Anda di halaman 1dari 36

KOLABORASI ANTARA PENDIDIKAN SALAFIYAH DAN

PENDIDIKAN FORMAL DALAM MEMBINA KARAKTER


MANDIRI SANTRI (STUDI KASUS DI PONDOK PESANTREN
MINHAJUS SA'ADAH DESA PELAYANGAN)

PROPOSAL SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan untuk


Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1)
Program Studi Pendidikan Agama Islam

Oleh :

AYU ASTUTI
NIM : 2020.151.3501

YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM


INSTITUT AGAMA ISLAM NUSANTARA BATANGHARI
FAKULTAS PENDIDIKAN ISLAM DAN KEGURUAN
TAHUN 2023
DAFTAR OUTLINE

DAFTAR OUTLINE.....................................................................................ii
DAFTAR TABEL........................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................1
A. Latar Belakang Masalah.........................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................................7
C. Fokus Penelitian.....................................................................................7
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian............................................................8
BAB II LANDASAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN............9
A. Landasan Teori.......................................................................................9
B. Penelitian Yang Relevan......................................................................25
BAB III METODE PENELITIAN................................................................27
A. Pendekatan Penelitian..........................................................................27
B. Situasi dan Subjek Penelitian...............................................................29
C. Jenis dan Sumber Data........................................................................29
D. Teknik Pengumpulan Data...................................................................30
E. Teknik Analisi Data...............................................................................31
F. Triangulasi Data....................................................................................32
G. Rencana dan Waktu Penelitian............................................................33
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................35

ii
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Rencana dan Waktu Penelitian........................................................

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pendidikan adalah hal yang sangat penting dalam kehidupan, dan
tidak dapat dipisahkan dari kehidupan karena pendidikan dibutuhkan
setiap manusia untuk menunjang perannya dimasa datang. Dalam UU RI
No. 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3 menyebutkan bahwa:
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab”.1
Berdasarkan pernyataan diatas, pendidikan nasional bukan hanya
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab saja, akan tetapi bertujuan pula membentuk peserta
didik yang mandiri. Tujuan pendidikan nasional di atas merupakan
rumusan mengenai kualitas manusia yang harus dikembangkan oleh
setiap satuan pendidikan.
Pendidikan hingga saat ini masih dipercaya sebagai media yang
sangat ampuh dalam membangun kecerdasan sekaligus kepribadian anak
menjadi lebih baik. Oleh karena itu, pendidikan secara berkelanjutan
dibangun dan dikembangkan agar dari proses pelaksanaaanya
menghasilkan generasi yang diharapkan. Demikian pula pendidikan di
negeri tercinta ini. Bangsa Indonesia tak ingin menjadi bangsa yang bodoh
1
UU Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS & Peraturan
PemerintahR.I tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Perdidikan serta Wajib Belajar,
(Bandung: Citra Umbara 2012), hal. 6

1
2

dan terbelakang terutama dalam menghadapi zaman yang terus


berkembang di era kecanggihan teknologi dan komunikasi.2 Maka,
perbaikan sumber daya manusia terus dilaksanakan. Namun faktanya
pendidikan di Indonesia dinilai oleh banyak kalangan kurang berhasil
dalam membangun kepribadian peserta didiknya agar berakhlak
mulia.Realitanya penguatan pendidikan karakter yang sudah
dikembangkan sampai saat ini masih sangat bersifat hafalan. Kehidupan
masyarakat Indonesia saat ini pada umumnya terasa kurang nyaman,
menyimpang dan kurang tertib, sebagai akibat dari semakin meningkatnya
perilaku moral manusia yang melakukan berbagai tindakan seperti kebut-
kebutan di jalan, penggunaan narkoba, dan penindasan yang merugikan
sesama. Keadaan ini memerlukan adanya penanaman pendidikan
karakter secara efektif dan transformatif. Pendidikan agama yang
berlangsung selama ini dilaksanakan pada berbagai lembaga pendidikan
Islam terasa kurang efektif dalam membina karakter umat karena terjebak
pada pemberian pengetahuan tentang nilai-nilai agama secara kognitif
semata. Pendidikan saat ini lebih dilihat sebagai investasi yang dilakukan
di bawah nilai-nilai bisnis yang cenderung mengukur keberhasilannya dari
segi perkembangan dan pertumbuhan ekonomi, tanpa dibarengi oleh
sikap mental yang berbasis pada landasan moral, etika, dan spiritual.3
Kemajuan Negara Republik Indonesia, diperlukan karakter yang
tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong
royong, patriotik, dinamis, berbudaya, dan berorientasi Ipteks berdasarkan
Pancasila dan dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa. Karakter yang berlandaskan falsafah Pancasila artinya setiap aspek
karakter harus dijiwai ke lima sila Pancasila secara utuh dan komprehensif
meliputi: 1) bangsa yang berKetuhanan Yang Maha Esa, 2) bangsa yang
menjunjung kemanusiaan yang adil dan beradab, 3) bangsa yang

2
Akhmad Muhaimin azzet, Urgensi Pendidikan Karakter di Indonesia, (Yogyakarta: Ar-
Ruzz media). hal 9
3
Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam: Isu-isu Kontemporer tentang
Pendidikan Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), hal. 161.
3

mengedepankan persatuan dan kesatuan bangsa, 4) bangsa yang


demokratis dan menjunjung tinggi hukum dan hak asasi manusia, dan 5)
bangsa yang mengedepankan keadilan dan kesejahteraan. Pendidikan
adalah persoalan kemanusiaan yang harus didekati dari perkembangan
manusia itu sendiri.4
Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan
nasional. Pasal I UU Sisdiknas (2003) menyatakan bahwa di antara tujuan
pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi siswa untuk memiliki
kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia. Dengan demikian
pembelajaran nilai-nilai pendidikan karakter tidak hanya pada tataran
kognitif saja, tetapi menyentuh pada internalisasi dan pengamalan nyata
dalam kehidupan siswa sehari-hari di masyarakat. Tentu saja, langkah
visioner semacam ini tak akan banyak maknanya jika tidak diimbangi dan
dukungan penuh dari berbagai kalangan secara intensif menginternalisasi
pendidikan berbasis karakter dalam diri pribadi, lingkungan keluarga,
masyarakat, dan bangsa Indonesia. Pendidikan karakter merupakan
usaha untuk menanamkan nila-nilai perilaku siswa. Dalam hal ini,
pemerintah telah memasukkannya ke dalam kurikulum sekolah sesuai
dengan panduan dalam kurikulum yang berlaku. Tujuan utamanya adalah
untuk menanamkan karakter pada siswa sesuai dengan karakter bangsa
Indonesia. Karakter bangsa Indonesia terkenal dengan hidup bergotong-
royong, ramah- tamah, tolong-menolong, hormat-menghormati, sopan-
santun, dan sebagainya.5
Perkembangan masyarakat menghendaki adanya pembinaan
peserta didik dilaksanakan secara seimbang antara nilai dan sikap,
pengetahuan, kecerdasan, keterampilan, kemampuan berkomunikasi, dan
berinteraksi dengan masyarakat secara luas, serta meningkatkan
kesadaran terhadap alam lingkungannya. Proses pendidikan di pesantren

