Anda di halaman 1dari 28

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)

BELLS PALSY
1. Pengertian Bells Palsy adalah facial paralisis karena disfungsi dari
fasialis perifer yang menyebabkan kelumpuhan otot-otot
wajah.
2. Anamnesis a. Rasa nyeri daerah belakang telinga
b. Gangguan atau kehilangan pengecapan
c. Riwayat pekerjaan dan aktifitas yang dilakukan pada
malam hari di ruangan terbuka atau diluar ruangan
d. Riwayat penyakit yang pernah dialami misalnya infeksi
saluran nafas, otitis dan herpes
3. Pemeriksaan fisik Pemeriksaan neurologis pada paresis N VII tipe perifer
Gerakan volunter dari;
1. Mengerutkan dahi
2. Memejamkan mata
3. Tersenyum
4. Bersiul
5. Mengencangkan kedua bibir
4. Kriteria Diagnosis Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
5. Diagnosis kerja Bells Palsy

6. Diagnosis Banding a. Tumor pada serebelopontin angle yang menekan


saraf fasialis
b. Kerusakan saraf fasialis karena infeksi virus (sidr
ramsay hunt)
c. Infeksi telinga tengah atau sinus mastoideus
d. Patah tulang dasar tengkorak
7. Pemeriksaan Untuk mengeksklusi bells palsy dari differensial diagnosis
penunjang dapat ditentukan dari riwayat perjalanan penyakit, dan
elektrofisiologi (dirujuk ke RS rujukan) bila tidak ada
perbaikan kontraksi otot dalam waktu 3 bulan .
8. Tatalaksana 1. Untuk megurangi nyeri, diberikan modalitas panas
pada sisi wajah yang mengalami kelumpuhan.
Pemanasan superfisial dengan infra red atau
menggunakan diathermy sesuai indikasi
2. Latihan re edukasi otot otot wajah, latihan gerak
volunter otot wajah dan masase otot wajah diberikan
setelah fase akut. Latihan berupa mengangkat alis,
mengerutkan dahi, menutup mata dan mengangkat
sudut mulut, tersenyum, bersiul, meniup dengan
bantuan maupun tidak dengan bantuan di depan kaca
sebagai feedback
3. Pemberian modalitas listrik untuk mencegah atrofi
dan memperkuat otot.
Tujuan pemberian stimulasi listrik yaitu
menstimulasi otot untuk mencegah/memperlambat
terjadinya atrofi sambil menunggu proses regenerasi
dan memperkuat otot yang masih lemah. Faradisasi
diberikan untuk menstimulasi otot, redukasi, melatih
fungsi otot, meningkatkan sirkulasi, meregangkan
serta mencegah perlengketan. Diberikan 2 minggu
setelah onset.
9. Edukasi (hospital a. Beri obat tetes mata / artifisial tears drop 3x sehari
health promotion) untuk melindungi kornea
b. Biasakan menutup kelopak mata secara pasif sebelum
tidur supaya otot orbicularis oculi terlatih secara
pasif, dan melindungi kornea saat tidur
c. Kompres hangat daerah sisi wajah yang sakit selama
20 menit bila telah melewati stadium akut 3hari
d. Masase wajah yang lumpuh kearah atas dengan
menggunakan tangan dari sisi wajah yang sehat
dengan maksud peberian latihan otot dengan
melawan gravitasi
e. Latihan tiup lilin, berkumur, makan dengan
mengunyah disisi yang lumpuh, minum dengan
sedotan, mengunyah permen karet.
10. Prognosis Ad vitam : bonam
Ad Sanationam : bonam
Ad Fungsionam : bonam
Kepustakaan 1. Sidharta P. Bells palsy. Dalam Tata Pemeriksaan Klinis
dalam Neurologi. Edisi ke-2. Sastroasmoro S, Trihono
PP, Pujiadi A, Tridjaja B, Mulya GD. Dian Rakyat,
Jakarta;2007
2. Dillingham TR. Electrodiagnostic Medicine II; Clinical
Evaluation and Findings. In: Braddom RL et al. Physical
Medicine and Rehabilitation 4th ed. Elsevier Sauders.
Philadelphia; 2011.p.209.
3. Committee of Physical Therapy Protocols Office of
Physical Therapy Affair Ministry of Health – Physical
Therapy Management Facial Nerve Paralysis. Kuwait;
2007
4. Teixeria LJ. Physical therapy for Bells palsy (idiopathic
facial paralysis). The Cochrane Collaboration Published
by John Wiley, Ltd.2008
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
CERVIKAL SINDROME
1. Pengertian Sekumpulan gejala berupa nyeri tengkuk, nyeri yang
menjalar, rasa kesemutan yang menjalar, spasme otot yang
disebabkan karena perubahan struktural kolumna vertebra
servikal akibat perubahan degenerative pada diskus
intervertebralis, atau pada ligamentum flavum.
2. Anamnesis Nyeri servikal dapat disebabkan oleh beberapa hal sepeti:
proses infeksi, perubahan degenerative, trauma, tumor dan
kelainan sistemik. Salah satu penyebab nyeri servikal adalah
radikulopati. Berbagai keadaan yang menyebabkan
perubahan struktur anatomi tulang leher dapat menimbulkan
keluhan radikulopati. Sebanyak 34% dari populasi mengalai
nyeri cervial, 14% diantaranya mengalami lebih dari 6
bulan, lebih sering pada populasi usia diatas 50 tahun .
Manifestasi Klinis :
1. Nyeri ditengkuk kadang terasa otot otot tengkuk terasa
kenacang
2. Nyeri menjalar sampai ke lengan, terasa kesemutan
3. Kesemutan pada sebelah distal sesuai dermatome
4. Keterbatasan gerak bisa terjadi pada leher maupun bahu
3. Pemeriksaan fisik a. Inspeksi : posisi kepala tertekuk menjauh sisi yang sakit
(Postur)
b. Palpasi:nyeritekan,kekakuan,spasme
c. Cervikal Movement : nyeri gerak
d. Testsensorik&motoric
e. Spesial test : spurling , distraksi
4. Kriteria Diagnosis Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Penunjang
5. Diagnosis kerja Cervical Synrdrome

