GERD adalah masalah kesehatan global yang umum dan telah diamati lebih umum
terjadi pada pasien yang menderita penyakit kronis, seperti asma. Selain itu, teori
mekanistik untuk perkembangan GERD didasarkan pada beberapa faktor, seperti perubahan
tekanan intratoraks yang dapat menyebabkan penurunan tekanan pada sfingter esofagus
bagian bawah pada penderita asma, neuropati perifer yang mengakibatkan disfungsi
otonom dalam saluran pencernaan bersamaan dengan kehilangan tekanan pada sfingter
esofagus bagian bawah. Salah satu kemungkinan konsekuensi dari hal ini adalah aliran
asam lambung yang berulang ke kerongkongan merusak lapisan tenggorokan dan saluran
udara ke paru-paru. Ini dapat membuat bernapas menjadi sulit dan menyebabkan batuk
berkepanjangan. Seringnya paparan asam juga membuat paru-paru lebih sensitif terhadap
iritasi, seperti debu atau serbuk sari, yang semuanya dapat menjadi pemicu asma.
Kemungkinan lain adalah refluks asam dapat memicu refleks saraf pelindung, yang
membuat saluran udara mengecil untuk mencegah asam lambung memasuki paru-paru.
Penyempitan saluran udara ini dapat menyebabkan gejala asma, seperti sesak napas
(Nandyal et al., 2017).
Sebaliknya, asma juga memiliki risiko membuat GERD semakin parah, karena
perubahan tekanan yang terjadi di dalam dada dan perut selama serangan asma diyakini
dapat memperburuk GERD. Ketika paru-paru membengkak, peningkatan tekanan pada
lambung dapat menyebabkan otot-otot yang biasanya mencegah refluks asam menjadi
kendur. Meskipun belum sepenuhnya jelas mengapa GERD lebih sering terjadi pada pasien
asma, beberapa teori telah diajukan, dengan salah satu teori yang paling umum adalah
bahwa perubahan tekanan di dada penderita asma memungkinkan lebih banyak asam
mengalir kembali ke kerongkongan. Penelitian pada hewan telah menunjukkan bahwa
pemberian asam ke dalam esofagus dapat merangsang tonus vagal dan meningkatkan
resistensi pernapasan, "mempersiapkan" saluran udara untuk bronkokonstriksi. Penelitian
ini, bersama dengan penelitian pada hewan lainnya, juga mengindikasikan bahwa
mikroaspirasi kronis yang disebabkan oleh GERD dapat memicu bronkokonstriksi dan juga
mungkin meningkatkan peradangan pada saluran udara, yang memungkinkan asam
lambung mengalir kembali ke kerongkongan. Oleh karena itu, peningkatan fluktuasi
tekanan intratoraks yang mendorong asam ke esofagus dalam asma bronkial dianggap
sebagai faktor risiko untuk perkembangan GERD (Mastronarde, 2012).
References:
Nandyal, S., Suria, S., Chogtu, B., & Bhattacharjee, D. (2017). Risk of GERD with diabetes
mellitus, hypertension and bronchial asthma-A hospital based retrospective cohort study.
Journal of Clinical and Diagnostic Research, 11(7), OC25–OC29.
https://doi.org/10.7860/JCDR/2017/25571.10232
Price, D. B., Yawn, B. P., & Jones, R. C. (2010). Improving the differential diagnosis of chronic
obstructive pulmonary disease in primary care. In Mayo Clinic Proceedings, 85(12), 1122–
1129.
Stefanus Ginting, D., Pramono, S., & Handayani, P. (2019). Monitoring Hipoksemia dan Kondisi
Kesehatan Pasien Berbasis Smartphone dengan Metode Fuzzy Logic. Prosiding Industrial
Research Workshop and National Seminar, 10(1), 495–501.