Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pemilu merupakan sarana tak terpisahkan dari kehidupan politik Negara

demokrasi modern. Bagi bangsa yang tengah berjuang melembagakan “kekuasaan

rakyat”, pemilu masih dihayati sebagai ritus massal. Suatu perayaan kebersamaan,

yang bisa gagal atau mengecewakan. Namun juga menjadi langkah maju dalam

melembagakan kedaulatan rakyat secara efektif dan lestari.

Pemilu demokratis adalah “perebutan kekuasaan” yang dilakukan dengan

regulasi, norma dan etika sehingga sirkulasi elit atau pergantian kekuasaan dapat

dilakukan secara damai dan beradap (Kritis Meliput Pemilu, J Kristiadi, 2009, ha.l :

2). Pergantian kekuasaan memang salah satu alasan dibalik pentingnya pemilu.

Dikebanyakan Negara demokrasi, pemilihan umum dianggap lambang,

sekaligus tolak ukur dari demokrasi tersebut. Hasil pemilihan umum yang di

selenggarakan dalam suasana keterbukaan dengan kebebasan berpendapat dan

kebebasan berserikat dianggap mencerminkan dengan agak akurat partisipasi

serta aspirasi masyarakat. Sekalipun demikian, disadari bahwa pemilihan umum

tidak merupakan satu-satunya tolak ukur dan perlu dilengkapi dengan pengukuran

beberapa kegiatan lain yang lebih bersifat berkesinambungan, seperti partisipasi

dalam kegiatan partai, lobbying, dan sebagainya.

1
Dibanyak negara dunia ketiga beberapa kebebasan seperti yang dikenal

didunia barat kurang diindahkan atau sekurang-kurangnya diberi tafsiran yang

berbeda.Dalam situasi semacam ini, setiap analisis mengenai hasil pemilihan

umum harus memperhitungkan faktor kekurangbebasan itu serta kemungkinan

adanya faktor mobilitas yang sedikit banyak mengandung unsur paksaan.

Kita semua sepakat bahwa pemilihan umum (pemilu) yang kita selenggarakan

setiap lima tahun sekali harus terus meningkat kualitasnya. Pemilu yang berkualitas

setidaknya harus dilihat dari dua sisi. Pertama, prosesnya berjalan sesuai dengan

prinsip-prinsip pemilu yang demokratis, luber dan jurdil, serta dipatuhinya semua

peraturan pemilu. Kedua, hasilnya, yakni orang-orang yang terpilih, baik yang

duduk dilembaga legislatif maupun eksekutif adalah oranng-orang yang

berintegritas tinggi, moralitasnya teruji dan kapasitasnya tidak diragukan.

Pemilu memang merupakan keputusan yang sangat penting bagi masa depan

negara. Bila suatu pemilu berjalan baik, maka sebuah negara dapat melanjutkan

menuju demokrasi dan perdamaian. Sebaliknya, bila pemilunya berjalan buruk

bahkan gagal, sebuah negara bisa dibilang tengah meruntuhkan demokrasi dan

kembali menuju titik nadirnya. Itulah sebabnya pemilu kerap disebut sebagai roh

demokrasi.

2
B. Rumusan Masalah

1. Apa itu Pemilihan Umum (Pemilu) ?

2. Bagaimana sistem Pemilihan Umum ?

3. Undang-undang apa saja yang terkait dengan Pemilihan Umum ?

4. Apa saja faktor orang enggan berperan aktif dalam Pemilihan Umum ?

5. Bagaimana kampanye yang berkualitas dalam Pemilu ?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui apa itu Pemilihan Umum (Pemilu).

2. Untuk memahami bagaimana sistem Pemilihan Umum yang berlaku.

3. Untuk mengetahui Undang-Undang yang terkait dengan masalah Pemilihan

Umum.

4. Untuk memahami faktor-faktor orang engan berperan aktif dalam Pemilihan

Umum.

5. Untuk memahami bagaimana kampanye yang berkualitas dalam Pemilu.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep / Teori Dasar Pemilu

Transisi demokrasi Indonesia dalam usahanya menuju tatanan negara

demokrasi modern dengan pengakuan terhadap hak asasi manusia, pers yang

bebas dalam cakupan Orde Reformasi mensyaratkan salah satu itemnya berupa

pemilihan umum, sebagai wujud pengakuan tehadap kedaulatan rakyat.

