Rismanto
NPM : 23071067
Semester : 1 (satu)
Al-Qur’an
Al- Qur’an merupakan kitab suci yang dijadikan sebagai pedoman hidup. Al-
Qur’an berisi ajaran yang memberikan pedoman tentang segala aspek
kehidupan, mulai dari hubungan manusia dengan Allah SWT, hubungan manusia
dengan sesama manusia, dan hubungan manusia dengan lingkungan di
sekitarnya.
Dilansir dari buku Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an oleh Syaikh Manna Al-
Qaththan, turunnya Al-Qur’an merupakan pemberitahuan kepada alam samawi
yang dihuni malaikat tentang kemuliaan umat Nabi Muhammad. Umat ini telah
dimuliakan oleh Allah dengan risalah barunya agar menjadi umat paling baik di
antara manusia.
Secara bahasa, Nuzulul memiliki arti sebagai menurunkan sesuatu dari tempat
yang tinggi ke tempat yang rendah dan Al-Qur’an yang berarti kitab suci bagi
umat Islam. Maka, Nuzulul Qur’an bisa didefinisikan sebagai peristiwa turunnya
Al-Qur’an dari tempat yang tinggi ke muka bumi.
Ayat Al-Qur’an yang pertama kali turun adalah surat Al-Alaq ayat 1-5. Al-Qu’ran
pertama kali turun untuk Nabi Muhammad yaitu di Gua Hira, pada tanggal 17
Ramadhan tahun 610 sehingga tanggal 17 Ramadhan diperingati sebagai
Nuzulul Quran hingga saat ini.
Turunnya ayat ini sekaligus menjadi awal dari kenabian Muhammad SAW.
Turunnya Al-Qur’an juga menjadi awal perjuangan untuk menyebarkan ajaran
agama Islam.
Ayat yang pertama kali diturunkan adalah surat Al-Alaq ayat 1-5. Peristiwa ini
sekaligus menjadi pertanda dimulainya kenabian Muhammad.
Setelah itu, Al-Quran turun secara bertahap selama kurang lebih 23 tahun.
Turunnya ayat Al-Quran menyesuaikan dengan permasalahan sosial, krisis
moral, keagamaan yang sedang terjadi.
Sejarah turunnya Al-Quran juga terbagi ke dalam dua periode, yaitu periode
Mekkah dan periode Madinah. Periode Mekkah disebut dengan ayat Makkiyah,
sementara periode Madinah disebut dengan ayat Madaniyah.
Dalam periode Mekkah, ayat yang turun berisi ajaran tentang akidah dan ajaran-
ajaran tauhid. Periode Mekkah menurunkan 86 surat yang diturunkan dalam
jangka waktu 12 tahun 5 bulan.
Dalam periode Madinah, ayat yang turun umumnya berkaitan dengan hubungan
manusia sebagai makhluk sosial, aturan-aturan dalam kehidupan Islam, serta
hukum Islam. Periode ini dimulai setelah hijrahnya Rasul ke Madinah.
Hadist
Hadits adalah satu dari 4 sumber hukum Islam yang disepakati para ulama.
Hadits menjadi rujukan bagi umat muslim untuk menjelaskan hukum-hukum yang
terdapat dalam Al Quran.
Dikutip dari buku Memahami Ilmu Hadits oleh Asep Herdi, secara etimologis
hadits dimaknai sebagai jadid, qarib, dan khabar. Jadid adalah lawan dari qadim
yang artinya yang baru. Sedangkan qarib artinya yang dekat, yang belum lama
terjadi.
Sementara itu, khabar artinya warta yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan
dipindahkan dari seseorang kepada yang lainnya.
"Segala ucapan, segala perbuatan, dan segala keadaan atau perilaku Nabi
Muhammad SAW. Definisi hadits dikategorikan menjadi tiga, yaitu perkataan
nabi (qauliyah), perbuatan nabi (fi'liyah), dan segala keadaan nabi (ahwaliyah).
Sebagian ulama seperti at-Thiby berpendapat bahwa hadits melengkapi sabda,
perbuatan, dan taqrir nabi. Hadits juga melengkapi perkataan, perbuatan, dan
taqrir para sabahat dan Tabi'in.
Hadits memiliki makna yang relatif sama dengan sunnah, khabar, dan atsar.
Hanya saja penyebutannya bisa disamakan atau dibedakan.
Kedudukan Hadist
Menurut jumhur ulama, kedudukan hadits menempati posisi kedua setelah Al
Quran. Ditinjau dari segi wurud atau tsubutnya Al Quran bersifat qath'i (pasti)
sedangkan hadits bersifat zhanni al wurud (relatif) kecuali yang berstatus
mutawatir (berturut-turut).
