Tugas-Kuliah P-4 - DR Yogi Wardhana
Tugas-Kuliah P-4 - DR Yogi Wardhana
Jawaban dikirim selambatnya tanggal 10 Sept 2023 pkl 07.00 wib secara kolektif oleh ketua
kelasnya , melalui email: fari3da.07@gmail.com
Pengetahuan Subyektif dan Pengetahuan Objektif:
1. Pengetahuan Subyektif: Ini adalah pengetahuan yang didasarkan pada pengalaman pribadi dan
pandangan subjektif individu. Ini mencakup perasaan, keyakinan, dan preferensi pribadi. Contoh
konkretnya adalah bagaimana seseorang merasa senang saat mendengarkan musik tertentu.
Pengetahuan Objektif: Pengetahuan ini berdasarkan fakta yang dapat diukur, diuji, dan
diverifikasi secara independen oleh berbagai individu. Contohnya adalah pengetahuan tentang
hasil percobaan ilmiah yang dapat diulangi oleh orang lain untuk memeriksa validitasnya.
Dalam konteks filsafat, "ruang" dan "waktu" sering menjadi objek pemikiran dan analisis.
Beberapa pertimbangan filosofis yang terkait dengan konsep ini meliputi:
• Spasialitas dan Temporalitas: Filsafat berusaha untuk memahami sifat dan hakikat dari ruang
(spasialitas) dan waktu (temporalitas). Apakah ruang dan waktu eksis secara independen atau
hanya sebagai konstruksi manusia? Bagaimana kedua konsep ini berhubungan dengan realitas
fisik dan pengalaman manusia?
• Perubahan dan Identitas: Pertimbangan filosofis juga mencakup pertanyaan tentang bagaimana
perubahan dan identitas terkait dengan waktu. Bagaimana kita memahami perubahan dalam
konteks waktu, dan apakah ada entitas atau identitas yang berkelanjutan dalam aliran waktu?
• Konsep-konsep ini merupakan subjek perdebatan filosofis yang mendalam dan melibatkan
banyak filsuf terkenal seperti Immanuel Kant, Henri Bergson, dan Martin Heidegger. Untuk
memahami lebih lanjut tentang bagaimana filsafat memperlakukan konsep ruang dan waktu,
Anda dapat merujuk kepada karya-karya mereka yang mempertimbangkan aspek-aspek filosofis
dari waktu, ruang, dan realitas
• Agnotisisme Epistemologis: Pendekatan ini menyatakan bahwa ada beberapa pertanyaan yang
mungkin tidak memiliki jawaban definitif karena keterbatasan pengetahuan manusia. Filsuf
seperti Immanuel Kant mengajukan gagasan bahwa ada pertanyaan tentang "noumena" (realitas
yang ada di luar pengalaman manusia) yang mungkin tidak dapat dijawab oleh manusia.
• Konsep Pertanyaan Tanpa Jawaban: Ada pertanyaan dalam filsafat yang mungkin dirancang
untuk memancing pemikiran dan refleksi lebih dalam tanpa mencari jawaban definitif. Misalnya,
pertanyaan tentang makna hidup atau hakikat eksistensi manusia dapat dianggap sebagai
pertanyaan semacam ini. Mereka mendorong manusia untuk merenungkan dan
mempertimbangkan nilai-nilai dan tujuan dalam kehidupan tanpa mengklaim jawaban definitif.
• Batas Pengetahuan Manusia: Pandangan lain adalah bahwa ada batas pengetahuan manusia
yang menghambat kemampuan kita untuk menemukan jawaban tertentu. Ini termasuk
pertanyaan tentang sejarah prasejarah atau keadaan alam semesta sebelum Big Bang, yang
mungkin terbatas oleh batasan penelitian dan bukti yang tersedia.
Tidak ada kesepakatan universal dalam filsafat mengenai pertanyaan ini, dan pandangan
tergantung pada kerangka kerja filosofis yang dianut oleh individu. Masalah ini telah
diperdebatkan dalam berbagai karya filosofis, jadi berbagai pandangan dapat ditemukan dalam
literatur filosofis. Salah satu karya yang mengulas pertanyaan ini secara mendalam adalah "The
Structure of Scientific Revolutions" oleh Thomas Kuhn, yang membahas sifat ilmu pengetahuan
dan perkembangan teori ilmiah. Karya-karya filosofis oleh Immanuel Kant, Ludwig Wittgenstein,
dan skeptisisme epistemologis juga dapat memberikan wawasan lebih lanjut tentang topik ini.
