dapat melepaskan diri dari sistem
emosional keluarga, yang menyebabkan anggota keluarga mengalami kesulitan
(penyakit). Jika dia ingin keluar dari keadaan disfungsional ini, dia harus memisahkan
diri dari sistem keluarga. Karena itu, ia harus mengambil keputusan berdasarkan
rasionalitas, bukan emosi. Metode terapi utama Bowen adalah menenangkan orang tua
dan melatih mereka untuk menangani masalah keluarga secara lebih efektif (Fatma,
2019).

2. Tujuan Pendekatan Konseling Bowenian


Tujuan yang hendak dicapai dalam teori Bowen dilakukan melalai berbagai upaya, yaitu:
 Membuat setiap anggota keluarga lebih sadar sehingga sistem emosinya lebih
optimal.
 Meningkatkan penerimaan perbedaan individu antar anggota keluarga.
 Berfokuslah untuk berubah menjadi lebih baik daripada memaksa orang lain
untuk berubah

3. Manfaat dan Fungsi Teknik Konseling Bowenian


a. Fungsi Teknik Konseling Bowenian
 Mengurangi kecemasan dan memperbaiki gejala yang timbul.
 Peningkatan partisipasi setiap peserta akan disesuaikan dengan ukuran
perbedaan itu sendiri, guna meningkatkan penyesuaian sistem
kekeluargaan.
 Minimalkan emosional keluarga.
b. Manfaat Teknik Konseling Bowenian
 Mengurangi Konflik Keluarga, yang dapat membantu mengurangi
konflik keluarga yang ada dengan berfokus pada pemahaman peran dan
hubungan antarindividu dalam keluarga. Pendekatan ini
mempromosikan pemahaman yang lebih baik antara anggota keluarga
dan mengajarkan mereka untuk mengelola perselisihan dan konflik
(Wiese, E.H. & Seligman, L.D. 2017).
 Peningkatan keterlibatan keluarga terutama teknik mendorong seluruh
anggota keluarga untuk terlibat aktif dalam proses pengobatan. Dengan
melibatkan seluruh anggota keluarga, terapi dapat membantu
memperkuat ikatan keluarga, mengurangi isolasi, dan meningkatkan
keterikatan emosional (Piercy, F.P. & Sprenkle, D.H. 2016).
 Meningkatkan Komunikasi Keluarga Teknik ini mengajarkan
keterampilan komunikasi yang efektif kepada anggota keluarga, seperti
mendengarkan dengan empati, mengungkapkan perasaan dengan jelas,
dan menghindari perilaku defensif. Meningkatkan komunikasi keluarga
dapat meningkatkan hubungan dan pemahaman antara anggota keluarga
(Becvar, D.S. 2018).
 Penguatan identitas individu dan keluarga: Pendekatan ini membantu
individu dan keluarga memahami peran mereka dalam konteks keluarga
dan memperkuat identitas mereka. Terapi membantu anggota keluarga
belajar tentang nilai, tradisi, dan warisan keluarga mereka, serta
memperkuat kebanggaan dan identitas keluarga (Goldenberg, I. 2017).