4
Kartadinata, S. Mencari Bentuk Pendidikan Karakter Bangsa. Fakultas Ilmu
Pendidikan.Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung. 2019,. Hal
5
Prof. Dr Yufiarti, M.Psi. Implementasi Penguatan Pendidikan Karakter(PPK) Di Sekolah
Dasar (Yogyakarta : 2023), hal 2
4

merupakan interaksi antara Pengasuh dan Ustadz sebagai pendidik dan


santri sebagai peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan. Peran
pengasuh dan Ustadz dalam proses pendidikan kepada santri dituntut,
bisa memberikan bimbingan serta pegaruh agar bisa mewujudkan
kemandirian dengan tuntunan agama Islam. Pesantren sebagai lembaga
pendidikan sekaligus lembaga sosial di satu sisi dituntut berperan dalam
mengawal perjalanan moral masyarakat. Akan tetapi di sisi lain juga
pesantren dituntut untuk perperan aktif dalam menjawab aneka macam
kebutuhaan masyarakat yang belakangan semakin meningkat dan relatif.6
Pesantren merupakan salah satu institusi yang unik dengan ciri-ciri
yang kuat dan lekat. Keunikan dalam pendidikan pesantren dapat dilihat
dari ciri khusus yang dimilikinya. Sehingga dimungkinkan setiap pesantren
memiliki karakter dan sistem nilai yang berbeda. Sedangkan menurut
Dhofier, pendidikan pesantren bukan untuk mengejar kekuasaan, uang
dan keagungan duniawi, tetapi belajar adalah semata-mata kewajiban dan
pengabdian tuhan. Sehingga, pesantren sebagai lembaga pendidikan
memiliki tanggung jawab yang besar dalam pembentukan karakter. Dari
berbagai pendapat, dapat disimpulkan bahwa setiap pesantren memiliki
karakter yang berbeda dengan mengajarkan arti belajar yang
sesungguhnya, belajar dengan niat menjalani kewajiban dan meraih ridho
dari Allah.7
Karakter kemandirian santri begitu tampak dalam kehidupan sehari-
hari, mulai dari mandiri untuk makan, mencuci, belajar, mengatur waktu,
mengatur uang, sampai dengan kemandirian dalam berpikir dan
menentukan pilihan. Hal ini tentu tidak terlepas dari kondisi santri yang
memang dilatih untuk tidak bergantung pada peserta didik di lembaga
formal. Sebab penekanan pendidikan dalam lembaga formal lebih kepada
aspek intelektual dengan bersandar pada kurikulum semata, sehingga

6
Muhammad Ibrahim Strategi Pengembangan Kemandirian Santri Pondok Pesantren
Daarul Ahsam. (Jakarta : 2018), hal 17
7
M. Syaifuddin Zuhriy, “Budaya Pesantren dan Pendidikan Karakter pada Pondok
Pesantren Salaf”, Jurnal Walisongo, (Vol. 19, No. 2, tahun 2011), hlm. 288
5

kemandirian peserta didik layaknya di pesantren kurang


terimplementasikan dengan baik. Secara konseptual, karakter mandiri
pada peserta didik sangat diperlukan, selain sebagai orientasi pencapaian
tujuan pendidikan juga penting dalam rangka mempersiapkan generasi
yang tangguh dalam menghadapi kompleksitas hidup pada abad modern
ini. Tantangan ke depan yang akan dihadapi generasi saat ini semakin
beragam, sehingga tidak boleh disepelekan terutama bagi penyelenggara
pendidikan. Kondisi ideal masa depan bangsa harus dirancang dari
sekarang. Sebab jika tidak, maka bukan kemajuan yang akan didapatkan
melainkan kemunduruan bagi bangsa ini. Dengan begitu, pendidikan
karakter mandiri menjadi hal penting untuk diterapkan bagi setiap satuan
pendidikan. Dalam hal ini, pesantren menjadi lembaga yang cukup ideal
untuk membentuk peserta didik berkarakter mandiri.
Berdasarkan observasi awal (Grand Tour Observation) dimana
lokasi tersebut merupakan pondok pesantren Minhajus Sa'adah
Kemandirian santri di pondok pesantren mihajus sa'adah diwujudkan dari
beberapa bentuk kemandirian yaitu emosi, ekonomi, intelektual, dan sosial
yang diaktualisasikan melalui pemahaman, pembiasaan, dan keteladanan
selama berada di lingkungan pesantren, upaya dari pesantren dengan
proses penanaman nilai kemandirian serta perubahan perilaku anak yang
dibiasakan untuk tidak bergantung kepada orang lain sehingga anak
menjadi mandiri, dari kemandirian tersebutlah jadi bekal anak untuk masa
depan.
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka penelii tertarik
untuk mengadakan sebuah penelitian dengan mengangkat judul.
"KOLABORASI ANTARA PENDIDIKAN SALAFIYAH DAN
PENDIDIKAN FORMAL DALAM MEMBINA KARAKTER MANDIRI
SANTRI (STUDI KASUS DI PONDOK PESANTREN MINHAJUS
SA'ADAH DESA PELAYANGAN)"
6

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapat diambil
beberapa pokok permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana Pembinaan Karakter di Pondok Pesantren Minajus Sa'adah
?
2. Apa Saja Faktor Penghambat Dan Faktor Pendukung Dalam Membina
Karakter Santri Demi Terciptanya Kemandirian Kepada Santri di
Pondok Pesantren Minajus Sa'ada ?
3. Bagaimana Tingkat Kemandirian Santri di Pondok Pesantren Minhajus
Sa'adah ?
C. Fokus Penelitian

Agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam menjawab permasalahan


yang akan diteliti, serta untuk mengatasi keterbatasan waktu dan
kemampuan, penelitian ini penelitian memfokuskan pada Kolaborasi
Antara Pendidikan Salafiyah dan Pendidikan Formal Dalam Membentuk
Karakter Mandiri Santri (STUDI KASUS DI PONDOK PESANTREN
MINHAJUS SA'ADAH DESA PELAYANGAN).

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian


1. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui Proses Pembinaan Karakter dalam membina
kemandirian santri di Pondok Pesantren Minhajus Sa'adah ?
b. Untuk mengetahui Faktor Penghambat Dan Faktor Pendukung Dalam
Membina Karakter Santri Demi Terciptanya Kemandirian Kepada Santri
di Pondok Pesantren Minhajus Sa'adah?
c. Untuk mengetahui Pembinaan Karakter Terhadap Kemandirian Santri
di Pondok Pesantren Minhajus Sa'adah?
2. Kegunaan Penelitian

Adapun yang menjadi kegunaan dalam penelitian ini adalah


sebagai berikut:
7

a. Untuk memberikan manfaat keilmuan bagi pengembangan ilmu di


Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) khususnya dalam membina
karakter dalam meningkatkan kemandirian santri di pondok pesantren
b. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan penulis dalam dunia
pendidikan.
c. Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar
Sarjana Strata Satu (S.1) dalam Pendidikan Agama Islam Fakultas
Pendidikan Islam dan Keguruan.
BAB II
LANDASAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN
A.Landasan Teori
Setiap landasan karya ilmiah selalu disertai dengan teori-teori, hal
ini dimaksud sebagai pedoman atau acuan bagi peneliti agar setiap
langkah yang dilakukannya terkontrol dari berbagai penyimpangan
dengan segera dapat diatasi sehingga nilai ilmiah dan objekti penelitian
terjamin.
1. Pembinaan Karakter
a. Pengertian Pembinaan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pembinaan adalah


suatu usaha, tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara berdaya
guna dan berhasil guna untuk memperoleh hasil yang lebih baik.
Menurut Mangunhardjana yang dikutip oleh Mufrihatun pembinaan
adalah suatu proses belajar dengan tujuan membantu orang yang
menjalaninya, untuk membetulkan dan mengembangkan
pengetahuan dan kecakapan yang sudah ada serta mendapatkan
pengetahuan dan kecakapan baru untuk mencapai tujuan hidup
dan kerja yang sedang dijalani secara lebih efektif.8

Pembinaan pada dasarnya adalah upaya pendidikan baik


formal maupun non formal yang dilaksanakan secara sadar,
berencana, terarah, teratur, dan bertanggung jawab dalam rangka
memperkenalkan, menumbuhkan, dan membimbing pengetahuan
dan keterampilan sesuai dengan batas keinginan serta
kemampuan- kemampuannya sebagai bekal untuk selanjutnya
ditingkatkan dan dikembangkan baik oleh dirinya sendiri dan
lingkungannya ke arah tercapainya martabat, mutu dan