6. Diagnosis Banding a. Myelopati servikal


b. Tumor spinal, tumor Pancoast
c. Motor neuron disease
d. Herpes zoster
e. Brachial plexopathy
f. Periferal nerve entrapment
7. Pemeriksaan penunjang Untuk mengeksklusi bells palsy dari differensial diagnosis
dapat ditentukan dari riwayat perjalanan penyakit, dan
elektrofisiologi (dirujuk ke RS rujukan) bila tidak ada
perbaikan kontraksi otot dalam waktu 3 bulan .
8. Tatalaksana Tujuan Tatalaksana :
1. Mengurangi nyeri dengan modalitas
2. MengoptimalkanROM
3. Meningkatkan fungsi
4. Memperbaikipostur
5. Menjaga stabilitas sendi
Terapi konservatif/ Rehabilitasi
1. Modalitas terapi panas seperti diathermy (shortwave,
microwave, ultrasound) atau dingin untuk mengurangi
spasme, TENS untuk mengatasi nyeri, Traksi servikal
apabila tidak terdapat kontraindikasi
2. Terapi latihan terdiri dari latihan peregangan (stretching)
dan latihan penguatan otot (strengthening exc)
3. Orthosis servikal berupa Soft Cervikal Collar untuk
immobilisasi leher dan mengurangi kompresi radiks
saraf (24 jam/hari selama seminggu, selanjutnya
pemakaian jika beraktifitas saja mulai pada minggu
kedua)
9. Edukasi (hospital Edukasi pasien meliputi, penjelasan tentang penyakitnya,
health promotion) risiko penyakit, proper body, memodifikasi aktifitas/
pembatasan aktifitas, home exercising.
10. Prognosis Ad vitam : bonam
Ad Sanationam : bonam
Ad Fungsionam : bonam
11. Kepustakaan 1. DePadma MJ, Slipman CW. Common Neck Problem.
In: Braddom RL (ed). Physical Medicine and
Rehabilitation, 4th ed, Elsevier Saunders Publishing,
Philadelphia; 2011:787-816
2. Lipetz JS, Lipetz DI. Disorder of the cervikal spine. In:
Frontera WR, DeLisa JA (eds). Delisa’s Physical
Medicine and Rehabilitation, 5th ed, Lippincott William
& Wilkins, Philadelphia: 2010.p 811-36
3. Mc Kenzie R, The cervikal and Thoracic Spine
Mechanical Diagnosis and Therapy. Spinal Publication
Ltd. New Yor k.1990.p 608-71
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
LOW BACK PAIN
1. Pengertian Adalah nyeri yang dirasakan di daerah punggung bagian
bawah yaitu diantara iga terbawah sampai lipatan gluteal.
2. Anamnesis Nyeri yang dirasakan di daerah punggung bagian bawah
yaitu diantara iga terbawah sampai lipatan gluteal
1. Lokasi nyeri
2. Karakteristik nyeri
3. Onset,durasi,frekuensi
4. Faktor pemicu
5. Pekerjaan
6. Aktifitas sehari hari
Faktor Risiko
a. Pekerjaan dan akifitas fisik berat
b. Etiologi mekanik : mengangkat, menarik,
mendorong, berputar, menggeser, duduk lama
c. Melakukan pekerjaan manual yang kombinasi
beberapa gerakan: mengangakat dan memutar
penggung dengan membawa beban yang berulang
ulang dalam kecepatan tertentu.
3. Pemeriksaan fisik a. Observasi postur, deformitas tulang belakang, pola
jalan
b. Palpasi tulang dan otot, trigger point, spasme, tonus
c. Gerakan ROM spine, ekstremitas
d. Test neurologi; miotom L1-S1, sensitifitas sesuai
dermatom L1-S1, Refleks, keseimbangan dan
koordinasi
e. Low Back manuver; SLR, Kernig test, genslen sign
dan patric contra patric
4. Kriteria Diagnosis Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Penunjang
5. Diagnosis kerja Low Back Pain

