Anda di halaman 1dari 9

Nama : Moh.

Rismanto
NPM : 23071067
Semester : 1 (satu)

Al-Qur’an
Al- Qur’an merupakan kitab suci yang dijadikan sebagai pedoman hidup. Al-
Qur’an berisi ajaran yang memberikan pedoman tentang segala aspek
kehidupan, mulai dari hubungan manusia dengan Allah SWT, hubungan manusia
dengan sesama manusia, dan hubungan manusia dengan lingkungan di
sekitarnya.

Sejarah Turunnya Al-Qur’an


Allah SWT menurunkan Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW untuk
membimbing umat manusia. Turunnya Al-Qur’an merupakan peristiwa besar
yang sekaligus menyatakan kedudukannya bagi penghuni langit dan bumi.

Dilansir dari buku Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an oleh Syaikh Manna Al-
Qaththan, turunnya Al-Qur’an merupakan pemberitahuan kepada alam samawi
yang dihuni malaikat tentang kemuliaan umat Nabi Muhammad. Umat ini telah
dimuliakan oleh Allah dengan risalah barunya agar menjadi umat paling baik di
antara manusia.

Peristiwa turunnya Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW dikenal dengan


istilah Nuzulul Qur’an. Nuzulul Qur’an merupakan peringatan turunnya Al-Qur’an
Pertama kali dari Lauhul Mahfuz pada malam Lailatul Qadar di bulan Ramadhan.

Secara bahasa, Nuzulul memiliki arti sebagai menurunkan sesuatu dari tempat
yang tinggi ke tempat yang rendah dan Al-Qur’an yang berarti kitab suci bagi
umat Islam. Maka, Nuzulul Qur’an bisa didefinisikan sebagai peristiwa turunnya
Al-Qur’an dari tempat yang tinggi ke muka bumi.

Ayat Al-Qur’an yang pertama kali turun adalah surat Al-Alaq ayat 1-5. Al-Qu’ran
pertama kali turun untuk Nabi Muhammad yaitu di Gua Hira, pada tanggal 17
Ramadhan tahun 610 sehingga tanggal 17 Ramadhan diperingati sebagai
Nuzulul Quran hingga saat ini.
Turunnya ayat ini sekaligus menjadi awal dari kenabian Muhammad SAW.
Turunnya Al-Qur’an juga menjadi awal perjuangan untuk menyebarkan ajaran
agama Islam.

Al-Qur’an Diturunkan Secara Lengkap ke Langit Dunia


Al-Qur’an diturunkan oleh Allah SWT pada malam Lailatul Qadar dari Lauh
Mahfuz ke langit dunia. Syekh Manna' Al Qaththan dalam Mabahits fi Ulumil
Qur'an mengatakan bahwa turunnya Al-Qur’an merupakan pemberitahuan untuk
alam samawi yang dihuni malaikat tentang kemuliaan yang dimiliki oleh umat
Muhammad dan Al-Qur’an turun sebagai risalah baru agar menjadi umat yang
paling baik.

Dengan mengumumkan kepada penguhuni alam samawi bahwa kitab Al-Qur’an


ini merupakan kitab yang terakhir dari kitab-kitab yang diturunkan dan
disampaikan kepada rasul terakhir untuk umat yang paling mulia.

Al-Qur’an Diturunkan Secara Bertahap kepada Nabi Muhammad SAW


Allah SWT menurunkan kitab Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad melalui
perantara Malaikat Jibril secara bertahap. Al-Qur’an diturunkan secara bertahap
selama kurang lebih 23 tahun kepada Muhammad untuk menjadi pedoman
dalam kehidupan.

Sejarah turunnya Al-Qur’an dimulai ketika Nabi Muhammad SAW berusia 40


tahun pada 610 Masehi. Pada saat itu, Nabi Muhammad berada di Gua Hira lelu
didatangi oleh Malaikat Jibril yang memberikan wahyu pertama kepada Nabi
Muhammad.

Ayat yang pertama kali diturunkan adalah surat Al-Alaq ayat 1-5. Peristiwa ini
sekaligus menjadi pertanda dimulainya kenabian Muhammad.

Setelah itu, Al-Quran turun secara bertahap selama kurang lebih 23 tahun.
Turunnya ayat Al-Quran menyesuaikan dengan permasalahan sosial, krisis
moral, keagamaan yang sedang terjadi.