8
Aminul Arif, Abdul Fattah, Wahdania Amrullah. Dalam Jurnal Kajian Islam Kontemporer.
Vol 11 No. 1 2020. Hal. 117

8
9

kemampuan manusiawi yang optimal dan menjadi pribadi yang


mandiri.9

b. Pengertian Karakter
Istilah karakter berasal dari Bahasa Yunani “karasso” yang berarti
cetak biru, format dasar, dan sidik Dalam Islam, karakter sering disebut
dengan istilah “akhlak”, yaitu suatu perangai watak, tabiat yang menetap
kuat dalam jiwa seseorang serta merupakan sumber timbulnya perbuatan-
perbuatan tertentu dari dirinya secara mudah dan ringan, tanpa perlu
dipikirkan atau direncanakan sebelumnya.10
Pengertian karakter menurut G.W. Allport, karakter merupakan
suatu organisasi yang dinamis dari sistem psiko-fisik individu yang
menentukan tingkah laku dan pemikiran individu secara khas dan
mengarahkan pada tingkah laku manusia. Karakter bukan sekedar sebuah
kepribadian personality karena sesungguhnya karakter adalah kepribadian
yang ternilai. karakteristik, gaya, sifat khas dari diri seseorang yang
bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan,
misalnya keluarga pada masa kecil, dan juga bawaan seseorang sejak
lahir.11
Karakter diartikan sebagai cara berpikir dan berperilaku yang khas
tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik lingkup keluarga,
masyarakat, bangsa, dan negara. Menurut Scerenko sebagaimana dikutip
Muchlas Samani dan Hariyanto, karakter merupakan atribut atau ciri-ciri
yang membentuk dan membedakan ciri pribadi, ciri etis, dan kompleksitas
dari seseorang, kelompok, atau bangsa.12

9
Dr. Laros Tuhuteru, M.pd. Pendidikan Karakter Untuk Menjawab Resulusi Konflik
(Sumatra Barat: Pasaman, 2022), hal. 22
10
Imam Abu Hamid Al-Ghazali, Mengobati Penyakit Hati Membentuk Akhlak Mulia,
(Jakarta: Mizania, 2014), hal. 28.
11
Nana Sutarna, Pendidikan Karakter Siswa Sekolah Dasar Dalam Prespektif Islam
(Yogyakarta: Pustaka Diniyah, 2018), hal. 2.
12
Muchlas Samani dan Hariyanto, Konsep dan Model Pendidikan Karakter, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2012), hal. 42.
10

Sedangkan pendidikan karakter merupakan suatu sistem


penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi
komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk
melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi
manusia insan kamil.13
Menurut Robert Havighurst yang dikutip oleh Desmita membedakan
kemandirian atas tiga bentuk, yaitu:
1. Kemandirian Emosi, yaitu kemampuan mengontrol emosi sendiri dan
tidak tergantungnya kebutuhan emosi pada orang lain.
2. Kemandirian Ekonomi, yaitu kemampuan mengatur ekonomi sendiri
dan tidak tergantungnya kebutuhan ekonomi pada orang lain.
3. Kemandirian Intelektual, yaitu kemampuan untuk mengatasi berbagai
masalah yang dihadapi.14
4. Kemandirian Sosial, yaitu kemampuan untuk mengadakan interaksi
dengan orang lain dan tidak tergantung pada aksi orang lain.

Dengan berbagai pengertian di atas, karakter tidak hanya


diartikan sebagai sifat individu, namun juga sebagai sifat keluarga,
kelompok, dan bangsa. Pengertian sebagai identitas atau jati diri
suatu bangsa, karakter merupakan nilai dasar yang menjadi acuan
tata nilai dalam berinteraksi sosial. Secara universal berbagai
karakter dirumuskan sebagai nilai hidup yang harus dijunjung
bersama, di antaranya: kedamaian, toleransi, menghargai, kerja
sama, kebebasan, kebahagiaan, kejujuran, kesopanan,
kerendahan hati, persatuan, kasih sayang, disiplin, mandiri,
kesederhanaan, dan tanggung jawab. Tentu masih banyak nilai-
nilai karakter lain yang disesuaikan dengan kondisifitas bangsa dan
negara.15
13
Sri Narwanti, Pendidikan Karakter (Yogyakarta: Familia, 2016), hal. 14.
14
Muhammad Ali dan Muhammad Asrori, Psikologi Remaja: Perkembangan Peserta
Didik, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), hal. 110
15
Ibid. hal. 43
11

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa


pendidikan karakter merupakan penanaman nilai kepribadian
kepada Allah, kepada dirinya sendiri, maupun kepada
lingkungannya sehingga akan menjadi kebiasaan dan karakteristik
pada diri seseorang dan terbentuk melalui pengaruh dari
lingkungan.

Karakter adalah sifat atau tingkah laku yang dimiliki oleh


setiap santri, sehingga dapat mencerminkan sebuah kepribadian
akhlak yang melekat pada seorang santri. Santri juga
mempunyai akhlak atau karakter yang mendominasi dalam ilmu
keagamaan sehingga santri sering kali di butuhkan oleh kalangan
masyarakat. Santri mempunyai beberapa karakter sebagai berikut:

a. Keberanian: Tentu saja seorang santri memiliki keberanian, karena di


setiap kegiatannya di dalam pondok di ajari ber pidato atau qitobah.
Di dalam kegiatan ini santri akan mulai belajar menata mentalnya
masing-masing sehingga nanti sesudah keluar santri bias menerapkan
ilmu yang didapatkannya.
b. Tanggung jawab: Seseorang santri pasti akan menanggung jawab di
setiap tanggungannya, misalkan seperti pada saat terkena hukuman
atau (takzir) dan melaksanakan rok’an santri akan selalu siap dan
sanggup mengambil resiko atau sangsi yang akan di berikan oleh pihak
pengurus.
c. Mandiri: Setiap santri harus belajar hidup mandiri karena hidup di
pesantren itu dilatih untuk hidup mandiri supaya pandai mengatur
waktu, mengatur keuangan dan lain sebagainya.
d. Berakhlakul Karimah: Dengan pola pembelajaran Ala-pesantren
yang kental dengan prinsip sam'an wa tha'atan, ta'dhiman wa ikraman
lil masyayikh artinya mendengar menta'ati mengagungkan serta
menghormati kepada Kyai, mereka terdidik untuk selalu
menghormati orang lain yang lebih tua terlebih kepada orang tua dan
12

guru dan menghargai kepada yang muda. Hal ini yang memunculkan
sikap serta budi pekerti yang luhur. Termasuk pelajaran-pelajaran
akhlak yang langsung dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari juga
menunjang seorang santri memiliki karakter ini.
e. Disiplin: Kehidupan di pesantren yang penuh dengan aturan yang
berupa kewajiban dan larangan serta hukuman bagi yang melanggar,
menjadikan seorang santri memiliki karakter ini. Tentu saja, mulai dari
jam 03:00 pagi mereka harus bangun untuk Qiyamullail (shalat malam),
lanjut mudarotsah (belajar) dan juga mereka wajib ikut shalat
berjamaah 5 waktu. Kegiatan mereka sangat padat, bahkan kadang
sampai jam 11 malam baru bisa tidur. Semua kegiatan yang ada di
pesantren ada jadwal waktunya.Hal semacam ini yang membuat
santri berkarakter disiplin.
f. Qonaah dan Sederhana: Seorang santri sudah terbiasa hidup
seadanya terkadang sampai kekurangan-pun itu sudah lumrah.
Mulai dari makanan paling juga tahu tempe tiap harinya. Kadang
malah ada yang sengaja tirakat puasa mutih (hanya makan nasi).
Kalopun makan enak itu karena ada kiriman dari orang tua. Begitu juga
dalam hal pakaian, mereka membawa pakaian secukupnya dan itupun
pakaian yang sederhana, hanya untuk ngaji.16
2. Karakter Mandiri
Menurut Kamus Besar Bahas Indonesia (KBBI) Kata mandiri
memiliki arti bahwa dapat berdiri sendiri dalam keadaan apapun, tidak
mudah tergantung dengan orang lain. Dalam arti kata benda yaitu
kemandirian yang berarti suatu hal atau keadaan apapun dapat berdiri
sendiri tanpa bergantung dengan orang lain. Kata mandiri memiliki
sinonim yaitu berdikari yang artinya berdiri diatas kaki sendiri, tidak
dengan mudah tergantung pada orang lain dan meminta bantuan orang
lain. Mandiri ialah suatu perilaku atau sikap seseorang melakukan
kegiatan sendiri tidak dengan mudah tergantung dengan orang lain dan
16
M. Kamis, Karakter Manusia, (Jakarta: Gramedia, 2007), hlm. 123
13