6. Diagnosis Banding Pembagian Nyeri Punggung bawah menurut Alberta


Canada:
a. Spondylogenik
b. Nyeri neurogenik
c. Nyeri punggung bawah vaskulogenik
d. Nyeri punggung bawah viscerogenik
e. Nyeri punggung bawah psikogenik
Menurut American College of Physicians snd the American
Pain Society :
a. NPB nonspesifik.
b. NPB karena gangguan neurologis (stenosis kanal
dan radikulopati)
c. NPB yang disebabkan oleh penyakit spinal yang
serius (red flags).
Nyeri punggung bawah dengan kategori red flag :
1. Neoplasma/ karsinoma
2. Infeksi
3. Fraktur vertebra
4. Sindrom kauda equina
5. NPB dengan kelainan neurologik berat
6. NPB dengan sindroma radikuler
7. Umur > 50 tahun atau < 20 tahun
7. Pemeriksaan penunjang a. Radiologik Foto polos vertebrae
b. Neurofisiologi diperlukan bila nyeri menetap, untuk
engetahui adanya entrapment pada radiks setinggi
apa sesuai hasil dari EMG (EMG, Needle EMG dan
H refleks, Somatosensory Evoked Potensial)
8. Tatalaksana Tujuan tatalaksana:
1. Mengurangi nyeri
2. Meningkatkan kekuatan otot otot trunkus dan
panggul
3. Meningkatkan stabilitas lumbal
4. Mengurangi spasme otot lumbal
Tatalaksana Rehabilitasi Medik dan edukasi Terapi
konservatif/ Rehabilitasi
1. Edukasi pasien, konseling fisik, okupasi, vokasional
dan psikososial
2. Modalitas fisik; cold pack (48 jam pertama), hot
pack, ultrasound dan TENS
3. Orthosis; LSO bila perlu
4. Aktifitas fisik terkontrol, tirah baring lama
5. Terapi latihan;
a. Peregangan lumbal dan panggul +ROM
exercise (+heat/cold modalities)
b. Penguatan ekstensor trunkus + panggul
c. Latihan subluksasi lumbal
6. Okupasi; body mechanics dan posture training
7. Manual medicine; manipulasi untuk mengurangi
spasme
9. Edukasi (hospital Edukasi pasien, konseling fisik, okupasi, vokasional dan
health promotion) psikososial

10. Prognosis Ad vitam = Tergantung etiologi dan beratnya defisit


neurologis
Ad sanationam = Tergantung etiologi dan beratnya defisit
neurologis
Ad Fungsionam = Tergantung etiologi dan beratnya defisit
neurologis

11. Kepustakaan 1. Abd OE. Low Back prain. In: Frontera WR, Silver
JK, Rizzo TD (eds) Essentials of Physical Medicine
and Rehabilitation, second edition, Saunders
publishing, Philadelphia; 2008:247-52
2. Barr KP, Harrast MA. Low Back Pain. In: Braddom
RL (ed), Physical Medicine and Rehabilitation, 4th
edition, Elsevier Saunders Publishing, Philadelphia;
2011: 871-912
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
STROKE
1. Definisi Stroke dalah kumpulan gejala kelainan neurologis yang
(Pengertian) timbul mendadak akibat gangguan peredaran darah otak
yang disebabkan penyakit atau kelainan yang juga
merupakan faktor risiko.
Gejala tersebut dapat disertai atau tidak disertai gangguan
kesadaran dan manifestasi klinis tergantung lokasi lesi
neuroanatomis
2. Anamnesa Kelemahan anggota gerak merupakan kelainan yang sering
ditemukan pada penderita stroke.
Kelainan lain yang juga sering ditemukan adalah gangguan
bicara, menelan, afasia, gangguan kognitif, hiangnya fungsi
sensorik, dan gangguan penglihatan. Peningkatan tonus otot,
kelemahan, depresi, nyeri merupakan gejala yang dapat
timbul setelah stroke serta kemampuan fungsional dan
perawatan diri.
3. Pemeriksaan Fisik Diperlukan pemeriksaan nerolgis menyeluruh, pemeriksaan
ini meliputi :
1. Pemeriksaan kesadaran dengan glasgow Coma Scale
2. Evaluasi status mental dengan Mini Mentl State
evaluation
3. Pemeriksaan saraf cranial terkait
4. Pemeriksaan sensibilitas superfisial dan dalam,
propioseptif, diskriminasi 2 titik
5. Pemeriksaan lingkup gerak sendi
6. Pemeriksaan kekuatan otot dan tonus otot
7. Pemeriksaan refleks fisiologis
8. Pemeriksaan refleks patologis
9. Pemeriksaan koordinasi motoric
10. Uji keseimbangan statis dan dinamis bila pasien
dapat mobilisasi
11. Uji fungsi lokomotor jika pasien dapat mobilisasi
12. Uji fungsi komunikasi
13. Uji fungsi menelan
14. Uji pola jalan bila pasien dapat berjalan
4. Pemeriksaan CT-Scan
Penunjang
5. Kriteria Diagnosis Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Penunjang
6. Diagnosa Stroke