Pemilihan umum merupakan mekanisme politik untuk mengganti

kepemimpinan yang diikhtiarkan menyegarkan kembali moralitas dan komitmen

kerakyatan. Pemilu juga merupakan cara yang paling kuat bagi rakyat untuk

berpartisipasi dalam sistem demokrasi perwakilan modern.

Pemilu disebut “bermakna” apabila memenuhi tiga criteria, yaitu keterbukaan,

ketepatan, dan keefektivan (Elkit dan Svensson, 1997). Untuk mewujudkan makna

pemilu, sistem pemilihan merupakan instrument penting.

Dalam ilmu politik dikenal bermacam-macam sistem pemilihan umum dengan

berbagai variasinya, akan tetapi umumnya berkisar pada dua prinsip pokok, yaitu :

a. Single-member Constituency (Sistem Distrik).

Dalam sistem distrik, satu wilayah kecil (yaitu distrik pemilihan) memilih

satu wakil tunggal atas dasar pluralitas (suara terbanyak). Sistem distrik

merupakan sistem pemilihan yang paling tua dan didasarkan atas kesatuan

geografis (Dasar-Dasar Ilmu Politik, Miriam Budiarjo, 2008, hal : 462). Sistem

4
distrik sering dipakai di negara yang mempunyai sistem dwi-partai seperti

Inggris, India, Malaysia dan Amerika.

Ada ciri khas yang melekat pada sistem distrik, yaitu bahwa

pelaksanaan sistem distrik mengakibatkan “distorsi” atau kesenjangan antara

jumlah suara yang diperoleh suatu partai secara nasional dan jumlah kursi

yang diperoleh partai tersebut.

b. Multi-member Constituency (Sistem Proporsional).

Dalam sistem proporsional, satu wilayah besar (yaitu daerah pemilihan)

memilih beberapa wakil. Sistem proporsional sering diselenggarakan dalam

Negara dengan banyak partai seperti Belgia, Swedia, Italia, Belanda dan

Indonesia.

Perbedaan pokok antara dua sistem ini adalah bahwa cara menghitung

perolehan suara dapat menghasilkan perbedaan dalam komposisi perwakilan

dalam parlemen bagi masing-masing partai politik.

Disamping itu ada beberapa varian seperti Block Vote (BV), Alternative Vote

(AV), sistem dua putaran atau Two-Round System (TRS), Sistem Paralel, Limited

Vote (LV), Single Non-Transferable Vote (SNTV), Mixed Member Proportional

(MMP), dan Single Transferable Vote (STV). Tiga yang pertama lebih dekat ke

sistem distrik, sedangkan yang lain lebih dekat ke sistem proporsional atau semi

proporsional.

5
B. Fungsi Pemilu

Berikut sejumlah alasan mengapa pemilu penting dalam demokrasi, antara

lain :

1) Sebagai proses pergantian dan sirkulasi elit penguasa secara kompetitif dan

legal.

2) Sebagai pendidikan politik rakyat yang langsung, terbuka ,bebas, dan missal.

3) Mekanisme untuk menentukan wakil-wakil rakyat baik dalam pemerintahan

maupun legislatif.

4) Sarana legitimasi politik bagi pemerintahan yang berkuasa sehingga

kebijakan-kebijakan dan programnya menjadi absah.

C. Aktor-Aktor Pemilu

Sebagai kompetisi politik, pemilu memiliki aktor-aktor yang terlibat di

dalamnya. Masing-masing aktor memiliki posisi dan fungsi tersendiri, yang secara

bersama-sama mempunyai kewajiban untuk mensukseskan pemilu. Pemilu yang

sukses berarti pemilu yang berlangsung secara damai, prosesnya sesuai dengan

peraturan perundang-undangan dan hasilnya diterima oleh semua kalangan.

Berikut aktor-aktor pemilu sebagaimana diuraikan Didik Suprianto, dkk.

Pemilih

Di antara aktor-aktor pemilu, dalam konteks Indonesia, posisi pemilih sering

termarginalkan. Dari pemilu ke pemilu selalu terjadi kontroversi daftar pemilih.

Semua undang-undang pemilu membuat ketentuan yang menjamin kepastian

setiap warga negara yang berhak memilih masuk dalam daftar pemilih.

6
Penyelenggara

Penyelenggara pemilu memiliki posisi yang paling strategis dalam

penyelenggaraan pemilu. Begitu pentingnya posisi penyelenggara pemilu, sehingga

keberadaannya diatur oleh undang-undang tersendiri, yakni UU No. 22/2007.

Undang-undang ini membagi penyelenggara pemilu menjadi dua lembaga, yakni

KPU dan jajarannya, serta Bawaslu dan jajarannya.