• Hubungan antara Akal dan Iman: Dalam sejarah filsafat, pertanyaan tentang hubungan antara
akal dan iman telah menjadi subjek perdebatan yang mendalam. Bagaimana manusia dapat
mencapai pemahaman tentang hal-hal yang transendental atau gaib melalui akal sehat atau
apakah iman harus melampaui batas akal adalah pertanyaan yang sangat penting dalam konteks
spiritualitas. Filosof sebagai peneliti kebenaran rasional dapat mencoba untuk menjembatani
divisi ini atau mempertimbangkan batas-batas pengetahuan rasional.
• Pertimbangan Etika dan Moral dalam Spiritualitas: Pertanyaan moral dan etika seringkali menjadi
fokus spiritualitas. Filsafat etika mencari pemahaman rasional tentang apa yang benar dan salah.
Pertanyaan apakah ada fondasi moral yang objektif atau apakah etika sepenuhnya subjektif
adalah isu yang dapat diselidiki dalam kerangka filosofis.
• Pertanyaan Metafisika tentang Eksistensi dan Keberadaan: Spiritualitas sering kali melibatkan
pertanyaan-pertanyaan tentang eksistensi entitas seperti Tuhan atau jiwa. Dalam filsafat, domain
metafisika memungkinkan eksplorasi konsep-konsep ini dan pertanyaan tentang bagaimana
sesuatu bisa eksis di luar pengalaman empiris.
• Pertimbangan Mengenai Hakekat Manusia dan Kemanusiaan: Spiritualitas sering
mempertimbangkan hakikat manusia dan tujuan hidup. Apa artinya menjadi manusia, dan apa
tujuan eksistensi manusia, adalah pertanyaan filosofis yang mendalam. Filsafat eksistensialisme,
misalnya, menghadapi pertanyaan-pertanyaan semacam ini.
Konsep "wadah" dan "isi" adalah dua aspek penting dalam pemikiran filosofis yang membantu
kita memahami hubungan antara struktur eksternal dan substansi internal suatu entitas atau
konsep. "Wadah" sering mengacu pada kerangka eksternal atau struktur yang mengelilingi atau
membungkus sesuatu, sementara "isi" merujuk pada hakikat atau substansi internal yang
memberikan makna atau identitas. Dalam pemikiran filosofis, perdebatan mengenai hubungan
antara wadah dan isi mencakup pertanyaan fundamental tentang ketergantungan, pembedaan,
dan konsekuensi dari hubungan ini.
Dalam banyak kasus, wadah dan isi dianggap terkait erat satu sama lain. Pertanyaan muncul
tentang sejauh mana wadah membentuk atau memengaruhi isi, dan sejauh mana isi
memengaruhi atau memodifikasi wadah. Misalnya, dalam pemikiran estetika, karya seni sering
dilihat sebagai wadah yang membungkus ide atau ekspresi seniman (isi). Namun, bagaimana
wadah ini membawa atau mencerminkan isi, serta apakah perubahan dalam wadah dapat
memengaruhi pemahaman atau pengalaman dari isi, menjadi subjek pemikiran dalam filsafat
seni.
Selain itu, pemikiran filosofis juga mencerminkan perdebatan mengenai struktur dan esensi.
Pertanyaan filosofis muncul mengenai apakah wadah (struktur eksternal) hanyalah penampilan
yang melibatkan esensi (substansi internal), atau apakah wadah memiliki peran yang lebih aktif
dalam membentuk atau bahkan menciptakan isi. Bagi beberapa filosof, seperti Plato, ide-ide
abstrak adalah bentuk murni (isi), sedangkan dunia material adalah wadah yang mencerminkan
atau meniru ide-ide tersebut.
Pertimbangan ini mencakup berbagai bidang dalam filsafat, seperti epistemologi (pengetahuan),
metafisika (hakikat eksistensi), bahasa (semiotika), estetika (seni dan keindahan), dan bahkan
etika (prinsip moral). Dengan demikian, pemahaman hubungan antara wadah dan isi melibatkan
pemikiran filosofis yang mendalam tentang sifat realitas, pemahaman manusia, dan makna dalam
berbagai konteks filosofis.
.
6. Filsafat dan Hukum Sebab-Akibat:
Filsuf seperti David Hume mempertimbangkan kritis masalah sebab-akibat. Anda dapat
membaca "An Enquiry Concerning Human Understanding" untuk pemahaman lebih lanjut tentang
pandangan filosofis tentang hukum sebab-akibat.
Hukum sebab-akibat adalah konsep yang menjadi pusat perhatian dalam pemikiran filosofis
selama berabad-abad. Dalam konteks ini, filsafat telah menyumbangkan berbagai pertimbangan
Filsafat juga membantu kita memahami perbedaan antara hukum sebab-akibat dalam alam fisik
dan kausalitas dalam tindakan manusia atau psikologis. Ini memunculkan pertanyaan tentang
bagaimana sebab-akibat fisik berbeda dari motivasi atau tindakan manusia, yang seringkali lebih
kompleks.