7. Diagnose Banding Stroke Iskemik


Stroke Hemorragic
8. Terapi Rehabilitasi Stroke adalah pengelolaan Medis dan
Rehabilitasi komprehensif terhadap disabilitas yang
diakibatkan oleh stroke melalui pendekatan
neurorehabilitasi.
Program Rehabilitasi perlu disusun sesuai dengan tingkat
keparahan akibat serangan stroke.
Rehabilitasi stroke fase akut dilaksanakan selama pasien
rawat inap. Pada kondisi medis dan neurologis stabil/
subakut pasien bisa dilakukan rehabilitasi awat inap maupun
rawat jalan/ home care. Sedangkan fase kronik/ lanjut
rehabilitasi dilakukan dengan rawat jalan.Program
rehabilitasi multidisiplin secara komprehensif dimulai dari
fase akut secara inter maupun intra disiplin dengan spesialis
lain.
1. Latihan/ Exercise
Program latihan fisik bertujuan untuk meningkatkan
kapasitas ungsi dengan penekanan pada peningkatan
kemamuan untuk melakukan aktifitas sehari hari
(ADL).
Instruksi mengenai tehnik tehnik kompensasi dan
edukasi yang dibutuhkan psien diajarkan juga pada
keluarga atau caregiver penting untuk
mempersiapkan kembalinya pasien kerumah. Bukti
bukti menunjukkan bahwa terapi fisik bermanfaat
terhadap reorganisasi korteks paska stroke, yang di
iringi dengan perbaikan kontrol motorik dan
kapasitas fungsinya.
2. Disfagia
Penanganan disfagia neurogenk tergantung pada
fasenya, meliputi penggunaan selang nasogastrik,
modifikasi diet (misal: cairan kental, makanan
dihaluskan) dan terapi menelan (misal: penggunaan
tehnik kompensasi seperti mengangkat dagu saat
menelan).
3. Komunikasi
Gangguan komunikasi bisa berupa afasia dan
disartria. Tindakan rehabilitasi diberikan sesuai
dengan penilaian (uji fungsi komunikasi) yang
terdapat pada pasien.
4. Kognisi
Stroke seringkali mempengaruhi kemampuan
kognisi pasien. Perubahan dalam memori, perhatian,
insight/ wawasan dan kemampuan penyelesaian
masalah sering ditemukan pada pasien dengan
stroke.
Penentuan tingkatan dari gangguan kognisi dapat
ditentukan dengan mini mental state. Edukasi dan
latihan keluarga merupakan komponen penting
dalam rehabilitasi kognitif.
Pengenalan dan penatalaksanaan depresi paska
stroke merupakan hal yang sangat penting, karena
depresi dapat menyebabkan penurunan kognitif
paska stroke.
5. Ortotis
Ortosis dapat membantu kegiatan mobilisasi
penderita stroke. Ortosis dapat membantu
kompensasi pada gangguan dorsofleksi pergelangan
kaki (drop foot), mengontrol pergerakan kaki,
spastisitas dan stabilisasi sendi lutut (cenderung
hiperekstensi).
6. Bantuan Ambulasi
Adanya hemiparesis pada penderita stroke
menyebabkan banyak penderita stroke yang
membutuhkan alat bantu untuk ambulasi, seperti
tongkat, tongkat kaki empat/ hemi walker, atau pada
beberapa kasus dapat menggunakan walker
konvensional.
Pada kondisi yang berat kursi roda dibutuhkan untuk
ambulasi pasien.
7. Subluksasi bahu
Subluksasi bahu umum terjadi pada kasus hemiplegi
pasca stroke/ Menopang lengan dengan
menggunakan penopang lengan/ sling arm dapat
mencegah terjadinya subluksasi. Pada nyeri bahu
akibat terjadinya subluksasi dapat diberikan TENS
dan Elektikal stimulation.
8. Evaluasi untuk dapat bekerja kembali
Evaluasi dilakukan terhadap kemampuan fungsional
yang masih dimiliki dan ditingkatkan
kemampuannya untuk dapat melakukan pekerjaan
seperti sebelum terkena stroke dengan atau tanpa
alat bantu
9. Alat bantu adaptif
10. Alat bantu adaptif merupakan alat bantu yang bentuk