tanpa maminta bantuan orang lain. Mandiri merupakan perilaku dan sikap
yang tidak mudah tergantung dengan orang lain dalam menyelesaikan
tugas-tugasnya.17
Seseorang yang mandiri biasanya tidak mudah tergantung dengan
orang lain. Sikap dan prilaku yang dilakukan dapat menentukan suatu
keberhasilan dan kegagalan. Menurut Feriyanti, bahwa ciri-ciri seseorang
yang dapat dikatakan mandiri adalah sebagai berikut:
1. Bertanggung jawab Semua perbuatan yang dilakukan baik itu dalam hal
kebaikan atau hal keburukkan dapat bertanggung jawab atau dapat
diterima.
2. Menghargai Waktu Waktu yang dimiliki dapat dimanfaatkan dengan
sebaik mungkin untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat dalam suatu
pekerjaan atau hal lainnya.
3. Menguasai keahlian dan keterampilan sudah melekat kepada dirinya
kemudian dilatih, diasah dan dikembangkan secara berkelanjutan akan
menjadi suatu potensi bagi dirinya.
4. Mampu bekerja sendiri Kemampuan yang dimiliki seseorang yang
dapat menyelesaikan pekerjaannya tanpa bantuan orang lain.
5. Percaya diri Memiliki sikap yakin terhadap kemampuan diri yang dimiliki
akan harapan dan keinginanya.18
Dalam keluarga, karakter mandiri harus ditanamkan oleh orang tua
kepada anak untuk membangun kepribadian sejak dini. Anak yang
memiliki karakter mandiri berarti senantiasa aktif, kreatif, independen,
kompeten, dan spontan. Dari sifat-sifat tersebut bukan berarti mandiri
sama dengan percaya diri. Karakter mandiri merujuk kepada kepribadian
seseorang yang senantiasa siap menghadapi situasi apapun tanpa
bergantung kepada orang lain.19

17
Nur Hidayah, M.Pd. Market Day dan Karakter Kewirausahaa/Entrepreneurship
(Yogyakarta : 2022) hal. 35
18
Ibid. 39-40
19
Mustari, Nilai Karakter: Refleksi Untuk Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hal.
77-78
14

Karakter mandiri erat hubungannya dengan kemandirian. Jika


karakter mandiri diartikan sebagai sebuah sikap, sifat, atau watak yang
mandiri, maka kemandirian adalah usaha atau kemampuan seseorang
dalam melakukan perbuatan secara mandiri. Sehingga diperoleh
kesimpulan bahwa seseorang yang memiliki karakter mandiri akan
mengaktualisasikan kemandirian yaitu pola hidup yang tidak bergantung
kepada orang lain. Sebaliknya seseorang yang menjalankan aktivitasnya
dengan penuh kemandirian maka di dalam pribadinya terdapat karakter
mandiri.20
Adapun faktor yang mempengaruhi kemandirian itu antara lain:
faktor internal dan eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang
bersumber dari diri seseorang seperti motivasi dan kebutuhan seseorang.
Sebab pada dasarnya manusia menginginkan otonomi (bisa mengatur diri
sendiri), melepaskan diri dari kendala meloloskan diri dari kungkungan
dan ketergantungan pada orang lain. Sedangkan faktor eksternal meliputi
dua hal. Pertama, faktor kebudayaan. Kebudayaan masyarakat yang
kompleks dan maju akan membentuk kemandirian seseorang. Kedua,
faktor pola asuh. Pola asuh yang bersifat demokratis, otoriter dan bebas
akan mempengaruhi pada perkembangan kemandirian seseorang.
Dengan demikian orang yang berkarakter mandiri berarti orang
yang memiliki watak cukup diri baik dalam berpikir maupun bertindak.
Orang yang berkarakter mandiri mampu berpikir dan berfungsi secara
independen, tidak bergantung pada orang lain dan sanggup menghadapi
masalah Ia mampu menguasai kehidupannya sendiri dan dapat
menangani apa saja yang menjadi kesulitannya.21
Kurangnya kemandirian pada diri seseorang akan mengakibatkan
orang tersebut memiliki kecenderungan untuk bergantung pada orang lain,
kurangnya kreativitas, malas, kurang percaya diri dan tidak dapat
20
M. Asrorul Amin dan Turhan Yani. Dalam Jurnal “Peran Pondok Pesantren Dalam
Menumbukan Sikap Kemandirian Santri Melalui Kegiatan Wirausaha di Ponpes Mukmin
Mandiri Sidoarjo”, Vol. 5, No. 3, tahun 2017, hal. 900
21
Rizal Muttaqin, “Kemandirian dan Pemberdayaan Ekonomi Berbasis Pesantren”, Jurnal
Ekonomi Syariah Indonesia, (Vol. 1, No.2, tahun 2011), hlm. 69.
15

memecahkan masalahnya sendiri. Dalam konteks proses belajar, terlihat


adanya fenomena peserta didik yang kurang mandiri dalam belajar dan
memiliki kebiasaan yang kurang baik dalam belajar, seperti: tidak betah
belajar lama, belajar hanya menjelang ujian, membolos, menyontek dan
mencari bocoran soal-soal ujian. Hal ini dapat menimbulkan gangguan
mental setelah memasuki pendidikan lanjutan. Maka setiap lembaga
pendidikan hendaknya memperhatikan hal ini dan menyiapkan pembinaan
yang tepat agar peserta didik memiliki kemandirian yang baik22
Semakin besar motivasi santri semakin besar pula kemauan untuk
mencapai tujuan sehingga tingkah laku mandirinya lebih besar. Semakin
besar tingkah laku mandirinya maka semakin aktif seseorang mencari
informasi semakin percaya diri sanggup memecahkan masalahnya tanpa
bantuan orang lain, suka bekerja keras senang kompetisi yang sehat
punya kebutuhan berprestasi suka mendapat kebebasan, sekaligus juga
suka membebaskan orang lain. Mandiri semacam ini adalah mandiri yang
benar-benar memiliki pandangan hidup sebagai suatu keseluruhan,
cenderung bersikap realistis dan objektif terhadap diri sendiri.23
3. Pembentukkan Karakter Mandiri
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pembentukan adalah suatu
proses cara atau perbuatan membentuk suatu. Menurut istilah
pembentukan diartikan sebagai usaha luar yang terarah kepada tujuan
tertentu guna membimbing faktor-faktor pembawaan hingga terwujud
dalam suatu aktivitas jasmani ataupun rohani. Jadi, membentuk bukan
hanya diartikan sebagai membuat sesuatu dengan bentuk tertentu, tetapi
juga diartikan sebagai membimbing, mendidik watak, kepribadian dan
sebagainya. Pembentukan adalah proses untuk melakukan perubahan
bentuk pada sesuatu yang difokuskan.24

22
Imam Musbikin, Penguatan Karakter Kemandirian, Tanggung Jawab dan Cinta Tanah
Air (Perpustakaan Nasional RI : 2021), hal. 2
23
Ibid. hal 69.
24
M. Syamsuddin Zuhriy, “Budaya Pesantren dan pendidikan Karakter pada Pondok
Pesantren Salaf”, Jurnal Walisongo, (Vol 19, No 2, November 2011), hal. 292
16