Terakhir, dalam konteks hukum sebab-akibat, ada dilema serius mengenai bagaimana
pengetahuan tentang masa depan yang mungkin dijelaskan oleh sebab-akibat berdampingan
dengan gagasan kebebasan atau keputusan manusia. Filsafat berusaha untuk menjelajahi
implikasi etis dan ontologis dari dilema ini, menghadapi pertanyaan fundamental tentang
bagaimana kita memahami penyebab peristiwa, efek dari tindakan kita, dan kompleksitas
hubungan antara mereka dalam kerangka pemikiran manusia.
7. Persamaan dan Perbedaan Ilmuwan dan Filsuf:
Ilmuwan fokus pada penyelidikan empiris, sementara filsuf fokus pada analisis konsep dan
pertanyaan filosofis. Untuk pemahaman yang lebih mendalam, Anda dapat merujuk ke buku "The
Structure of Scientific Revolutions" oleh Thomas Kuhn dan "The Philosophy of Science: An
Introduction" oleh James Ladyman.
Ilmuwan dan filsuf adalah dua kelompok profesional yang sering bekerja dalam domain pemikiran
dan penelitian, meskipun dengan pendekatan dan tujuan yang berbeda. Berikut adalah
penjelasan lebih rinci mengenai persamaan dan perbedaan antara keduanya:
Persamaan:
• Kedua Kelompok Mengejar Pengetahuan: Ilmuwan dan filsuf keduanya bertujuan untuk
memahami dunia dan fenomena yang ada di dalamnya. Mereka tertarik pada pertanyaan-
pertanyaan mendasar tentang kenyataan, eksistensi, dan proses alamiah.
• Tujuan Utama: Salah satu perbedaan utama adalah tujuan utama dari pekerjaan mereka.
Ilmuwan bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan empiris yang konkret dan terukur
tentang alam semesta. Mereka mencari penjelasan yang teruji secara empiris untuk fenomena
alamiah. Di sisi lain, filsuf cenderung fokus pada pertanyaan-pertanyaan konseptual, metafisika,
dan etika, yang kurang terkait dengan metode ilmiah yang khas.
• Metode Kerja: Ilmuwan menggunakan metode ilmiah yang ketat dan eksperimen empiris untuk
menguji hipotesis mereka. Filsuf, di sisi lain, seringkali menggunakan analisis konseptual,
pemikiran abstrak, dan logika filosofis untuk menjelajahi pertanyaan-pertanyaan filosofis. Mereka
menciptakan argumen-argumen filosofis untuk mendukung atau menentang gagasan-gagasan.
• Bidang Kajian: Ilmuwan biasanya berkhusus dalam bidang ilmiah tertentu, seperti fisika, biologi,
atau kimia. Mereka fokus pada pengembangan pengetahuan dalam disiplin ilmiah tertentu. Filsuf,
di sisi lain, dapat mengambil pendekatan lintas disiplin yang mencakup berbagai bidang,
termasuk metafisika, epistemologi, etika, dan estetika.
• Hasil Kerja: Ilmuwan sering menghasilkan temuan empiris berupa data, teori, atau model yang
dapat diuji ulang dan diaplikasikan dalam konteks praktis. Filsuf, dalam banyak kasus,
menghasilkan argumen filosofis, teori konseptual, atau pemikiran etis yang lebih abstrak dan
kurang terkait dengan aplikasi praktis langsung.
Meskipun ilmuwan dan filsuf memiliki perbedaan dalam pendekatan, tujuan, dan metode mereka,
keduanya berkontribusi pada pemahaman manusia tentang alam semesta dan aspek-aspek
kehidupan yang beragam. Kolaborasi antara ilmuwan dan filsuf juga dapat menjadi berharga
dalam merenungkan implikasi filosofis dari penemuan ilmiah.
8. Sumber-sumber Ilmu dan Pembenarannya:
Sumber-sumber Ilmu:
Pengamatan: Pengamatan adalah salah satu sumber utama ilmu pengetahuan. Ini melibatkan
penggunaan indra manusia atau alat pengukur untuk mengumpulkan data tentang fenomena
alam. Contoh sederhana adalah astronomi, di mana teleskop digunakan untuk mengamati benda
langit.
Eksperimen: Eksperimen adalah metode yang digunakan dalam ilmu pengetahuan untuk
memeriksa hipotesis dan menjalankan percobaan yang dapat diulangi untuk mendapatkan data
yang lebih kuat. Ini umum dalam ilmu fisika, kimia, biologi, dan psikologi.