dan fungsinya disesuaikan untuk meningkatkan
kemampuan fungsi seorang penderita stroke untuk
mampu melakukan aktifitas yang diperlukan.
9. Edukasi Penjelasan mengenai stroke, risiko dan komplikasi selama
perawatan.
10. Prognosis Tergantung etiologi
11. Kepustakaan 1. Pengembangan konsep Nasional Penanggulangan
Stroke, Depkes, 2001
2. Standar Operasional Prosedur, Depkes, 2002
3. Konsensus Nasional Rehabilitasi Stroke, Perdosri,
2004
4. Konsensus Nasional Pengelolaan Stroke di Indonesia,
Perdossi, 1999
5. Bradstater ME. Important Practical Issues in
Rehabilitation of Stroke Patients. In: Stroke
Rehabilitation, Williams and Wilkins. 1987, p.90-101.
6. Sten J. Stroke. In: Frontera WR, editor. Essenials of
Physical Medicine and Rehabilitation, 2nd ed.
Saunders Elsevier. Philadelphia; 2008 .p 887-91.
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
CARPAL TUNNEL SYNDROME
1. Definisi Adalah neuropati akibat kompresi n medianus pada
(Pengertian) terowongan karpal dipergelangan tangan. Kelainan ini
merupakan mononeuropati yang tersering akibat kompresi
saraf pada anggota gerak.
2. Anamnesa a. Gejala klasik CTS adalah baal dan parestesi pada
digit I, II, III dan setengah lateral digiti IV. Gejala
awal berupa terbangun pada malam hari dengan rasa
baal atau nyeri pada jari-jari. Gejala pada siang hari
biasanya disebabkan oleh aktifitas yang
memposisikan pergelangan tangan pada posisi fleksi
atau ekstensi berlebihan atau gerakan repetitif yang
berlebihan.
b. Gejala nyeri pada sisi volar pergelangan tangan dan
pegal pada forearm juga dapat ditemukan. Gejala
berkurang dengan mengibas ngibaskan tangan (flick
sign).
c. Gangguan otonom dapat dideskripsikan sebagai
adanya edema pada tangan, kulit kering dan dingin.
d. Pada tahap yang lebih lanjut, rasa baal dirasakan
konstan dan gangguan motorik tampak lebih jelas,
dengan keluhan kelemahan yang berhubungan
dengan prehensi/ kemampuan memegang tangan,
sehingga pasien akan menyampaikan bahwa dia
sering menjatuhkan benda yang digenggam.
e. Kesulitan melakukan gerak repetitif seperti
mengetik, mengemudi kendaraan roda dua, kesulitan
melakukan ADL mengikat tali sepatu,
mengancingkan baju dan memasukkan kunci
kedalam lubang kunci.
3. Pemeriksaan Fisik 1. Inspeksi kedua telapak tangan, dibandingkan antara
sisi yang sakit dan sisi yang sehat, perhatikan
asimetris eminentia thenar dan hypothenar.
Kelemahan pada otot thenar dapat ditest dengan
dinamometer atau secara klinis dengan memberikan
tahanan pada gerakan abduksi digiti I
2. Pemeriksaan sensorik dengan diskriminasi 2 titik,
merupakan test yang spesifik tetapi tidak sensitif
3. Test khusus adalah test phalen (sensitifitas 68%,
spesifisitas 73%), Tinel (50%, 77%)
a. Test phalen dilakukan dengan fleksi pada
pergelangan
tangan sekitar 90° selama 1 menit, hasil
positif akan menimbulkan gejala CTS. Test
reserve phalen dilakukan dengan cara serupa
tetapi dalam posisi ekstensi
b. Test tinel dilakukan dengan mengetuk
pergelangan tangan bagian volar, distal dari
wrist crease. Hasil positif bila gangguan
sensoris yang menjalar kedaerah yang di
inervasi oleh nervus medianus
c. Test kompresi dilakukan dengan penekanan
dengan kedua ibujari pada daerah carpal
tunnel selama 1 menit
4. Atrofi dan test kekuatan otot abduktor pollicis brevis
terbukti sebagai test yang spesifik tapi tidak sensitif