Sedangkan karakter berasal dari bahasa Inggris “Character” dan


dari bahasa Yunani “Charassein” yang berarti membuat tajam dan
membuat dalam. Sedangkan dari segi istilah karakter sering dipandang
sebagai cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu
untuk hidup dan bekerjasama baik dalam lingkup keluarga, masyarakat,
bangsa dan negara.25
Karakter menurut Kemendiknas adalah watak, tabiat, akhlak, atau
kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai
kebajikan yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara
pandang, berfikir, bersikap dan bertindak Sehingga karakter dipandang
sebagai sebuah cara untuk bersikap dalam kehidupan dan menjadi
pembeda antara satu orang dengan orang yang lain.26
Proses pembentukan karakter mandiri memerlukan intensitas
tertentu. Santri disatukan dalam sebuah lingkungan pendidikan berupa
asrama, sehingga memunculkan suasana belajar yang komprehensif dan
holistik. Steinberg dalam Kusumawardhani dan Hartati menyebutkan
bahwa kemandirian terdiri dari tiga aspek, yaitu: kemandirian emosi,
kemandirian bertindak dan kemandirian nilai. Kemandirian emosi
menekankan pada kemampuan remaja untuk melepaskan diri dari
ketergantungan orang tua dalam pemenuhan kebutuhankebutuhan
dasarnya. Kemandiran bertindak menekankan Proses pembentukan
karakter mandiri memerlukan intensitas tertentu. Santri disatukan dalam
sebuah lingkungan pendidikan berupa asrama, sehingga memunculkan
suasana belajar yang komprehensif dan holistik. Steinberg dalam
Kusumawardhani dan Hartati menyebutkan bahwa kemandirian terdiri dari
tiga aspek, yaitu: kemandirian emosi, kemandirian bertindak, dan
kemandirian nilai. Kemandirian emosi menekankan pada kemampuan
remaja untuk melepaskan diri dari ketergantungan orang tua dalam
25
Syamsul Kurniawan, Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Implementasinya secara
Terpadu di Lingkungan Keluarga, Sekolah, Perguruan Tinggi dan Masyarakat
(Yogyakarta: ArRuzz Media, 2014), hal. 4
26
Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga
Pendidikan (Jakarta: Kencana, 2012), hal. 74-76
17

pemenuhan kebutuhankebutuhan dasarnya. Kemandiran bertindak


menekankan.27
Pembentukan karakter adalah sebuah penataan diri setiap manusia
yang mempunyai tujuan agar seseorang mampu menjadikan dirinya
masing-masing menjadi lebih baik dan mempunyai akhlak yang baik
yang akan tertanam pada diri seseorang. Dan setiap manusia mempunyai
harapan yang baik yang mampu membawa dirinya menjadi lebih
sempurna dan layak untuk di contoh kepada setiap manusia.
Sehingga santri disini akan terbentuk sifatnya dengan melalui
pembelajaran di dalam pondok atau dilingkungan sekitar dengan cara
mematuhi atau mengikuti kegiatan-kegiatan atau pembelajaran yang telah
di ajarkan oleh kyai dan ustad. Dari situlah penataan sebuah kepribadian
santri akan tertanam.
Allah berfirman dalam alquran dalam surat At-Thaariq ayat (5-6)

         
Artinya : Maka hendaklah manusia memperhatikan dari Apakah Dia
diciptakan. Dia diciptakan dari air yang dipancarkan
4. Santri
a. Pengertian Santri
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata "santri"
memiliki dua pengertian. Pertama, orang yang mendalami agama Islam,
dan kedua, orang yang beribadat dengan sungguh-sungguh, orang yang
saleh. Secara umum kata "santri" yang sering dimaknai sebagai sosok
pribadi agamis yang kesehariannya mengenakan sarung, peci dan tinggal
di pesantren secara esensial memiliki kedekatan dengan kata "pesantren"
tempat para "santri" menimba ilmu agama Islam.28
Kata santri menurut C. C Berg berasal dari bahasa India, Shastris,
yaitu orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu atau seorang sarjana

27
Thomas Lickona, Pendidikan Karakter: Panduan Lengkap Mendidik Siswa Menjadi
Pintar dan Baik (Bandung: Nusa Media, 2014), hal. 70.
28
Dr. Arifi Saiman, M.A. "Diplomasi Santri" (Jakarta: Anggota IKAPI 2019) hal.
18

ahli kitab suci agama Hindu. Sementara itu, A. H. Jhon menyebutkan baha
istilah santri berasal dari Basaha Tamil yng berarti guru ngaji.29
Istilah santri sudah sangat familiar di Indonesia. Ada banyak orang
yang memberi pengertian masing-masing terhadap kata santri. Semua
definisi mengarah kepada hal yang sama. Semua pengertian menuturkan
bahwa santri harus tinggal di pesantren, namun berbeda halnya dengan
apa yang diungkapkan oleh KH. Mustofa Bisri atau biasa dipanggil Gus
Mus. Beliau memaparkan bahwasannya santri tidak hanya tinggal
dipesantren, tapi setiap orang yang memiliki akhlak dan sifat yang baik
juga hormat kepada gurunya bisa disebut dengan istilah santri.30
S
antri adalah orang yang berpegang teguh dengan Al-Qur'an
dan mengikuti sunnah Rasul SAW serta teguh pendirian. Ini adalah arti
dengan bersandar sejarah dan kenyataan yang tidak dapat diganti dan
diubah selama-lamanya. Santri secara umum adalah sebutan bagi
seseorang yang mengikuti pendidikan Ilmu Agama Islam di suatu
tempat yang dinamakan Pesantren biasanya menetap di tempat tersebut
hingga pendidikannya selesai. Menurut bahasa, istilah santri berasal
dari bahasa Sanskerta shastri yang memiliki akar kata yang sama
dengan kata sastra yang berarti kitab suci, agama dan pengetahuan.31
Seperti contoh adaa suatu pendapat yang mengatakan makna
santri adalaah bahasa serapan dari bahasa Inggris yang berasal dari dua
suku kata yaitu sun dan three yang artinya tiga matahari. Matahari
adalah tiga titik pusat tata surya berupa pola berisi gas yang
mendatangkan terang dan panas pada bumi pada siang hari. Seperti kita
ketahui matahari adalah sumber energi tanpa batas matahari pula
sumber kehidupan bagi seluruh tumbuhan dan semuanya dilakukan
secara ikhlas oleh matahari. Namun maksud tiga matahari dalam kata

29
Babun Suharto, Dari Pesantren untuk Umat: Reiventing Eksistensi Pesantren di era
Globalisasi, (Surabaya: Imtiyas, 2011), hal. 9
30
Zainul Muhlisin, " Ala Santri" (Jakarta Selatan: Cipedak Jagakarsa 2017) hal. 5
31
Ferry Efendi, Makhfudli, Teori dan Praktik dalam Keperawatan, (Jakarta: Salemba
Medika, 2009), hlm. 313
19