Sejarah turunnya Al-Quran juga terbagi ke dalam dua periode, yaitu periode
Mekkah dan periode Madinah. Periode Mekkah disebut dengan ayat Makkiyah,
sementara periode Madinah disebut dengan ayat Madaniyah.
Dalam periode Mekkah, ayat yang turun berisi ajaran tentang akidah dan ajaran-
ajaran tauhid. Periode Mekkah menurunkan 86 surat yang diturunkan dalam
jangka waktu 12 tahun 5 bulan.

Dalam periode Madinah, ayat yang turun umumnya berkaitan dengan hubungan
manusia sebagai makhluk sosial, aturan-aturan dalam kehidupan Islam, serta
hukum Islam. Periode ini dimulai setelah hijrahnya Rasul ke Madinah.

Periode Madinah menurunkan 28 surat dalam jangka waktu sembilan tahun


sembilan bulan. Ayat yang terakhir diturunkan kepada Rasulullah adalah Surat
Al-Maida ayat 5.

Hadist
Hadits adalah satu dari 4 sumber hukum Islam yang disepakati para ulama.
Hadits menjadi rujukan bagi umat muslim untuk menjelaskan hukum-hukum yang
terdapat dalam Al Quran.

Dikutip dari buku Memahami Ilmu Hadits oleh Asep Herdi, secara etimologis
hadits dimaknai sebagai jadid, qarib, dan khabar. Jadid adalah lawan dari qadim
yang artinya yang baru. Sedangkan qarib artinya yang dekat, yang belum lama
terjadi.

Sementara itu, khabar artinya warta yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan
dipindahkan dari seseorang kepada yang lainnya.

Secara terminologis, hadits dimaknai sebagai ucapan dan segala perbuatan


yang dilakukan Nabi Muhammad SAW. Sedangkan secara bahasa, hadits berarti
perkataan, percakapan, berbicara.

"Segala ucapan, segala perbuatan, dan segala keadaan atau perilaku Nabi
Muhammad SAW. Definisi hadits dikategorikan menjadi tiga, yaitu perkataan
nabi (qauliyah), perbuatan nabi (fi'liyah), dan segala keadaan nabi (ahwaliyah).
Sebagian ulama seperti at-Thiby berpendapat bahwa hadits melengkapi sabda,
perbuatan, dan taqrir nabi. Hadits juga melengkapi perkataan, perbuatan, dan
taqrir para sabahat dan Tabi'in.
Hadits memiliki makna yang relatif sama dengan sunnah, khabar, dan atsar.
Hanya saja penyebutannya bisa disamakan atau dibedakan.

Kedudukan Hadist
Menurut jumhur ulama, kedudukan hadits menempati posisi kedua setelah Al
Quran. Ditinjau dari segi wurud atau tsubutnya Al Quran bersifat qath'i (pasti)
sedangkan hadits bersifat zhanni al wurud (relatif) kecuali yang berstatus
mutawatir (berturut-turut).

Pembukuan Hadist
Pembukuan hadits merupakan penghimpunan, penulisan dan pembukuan hadist
Nabi Muhammad SAW atas perintah resmi dari penguasa Negara (khalifah),
dengan melibatkan beberapa personil yang sudah ahli dibidangnya, bukan yang
dilakukan secara perseorangan atau untuk kepentingan pribadi, seperti yang
terjadi pada masa Rasulullah SAW. Pembukuan hadits diprakarsai oleh khalifah
Umar bin Abdul Aziz dengan mengintruksikan kepada dua orang yaitu Abu Bakar
ibn Muhammad ibn Amer ibn Hazm (w. 117 H) dan Muhammad ibn Syihab Al-
Zuhri (w. 124 H) untuk menghimpun beberapa hadits-hadits dengan alasan
dikhawatirkan banyak ulama hadits yang meninggal dan banyaknya haditshadits
palsu yang bermunculan. Dengan adanya pembukuan hadits tentunya sangat
berpengaruh besar terhadap perkembangan fiqih, diantaranya munculnya
beberapa aliran atau madzhab-madzhab fiqih yang ada. Hadits menjadi rujukan
atau hujjah (sumber fiqih), oleh karena itu dengan adanya pembukuan Hadits
tentu memudahkan para ulama untuk merujuk persoalan-persolan fiqih yang
terdapat di dalam hadits yang memuat bab-bab yang berhubungan dengan fiqih.
Bisa dibayangkan jika tidak ada pembukuan fiqih seiring dengan adanya hadits
yang hanya dihafalkan oleh para sahabat atau tabiin, maka dengan
ketiadaannya, hadits-hadits tersebut akan hilang dari peredaran, sehingga para
ulama mengalami kesulitan dalam berijtihad atau beristinbat hukum fiqih karna
tidak ada panduan panduan hadits yang terbukukan.
Istilah-istilah dalam hadist