5. Pemeriksaan EMG dan gambaran konduksi saraf diperlukan bila tidak


Penunjang terjadi perbaikan dalam waktu 3 bulan penatalaksanaan,
terdapat gangguan motorik yang cukup/ kelemahan otot,
atrofi otot.
6. Kriteria Diagnosis Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Penunjang
7. Diagnosa Carpal Tunnel Syndrom
8. Diagnose Banding a. Radikulopati servikal
b. Pleksopati brachial
c. Neuropati median proksimal
d. Neuropati ulnar atau radial
e. Artritis sendi carpal metacarpal
f. Tendinitis fleksor carpi radialis
g. Artritis pergelangan tangan
9. Terapi Tujuan tatalaksana:
1. Mengurangi nyeri dan kesemutan
2. Meningkatkan kekuatan otot
3. Mengoptimalkan kemampuan fungsi tangan
Terapi konservatif/ Rehabilitasi
1. Modifikasi pekerjaan sementara waktu termasuk
modifikasi postur
2. Tendon and nerve gliding exercise
3. Modalitas
Infra red dan diathermy dapat membantu
memperbaiki vaskularisasi, mengurngi nyeri dan
meningkatkan ROM aktif
Pulsed Ultrasound bersama dengan NSAID gel
digunakan untuk mengurangi inflamasi
4. Ortotik
5. Selama periode istirahat, dilakukan stretching fleksi
dan
ekstensi pergelangan tangan dan forearm dengan
dibantu oleh tangan yang sehat (tendon & nerve
gliding excercise) latihan strengthening dapat
dilakukan, namun hindari strengthening yang agresif
10. Edukasi Berperan aktif dalam pengobatan, mengurangi pergerakan
pergelangan tangan.
11. Prognosis Ad vitam : ad bonam
Ad sanam : ad bonam
Ad fucntionam : ad bonam
12. Kepustakaan 1. Zhao M, Burke D. Median neuropathy (Carpal Tunnel
Syndrome). InFrontera WR, editor. Essentials of
Physical Medicine and Rehabilitation. 2nd ed. Saunders
Elsevier. Philadelhia;2008. P173-7
2. Richardson JK, Craig A. Rehabiitation of patient with
neuropathies. In Braddom RL et al. Physical Medicine
and Rehabilitation. 4th ed Elsevier Saunders.
Philadelphia; 2011. P 1084-5
3. Dellagata EM, Nolan Jr TP. Electromagnetic waves
laser, Diathermy and Pulsed Elctromagnetic Fields. In :
Michlovitz SL et al. Modalities for Theurapeutic
Intervention. 5ed. F.A Davis Company. Philadelphia;
2012.p.147-8
4. Nadler SF, Schuler S. Cumulative Trauma Disorder. In:
DeLisa JL et al. Physical Medicine and Rehabilitation
Principles and Practice. 4th ed. Lippincott William and
Wilkins. Philadelphia; 2005.p.623-4
5. Freeman TL, Johnson EW, Brown DP.
Electrodiagnostic Medicine and Clinical Neuromuscular
Physiology. In Cuccurullo SJ. Physical Medicine and
Rehabilitation Board Review. 4th ed. Demos Medical
Publishing. New York;2005.p.401-2
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
OA GENUE
1. Pengertian Osteoartritis (OA) adalah suatu kelainan sendi kronis
(jangka lama) dimana terjadi proses pelemahan dan
disintegrasi dari tulang rawan sendi yang disertai dengan
pertumbuhan tulang dan tulang rawan baru pada sendi.
Kelainan ini merupakan suatu proses degeneratif pada sendi
yang dapat mengenai satu atau lebih sendi.
2. Anamnesis a. Nyeri merupakan keluhan utama tersering dari
pasien-pasien dengan OA yang ditimbulkan oleh
kelainan seperti tulang, membran sinovial, kapsul
fibrosa, dan spasme otot-otot di sekeliling sendi.
b. Nyeri awalnya tumpul kemudian semakin berat,
hilang timbul, dan diperberat oleh aktivitas gerak
sendi. Nyeri biasanya menghilang dengan istirahat.
c. Kekakuan pada kapsul sendi dapat menyebabkan
kontraktur (tertariknya) sendi dan menyebabkan
terbatasnya gerakan. Penderita akan merasakan
gerakan sendi tidak licin yang disertai bunyi
gemeretak (krepitus). Sendi terasa lebih kaku setelah
istirahat. Perlahan-lahan sendi akan bertambah kaku.
d. Sendi akan terlihat membengkak karena adanya
penumpukan cairan di dalam sendi. Pembengkakan
ini terlihat lebih menonjol karena pengecilan otot
sekitarnya yang diakibatkan karena otot menjadi
jarang digunakan
 Nyeri sendi di sekitar lutut selama weight
bearing dan berkurang dengan istirahat,
namun dengan berkembangnya penyakit,
rasa sakit menetap sampai saat istirahat
 Nyeri tekan pada lutut sesuai kompartemen
yang terlibat
 Penurunan ROM karena kekakuan sendi atau
pembengkakan
 Sensasi locking karena berbagai penyebab,
termasuk debris dari degenerasi tulang rawan
atau meniskus pada sendi, peningkatan
perlekatan permukaan artikular, kelemahan
otot (kuadrisep femoris) peradangan jaringan
 Peradangan dalam berbagai derajat
3. Pemeriksaan fisik Inspeksi
 Hipertrofi tulang
 Varus deformitas dari keterlibatan kompartemen
medial
Palpasi
 Peningkatan suhu
 Efusi sendi
 Nyeri tekan sendi
ROM
 Nyeri saat fleksi lutut
 Penurunan fleksi sendi karena nyeri
 Krepitasi
Stabilitas sendi
 Ketidak stabilan mediolateral
Neurologis
 Umumnya normal, dengan pengecualian penurunan
kekuatan otot terutama daerah kuadriseps, karena
penurunan aktifitas otot tersebut sebagai guarding
sekunder terhadap rasa nyeri