sunthree adalah tiga keseharusan yang dipunyai oleh seorang santri


yaitu Iman, Islam dan Ihsan dipelajari dipesantren menjadi seseorang
santri yang dapat beriman kepada Allah secara sungguh-sungguh
berpegang teguh kepada aaturan Islam, serta dapat berbuat ihsan
kepada sesama.
Tetapi para ahli ilmuan tidak sependapat dan saling berbeda
pendapat mengenai tentang pengertian santri. Ada yang menyebut,
santri diambil dari bahasa tamil yang berarti guru mengaji ini adalah
pendapat Prof. Dr. Zamakhsyari Dhofier yang mengutip pendapat Prof.
Johns. Ada juga yang menilai kata santri berasal dari kata india shastri
yng berarti orang yang memiliki pengetahuan tentang kitab suci ini
adalah pendapat C.C Berg. Selaras dengan Berg, Cliford Geertz
menduga bahwa pengertian santri bersal dari bahasa sangsekerta shastri
yang berarti ilmuan hindu yang pandai menulis yang dalaam
pemakaaiaan bahasa modern memiliki arti yang sempit dan arti yang
luas.
Dalam arti sempit ialah seorang pelajar yang belajar disekolah
agama atau yang biasa disebuut pondok pesantren sedang dalam arti
yang lebih luas santri mengacu pada bagian anggota penduduk jawa
yang menganut Islam dengan sungguh-sungguh yang bersembahyang ke
masjid pada haari jum’at dan sebagainya.
Sedangkan Soegarda Poerbakawatja menyatakan bahwa tradisi
pesantren itu bukan berasal dan sistem pendidikan Islam di Mekkah,
melainkan dari Hindu dengan melihat seluruh sistem pendidikan
bersifat agama, guru tidak mendapat gaji, penghormatan yang besar
terhadap guru dari para murid yng keluaar meminta-minta diluar
lingkungan pondok. Juga letak pesantren yang didirikan diluar kota
dapat dijadikan alaasan untuk membuktikan asal-usul pesantren dari
Hindu dan pendapat serupa dikemukakan oleh Van Bruinessen.
20

S
elain itu, Nurkulis Madjid menyakini bahwa kata santri berasal
dari kata. Cantrik (bahasa sangkekerta atau jawa), yang berarti orang
yang selalu mengikuti guru. Sedang versi yang lain mengangap kata
santri sebagai gabungan antara kata saint sebaagai gabungan antara
kata saint (manusia baik) dan kata tra (suka menolog). Sehingga kata
pesantren dapat berarti tempat pendidikan manusia baik-baik.32
D
alam praktik bahasa sehari-hari, istilah santri pun memiliki
devariasi yang bayak. Artinya, pengertian atau pembuatan kata santri
masih suka-suka alias menyisakan pertanyaan yang lebih jauh. Santri
apa, yang mana dan bagaimana? Sebagai contoh ada istilah santri
profesi da nada santri kultur. Santri Profesi adalah mereka yang
menempuh pendidikan ataau setidaknya memiliki hubungan darah
dengan pesantren. Sedangkan „Santri Kultur‟ adalah gelar santri yang
disandangkan berdasarkan budaya yang berlaku dalam kehidupan
masyarakat. Dengan kata lain bias saja orang yang sudah mondok di
pesantren tidak disebut santri perilakunya buruk. Dan sebaliknya
orang yang tidak pernah mondok di pesantren biasa disebut santri
karena perilakunya baik.33
PENELITIAN RELEVAN
B.

Penelitian terdahulu merupakan penelusuran pustaka yang


berupa hasil penelitian, karya ilmiah, ataupun sumber lain yang
digunakaan peneliti sebagai perbandingan terhadap penelitian yang
dilaakukan. Oleh karena itu, penulis akan mendeskripsikan
beberapa penelitian yang ada relevansinya dengan judul penulis,
antara lain:

32
Nurkulis Madjid, Pengertian Ilmu Islam,... 1991, hlm. 72

33
Zamkhasyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta : Mizen, Cet II, 1992), hlm. 36
21

1. Skripsi ini di tulis oleh Suprapti Wulaningsih, jurusan Pendidikan Agma


islam,Fakultas ilmu tarbiyah dan kegruruan Uin sunan kalijaga
Yogyakarta 2014,Dengan judul “Peran pondok pesantren Assalafiyah
dalam membentuk karakter santri di desa religi mlangi” (hal ini terdapat
pembiasaan yang dilakukan di kampung santri). Pola pendidikam yang
digunakan dalam pembentukan karakter dengan cara menggunakan
pola pembiasaan antara santri dengan santri, pengurus dalam
menanamkan nilai-nilai karakter, peran pesantren sebagai lemabaga
pendidikan karakter santri menjadi manusia yang memilki kedewasaan
ilmu perilaku dan konsisi pada lingkungan pesantern yang ia tinggali.
2. Skripsi ini ditulis oleh Azzah Zayyinah, Jurusan Pendidikan Guru
Madrasah Ibitdaiyah Fakultas Ilmu Tarbiyah dan KeguruanUniversitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta 2013. Dengan judul “Peran
kegiatan ekstrakulikuler dalam meningkatkan karakter santri di pondok
pesantren nurul ummah putri kota gede yogyakarta”.66 (Dalam skripsi
ini dapat di simpulkan bahwa peran ekstrakulikuler dalam meningktkan
nilai karakter santri di pondok pesantren nurul umah putri) Diharpakan
agar menjadikan bermnafaar dalam memberikan motivasi kepada
samtri dalam meningtkan nilai karakter baik bagi mereka yang
mengikuti ekstrakulikuler yang berada di pondok pesantren Dalam
pelaksanaanya jenis esktrakulikuer yang ada di pondok pesantren
Nurul ummah Putri di bidang TBD yang bergerak di bidang dakwah
eksrtakulikuler hadrah ekstrakulikuler kaligrafi dan ekstrakuikuler
tilawah. Pada pelaksanaan kegiatan ekstrakulikuler sudah berjalan
dengan cukup baik, ekstrakulikuler ini berperan dalam meningkatkan
nilai-nilai karakter yang berupa: religius,jujur,toleransi, displin, kerja
keras, kreatif, mandiri demokratis, rasa ingin tahu,mengahragai prestasi
komunikatif cingta damai gemr membaca, peduli Lingkungan,sosial
dan tanggung jawab.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Pondok Pesantren Minhajus Sa'adah


Desa Pelayanagan membahas tentang Kolaborasi Antara Pendidikan
Salafiyah dan Pendidikan Formal Dalam Membina Karakter Mandiri Santri,
berbentuk penelitian kualitatif (deskriptif kualitatif) yang di lihat melalui
sudut pandang penelitian.
Penelitian kualitatif adalah pengumpulan data pada pada suatu
latar alamiah dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dimana
penelitian adalah sebagai instrumen kunci, pengambilan sampel, sumber
data, dilakukan secara purposive dan snowball, teknik pengumpulan
dengan triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif kualitatif, dan
hasil penelitian lebih menekankan makna dari generalisasi. 34 Penelitian
kualitatif adalah jenis penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan
yang tidak dapat diperoleh dengan menggunakan prosedur-prosedur
statistik atau cara-cara lain dari kuantitatif.35
Sedangkan menurut Libarkin C. Julie & Kurdziel P. Josepha,
penelitian kualitatif yaitu suatu prosedur penelitian yang menggunakan
data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan
pelaku yang dapat diamati. Kualitatif berarti sesuatu yang berkaitan
dengan aspek kualitas, nilai atau makna yang terdapat di balik fakta.
Kualitas, nilai atau makna hanya dapat di ungkapkan dan dijelaskan
melalui linguistik, bahasa atau kata-kata.36 Instrumen yang digunakan
dalam penelitian ini adalah observasi, dokumentasi dan wawancara.