4. Konsep Dasar Teknik Konseling Bowenien


Konsep dasar Bowen dalam pelaksanaan terapinya menurut Brown 1999
dalam (Zhiyaul f. 2021), yaitu:
a. Pemisahan Diri (Differentiation Of Self)
Disosiasi adalah kemampuan seseorang untuk mengisolasi dirinya sebagai bagian
yang secara realistis terpisah dari ketergantungan pada orang lain dalam keluarga,
tetapi mampu mempertahankan pemikiran yang tenang dan jernih dalam menghadapi
konflik, kritik dan penolakan yang ambigu dan emosional. pikiran Sehubungan
dengan perbedaan diri ini, Bowen juga memperkenalkan konsep tidak adanya
perbedaan ego keluarga. Konsep ini menyatakan bahwa ada ikatan dan kedekatan
antara anggota keluarga yang memungkinkan mereka untuk saling memahami dan
memahami perasaan, fantasi dan impian masing-masing. Kedekatan ini dapat
menimbulkan ketidaknyamanan dan menyebabkan anggota keluarga akhirnya saling
menolak. Karena tuntutan kedewasaan dan aktualisasi diri, individu harus
memutuskan keterikatan emosional mereka dengan keluarga asalnya agar pemisahan
diri terjadi.
b. Triangles (Segitiga)
Pada saat dua anggota dalam kondisi cemas, tertekan dan stres, mereka cenderung
melibatkan orang ketiga untuk mengurangi intensitas stres dan memperoleh stabilitas.
Keterlibatan orang ketiga dapat memberikan dampak positif dan negatif.
 Triangles merupakan hambatan mendasar bagi pembentukan sistem emosional.
 Konsep cinta segitiga mengacu pada konfigurasi emosional dari tiga anggota
keluarga yang menjadi dasar sistem keluarga.
 Sistem emosional yang tersusun dalam hubungan segitiga saling berhubungan.
 Cinta segitiga adalah hubungan disfungsional yang dipilih oleh keluarga untuk
mengurangi stres dengan mengatasi masalah perkembangan daripada
menyelesaikan konflik/ketegangan.
 Triangulasi ini dapat dilanjutkan tanpa batas waktu dengan melibatkan orang-
orang di luar keluarga, termasuk terapis keluarga yang dianggap sebagai bagian
dari keluarga besar.
c. Proses Emosional Sistem Keluarga Inti
 Menggambarkan pola fungsi emosional dalam satu generasi.
 Secara umum, berkencan menciptakan hubungan yang terbuka, kebanyakan
orang memilih pasangan yang memiliki perbedaan yang sama.
 Jika ukuran perbedaan yang ditemui selama periode evaluasi, dalam hal ini
periode penanggalan, kecil, besar kemungkinan akan timbul masalah di masa
mendatang.

d. Proses Proyeksi Keluarga


Proses proyeksi keluarga merupakan proses emosional yang diwariskan dari
generasi ke generasi. Orang tua melampirkan perasaan mereka kepada anak-anak
mereka. Anak-anak mereka menghubungkan perasaan mereka dengan anak-anak
mereka di masa depan dan seterusnya.
 Pasangan yang tidak mampu membentuk ikatan yang kuat sebagai orang tua
menimbulkan kecemasan pada anak-anak mereka.
 Peristiwa tersebut berwujud cinta segitiga antara ayah, ibu dan anak.
 Segitiga ini biasanya terjadi dalam hubungan orangtua-anak dengan intensitas
yang berbeda-beda.
 Anak-anak biasanya menjadi sasaran karena beberapa alasan, yaitu:
a) Anak mengingatkan salah satu figur orang tua tentang masalah yang belum
terselesaikan dari pengalaman masa kecilnya.
b) Anak-anak diidentifikasi menurut jenis kelamin atau kedudukan penting
mereka dalam keluarga.
c) Anak cacat.
d) Orang tua yang mempersepsikan kehamilan secara negatif.
 Perilaku terhadap anak ini disebut "kambing propaganda" dan secara serius
mempengaruhi kestabilan emosi dan kemampuan anak.
e. Pemutusan Secara Emosional (Emotional Cutoff)
 Pandangan seorang anak tentang jarak emosional.
 Setiap anak dalam keluarga memiliki ikatan emosional yang kuat dan langgeng
dengan orang tuanya.
 Dalam kasus putusnya emosi, biasanya mudah berpisah ketika anak dan orang tua
tinggal berdekatan, sedangkan putus asa itu sangat sulit bagi anak yang jauh.
 Perpisahan adalah ikatan emosional disfungsional yang terbentuk di antara
keluarga asal karena ikatan yang terbentuk saat keluarga baru terbentuk.
 Memelihara hubungan emosional dengan keluarga asal dapat menjaga hubungan
yang sehat dalam keluarga meskipun ada perbedaan.
f. Proses Transmisi Multigenerasional
 Pola interaksi kill diturunkan dari generasi ke generasi.
 Merupakan bagian yang berkesinambungan dari proses alami semua generasi.
 Sikap, nilai, keyakinan, perilaku dan pola interaksi ditransmisikan dari orang tua
kepada anak sepanjang hidup.
 Penting untuk mempelajari keluarga, terutama perilaku keluarga secara turun-
temurun (beberapa) generasi.
g. Sibling Position
Lubis (2015) dalam (Psychology et al., 2021) mengatakan bahwa Bowen
menekankan hubungan urutan kelahiran dengan kepribadian seseorang. Pola interaksi
pria dan wanita sangat dipengaruhi oleh urutan kelahirannya. Kedudukan suatu
keluarga mempengaruhi perkembangan keluarga yang dapat diprediksi dari
karakteristik profilnya. Bowen menggunakan teknik ini untuk mengilustrasikan
sejauh mana perbedaan status antara keluarga dan kemungkinan proses proyeksi
keluarga secara langsung.
h. Societal Regression
 Teori Bowen meluaskan pandangannya terhadap masyarakat (society) sebagai
system social seperti layaknya keluarga.
 Konsep societal regression membandingkan antara respon masyarakat dengan
respon individu dan keluarga terhadap:
1) Tekanan akibat krisis emosional.
2) Tekanan yang menimbulkan ketidaknyamanan dan kecemasan.
3) Penyebab penyelesaian yang tergesa-gesa, bertambahnya masalah, serta
siklus yang sama yg berulang secara terus menerus.