Secara umum, tugas wewenang KPU dibagi menjadi enam kelompok.

Pertama, menyusun peraturan pelaksanaan, tata kerja lembaga, dan standarisasi

logistic pemilu; kedua, membuat perencanaan dan jadwal pemilu; ketiga,

melaksanakan tahapan-tahapan pemilu; keempat, menetapkan setiap hasil

tahapan pemilu; kelima, menangani pelanggaran peraturan pemilu dan kode etik;

keenam, menindak petugas pemilu yang melanggar kode etik.

Bawaslu dan jajarannya mempunyai tugas dan wewenang : Pertama,

mengawasi pelaksanaan tahapan pemilu; kedua, menerima laporan dugaan

adanya pelanggaran pemilu; ketiga, menangani kasus-kasus pelanggaran pemilu

untuk diteruskan kepada pihak yang kompeten. Selain itu, Bawaslu juga diminta

untuk mengawasi pelaksanaan rekomendasi pengenaan sanksi buat anggota

KPU/KPU daerah, mengawasi pelaksanaan sosialisasi, dan melaksanakan tugas

lain yang diperintahkan undang-undang.

7
Peserta

Partai politik menjadi pelaku dominan dalam pemilu legislatif maupun pemilu

eksekutif. Namun untuk menjadi peserta pemilu, partai politik harus memenuhi

persyaratan yang ditetapkan undang-undang, yaitu : pertama, memiliki

kepengurusan di 2/3 jumlah provinsi; kedua, memiliki kepengurusan di 2/3 jumlah

kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan; ketiga, menyertakan sedikitnya 30%

keterwakilan perempuan pada kepengurusan tingkat pusat; keempat, memiliki

anggota sedikitnya 1000 orang atau 1/1000 jumlah penduduk di kabupaten/kota;

kelima, mempunyai kantor tetap; keenam, memiliki tanda gambar partai.

Pemerintah

UU No. 22/2007 menyebutkan, Pemerintah memberikan fasilitas dan bantuan

dalam penyelenggaraan pemilu. Pemberian fasilitas berupa penyediaan

perkantoran dan sarana prasarana lain yang dibutuhkan penyelenggara pemilu.

Sedangkan pemberian bantuan bisa berupa dukungan personalia, dan bahkan

dana bila memang dimungkinkan oleh peraturan perundang-undangan.

Lembaga Keamanan

Kompetisi memperebutkan jabatan-jabatan publik terkadang berlangsung

keras di antara peserta pemilu, sehingga sering menimbulkan ketegangan-

ketegangan sosial. Pada titik inilah aparat keamanan mempunyai peran penting.

Kehadiran dan kesiapsiagaan mereka menjelang dan selama proses pemilihan

sangat menetukan keberhasilan pelaksanaan pemilu.

8
Lembaga Penegak Hukum

Dalam proses pemilu selalu ada usaha melanggar peraturan perundang-

undangan. Oleh karena itu peran lembaga penegak hukum sangat menentukan

kualitas penyelenggaraan pemilu. Undang-undang pemilu menyatakan bahwa

kasus-kasus pelanggaran pidana pemilu ditangani oleh sistem peradilan pidana.

Pemantau

Demi menjaga integritas proses dan hasil pemilu, peranan pemantau pemilu

kian dibutuhkan. Pemantau adalah lembaga swadaya masyarakat dan badan

hukum dalam negeri yang mengemban misi memantau pemilu, lembaga pemantau

pemilu luar negeri, lembaga pemilihan luar negeri dan perwakilan Negara sahabat.

Untuk bisa melakukan pemantauan, lembaga-lembaga tersebut harus bersifat

independen, mempunyai sumber dana yang jelas, serta terdaftar di KPU, KPU

Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.

Masyarakat

Partisipasi masyarakat dalam menyukseskan pemilu sangat dibutuhkan.

D. Pemilu : Beberapa Undang-undang

Seperti yang telah diuraikan bahwa UUD 1945 memerintahkan ketentuan lebih

lanjut mengenai pemilihan umum di dalam beberapa undang-undang. Di sini kita

akan mencoba melihat beberapa undang-undang yang terkait dengan pelaksanaan

pemilihan umum, yaitu :

9
1) Undang-Undang Partai Politik

UU No. 31 Tahun 2002 merupakan undang-undang yang berhubungan

erat dengan pemilihan umum, tidak heran baik undang-undang partai politik

maupun undang-undang pemilihan umum sering disebut sebagai paket

undang-undang politik. Di masa Orde Baru undang-undang partai politik hanya

mengatur dua parpol. Dengan jatuhnya Soeharto, UU partai politik mengalami

perubahan menjadi UU No. 2 Tahun 1999 tentang partai politik, maka jumlah

partai tidak lagi dibatasi.