34
Albi Aggito dan Johan Setiawan, Metodologi penelitian kualitatif (Jawa Barat: CV.Jejak,
2018)
35
Nur Sayidah, Metodologi Peneitian Dissertai Dengan Contoh Penerapannya Dalam
Penelitian (Jawa Timur: Zifatama Jawara, 2018), hal.14
36
Fitrah dan Lutfiah, Metodologi Penelitian Kualitatif, Tindakan Kelas & Studi Kasus
(Jawa Barat: CV.Jejak,2017), hal.44

22
23

B. Situasi dan Subjek Penelitian


Penelitian ini di lakukan di Pesantren Minhajus Sa'adah Desa
Pelayangan Kecamatan Muara Bulian, peneliti memilih lokasi penelitian di
karenakan lokasi penelitian mudah dijangkau oleh peneliti
Adapun subjek penelitian ini yaitu guru sebagai informan kunci (Key
Informan), Sedangkan pembinaan karakter sisa lainnya sebagai informan
tambahan (responden). Peneliti menggunakan metode penelitian deskriptif
kualitatif, deskriptif kualitatif adalah suatu metode yang dihgunakan untuk
menemukan pengetahuan terhadap subjek penelitian pada suatu saat
tertentu.37
C. Jenis dan Sumber Data
1. Jenis Data
a. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumbernya,
diamati dan dicatat untuk pertama kalinya. Data tersebut menjadi data
sekunder kalau dipergunakan orang yang tidak berhubungan langsung
dengan penelitian yang bersangkutan.38 Atau suatu data yang dijadikan
pokok utama suatu penelitian (diperoleh langsung dari sumbernya), yaitu
Guru Pendidikan Agama Islam dan santri pondok pesantren Minhajus
Sa'adah Desa Pelayanga Kecamatan Muara Bulian.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang bukan diusahakaan sendiri
pengumpulannya oleh peneliti, misalnya dari biro statistik, majalah, koran
keterangan-keterangan atau publikasi lainnya.39 Sumber sekunder dari
penelitian ini adalah data yang diambil dari gambaran umum di Pondok
Pesantren Minhajus Sa'adah Desa Pelayangan, Seperti:
1) Historis dan geografis Pondok Pesantren Minhajus Sa'adah Desa
Pelayangan Kecamatan Muara Bulian
37
Mukthar, Metode Praktis Metode Penelitian Deskriptif Kualitatif (Jakarta: Referensi,
2013), hal. 10
38
Mukhtar, Bimbingan Skripsi, Tesis, dan Artikel (Panduan Berbasis Penelitian Kualitatif
Lapangan dan Perpustakaan) (Jambi: Sultan Thaha Press, 2011), hal.87
39
Ibid, hal. 91
24

2) Struktur organisasi Pondok Pesantren Minhajus Sa'adah Desa


Pelayangan Kecamatan Muara Bulian
3) Keadaan Guru dan Santri Pondok Pesantren Minhajus Sa'adah Desa
Pelayangan Kecamatan Muara Bulian
4) Keadaan sarana dan prasarana Pondok Pesantren Minhajus Sa'adah
Desa Pelayangan Kecamatan Muara Bulian
2. Sumber Data
Sumber dalam penelitian ini merupakan sumber dimana data
diperoleh, sebagai berikut:
a. Orang yang dijadikan data sumber seperti Guru pendidikan agama
islam dan peserta dididik di SDN 77/I Penerokan.
b. Peristiwa atau kejadian yang diperoleh dari pengamatan yang berkaitan
tema penelitian.
c. Dokumentasi seperti keadaan Historis geografis, struktur organisasi,
keadaan guru dan siswa serta sarana prasarana Sekolah.
D. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakuan oleh penelitian untuk memperoleh
informasi data-data yang diinginkan, penelitian dalam hal ini menerapkan
beberapa metode sebagai berikut:
1. Observasi
Sutrisno mengemukakan bahwa, observasi merupakan suatu
proses yang kompleks, yang tersusun dari berbagai proses biologis dan
psikologis. Dua diantaranya yang terpenting adalah proses pengamatan
dan ingatan.40 Dalam hal ini, penulis terjun langsung ke lapangan untuk
mengadaka pengamatan guna mendapatkan data yang diperlukan. Hal ini
digunakan untuk mendapatkan hasil penelitian yang objektif. Peneliti
menggunakan teknik ini pada pelaksanaan Kolaborasi Antara Pendidikan
Salafiyah dan Pendidikan Formal Dalam Membina Karakter Mandiri Santri

40
Albi Anggito dan Johan Setiawan, Metodologi Penelitian Kualitatif (Jawa Barat: Jejak,
2018), hal.109
25

di pondok pesantren Minhajus Sa'adah Desa Pelayangan Kecamatan


Muara Bulian.
Wawancara

Wawancara adalah percakapan yang memiliki tujuan untuk


mendapatkan konstruksi yang terjadi sekarang, yakni mengenai, orang,
kejadian, aktivitas, organisasi, perasaan, motivasi, pengakuan, kerisauan
dan sebagainya.41 Penulis melakukan wawancara tidak terstruktur dengan
menggunakan alat media elektronik digunakan untuk mengumpulkan data
tentang Kolaborasi Antara Pendidikan Salafiyah dan Pendidikan Formal
Dalam Membina Karakter Mandiri Santri di pondok pesantren Minhajus
Sa'adah Desa Pelayangan Kecamatan Muara Bulian.
2. Dokumentasi
Metode dokumentasi adalah metode untuk mendukung dan
menambah bukti yang diperoleh dari sumber lain dan untuk membuktikan
kebenaran hasil observasi dan wawancara. Dokumentasi dapat digunakan
untuk mencari dan mengumpulkan data berupa teks atau gambar.42
Dokumentasi ini digunakan oleh peneliti untuk mengambil bukti
nyata dalam penelitian yang berupa foto kegiatan pembelajaran yang
dilakukan oleh guru dan penelitian, dan data-data dari sekolah, seperti
data guru, struktur organisasi, visi misi dan tujuan Pondok Pesantren
Minhajus Sa'adah Desa Pelayangan Kecamatan Muara Bulian.

E. Teknik Analisi Data


41
I wayan suwendra, Metodologi Penelitian Kualitatif Dalam Ilmu Sosial, Pendidikan,
Kebudayaan, dan Keagamaan (Bandung: Nilacarka, 2018), hal. 55
42
Wina Sanjaya, Penelitian Pendidikan (Jakarta: Kencana Preda Media Grup, 2013), hal.
74
26

1. Reduksi Data
Data yang diperoleh dilapangan melalui wawancara, observasi, dan
dokumentasi reduksi dengan cara merangkum, memilih, dan
memfokuskan data pada hal-hal yang sesuai tujuan penelitian. Pada
tahap ini, peneliti melakukan reduksi dengan cara memilah-memilah,
mengkategori, dan membuat abstraksi dari catatan lapangan, wawancara,
dan dokumentasi. Reduksi data ini digunakan untuk menganalisis data
yang diperoleh dari lapangan secara garis besarnya yaitu mengenai
masalah Kolaborasi Antara Pendidikan Salafiyah dan Pendidikan Formal
Dalam Membina Karakter Mandiri Santri di pondok pesantren Minhajus
Sa'adah Desa Pelayangan Kecamatan Muara Bulian.

2. Penyajian Data
Setelah data reduksi, maka langkah selanjutnya adalah
mendisplaykan data, sehingga semakin mudah dipahami. Dengan
mendisplaykan data, maka akan memudahkan untuk memahami yang
terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa saja yang telah
dipahami tersebut.43 Setelah penulis melakukan reduksi data, maka
disajikan data tentang Kolaborasi Antara Pendidikan Salafiyah dan
Pendidikan Formal Dalam Membina Karakter Mandiri Santri di pondok
pesantren Minhajus Sa'adah Desa Pelayangan Kecamatan Muara Bulian.
3. Menarik Kesimpulan
Langkah terakhir dalam analisis data kualitatif adalah penarikan
kesimpulan dan verifikasi kesimpulan awal yang dikemukan masih bersifat
sementara dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat
yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya, tetapi apabila
kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal didukung bukti-bukti yang
valid dan konsisten pada saat peneliti kembali kelapangan

43
Sugiyono, Memahami Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D (Bandung: Alfabeta,
2013), hal. 249
27

mengumpulakan data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan


kesimpulan yang kredibel.
F. Triangulasi Data
Triangulasi adalah suatu pendekatan analisis data yang
mendisentesa data dari berbagai sumber. Menurut Institute of Global tech
menjelaskan baha tringulasi mencari pengujian data yang sudah ada
dalam memperkuat tafsir dan meningkatkan kebijakan serta program yang
berbasis pada bukti yang telah tersedia. Dengan cara menguji informasi
dengan mengumpulkan data melalui metode berbeda, maka penemuan
mungkin memperlihatkan bukti penetapan lintas data, mengurangi
dampaknya dari penyimpangan potensial yang bisa terjadi dalam satu
penelitian tunggal.44
G. Rencana dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan selama kurang lebih 6 (enam) bulan.
Penelitian dilakukan dengan pembuatan proposal, kemudian dilanjutkan
dengan perbaikan hasil seminar proposal skripsi. Setelah pengesahan
judul dan izin riset, maka penulis mengadakan pengumpulan data,
verifikasi dan analisis data dengan waktu yang berurutan. Hasilnya penulis
melakukan konsultasi dengan pembimbing. Hasil sidang munaqasah
dilanjutkan dengan perbaikan dan penggadaan laporan penelitian skripsi.
Adapun jadwal kegiatan dapat dilihat pada tabel berikut ini :

44
Sapto Haryoko, Dkk, Analisis Data Penelitian Kualitatif (Makasar: Badan Penerbit UNM,
2020), hal. 409
28

Tabel 1.