Pertama, dhabth. Yakni, keteladanan periwayat hadits berdasarkan pada


kekuatan hafalan yang dimilikinya. Seorang yang dhabth memiliki kesalahan
super minim.

Kedua, adl. Yakni, keteladanan seorang periwayat hadits dinilai berdasarkan


pada ketaatannya dalam beragama.

Ketiga, kadzdzab. Yakni, penilaian yang sangat negatif yang disematkan


kepada seorang periwayat hadits karena sebagaian besar hadis riwayatnya—jika
tidak keseluruhannya—bertentangan dengan realitas amalan, kehaditsan, dan
kesejarahan. Penilaian yang sangat negatif ini diberikan karena
mempertimbangkan banyaknya kesalahan yang dilakukann oleh periwayat
sehingga seolah yang datang darinya ialah kebohongan.

Keempat, mukhalafah. Yakni, metode penyeleksian hadits dengan cara


melihat titik perbedaan dan pertentangan suatu riwayat tertentu dengan berbagai
jalur periwayatan hadits lainnya. Metode ini digunakan untuk melihat variabel ilat
yang terkandung dalam suatu jalur periwayatan hadits tertentu. Sebagai catatan,
dalam ilmu hadits, jalur periwayatan hadits sangat berkontribusi terhadap
kualitas derajat hadits itu sendiri.

Kelima, marfu. Yakni, hadits yang jalur periwayatannya dan penyandarannya


sampai kepada Rasulullah SAW.

Keenam, shahih li-dzatihi. Yakni, hadits yang dikualifikasi sebagai sahih bukan
karena pertimbangan ragam jalur periwayatannya, melainkan karena secara
intrinsik, hadits ini sudah terkategori sahih berdasarkan periwayat-periwayat di
dalamnya yang bersifat tsiqat.
Ketujuh, shahih li-ghairihi. Yakni, hadits hasan yang diriwayatkan dengan
berbagai jalur periwayatan sehingga saling menguatkan dan kemudian menjadi
sahih.

Kedelapan, tadlis. Yakni, keahlian yang dimiliki periwayat hadits yang


menisbahkan sebuah hadits tidak kepada sumbernya langsung. Hal itu dengan
pertimbangan bahwa sumber langsung ini dinilai tidak terkenal atau dhaif. Tadlis
dalam tingkatan tertentu dinilai sebagai bentuk pengaburan periwayatan dan
karena itu sebuah hadits harus ditolak.

Kedelapan, ushul. Yakni, hadits yang diletakkan secara utuh pada awal bab,
kemudian disertakan mutaba’ah-nya dari jalur periwayatan lain. Menurut
beberapa ulama, hadits yang diletakkan dalam ushul ini biasanya diriwayatkan
oleh periwayat-periwayat tsiqat. Sementara itu, mutaba’ah biasanya diisi oleh
periwayat-periwayat yang berkualitas di bawah tsiqat.

Kesembilan, shaduq. Yakni, penilaian posisitif yang biasanya disematkan


kepada para periwayat hadits yang kualitas ke-dhabith-annya kurang, tetapi
memiliki ke-adl-an yang bagus dan hadisnya dapat diterima. Namun, istilah ini
juga terkadang digunakan untuk merujuk pada periwayat tsiqat.

Kesepuluh, matruk. Yakni, hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang


tertuduh melakukan kedustaan.
Ijtihad

Mengutip buku Risalah Ushul Fiqh oleh Zamakhsyari bin Hasballah Thaib, ijtihad
secara bahasa artinya bersungguh-sungguh dalam menggunakan tenaga baik
fisik maupun pikiran. Ijtihad biasa dipakai pada perkara yang mengandung
kesulitan. Tidak dikatakan berijtihad jika hanya menyangkut hal ringan.