Dari ratusan partai, tidak semua dapat mengikuti pemilu, dilakukan

saringan dengan menggunakan landasan UU pemilu. Dalam

perkembangannya, UU No. 2 Tahun 1999 dipandang tidak sesuai lagi

sehingga kemudian diganti dengan UU No. 31 Tahun 2002 yang mengatakan

bahwa partai politik merupakan salah satu wujud partisipasi masyarakat yang

penting dalam mengembangkan kehidupan demokrasi yang menjunjung tinggi

kebebasan, kesetaraan, kebersamaan, dan kejujuran.

2) Undang-Undang No. 12 Tahun 2003

UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum anggota DPR, DPD,

dan DPRD juga merupakan pengganti dari UU sebelumnya, yaitu UU No. 3

Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 4 Tahun 2000. Beberapa

dasar pertimbangan lahirnya UU ini adalah adanya tuntutan dan

perkembangan dinamika masyarakat sebagaimana dituangkan dalam

perubahan UUD 1945 di mana pemilihan umum diselenggarakan untuk

memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD serta memilih presiden dan wakil

10
presiden. Selain itu pemilu perlu diselenggarakan secara lebih berkualitas

yang sekaligus mampu menjamin prinsip keterwakilan, akuntabilitas, dan

legitimasi.

Menurut UU ini penyelenggara pemilu adalah KPU yang merupakan

tokoh-tokoh independen

3) Undang-Undang No. 23 Tahun 2003

UU ini mengenai Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Pada

bagian konsideran UU ini antara lain dinyatakan bahwa pemilihan umum

presiden dan wakil presiden diselenggarakan secara demokratis dan beradab

dengan partisipasi rakyat seluas-luasnya yang dilaksanakan berdasarkan asas

langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

4) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003

UU ini mengatur tentang Mahkamah Konstitusi. Hubungannya dengan

masalah pemilihan umum adalah karena di dalam undang-undang ini juga

membahas mengenai perselisihan hasil pemilu. Mahkamah Konstitusi

merupakan lembaga judikatif yang baru sebagai hasil perkembangan politik

dan hukum, yakni dengan adanya amandemen terhadap UUD 1945.

Perselisihan yang diselesaikan oleh MK adalah perselisihan mengenai

penetapan hasil pemilihan umum yang dilakukan secara nasional oleh KPU

yang mempengaruhi terpilihnya calon anggota DPD; penentuan pasangan

calon yang masuk pada putaran kedua pemilihan presiden dan wakil presiden

serta terpilihnya pasangan presiden dan wakil presiden, dan perolehan kursi

partai politik peserta pemilihan umum di suatu daerah pemilihan.

11
E. Pemilih Terhadap Pemilihan Umum

Tolak ukur keberhasilan pemilu adalah peran serta aktif dalam pemilih di luar

golongan putih. Sebagai tolak ukur ketidakberhasilannnya – maka kalau boleh jujur

– rendahnya peran serta parpol terhadap pendidikan politik serta kekecewaan

terhadap praktik politik parpol dan elit politik memberikan wacana negatif di benak

pemilih.

Partisipasi Politik dan Perilaku Memilih

Partisipasi politik dan perilaku memilih adalah paket dalam diskusi pemilu.

Partisipasi politik adalah keikutsertaan warga negara biasa dalam memengaruhi

proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Sedang perilaku memilih

adalah keikutsertaan warga dalam pemilu sebagai rangkaian pembuatan

keputusan.

Untuk memahami kecenderungan perilaku memilih mayoritas masyarakat saat

ini secara akurat kita bisa mengombinasikan dua pendekatan yang relevan.

Pertama, pendekatan psikologi sosial. Konsep ini merujuk pada persepsi pemilih

atas partai-partai yang ada atau keterikatan emosional pemilih terhadap partai.

Kedua, pendekatan rasional, kegiatan memilih dipandang sebagai produk kalkulasi

untung dan rugi.

Implikasi Absensi Tinggi

Tingginya angka absensi menunjukkan tingkat partisipasi pemilih yang rendah.