Rencana dan Waktu Penelitian.


Tahun 2023
No Kegiatan Juni Juli Agustus September Oktober November
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1. Studipendahuluan (grand tour) 
Pengajuan judul Proposal
2.
Skripsi

Pembuatan Draf Proposal
3.
Skripsi

4. Konsultasi Pembimbing     
5. Seminar Proposal 
Revisi Draf Proposal setelah
6.
Seminar
7. PengesahanRiset Penelitian 
8.
Penelitian Lapangan/pe 
ngumpulan data
9. Penulisan draf skripsi 
10. perbaikan draf skripsi 
11. Pendaftaranujian munaqasyah 
12. Ujian munaqoysah 
13. Skripsi setelah ujian
14. Penggandaan
15. Penyerahan skripsi
1

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an yayasan penyelenggara penterjemah Al-Qur’an dan


terjemahannya, Depag RI, 2012

Anonim, Buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Ilmu Pendidikan dan


Keguruan Institut Agama Islam Nusantara Batang Hari. 2020

Akhmad Muhaimin azzet, Urgensi Pendidikan Karakter di Indonesia,


(Yogyakarta: Ar-Ruzz media).

Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam: Isu-isu Kontemporer


tentang Pendidikan Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2013)

Albi Anggito dan Johan Setiawan, Metodologi Penelitian Kualitatif (Jawa


Barat: Jejak, 2018)

Aminul Arif, Abdul Fattah, Wahdania Amrullah. Dalam Jurnal Kajian Islam
Kontemporer. Vol 11 No. 1 2020

Albi Aggito dan Johan Setiawan, Metodologi penelitian kualitatif (Jawa


Barat: CV.Jejak, 2018)

Babun Suharto, Dari Pesantren untuk Umat: Reiventing Eksistensi


Pesantren di era Globalisasi, (Surabaya: Imtiyas, 2011)

Dr. Laros Tuhuteru, M.pd. Pendidikan Karakter Untuk Menjawab Resulusi


Konflik (Sumatra Barat: Pasaman, 2022)

Dr. Arifi Saiman, M.A. "Diplomasi Santri" (Jakarta: Anggota IKAPI 2019)

Fitrah dan Lutfiah, Metodologi Penelitian Kualitatif, Tindakan Kelas & Studi
Kasus (Jawa Barat: CV.Jejak,2017)

Imam Abu Hamid Al-Ghazali, Mengobati Penyakit Hati Membentuk Akhlak


Mulia, (Jakarta: Mizania, 2014)
2

Imam Musbikin, Penguatan Karakter Kemandirian, Tanggung Jawab dan


Cinta Tanah Air (Perpustakaan Nasional RI : 2021)

Iwayan suwendra, Metodologi Penelitian Kualitatif Dalam Ilmu Sosial,


Pendidikan, Kebudayaan, dan Keagamaan (Bandung: Nilacarka,
2018)

Kartadinata, S. Mencari Bentuk Pendidikan Karakter Bangsa. Fakultas


Ilmu Pendidikan.Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung. 2019

Muhammad Ibrahim Strategi Pengembangan Kemandirian Santri Pondok


Pesantren Daarul Ahsam. (Jakarta : 2018)

M. Syaifuddin Zuhriy, “Budaya Pesantren dan Pendidikan Karakter pada


Pondok Pesantren Salaf”, Jurnal Walisongo, (Vol. 19, No. 2, tahun
2011)

Mustari, Nilai Karakter: Refleksi Untuk Pendidikan, (Jakarta: Rajawali


Pers, 2014)

M. Asrorul Amin dan Turhan Yani. Dalam Jurnal “Peran Pondok


Pesantren Dalam Menumbukan Sikap Kemandirian Santri Melalui
Kegiatan Wirausaha di Ponpes Mukmin Mandiri Sidoarjo”, Vol. 5,
No. 3, tahun 2017

Muchlas Samani dan Hariyanto, Konsep dan Model Pendidikan Karakter,


(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012)

Sri Narwanti, Pendidikan Karakter (Yogyakarta: Familia, 2016)

Muhammad Ali dan Muhammad Asrori, Psikologi Remaja: Perkembangan


Peserta Didik, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006)

M. Syamsuddin Zuhriy, “Budaya Pesantren dan pendidikan Karakter pada


Pondok Pesantren Salaf”, Jurnal Walisongo, (Vol 19, No 2,
November 2011)
3

Mukthar, Metode Praktis Metode Penelitian Deskriptif Kualitatif (Jakarta:


Referensi, 2013)

Mukhtar, Bimbingan Skripsi, Tesis, dan Artikel (Panduan Berbasis


Penelitian Kualitatif Lapangan dan Perpustakaan) (Jambi: Sultan
Thaha Press, 2011)

Nur Sayidah, Metodologi Peneitian Dissertai Dengan Contoh


Penerapannya Dalam Penelitian (Jawa Timur: Zifatama Jawara,
2018)

Nur Hidayah, M.Pd. Market Day dan Karakter Kewirausahaa/


Entrepreneurship (Yogyakarta : 2022)

Nana Sutarna, Pendidikan Karakter Siswa Sekolah Dasar Dalam


Prespektif Islam (Yogyakarta: Pustaka Diniyah, 2018)

Prof. Dr Yufiarti, M.Psi. Implementasi Penguatan Pendidikan


Karakter(PPK) Di Sekolah Dasar (Yogyakarta : 2023)

Rizal Muttaqin, “Kemandirian dan Pemberdayaan Ekonomi Berbasis


Pesantren”, Jurnal Ekonomi Syariah Indonesia, (Vol. 1, No.2, tahun
2011)

Syamsul Kurniawan, Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Implementasinya


secara Terpadu di Lingkungan Keluarga, Sekolah, Perguruan
Tinggi dan Masyarakat (Yogyakarta: ArRuzz Media, 2014)

Sugiyono, Memahami Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D (Bandung:


Alfabeta, 2013)

Sapto Haryoko, Dkk, Analisis Data Penelitian Kualitatif (Makasar: Badan


Penerbit UNM, 2020), hal. 409

Thomas Lickona, Pendidikan Karakter: Panduan Lengkap Mendidik Siswa


Menjadi Pintar dan Baik (Bandung: Nusa Media, 2014)
4

UU Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS &


Peraturan PemerintahR.I tahun 2010 tentang Penyelenggaraan
Perdidikan serta Wajib Belajar, (Bandung: Citra Umbara 2012)

Wina Sanjaya, Penelitian Pendidikan (Jakarta: Kencana Preda Media


Grup, 2013)

Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam


Lembaga Pendidikan (Jakarta: Kencana, 2012)

Zainul Muhlisin, " Ala Santri" (Jakarta Selatan: Cipedak Jagakarsa 2017)
5

Anda mungkin juga menyukai