4. Kriteria Diagnosis Anamnesis


Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Penunjang
5. Diagnosis kerja OA Genu

6. Diagnosis Banding Diagnosis banding nyeri lutut berdasarkan lokasi anatomi.


Anterior knee pain :
 Patellar subluxation or dislocation
 Tibial apophysitis (Osgood-Schlatter lesion)
 Jumper’s knee (patellar tendonitis)
 Patellofemoral pain syndrome ( chondromalacia
patellae)
Medial knee pain
 Medial collateral ligament sprain
 Medial meniscal tear
 Pes anserine bursitis
 Medial plica syndrome
Lateral knee pain
 Lateral collateral ligament sprain
 Lateral meniscal tear
 Iliotibial band tendonitis Posterior knee pain
 Popliteal cyst ( Baker’s cyst )
 Posterior cruciate ligament injury

7. Pemeriksaan
Sesuai DPJP
penunjang
8. Tatalaksana Tujuan Tata laksana Rehabilitasi Medik
Fisioterapi bertujuan untuk
a. Memelihara mobilitas sendi dan meningkatkan
kekuatan otot. Memperkuat otot-otot di sekitar sendi
dapat memberikan efek proteksi terhadap sendi yang
terkena OA dengan meningkatkan penyerapan
tekanan dan mengurangi beban terhadap sendi.
b. Mengurangi nyeri
c. Mengoreksi dan mencegah kelainan biomekanik
d. Memperbaiki kekuatan otot, fungsi dan qualitas
hidup
Tatalaksana Rehabilitasi Medik dan edukasi
Latihan yang dilakukan dapat berupa gerakan aerobik,
namun tetap menghindari aktivitas yang memberatkan
sendi. Latihan secara teratur dapat berguna dalam
menurunkan berat badan yang pada akhirnya membantu
perbaikan OA, mengingat obesitas merupakan salah satu
faktor risiko OA.
Pada fase akut:
 Protection, rest, ice, compression dan elevation
Rehabilitasi:
 Latihan penguatan statis atau dinamis dapat
mempertahankan atau meningkatkan kekuatan otot,
sehingga memperbaiki atau mencegah keainan
biomekanik dan kontribusinya terhadap disfungsi
dan degenerasi sendi
 Transcutaneus electrical nerve stimulation (TENS)
untuk meningkatkan ambang nyeri
 Tongkat atau walker dapat mengurangi beban
panggung atau lutut, sehingga mengurangi rasa sakit
dan mencegah jatuh
 Penggunaan knee brace pada osteoartritis lutut
unikompartemental untuk meningkatkan fungsi
 Pengurangan berat badan secara non farmakologik
dengan retriksi intake kalori dan lemak serta
peningkatan aktifitas fisik
 Latihan aerobik dapat mengurangi rasa sakit dan
meningkatkan status fungsional serta kapasitas
pernafasan, meningkatkan toleransi aktifitas,
ambang rasa sakit dan dapat memiliki efek posistif
pada suasana hati dan motivasi untuk berpartisipasi
dalam kegitan lainnya.
9. Edukasi (hospital Menjelaskan mengenai faktor resiko dan pencegahan
health promotion) rekurensi

10. Prognosis Ad vitam : bonam


Ad Sanationam : bonam
Ad Fungsionam : bonam
11. Kepustakaan 1. Wilkins AN, Phillips EM. Knee Osteoarthritis In:
Frontera W, Silver J, Rizzo T, Eds, Essential of
Physical Medicne and Rehabilitation 2nd Edition.
Elsevier Inc. Philadelphia, 2008. P 345- 354
2. Stitik TP, Foye PM, Stiskal D, Nadler RR.
Osteoarthritis, In: DeLisa, etal (eds). Physical
Medicine & Rehabilitation Principles and Practice
4th ed. Lippincort William & Wilkins, Philadelphia:
2005.p 781-810
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
PENYAKIT PARU RESTRIKTIF DAN OBSTRUKTIF
1. Pengertian Penyakit paru restriktif adalah penyakit paru yang memiliki
karakteristik pada penurunan volume paru yang disebabkan
oleh adanya perubahan pada jaringan parenkim paru atau
karena adanya proses penyakit pada pleura, dinding dada
atau komponen neuromuskuler
Beberapa kapasitas paru mengalami penurunan kapasitas
yaitu kapasitas total paru, kapasitas vital atau kapasitas paru
istirahat Penyakit paru obstruktif adalah gangguan saluran
nafas struktural atau fungsional yang menimbulkan
perlambatan arus respirasi. Gangguan dapat berupa
intraluminar (tumor paru, sumbatan oleh skret, benda asing),
ekstraluminar (tumor yang menekan bronkhus, emfisema)
ataupun penebalan mukosa (hiperlasia, hipertrofi),
bronkhitis kronis, emfisema, asma, bronkiektasis.
2. Anamnesis a. Keluhan utama
b. Kronologis masalah
c. Riwayat fungsional (kemampuan berjalan, naik
turun tangga)
d. Riwayat psikososial Obat/ alergi
e. Riwayat medik/ operasi
f. Riwayat keluarga
3. Pemeriksaan fisik a. Pemeriksaan umum
b. Penilaian fungsi
c. Penilaian musculoskeletal meliputi penilaian
neurologis, pola nafas serta penggunaan otot otot
pernafasan tambahan
d. Kemampuan ekspektorasi, batuk efektif
e. Skala sesak dgn modifikasi borg scale
f. Kekuatan otot respirasi
4. Kriteria Diagnosis Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Penunjang
5. Diagnosis kerja Penyakit Paru Restriktif dan Obstruktif