Rendahnya tingkat partisipasi pemilih berimplikasi pada dua gejala. Pertama,

pemilih cenderung menentukan pilihan pada calon yang sudah dikenal atau calon

yang sudah menjabat sebelumnya (incumbent). Kedua, semakin rendah legitimasi

12
kepala daerah terpilih. Rendahnya legitimasi dihitung dari proporsi suara kepala

daerah terpilih terhadap suara sah dan jumlah pemilih terdaftar.

Faktor Penyebab

Dengan perspektif Huntington, tingginya angka absensi merupakan akibat

tidak diangkatnya isu-isu lokal sebagai daya tarik bagi pemilih. Hal itu

mengindikasikan rendahnya komitmen para calon memecahkan masalah-masalah

lokal sebagai cermin kekhawatiran tidak dapat memenuhi janji atau kelemahan

memformulasikan isu lokal.

Para kontestan lebih suka menghadirkan vote-getter dari politisi nasional, artis

atau selebritis, yang tidak tahu dan tidak peduli masalah lokal, dibanding

membangun komitmen dengan rakyat. Selain itu, masyarakat kurang mempunyai

akses informasi yang baik terhadap program yang ditawarkan calon dan informasi

tentang calon.

Dilatarbelakangi kesulitan ekonomi yang mendera masyarakat, akhirnya

keputusan absen menjadi pilihan yang rasional. Keputusan absen bukan

disebabkan tidak adanya imbalan dari pasangan calon melainkan karena kuatnya

citra buruk para politisi. Argumen itu semakin kuat jika di-cross check dengan fakta

bahwa tingginya angka absensi lebih banyak terjadi di perkotaan. Hal itu

menjelaskan bahwa tingginya angka absensi lebih dekat dengan kelas menengah

terdidik yang well information dan berkesadaran politik, serta kritis terhadap pemilu.

13
4 Faktor di mana orang enggan untuk aktif berperan dalam pemilu menurut

Syamsudin Haris (Kompas, 1/5/2003) :

1. Kekecewaan publik terhadap parpol.

2. Parpol sebagian kaya akibat money politics.

3. KPU dan pengawas di daerah minim melibatkan civil society.

4. Sistem pemilu yang rumit.

Peningkatan Golput

Golput dilihat sebagai preferensi, yang secara teknis dihitung dari jumlah

pemilih yang tidak menggunakan hak pilih dan suara tidak sah. Dalam pemilu

Indonesia, golput tidak haram.

Dengan kajian sederhana, dapat diidentifikasi penyebab umum dan khusus

kemenangan golput. Penyebab umum meliputi, pertama, kejenuhan dan

kebosanan pemilih terhadap pemilu yang terus menerus. Kedua, kekecewaan

pemilih terhadap perilaku politisi. Ketiga, penurunan kesejahteraan masyarakat dan

kesulitan memenuhi kebutuhan hidup. Keempat, peningkatan kemiskinan.

Golput juga disebabkan faktor-faktor khusus di antaranya adalah pertama,

mencuatnya persoalan hukum, politik dan administratif di daerah yang

menimbulkan situasi kurang kondusif. Kedua, rendahnya daya tarik calon akibat

merosotnya kredibilitas dan akuntabilitas. Ketiga, kurangnya akseptabilitas dan

popularitas calon karena absennya pemilih dalam pencalonan. Keempat,

kebingungan pemilih akibat banyaknya pasangan calon. Kelima, anggapan

masyarakat dan kekhawatiran partai bahwa calon incumbent pasti memenangkan

pemilu. Keenam, sosialisasi pemilu yang kurang.

14
Strategi Pencegahan

Penyebab khusus kemenangan golput dapat dipecahkan dengan meneguhkan

prinsip-prinsip demokrasi dalam pemilu. Prinsip-prinsip itu harus diwujudkan dalam

kebijakan dan tindakan nyata para pemangku kepentingan pemilu, khususnya

partai dan KPU.

F. Kualitas Kampanye Pemilu

Kampanye memang “mahkotanya pemilu”. Di sini peserta pemilu biasanya

habis-habisan mengeluarkan segala daya upaya untuk menggaet suara pemilih.

Ada sejumlah aturan main yang perlu menjadi “bahasa bersama” para kontestan

pemilu. Tentu saja yang pertama-tama adalah prinsip atau asas yang mendasari

pelaksanaan pemilu yakni asas Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, dan Adil

(LUBER JURDIL).