Pembukuan Hadist
Pembukuan hadits merupakan penghimpunan, penulisan dan pembukuan hadist
Nabi Muhammad SAW atas perintah resmi dari penguasa Negara (khalifah),
dengan melibatkan beberapa personil yang sudah ahli dibidangnya, bukan yang
dilakukan secara perseorangan atau untuk kepentingan pribadi, seperti yang
terjadi pada masa Rasulullah SAW. Pembukuan hadits diprakarsai oleh khalifah
Umar bin Abdul Aziz dengan mengintruksikan kepada dua orang yaitu Abu Bakar
ibn Muhammad ibn Amer ibn Hazm (w. 117 H) dan Muhammad ibn Syihab Al-
Zuhri (w. 124 H) untuk menghimpun beberapa hadits-hadits dengan alasan
dikhawatirkan banyak ulama hadits yang meninggal dan banyaknya haditshadits
palsu yang bermunculan. Dengan adanya pembukuan hadits tentunya sangat
berpengaruh besar terhadap perkembangan fiqih, diantaranya munculnya
beberapa aliran atau madzhab-madzhab fiqih yang ada. Hadits menjadi rujukan
atau hujjah (sumber fiqih), oleh karena itu dengan adanya pembukuan Hadits
tentu memudahkan para ulama untuk merujuk persoalan-persolan fiqih yang
terdapat di dalam hadits yang memuat bab-bab yang berhubungan dengan fiqih.
Bisa dibayangkan jika tidak ada pembukuan fiqih seiring dengan adanya hadits
yang hanya dihafalkan oleh para sahabat atau tabiin, maka dengan
ketiadaannya, hadits-hadits tersebut akan hilang dari peredaran, sehingga para
ulama mengalami kesulitan dalam berijtihad atau beristinbat hukum fiqih karna
tidak ada panduan panduan hadits yang terbukukan.
Istilah-istilah dalam hadist
Keenam, shahih li-dzatihi. Yakni, hadits yang dikualifikasi sebagai sahih bukan
karena pertimbangan ragam jalur periwayatannya, melainkan karena secara
intrinsik, hadits ini sudah terkategori sahih berdasarkan periwayat-periwayat di
dalamnya yang bersifat tsiqat.
Ketujuh, shahih li-ghairihi. Yakni, hadits hasan yang diriwayatkan dengan
berbagai jalur periwayatan sehingga saling menguatkan dan kemudian menjadi
sahih.
Kedelapan, ushul. Yakni, hadits yang diletakkan secara utuh pada awal bab,
kemudian disertakan mutaba’ah-nya dari jalur periwayatan lain. Menurut
beberapa ulama, hadits yang diletakkan dalam ushul ini biasanya diriwayatkan
oleh periwayat-periwayat tsiqat. Sementara itu, mutaba’ah biasanya diisi oleh
periwayat-periwayat yang berkualitas di bawah tsiqat.
Mengutip buku Risalah Ushul Fiqh oleh Zamakhsyari bin Hasballah Thaib, ijtihad
secara bahasa artinya bersungguh-sungguh dalam menggunakan tenaga baik
fisik maupun pikiran. Ijtihad biasa dipakai pada perkara yang mengandung
kesulitan. Tidak dikatakan berijtihad jika hanya menyangkut hal ringan.
Abdul Karim Zaidan mengutip dari buku Pengantar Ilmu Ushul Fiqh susunan
Muchtim Humaidi, mengemukakan bahwa ijtihad adalah mengerahkan dan
mencurahkan kemampuan pada suatu pekerjaan. Maksudnya, ijtihad digunakan
untuk mengungkapkan pengerahan kemampuan dalam mewujudkan sesuatu
kesulitan atau beban yang dituju. Zaidan turut mengutarakan makna ijtihad
secara istilah, yakni mujtahid (orang berijtihad) yang mencurahkan segala
keterampilannya untuk menggali hukum-hukum syariat dengan jalan istinbath.
Fungsi Ijtihad
Melansir buku Fikih Kontemporer karya Gibtiah, ijtihad berfungsi sebagai tiga hal:
Kedudukan Ijtihad
Para ulama menggunakan metode ijtihad untuk menentukan suatu hukum yang
tidak terdapat dalam nash Al-Qur'an maupun hadits.
Jenis-jenis Ijtihad
Qiyas
Istihsan
Beberapa definisi Istihsan :
1. Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang fâqih (ahli fikih), hanya
karena dia merasa hal itu adalah benar.
2. Argumentasi dalam pikiran seorang fâqih tanpa bisa
diekspresikan secara lisan olehnya
3. Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima, untuk
maslahat orang banyak.
4. Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah
kemudharatan.
5. Tindakan menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap
perkara yang ada sebelumnya..
Maslahah Murshalah
Adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram
demi kepentingan umat.
Istishab
Urf