5. Pengaplikasian Teknik Konseling Bowenian


Bowen menggunakan interpretasi pemahaman faktor antargenerasi untuk
membawa perubahan dalam keluarga. Dalam tulisannya, Bowen (1978) dalam buku
(Sofia Halida Fatma. 2019) melihat dirinya sebagai seorang pendidik yang membantu
pasiennya menganalisis situasi keluarga dan merencanakan strategi untuk potensi
masalah. Dalam pekerjaan itu ia sering berfokus pada detriangulasi, yaitu. perubahan
dalam model manajemen stres. Keefektifan pelatih, juru bahasa dan triangulasi dalam
memecahkan masalah tergantung pada keefektifannya dalam mengevaluasi silsilah.
Adapun teknik yang digunakan dalam teknik konseling Bowenian, yaitu:
a. Evaluasi Wawancara
Wawancara keluarga dapat dianalisis dengan kombinasi anggota keluarga apa
pun. Terkadang satu anggota keluarga sudah cukup jika orang tersebut mau
memisahkan perasaan dan proses intelektualnya sendiri daripada menyalahkan
anggota keluarga lainnya. Dalam silsilah, terapis mempertimbangkan hubungan
keluarga, seperti status saudara dan hubungan dalam keluarga dari orang tua asli.
Karena pola antargenerasi dapat menjadi kompleks, terapis dapat menggunakan
genogram untuk memetakan hubungan keluarga.
b. Genograms
Genogram adalah metode pemetaan keluarga yang berisi informasi kunci
tentang keluarga seperti usia, jenis kelamin, tanggal pernikahan, tanggal kematian
dan lokasi geografis. Genogram tidak hanya memberikan gambaran tentang suatu
famili, tetapi juga menunjukkan pola diferensiasi yang menjangkau ke dalam dan di
luar famili asal. Genogram memberikan kesempatan untuk mencari pola emosional
dalam keluarga. Magnuson dan Shaw (2003) menunjukkan dalam (McGoldrick, et al.
2020) bahwa genogram dapat digunakan untuk pasangan dan keluarga dengan
masalah seperti keintiman, kesedihan, alkoholisme dan untuk mengidentifikasi
sumber daya keluarga. Bagan dan genogram dapat melayani tujuan khusus dalam
terapi keluarga.
c. Interpretasi
Informasi yang dikumpulkan dari genogram sering ditafsirkan agar anggota
keluarga memahami dinamika dalam keluarga. Dengan menjaga objektivitas, terapis
dapat melihat pola keluarga saat ini yang mencerminkan pola keluarga asli. Salah
satu cara Bowen menafsirkan dengan bijak adalah mengalihkan pembicaraan
kepadanya daripada anggota keluarga lainnya.
d. Detriangulasi
Bowen memisahkan bagian-bagian dari segitiga siku-siku. Ketika ada masalah
keluarga, ia sering berpaling kepada orang tuanya atau salah satu orang tuanya.
Bowen kemudian mencoba mengembangkan strategi untuk mengatasi dampak stres
emosional dan kemudian mengidentifikasikannya dengan anggota keluarga lainnya.
Secara umum, Bowen lebih suka bekerja dengan anggota keluarga yang sehat agar
dapat beradaptasi dengan hubungan keluarga yang berbeda.
Dalam pendekatan Bowen, ada beberapa hal yang dapat dicatat sebagai berikut:
1) Terapis tidak boleh rentan dan pendiam, tidak boleh terlibat dalam triangulasi,
dan tidak boleh terlibat secara emosional dengan suami/istri yang bermasalah.
2) Jangan biarkan konflik terbuka.
3) Menggunakan posisi “saya” saat mengajari pasangan yang bermasalah untuk
melakukan sesuatu.
4) Menghindari penafsiran.