Klausul-klausul pada bab VIII Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 menjadi

aturan main soal kapan kampanye diadakan, bagaimana kampanye diadakan,

dengan cara apa saja kampanye dilakukan, apa saja larangan-larangan dalam

kampanye, serta aturan main mengenai dana kampanye. Keputusan KPU

mengenai Tata Cara Kampanye menjadi instrumen penting juga dalam melakukan

kampanye, karena ini sifatnya lebih teknis dan operasional. Bunyi Pasal 1 butir 11

UU Pemilu sebenarnya sangat maju, karena dalam kampanye meyakinkan para

pemilih itu adalah dengan program-program.

15
Kualitas kampanye juga ditandai oleh tidak banyaknya janji-janji yang menipu

rakyat dan meninabobok mereka. Yang berkualitas adalah jika dalam kampanye,

para calon itu memaparkan komitmen dan visi mereka dalam menuntaskan

berbagai soal. Hal penting lainnya yang dapat meningkatkan kualitas kampanye

adalah jika dalam kampanye para peserta pemilu mampu menjawab problem-

problem besar bangsa ini yang mesti diselesaikan.

Melalui kampanye, diharapkan rakyat pemilih tahu partai atau calon mana

yang betul-betul punya komitmen. Berikan kesempatan rakyat memilih pilihan

terbaiknya, setelah mendapat keyakinan dari kampanye yang cerdas dan

berkualitas. Jangan biarkan rakyat hanya berjoget kegirangan atau tertipu dengan

janji, kemudian memilih calon-calon yang sama sekali tak dikenalnya. Sukseskan

kampanye berkualitas.

16
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pemilihan umum merupakan mekanisme politik untuk mengganti

kepemimpinan yang diikhtiarkan menyegarkan kembali moralitas dan komitmen

kerakyatan. Pemilu juga merupakan cara yang paling kuat bagi rakyat untuk

berpartisipasi dalam sistem demokrasi perwakilan modern.

Dalam ilmu politik dikenal bermacam-macam sistem pemilihan umum dengan

berbagai variasinya, akan tetapi umumnya berkisar pada dua prinsip pokok, yaitu :

a. Single-member Constituency (Sistem Distrik).

b. Multi-member Constituency (Sistem Proporsional).

Sebagai kompetisi politik, pemilu memiliki aktor-aktor yang terlibat di

dalamnya. Berikut aktor-aktor pemilu sebagaimana diuraikan Didik Suprianto, dkk.

 Pemilih

 Penyelenggara

 Peserta

 Pemerintah

 Lembaga Keamanan

 Lembaga Penegak Hukum

 Pemantau

 Masyarakat

17
Beberapa undang-undang yang terkait dengan pelaksanaan pemilihan umum,

yaitu :

1) Undang-Undang Partai Politik

2) Undang-Undang No. 12 Tahun 2003

3) Undang-Undang No. 23 Tahun 2003

4) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003

4 Faktor di mana orang enggan untuk aktif berperan dalam pemilu menurut

Syamsudin Haris (Kompas, 1/5/2003) :

1. Kekecewaan publik terhadap parpol.

2. Parpol sebagian kaya akibat money politics.

3. KPU dan pengawas di daerah minim melibatkan civil society.

4. Sistem pemilu yang rumit.

Pemilu memang merupakan keputusan yang sangat penting bagi masa depan

negara. Bila suatu pemilu berjalan baik, maka sebuah negara dapat melanjutkan

menuju demokrasi dan perdamaian. Sebaliknya, bila pemilunya berjalan buruk

bahkan gagal, sebuah negara bisa dibilang tengah meruntuhkan demokrasi dan

kembali menuju titik nadirnya. Itulah sebabnya pemilu kerap disebut sebagai roh

demokrasi.

18
DAFTAR PUSTAKA

Suranto, hanif; Ramjodo, J Judy; Wijudo, P. Bambang. 2009. Kritis Meliput Pemilu.

Jakarta: LSPP dan Friedrich Ebert Stiftung.

Miriam Budiarjo, Prof. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Ikrar Mandiri Abadi.

J. Prihatmoko, Joko.2008. Mendemokratiskan Pemilu dari Sistem sampai Elemen

Teknis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Santoso, Topo dan Supriyanto, Didik. 2004. Mengawasi Pemilu Mengawal Demokrasi.

Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Chidmad, Tataq. 2004. Kritik Terhadap Pemilihan Langsung. Yogyakarta: Penerbit

Pustaka Widyatama.

Prasojo, Eko. 2009. Reformasi Kedua: Melanjutkan Estafet Reformasi. Jakarta:

Salemba Humanika.

19

Anda mungkin juga menyukai