Abdul Karim Zaidan mengutip dari buku Pengantar Ilmu Ushul Fiqh susunan
Muchtim Humaidi, mengemukakan bahwa ijtihad adalah mengerahkan dan
mencurahkan kemampuan pada suatu pekerjaan. Maksudnya, ijtihad digunakan
untuk mengungkapkan pengerahan kemampuan dalam mewujudkan sesuatu
kesulitan atau beban yang dituju. Zaidan turut mengutarakan makna ijtihad
secara istilah, yakni mujtahid (orang berijtihad) yang mencurahkan segala
keterampilannya untuk menggali hukum-hukum syariat dengan jalan istinbath.

Sementara menurut Imam al-Ghazali, ijtihad adalah kesungguhan usaha


seorang mujtahid dalam rangka mengetahui hukum-hukum syariat.

Fungsi Ijtihad

Melansir buku Fikih Kontemporer karya Gibtiah, ijtihad berfungsi sebagai tiga hal:

1. Al-Ruju atau al-I'adah (kembali), adalah mengembalikan ajaran Islam kepada


sumber pokoknya (Al-Qur'an dan sunnah) dari segala penjelasan yang
memungkinkan kurang relevan.

2. Al-Ihya (kehidupan), yaitu menghidupkan kembali bagian-bagian dari nilai dan


semangat ajaran Islam agar mampu menjawab dan menghadapi tantangan
zaman, sehingga Islam mampu menjadi agama yang memberi petunjuk sebagai
umatnya.
3. Al-Inabah (pembenahan), yakni menata kembali ajaran Islam yang telah di-
ijtihad-i oleh ulama terdahulu yang memungkinkan adanya kesalahan menurut
konteks zaman, keadaan, dan lokasi yang dihadapi kaum muslim.

Kedudukan Ijtihad

Para ulama menggunakan metode ijtihad untuk menentukan suatu hukum yang
tidak terdapat dalam nash Al-Qur'an maupun hadits.

Jenis-jenis Ijtihad

Qiyas

Qiyas adalah menggabungkan atau menyamakan artinya menetapkan suatu


hukum atau suatu perkara yang baru yang belum ada pada masa sebelumnya
namun memiliki kesamaan dalam sebab, manfaat, bahaya dan berbagai
aspek dengan perkara terdahulu sehingga dihukumi sama. Dalam Islam, Ijma
dan Qiyas sifatnya darurat, bila memang terdapat hal-hal yang ternyata belum
ditetapkan pada masa-masa sebelumnya. Beberapa definisi qiyâs (analogi):
1. Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya,
berdasarkan titik persamaan di antara keduanya.
2. Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui
suatu persamaan di antaranya.
3. Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan di
dalam [Al-Qur'an] atau [Hadis] dengan kasus baru yang memiliki
persamaan sebab (iladh).
4. Menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu hal yg belum di
terangkan oleh al-qur'an dan hadits.

Istihsan
Beberapa definisi Istihsan :
1. Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang fâqih (ahli fikih), hanya
karena dia merasa hal itu adalah benar.
2. Argumentasi dalam pikiran seorang fâqih tanpa bisa
diekspresikan secara lisan olehnya
3. Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima, untuk
maslahat orang banyak.
4. Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah
kemudharatan.
5. Tindakan menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap
perkara yang ada sebelumnya..
Maslahah Murshalah

Adalah tindakan memutuskan masalah yang tidak ada naskahnya dengan


pertimbangan kepentingan hidup manusia berdasarkan prinsip menarik
manfaat dan menghindari kemudharatan.
Sududz Dzariah

Adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram
demi kepentingan umat.
Istishab

Adalah tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan


yang bisa mengubahnya, contohnya apabila ada pertanyaan bolehkah
seorang perempuan menikah lagi apabila yang bersangkutan ditinggal
suaminya bekerja di perantauan dan tidak jelas kabarnya? maka dalam hal ini
yang berlaku adalah keadaan semula bahwa perempuan tersebut statusnya
adalah istri orang sehingga tidak boleh menikah(lagi) kecuali sudah jelas
kematian suaminya atau jelas perceraian keduanya.

Urf

Adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat dan


kebiasaan masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak bertentangan
dengan aturan-aturan prinsipal dalam Alquran dan Hadis.

Anda mungkin juga menyukai