6. Studi Kasus
Doni adalah seorang ayah, dan merupakan mantan suami dari Mita. Doni sangat
menyayangi anak-anaknya. Akan tetapi, Doni tidak merasa demikian beberapa waktu
terakhir karena ia merasa bahwa anak laki-lakinya telah menjadi seorang anak yang
nakal. Mita merupakan ibu dari Lisa dan Ben. Mita begitu heran dengan kelakuan anak
laki-lakinya, yaitu Ben. Namun, yang membuat ia lebih heran lagi adalah mengapa
mantan suaminya mengizinkan Ben untuk minum minuman keras. Ben merupakan
seorang kakak laki-laki dan pengangguran, ia memiliki hubungan yang sangat tidak baik
dengan adik perempuannya. Sedangkan Lisa, merupakan seorang gadis dan adik
perempuan Ben. Lisa mengatakan bahwa hubungannya dengan kedua orang tuanya
sangat baik. Namun, berbeda dengan hubungannya dengan kakaknya, Lisa merasa
hubungannya dengan Ben sangat gila.

Pertanyaan:
Setelah mempelajari materi Pendekatan Konseling Bowenian, menurut anda pendekatan
teknik konseling apa yang tepat digunakan untuk Ben agar permasalahannya dapat di
atasi? Jelaskan!

E. PENDEKATAN BEHAVIORAL
1. Pengertian Pendekatan Konseling Behavioral
Menurut Corey (2005), Pendekatan konseling behavioral melibatkan konseling
tingkah laku yang menerapkan berbagai teknik dan prosedur yang didasarkan pada teori-
teori belajar. Pendekatan ini secara sistematis menerapkan prinsip-prinsip belajar dan
mengubah tingkah laku menuju cara yang lebih adaptif. Pendekatan konseling dan
psikoterapi yang berurusan dengan tingkah laku melibatkan modifikasi tingkah laku dan
didasarkan pada teori belajar.
Menurut Corey (2005), konseling tingkah laku memiliki perbedaan dengan
sebagian besar pendekatan konseling lainnya. Pendekatan ini ditandai dengan fokus pada
tingkah laku yang terlihat dan spesifik, kecermatan dalam menetapkan tujuan-tujuan
pengobatan, perumusan prosedur pengobatan yang spesifik sesuai dengan masalah yang
ada, dan penilaian objektif terhadap hasil-hasil konseling.