9. Etika berurusan dengan pertimbangan nilai dan moralitas, sementara estetika berurusan dengan
keindahan dan penilaian estetika. Buku "Ethics: An Essay on the Understanding of Evil" oleh Alain
Badiou dan "Aesthetics: A Very Short Introduction" oleh Bence Nanay dapat memberikan
wawasan lebih lanjut.
Hubungan antara etika (moralitas) dan estetika (keindahan) di seluruh dunia mencerminkan
keragaman dan kompleksitas pemikiran manusia dalam berbagai budaya (Miller, 2017). Dalam
beragam konteks budaya di seluruh dunia, etika dan estetika saling berinteraksi dan saling
memengaruhi.
Karya seni juga sering digunakan sebagai sarana untuk menyuarakan pesan etis atau moral
(Gaut & Livingston, 2003). Seniman di seluruh dunia dapat menggunakan seni mereka sebagai
wadah untuk menggambarkan isu-isu sosial atau moral yang dianggap penting. Mereka
menciptakan karya seni yang mengangkat isu-isu hak asasi manusia, ketidaksetaraan, atau
keadilan sebagai bentuk ekspresi estetis.
Pemahaman tentang keindahan dalam karya seni juga dapat berkaitan erat dengan nilai-nilai
etika (Carroll, 2000). Bagaimana keindahan diukur dalam karya seni dapat bervariasi antar
budaya. Beberapa masyarakat mungkin menilai keindahan dalam kesederhanaan dan simetri,
sementara yang lain mungkin menganggap keindahan dalam ekspresi yang kompleks dan
kontroversial. Pandangan ini mencerminkan perbedaan dalam pandangan etika yang
mendasarinya.
Selain itu, seni sering kali dipengaruhi oleh budaya tempatnya dibuat. Nilai-nilai etis dan moral
dalam budaya tersebut dapat memengaruhi jenis seni yang dihasilkan (Dissanayake, 2007).
Sebagai contoh, budaya yang mementingkan rasa hormat terhadap alam dan keberlanjutan
dapat menghasilkan seni yang mencerminkan keindahan alam dan usaha untuk menjaga
lingkungan.
Dalam seni kontroversial, yang mungkin melibatkan isu-isu etis seperti kebebasan berbicara atau
batasan moral, timbul pertanyaan tentang batasan-batasan etika dalam seni (Kieran, 2003).
Bagaimana kita menilai seni yang mungkin melibatkan elemen yang dianggap ofensif atau
mengganggu? Hal ini menciptakan hubungan yang kompleks antara etika dan estetika, yang
seringkali menjadi subjek perdebatan dan refleksi dalam berbagai budaya di seluruh dunia.
Dalam konteks global yang beragam ini, pemahaman yang lebih mendalam tentang interaksi
antara etika dan estetika membantu kita menghargai keberagaman seni, budaya, dan nilai-nilai
manusia yang kaya dalam berbagai masyarakat di seluruh dunia.
Pemahaman tentang keindahan dalam karya seni juga dapat berkaitan erat dengan nilai-nilai
etika (Carroll, 2000). Bagaimana keindahan diukur dalam karya seni dapat bervariasi antar
budaya. Beberapa masyarakat mungkin menilai keindahan dalam kesederhanaan dan simetri,
sementara yang lain mungkin menganggap keindahan dalam ekspresi yang kompleks dan
kontroversial. Pandangan ini mencerminkan perbedaan dalam pandangan etika yang
mendasarinya.
Selain itu, seni sering kali dipengaruhi oleh budaya tempatnya dibuat (Dissanayake, 2007). Nilai-
nilai etis dan moral dalam budaya tersebut dapat memengaruhi jenis seni yang dihasilkan.
Sebagai contoh, budaya yang mementingkan rasa hormat terhadap alam dan keberlanjutan
dapat menghasilkan seni yang mencerminkan keindahan alam dan usaha untuk menjaga
lingkungan.
Dalam seni kontroversial, yang mungkin melibatkan isu-isu etis seperti kebebasan berbicara atau
batasan moral, timbul pertanyaan tentang batasan-batasan etika dalam seni (Kieran, 2003).
Bagaimana kita menilai seni yang mungkin melibatkan elemen yang dianggap ofensif atau
mengganggu? Hal ini menciptakan hubungan yang kompleks antara etika dan estetika, yang
seringkali menjadi subjek perdebatan dan refleksi dalam berbagai budaya di seluruh dunia.
Dalam konteks global yang beragam ini, pemahaman yang lebih mendalam tentang interaksi
antara etika dan estetika membantu kita menghargai keberagaman seni, budaya, dan nilai-nilai
manusia yang kaya dalam berbagai masyarakat di seluruh dunia.