6. Diagnosis Banding  Asma


 SOPT (Sindroma Obstruksi Pascatuberculososis)
 Gagal jantung
 Bronkiektasis
 TB aktif
7. Pemeriksaan Sesuai DPJP
penunjang a. Laboratorium
b. Foto thoraks
8. Tatalaksana Tatalaksana terapi untuk penyakit paru restriktif bertujuan
a. Mempertahankan compliance paru dan
dinding dada
b. Mencapai perkembangan paru dan dinding
dada yang normal serta mencegah deformitas
thoraks pada anak anak
c. Memperbaiki toleransi Latihan
d. Memperbaiki pola pernafasan
e. Mengurangi sesak serta mengkoordinasikan
pola pernafasan dengan aktifitas kehidupan
sehari hari
f. Tujuan jangka panjangnyabadalah mencegah
episode gagal nafas akut saat infeksi paru,
menambah daya tahan hidup tanpa
trakeostomi
Tatalaksana
Terapi fisik dada (chest physical therapy)
Terapi fisik dada dapat di definisikan sebagai tehnik terapi
yang diterapkan pada dinding dada dari luar, dalam
memfasilitasi pembersihan sekret/ mukus pada saluran
nafas, meningkatkan fungsi pernafasan dan mengurangi
komplikasi yang terjadi, seperti air trapping sampai terjadi
hiperinflasion yang akan menyebabkan perburukan keadaan
umum pasien
Terapi fisik dada meliputi :
a. Latihan batuk effektif dengan metode huffing
coughing
b. Postural drainage, bertujuan untuk mengeluarkan
mukus dari seluruh segmen paru dengan
menggunakan gaya gravitasi
c. Perkusi
d. Vibrasi
e. Terapetik exercise, exercise untuk mengatasi sesak
nafas
tergabung pada active cycle of breathing yang terdiri
dari : pursed lips breathing, diaphragmatic breathing
dan huffing. Latihan ini diberikan sesuai dengan
derajat beratnya.
f. Latihan atau exercise meliputi, relaksasi, latihan otot
dan latihn aerobik Pada penyakit obstruktif paru:
Terapi inhalasi menggunakan alat nebuliser

9. Edukasi (hospital Nutrisi, asupan nutrisi penting diperhatikan pada pasien


health promotion) dengan gangguan paru. Gejala penyakit paru restriktif
seperti kesulitan bernafas, kelelahan dapat berkontribusi
terhadap berkurangnya asupan makanan. Penurunan yang
berkepanjangan dalam asupan makanan dapat menyebabkan
kekurangan gizi dan kehilagan berat badan yang signifikan
Psikososial, depresi dan anxietas adalah dua komorbiditi
utama yang berhubungan dengan penyakit paru restriksi,
seiring dengan penurunan drastis keterbatasan aktifitas
fungsional. Panik di hubungkan dengan serangan dyspneu
yang berat. Anti depresan dan medikasi dengan anti
anxiolitik biasa digunakan sebagai pengobatan penunjang
saat konseling dengan psikiater.
10. Prognosis Quo ad vitam : dubia ad bonam
11. Kepustakaan 1. Sharma sat. Restrictive lung disease. Article. Available
from: http://emedicine.medscape.com
2. Nusdwinuriningtyas N. Panduan tindakan rehabilitasi
respirasi. Jakarta: departemen Rehabilitasi Medik RS Dr
Cipto Mangunkusumo.2006.p.49
3. Kohlam, Virginia C, Stulbrg, Michael S. Dyspnea:
Assesment and management in Hodgkin, John E:
Pulmonary Rahbilitation. Guiedlines to succes;
Lippincott Williams & Wilkins 2000 3rd ed.p57-89
4. Kendric KR, Baxi SC, Smith RM. Usefulness of the
modified 0-10 Borg Scale in assesing the degree of
dyspnea in patients with COPD and asthma. Journal of
emergency nursing. Vo;ume 26, issue 3, pages 216-222,
June 2000

Anda mungkin juga menyukai