2. Tujuan Pendekatan Konseling Behavioral


Konselor yang menerapkan pendekatan behavioral memiliki kemampuan untuk
menggunakan berbagai teknik dan prosedur yang didasarkan pada teori belajar.
Pendekatan ini secara sistematis menerapkan prinsip-prinsip belajar untuk mengubah
tingkah laku menjadi lebih adaptif. Dasar dari pendekatan ini adalah keyakinan bahwa
semua tingkah laku dipelajari, termasuk tingkah laku yang tidak sesuai. Jika tingkah laku
neurotik dipelajari, maka dapat dihilangkan (dihapus dari ingatan), dan tingkah laku yang
lebih efektif dapat diperoleh. Menurut Corey (2005), tujuan pendekatan behavioral
adalah untuk mengembangkan tingkah laku baru, menghilangkan tingkah laku yang tidak
sesuai, serta memperkuat dan mempertahankan perilaku yang diinginkan.
3. Langkah-Langkah Konseling Behavioral
Dalam konseling behavioral, langkah-langkah konseling meliputi assessment dan
goal setting yang dilakukan dalam tahapan berikut:
a. Konselor dan klien mendefinisikan masalah yang dihadapi oleh klien.
b. Klien mengidentifikasi perubahan positif yang diinginkan sebagai hasil dari
konseling.
c. Konselor dan klien bersama-sama membahas tujuan yang telah ditetapkan, termasuk
realistisnya tujuan tersebut, manfaat yang mungkin diperoleh, serta kemungkinan
kerugiannya.
d. Konselor dan klien membuat keputusan apakah akan melanjutkan konseling dengan
menetapkan teknik yang akan dilakukan, merevisi tujuan yang ingin dicapai, atau
melakukan rujukan ke pihak lain.
e. Implementasi teknik konseling, yaitu menentukan dan melaksanakan teknik-teknik
yang digunakan untuk mencapai tujuan konseling yang berkaitan dengan tingkah
laku yang diinginkan.
f. Evaluasi termination, yaitu melakukan penilaian apakah kegiatan konseling yang
telah dilakukan telah mencapai hasil sesuai dengan tujuan konseling yang ditetapkan.
g. Pemberian umpan balik (feedback), di mana konselor memberikan dan menganalisis
umpan balik untuk memperbaiki dan meningkatkan proses konseling.

4. Ciri-ciri Konseling Behavioral


Adapun ciri-ciri konseling behavioral meliputi:
a. Kebanyakan perilaku manusia dipelajari dan dapat diubah. Dalam pendekatan ini,
dianggap bahwa perilaku manusia dapat dipelajari dan modifikasi perilaku dapat
terjadi.
b. Perubahan-perubahan spesifik terhadap lingkungan individu dapat membantu
mengubah perilaku yang relevan. Prosedur konseling berusaha untuk membawa
perubahan dalam perilaku klien dengan mengubah lingkungan yang
mempengaruhinya.
c. Keefektifan konseling dan hasil konseling dinilai berdasarkan perubahan perilaku
khusus di luar prosedur konseling. Evaluasi dilakukan dengan memperhatikan
perubahan nyata dalam perilaku yang menjadi fokus dalam sesi konseling.
d. Prosedur-prosedur konseling tidak bersifat statis, tetap, atau ditentukan sebelumnya.
Prosedur-prosedur ini dapat didesain secara khusus untuk membantu memecahkan
masalah yang spesifik yang dihadapi oleh klien.

5. Teknik-Teknik Konseling Behavioral


Menurut Corey (2005), teknik-teknik konseling behavioral dapat dibagi menjadi
beberapa jenis, yaitu:
a. Latihan Asertif: Teknik ini digunakan untuk melatih klien yang mengalami kesulitan
dalam menyatakan diri dengan percaya diri bahwa tindakannya adalah layak dan
benar.
b. Desensitisasi Sistematis: Teknik ini bertujuan membantu klien mengatasi ketegangan
yang dialami dengan mengajarkan klien untuk merilekskan diri.
c. Pengkondisian Aversi: Teknik ini digunakan untuk menghilangkan kebiasaan buruk.
Stimulus yang tidak menyenangkan diberikan bersamaan dengan munculnya tingkah
laku yang tidak diinginkan, sehingga menciptakan asosiasi negatif terhadap tingkah
laku tersebut.
d. Teknik Modeling: Teknik ini digunakan untuk membentuk tingkah laku baru pada
klien dengan memperlihatkan contoh dan memperkuat tingkah laku yang sudah ada.
e. Covert Sensitization: Teknik ini digunakan untuk merawat tingkah laku yang
memberikan kesenangan pada klien namun bersifat menyimpang atau tidak
diinginkan.
f. Thought Stopping: Teknik ini digunakan untuk klien yang mengalami kecemasan
yang berlebihan. Teknik ini bertujuan untuk menghentikan atau menghambat pola
pikir negatif yang memicu kecemasan.

6. Proyek/Studi Kasus
Identifikasilah isu/permasalahan yang sering terjadi dalam keluarga, kemudian buatlah
skenario pelaksaan konseling behavior untuk mengatasi permasalah tersebut !
DAFTAR PUSTAKA

Ames, R.K. (2008) Crisis Intervention Strategies. Brooks/Cole: Belmont, CA.

AN, W. K. (2013). Penerapan Konseling Kelompok Adlerian untuk Menurunkan Perilaku


Menarik Diri pada Siswa Kelas Vii-c Mts Wringinanom (Doctoral dissertation,
State University of Surabaya).
Andieni, V. D. (2015). Penerapan Konseling Naratif Untuk Mereduksi Kecemasan
Komunikasi (Communication Apprehension) Pada Siswa Kelas Viii Di Smpn 40
Surabaya. Unesa Jurnal Mahasiswa Bimbingan Dan Konseling Penerapan, 1–11.

Azizah, A., & Purwoko, B. (2017). Studi Kepustakaan Mengenai Landasan Teori Dan Praktik
Konseling Naratif. Jurnal BK UNESA, 4(1), 1–8.

Azizah, A. (2017). Studi kepustakaan mengenai landasan teori dan praktik konseling
naratif (Doctoral dissertation, State University of Surabaya).

Bach, P. A., & Moran, D. J. (2008). ACT in Practice: Case Conceptualization in Acceptance
& Commitment Therapy. Oakland, CA: New Harbinger Publications, Inc.

Becvar, D. S., & Becvar, R. J. (2018). Family therapy: A systemic integration (9th ed.).
Pearson.)

Corey G. (2005) Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: Refika Aditama.
Damayanti, O. (2020). Penerapan Konseling Naratif Menggunakan Penilaian Imcs
(Innovative Moments Coding System) Dalam Meningkatkan Kemampuan 51
Public Speaking Pada Mahasiswa Di Uin Raden Intan Lampung. Skripsi. UIN
Raden Intan Lampung.

Elfira, Y. (2021). Konseling naratif: sebuah pendekatan dalam pelayanan bimbingan dan
konseling kelompok. Journal of Counseling, Education and Society, 2(1), 26.

Fatma, S. H. (2019). Bowenian Family Therapy Untuk Meningkatkan Selfdifferentiation


Pada Keluarga Dengan Kasus Poligami. Jurnal Psikologi Islam, Vol. 6, No. 2.

Gladding, Samuel T. 2012. Konseling Profesi yang Menyeluruh (Edisi Keenam). Jakarta:
PT.Ideks.
Goldenberg, I., & Goldenberg, H. (2017). Family therapy: An overview (9th ed.). Cengage
Learning.)
Hayes, S. C., Luoma, J. B., Bond, F. W., Masuda, A., & Lilis, J. (2006). Acceptance and
Commitment Therapy: Model, Processes and Outcomes. Psychology Faculty
Publications, Paper 101.

Heimberg, R. G., & Ritter, M. R. (2008). Cognitive Behavioral Therapy and Acceptance and
Commitment Therapy for the Anxiety Disorders: Two Approaches with Much to
Offer. Clinical Psychology: Science And Practice, 15 (4): 296-298.

Hesser, H., Westin, V., Hayes, S. C., & Andersson, G. (2009). Clients’ In- session Acceptance
and Cognitive Defusion Behaviors in Acceptance-Based Treatment of Tinnitus
Distress. Behaviour Research and Therapy, 47: 523- 528.

Hofmann, S. G., Sawyer, A. T., & Fang, A. (2010). The Empirical Status of the “New Wave”
of CBT. Psychiatry Clinical North America, 33 (3): 701-710.

https://infiniteens.id/strategi-intervensi-konseling/sari-siti-maesaroh/

MacDonald, D.K., (2016), "The Six Step Model of Crisis Intervention," retrieved on January
3, 2021 from http://dustinkmacdonald.com/six-step-model-crisis-intervention/.

Manford A. Sonstegard. 2004. Adlerian Group Counsel-ing and Therapy Step by Step. New
York: Brunner-Routledgerd.

Masuda, A., Hayes, S. C, Sackett, C. F, & Twohig, M. P. (2004). Cognitive Defusion and
Self- Relevant Negative Thoughts: Examining the Impact of a Ninety Year Old
Technique. Behaviour Research and Therapy, 42: 477- 485.

Nadiyah, N. (2022). Penerapan Teknik Konseling Naratif Metode Storytelling dalam


Meningkatkan Keterampilan Sosial Anak (Studi Kasus di Taman 53 Bacaan
Masyarakat Rumpun Literasi). Skripsi UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten.

McGoldrick, M., Gerson, R., & Petry, S. (2020). Genogram: Penilaian dan pengobatan (edisi
ke-4). WW Norton.

Piercy, F. P., & Sprenkle, D. H. (2016). Research on family therapy. In The Oxford handbook
of group counseling (pp. 227-249). Oxford University Press.)

Psikologi, F. et al. (2021) ‘Konseling Keluarga untuk Meningkatkan Ketahanan Keluarga’, 8,


pp. 69–86. Available at: https://doi.org/10.15575/psy.v8i1.12839.
Rachmawati, D., Chanum, I., & Marjo, H. K. (2015). Pengaruh Layanan Konseling
Kelompok Adlerian dalam Meningkatkan Penalaran Moral Siswa Kelas IV SDN
07 Pagi Ujung Menteng. INSIGHT: Jurnal Bimbingan Konseling, 4(1), 13-18.

Rahayu, S. M. (2017). Konseling keluarga dengan pendekatan behavioral: Strategi


mewujudkan keharmonisan dalam keluarga. In Proceeding Seminar Dan
Lokakarya Nasional Bimbingan Dan Konseling 2017 (pp. 264-272).

Ruiz, F. J. (2012). Acceptance and Commitment Therapy versus Traditional Cognitive


Behavioral Therapy: A Systematic Review and Meta-analysis of Current
Empirical Evidence. International Journal of Psychology & Psychological
Therapy, 12 (2): 333-357.

Sarjun, A. (2017). Konseling naratif Untuk Mengembangkan Regulasi Diri (Self-Regulation)


Siswa Sma Kota Bandar Lampung. Doctoral dissertation. Universitas Pendidikan
Indonesia.

Santoso, S.Ag.,Dkk 2015) ‘Buku Perkuliahan Program S-1 Supported By : Pengertian


Perspektif Family Therapy’.

Sofia Halida Fatma (2019). Bowenian Family Therapy Untuk Meningkatkan


Selfdifferentiation Pada Keluarga Dengan Kasus Poligami Jurnal Psikologi Islam,
Vol. 6, No. 2 (2019): 51—62.

Taufik. 2002. “Model-Model Konseling”. Padang: BK FIP UNP

Wiese, E. H., & Seligman, L. D. (2017). Systems theories and family therapy. In Handbook
of family theories: A content-based approach (pp. 229-249). Routledge.)

Zhiyaul f (2021). Teknik Konseling Keluarga (Bowenian Family Therapy) Bimbingan


Konseling Pernikhan dan Keluarga Universitas Islam Negeri Ar-Raniry.

Anda mungkin juga menyukai